You are on page 1of 22

ANESTESI BEDAH DARURAT

Disusun oleh : Septian Adi Permana PPDS I Anestesiologi dan Terapi intensif

Pengampu: dr. HERI DWI PURNOMO, Sp.An

SATUAN MEDIS FUNGSIONAL ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FK UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus emergency antara lain : keterbatasan waktu untuk mengevaluasi pra anesthesia yang lengkap, pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, lambung sering berisi cairan dan makanan, sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk, menderita cedera ganda/multiple, kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (diagnosa belum tegak), riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui, komplikasi yang ada kadangkadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif (sekitar 8x lebih besar). (Imarengiaye, 2005) Perbedaan -perbedaan pokok dari anestesi untuk pembedahan elektif dengan anestesi untuk pembedahan darurat adalah : (1) bahaya aspirasi dari lambung yang penuh (meningkat 4,5x pada bedah darurat ) (Landreau, 2009) (2) gangguan-gangguan pernafasan, hemodinamik dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal (3) terbatasnya waktu persiapan untuk mencari data penyerta dan perbaikan fungsi tubuh. Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau menyebabkan kehilangan anggota badan. (Imarengiaye, 2005) Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat pengosongan lambung umumnya terdapat pada situasi emergensi seperti nyeri, sedasi, cemas, syok, persalinan. Problem medis lain yang memperlambat pengosongan lambung adalah diabetes, obesitas, hiatal hernia. dan baru saja dilakukan dialisa. Masalah lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi obat atau alkohol, mengalami cedera kepala dan riwayat ingesti yang tidak diketahui. (Miller, 200) Hipoksia sering terjadi pada pasien dengan kecelakaan lalu lintas, dan penyebab hipoksia adalah cedera jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi paru, cedera kepala, cedera luka bakar pada saluran nafas dan smoke inhalasi, sepsis, overload cairan, emboli paru. Pasien mungkin juga sedang mengalami instabilitas hemodinamik, atau cedera di berbagai tempat (multiple injury). Hipoksia pada trauma pada umumnya disebabkan oleh obstruksi jalan napas, apneu, cidera thorax, dan status sirkulasi yang buruk. Oksigen supplemental harus diberikan, dan intervensi jalan napas definitif diambil jika terdapat kecurigaan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. (Barash, 2001)

Banyak bedah gawat darurat yang masih dapat ditangguhkan pembedahannya selama 1 jam atau lebih untuk persiapan yang lebih baik/optimalisasi keadaan umum, kecuali pada keadaan-keadaan ini :

1. Kegawatan janin 2. Perdarahan yang tidak terkendalikan 3. Gangguan pernafasan yang sangat berat 4. Cardiac arrest 5. Emboli arterial Faktor utama agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses adalah kesiapan dalam menangani kejadian akut dan berat. Perencanaan anestesi yang baik, optimalisasi kondisi dan resusitasi yang sesuai diperlukan untuk kondisi durante dan post operasi yang memuaskan. (Imarengiaye, 2005)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Persiapan Tindakan dokter untuk mengurangi rasa takut dan gelisah pasien adalah sangat penting tetapi seringkali dilupakan pada situasi darurat, padahal hal tersebut sering kali ditemukan pada bedah darurat. Penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan sedikit banyak mampu membuat pasien menjadi lebih tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai seringkali perlu dilakukan, karena terkadang pasien juga menderita penyakit lain yang belum terkontrol dengan baik seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, maupun diabetes. Kesiapan untuk operasi bedah darurat juga meliputi persiapan kamar bedah dan alat-alat anestesi yang siap pakai misalnya mesin anestesi dan alat untuk ventilasi, oksigensi, intubasi, dan pelengkap lainnnya, monitor, set untuk infus dan transfusi serta cairan, obat-obatan baik obat resusitasi maupun anestesi, defibrilator (Miller, 2000) Penilaian Pasien Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan kadang-kadang saat pasien didorong ke meja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip triage yaitu Airway control and cervical spine control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan cedera lain, serta harus dilakukan observasi dan monitoring terus menerus sampai menjelang operasi. Tindakan sedini mungkin memperbaiki ventilasi/ oksigenasi (kalau perlu dengan intubasi dan ventilasi kendali) dan gangguan sirkulasi pasien bedah darurat sangatlah vital karena tindakan ini akan menentukan prognosa pasien. Trauma sering menyebabkan hipoksemia yang tidak langsung berhubungan dengan kelainan yang harus dibedah secara darurat misalnya trauma kepala, dada muka, leher, syok, sepsis dan sebagainya. Resusitasi pada trauma meliputi 2 fase, yaitu kontrol perdarahan dan perawatan luka. Evaluasi awal harus meliputi tiga komponen,yaitu penilaian cepat, survey primer dan survey sekunder : Penilaian cepat : fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal atau kritis. Evaluasi segera dilakukan waktu penderita datang (primary survey) dalam waktu 2-5 menit, yaitu menilai : A: B: Airway Breathing = jalan nafas = pernafasan

C: D: E:

