You are on page 1of 13

Sejarah

Pada zaman purba, manusia berburu binatang, menangkap ikan, memetik daun, menebang pohon, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok, yaitu pangan, sandang, dan papan. Berdasarkan pengalamannya, manusia kemudian mulai mengenal bagian-bagian tanaman atau hewan tertentu yang mempunyai khasiat obat, misalnya ramuan untuk menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan demam, dan mengobati luka. Itulah bentuk penggunaan bahan atau zat yang paling primitif untuk tujuan pengobatan (medical use). Dalam ilmu kedokteran sampai sekarang masih digunakan obat-obatan yang berasal dari tanaman atau hewan walaupun jumlah dan jenisnya sudah semakin berkurang, misalnya reserpin (obat untuk menurunkan tekanan darah yang tinggi) berasal dari tanaman Rauwolfia serpentina, efedrin (obat asma bronkial) berasal dari tanaman Efedra trifurka, morfin (penghilang rasa nyeri yang kuat) berasal dari tanaman Papaver somiferum, minyak ikan dan lain-lain. Pada masa kini, sebagian besar obat dibuat secara semisintetik atau sintetik di pabrikpabrik walaupun akhir-akhir ini ada gerakan kembali ke alam (back to nature), misalnya penggunaan ginseng, Ginkgo biloba, tribestan (Tribulus terrestris L), rheumaplant, rheumakur, cursil (curcuma). Berdasarkan pengalamannya pula, manusia mulai mengenal tanaman atau senyawa yang bila digunakan dapat menimbulkan perubahan perilaku, kesadaran, pikiran, dan perasaannya. Bahan atau zat yang mempunyai khasiat demikian pada masa kini disebut zat psikoaktif. Sejak saat itu, manusia mulai menggunakan bahan psikoaktif tersebut untuk tujuan dinikmati karena dapat memberikan rasa nyaman, sejahtera, euforia, dan mengakrabkan dalam komunikasi dengan orang lain (recreational or social use). Sebagai contoh, orang menikmati minuman kopi atau teh (yang mengandung kafein), minuman keras (yang mengandung etanol), dan merokok tembakau (yang mengandung nikotin). Selain untuk dinikmati, manusia juga menggunakan zat atau bahan psikoaktif (mind altering substance) untuk berkomunikasi transendental dalam upacara sesuai dengan kepercayaan mereka (ritual atau ceremonial use). Sebagai contoh, ololiukui (ololiuqui), suatu ramuan tanaman yang digunakan oleh orang Aztec dalam upacara ibadah kepercayaannya untuk berkomunikasi transendental.

Epidemiologi
Menjelang akhir milenium kedua, di seluruh dunia terdapat 1.100.000.000 orang yang mengalami ketergantungan nikotin, 250.000.000 orang yang mengalami ketergantungan alkohol, dan 15.000.000 orang yang mengalami ketergantungan zat psikoaktif lain. Penggunaan zat psikoaktif terdapat pada semua golongan umur, pada kedua gender, pada semua golongan etnik, dan pada semua tingkat sosial ekonomi. Namun demikian, terdapat kecenderungan tertentu seperti angka prevalensi yang berbeda-beda pada berbagai golongan umur, atau jenis zat psikoaktif tertentu lebih banyak penggunanya pada kelompok tertentu. Penelitian epidemiologi telah dilakukan beberapa kali di indonesia (Setyonegoro, 1980; Alwahdy, 1985; Hilman, 1986; Irwanto, Hilman, Prasaja, 1988; Idris, 1990) menunjukkan hasil yang konsisten, yaitu pengguna zat psikoaktif sebagian besar berusia kurang dari 25 tahun, kebanyakan tergolong poly-drug user, masih berstatus sebagai pelajar, sedangkan usia mulai menggunakan cenderung semakin muda. 100 pasien pertama yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) sejak tahun 1972 berusia 11-21 tahun (Setyonegoro, 1980). Survei terhadap 323 penghuni enam panti rehabilitasi di indonesia, Hilman (1986) menemukan umur mereka sekitar 13-15 tahun, 15,49% merokok tembakau, 32% minum alkohol, 27% mengisap ganja, 16% menggunakan obat psikotropika, dan 6% menggunakan opioida. Idris (1990) menemukan bahwa pasien yang dirawat di RSKO menderita ansietas, depresi, atau memperlihatkan perilaku antisosial. Survei terhadap suasana kontak pertama dengan zat psikoaktif yang dilakukan oleh Harlina, Joewana, Indriana (1987-1989) terhadap 2100 siswa SLTP Negeri di Jakarta, diperoleh hasil sebagai berikut: 24,9-47,8% pernah merokok; 10,2-22,2% pernah minum alkohol; 2,7-11,7% pernah mengisap ganja; dan 3,5-11,2% pernah makan obat psikotropika. Mereka mulai menggunakan zat psikoaktif dalam 1-3 tahun terakhir. Penawaran pertama kali untuk menggunakan zat psikoaktif adalah dari teman sendiri dari kelas yang lebih tinggi atau yang usianya sedikit lebih tua, biasanya di tempat rekreasi atau di rumah teman. Penelitian oleh Joewana, Bonang, dan Irwanto (1994) terhadap 151 pasien dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif diperoleh hasil sebagai berikut: laki-laki 94% dan perempuan 6%; berusia 13-17 tahun (35,1%), 18-22 tahun (49,0%), lebih dari 22 tahun (15,9%); 94,7% belum menikah, 4,0% menikah, dan 1,3% cerai; 3,3% berpendidikan
2

