You are on page 1of 13

MAKALAH STUDI ISLAM

BAIK BURUK, BENAR SALAH, TINJAUAN AKHLAK ISLAMI

Disusun Oleh: Ana Yuliana Ida Ayu Purnama Inten Novita Sari Khairul Bahtiar Azhar Niekha Zoelinna Nova Sari Aulia 1111102000000 1111102000036 1111102000000 1111102000000 1111102000000 1111102000000

Kelompok: 7 Kelas: II B-D

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012

BAIK BURUK, BENAR SALAH, TINJAUAN AKHLAK ISLAMI

A. Antara Akhlak dan Etika Kata akhlak merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab, berarti perangai, tingkah laku atau tabiat. Secara terminology, akhlak berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibn Miskawaih, Al-Ghazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Kata akhlak, sering disinonimkan dengan moral dan etika. Ketiganya berhubungan dengan tingkah laku manusia, juga dengan kebaikan dari tingkah laku manusia. Namun, landasan ideologi ketiganya berbeda. Akhlak dilandaskan dari agama, etika dilandaskan oleh pemikiran filsafat, dan moral dilandaskan pada tradisi dan budaya. Etika senantiasa disebut dengan ilmu tentang moralitas, yang menyelidiki tingkah laku manusia. Sedangkan moral adalah ajaran tentang baik, buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti. Moral juga dituju untuk menggambarkan istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, dan buruk. Etika menjadi alat untuk mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Itu sebabnya kata tidak bermoral dan tidak etis berhubungan dengan apa yang berkembang dalam tradisi serta budaya masyarakat. Etika merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk. Ukuran yang digunakan untuk menilai suatu perbuatan adalah akal pikiran. Dalam term bahasa Indonesia, etika dapat dinyatakan sebagai ilmu tentang perilaku manusia, moral sebagai ajaran mengenai tingkah laku

manusia. Itu sebabnya, akhlak dalam terminologi bahasa, ada yang disebut akhlak mulia dan akhlak tercela. Apabila kata akhlak dikaitkan dengan Islam, maka akhlak merupakan perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai Islam. Karenanya, tidak dikenal akhlak tercela, yang ada hanya al-Akhlak al-Karimah yang artinya akhlak mulia. Akhlak mulia ini dilandaskan pada tuntunan yang terdapat dalam alQuran dan Sunnah. Akhlak ini, secara garis besar terbagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Khalik atau pencipta yaitu Allah Swt. dan akhlak terhadap makhluk . Makhluk adalah segala yang diciptakan oleh allah, yang dibagi menjadi dua bagian yaitu manusia dan bukan manusia. Akhlak terhadap manusia terdiri dari akhlak terhadap Nabi dan Rasul, akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap keluarga, terhadap masyarakat, terhadp bangsa, dan hubungan antar bangsa. Akhlak terhadap selain manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tehadap benda mati, terhadap alam nabati atau flora, dan terhadap alam hewani atau fauna. Ajaran tentang dasar-dasar agama Islam ini, terangkum dalam iman, islam, dan ihsan. Sumber pijakan akhlak pada al-Quran dan Sunnah merupakan perbedaan prinsip dari akhlak dengan etika, budi pekerti, moral, dan sebagainya. Ukuran penilaian terhadap akhlak adalah al-Quran, itu sebabnya ketika Siti Aisyah diminta untuk mendeskripsikan akhlak Nabi Muhammad Saw. beliau menjawab, akhlak Nabi adalah akhlak al-Quran. Pada perkembangannya, akhlak karena identik dengan Islam, mulai direduksi oleh penganutnya. Alasannya utamanya, karena akhlak tidak nasional dan tidak internasional. Akhlak bahkan tampak menjadi tidak ilmiah, kaena tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam kaidah ilmiah. Maka di era modern ini, ajarn-ajaran tentang akhlak digantikan dengan ajaran-ajaran etika, dengan melandaskan pada moral dan adat yang berkembang di masyarakat. Etika dipandang sebagai deskripsi dari nilai-nilai universal yang dianut oleh manusia. Etika dianggap mengadaptasi nilai dan norma, dan dapat mengadaptasi dengan kebiasaan yang ada di masyarakat. Padahal, kita telah melihat bagaimana adat yang berkembang di masyarakat, tidak selalu mampu memenuhi nilai dan norma kebaikan yang universal.