Circulation Disability Exposure

= sirkulasi = kecacatan = paparan (Morgan, 2006)

atau ada juga pembagian primary survey yang lain, yaitu : B 1 : Breath = pernafasan B 2 : Bleed = hemodinamik B 3 : Brain = otak dan kesadaran Peranan dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi, karena ketrampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi tumpuan keselamatan penderita. Stabilisasi fungsi pernafasan meliputi : terapi oksigen, nafas buatan, punksi pneumotoraks, intubasi endotrakheal atau krikotirotomi . Sedangkan indikasi mutlak untuk dilakukannya intubasi segera antara lain GCS kurang dari 9, ancaman shock, obstruksi jalan napas, pasien yang gelisah dan membutuhkan sedasi, trauma dada dengan hipoventilasi, hipoksia, dan henti jantung. Life support diberikan tanpa menunggu pemeriksaan tambahan yang lain. (Barash, 2001) Selain ketidakstabilan dalam ABC, juga terdapat kriteria kemungkinan terjadinya ketidakstabilan tulang belakang di leher, antara lain : a. b. c. d. e. Nyeri leher Nyeri gerak leher yang sangat berat Tanda dan gejala neurologis Intoksikasi Hilangnya kesadaran

jika terdapat salah satu tanda di atas, cedera cervikal perlu kita pikirkan, sehingga penatalaksanaan kita juga harus sesuai dengan cedera cervikal. Bila dalam penilaian awal ternyata pasien stabil, lalu kita dapat masuk pada penilaian berikutnya terhadap pasien tersebut melalui penilaian lanjutan (secondary survey) : 1. Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik.

2.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien. Termasuk didalamnya pemeriksaan terhadap tempat untuk regional anestesi (bila digunakan regional anestesi) 3. a. Pemeriksaan Penunjang (sesuai indikasi) : Pemeriksaan EKG

Selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung dapat pula mengetahui adanya pengaruh fungsi paru terhadap jantung, maupun kelainan elektrolit. b. Pemeriksaan Radiologis

Meliputi foto rontgen, USG dan CT-scan (bila perlu). Pemeriksaan tersebut selain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa juga dapat sebagai pertimbangan adakah kemungkinan penyulit intubasi ataupun penyulit anestesi c. Pemeriksaan Laboratorium

Meliputi pemeriksaan darah rutin, gula darah, serta pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi (Morgan, 2006) d. Tes Faal Paru Tanpa alat : walaupun sederhana tapi dapat memberikan informasi mengenai fungsi pernafasan dan berguna sebagai penilaian kelayakan operasi, seperti kemampuan naik tangga sambil bicara tanpa sesak nafas. Snider match test : kemampuan menahan nafas selama 30 detik. Memakai spirometer (Miller, 2000) Evaluasi pasien Evaluasi meliputi system kardiovaskuler dengan memantau nadi frekuensi, irama, dan kualitas isi nadi tekanan darah, pengisian vena central dan perifer, pengisian kapiler. Bila mungkin memasang kateter vena sentral (vena cava superior) untuk mengikuti perubahan tekanan darah dengan terapi pemberian cairan infus. Rekam EKG untuk menilai adanya aritmia jantung. (Miller, 2000) Sistem neurologis yang dinilai pertama adalah kesadaran. Bila pasien berada dalam koma sebaiknya segera di intubasi agar jalan nafasnya bebas dan sekaligus untuk mencegah aspirasi isi lambung kedalam paru. Gangguan pernafasan segera dapat ditolong dengan mengendalikan jalan nafas. Cairan sekret dalam trakea juga segera dapat dihisap. Bila ada dugaan fraktur tulang belakang harus berhati-hati pada tindakan transport, mengangkat pasien agar tidak menjadi lebih parah dan menekan medulla

spinalis sehingga gangguan neurologis menjadi lebih berat. Kita harus menggunakan tehnik jaw trust untuk mengamankan airway, sedangkan ekstensi maupun manipulasi leher lainnya sebaiknya dihindari. Tehnik stailisasi pada cedera leher dengan tehnik in line stabilisation. (Morgan, 2006)

(Hazinki, 2010)

Persiapan Pasien : Mengurangi rasa takut dan gelisah sangat penting dan sering dilupakan pada situsi darurat. Walapun hanya sebentar tapi penjelasan tentang apa yang akan dilakukan kadang banyak menolong untuk membuat pasien menjadi lebih tenang. Masalah pada kasus emergensi: I. Lambung penuh Aspirasi isi lambung ketika induksi anestesi atau ketika akan sadar kembali harus dicegah. Waktu pengosongan akan memanjang oleh makanan berlemak tinggi (810 jam), gangguan emosionil, dan obat narkotik. Interval waktu antara makan terakhir dengan mulainya sakit tersebut timbul sangat penting sebab lambung akan berhenti bekerja disaat timbul nyeri. Hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan pasien menelan udara sehingga perut menjadi kembung, hal tersebut memudahkan terjadinya regurgitasi atau muntah. Sekalipun telah dipasang nasogastric tube, pengosongan lambung secara sempurna melalui NGT tidak terjamin.

