Professional Documents
Culture Documents
Cultures
( Oleh : I Gede Putu Anggara Diva, 9 halaman, Bakrie School of Management)
Abstraksi
Komunikasi antarbudaya semakin disadari peranannya dalam era pasar bebas yang akan
segera datang. Dunia sebagai suatu pasar global telah memungkinkan aktifitas ekonomi
bergerak tanpa mengenal batas lintas antar Negara. Diperlukan kemampuan komunikasi
antarbudaya yang efektif untuk berhasil dalam kompetisi perusahaan ditingkat global.
Perbedaan budaya telah memberikan tantangannya tersendiri. Perbedaan budaya kerap kali
menyebabkan terjadinya misscommunicating. Misscommunicating tersebut menyebabkan
kegiatan bisnis terganggu sehingga kerugian yang diderita akibatnya tidaklah kecil.
Komunikasi merupakan satu dari disiplin-disiplin yang paling tua tetapi yang paling baru.
Orang Yunani kuno melihat teori dan praktek komunikasi sebagai sesuatu yang kritis.
Popularitas komunikasi merupakan suatu berkah (a mixed blessing) sehingga saat ini komunikasi
merupakan sebuah aktifitas, sebuah ilmu social, sebuah seni liberal dan sebuah profesi. Kata atau
istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”), secara etimologis atau menurut asal
katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata
communis Dalam kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’
yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Komunikasi
secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang
kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia.
Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward (1998:16) mengenai komunikasi
manusia yaitu, “Human communication is the process through which individuals in relationships,
group, organizations and societies respond to and create messages to adapt to the environment
and one another”. Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu
dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan
pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Untuk memahami pengertian
komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara efektif dalam Effendy (1994:10) bahwa
para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold
Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell
mengatakan bahwa sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk
(encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima
yang menimbulkan efek tertentu.
Konteks budaya merujuk pada pola petunjuk fisik, stimulus lingkungan, dan pemahaman
tersirat yang menyampaikan arti antara dua anggota dalam budaya yang sama. Dari budaya satu
ke budaya lain orang- orang menyampaikan arti contextual secara berbeda. Context budaya di
dunia terbagi menjadi dua jenis budaya, yaitu konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Budaya
konteks tinggi dan budaya konteks rendah mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara
penyandian pesannya. Anggota budaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku
nonverbal dan "dalam membaca lingkungan", dan mereka menganggap bahwa orang lain juga
akan mampu melakukan hal yang sama. Jadi mereka berbicara lebih sedikit daripada anggota-
anggota budaya konteks rendah. Umumnya komunikasi mereka cenderung tidak langsung dan
tidak ekplisit. Budaya konteks rendah, sebaliknya menekankan komunikasi langsung dan
ekplisit: pesan-pesan verbal sangat penting, dan informasi yang akan dikomunikasikan disandi
dalam pesan verbal. Budaya konteks tinggi antara lain budaya Cina, Korea, Jepang, Indonesia.
Adapun perbedaan ciri-ciri antara kedua budaya konteks tersebut adalah sebagai berikut
Dalam pengambilan Lebih cepat karena fokus pada Tidak efisien, karena lebih
keputusan tujuan, dan terbiasa berterus- menjaga perasaan orang lain,
terang sehingga lebih lama dalam
pengambilan keputusannya
Pemecahan masalah Fokus pada penyebabnya, Lebih lama karena tidak
sehingga tidak bertele-tele berorientasi kepada akar
penyebab masalah, namun
lebih menjaga perasaan orang
lain
Negosiasi Lebih cepat memutuskan bila Seringkali tidak dapat
ada kekuasaan untuk memutuskan secara langsung
memutuskan
Pemisahan antara masalah Adanya pemisahan antara Tidak ada pemisahaan antara
pribadi dan pekerjaan masalah pribadi dengan masalah pribadi dan pekerjaan
pekerjaan
Konteks budaya juga mempengaruhi perilaku legal dan etika. Perbedaan-perbedaan legas
dan etika tersebut dapat terlihat dari beberapa aspek berikut ini:
Saat berkomunikasi secara lintas budaya, maka pesan anda haruslah bersikap etis, dengan
mengaplikasikan 4 prinsip dasar, sebagai berikut:
Perbedaan budaya berdasarkan sosial terbagi menjadi empat bagian, yaitu: konsep
terhadap materi, peran dan status, penggunaan cara dan sopan santun, dan konsep waktu).
Berorientasi pada tujuan dan kenyamanan materi diperoleh dari usaha individu.
• Dapat menyapa atasan tanpa menggunakan gelar, seperti “Bapak” atau “Ibu”,
“Mr” atau “Mrs”.