Bagi Islam, orang tua perilaku dihormati tida hanya dengan perbuatan tapi juga dengan ucapan. Mengucap ah saja sudah menjadi bagian dari ketidakharmonisan. Akan tetapi, bagi masyarakat barat, memanggil orang tua dengan nama panggilannya saja tidak masalah. Sama tidak bermasalahnya dengan mengabaikan nasihat mereka, sebab informasi terbaik berdasar pada akal tidak pada lainnya. Untuk memahami etika, perlu dipahami terlebih dahulu ruang lingkupnya. Etika dibedakan menjadi etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika. Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral dalm arti yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda dalam suatu masyarakat atau individu yang berbeda dalam suatu masyarakat atau individu yang berada dalam kebudayaan tertentu atau yang berada dalam kurun atau periode tertentu. Norma atau aturan tersebut ditaati oleh individu atau masyarakat yang berasal dari kebudayaan atau kelompok tertentu. Misalnya, masyarakat jawa yang berbicara dalam ragam bahasa sesuai dengan kedudukan dan kasta-nya, hingga jika ada yang berbicara tidak sesuai dengan keragaman bahasanya, akan dipandang tidak etis. Bagian yang dianggap penting dalam studi etika adalah etika normatif. Ketika mempelajari etika normatif muncul berbagai studi atau kasus yang berkaitan dengan masalah moral. Etika normatif merupakan etika yang mengkaji tentang apa yang harus dirumuskan secara rasional dan bagaimana prinsip-prinsip etis dan bertanggung jawab itu dapat digunakan oleh manusia. pada rumusan itu ditentukan mana yang disebut dengan bagain dari yang baik dan mana yang bagian buruk. Metaetika adalah kajian etika yang membahas tentang ucapan atau kaidah-kaidah bahasa aspek moralitas, khususnya yang berkaitan dengan bahasa etis. Ukurannya adalah logika, apakah bahasa ini layak digunakan pada situasi tertentu? Atau apakah bahasa ini tidak layak disampaikan? Semuanya dikaji dalam metaetika. Meski dalam beberapa hal apa yang disebut etis juga berakhlak, namun tak semua yang etis dapat dikatakan berakhlak. Ukuran utamanya adalah perbedaan sumber ajaran. Akhlak karena dilandaskan pada al-Quran dan Sunnah, sifatnya fix dan tak berubah-ubah. Seorang laki-laki tidak

diizinkan menikahi laki-laki adalah ketentuan yang fix dan tidak bisa dirubah, meski tabiat itu kini tampak diizinkan dengan alasan hak asasi manusia. Ini menjadi perbedaan yang signifikan antara akhlak dan etika. Akhlak dengan kekuatan al-Quran dan Hadis, bersifat tetap dan untuk kepentingan manusia. Memang, ada banyak orang yang menentang ketentuan al-Quran dan Hadis ini. Namun, fakta menyatakan bahwa mereka yang menentng karena perilaku mereka telah menyimpang dari akhlak. Apapun alasan mereka, dengan dalih Hak Asasi Manusia, penyimpangan akhlak akan merusak dan mengganggu stabilitas sosial. Sehingga, tak ada alasan yang bisa dibenarkan ketika terjadi penyimpangan akhlak. Kekuatan utama lain dalam akhlak yang menjadi dasar perilaku dan sikap seorang muslim. Ketika seorang muslim melakukan sesuatu, mereka akan senantiasa meyakini bahwa Allah melihat apa yang kita kerjakan, dan para malaikat mencatat seluruh pekerjaan kita. Keyakinan ini dapat membantu muslim bersikap dan bertingkah laku dalam koridor yang telah ditetapkan oleh agama. Persoalan yang mengemukakan dari koridor ini adalah banyaknya penafsiran al-Quran yang menciptakan perbedaan-perbedaan. Akan tetapi, sepanjang perbedaan itu tidak esensial dan tidak melewati ayat-ayat muhkamat, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Misalnya saja,