Wanita dalam proses partus harus dianggap mengalami lambung penuh. Partus, rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan lambung. Partus yang lama menyebabkan jumlah cairan lambung bertambah. Isi perut terdorong ke arah kepala, menekan sfingter kardia dan menyebabkan regurgitasi atau muntah. (Miller, 2000) Pasien dalam keadaan koma atau setengah sadar, mudah mengalami aspirasi. Bila akan melakukan tindakan menguras lambung, maka jalan pernafasan harus diamankan terlebih dahulu dengan endotrakeal tube yang ber-cuff. Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak mampu menjamin perlindungan terhadap aspirasi. Posisi kepala juga tidak boleh dinaikan (head up) karena dapat menyebabkan gravitational gradien dari faring ke paru. (Barash, 2001) Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lambung penuh dan aspirasi selama anestesi, antara lain : 1. Induksi inhalasi dengan kepala diekstensikan ke belakang dan penderita dimiringkan. Cara ini sudah kuno tapi merupakan metode yang baik untuk dicoba dan masih berguna, terutama jika penderita dalam keadaan mendekati ajal. Cara ini banyak digunakan sebelum dikenalnya relaksan otot, tetapi meningkatkan bahaya regurgitasi pasif. 2. Intubasi secara sadar dibawah anestesi lokal. Cara ini dahulu banyak digunakan di Amerika Serikat, tetapi menjadi tidak nyaman bagi penderita yang tidak ditolong oleh seorang pakar. 3. Induksi cepat secara berurutan, metode yang hampir secara universal dipraktikkan di Inggris. Praoksigenasi, induksi intravena, relaksasi dengan suksametonium, intubasi. Induksi berurutan cepat, sekarang kadang-kadang disertai dengan penekanan krikotiroid (perasat Selick) untuk menghalangi terbukanya esofagus. (Miller, 2000) Beratnya efek dari aspirasi isi lambung ditentukan oleh : 1. pH cairan (makin asam makin berat pneumoninya) 2. volume cairan 3. partikel-partikel dari cairan aspirasi Tatalaksana aspirasi isi lambung : 1. Head down pasien 2. Segera intubasi, dihisap bersih dan ventilasi positif. 3. Bronkhi dibilas dengan larutan garam steril, 3 - 5 cc dan diventilasi, selanjutnya dihisap ulang sampai bersih. 4. Antibiotika berspektrum luas

5. Bila terdapat spasme bronkhial. Beri hidrokortison 1 gr I.V; Aminofilin 240 mg dilarutkan dengan 250 cc 5% D/W diberikan pelan secara intravena dan segera dihentikan bila timbul aritmia atau hipotensi. 6. Foto rontgen toraks segera dilakukan apabila dicurigai adanya aspirasi. Diulang 6 - 8 jam kemudian bila yang hasil foto rontgen yang pertama negatif. Hal tersebut perlu dilakukan karena ada kemungkinan terdapat delayed aspirasi dan terjadinya akut pneumonia. (Morgan, 2006) II. Hipotensi Hipotensi adalah penurunan 30 - 35% dari MAP normal. Sebab-sebab hipotensi : 1. Hipovolemia 2. Shock kardiogenik 3. Shock neurogenik 4. Sepsis 5. Hipofungsi atau kegagalan adrenal 6. Kelainan metabolik (misalnya koma diabetikum). Sebagian besar penderita bedah darurat mengalami gangguan hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss. Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 75 cc/kg BB), anak < 2 th (80 cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah perdarahan. Cara ini bukan untuk menggantikan transfusi darah, tetapi untuk :
1. 2. 3.

Tindakan sementara, sebelum darah datang. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi lebih baik jikalau terjadi reaksi transfusi)

Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita. Jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sebagai berikut. :
1. 2.

preshock : kehilangan s/d 10%

shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi dingin, basah, pucat.

Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70 mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
3.

Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : Tekanan Darah sampai tak terukur, nadi sampai tak teraba
4.

Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan pedoman berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-tanda intersisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering. Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya tanda-tanda plasma yaitu : takhikardia, oli-guria, hipotensi,shock. (Miller, 2000) Sedangkan kehilangan darah pada patah tulang tertutup dapat diestimasi sebagai berikut : 1. Fraktur dari telapak kaki dengan sedikit bengkak 250-500 ml. 2. Fraktur bagian bawah dari kaki dengan sedikit bengkak 500 - 1000 ml. 3. Fraktur tungkai femur 500 - 2000 ml. 4. Fraktur persendian patella sampai 2000 ml. 5. Fraktur antebrakhii 500 - 750 ml. 6. Fraktur humerus dan bahu sampai 2000 ml. Cara terapi dan monitoring 1. Apabila defisit berat berikan 20 ml/kg Ringer Laktat atau 0,9% NaCl cepat. Jika setelah itu shock belum dapat diatasi, ulangi lagi. Tujuan tindakan pertama ini adalah memulihkan volume darah/plasma dan mengatasi shock. 2. Berikutnya dalam 8 jam Pertama 50% dari defisit yang diperhitungkan diberikan. 16 jam berikutnya diberikan sisa 50% dari defisit. Setelah shock dapat diatasi, cairan maintenance dapat diberikan bersama-sama dengan terapi defisit. Cairan maintenance : dewasa 2 cc/kg BB/jam dengan Natrium 2 4 mEq/kg BB/24 jam; sisanya sebagai larutan dextrosa. 3. Jika produksi urine sudah ada, kalau perlu dapat diberikan Kalium 1 2 mEq/kg dalam 24 - 36 jam. 4. Evaluasi keadaan penderita secara berkala tiap 4-6 jam.