SD, 19,9% SMP, 54,3% SMA, dan 24,5% mahasiswa. Mereka yang masih aktif sekolah sebesar 70,9%, yang mempunyai pekerjaan tetap 4,0%, yang mempunyai perkerjaan tidak tetap 6,0%, dan penganggur sebesar 15,2%, sisanya tidak diketahui jelas status pekerjaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Harlina, Joewana, Indriana, Soebroto (1996) terhadap 2380 siswa SMP negeri di Jakarta, diperoleh hasil sebagai berikut: 32,2% pernah menggunakan zat psikoaktif (life time prevalence); 13,7% masih menggunakan zat psikoaktif pada saat survei dilakukan. Sebanyak 89,1% dari yang pernah menggunakan zat psikoaktif adalah laki-laki, 10% perempuan, 0,9% tidak menyebutkan jenis kelaminnya. Adapun jenis zat psikoaktif yang digunakan antara lain tembakau, minuman beralkohol, narkotik, dan zat lain. Jenis zat psikoaktif yang digunakan siswa SMP negeri Jakarta, 1996 Jenis zat Tembakau Alkohol Narkotik Zat lain % dari pengguna 96,2% 18,2% 5,6% 9,8%

Pengguna mulai mengkonsumsi zat psikoaktif pada umur 9-16 tahun. Jenis zat Tembakau Alkohol Narkotik Zat lain Umur rata-rata 12,23 tahun 12,68 tahun 12,68 tahun 12,68 tahun

Penelitian yang dilakukan oleh Joewana, Roan dan Salan (1996) terhadap 517 mahasiswa suatu perguruan tinggi di Jakarta diperoleh hasil

Gender

Jumlah responden

% yang menggunakan zat psikoaktif

Laki-laki Perempuan Jumlah

449 68 517

240 (53,45%) 13 (19,12%) 253(48,94%)

Adapun jenis zat psikoaktif yang dikonsumsi oleh mahasiswa itu adalah Jenis zat Jumlah pengguna persentase % yang sudah menggunakan sebelum masuk universitas Tembakau Alkohol Hipnotik Psikostimulan Ganja opioida 228 70 20 17 42 18 44,10% 13,54% 3,87% 3,29% 8,12% 3,48% 198 (86,84%) 57 (81,43%) 9 (45,00%) 7 (41,18%) 34 (80,95%) 4 (22,22%)

72 pasien di RSKO yang dikirim untuk psikoterapi terdiri atas 94,44% laki-laki dan 5,56% perempuan; 90,28% belum menikah; 6,94% telah menikah; dan 2,78% telah bercerai. Sebanyak 94,44% merokok tembakau; 81,84% minum alkohol; 77,78% mengisap ganja; 81,72% menggunakan obat tidur; 19,44% mengkonsumsi psikostimulan; 19,12% mengkonsumsi opioida. Komorbiditas yang ditemukan adalah 26,39% dengan gangguan cemas menyeluruh, 13,89% dengan gangguan suasana perasaan, 15,28% dengan gangguan cemas menyeluruh dan gangguan suasana perasaan 5,55% dengan gangguan panik, selebihnya dijumpai masingmasing satu pasien dengan insomnia, retardasi mental, skizofrenia, dan asma bronkiale.