persoalan bersentuhan tangan, yang ditafsirkan berbeda-beda dalam mahzab Islam. Jumhur berpendapat bersentuhan tangan dapat membatalkan wudhu, dan menjadi dalil untuk larangan bersentuhan tangan antara dua orang yang bukan muhrim. Akan tetapi, sebaian imam lainnya tidak menganggap bersentuhan fisik tersebut terbangkitkan syahwat. Perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan, karena mungkin ada kebutuhan tertentu, dimana manusia harus bersentuhan fisik. Pada kendaraan umum misalnya, ketika berdesakdesakkan, akan sulit dihindari terjadinya sentuhan fisik, juga dengan non muslim, kontak fisik dalam perjanjian bisnis terkadang mengharuskan muslim berjabat tangan langsung. Akan tetapi, berbeda dengan hidup serumah tanpa pernikahan, atau juga dengan hubungan sesame jenis. Ketentuan pernikahan telah ditetapkan secara jelas dan mutlak. Bahwa hanya laki-laki dan perempuan yang dapat

berpasangan, dan syarat untuk menjadi pasangan yang utuh adalah melalui pernikahan yang ketentuannya telah ditentukan oleh agama. Akhlak menjadi landasan spiritual bagi perkembangan sufi dan tarikat, akhlak juga menjadi landasan spiritual bagi proses keimanan dan keislaman. Sehingga dalam Islam, setiap tingkah laku manusia harus selalu ada dalam ranah ibadah. Ranah pengabdian terhadap Allah Swt.

B. Hakikat Baik dan Buruk Para filosofi dan teolog sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakuan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya? Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa manusi memiliki dua potensi kelakuan yaitu kelakuan baik dan buruk, seperti yang diuraikan dalam al-Quran antara lain: QS. Al-Balad 90:10. Disebutkan pula dalam QS. AsSyams 91:7-8; Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan. Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia dari kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. Secara alamiah manusia itu positif (fithrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Dengannya manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar), cenderung kepada yang benar (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Secara implicit al-Quran menginformasikan bahwa manusia memiliki tiga aspek pembentuk totalitas yang secara tegas dapat dibedakan, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek itu adalah jismiyah (fisik, biologis), ruhaniyah (spiritual, transendental), dan nafsiyah (psikis, psikologis).

Jismiyah merupakan aspek material yang substansi sebenarnya mati. Kehidupannya adalah karena dimotori oleh substansi lain, yaitu nafs dan ruh. Dengan kata lain aspek jismiyah ini bersifat deterministik-mekanistik. Struktur ruh memberikan ciri khas dan keunikan tersendiri bagi psikologi Islam. Ruh merupakan substansi psikologis manusia yang menjadi esensi

keberadaannya. Ruh membutuhkan jasad untuk aktualisasi diri. Sampai saat ini belum ada yang memahami hakikat ruh secara pasti, karena ruh merupakan sebuah misteri ilahi. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa ruh merupakan urusan dan atau hanya dipahami oleh Allah. Manusia sama sekali tidak memahaminya kecuali sedikit (QS. Al-Isra:85). Bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Fungsi ini muncul dari dimensi alruh atau spiritual (sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya). Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Nafs memiliki esensi gaungan antara jasad dan ruh. Apabila ia berorientasi pada jasad maka tingkah lakunya menjadi buruk dan celaka, tetapi apabila mengacu pada ruh maka kehidupannya menjadi baik dan selamat. Dengan kata lain nafs dipersiapkan untuk dapat meampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk. Indikator-indikator terhadap berlaku baik dan buruk, dituturkan misalnya, seperti dinyatakan oleh Al-Hasan: Akhlaq yang baik adalah menghadapi manusia dengan wajah cerah, memberi bantuan setiap kali diperlukan, serta menjaga diri dari pada mengganggu orang lain. Menurut Al-Washithiy: Akhlaq yang baik, adalah keadaan seseorang yang tidak mau berkata ataupun diajak bertengkar oleh siapapun, disebabkan marifatnya yang mendalam berkaitan dengan Allah SWT. Syah Al-Karmaniy berkata: Akhlaq yang baik adalah mencegah diri sendiri daripada mengganggu orang lain, serta bersabar dalam melakukan kewajiban, betapapun beratnya. Alwashithy juga pernah berkata: Berakhlaq baik adalah dengan membuat orang lain merasa puas, baik di kala sedang kesusahan maupun kesenangan. Sahl A-tusturiy pernah ditanya tentang akhlaq yang baik lalu ia