• Hubungan antara atasan dan bawahan bersifat terbuka, tidak terdapat perbedaan
antara atasan dan bawahan. Diluar pekerjaan, atasan dan bawahan dapat berteman
dengan baik, dan mengesampingkan status mereka dalam pekerjaan.
• Menyapa pelaku bisnis/atasan dengan gelar. Status sosial sangat penting, bahkan
diluar pekerjaan atau diluar kedinasan.
• Tertutup, atasan dan bawahan harus dibedakan. Cenderung ada jarak antara atasan
dan bawahan.
• Memberikan hadiah kepada istri teman dianggap tidak sopan, apalagi mencium
istri teman, akan dianggap sebagai bentuk kekurangajaran.
d. Konsep waktu
Konteks budaya rendah menganggap waktu sebagai cara untuk merencanakan hasil kerja
dengan efisien. Waktu diperlakukan dengan sangat berharga. Sebaliknya pada budaya dengan
konteks budaya tinggi cenderung tidak menghargai waktu, sehingga istilah jam karet merupakan
hal yang biasa.
Setelah mengetahui mengenai perbedaan budaya seperti yang telah ditulis di atas, maka
berikut akan dibahas mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam komunikasi bisnis
antarbudaya sehingga kita dapat lebih memahami mengenai perbedaan budaya itu sendiri.
Berikut merupakan contoh kasus yang terjadi ketika melakukan komunikasi antarbudaya dalam
lingkungan bisnis.
A. Alan’s case
Disisi lain, rekan kerja Alan melihat waktu sebagai sesuatu yang fleksibel. Karena dalam
budaya mereka, membangun sebuah dasar / fondasi hubungan bisnis adalah jauh lebih penting
daripada batas waktu pertemuan untuk tugas tertentu. Sehingga ia tidak langsung melakukan
komunikasi bisnis ketika bertemu, melainkan melakukan pembicaraan lain sehingga dapat lebih
dekat dengan lawan bicaranya.
B. Susan’s case
Dalam kasus yang menimpa Susan ini, seharusnya Susan telah mengetahui bagaimana
perbedaan budaya yang ada di Jepang. Sebagai negara yang masuk kategori high context Jepang
memiliki konsep terhadap materi bahwa mendapatkan pekerjaan lebih penting daripada bekerja
secara efisien. Mungkin hal tersebut berbeda dengan social value yang dimiliki oleh Susan yang
berorientasi pada tujuan dan efesiensi.
C. Stan’s case
“Stan wants to negotiate a joint venture with a Chinese
company. He ask Ting-Sen Lee If the Chinese people have
enough discretionary in come to afford his product. Mr. Lee is
silent for a time, and then says, “your product is good. People in
West must like it”. Stan smiles, pleased that Mr. Lee recognize
the quality of his product, and he gives Mr. Lee a contract to sign.
Weeks later, Stan still hasn’t heard anything. If China is going to
be so inefficient, he wonders if he rally should try to do business
there.”
Dalam kasus yang dihadapi oleh Stan ini terdapat dua kemungkinan kesalahpahaman
yang terjadi. Yang pertama dalam konteks budaya. Stan nampaknya salah menafsirkan hal yang
terjadi, pujian terhadap produk dari Ting Sen Lee tersebut belum berarti bahwa dirinya telah
menyetujui kegiatan bisnis yang Stan tawarkan, sikap positif merupakan hal mutlak yang biasa
dilakukan oleh orang China, bahkan dalam pepatah Cina kuno mengatakan, “orang tanpa senyum
tidak boleh membuka toko". Jika mengingat kecenderungan orang high context dalam hal
negosiasi yang sering kali tidak dapat memutuskan secara langsung maka kemungkinan Ting Sen
Lee belum membuat keputusan untuk bekerjasama semakin besar. Sebenarnya Stan tidak boleh
langsung mengambil kesimpulan bahwa usulan kerjasamanya telah disepakati hal ini mengingat
salah satu dari empat prinsip dasar dalam berkomuniksai dalam bisnis antarbudaya yaitu tidak
boleh ada prasangka atau penilaian secara terburu-buru dimuka.
Kemungkinan kedua, masih dalam konteks budaya, jika dilihat dari pengambilan
keputusannya Ting Sen Lee sebagai seorang yang berasal dari budaya yang high cultur
cenderung lama dalam pengambilan keputusan, sebab dalam kegiatan pengambilan
keputusannya Ting Sen Lee mempergunakan perasaan.
D. Elizabeth’s case
“Elizabeth is very proud of her participatory management style.
