You are on page 1of 63

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG Panduan Praktek Klinis Definisi

Acute kidney injury (AKI)


No.Dokumen Tanggal revisi 8 Juli 2012 No. Revisi

KODE ICD: Halaman:

Ditetapkan oleh,

Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)

Keadaan berkurangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan produksi urin yang adekuat dan mengeluarkan zat-zat toksik dari dalam tubuh, dimana gangguan ini bersifat akut (Andreoli, 2009)

Etiologi
Pre-renal Hipotensi Penurunan volume intravaskuler (Hipovolemia) - Kehilangan darah (operasi, trauma, perdarahan saluran cerna) - Kehilangan cairan melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase pipa nasogastrik) - Kehilangan cairan melalui ginjal (diabetes insipidus, insufisiensi adrenal, pemakaian diuretik) - Kehilangan darah melalui kulit dan mukosa (hipertermia, luka bakar) Penurunan volume intravaskuler efektif Renal Hipoksia/iskemik ATN Lanjutan dari penyebab prerenal (hipotensi, hipovolemia) Lesi vaskuler (thrombosis arteri/vena renalis, SHU, DIC) Zat nefrotoksik Aminoglikosid,amfoterisin B, NSAID, zat kontras, anti kanker Kerusakan jaringan Hemoglobinuria, mioglobinuria, sindrom lisis tumor Penyakit glomerulus GNAPS, PHS, RPGN, nefritis lupus Nefritis interstisialis Post-renal Obstruksi akibat kelainan anatomi Striktur/divertikulum uretra Obstruksi uretra Katup uretra posterior Obstruksi vesico-ureteric junction atau pelvic-ureter junction Obstruksi akibat benda asing Batu, bekuan darah, massa tumor Obstruksi fungsional Neurogenic bladder

Penurunan cardiac output (gagal jantung, hipertensi pulmonal, emboli paru) Vasodilatasi sistemik (sepsis, anafilaksis, obat vasodilator)

Third space losses (sindrom nefrotik, sepsis) Stenosis arteri renalis Sindrom hepatorenal Obat-obatan yang menggganggu autoregulasi dan LFG ACEI, ARB, NSAID

Klasifikasi

Kriteria RIFLE menetapkan tiga klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan yaitu R (Risk for renal disfunction), I (Injury to the kidney), F (Failure of kidney function), serta dua kelompok outcome/luaran yaitu L (Loss of kidney function) dan E (End-stage renal disease)

Kriteria pediatric RIFLE /pRIFLE Estimated Creatinine Clearence (eCCl) Risk Injury Failure Urine Output

eCCl menurun 25 % <0,5 ml/kgBB/jam selama 8 jam eCCl menurun 50 % <0,5 ml/kgBB/jam selama 16 jam eCCl menurun 75 % atau <0,3 ml/kgBB/jam selama 24 jam eCCl < 35 ml/menit/1,73 m2 atau anuria selama 12 jam Persisten failure > 4 minggu Loss End-stage renal disease End-stage (persistent failure > 3 bulan) Sumber: Akcan-Arikan et al.,2007. Modified RIFLE Criteria in Critically Ill Children with Acute Kidney Injury. Kidney Int 71(10): 1028-1035.

Patogenesis

Anamnesis

Tanya riwayat kehilangan cairan tubuh seperti diare, muntah, perdarahan, luka bakar ataupun

setelah mendapat terapi cairan yang tidak adekuat. Demikian juga dengan riwayat pemakaian obat-obatan atau zat yang bersifat nefrotoksik seperti obat-obatan, jamu maupun logam berat. Adanya riwayat infeksi atau batu saluran kemih, trauma ataupun konsumsi makanan tertentu seperti jengkol juga sangat bermakna dalam menentukan penyebab AKI post-renal (Noer dkk,

2009). Pemeriksaan fisik Hasil pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab AKI dan mengetahui komplikasi yang telah terjadi. AKI yang disebabkan oleh nefritis akut biasanya menunjukkan gejala vaskulitis, ruam dan arthritis. Ditemukannya tanda-tanda dehidrasi, massa intraabdomen, kelainan kongenital ataupun tanda-tanda obstruksi pada saluran kemih merupakan hal yang penting dalam mengenali kemungkinan penyebab AKI. Temuan dari pemeriksaan fisik juga dapat mencerminkan manifestasi komplikasi AKI yaitu berupa hipertensi, gejala kongesti vaskuler akibat volume overload, edema, asites, kejang dan penurunan kesadaran (Noer dkk, 2009; Andreoli, 2009).
Pemeriksaan rutin:

Pemeriksaan penunjang

Anemia merupakan petunjuk adanya riwayat perdarahan ataupun proses hemolisis. Leukositosis, leukopeni, peningkatan laju endap darah menunjukkan kemungkinan sepsis atau nefritis akut. Trombositopenia sering terjadi pada sepsis, DIC dan sindrom hemolitik uremik. Gangguan profil koagulasi menunjukkan adanya kegagalan hepar seperti sindrom hepatorenal maupun DIC (Noer dkk, 2009; Bhimma, 2009). Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan petunjuk penting pada AKI, demikian juga dengan adanya gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa menunjukkan bahwa telah terjadi komplikasi AKI akibat gangguan homeostasis ginjal. Pemeriksaan lain yang tak kalah penting adalah urinalisis berupa osmolalitas urin, berat jenis urin, elektrolit urin, fraksi ekskresi natrium dan kreatinin urin. Hasil pemeriksaan menjadi petunjuk untuk membedakan etiologi AKI yaitu prerenal atau intrarenal (Andreoli, 2009). Saat ini pemeriksaan biomarker sebagai penanda AKI dianggap lebih akurat dibandingkan pemeriksaan standar, biomarker tersebut adalah perubahan kadar neutrophil gelatinase-asociated lipocalin (NGAL) dalam darah dan urin, kadar sistatin C, interleukin (IL)18 serta kidney injury molecule-1/KIM-1 (Devarajan, 2004). 1. Terapi konservatif/nondialisis

Tatalaksana

Terapi AKI prerenal


A. Dehidrasi dengan syok a. Cairan kristaloid* 20cc/kgBB dalam -1 jam sampai tanda vital stabil dan urin 6-10 cc/kgBB/jam b. Jika masih diperlukan pemberian cairan seperti diatas dapat diulangi 1-2 dosis c. Jika sampai 2-3 jam produksi urin masih negatif lakukan pemasangan kateter d. Jika tidak ditemukan urin di buli-buli berikan furosemid 2mg/kgBB ** e. Jika masih tidak ditemukan urin, terapi seperti AKI renal II. Perdarahan dengan syok a. b. plasma) c. Jika sampai 2-3 jam produksi urin masih negative lakukan pemasangan kateter d. Jika tidak ditemukan urin di buli-buli berikan furosemid 2 mg/kgBB iv** e. Jika masih tidak ditemukan urin, terapi seperti AKI renal
Sumber: Fitzpatrick et al., 2004. The Child with Acute Renal Failure. Clinical Pediatric Nephrology (3rd Edition). Oxford University Press, New York. Keterangan:

Plasma 20 cc/kgBB dalam -1 jam, atau jika tidak tersedia dapat diberikan cairan Transfusi darah jika tersedia (whole blood atau pack red cell ditambah fresh frozen

kristaloid, seperti pada point I-a

* Normal salin (NS); D5 NS atau D10 NS ditambah bicarbonat natrikus ** Manitol dapat diberikan bersama furosemid dengan dosis 0,5gr/kgBB (2,5cc/kgBB manitol 20%) diberikan selama 10-20 menit. Jumlah urin 6-10cc/kgBB/jam harus tercapai dalam beberapa jam pertama

Terapi emergensi hiperkalemi


1. 2. Kadar kalium Kalium 5,5-7,0mEq/l dengan EKG normal Kalium >7,5mEq atau >7,0 meq/l dengan kelainan EKG Terapi Kalium exchange resin (kayexalate) 1gr/kgBB per oral atau per rectal Potassium shift/pergeseran kalium dari intrasel ke ekstrasel Langkah 1. Nebulisasi salbutamol 2,5mg (BB <25 kg) dan 5mg (BB >25 kg) atau 4g/kgBB iv selama 10 menit Kalsium glukonas (untuk stabilisasi miokardium) 0,5-1cc/kgBB diencerkan dengan D10% selama 5-10 menit dengan monitoring EKG, segera hentikan jika denyut jantung turun 20x/menit atau frekuensi denyut jantung <100x/menit Langkah 2. Natrium bikarbonat 7,5% 3,3 ml/kgBB atau natrium bikarbonat 8,4% 1-2 cc/kgBB Langkah 3. Jika masih hiperkalemi berikan dekstrose 0,5-1 gr/kgBB/jam (2,55cc/kgBB/jam D20% ditambah insulin 0,2-0,5 unit untuk setiap gram glukosa yang diberikan, pertahankan kadar gula darah <300mg/dl Renal replacement therapy Peritoneal dialisis Hemodialisis Hemofiltrasi

3.