5. Sebagai tanda bahwa sirkulasi dan perfusi sudah baik adalah telapak tangan atau kaki hangat, merah dan kering (sebagai kebalikannya pada waktu defisit dingin, kelabu dan lembab). 6. Bila dapat dipasang CVP kateter, maka dilakukan fluid challenge. sampai hemodinamik terbaik dengan CVP yang optimal. Cara ini sangat bermanfaat pada kasuskasus sulit (tua, sakit jantung dan sebagainya). Untuk mengetahui perkembangan terapi perlu dilakukan monitoring, antara lain

1. Tekanan darah dengan cuff biasa atau lebih tepat dengan arterial line dengan pembacaan langsung dari transduser. Arterial line ini sangat berguna untuk mengukur tekanan darah secara terus menerus, dan mendapatkan analisa gas arteri untuk evaluasi status pulmoner. Biasanya dilakukan pemasangan pada arteri radialis dan brakhialis. Sebelum kanulasi dari arteria radialis atau ulnaris, harus dilakukan dahulu Allen test Untuk meyakinkan apakah arteri jalur lain masih mampu mengkompensasi, jikalau arteri yang dilakukan kanulasi mengalami trombosis. Arterial line dapat dijaga supaya terus terbuka dengan pembilasan berkala dengan larutan 1 unit heparin per cc. 2. CVC : untuk mendiagnosis overload jantung kanan, juga dapat digunakan sebagai alternatif pemberian cairan. Kateter ini mengukur CVP, tekanan arteri pulmoner, tekanan pulmonary wedge (ukuran dari fungsi jantung kiri). Dengan sedikit modifikasi dapat juga digunakan untuk mengukur cardiac output. 3. ECG 4. Temperatur : Hipotermia dan hipertermia dapat menyebabkan masalah-masalah intraoperatif yang serius. Ukur suhu sentral di esofagus, rektal atau membrana timpani. 5. Kateter vesika urinaria. Output urine menunjukkan keadaan hidrasi dan derajat aliran darah melalui ginjal. Mempertahankan aliran urine sebanyak 0,5 - 1 ml/kgBB/jam akan mengurangi kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut pada pascabedah. Ginjal membutuhkan minimal tekanan 80 torr untuk mempertahankan derajat aliran ini. (Morgan, 2006) III. Gagal Nafas Sebab-sebab mekanik dan masalah pernafasan : 1. Jalan pernafasan bagian atas (a). Trauma yang mengenai jaringan lunak dan jaringan tulang dari muka dapat menyebabkan obstruksi mekanis dari pernafasan. Bila ada keraguan pada kemampuan mempertahankan airway sewaktu diinduksi, maka pasien tersebut harus diintubasi dalam kondisi sadar. (b). Fraktur dari bagian tengah muka berbahaya karena terdapat kemungkinan fraktur ethmoidalis. Sedapat mungkin dihindari intubasi nasal, sebab tube nasal mampu menyebarkan infeksi ke dalam otak. Juga terdapat kemungkinan masuknya NGT melalui fraktur ethmoidalis ke dalam jaringan otak. (c). Kanul penghisap sangat penting terutama ketika dilakukan intubasi pada pasien dengan trauma fasial ataupun intra-oral. (d). Trauma pada muka terkadang berhubungan dengan trauma pada laring (e). Aspirasi korpus alienum. Pada pasien dewasa yang kooperatif, untuk melakukan bronkhoskopi cukup dengan anestesia topikal saja, karena lebih mudah melakukan inspeksi airway serta mengurangi risiko pendorongan corpus alienum masuk

lebih dalam ke trakheobronkhial. Selain itu perlu diberikan oksigenisasi yang cukup tinggi, apabila korpus alienum tadi menyumbat bagian bronkhus besar untuk menjaga kecukupan oksigenasi. Obstruksi jalan napas sering disebabkan oleh laserasi, sekresi, benda asing, fraktur, atau sumbatan jaringan pada pasien yang tidak sadar. Intrervensi awal meliputi oksigen supplemental, chin lift, head tilt dengan jaw thrust, pembersihan orofaring dan pamasangan jalan napas oral atau nasal. Ventilasi harus dibantu jika diperlukan dengan menggunakan ambu bag serta imobilisasi spinal cervical. Sianosis kadang sulit untuk dideteksi pada pasien yang anemis, hipovolemik dan pasien yang berpigmen kulit gelap. Pulse oxymetri sering diperlukan untuk menilai oksigenasi dan analisis gas darah arterial harus segera dilakukan jika terdapat kecurigaan gangguan gas darah. (Barash, 2001) Bila diperlukan anestesi umum, harus disiapkan beberapa ukuran endotrakheal tube. Biasanya dibutuhkan juga ukuran yang lebih kecil. 2. Thoraks dan isinya. (a). Trakhea yang sobek, kontusio pulmonum dan pneumothoraks adalah keadaan emergency yang berhubungan dengan trauma tumpul terhadap thoraks atau trauma tembus tajam Endotrakheal Tube harus dimasukkan melalui sobekan trakhea kemudian cuff dikembangkan untuk mengamankan jalan nafas. Bila kontusionya berat maka tube seperti Robert Shaw atau Carlens diperlukan untuk mengisolasi paru yang rusak, mencegah masuknya benda asing ke dalam paru yang sehat, atau untuk mengempiskan paru sewaktu proses perbaikan. (b). Pneumothoraks. Dengan auskultasi, x-ray thoraks, inspeksi gerakan pernafasan dan adanya/bertambahnya emfisema subkutan, keluhan sesak nafas dan sianosis dari pasien dapat digunakan sebagai diagnosa prabedah. Sedangkan pada intraoperatif bila didapatkan nadi yang kecil, takiaritmia, hipoksia, compliance paru yang berkurang dan kemudian bertambahnya emfisema subkutan; semua ini menunjukkan kemungkinan adanya pneumothoraks. Perlu dilakukan monitoring dengan stetoskop yang ditempelkan di kiri-kanan thoraks selama operasi. (Barash, 2001)