Sekitar tahun 1996-1997 mulai terjadi pergeseran jenis zat psikoaktif yang banyak dikonsumsi dari jenis sedatif-hipnotik dan alkohol ke jenis opioida. Catatan medis RSKO agustus 1999 menunjukkan bahwa 71% pasien baru dan 89% pasien lama di unit gawat darurat menggunakan opioida, sedangkan 85% pasien baru dan 93% pasien lama di unit rawat jalan menggunakan opioida. Jumlah pasien dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif di RS Atma Jaya sebanyak 95% adalah karena mengkonsumsi heroin dan sisanya karena mengkonsumsi psikostimulan.

Met-amfetamin
Met-amfetamin adalah bubuk kristal putih yang tidak berbau, pahit rasanya, mudah larut dalam air dan alkohol. Disebut juga chalk, crystal, glass, ice, meth, speed, tina. Di pasar gelap,
5

warnanya bisa bermacam-macam bergantung pada bahan pencampurnya. Met-amfetamin sudah dikenal sejak tahun 1929, tetapi baru dikenal di bidang terapi pada tahun 1940an. Metamfetamin mempunyai efek stimulasi susunan saraf pusat lebih kuat dibandingkan efeknya terhadap peredaran daraf perifer. Yang banyak disalahgunakan di Indonesia saat ini adalah 3,4 metilen-di-oksi met amfetamin (MDMA) atau lebih dikenal sebagai ekstasi, dan metamfetamin (sabu-sabu). Met-amfetamin mempengaruhi otak dan membuai rasa nikmat, meningkatkan energi dan meningkatkan mood. Kecanduannya begitu cepat, sehingga peningkatan dosis terjadi dalam jangka pendek. Gangguan kesehatannya meliputi irregularitas detak jantung, kenaikkan tekanan darah, dan berbagai masalah psikososial. Penggunaan jangka panjang akan membuat seseorang terganggu berat mentalnya, gangguan memori dan masalah kesehatan mulut yang berat.

Cara mengkonsumsi
Met-amfetamin dikonsumsi dengan cara ditelan (oral) dan akan diabsorbsi seluruhnya ke dalam darah. Pada penggunaan secara intravena, met-amfetamin akan sampai ke otak dalam beberapa detik. Penggunaan melalui inhalasi uap met-amfetamin, mula-mula uap met-amfetamin akan mengendap di paru, kemudian diabsorbsi secara cepat ke dalam darah. Met-amfetamin juga bisa diabsorbsi melalui selaput lendir hidung pada penggunaan dengan menyedot melalui hidung. MDMA (ekstasi) pada umumnya dikemas dalam bentuk tablet atau kapsul untuk penggunaan secara oral. Tablet atau kapsul ini mengandung 60-250 mg MDMA. Ada juga MDMA dalam bentuk serbuk untuk disedot melalui hidung, atau disuntikkan secara intravena atau subkutan. Ada pula dalam bentuk supositoria. Preparat yang dijual sebagai MDMA sering tidak murni, melainkan dicampur dengan bahan-bahan lain, seperti aspirin, kafein, amfetamin, met-amfetamin, atau MDA.

Cara kerja
Met-amfetamin mempunyai pengaruh yang kuat terhadap neuron dopaminergik, yaitu melepaskan dopamin ke dalam synaptic cleft. Belum lama ditemukan neurotransmiter peptida baru yang disebut cocaine and amphetamine regulated transcript (CART), yang mula-mula diidentifikasi sebagai mRNA (oleh karena itu suatu transcript) yang jumlahnya meningkat pada penggunaan kokain atau amfetamin. Kemungkinan peptida CART ini berperan dalam penyalahgunaan zat psikoaktif, pengendalian stres, dan perilaku makan(feeding behavior).