Kalium >6,5mEq/l yang persisten

Sumber: Cronan, K.M. and Norman, M.E. 2004. Renal and Electrolyte Emergencies. Textbook of Pediatric Medicine (3 rd Edition). Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

2. Renal Replacement Therapy


Indikasi renal replacement therapy Hiperkalemi persisten Sindrom uremia dengan resiko ensefalopati dan atau perikarditis BUN >100mg/dl Hiperkalemia persisten (kadar Kalium serum >6,5meq/l) Asidosis metabolik persisten (kadar HCO3 <10mEq/l) Gejala volume overload yang resisten furosemid (gagal jantung, edema paru, hipertensi) AKI oliguri akibat SHU atau rhabdomiolisis dengan hemoglobinuria Gangguan keseimbangan elektrolit persisten (hipo/hipernatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia) Sindrom lisis tumor Toxin removal
Sumber: Fitzpatrick et al., 2004. The Child with Acute Renal Failure. Clinical Pediatric Nephrology (3rd Edition). Oxford University Press, New York.

Prognosis

Skor PELOD merupakan skor prognostik yang dirancang untuk pengukuran hasil perawatan penderita penyakit kritis. Variabel yang dinilai pada skor PELOD meliputi 6 organ yaitu neurologis, kardiovaskuler, ginjal, respirasi, hematologi dan hepar, penilaian terdiri dari: skor koma Glasgow, reaksi pupil, denyut jantung, tekanan darah, kreatinin, rasio PaO2/FiO2, PaCO2, ventilasi

mekanik, leukosit, trombosit, aspartat transaminasi, dan waktu protrombin


Tabel 8. Skor PELOD Variabel Sistem skor 0

10

20

Neurologis GCS Reaksi pupil Kardiovascular Denyut jantung <12 tahun >12 tahun Tekanan darah sistolik (mmHg) < 1 bulan 1bulan 1 tahun 1tahun- 12 tahun >12 tahun Ginjal Kreatinin ( mol/L) <7hari 7hari-1 tahun 1-12tahun >12 tahun Respirasi Rasio PaO2/FiO2 (kPa) PaCO2 (kPa) Ventilasi mekanik

12-15 dan Keduanya reaktif

7-11

4-6 atau Keduanya fixed

< 195 < 150 dan >65 >75 >85 >95

>195 >150 atau 35-65 35-75 45-85 55-95 <35 <35 <45 <55

<140 <55 <100 <140 >9,3 dan < 11,7 Tanpa

>140 >55 >100 >140 <9,3 atau >11,7 Dengan 1,5-4,4 atau <35 >950 atau <60 (>1,40) <1,5

Hematologik Hitung sel darah putih >4,5 (x109/L) dan Trombosit >35 (x109/L) Hepar Aspartat transaminase <950 (IU/l0) dan Waktu Protrombin >60 atau (INR) (<1,40) 1 kPa = 7,500635 mmHg Kreatinin 1 mg/dL 88,4mol/L

Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

SN relaps frekuen / dependen steroid Prednison FD Remisi Prednisone AD+CPA Remisi 4 minggu AD Diturunkan sampai dosis threshold 0,1-0,5 mg/kgbb AD (6-12 bulan) (1) Relaps pada prednisone > 0,5 mg/kg AD (2) Levamisol 2,5 mg/kgbb AD (4-12 bulan) (3) Relaps pada prednisone > 1 mg/kg AD atau efek samping steroid CPA 2-3 mg/kgbb 8-12 minggu Relaps prednisone standar

Relaps pada prednisone > 0,5 mg/kgbb AD Siklosporin 5 mg/kgbb/hari Selama 1 tahun Gambar 3. Skema pengobatan prednisone jangka panjang
Keterangan: (1). Langsung diberi CPA (+ prednisone AD) (2). Sesudah prednisone jangka panjang CPA (3). Sesudah prednisone jangka panjang + levamisol CPA

Pred + CPA puls

AD 6 bulan

tap off

6 bulan

Pred + CPA oral

AD 6 bulan

tap off

3-6 bulan CPA Pulse Prednison Tapering off : 500 mg/m2/bulan : 40 mg/m2/hari (1x pagi hari) : 1 mg/kgbb/hari (1 bulan) 0,5 mg/kgbb/hari (1 bulan) Gambar 4. Skema pengobatan SN resisten steroid
Referensi : 1. IGN Wila Wirya, Sindroma Nefrotik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002: 381-423 2. Krisni Subandiyah,Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Dalam Naskah Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali 2009 3. Alatas H, Tambunan T,Trihono P, Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindroma Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta : UKK nefrologi IDAI, 2005: 1-17

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG

SINDROM NEFRITIK AKUT No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: N00.Halaman:

Ditetapkan oleh, Panduan Praktek Klinis Definisi Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) SNA adalah kumpu1an gejala-gejala nefritis yang timbul secara mendadak, terdiri atas hernaturia proteinuria, silinderuria (terutama selinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai hipertensi, edema, kongestif vaskuler atau gagal ginjal akut sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang lazimnya ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomeruli. a. Faktor infeksi Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus (Glomerulonefritis akut pasca streptococcus) Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain endokarditis bakterialis subakut dan shunt nepritis. b. Penyakit multisistemik antara lain: Lupus eritematosus sistemik (LES) Purpura Henoch Schonlein (PHS) c. Penyakit ginjal primer d. Nefropati IgA Komplek imun atau anti glomerular basement membrane (GBM) antibodies yang mengendap/berlokasi pada glomeruli-aktivasi komplemen jalur klasik atau altenatif dan sistem koagulasi peradangan glomeruli a. Hematuria proteinuria dan silinderuria (terutama silinder eritrosit) b. Aliran darah ginjal laju filtrasi glomeruler (LFG) oliguria retensi air dan garam edema, hipervolemia, kongesti vaskuler (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak napas, ronki, kardiomegali). Azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia dan hiperposfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun. c. Hipoperfusi aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriksi perifer perfusi ginjal makin menurun. LFG makin turun disarnping timbulnya hipertensi. Angiotensin 2 yang meningkat merangsang kortek adrenal melepaskan aldosteron retensi air dan garam hipervolemia hipertensi. a. SNA dengan hipokomplemenemia, dapat asimtomatis atau simtomatis. Termasuk kelompok ini antara lain adalah a.1 Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptococcus (GNAPS). a.2. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik seperti: - Endokarditis bakterialis akut/sub akut - Shunt nephritis