On assignment in India, she’s careful not to give order but to ask
for suggestion. But people rarely suggest anything. Even a formal
suggestion system doesn’t work. And to make matters worse, she
doesn’t sense the respect and camarederle of the plant she
managed in the United States. Perhaps she decides gloomly,
people in India just aren’t ready for a women boss.”
Dalam kasus Elizabeth ini nampaknya terdapat dua kemungkinan yang terjadi. Yang
pertama yaitu terhadap management style yang diterapkan. Nampaknya Elizabeth hendak
membuat kondisi yang terbuka. Namun tampaknya hal tersebut tidak berhasil baik sebab orang
India yang memiliki high context berdasarkan konsep peran dan statusn ya menempatkan
hubungan antara pekerja dan atasan dalam keadaan yang tertutup, atasan dan bawahan harus
dibedakan. Cenderung ada jarak antara atasan dan bawahan, hal inilah yang membuat pekerjanya
telihat tidak respect terhadap Elizabeth..
Kemungkinan kedua yang dihadapi oleh Elizabet, masih terkait dengan masalah Role dan
status, adalah gender-nya sebagai seorang wanita. Dibanyak negara, termasuk di India wanita
masih belum memainkan peranan yang menonjol dalam bisnis, pemerintahan bahkan dalam
praktek kesehariannya masih ada batasan-batasan. Hal ini disebabkan adanya sistem nilai,
kepercayaan, dan pengaruh kuat agama. Yang mana menempatkan wanita dalam kelas yang
berbeda dengan pria. Sehingga jika ada wanita yang menjadi seorang pemimpin, dirinya akan
kurang mendapat respect dari bawahannya.
Berdasarkan Keempat kasus diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarnegara,
apalagi berbeda culture context, akan membawa dampak yang cukup besar dalam kegiatan bisnis
karena sering kali terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman tersebut nampaknya senantiasa
terjadi akibat adanya Etnosentrisme dari tiap orang. Dalam berkomunikasi, kita cenderung untuk
menghakimi nilai, adat istiadat atau aspek-aspek budaya lain menggunakan kelompok kita
sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai standar bagi semua penilaian. Disadari atau tidak,
kita sering mengganggap kelompok kita sendiri, negeri kita sendiri, budaya kita sendiri, sebagai
yang terbaik, yang paling bermoral, dan sebagainya. Sehingga sering menilai sikap seseorang
salah jika tidak sesuai dengan kebiasaan kita, yang mana dalam kasus Alan, menyebabkan kesan
pertama Alan terhadap rekan bisnisnya dari Meksiko menjadi negative; kemudian pada kasus
Susan, menjadi ragu untuk merekrut Kana Tamori; dan pada kasus Stan, Stan menjadi ragu untuk
berbisnis di China; serta pada kasus Elizabeth, karena menganggap orang India lebih senang jika
system dibuat terbuka maka dirinya kurang mendapat respect dari bawahannya. Etnosentrisme
sulit dihilangkan, karena ia bersumber pada psikologi manusia (memperoleh dan memelihara
penghargaan diri). Dan ini merupakan keinginan yang sangat manusiawi dari tiap orang yang
berlatar budaya yang berbeda. Namun dalam bisnis hendaknya kita mulai membiasakan untuk
mengendalikan sikap ini demi suksenya hubungan kerjasama yang hendak kita bangun. Untuk
dapat mengendalikan sikap Etnosentrisme tersebut hal-hal yang dapat dilakukan adalah aware
terhadap nilai budaya kita dan budaya rekan bisnis kita sehingga kita mengendalikan pemikiran
bahwa budara kita adalah yang “benar”, perlunya dikembangkan usaha untuk menjadi fleksibel
dan terbukan untuk berubah, sensitive terhadap verbal dan non verbal behavior dari rekanbisnis
kita, serta sensitive terhadap perbedaan antar individu dengan budayanya. Sehingga rasanya
perlu kita selalu ingat pribahasa dari negeri sendiri yaitu “Lain ladang lain belalang, lain lubuk
lain ikannya”. Dengan mengingat pribahasa itu semoga kita dapat berhasil dalam menghadapi
komunikasi antarbudaya sehingga dapet menjalin kerjasama yang baik dengan rekan bisnis kita.
Daftar Pustaka
Locker, K.O. and Kaczmarek, S. K. 2007. Business Communication: Building Critical Skills,
3 edn. McGraw-Hill, New York.
rd
Nishiyama, K. (2000). Doing business with japan: successful strategies for intercultural
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya, Bandung
I GEDE PUTU
ANGGARA DIVA
1071001054
MANAGEMENT 3
Lecture
NENEN ILAHI
22 september 2008