IV. CNS (Central Nervous System) a. Medula spinalis Pasien dengan trauma akut berupa kompresi medula spinalis di bagian leher membutuhkan posisi yang sangat stabil. Leher harus distabilisasi dengan penunjang leher (neck collar) untuk menghindari paralisis permanen. Apabila pasien kooperatif, minta kepada pasien untuk menggerakkan kepala dan lehernya sampai posisi pasien merasa tidak nyaman. Hal ini akan memberikan informasi pada ahli anestesi sampai posisi mana yang diperbolehkan dalam menggerakan leher pasien, bila pasien sudah ditidurkan. Perubahan posisi pasien dengan kemungkinan kerusakan medula spinalis harus dilakukan secara perlahan, hati-hati dan dilakukan oleh cukup orang supaya lancar dan dapat mencegah terjadinya tekanan yang tidak perlu terhadap medula spinalis. Suksinilkolin harus dihindari karena penggunaannya dapat menyebabkan fasikulasi. Bila terdapat tekanan ICP meninggi, maka obat-obat depolarizer (suksinilkolin) hanya boleh dipakai apabila didahului dengan sedikit obat non depolarizing b. Penyakit dan trauma intrakranial. Perhatian utama pada hal ini adalah menghindari bertambahnya ICP. ICP dapat meningkat oleh : (a). Posisi kurang tepat dari pasien Obstruksi dari venous return akan meninggikan tekanan CSF. (b). Fasikulasi oleh obat depolarisasi. (c). Hiperkapnia oleh karena vasodilatasi serebral. (d). Penggunaan N2O (e). Pasien mengejan atau bergerak sebelum kranium terbuka. (f). Hidrasi yang berlebihan. (Longnecker, 2008) V. Kelainan Asam Basa Kelainan asam basa yang paling banyak dialami pada pasien bedah darurat adalah asidemia dengan etiologi metabolik maupun respirasi. Asidosis respiratorik sering terjadi pada keadaan hipoventilasi yang ditandai dengan penurunan kesadaran, atelaktasis, pneumothorax dan kontusio pulmoner. Penempatan ventilasi mekanik atau bantuan jalan napas definitive dengan cukupnya ventilasi semenit akan memperbaiki kejadian asidosis respiratorik. Asidosis metabolic (pH<7,35, HCO3<21 mEq) sering disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat hipovolemia dan perdarahan. Pengecualian antara lain kontusi jantung, tamponade atau pneumothorax tekan yang dapat mengakibatkan penurunan curah