Etiologi

Patogenesis

Klasifikasi

Kriteria diagnosis

Anamnesis

a.3. Glomerulonefritis proliferatif membranosa a.4. Nefritis yang berhubungan dengan LES (nefritis lupus) b. Sindroma nefritis akut dengan normokomplemenemia (dapat asimtomatis atau simtomatis). Termasuk kelompok ini antara lain adalah: b.1 Nefritis yang berhubungan dengan PHS b.2 Nefropati IgA a. Anamnesis b. Pemeriksaan fisik c. Pemeriksaan penunjang Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia 1) GNAPS Riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Sembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan sakit kepala. Bisa juga dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi). 2) Endokarditis bakterialis subakut Riwayat panas lama, adanya penyakit jantung kongenital/didapat, yang diikuti oleh kemih berwarna seperti coca cola (hematuria makroskopis). 3) Shunt nephritis Riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo-atrial / peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan penglihatan, kejang-kejang, penurunan kesadaran. 4) SLE Keluhan dapat berupa panas lama, berat badan turun, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, ruam pada kulit b. SNA dengan normokomplenemia 1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS) Riwayat ruam pada kulit, sakit sendi dan gangguan gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen, diare berdarah atau melena) dan serangan hematuria. 2) Nefropati IgA Kecurigaan bila timbulnya serangan hematuria makroskopis secara akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan dengan ISPA. Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara dan akan hilang bila ISPA mereda, namun akan berulang kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan dengan ISPA. Diantara 2 episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala kecuali hematuria mikroskopis dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

Penyebab SNA dengan hipokomplementemia GNAPS Edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan kabur, kejang; penurunan kesadaran). 2) Endokarditis bakterialis subakut Panas, rash, sesak, kardiomegali, takikardi, suara bising jantung, hepatosplenomegali artritis/artralgia jarang dijumpai. 3) Shunt nefritis Hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema, kadang-kadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. 4) Lupus eritematosus sistemik (LES) Alopesia, butterfly rash, lesi discoid, fotosensitivitas, ulkus pada mulut/nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri abdomen, asites, splenomegali. b. SNA dengan normokomplenemia 1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS) Edema, dan hipertensi, ruam pada daerah bokong dan bagian ekstensor dan ekstremitas bawah, arthralgia/arthritis, nyeri abdomen. 2) Nefropati IgA Demam, infeksi saluran nafas. Edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan. a. Penyebab SNA dengan hipokomplementemia 1) GNAPS Kelainan urinalis minimal atau hematuria, proteinuria, silinderuria ASTO > 200 IU, titer C3 rendah (<80 mg/dl), C4 biasanya normal. Gambaran kimia darah menunjukkan kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat normal atau terganggu. Kadar kolesterol biasanya normal, sedang kadar protein total dan albumin dapat normal atau sedikit merendah, kadar globulin biasanya normal. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok /keropeng kulit positif untuk kuman Streptococus B hemoliticus atau ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah (<80 mg/dl), yang pada evaluasi lebih lanjut menjadi normal 6 8 minggu dari onset penyakit. 2) Endokarditis bakterialis subakut Hematuria, proteinuria atau kelainan pada sedimen urine berupa hematuria mikroskopis, lekosituria, selinderuria. Fungsi ginjal lazimnya mengalami gangguan (BUN dan kreatinin serum). Gambaran darah tepi berupa lekositosis, LED meningkat CRP (+), titer komplemen (C3, C4) turun, kadang ditemukan peningkatan titer faktor rematoid, kompleks imun dan krioglobulin
1)

a.

10

dalam serum. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan di atas disertai hasil kultur darah (+) terhadap kuman penyebab infeksi dan pada ekokardiografi dijumpai vegetasi pada katup jantung. 3) Shunt nefritis Urinalisis menunjukkan hematuria, proteinuria, silinderuria. Fungsi ginjal biasanya terganggu. Kadar total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kadar elektrolit darah dapat terganggu. CRP (+), titer komplemen (C3,C4) rendah. Kultur yang diperoleh dari shunt terinfeksi (+). 4) Lupus eritematosus sistemik (LES) Darah tepi: Anemia normositik normokhrom, retikulositosis, trombositopenia, leukopenia, waktu protrombin/waktu tromboplastin partial biasanya memanjang. Immunoserologis: Uji Coomb (+). Sel LE (+) persisten. Keterlibatan ginjal ditandai dengan sindroma nefritis akut dengan atau tanpa disertai gagal ginjal akut atau sindroma nefrotik. Diagnosis: dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan gambaran biopsi ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan sampai yang berat berupa proliferatif difusa. b. SNA dengan normokomplenemia 1) Purpura Henoch-Schonlein (PHS) Hematuria, proteinuria dan silinderuria. Ureum/kreatinin serum dapat normal atau meningkat dapat terjadi penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar ureum dan kreatinin serum. Kadar protein total, albumin, kolesterol dapat normal, atau menyerupai sindrom nefrotik. Trombosit, waktu protombin dan tromboplastin normal. ASTO biasanya meningkat sedangkan IgM normal. Pada kelainan ginjal berat biopsi ginjal perlu dilakukan untuk melihat morfologi dari glomeruli pengobatan dan untuk keperluan prognosis. 2) Nefropati IgA Hematuria makroskopis biasanya bersifat sementara Kadar IgA serum biasanya meningkat (10,2%), kadar komplemen (C3, C4) dalam serum biasanya normal. Diagnosis pasti dibuat berdasarkan biopsi ginjal.

11

Tatalaksana

1. Penatalaksanaan
Semua SNA simtomatik perlu mendapat perawatan. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya dan komplikasi yang ditimbulkannya. A. Tindakan umum a. Istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti vaskuler (dispnu, edema paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang. b. Diet: Masukan garam (0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oliguria atau gejala kongesti vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/kg BB/hari) bila kadar ureum di atas 50 gram/dl. B. Pengobatan terhadap penyakit penyebab 1) GNAPS a. GNAPS tanpa komplikasi berat o Diuretika: Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah garam, diberikan furosemide 1-2 mg/kg BB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema dan tekanan darah turun. o Antihipertensif Bila hipertensi dalam derajat sedang sampai berat disamping pemberian diuretika ditambahkan obat antihipertensif oral (propranolol atau kaptopril). (lihat PPK hipertensi pada anak). o Antibiotika PP 50.000 UI/kgBB/hari atau eritromisin oral 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk eradikasi kuman. b. GNAPS dengan komplikasi berat: o Kongesti vaskuler(edema paru, kardiomegali, hipertensi) Pemberian oksigen Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/kgBB/kali) Antihipertensif oral (kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali 2-3 kali/hari) Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian digitalis. o Gagal ginjal akut (lihat PPK GGA) o Ensefalopati hipertensi (lihat PPK hipertensi) o Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik). Merupakan bentuk GNAPS berat yang ditandai serangan hematuria makroskopis, perburukan fungsi ginjal yang berlangsung cepat dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai gambaran glomerular crescent. Disamping penanggulangan hipertensi dan gagal ginjal diberikan pula pulse methylprednisolon. o 15 mg/kgBB metil prednisolon (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus sekitar 60-90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau

12

Tanda-tanda fungsi vital (denyut nadi, tekanan darah, pernafasan) Kadar elektrolit o Lanjutkan dengan metil prednisolon oral, 2 mg/kgBB/hr selama 1 bulan. Lalu dosis prednisolon diberikan secara alternate 2 mg/kgBB/ 2 hari selama 1 bulan, kemudian dilanjutkan separo dosis dengan interval 1 bulan, setelah diberikan 0,2 mg/kg sekali 2 hari selama 1 bulan lalu obat dihentikan. Tindak lanjut : o Timbang berat badan 2 kali seminggu. o Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari. o Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada, kemudian 1 kali sehari bila tekanan darah sudah normal. o Pemeriksaaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai dirawat, diulangi 1 kali seminggu atau saat penderita atau saat penderita mau dipulangkan. Urinalisis minimal 2 kali seminggu selama perawatan. Perlu dilakukan biakan urine untuk mencari kemungkinan adanya ISK. Bila ditemukan diobati sesuai dengan hasil sensitifitas. Pemeriksaan kimia darah dilakukan saat dirawat dan waktu dipulangkan. Penderita dengan komplikasi berat pemeriksaan darah terutama ureum/ kreatinin dan elektrolit lebih sering dilakukan. Pemeriksaan EKG, foto torax perlu dilakukan terutama pada penderita dengan segala kongestif vaskuler saat dirawat. Pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara serial, sedang foto toraks diulangi bila gejala-gejala kongesti vaskuler sudah menghilang pada saat penderita mau dipulangkan. Pemeriksaan funduskopi secara serial perlu dilakukan bila penderita datang dengan berdasarkan indikasi terjadinya perburukan faal ginjal secara cepat dan progresif (GN progresif cepat ) Indikasi pulang Keadaan penderita baik. Gejala-gejala SNA menghilang. Pengamatan lebih lanjut perlu dilakukan di poli khusus ginjal anak minimal 1 kali 1 bulan selama 1 tahun. Bila pada pengamatan ASTO (+) dan C3 masih rendah setelah 8 minggu dari onset, proteinuria masih + setelah 6 bulan dan hematuria mikroskopis masih dijumpai setelah 1 tahun, atau fungsi ginjal menurun secara insidius progresif dalam waktu beberapa minggu atau bulan kemungkinan penyakit jadi kronik perlu dilakukan biopsi ginjal.

