You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara yang

berlandaskan atas atas hukum. Sebagai Negara hukum perlulah menentukan asas legalitas dalam rangka pembangunan dibidang hukum, maka Pasal 1 ayat (1) KUHPidana meneybutkan:1 Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan pidana dalam Perundang-Undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakuakan Dari apa yang diatur diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Undang-Undang Hukum Pidana itu tidaklah dapat diberlakukan surut. Ratio dari ketentuan ini sangatlah penting, yaitu adar terdapat suatu kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan realitas dari pada asas legalitas, oleh karena disana tercermin perlindungan manusia terhadap kekerasan yang ada pada pemerintah, sehingga akan memberikan tempat, harkat dan martabat manusia seutuhnya. Pidana pada hakekatnya hanyalah sebuah alat yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan. R. Soesilo menggunakan istilah hukuman untuk menyebut istilah pidana, bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak Moelyanto, Terjemahan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Cetakan ke-X, 1978, hlm 33
1

(sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat dari susunan sanksi pidana dalam system pemidanaan di Indonesia, yang terdapat dalam Buku I Pasal 10 KUHP. 2 Berikut adalah tindak pidana yang diancam hukuman mati yang diatur dalam KUHP dan diluar KUHP: a. Di dalam KUHP, anatara lain: 1. Makar, Pasal 104 2. MEngajak Negara asing guna menyerang Indonesia, Pasal 111 ayat (2) 3. MEmberika pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang, Pasal 124 ayat (3) 4. MEmbunuh Kelapa Negara, Pasal 140 ayat (3) 5. Pembunuhan berencana, Pasal 340 6. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya yang menjadikan ada orang terluka berat atau mati, Pasal 365 ayat (3) 7. Pembajaakn dilaut, pesisir, dipantai dan dikali sehingga ada orang yang mati, Pasal 444 8. Pada waktu perang menganjurakan huru-hara pemberontakan Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tijauan Ringkas Sistem Pemidanann di Indonesia, Akadewika Pressindo, Jakarta, 1983, hlm 31
2

dan sebagainya, Pasal 124 bis 9. Pemerasan dengan pemberatan, Pasal 368 ayat (2)

b. Di luar KUHP, antara lain 1. Undang-Undang Darurat 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika 3. Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 4. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 5. Undang-Undang No 15 dan 16 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dalam penulisan ini, penulis ingin membahas ancama pidana mati dalam tindak pidana narkotika. Undang-Undang No 22 Tahun 1997 mengatur mengenai masalaah Narkotika. Untuk ancaman pidana mati juga diatur dalam Undang-Undang ini. Kausalitas yang terkait dengan hukum pidana dalam pemaknaan what ought to be done maksudnya adalah hubungan sebab akibat dalam ancaman pidana mati dalam tindak pidana narkotika di Indonesia dihubungan dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Nerkotika. Berdasarkan kausalitas yang terkait dengan hukum pidana dalam

pemaknaan what ought to be done dan alasan-alasan yang disebut diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun paper dengan judul : Kausalitas dalam ancaman pidana mati yang terkait dengan hukum pidana dalam pemaknaan what ought to be done

B. Identifikasi Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan kausalitas yang terkait dengan hukum pidana dalam pemaknaan what ought to be done? 2. Bagaimanakah pelaksanaan pidana mati terhadap tindak pidana narkotika di Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

C. Pengertian Kausalitas Teori hukum murni (the Pure Theory of Law) adalah teori hukum positif tetapi bukan hukum positif suatu sistem hukum tertentu melainkan suatu teori hukum umum (general legal theory). Sebagai suatu teori tujuan utamanya adalah pengetahuan terhadap subyeknya untuk menjawab pertanyaan apakah hukum itu dan bagaimana hukum dibuat. Bukan pertanyaan apakah hukum yang seharusnya (what the law ougth to be) atau bagaimana seharusnya dibuat (ought to be made). Perbuatan yang ditentukan dalam aturan hukum dituntut tanpa adanya kebutuhan adanya keinginan dalam makna psikologis. Hal ini diekspresikan dengan kata one shall atau one ought untuk mengikuti perbuatan yang ditentukan oleh hukum. Suatu norma adalah suatu aturan yang mengekpresikan fakta bahwa seseorang harus (ought) bertindak dengan cara tertentu, tanpa mengimplikasikan bahwa sungguh- sungguh menginginkan orang tersebut bertindak demikian. alam kondisi tertentu suatu sanksi harus (ought to) ditetapkan, maka konsep harus (ought) tidak identik dengan konsep kewajiban hukum. aturan yang diharapkan individu akan menyesuaikan perbuatannya, yang dia rasakan diwajibkan untuk melaksanakan atau mematuhi, hanya dapat berupa suatu keharusan ought, bukan sesuatu yang nyata is. Kelsen mendefinisikan suatu norma sebagai ekspresi dari ide...bahwa