menjawab: Sedikitnya seorang yang berakhlaq baik akan selalu tabah menghadapi kesulitan tidak mengharapkan balasan atas apa yang

dilakukannya, mengasihani orang yang melakukan kedzaliman terhadapnya, dan memohonkan ampunan baginya serta mengasihinya.

C. Ukuran Baik dan Buruk Ukuran ialah standar perhitungan, ini biasanya digunakan dalam menjelaskan definisi berat, jumlah atau juga angka. Baik dan buruk merupakan karakter, sehingga sifatnya abstrak dan sulit diukur dalam konten definisi. Yang paling mudah adalah melihat indicator dari baik dan buruk. Indikator ini diukur melalui sisi kepantasan yang basisnya adalah fitrah manusia. Meski banyak pihak yang menyebutkan bahwa fitrah ini akan berkembang dengan perkembangan lingkungan dan zaman, namun tetap ada nilai-nilai universal yang diakui semua pihak sebagai sebuah dasar karakter manusia. Menurut para pakar pendidikan, ada hal-hal yang dapat dijadikan alat untuk melihat ukuran baik dan buruk, yakni: Pengaruh adat kebiasaan; manusia sangat dipengaruhi oleh

lingkungannya. Adat istiadat melekat pada lingkungan dimana manusia tinggal. Kekuatan adat istiadat memberi hukum kepada manusia sebelum manusia tmbuh dan memahami ligkungannya. Adat istiadat menganggap baik bila mengikutinya dan menanam perasaan kepada mereka bahwwa adat istiadat itu membawa kebenaran. Apabila seseorang melanggar adat istiadat yang berlaku, di akan dicela dan dianggap keluar dari lingkungan yang seharusnya. Adat istiadat terbentuk dari (a) pendapat umum yang diyakini oleh kebanyakan masyarakat di satu wilayah; (b) apa yag diriwayatkan secara turun-temurun dari hikayat dan khurafat, dan dipercayai secara penuh oleh masyarakat setempat. Pemahaman erhadap adat-istiadat ini biasanya terpatahkan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan terjadinya akulturasi budaya. Ilmu pengetahuan yang berhasil menemukan rasionalisasi budaya dengan serta merta melepaskan kekuatan adat istiadat, karena dianggap tidak rasional dan

logis. Akulturasi budaya, membawa pembaruan terhadap adat istiadat yang berkembang. Paradigma dan mindset; pengalaman eksternal kita, yaitu apa yang kita lihat secara sensori, akan menstimulasi pengalaman lain dalam dunia internal kita, pada pola pikir atau mindset. Mindset atau paradigma adalah sebuah pola, model kerangka berpikir atau sudut pandang, yang digunakan untuk melihat dan memberi makna terhadap dunia di hadapan kita. Ilmu Pengetahuan; dengn potensi akal pikiran manusia, Allah

memerintahkan manusia untuk berpikir dan mengelola alam semesta serta memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan

kesejateraan hidup manusia. Berpikir bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan faktor-faktor lain yang saling mempengaruhi. Intuisi; merupakan kekuatan batin yag dapat mengenal sesuatu yang baik dan buruk dengn sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Ituis dipandang sebagai sebuah kemampuan yang secara kodrati dapat member instrumen yang membedakan baik dan buruk. Evolusi; benar dan salah dalam teori evolusi dipandang berhubungan dengan perubahan zaman. Mereka mempercayai evolusi menilai bahwa akhlak harus ikut berkembang sesuai dengan perkembangan social dan budaya. Dalam Islam, ukuran baik dan buruk, bersifat tetap, karena apa yang termaktub dalam al-Quran dan Hadist, menjadi wajib untuk dilakukan. Apa yang wajib dan apa yang haram dengan tegas dijelaskan oleh alQuran dan hadist, adapun hal-hal yang kemudian berkembang setelah masa Nabi, atau karena tidak ada di masa Nabi.