2) Endokarditis bakterialis akut/ sub akut Pengobatan ditujukan terhadap endokarditis dan penyakit yang ditimbulkannya pengobatan terhadap endokarditis serta tindak lanjut (lihat SP endokarditis).

13

Pengobatan komplikasi: o Gagal ginjal akut (lihat PPK GGA ) o Dekompensasi kordis (lihat PPK gagal jantung yang berhubungan dengan endokarditis). Tindak lanjut: Serupa dengan SNA GNAPS Indikasi pulang: Keadaan umum baik, infeksi teratasi, gejala-gejala endokarditis membaik, kelainan urinalisis minimal, fungsi ginjal menunjukkan perbaikan, gejala dekompensasi menghilang. Untuk evaluasi lebih lanjut penderita perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal anak/kardiologi anak, minimal sekali sebulan.

3) Shunt nefritis
Pengobatan ditujukan terhadap kuman penyebab dan mengangkat shunt yang terinfeksi terhadap komplikasi dari shunt nefritis. o AB diberikan sesuai dengan hasil test sensitivitas o Atasi gejala yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intra kranial (lihat SP peningkatan tekanan intra kranial) o Gejala ensefalopati hipertensi diatasi sesuai PPK hipertensi o Gagal ginjal akut diatasi sesuai dengan PPK GGA Indikasi pulang Keadaan anak baik, gejala-gejala dari nefritis minimal, komplikasi yang terjadi terkontrol dengan baik. Untuk evaluasi perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal/neurologi anak paling kurang sekali sebulan. 4) Nefritis yang berhubungan dengan lupus eritematosus Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid prednisolon 2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 4-6 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sedikit demi sedikit sampai mencapai dosis 5-10mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgbb dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Setelah itu diberikan secara alternat. Bila selama perawatan penderita menunjukkan perburukan fungsi ginjal secara progresif atau dengan sindroma nefrotik diobati dengan pulse methyl prednisolon terapi, diuretika dan obat anti hipertensi. Indikasi pulang: Keadaan umum baik, gejala-gejala nefritis membaik atau menunjukkan kelainan minimal. Perlu kontrol secara berobat jalan ke poli khusus ginjal anak. 5) Nefritis yang berhubungan dengan dengan Purpura Henoch Schonlein Steroid diberikan dalam waktu pendek untuk menghilangkan gejala nyeri perut. Penderita PHS berat [dengan manifestasi ginjal berat

14

(NS,GGA dan hipertensi)] membutuhkan pengawasan yang ketat. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada keadaan ini. Obat yang digunakan dalam hal ini adalah prednison oral, methyl prednisolone, bolus intra vena, obat-obal sitostatika (siklofosfamid, azatioprin), antikoagulan, antiplatelet dan plasmapheresis. Disamping penanggulangan terhadap GGA dan hipertensi. Tindak lanjut: Semua pasien dengan HSP yang dirawat perlu dilakukan pengamatan terhadap hipertensi dan perburukan faal ginjal secara progresif, merupakan indikasi untuk biopsi ginjal. Indikasi Pulang Keadaan umum baik, urinalisis normal atau menunjukkan kelainan minimal, tekanan darah dan fungsi ginjal normal. Dianjurkan kepada penderita untuk kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal anak. 6) Nefropati IgA Pengobatan yang spesifik untuk Nefropati IgA asimtomatis belum ada. Pengobatan hanya berupa pemberian antibiotika bila dijumpai ISPA atau tonsilektomi untuk mengurangi episode dari hematuria makroskopis.. Tindak lanjut Penderita IgA tidak perlu dirawat, namun memerlukan pemantauan terus menerus terhadap kemungkinan terjadinya hipertensi dan perburukan fungsi ginjal. Edukasi

Komplikasi

Prognosis

Fase akut : a. Ensefalopati hipertensif b. Payah jantung kongestif c. Gagal ginjal akut Jangka panjang: Gagal ginjal kronik a. SNA dengan hipokomplemenemia tergantung pada penyebabnya: 1) GNAPS: Prognosis baik, 95% sembuh sempuma, 3% meninggal karena komplikasi. 2% berkembang menjadi GGK. 2) Nefritis yang berhubungan dengan endokarditis bakterialis akut/sub akut. Prognosis baik bila pengobatan terhadap penyebab dilakukan secara intensif dengan antibiotika yang cocok dan kadar komplemen kembali normal. Bila pengobatan terlambat, dapat terjadi gagal ginjal. 3) Shunt nephritis. prognosis umumnya baik, 50% dari kasus dilaporkan sembuh bila shunt yang mengalami infeksi segera diangkat dan antibiotika yang cocok segera diberikan, 20% meninggal disebabkan oleh penyakit neurologik primer, atau komplikasi pembedahan, sisanya dengan gejala sisa berupa gangguan faal ginjal, hematuria

15

dan proteinuria.
4) Nefritis lupus eritematosus sistemik (NEFLES). Prognosis berkorelasi

dengan persentase klinik saat serangan dan kelainan histologi dari glomeruli. Penderita NEFLES dengan kelainan minimal mempunyai prognosis baik sedangkan penderita NEFLES dengan tanda sindroma nefritik nefrotik yang berat (adanya hematuri, hipertensi dan insufisiensi ginjal) mempunyai prognosis jelek. b. SNA dengan normokomplemenemia 1) Nefritis Henoch Schnonlein (NHS) Prognosis bergantung pada berat dan luasnya keterlibatan ginjal saat serangan penyakit. Pada anak dengan hematuria dengan/tanpa proteinuria ringan, prognosis baik, dimana kelainan urinalisis akan menghilang sekitar 2 4 bulan, meskipun pengamatan jangka panjang menunjukkan 5-10% timbul GGK. Penderita dengan gambaran SNA yang kelainan urinalisis terus berlanjut, sebagian GGK timbul dalam beberapa bulan pertama dari onset, sebagiannya lagi sekitar 5 sampai 15 tahun pengamatan. Indikator buruknya prognosis meliputi dijumpai pula sindroma nefrotik, hipertensi gagal ginjal saat seragan dan terdapatnya gambaran glomerular crescent (bulan sabit) pada biopsi ginjal. 2) Nefropati IgA. Prognosis umumnya baik. Pada pengamatan dalam tempo yang singkat tidak pernah dijumpai gagal ginjal progresif, meskipun kelainan urine tidak termasuk hematuria berulang biasanya menetap. Pada pengamatan jangka panjang yang dilakukan dari 1 sampai 15 tahun, angka kejadian GGK antara 5 - 9%, dikaitkan dengan dijumpai gambaran glomerullar crescents pada biopsi ginjal. Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

16

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: N30.9 Halaman:

Ditetapkan oleh, Panduan Praktek Klinis Definisi Etiologi Patogenesis Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) ISK adalah infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme, terutama bakteri, dalam jumlah yang bermakna. Terutama bakteri gram negatif (terbanyak E.coli), bisa juga disebabkan bakteri gram positif, virus dan jamur. Kompleks, dipengaruhi banyak faktor: faktor host dan faktor mikroorganisme penyebab. Faktor prediposisi antara lain: fimosis, refluks vesico-ureter, batu atau benda asing disaluran kemih, jenis kelamin dll. Penyebaran melalui 2 cara: a. Penyebaran hematogen: fokus infeksi di tempat lain septikemia pielonefritis. b. Penyebaran ascenden: flora usus uropatogenikkolonisasi di perineal & uretra anterior buli-buli menembus barier mukosa normal sistitis adanya faktor predisposisi (virulensi bakteri atau faktor pejamu) pielonefritis. Pielonefritis urosepsis/refluks intra renal skar ginjal gagal ginjal kronis/hipertensi. a. Berdasarkan ada tidaknya gejala: simtomatis dari asimtomatis b. Berdasarkan konfirmasi mikrobiologik. Tersangka ISK: gejala ISK tanpa dukungan mikrobiologik ISK: ditemukan mikroorganisme c. Berdasarkan lokasi: ISK atas (pielonefritis) dan ISK bawah (sistitis dan sistouretritis) serta kombinasi. d. Berdasarkan derajat gejala klinis dibagi atas ISK ringan dan ISK berat. e. Berdasarkan adanya kelainan radiologik dibagi atas ISK komplikata dan ISK non komplikata. Adanya gejala demam, sakit pinggang, disuria, urgensi, frekuensi, polakisuria, riwayat urin berpasir/keluar batu Gejala ISK berat (demam tinggi, muntah, sepsis, kejang), kuning (pada neonates atau bayi kecil) Faktor predisposisi (higene, konstipasi, infeksi sistemik, imunokompromised) Demam, nyeri tekan supra pubik, nyeri ketok costovertebra, pucat Langkah diagnosis ISK asimtomatis diketahui pada skrining ISK simtomatis: anamnesis dan pemeriksaan fisik umum. Khusus pada neonatus perlu ditanyakan riwayat kehamilan dan persalinan dan faktor risiko infeksi lainnya. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan penyaring bakteriuria (piuria,

Klasifikasi

Anamnesis

Pemeriksaan fisik Kriteria diagnosis

17

Pemeriksaan penunjang

pengecatan Gram, test kimiawi), darah tepi, CRP, dan urinalisis lengkap, ureum dan kreatinin. Radiologi: USG dan MCU bila ada kelainan dilanjutkan dengan IVP Dasar diagnosis Bakteriuria bermakna: didapatkan koloni kuman >100.000 koloni/ml urin pada pengambilan urin secara pancaran tengah, atau beberapa kuman saja pada pengambilan sampel urin secara SPP ISK asimpmtomatik: bakteriuria bermakna yang ditemukan pada uji tapis pada anak sehat atau tanpa gejala. Keadaan ini bersifat ringan dan biasanya tidak menimbulkan kerusakan ginjal, kecuali pada wanita hamil kalau tidak diobati dapat menimbulkan ISK simtomatik. ISK simtomatis: terdapatnya bakteriuria disertai gejala klinik ISK atas: ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazim disebut sebagai pielonefritis dengan gejala utama demam dan sakit pinggang. ISK bawah: bila infeksi di vesika urinaria (sistitis) atau uretra dengan gejala utama berupa gangguan terbatas miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency). ISK ringan: gejala ringan, panas (-). ISK berat: gejala berat, panas tinggi, kejang, kesadaran turun, muntah, diare, pada neonatus sesuai dengan tanda-tanda sepsis. ISK dengan gejala sepsis: ditemukan gejala sepsis sesuai SP-nya. ISK nonkomplikata/simpleks: ISK yang tanpa kelainan struktural maupun fungsional ISK komplikata/kompleks: ISK dengan ditemukan juga kelainan anatomik maupun fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik dan sebagainya. ISK berulang/relaps: bakteriuria yang timbul kembali setelah pengobatan dengan jenis kuman yang sama dengan kuman saat biakan urin pertama kalinya. Kekambuhan dapat timbul antara 1 sampai 6 minggu setelah pengobatan awal. ISK rekuren/reinfeksi: bakteriuria yang timbul setelah selesai pengobatan dengan jenis kuman yang berbeda dari kuman saat biakan pertama. Berdasarkan pola pemikiran evidence base dan perhitungan untung-ruginya pemeriksaan pencitraan, Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan sebagai berikut: 1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan pielografi intravena (PIV) atau sintigrafi DMSA dapat dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan penanganan pasien. Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV lebih disarankan. 2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali atau ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga,

18

Tatalaksana

diperlakukan seperti pilihan no.1 di atas. 3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan dan biakan urin bila ada demam. Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan pemeriksaan USG dan MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun refluks derajat 3 atau lebih, dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada anak yang lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun skintigrafi radionuklid. Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax ISK asimtomatis diobati sesuai hasil uji sensitivitas. Sementara menunggu hasil kultur datang, tersangka ISK simtomatis ringan diobati dengan antibiotika oral Amoksisilin 50 mg/kgBB/hari atau Trimetoprim/ Sulfametoksazol (Kotrimoksazol) 8/40mg/kgBB/hari. Tersangka ISK berat diobati dengan antibiotika parenteral berupa Ampisilin 200 mg/kgBB/hari dibagi atas 4 dosis + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Setelah kultur datang diobati sesuai dengan hasil tes sensitifitas. Lama pengobatan 10-14 hari. ISK dengan komplikasi diobati sesuai komplikasi ISK dengan sepsis diobati sesuai SP Diupayakan mengoreksi/mengobati faktor predisposisi Indikasi rawat ISK dengan penyulit Tindak lanjut Selama perawatan urinalisa dilakukan 2 kali seminggu. Darah tepi sekali seminggu. Dua hingga tiga hari setelah pengobatan dimulai dilakukan biakan ulang,bila biakan steril obat diteruskan,bila biakan masih positif atau kondisi penderita tidak membaik obat diganti. Untuk mendeteksi infeksi ulangan dilakukan kultur urin setelah 1 minggu pengobatan selesai. Bila positif diobati sesuai dengan hasil tes sensitivitas.Jika hasil kultur urin steril maka kultur urin selanjutnya dilakukan sekali sebulan dalam 6 bulan pertama, kemudian sekali 2 bulan untuk 6 bulan, lalu, sekali 3 bulan untuk tahun ke-2 dan ke-3. ISK simtomatis berat segera dilakukan pemeriksaan radiologi dan faal ginjal. Untuk yang ringan atau simtomatis pemeriksaan radiologi dilakukan 1 bulan setelah pengobatan selesai dengan indikasi: semua anak <3 tahun, semua anak laki-laki, semua anak perempuan yang mendapat ISK berulang. Kalau infeksi berulang obati dengan antibiotika sesuai hasil tes sensitivitas dilanjutkan dengan AB profilaksis Kotrimoksazol 2 mg/kgBB/hari atau Nitrofurantoin 1-2 mg/kgBB/hari dosis tunggal malam hari minimal 6 bulan. Refluks berat dengan atau tanpa kelainan obstruksi konsul bedah urologi.Skar pielonefritik atau refluks sedang AB profilaksis, kemudian ulangi IVP/MCU. Jika menjadi berat konsul bedah urologi. Kontrol berkala ureum dan kreatinin (3-6 bulan), kalau terjadi gagal ginjal dan hipertensi

19

Edukasi Komplikasi Prognosis

Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

kelola sesuai SP-nya. Indikasi pulang Keadaan umum baik, gejala klinis ISK hilang, kulltur setelah 1 minggu pengobatan selesai steril dan fungsi ginjal normal. Pencegahan dengan mengenali faktor predisposisi (hygiene, mencegah konstipasi) dan lain-lain Refluks vesikoureter (2030 %), skar pielonefritik (10-20%), hipertensi, gagal ginjal. ISK non komplikata dan belum disertai komplikasi prognosis baik. ISK komplikata atau yang sering kambuh akan berlanjut menjadi gagal ginjal kronik kemudian hari. Referensi: 1. Rusdidjas, Rafita Ramayanti, Infeksi Saluran Kemih. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:142-163

20

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG

HEMATURIA No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: R31. Halaman:

Ditetapkan oleh, Panduan Praktek Klinis Definisi Etiologi Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) Hematuria adalah keadaan yang menunjukkan terdapatnya sel-sel eritrosit dalam jumlah yang abnormal di dalam urin Berasal dari glomerulus Glomerulonefritis Sindroma hemolitik uremik Hematuria berhubungan dengan olah raga Hematuria familial benigna Nefropati IgA Bukan dari glomerulus Penyakit perdarahan/gangguan faktor pembekuan Keracunan jengkol Hiperkalsiuria TBC ginjal/saluran kemih Infeksi saluran kemih Trauma Batu Defek kongenital (Ginjal polikistik & Hidronefrosis) Tumor Wilms Benda asing di ureta/vesika urena Hematuria dapat berasal dari sesuatu tempat di jaringan parenkim ginjal dan traktus urinarius, mulai dari glomeruli sampai ke uretra anterior. Mekanisme timbulnya hematuria dapat melalui beberapa cara: Proses imunologik peradangan pada glomerulo-tubulo interstisiel kapiler / arteriol glomeruli-tubulo-interstisiel rusak. Endotoksis atau infeksi langsung oleh agen infeksi (bakteri, virus, riketsia) kerusakan endotel kapiler glomeruli. Emboli septik yang tersangkut pada endotel kapiler glomeruli . Efek langsung dari obat-obat yang merusak tubulo interstisial. Kristal yang menyumbat lumen tubulus. Iritasi mukosa saluran kemih oleh mikrokristal, benda asing yang dimasukkan lewat uretra ke vesika urinaria, peradangan mukosa kerusakan kapiler. Trauma/neoplasma jaringan ginjal/saluran kemih rusak pembuluh darah pecah. Defek kongenital pada saluran kemih kerusakan pembuluh darah.

Patogenesis

21

Klasifikasi

Hematuria asimtomatis, hematuria tanpa gejala-gejala lain, Hematuria simtomatis, hematuria yang disertai gejala-gejala lain seperti edema, oliguria, gejala-gejala kongesti vaskuler, gejala-gejala SSP.

Anamnesis Pemeriksaan fisik Kriteria diagnosis Dasar diagnosis: Curigai hematuria bila urin berwarna merah terang atau gelap seperti coca-cola Langkah-langkah diagnosis: Pastikan adanya hematuria Pemeriksaan yang dilakukan adalah dispstik untuk melihat adanya kandungan hemoglobin dalam eritrosit dan hemoglobin bebas dalam urine. Sedangkan untuk melihat sel eritrosit dilakukan pemeriksaan mikroskopis sedimen urin. Bila ditemukan sel eritrosit 5/lpb hematuria mikroskopik Tentukan bentuk dari hematuria dan cari faktor penyebab. Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang identifikasi : Hematuria non glomeruler, ciri-cirinya: Urine berwarna merah terang, biasanya edema dan hipertensi tidak dijumpai. Urinalisis menunjukkan: Urin berwarna merah Bekuan darah (+) Proteinuria (+1) (-2) Silinder eritrosit (-) Bentuk eritrosit sama dan kandungan hemoglobinnya merata. Hematuria glomeruler, ciri-cirinya: Dari anamnesis didapatkan urin berwarna merah gelap, tidak nyeri waktu berkemih. Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan edema, hipertensi Urinalisis : Proteinuria (+2 - +3) Sel eritrosit (+) ( 5/lpb atau penuh/lpb) Bentuk eritrosit tidak sama dan kandungan hemoglobinnya tidak merata Silinderuria (terutama selinder eritrosit) Untuk masing-masing kelompok hematuria ditetapkan etiologinya (lihat algoritma) Bentuk Non Glomeruler a) Keracunan jengkol

22

b)

c)

d)

e)

f)

g)

h)

Diagnosis berdasarkan riwayat makan jengkol, nyeri hebat saat berkemih, mulut bau jengkol, kadang-kadang, ditemukan retensio urin, kristal asam jengkol pada orifisium uretra. Pada urinalisis dijumpai sel eritrosit penuh, lekosituria, kristal asam jengkol, proteinuria +1, kadang-kadang dijumpai tanda-tanda GGA. Hiperkalsiuria idiopatik Diagnosis dibuat berdasarkan hasil urinalisis yang menunjukkan hematuria, disertai peningkatan ekskresi kalsium dalam urin > 4 mg/kgBB/hari atau ratio Ca/kreatinin urin > 0,2. Dari riwayat keluarga ada riwayat serangan kolik ginjal/ureter yang berhubungan dengan batu. TBC Ginjal Diagnosis berdasarkan riwayat kontak (+), batuk-batuk kronik, gizi buruk, kelainan paru baik berdasarkan pemeriksaan fisik/radiologi, LED meninggi. Pada urinalisis dijumpai hematuria, piuria steril. PPD (+), Kepastian diagnostik perlu dilakukan biakan urin untuk mencari BTA. ISK Diagnosis berdasarkan riwayat panas lama, disuria, polakisuria, nyeri pinggang/sudut kosto vertebra/suprasimfisis. Hasil urinalisis menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, lekosituria. Dan pada biakan urin dijumpai bakteria bermakna. Trauma Diagnosis berdasarkan pada riwayat trauma pada daerah pinggang dan ditemukan memar/lebam pada daerah pinggang atau suprasimfisis. Pada pemeriksaan urin tampak gross hematuria dan bekuan darah (+). Untuk mengetahui lokasi/luasnya daerah yang mengalami trauma perlu dilakukan USG/PIV. Batu saluran kemih Diagnosis berdasarkan kolik ureter, kemih tidak lancar dan rasa nyeri saat berkemih. Pada anak laki-laki gejala khas adalah sering menarik penisnya ketika mau berkemih, kadang-kadang disertai keluar batu, Urinalisis hematuria, lekosituria. Diagnosis pasti USG/PIV. Tumor/defek kongenital pada ginjal/saluran kemih Diagnosis berdasarkan teraba massa dalam rongga abdomen. Untuk menentukan jenis tumor atau defek kongenital apakah tumor Wilms, ginjal polikistik atau hidronefritis perlu dilakukan USG/PIV. Penyakit pendarahan Diagnosis berdasarkan riwayat gusi mudah berdarah, sering epistaksis, pucat, biru-biru pada kulit, pada darah tepi ditemukan kadar Hb rendah, trombositopenia, waktu pembekuan dan perdarahan memanjang.

Bila bentuk non glomeruler dari hematuria hanya berupa darah sedang gambaran darah tepi normal tanpa ditemukan tanda-tanda penyakit

23

darah/perdarahan, perlu dilakukan pemeriksaan USG/PIV untuk mencari faktor penyebab perdarahan. Bila hasilnya normal kemungkinan penyebabnya berasal dari trauma uretra, benda asing di uretra, atau peradangan vesika urinaria. Untuk menentukan asal perdarahan perlu pemeriksaan sitoskopi. Bentuk Glomeruler 1) Hematuria mikroskopis Dapat merupakan salah satu bentuk glomeruler dari hematuri. Diagnosis ditegakkan bila hasil pemeriksaan fisik (+), gambaran darah tepi normal, fungsi ginjal kimia normal, sedang urinalisis memperlihatkan gambaran berupa hematuria mikroskopis dengan sel darah merah yang dismorfik. Pertimbangan penyebab apakah hematuria berhubungan dengan hematuria rekuren benigna, hematuria berhubungan dengan olahraga atau hematuria idiopatik. Lakukan observasi selama 6 bulan. Bila masih menetap perlu dipikirkan nefropati IgA. Diagnosis nefropati IgA dibuat berdasarkan adanya riwayat hematuria makroskopis timbul bersamaan dengan onset panas yang dipicu oleh ISPA. Diluar serangan hematuria hanya bersifat mikroskopis. Perlu dilakukan biopsi ginjal untuk kepastian diagnosis. 2) Glomerulonefritis Diagnosis Glomerulonetritis dapat ditegakkan berdasarkan bentuk glomeruler dari hematuria, disertai proteinuria, silinderuria dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria atau gangguan faal ginjal. Kelainan ini dapat timbul secara akut atau berlangsung kronik. Bentuk akut dari glomerulonefritis biasanya berhubungan dengan pasca infeksi streptokokus, infeksi sistemik/penyakit multi sistemik seperti Purpura Henoch Schonlein (PHS) dan lupus eritematosus sistemik (LES). Sedang yang kronik biasanya berhubungan dengan sindroma nefrotik dan penyakit ginjal herediter (sindroma Alport). Diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mencari penyebab glomerulonefritis seperti ASTO, C3, ds DNA antibodi, sel LE, biakan, ekokardiografi. 2.1 Dasar diagnosis GNAPS dibuat berdasarkan riwayat ISPA/kulit, yang diikuti kemudian oleh gejala-gejala nefritis akut. Biakan apusan tenggorok/keropeng kulit dapat (+) untuk kuman streptokokus beta hemolitikus grup A atau ASTO (+), C3 menurun. Perlu pengamatan terhadap perjalanan penyakit, karena terjadi penurunan fungsi ginjal secara cepat dan progresif (GN progresif cepat). 2.2 Penyakit infeksi sistemik yang dapat berkaitan dengan GNA antara lain: 2.2.1. Endokarditis bakterialis akut/subakut dan shunt nefritis, sedang penyakit multisistemik antara lain adalah SLE dan PHS.