Euforia yang disebabkan oleh amfetamin kurang intensif, tetapi lebih lama dari euforia akibat kokain. Penelitian yang terbaru menunjukkan bahwa met-amfetamin dapat menimbulkan kerusakan yang ireversibel pada pembuluh darah otak. Peneliti menemukan kadar N-acethyl-aspartate (NAA) (suatu metabolit yang dihasilkan oleh neuron) menurun pada pengguna met-amfetamin, seperti pada penyakit lain yang diakibatkan oleh kerusakan atau kematian neuron (penyakit alzheimer, epilepsi, stroke). Sebaliknya, para peneliti menemukan kadar choline-containing compounds dan myoinositol (MI) meningkat di daerah substansia grisea lobus frontalis. Kedua senyawa ini dihasilkan oleh sel glia, yang jumlahnya meningkat sebagai reaksi terhadap kerusakan neuron akibat met-amfetamin.

Pengaruh terhadap pengguna


Efek dari met-amfetamin lebih kuat dibandingkan efek dari amfetamin. Met-amfetamin diketahui lebih bersifat adiktif, dan cenderung mempunyai dampak yang lebih buruk. Pengguna met-amfetamin dilaporkan lebih jelas menunjukkan gejala ansietas, agresif, paranoia dan psikosis dibandingkan pengguna amfetamin. Efek psikologis yang ditimbulkan mirip seperti pada pengguna kokain, tetapi berlangsung lebih lama. Met-amfetamin mempunyai masa kerja 6-8 jam. Euforia yang begitu kuat atau rush dicapai dalam beberapa menit pada penggunaan dengan cara dirokok atau suntikan intravena, 3-5 menit pada penggunaan secara disedot melalui hidung, dan 15-20 menit pada penggunaan secara oral. Penggunaan met-amfetamin dalam dosis tinggi berulang kali sering dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan psikosis paranoid. Dosis yang demikian tinggi dan berulang itu menyebabkan berkurangnya dopamin dan serotonin untuk jangka waktu yang lama. Perubahan ini tampak ireversibel karena pengaruh met-amfetamin terhadap neuron dopaminergik dan serotonergik dapat berlangsung lebih dari satu tahun. Perubahan perilaku yang jelas tidak terlihat, tetapi dapat menimbulkan perubahan pola tidur, fungsi seksual, depresi, gangguan motorik dan psikosis dengan waham mirip skizofrenia paranoid, seperti yang terjadi pada penggunaan kronis kokain. Tidak seperti pada psikosis akibat kokain, psikosis akibat met-amfetamin dapat berlangsung beberapa minggu lamanya. Pada penggunaan jangka lama met-amfetamin, terjadi pengurangan kepadatan dan jumlah neuron di lobus frontalis dan ganglia basalis. MDMA sebanyak 75-150 mg yang dikonsumsi secara oral akan memperlihatkan gejala setelah 30 menit dengan puncak gejala tercapai sesudah 1-1,5 jam, dan berakhir sesudah 3-4 jam.
7

Intoksikasi MDMA ditandai dengan euforia, meningkatnya kemampuan hubungan interpersonal, lebih mudah menghayati perasaan orang lain, ansietas, panik, otot berkontraksi sehingga terjadi bruksisme, gigi berkerut-kerut, gerakkan otot tidak terkendali (tripping), emosi menjadi labil, mulut kering (haus), banyak berkeringat, tekanan darah meningkat, denyut jantung bertambah cepat, mual, penglihatan kabur, gerakkan cepat bola mata, dan kebingungan. Efek psikologis dan fisik akut: SSP, perilaku neurology, Dosis rendah Peningkatan stimulasi, dizziness, ringan Euforia/disforia, bicara berlebihan Meningkatkan percaya diri kewaspadaan diri Cemas, panik Supresi nafsu makan Dilatasi pupil Peningkatan stamina, energi, dan rasa dan insomia, tremor Dosis tinggi Stereotiphy atau perilaku

yang sukar ditebak Perilaku kasar atau irasional, mood yang berubah-ubah, termasuk kejam dan agresif Bicara tak jelas Paranoid, kebingungan dan gangguan persepsi Sakit kepala, pandangan

kabur, dizziness Psikosis (halusinasi, delusi, paranoia) Gangguan cerebrovaskular Kejang Koma Gemeretuk gigi Distorsi bentuk tubuh secara keseluruhan

penurunan rasa lelah Dengan penambahan dosis, dapat meningkatkan libido Sakit kepala Gemeretuk gigi