seorang individu harus (ought) untuk berbuat sesutu dengan cara tertentu. Ought adalah simbol mewakili kelas khusus dari kosa kata yang digunakan untuk membuat suatu norma. Namun kategori dari bahasa ought ini tidak dijelaskan, kecuali dengan melawankannya dengan kategori is. Pada bagian lain Kelsen juga mendefinisikan ought sebagai maksud dari tindakan kehendak (meaning of act of will) yang berarti menolak argumen awalnya tentang pembuatan hukum bukan sebagai ekspresi kehendak dalam legislasi. Sebelum hukum pidana mengenal ajaran kausalitas (abad 19), masyarakat memandang bahwa melukai sebagai satu-satunya penyebab matinya orang. Kemudian muncul pendapat yang lebih kritis yang mengatakan tidak semua tindakan melukai dapat mengkibatkan kematian tetapi harus dilihat dulu apkah luka itu menurut sifatnya dapat mengkibatkan matinya orang. Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3 teori yang beasar, yaitu: 1. Teori Conditio Sine Qua Non Teori berasal dari Von Buri, seorang ahli hkum jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtgetricht (Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku mengenai hokum ialah (1) Uber Kausalitat und deren Verantwortung, dan (2) Die Kausalitat und ihre Strafrechtliche Beziebungen. Tentang ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau

dalam tahun 1873 ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua factor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk menumbulkan suatu akibat. Menurut teori ini, tidak membedakan mana factor syarat dan yang yang mana factor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam sutu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keenam factor yang menjadi contoh dalam peristiwa matinya bapak tadi, di antara sekian dari serangkaian factor, tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi factor penyebabnya. Semua factor dinilai sama pengaruhnya atau andil/perananya terhadap timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian factor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat dan keadaan senyatanya dalam peristiwa itu. Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi (aquivelenz-theorie) atau bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalensi, karena ajaran von Buri ini menilai semua factor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedingungstheorie oleh karena dalam ajran ini tidak membedakan anatara factor syarat (bedingung) dan mana factor penyebab (causa). 2. Teori-teori Yang Mengindividualisir Teori yang mengindividualisir, ialah teri yang dalam usahanya mencari factor penyebaba dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada factor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan,

dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi. Maka diantara sekian rangkaian factor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan factor penyebab. Factor penyebab itu adalah hanya berupa factor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan factor lain adalah dinilai sebagai factor syarat saja dan bukan factor penyebab. Pendukung yang mengindividualisir ini antara lain Birkmeyer dan Karl Binding. Menurut Birkmeyer (teorinya dsebut dengan de meest werkzame factor): tidak semua factor yang tidak bias dihilangkan dapat dinilai sebagai factor penyebab, melainkan hanya terhadap factor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret (post factum) adalah merupakan factor yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh diatas tadi, setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, maka dicari dan dinilai diantara serangkaian factor yang berkaitan dengan kematian itu, kiranya factor serangan penyakit jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap kematian itu. Apabila ajaran Birkmeyer digunakan pula pada peristiwa ini, maka perbuatan pengendara mobil menginjak rem dengan kuat yang menimbulkan suara keras dari gesekan ban dengan aspal, bukanlah sebagai factor penyebab matinya korban itu, tetapa sebagai faktor syarat saja. Karenanya dari sudut hukum pidana dia tidak

bertanggung jawab atas kematian itu. Walaupun teori ini lebih baik dari pada yang sebelumnya, pada teori yang mengindividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua hal, yaitu: 1. Dalam kriteria untuk menentukan factor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat, dan 2. Dalam apabila factor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.

Oleh karena terdapat kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian ahli hokum terhahadap tori-teori yang mngindividualisir, maka timbullah teori-teori yang menggeneralisir. 3. Teori-teori Menggeneralisir Teori yang menggeneralisir adalah teri yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian factor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada factor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari factor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada factor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapai pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara abstracto, tidak secara inconcrito. Penggunaan teori ini dapat diberikan contoh ialah, karena jengkel