24

a) Dasar diagnosis dari endokarditis adalah adanya riwayat panas lama, adanya penyakit jantung didapat/kongenital, lalu dikuti hematuria. Penyakit fisik dijumpai ruam pada kulit, kardiomegali, suara bising jantung, hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hematuria, proteinuria, silinderuria. LED meninggi, lekositosis, C3 merendah, fungsi ginjal menurun. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan darah (+) atau pada ekokardiografi ditemukan vegetasi pada katup jantung. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada kasuskasus yang mengalami perburukan faal ginjal. b) Diagnosis shunt nefritis dibuat berdasarkan adanya, riwayat pemasangan shunt atrioventrikulo/peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial. Pada pemeriksaan fisik dijumpai shunt yang sedang terpasang, hipertensi. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hematuria, proteinuria, silinderuria, kadar C3 merendah, fungsi ginjal dapat menurun. Pada kultur dapat ditemukan kuman penyebab. Biopsi ginjal perlu dilakukan bila fungsi ginjal menurun secara cepat dan progresif. 2.2.2. Beberapa penyakit multisistemik yang berhubungan dengan GNA antara lain adalah PHS dan LES. a) Diagnosis PHS ditegakkan berdasarkan temuan: riwayat ruam pada kulit, nyeri sendi, nyeri perut mendadak, urin berwarna merah gelap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan rash pada daerah bokong, dan bagian ekstensor dari ekstremitas bagian bawah, arthritis/arthralgia, kadang-kadang ada hipertensi dan edema. Pada pemeriksaan penunjang dijumpai hematuria, proteinuri, silinderuria. Fungsi ginjal dapat normal atau menurun. Kadar C3 normal. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada kasus-kasus dengan hipertensi berat dan perburukan faal ginjal. b) Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan riwayat panas lama, sakit sendi, ruam pada kulit, rambut mudah rontok. Pada pemeriksaan fisik dapat dapat dijumpai antara lain alopesia, butterfly rash, diskoid lupus, ulkus pada mulut, arthritis/arthralgia, edema, anemia, efusi pleura/perikarditis/ asites. Pada pemeriksaan penunjang dijumpai anemia hemolitik, trombositopenia, leukopenia, LED meningkat. Urinalisis dan kimia darah dapat menunjukkan

25

gambaran sindroma nefritis akut atau sindroma nefritik dengan atau tanpa disertai penurunan faal ginjal, sel LE (+), ANA (+), ds DNA antibodi (+), C3 merendah. Pada kasus LES biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnostik, pengobatan dan prognosis. 2.3 Dosis GNK yang berhubungan dengan sindroma nefritik ditegakkan berdasarkan: riwayat penyakit ginjal yang sudah lama diderita. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium dijumpai tanda-tanda dari sindroma nefrotik nefritik. Kadar C3 dapat normal atau merendah secara persisten. Perlu biopsi ginjal untuk melihat kelainan morfologi dari glomerular. Diagnosis GNK yang berhubungan dengan nefritis herediter (sindroma Alport) dibuat berdasarkan riwayat sakit ginjal pada beberapa anggota keluarga disertai tuli. Ada riwayat serangan hematuri makroskopis yang hilang timbul, disertai hematuria mikroskopis yang menetap. Hasil urinalisis dari anggota keluarga menunjukkan hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai kelainan pada mata berupa lentikonus anterior. Pada pemeriksaan audiometri dijumpai tuli neurosensoris. Biopsi ginjal perlu dilakukan untuk diagnosis. 3) Sindroma uremik hemolitik Diagnosis berdasarkan temuan riwayat diare berlendir/berdarah, Pada pemeriksaan fisik dijumpai anak tampak pucat, ruam pada kulit berupa ptekie/purpura, hepatosplenomegali, anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopeni dan penurunan fungsi ginjal.

Pemeriksaan penunjang

Berdasarkan pola pemikiran evidence base dan perhitungan untung-ruginya pemeriksaan pencitraan, Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan sebagai berikut: 1. Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan pielografi intravena (PIV) atau sintigrafi DMSA dapat dilakukan, meskipun tidak langsung terkait dengan penanganan pasien. Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik maka PIV lebih disarankan. 2. Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai 2 atau 3 kali atau ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga, diperlakukan seperti pilihan no.1 di atas. 3. Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan dan biakan urin bila ada demam. Khusus untuk neonatus laki-laki sampai usia 8 minggu disarankan pemeriksaan USG dan MSU rutin pada ISK pertamakalinya. Bila

26

Tatalaksana

ditemukan kerusakan parenkim ginjal ataupun refluks derajat 3 atau lebih, dilanjutkan dengan pemeriksaan skintigrafi radionuklid. Pada anak yang lebih besar USG dipakai sebagai penyaring dan bila dicurigai ada kelainan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti PIV, MSU maupun skintigrafi radionuklid. Pemeriksaan atas indikasi: biakan darah, foto thorax Disesuaikan dengan SP masing-masing lndikasi rawat Semua penderita dengan hematuria simtomatis Tindak lanjut Tindak lanjut disesuaikan dengan SP masing-masing

Edukasi Komplikasi Prognosis Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order) Referensi: 1. Syarifuddin Rauf, Hematuria. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:114-125

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG

HIPERTENSI No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: I10. Halaman:

27

Ditetapkan oleh, Panduan Praktek Klinis Definisi Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) TD Normal : TD sistolik atau diastolik < 90 persentil menurut gender, umur dan tinggi badan anak Pra Hipertensi : TD sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak remaja TD 120/80 mmHg meskipun < 95 persentil dianggap prahipertensi. Hipertensi adalah TD sistolik dan atau diastolik 95 persentil menurut gender, umur dan tinggi badan pada 3 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda. Hipertensi Stadium 1. TD 95 persentil sampai 99 persentil plus 5 mmHg Hipertensi Stadium 2. TD > 99 persentil plus 5 mmHg (Diambil dari National High Blood Pressure Education Program Working on High Blood Pressure in Children and adolescent. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent. Pediatrics 2004;114 (2 suppl 4th report):555-76). Catatan : Persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan diukur setidak-tidaknya 3 kali pada waktu yang terpisah, jika terdapat perbedaan persentil sistolik dan diastolik, kategorikan berdasarkan nilai yang lebih tinggi. Tabel persentil menurut jenis kelamin, umur dan tinggi badan dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Usia Penyebab Renovaskuler; trombosis a.renalis, penyakit congenital, Infant coartasio aorta, BPD < 1 tahun Stenosis a.renalis 1 - 6 tahun Penyakit parenkim ginjal; penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coarcatio aorta; hipertensi esensial 6-12 tahun Penyakit parenkim ginjal; hipertensi esensial; penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio aorta; penyakit iatrogenik 12-18 tahun Hipertensi esensial; penyakit iatrogenik; penyakit parenkim ginjal, penyakit vaskuler ginjal; penyebab endokrin; coartatio Aorta Hipertensi akan terjadi bila terdapat faktor yang meningkatkan curah jantung atau tahanan total pembuluh darah perifer. 1) Faktor yang meningkatkan curah jantung dapat melalui 2 cara: Hipervolemi o Retensi air dan garam akibat turunnya laju filtrasi glomerulus dijumpai pada penyakit glomerulonefritis atau gagal ginjal. o Masukan air dan garam yang berlebihan atau pemberian infus cairan/tranfusi darah yang tidak diperhitungkan pada penderita dengan gagal ginjal. o Ekses mineralokortikoid