jantung dengan volume intravaskuler yang realatif normal. Pertimbangan lain diantaranya asidosis laktat alkoholik atau ketoasidosis, ketoasidosis diabetic, dan cidera termal akibat karbonmonoksida. Untuk membedakan ketiga etiologi tersebut dibutuhkan pemeriksaan laktat serum, kadar keton urin, glucose darah, dan monitoring volume intravaskuler. Keparahan dari asidemia dapat dinilai dari pemeriksaan gas darah arterial, bikarbonat serium, dan defisit basa. Pada defisit basa -10mEq, efek kardiovaskuler menjadi bukti, termasuk disritmia, penurunan kontraktilitas jantung, peningkatan resistensi vaskuler pulmoner, hipotensi dan resistensi dari katekolamin eksogen. Kadar -14 mEq atau lebih mengindikasikan hipovolemi yang parah. Tingginya kadar laktat serum meyakinkan adanya aktivitas anaerobik dan asam laktat, namun, nilai ini dapat membaik secara perlahan setelah dilakukannya koreksi pH. Terapi definitif untuk asidosis metabolic membutuhkan koreksi dari etiologi yang mendasarinya. Langkah awal meliputi penatalaksanaan hypoxemia, ekspansi volume intravaskuler, memperbaiki kapasitas pengangkutan oksigen, dan memaksimalisasi kerja jantung. Terdapat perdebatan pendapat menganai penggunaan natrium bikarbonat pada kasus asidosis metabolik yang parah. Pendekatan tradisional adalah pemberian natrium bikarabonat jika pH menurun di bawah 7,2. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa alkalinisasi akan memperbaiki hemodinamik sistemik, dan akan merespon katekolamin. Hanya ada sedikit data yang mendukung penggunaan natrium bikarbonat ini untuk mengatasi asidosis laktat, dan tidak ada penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan hasil. Pada penelitian dengan model binatang, natrium bikarbonat dapat sementara meningkatkan tekanan darah sistemik dan pH, namun pH intraseluler tidak dapat diperbaiki. Asidemia bahkan dapat memburuk dangan perubahan enzimatik pada natrium bikarbonat, dan meningkatkankan kadar PaCO2. Ventilasi mekanis dan aliran darah pulmoner yang adekuat sangatlah penting untuk mengatasi peningkatan PaCO2 ini dan natrium bikarbonat harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang tidak mendapatkan bantuan ventilasi. Pergeseran ke kiri pada kurva disosiasi oksihemoglobin yang menurunkan distribusi oksigen jaringan merupakan kerugian dari natrium bikarbonat, dan dapat memperburuk hipoksemia. Hipernatremia, yang disebabkan oleh keadaan hiperosmoolar, serta hiperkalemia, merupakan faktor berbahaya lain dari pemberian natrium bikarbonat. Meskipun data pendukung yang tersedia sedikit, natrium bikarbonat masih secara luas digunakan sebagai penanganan sementara sebelum etiologi yang mendasari dapat dipastikan. Pengukuran defisit basa tubuh total ((berat badan/kg x 0,3 x (24HCO3)):2) dapat menjadi panduan terapi. Setengah dari defisit ini dikoreksi di awal dan diikuti oleh pengukuran gas darah ulangan. (Barash, 2001)

Premedikasi: Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan karena tidak adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi, premedikasi tetap diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi tidak betul-betul emergensi, dan pasien memerlukan dukungan psikologis. Hal ini sering terlupakan oleh personil yang bekeja di kamar bedah emergensi. Dokter anestesi dapat memberikan keterangan kepada pasien dengan hati-hati, perlahan dan tenang kenapa dan bagaimana proses anestesi akan dilakukan. Pemberian obat untuk menaikkan PH gaster, menurunkan volume gaster, meningkatkan tonus sphincter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi cairan gaster. Obat yang diberikan antara lain antasid, anticholinergik, H2 reseptor antagonis, dan metoclopramid. Obat tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu, tapi tidak 100% efektif, jadi tetap diperlukan tindakan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi selama induksi anestesi. (Morgan, 2006) Obat Antasid Antikholinergik Keuntungan Menetralkan pH gaster Meningkatkan motilitas GIT, mengurangi sekresi airway Menurunkan produksi cairan lambung : menurunkan volume gaster, meningkatkan pH gaster. Tidak menurunkan tonus sphincter gastroesofageal Metoclopramid Menurunkan volume gaster Meningkatkan tonus sphincter gastroosophageal (Stoelting, 2005) Kerugian Acid-rebound, milk alkali syndrome, menurunkan fosfor. Meningkatkan sekresi lambung, menyebabkan mual Tidak mempengaruhi volume atau pH isi gaster Efeknya baru ada bila diberikan 60-90 menit bila diberikan peroral atau IM Cimetidin dapat menyebabkan aritmia jantung bila diberikan intravena Dapat menimbulkan bronkhopasme pada pasien asthma Tidak meningkatkan pH gaster Dapat menimbulkan sedasi dan gejala ekstrapiramidal

H2-reseptor blocker

Klasifikasi Status Fisik : Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anaesteshesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat untuk mengetahui prognosa pasien, karena efek samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik,psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, (asma ringan, hipertensi terkontrol,) Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat , sehingga aktivitas rutin terbatas (gagal ginjal, CHF). Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat (AMI, gagal nafas). Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam kelas VI : Pasien untuk donor organ

Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E. (Longnecker, 2008) Teknik anestesi pada bedah darurat Tehnik terbaik dipilih oleh seorang anestesi tergangtung kemampuannya karena keterbatasan waktu untuk memilih metode apa yang dipilih. Pilihan tehnik tergantung pada jenis dan lama tindakan bedah, keadaan umum dan kooperasi pasien. Operasi yang besar hampir selalu mebutuhkan tehnik anestesi umum dengan intubasi trakea dan nafas kendali dengan bantuan obat pelumpuh otot. Cara ini menghindari pemakaian obat anestesi yang banyak dan memastikan oksigenisasi yang baik dan tidak ada kontra indikasi absolut untuk tehnik anestesi umum. Bila pasien kooperatif, anestesi regional dapat dipertimbangkan, khusus pada operasi ekstremitas maupun abdomen bawah. Cara ini dapat mencegah bahasa aspirasi seperti yang dapat terjadi pada pasien yang tidak sadar. Adapun kontra indikasi absolut untuk anestesi regional antara lain :
1. 2. 3. 4. 5.

Infeksi di daerah tusukan Pasien menolak Koagulopati Hipovolemi berat (pada neuraksial) Peningkatan TIK (pada neuraksial)

6.