kepada bawahannya yang berbuat salah, bawahannya itu ditempelengnya dengan tangan kosong yang secara wajar menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya tida akn menimbulkan kematian, tetapi kemudian korban pingsan dan meninggal. Menurut teori ini, kematian bawahan ini bukan disebabkan oleh perbuatan menempeleng oleh atasannya, karena secara wajar dan akal serta pengalaman orang pada umumnya perbuatan memenpeleng tidaklah menimbulkan akibat kematian. Kematian itu mestilah diakibatkan oleh selain perbuatan menempeleng, mungkin karena sebab penyakit seperti jantung atau darah tinggi. Perbuatan menempeleng sekadar factor syarat belaka. Persoalannya ialah bagaimana cara menentukan, bahwa suatu sebab itu pada umumnya secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat? Membahas mengenai persoalan ini, maka timbullah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang disebut dengan teori adequate subjektif, dan pendirian objektif yang kemudian disebut dengan teori adequate objektif. a. Teori Adequat Subjektif teori adequate subjektif dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa factor penyebab adalah factor yang menuntut kejadian yang normal adalah adequqt (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang factor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequate untuk menimbulkan akibat tersebut. Jadi dalam teori ini factor subjektif atau sikap batin sebelum sipembuat berbuat adalah amat penting

dalam menentukan adanya hubungan kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu adalah adequate untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.gan teori Oleh karena ajaran von Kries dalam mencari factor penyebab itu adalah pada dibayangkannya dapat menimbulkan akibat, maka disebut juga dengan teori subjective progenose (peramalan subjektif). Pada contoh diatas tentang meninggalnya bapak pengidap penyakit jantung tadi, menurut teori adequate subjektif, maka pengendara mobil tidaaklah dapat dipersalahkan atas kematian bapak tadi, karena factor menginjak rem dan demikiana menimbulkan suara (gesekan ban dengan aspal) tidak dapat dibayangkan pada umumnya adequate untuk menimbulkan kematian orang. b. Teori Adequat Objektif berbeda dengan teori dari von Kries yang dalam hal mencari factor penyebab itu pada kesadaran sipembuat bahwa pada kejadian normal pada umumnya factor itu layak atau sebanding untuk menimbulkan suatu akibat. Pada ajaran adequate objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana sikap batin sipembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada factor-faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) factor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin sipembuat sebelum ia berbuat tidakalah penting, melainkan bagaimana

kenyataan setelah peristiea terjadi beserta akibatnya, apakah fakator tersebut meneurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat. Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan anatara teori adequat subjektif dengan teori adequate objektif serta penerapannya, sungguh tepat contoh yang diberikan oleh Prof. Moeljatno di bawah ini. Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada orang lain yng bermaksud membunuh sipasian dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yamh telah dimasuki racun, maka racun itu menimbulkan akibat matinya pasien. Menurut ajaran von Kries (adequate subjektif), karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau tidak mengetahui perihal dimasukkannya rancun pada obat yang dapat menimbulkan kematian jika diminum, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian tidak ada hubungan kausal atau hubungan sebab-akibat.

D. Ajaran kausalitas Dalam Hal Perbuatan Pasif Dilihat dari macam unsure tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak pidana aktif atau tindak pidana positif (tindak pidana commissi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana negative (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yanf

terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu kewajiban hokum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu. Barangsiapa oleh hokum diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan dimana ia tidak mwlakukannya misalnya membiarkan (304) atau tidak dating (522), atau seorang ibu dengan maksud membunuh suaminya sengaja tidak menyusuinya (wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa secara pasif dari 338), maka dia telah melakukan tindak pidana pasif. Apakah ajaran kausalitas berlaku juga pada tindak pidana pasif? Untuk tindak pidana pasif murni (eigenlijke omissie delicten) tidaklah merupakan persoalan, oleh sebab tindak pidana pasif murni itu adalah murni berupa tindak pidana formil, yang dalam hal terwujudnya tidak penting akibat, atau tidak bergantung pada akibat, misalnya pada pasal 304 atau 522. Dengan terwujudnya perbuatan membiarkan (304) atau tidak dating (522) tindak pidana itu telah terjadi secara sempurna. Lain halnya dengan tindak pidana pasif yang tidak murni (oneigenlijke omissie delicten atau comissionis per ommisionem commissa). Tindak pidan pasif yang tidak murni adlah berupa tindak pidana pasif yang terjadi pada tindak pidana materil. Sebagaimana diketahui bahwa pada tindak pidana materil tertentu dapat terjadi dengan tidak berbuat, seperti pada contoh diatas tidak menyusui, yang dapat menimbulkan kematian bayi yang wajib disusui oleh seorang ibu yang melahirkannya. Terwujudnya perbuatan tidak menyusui (wujud perbuatan menghilangkan nyawa pada 338) tidak

dengan demikian otomatis menimbulkan akibat kematian pada bayinya, mungkin pada saat setelah beberapa hari tidak disusui (perbuatan tidak menyusui telah selesai), teteapi bayinya belom meninggal, bias jadi sedang sekarat yang kemudia diketahui orang dan lalu segera dilakukan pertolongan medis, maka bayinya tidak mati, maka yang terjadi adalah berupa percobaan pembunuhan (338 jo 53).