Berakhlak dan Beretika Profesi Profesi , berhubungan dengan professional, yakni keahlian seseorang bterhadap bidan yang digelutinya. Mereka yang professional adalah orang-orang yang

mengandalkan ketrampilan khusus yang menuntut pengemban profesi tersebut untuk terus memperbaharui ketrampilannya sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk menjadi professional, Bartono dan Novianto menyebutkan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Seorang professional mempunyai sikap mental positif terhadap pekerjaannya 2. Staying power 3. Mampu bekerja sama dengan orang banyak 4. Inginterus menambah kemampuan dengan belajar 5. Pengalaman yang cukup dan setara dengan profesinya 6. Mengutamakan kualitas 7. Menguasai dasar-dasar pekerjaan atau profesinya Ketujuh syarat tersebut dikaitkan dengan etika profesi, yakni artinya mereka yang professional adalah yang mematuhi setiap kode etik profesi. Adanya kode etik profesi akan mencegah anggota profesi melakukan hal-hal yang tidak etis yang memungkinkan profesi tersebut menjadi tidak dihargai oleh masyarakat. Pemahaman tentang profesi dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang tinggidengan melibatkan komitmen pribadiyang mendalam. Profesi mempunyai tuntutan yang sangat tinggi, bukan hanya dari dalam tapi juga dari dalam diri sendiri. Tuntutan ini bukan hanya menyangkut keahlian, tapi juga komitmen moral ; tanggung jawab, keseriusan, disiplin dan integritas pribadi. Profesi masih dibedakan lagi profesi khusus yang disebut profesi luhur. Profesi luhur menekankan pengabdianatau pelayanan kepada masyarakat pada umumnya melebihi hal-hal umum lainnya. Jadi, profesi ini tidak semata-mata atas kebutuhan memenuhi nafkah hidup, tapi juga berkenaan dengan pelayanan terhadap masyarakat. Misalnya pada profesi dokter, penasehat hukum, hakim, jaksa, rohaniawan, tentara dan sebagainya. Orang-orang berprofesi ini dituntut untuk lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi. Sayangnya, perkembangan masyarakat agak mengubah citra profesi luhur ini. Profesi luhur itu kini malah diperdagangkan dengan harga tinggi dan ketentuan-ketentuan kapitalistik. Terlepas dari kenyataan bahwa dokter, penasehat hukum, hakim, dan jaksa yang mengabdi pada masyarakat.

Sedangkan etika yang secara definisi menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam garis niali moral dan norma, hakikatnya bersumber dan bermuara pada akhlak. Kehadiran etika pada profesi, menjadi pagar atas perilaku para professional dalam menjalankan profesinya. Etika profesi menekankan kejujuran, tanggung jawab, dan itikad moral, dan ini berkenaan langsung dengan akhlak manusia. Bahkan jika etika hendak dirujuk pada bagaimana sanksi berlaku pada orang-orang yang melanggar kode etik, maka akhlak akan jauh melampaui lingkup seluruh kode etik. Dalam pelanggaran kode etik, sanksi ditetapkan bertahap dalam pembuktian yang juga rawan penyimpangan. Akibatnya pelanggaran kode etik, hingga kini sulit diberikan sanksi sebab pembuktian sendiri menjadi ajang yang dapat

