Professional Documents
Culture Documents
Mahfud Anshorii
Kompas pada hari kamis (29/6) menurunkan dua opini yang menyoal
tentang kondisi bangsa Indonesia saat ini, ketika kita menyaksikan sekian deret
oleh Aloys Budi Purnomo dengan judul “Republik (Penuh) Bencana”, sementara
di Republik Bencana”. Kedua opini tersebut memberi garis merah yang sama,
penutup, Herry Tjahjono menyatakan “tentu ada banyak contoh lain terkait seni
harapan rakyat masih digantungkan di pundak mereka. Dan di hari-hari ini, kita
sehingga tidak ada kata yang pantas dilekatkan kecuali “republik bencana”. Lalu
dimanakah syair “tongkat kayu jadi tanaman”, adagium “gemah ripah loh
jinawai” dan mantra ‘zamrud katulistiwa”. Ataukah memang nikmat dan berkah
Tuhan sudah dicabut dari bumi Indonesia, lantas dosa apakah terbesar kita,
Adalah benar bahwa kualitas kepemimpinan kita masih lemah, nurani dan
hati sudah sedemikian mati, korupsi dan segala bentuk “kecurangan di dalam
negara” masih merajalela, namun lantaran hal tersebut apakah kita selalu
Mari kita coba melihat bencana dari prespektif lain. Bahwa dalam setiap
musibah dan bencana, batas antara tangis dan syukur itu sedemikan tipis. Tangis
adalah ketika kita terluka, kehilangan harta benda dan orang terkasih, dan
syukur adalah ketika kita masih disayangi oleh tuhan. Kasih sayang tuhan tidak
diselamatkan dari bencana yang melanda, bahwa kita akan disejahterakan oleh
sang pencipta. Kasih sayang tuhan juga bisa berupa sebuah kematian, ujian atau
terminal untuk sebuah perjalanan yang lebih panjang. Karena itu “kemuliaan
dan kesyahidan” adalah satu bentuk pengakuan tertinggi bagi orang yang
Bencana juga merupakan bentuk kasih sayang tuhan, guna menguji sejauh
mana tingkat ketundukan diri kita sebagai manusia dihadapan penciptanya.
sedemikanhalnya, maka tidak ada jalan lain selain membuang segala bentuk
kemaksiatan.
selama ini seakan tumpul ditengah moderniasasi dan gaya hidup individualistik.
yang berangkat pagi dan pulang malam dengan mengendarai truk terbuka,
adalah pemandangan yang tidak lazim kita temui sebelum bencana terjadi.
sosial bisa tumbuh bersemai, tidak sama sekali. Amatlah naif bila kita manusia
bisa tergerak hati dan mau turut membantu jika dan hanya jika terjadi bencana.
Yang penulis maksud adalah, bahwa di balik tragedi bencana, terdapat dua hal
yang dapat kita petik yakni hikmah dalam pengertian negatif dan positif.
Optimisme Bushido
Ketika Jepang kalah pada perang dunia ke II, semua mata tertuju kepada
Jepang, bahwa Jepang telah menorehkan dosa sejarah, menjadi penjajah bagi
dengan semangat Bushido, bahwa malu akibat kalah perang dan dosa sejarah
harus ditebus dengan penguasaan dan pencapaian dibidang lain, yang dapat
menangkat harga diri di pergaulan internasional. Hasilnya Jepang saat ini diakui
dikalangan internasional dari sisi bisnis dan teknologi canggih, mulai dari
Berkaca dari itu, musibah dan bencana yang akhir-akhir ini terus melanda
negeri kita, harus kita sikapi secara optimis, bahwa selain melakukan tindakan-
tindakan recovery korban bencana secara fisik material, recovery di bidang mental
spiritual jangan lalai dilakukan. Mereka memang butuh tempat tinggal yang
layak, makanan dan minuman dan perbaikan ekonomi, namun selain itu mereka
butuh sebuah optimisme, semangat bangkit. Mereka dan kita butuh utopia baru,
mimpi baru seperti semangat Bushido, yakni Nusantara; Surga yang Tercecer.
Bila nusanatara adalah bagian dari surga, marilah kita berperilaku seperti