Kardiovaskular

Takikardia, (mungkin juga bradikardia, hipertensi)

Stimulasi kardiak (takikardia, angina, MI)

Vasokonstriksi/hipertensi Kolaps kardiovaskuler Kesulitan napas bernapas/gagal

Pernapasan

Palpitasi, aritmia Peningkatan frekuensi nafas dan kedalaman pernapasan

Gastrointestinal

Mual dan muntah Konstipasi, diare atau kram abdominal

Mulut kering, Mual dan muntah Kram abdominal Kemerahan atau flushing Hiperpireksia, disforesis

Kulit

Kulit pucat

berkeringat,

Otot

Hiperpireksia Peningkatan tendon refleks

Efek fisik dan psikologis jangka panjang: Berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan Gangguan makan, anoreksia, atau defisiensi gizi Kemungkinan atrofi otak dan cacat fungsi neuropsikologis Daerah injeksi: bengkak, skar, abses Kerusakan pembuluh darah dan organ akibat sumbatan partikel met-amfetamin pada pembuluh darah yang kecil Disfungsi seksual

Gejala kardiovaskuler Delirium, paranoia, ansietas akut, halusinasi Depresi, gangguan mood yang lain, atau adanya gangguan makan pada protracted withdrawal

Penurunan fungsi kognitif, terutama daya ingat dan konsentrasi

Gejala intoksikasi: Agitasi Kehilangan berat badan Takikardia Dehidrasi Hipertermi Imunitas rendah Paranoia Delusi Halusinasi Kehilangan rasa lelah Tidak dapat tidur Kejang Gigi gemerutuk, rahang atas dan bawah beradu Stroke Masalah kardiovaskuler Kematian
10

Perilaku sehubungan dengan kondisi intoksikasi: Agresif/perkelahian Penggunaan alkohol Berani mengambil resiko Kecelakaan Sex tidak aman Menghindar dari hubungan sosial dengan sekitarnya Penggunaan obat-obatan lain Problem hubungan dengan orang lain

Gejala withdrawal: Depresi Tidak dapat beristirahat Craving Ide bunuh diri Pengguna obat-obatan Masalah pekerjaan Pikiran-pikiran yang bizzare Mood yang datar ketergantungan

Komplikasi medis
Met-amfetamin dalam jumlah banyak merusak ujung sel saraf. Dalam dosis tinggi, metamfetamin meningkatkan suhu badan dan kejang, yang bisa berakibat kematian. Seperti
11

amfetamin, penggunaan jangka pendek met-amfetamin akan meningkatkan perhatian, mengurangi rasa letih, mengurangi nafsu makan, euforia, napas cepat, dan hipertermia. Pada penggunaan jangka panjang, met-amfetamin dapat menimbulkan waham, halusinasi, gangguan afek, aktivitas motorik berulang, dan nafsu makan berkurang. Met-amfetamin dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular, seperti takikardia, aritmia jantung, tekanan darah naik, stroke, endokarditis, abses pada kulit. Pengguna kronis MDMA mengganggu daya ingat, konsentrasi, belajar dan tidur. Penggunaan yang kronis MDMA dapat merusak ginjal dan sistem kardiovaskular. Penggunaan MDMA bersamaan dengan alkohol sangat berbahaya dan dapat berakibat fatal.

Daftar pustaka
1. Satya Joewana, dkk. Pedoman Pelayanan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA. 2008. Jakarta: depkes RI 2. Kaplan, Sadock. Sinopsis Psikiatri.1997. Jakarta: Binarupa aksara
12

3. Joewana, Satya. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif. 2005. Jakarta: penerbit Gramedia

13

You might also like