E. Pengertian Pidana Mati Pidana pokok mempunyai sifat yang imeratif, yaitu jika terdakwa terbuktoi bersalah, maka hakim diwajibkan menjatuhkan suatu hukuman utama terhadap si terhukum. Pidana Mati adalah puncaknya dari segala hukuman. Pidana mati ini merupakan hukuman yang terberat yang diberikan hakim untuk menghukum si penghukum .Pidana mati merupakan salah satu sanksi yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan termasuk ke dalam pidana pokok. Pidana mati merupakan bentuk saknsi pidana yang dilakukan oleh pelaksana eksekusi mati (oihak yang ditunjuk undang0undang) dengan cara menghilangkan nyawa si terpidana mati setelah seseorang dijatuhi pidana mati oleh hhakim dan upaya hukum dari terpidana mati atas vonis pidana matinya ditolak oleh preseiden. PIdana mati selalu diancamkan secara laternatif dengan pidana-pidana pokok yang lain, seperti dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara sementara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.

Pidana mati ini termasuk dalam Teori Absolut atau yang biasa kita kenal dengan Teori Pembalasan, yaitu setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. TIdak dilihat akibat apapun yang mungkin timbul dengan dijatuhkannya pidana. Tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya melihat ke masa lampau, tidak melihat ke masa depan. Teori ini juga disebut dengan Teori Pembalasan.

F. Pengertian Narkotika Narkotika menurut Pasal 1 ke 1 Undang-Undang No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika adalah: 3 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan

ke dalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Jenis-jenis narkotika yaitu: 1. Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya. Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.
3

Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika, op.cit, hlm 3

Contoh: Ganja, Heroin, kokain, morfin, opium 2. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: petidin, benzetidin, betametadol 3. Narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: kodein Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1977 Tentang Narkotika terdapat beberapa pasal yang diancam pidana mati, yaitu: Pasal 80 ayat (1) sub a yang berbunyi:4 MEmproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

KEmudian terdapat juga dalam Pasal 80 ayat (2) sub a, yaitu: Ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidanapenjara semur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00

Selain itu juga terdapat dalam Psal 80 ayat (3) sub a yaitu Ayat (1) huruf a dilakuakan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana
4

Undang-undang Narkotika dan Psikotropika, op.cit, hlm 35

mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sddikit Rp 500.000.000,00

Pasal 81 ayat (3) sub a Ayat (1) huruf a dilakuakan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati ataupidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 2.000.000.000,00

Pasal 82 ayat (1) sub a Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00

Pasal 82 ayat (1) sub a Ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hiduo atau pidana penjara paiong singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling bnay Ro 2.000.000.000,00

Pasal 82 ayat (3) sub a Ayat (2) huruf a dilakuakn secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hodup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sediit Rp 500.000.000,00 dan paling banyak Ro 3.000.000.000,00

TUjuan penjatuhan pidana itu untuk mencegah timbulnya kejahatan atau pelanggatan. Ada juga yang mengatakan bahwa pidana mati itu adalah merendahkan kewibawaan dari Negara. Alasannya adalah bahwa Negara itu adalah pelindung yang paling utama terhadap semua kepentingan dari manusia.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 1. Maksud dan tujuan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak

pidana narkotika itu untu mencegah dan mengurangi maraknya peredaran narkotika di Indonesia dan juga untuk memberi efek jera bagi para pelaku tindak pidana narkotika lainnya 2. Pelaksanaan Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika Indonesia. Walaupun caraa pelaksanaan pidana mati ini telah beberapa kali diubah, tetapi pada akhirnya pelaksananaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan cara ditembak. Dengan catatan apabila terpidana wanita yang sedang hamil, maka proses eksekusi harus ditunda sampai anak yang dikandung oleh terpidana lahir.

DAFTAR PUSTAKA

Moelyanto, Terjemahan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Cetakan ke-X, 1978

Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tijauan Ringkas Sistem Pemidanann di Indonesia, Akadewika Pressindo, Jakarta, 1983 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Masalah, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan M. Ali Safaat, S.H., M.H., TEORI HANS KELSEN TENTANG HUKUM, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, 2006

Kausalitas Ancaman Pidana Mati yang Terkait dengan Hukum Pidana dalam Pemaknaan what ought to be done

Oleh: Karina Anindya Prameswari Sembiring Meliala 110110060400

Diajukan untuk memenuhi nilai UAS TIndak Pidana Khusus

Dosen: Aman Sembiring Meliala., S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG 2011

You might also like