Aorta dan mitral stenosis berat (pada neuraksial)

Sedangkan kontra indikasi relatifnya antara lain :


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Sepsis Pasien tidak kooperatif Terdapatnya kelainan neurologis sebelumnya Kelainan katup jantung stenosis (pada neuraksial) Deformitas tulang belakang yang berat (pada neuraksial) Toksisitas anestesi lokal (pada peripheral nerve block) Neuropati perifer (pada peripheral nerve block) (Morgan, 2006)

Pasien dengan lambung penuh sebaiknya dilakukan anestesi regional. Tetapi perlu diingat bahwa anestesi spinal atau epidural tidak mampu memberikan proteksi absolut terhadap aspirasi. (Barash, 2001) Intubasi Semua pasien emergensi harus dianggap memiliki lambung yang terisi penuh dan harus dilakukan penekanan krikoid selama dilakukan intubasi trakea dan ventilasi. Setelah dilakukan preoksigenasi dan hiperventilasi dengan menggunakan masker secara adekuat, efek yang merugikan dari intubasi terhadap TIK diredam dengan sebelumnya diberikan tiopental 2-4 mg/kg, atau propofol 1.5-3.0 mg/kg. Induksi cepat (RSI) dengan menggunakan ketamin atau etomidate disertai suksinilkolin sebagai pelumpuh otot, sering dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Pemberian dengan tehnik titrasi (incremental dose) dengan loading cairan sebelumnya mungkin dibutuhkan untuk meminimalisir efek samping kardiovaskuler.(Morgan, 2006) Ketamin dan etomidate dapat diterima jika digunakan dengan sesuai.Ketamin dapat memelihara tekanan darah melalui stimulasi simpatis indirek namun dapat mengakibatkan hipotensi paradoksikal pada pasien hipertensi kronik dengan deplesi katekolamin. Etomidate memiliki stabilitas kardiovaskuler yang lebih besar dari semua agen induksi sekunder dan efeknya yang kecil pada sistem saraf simpatis serta refleks otonom. Induksi menghasilkan penurunan yang minimal pada kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik. Suksinilkolin (1-1,5 mg/kg) adalah relaksan otot pilihan untuk menghasilkan paralisis otot dengan onset cepat yang dibutuhkan untuk laringoskopi dan intubasi. Onsetnya kurang dari 60 detik dan durasi aksinya hanya 5-10 menit pada sebagian besar kasus. Suksinilkolin berhubungan dengan komplikasi seperti hiperkalemia, aritmia, peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan intraokuler, serta hipertensi maligna. Saat

ini diyakini bahwa suksinilkolin aman untuk pasien dengan cidera yang terlihat jelas namun harus dihindari pda cidera medulla spinalis atau luka bakar yang telah terjadi 24 jam atau lebih. Rocouronium (1-1,5 mg/kg) merupakan alternatif relaksan otot nondepolarisasi yang lebih baik dibandingkan dengan suksinilkolin dalam hal keamanannya. Rocuronium mampu menghasilkan kondisi intubasi dalam 60-90 detik, namun memiliki durasi aksi yang hampir sama dengan vecuronium (digunakan secara hati-hati pada pasien dengan difficult airway) (Miller, 2000) Pada keadaan seperti nyeri, syok, trauma, kehamilan dapat memperlambat pengosongan lambung sehingga tindakan anestesi sering menghadapi bahaya aspirasi dan regurgitasi. Intubasi endotrakea dalam keadaan pasien sadar dengan anelgesi topical (setempat) adalah tehnik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher, perdarahan usus. Intubasi sadar dilakukan bila tindakan intubasi diprediksi akan mengalami kegagalan. Intubasi sadar sulit dilakukan pada anak, serta merupakan kontra indikasi relatif pada trauma mata terbuka, trauma kepala atau abdomen terbuka karena dapat merangsang reflek batuk dan mengejan. (Barash, 2001) Tehnik Rapid Sequence Induction Teknik melakukan RSI berbeda dari induksi yang rutin dilakukan, yaitu 1. Pasien selalu dilakukan preoksigenasi sebelum dilakukan induksi. 4 kali tarikan nafas maksimal dari oksigen sudah cukup untuk denitrogenasi paru normal. Pasien dengan penyakit paru memerlukan 3-5 menit preoksigenasi. 2. Prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi mungkin mencegah peningkatan tekanan intraabdomen yang berhubungan dengan fasikulasi yang disebabkan oleh suksinilkolin. Tahap ini sering ditinggalkan, meski tahap ini dapat menurunkan tonus spingter oesophagus bagian bawah. Jika recorunium dipilih untuk relaksasi, dosis priming kecil (0,1 mg/kgbb) diberikan 2-3 menit sebelum induksi mungkin mempercepat onset obat. 3. Blade yang besar dan tube endotracheal disiapkan sebelumnya. Sebaiknya dimulai dengan memakai stilet dan nomor tube endotracheal satu sampai setengah nomor dibawah biasanya, untuk memeaksimalkan kemudahan melakukan intubasi. 4. Asisten melakukan penekanan ringan diatas kartilago krikoid sesaat setelah induksi (Sellicks Manuver). Karena kartilago krikoid terbentuk cincin yang tidak putus dan tidak kempes, tekanan diatas menekan jaringan dibawahnya. Oesophagus menjadi kolaps, dan secra pasif regurgitasi cairan lambung tidak dapat mencapai hipofaring. Tekanan pada krikoid yang berlebihan (lebih keras daripada yang ditoleransi orang pada umumnya) dapat menyebabkan ruptur dinding oesophagus posterior. 5. Tidak ada pemberian tes dosis dari tiopental. Dosis induksi diberikan secara bolus. Seharusnya dosis ini dimodifikasi bila ada indikasi bahwa sistem