diperjualbelikan. Berbeda dengan akhlak, pelanggaran dalam akhlak sepenuhnya ada dalam kuasa Illahi. Meskipun tak dapat dibuktikan secara ilmiah dan empiris, namun penyimpangan terhadap akhlak member efek yang cukup luar biasa bagi perkembangan jiwa manusia. Realitasnya, akhlak dan etika adalah benteng, aturan bagi perilaku manusia. Akhlak berpedoman pada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, akan memiliki cakupan yang lebih luas dari etika. Dengan sanksi yang jauh mengarah kepada jiwa manusia, akhlak memberi efek lebih personal. Etika yang berlekatan dengan nilai dan moral, selalu memiliki kecenderungan yang lebih fleksibel. Dengan kapitalistik, kebebasan individu yang diagung-agungkan menjadi sah ketika hak asasi lebih diprioritaskan disbanding kepentungan masyarakat. Dengan komunisme, Negara menjadi sah berlaku tidak adil pada kebutuhan masyarakat. Akhlak menjadi pilar yang paling seimbang bagi perilaku manusia.

Nilai Ibadah dalam Akhlak Esensi spiritual Islam adalah realisasi dan keEsaan, sebagaimana terungkap dalam Al-Quran, berdasarkan teladan kenabian. Tujuan dari spiritualitas ini adalah memperoleh sifat-sifat Ilahidengan jalan meraih kebaikan-kebaikanyang dimiliki

kadar sempurna oleh Nabi. Kehidupan spiritual didasarkan pada rasa takut yang disertai oleh penghormatan kepada Allah serta kepatuhan pada kehendak-Nya, kecintaan kepada-Nya, dan pengetahuan tentang Allah yang merupakan wujud tertinggi penciptaan-Nya. Islam melalui Al-Quran menegaskan bahwa, manusia dihadirkan ke dunia untuk menyembah Allah SWT (QS. Al-Dzariyat 51-56). Menurut Islam, menyembah atau ibadah merupakan upaya mengenal Allah. Menyembah Allah adalah mengetahui siapa Tuhan dan siapa hamba, siapa yang absolute dan siapa yang relative. Siapa pencipta dan siapa ciptaan. Ibadah merupakan upaya mengenal Dia yang memiliki hak penuh atas eksistensi dan sifat-sifat yang berlimpah, dan siapa sesungguhnya yang hanya memiliki sifat reseptivitas. Akhlak adalah amal ibadah yang mengantarkan kita pada ubudiyyah, kesadaran spiritual. Amal akan mengantarkan kita pada ujung jalan, yaitu ubudah, kesadaran spiritual akan ketergantungan radikal hamba pada Allah, Islam meyakini bahwa beragama adalah fitrah manusia yang akan mengarahkan manusia pada upaya mencari Tuhan. Karena fitrahnya, manusia akan selalu merasa gelisah saat melakukan perbuatan buruk. Maunusia pada hakikatnya adalah ingin berbuat baik, jika ia berbuat buruk, maka dipastikan seterusnya akan merasa tidak tenag dan gelisah. Abd (hamba) mengacu pada kualitas semangat Nabi dalam mengungkapkan kepasrahan ontologism dan moral dari makhluk terhadap penciptanya, yakni rasa takut. Setingkat lebih tinggi dari Abd adalah Habib, yang dilandaskan kepada Nabi Muhammad Saw atas sikap menghamba-nya yang bukan hanya sekedar hubungan antara Tuhan dengan Budak-Nya. Habib lahir dari pemikiran bahwa manusia adalah makhluk yang benar-benar dipercaya oleh Sang Khalik. Akhlak berasal dari kata khalaqa yang artinya diciptakan. Akhlak adalah berperilaku seperti apa yang diharapkan oleh Sang Maha Pencipta. Itu sebabnya, dalam akhlak ada nuansa ibadah, pengabdian terhadap apa yang diberikan oleh Allah. Bagi para sufi, akhlak adalah ekspresi persahabatan yang dekat dengan Tuhan. Persahabatan ini begitu dekat, hingga berakhlak dimaknai para sufi dengan

berperilaku seperti apa yang dikehendaki oleh Allah. Sebagaimana Tuhan mengekspresikan cinta-Nya di alam semesta.

You might also like