kardiovaskular pasien tidak stabil. Agen RSI lain dapat menggantikan thiopental.(seperti propofol, ketamin) 6. Suksinilkolin (1,5 mg/kgbb) atau rocuronium (0,9 -1,2 mg/kgbb) dapat diberikan segera setelah tiopenthal, walaupun pasien belum hilang kesadarannya. 7. Pasien tidak dilakukan ventilasi positif, untuk menghindari pengisian udara perut dimana hal ini dapat meningkatkan risiko regurgitasi. Setelah reflek spontan pasien berhenti atau respon otot terhadap rangsang hilang, pasien segera mulai di intubasi. Penekanan pada cricoid dipertahankan sampai cuff tube endotracheal sudah dikembangkan dan posisi tube sudah pasti. Modifikasi dari RSI klasik memperbolehkan ventilasi yang gentle selama tekanan krikoid dipertahankan. 8. Bila intubasi mengalami kesulitan, tekanan pada krikoid dipertahankan sampai dan pasien diventilasi secara gentle dengan oksigen sampai usaha intubasi berikutnya dapat dilakukan. Tekanan yang diberikan tidak lebih dari 25 cm H2O. Bila intubasi tetap tidak berhasil, ventilasi pasien harus dispontankan kembali dan dilakukan intubasi sadar. 9. Setelah selesai pembedahan, pasien harus diekstubasi setelah reflek-reflek jalan napas kembali dan kesadaran sudah pulih. (Barash, 2001) Crash induction Crash induction dilakukan pada pasien dengan curiga lambung penuh. Tatacaranya tidak jauh berbeda dengan RSI, yaitu : i. Posisi Trendelenburg dalam, sehingga isi lambung akan turun ke faring, bukan ke paru-paru. ii. Oksigenasi minimal 5 menit

iii. Tubokurarin 3 mg atau pankuronium 1 mg disuntikkan secara intravena untuk mencegah fasikulasi yang menaikkan tekanan intragastrik dan menimbulkan regurgitasi. iv. Obat induksi anestesi disuntikkan dengan cepat, diikuti oleh suksinilkolin (bila tidak ada kontra indikasi). v. Jangan diventilasi, dan pembantu harus menekan trakhea secara keras terhadap esofagus segera setelah pasien tidur. vi. Segera setelah otot lemas maka tube endoktrakheal harus dimasukkan ke dalam, dan balonnya segera ditiup. vii. 1991) Syarat penting bahwa alat pengisap disiapkan setiap saat (Darmawan,

BAB III KESIMPULAN

Insiden bedah darurat meningkat dari tahun ke tahun. Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Pelaksanaan pembedahan darurat memerlukan penanganan khusus dalam bidang anestesi karena terdapat perbedaan mencolok untuk

persiapan pre operasi darurat dengan elektif. Penanganan awal dimulai dari primary survey (Airway, Breathing,Circulation,Disability, Exposure) hingga secondary survey yang juga meliputi penanganan pada komplikasi kegawat daruratan trauma abdomen yaitu berupa perforasi, perdarahan, syok dan juga peningkatan resiko regurgitasi lambung pada kasus pembedahan darurat. Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik terhadap pasien dan faktor-faktor pembedahan. Sehingga dapat dipertimbangkan pemakaian tehnik anestesi tersebut menurut indikasi karena pada pembedahan darurat, pemakaian anestesi umum memberikan risiko lebih besar dari pada anestesi lokal dan risiko anestesi spinal tidak lebih kecil daripada anestesi umum.

Daftar Pustaka

Barash, PG., et al. 2001. Clinical Anesthesia 4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Philladelphia. USA

Darmawan,Iyan., 1991. Analgesi Umum dan Spinal dalam anestesiologi Edisi 9. EGC, Jakarta. Indonesia Hazinki, MF., et al. 2010. American Heart Association Guidelines for CPR and ECC 2010. Dallas, Texas, USA. Imarengiaye, C., 2005. Anaesthetic Management Of Surgical Emergencies. Journal of Postgraduate Medicine. Pp : 40-5 Landreau, B., et al. 2009. Pulmonary aspiration: epidemiology and risk factors. Ann Fr Anesth Reanim. 2009 Mar ;28(3). Pp:206-10 Longnecker, DE., et al, 2008. Anesthesiology. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA Miller, RD., 2000. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York. USA Morgan, GE., et al. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA Stoelting, RK., et al. 2005. Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice 2nd edition. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Philladelphia. USA

You might also like