Etiologi

Patogenesis

28

Stress/ansietas aktivitas sistem syaraf simpatetik yang meningkat takikardi hipertensi 2) Faktor yang meningkatkan tahanan total pembuluh darah adalah Sekresi hormon katekolamin vasokonstriksi perifer (Feokromositoma). Ekses glukokortikoid kerja enzim catekol ortometil transferase dihambat pelepasan norepinefrin oleh vesikel ke ujung saraf otot pembuluh darah meningkat vasokonstriksi (Pemberian kortikosteroid jangka lama). Sintesa zat vasodepressor (prostaglandin E2, kinin) yang dihasilkan oleh medula ginjal menurun (pada GGK). 3) Gangguan sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA) Pada penyakit parenkim ginjal unilateral atau stenosis arteri renalis Tekanan perfusi ginjal menurun aktifitas SRAA meningkat renin plasma dan angiotensin-2 vasokonstriksi perifer TTPT, Angiotensin-2 korteks adrenal aldosteron meningkat reabsorbsi Na dan air di tubulus distal meningkat retensi Na dan air ginjal meningkat ekspansi ke dalam intravaskuler meningkat hipervolemia. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan peningkatan SRAA antara lain: Hiperaldosteronism primer, Sindroma Cushing, Glomerulonefritis Akut, Sindroma Hemolitik Uremik

Klasifikasi

A. Berdasarkan etiologi 1. Hipertensi primer (esensial), penyebab tidak diketahui. Biasanya dalam derajat ringan dan lazimnya tidak memberikan gejala (asimptomatik) 2. Hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui. Gejala biasanya berasal dari penyakit yang mendasarinya : - Penyakit parenkim ginjal - Penyakit pembuluh darah ginjal - Vaskulitis - Penyakit kardiovaskuler - Penyakit endokrin seperti feokromositoma, hipertiroid - Penyakit vaskular - Kelainan neurologik B. Berdasarkan timbulnya: 1. Hipertensi akut, hipertensi yang timbul mendadak dan dalam waktu cepat 2. Hipertensi kronik, keadaan hipertensi menetap >3 bulan C. Berdasarkan Kegawatan: 1. Hipertensi krisis : Peningkatan tekanan darah dalam derajat berat yang dapat menimbulkan gangguan fungsi/kerusakan akut/sedang

29

Anamnesis

berlangsung dari organ target (nilai TD S/D berkisar antara 1,3-1,5 x persentil 95 menurut umur, jenis kelamin dan tinggi badan atau TD S/D 180/120 mmHg). Hipertensi krisis ini di bagi menjadi : a. Hipertensi urgensi : Hipertensi berat yang belum menimbulkan kerusakan akut pada organ target. b. Hipertensi emergensi : Hipertensi berat yang menimbulkan kerusakan akut atau sedang berlangsung dari organ target (otak, jantung dan ginjal). Contoh hipertensi emergensi adalah : - Hipertensi ensefalopati - Hipertensi dengan gagal jantung kongestif Nama lain dari hipertensi emergensi adalah Hipertensi akselerasi maligna hipertensi kronik/esensial yang mengalami perburukan akut akibat hipertensi yang tidak terkontrol, tidak makan obat secara teratur, atau karena perburukan penyakit yang mendasarinya. Ciri utama hipertensi akselerasi-maligna bila dilihat dengan funduskopi : - Hipertensi akselerasi : eksudat dan perdarahan pada retina - Hipertensi maligna : papil oedem. Pada hipertensi akselerasi-maligna ini disertai ensefalopati, gangguan fungsi akut atau nefropati. 2. Hipertensi non krisis: Hipertensi yang belum menimbulkan kegawatan. Contoh : - Pra-hipertensi - Hipertensi stadium I. Hal-hal yang perlu ditanyakan dapat dilihat pada tabel 1 Tabel. 1 Anamnesis Pada Anak dan Remaja Hipertensif INFORMASI RELEVANSI Riwayat hipertensi dalam keluarga, Hipertensi essensial riwayat kehamilan preeklampsi. Komplikasi hipertensi dalam anggota keluarga (stroke infark miokard, gagal ginjal). Penyakit ginjal keturunan Penyakit ginjal/tumor ginjal dalam keluarga Riwayat pemakaian kateter arteri Kelainan renovaskuler umbilikalis pada masa neonatus Sakit kepala, pusing, epistaksis, Gejala tidak khas dapat gangguan penglihatan menunjukkan derajat hipertensi Sakit perut/pinggang, disuria, enuresis Penyakit parenkim ginjal hematuria, panas dalam Palpitasi, sering berkeringat, muka Feokromositoma kemerahan, berat badan turun, poliuria, polidipsia, sering sakit kepala Pembengkakan/nyeri sendi, sembab Bentuk nefritis yang kelopak mata tungkai ruam kulit berhubungan dengan penyakit multi sistemik Kejang otot, lemas, konstsipasi Hiperaldosteronisme/hipokalemia

30

Pemeriksaan fisik

Kriteria diagnosis

Badan lemas, parestesia, retardasi Sindrom Cushing pertumbuhan, perubahan habitus tubuh Teraba masa oleh orang tua dalam Tumor ginjal rongga abdomen, demam Riwayat trauma di daerah Trauma perut/punggung, nyeri perut, hematuria, demam Minum pil kontrasepsi, amfetamin, Hipertensi karena obat kokain, koritkosteroid, pemakaian obat tetes hidung (golongan simpatomimetik) Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat. dan sistematis oleh karena ada beberapa kelainan yang dapat ditemukan dan merupakan tanda-tanda etiologi dari hipertensi (tabel 2). Tabel. 2 Tanda-tanda kelainan yang perlu diamati pada pemeriksaan fisik PEMERIKSAAN FISIK RELEVANSI Tensi tungkai rendah dibandingkan dengan Koarktasio aorta tensi lengan. Denyut nadi femoralis tibialis dan dorsum pedis lemah, murmur (+) Edema pada muka atau pretibia Penyakit ginjal Pucat, muka kemerahan, banyak keringat, Feokromositoma takikardia Bercak caf au lait neurofibroma Penyakit vonreekling hausen Moon facies, buffalo-hump hirsutisme, Sindrom Cushing stria, truncal obesity Weeb neck, dasar rambut rendah, jarak Sindrom Turner puting susu melebar Facies elfin, pertumbuhan terlambat Sindrom Williams Pembesaran kelenjer tiroid, eksofthalmus Hipertiroid Bruit di daerah epigastrium/punggung Penyakit renovaskuler Bruit diatas pembuluh darah besar Sindrom William/artritis Tumor abdomen unilateral atau bilateral Tumor Wilms neurofibroma, ginjal polikistik, hidronefrosis Pembesaran jantung Hipertensi kronik Kelainan fundus Hipertensi kronik dan derajat berat Palsi bell Hipertensi kronik Hemparesis Hipertensi kronik/akut berat dengan stroke Tentukan apakah anak hipertensi atau tidak, sesuai dengan batasan hipertensi Bila anak hipertensi maka langkah yang dilakukan sebagai berikut: a) Cari penyebabnya, tentukan derajat berat dan timbulnya b) Cari komplikasinya c) Pemeriksaan yang dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.

31

Pemeriksaan penunjang

Bila anak dengan prahipertensi, maka untuk mencari etiologi dan faktor resikonya cukup dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tahap 1A. Bila dijumpai hipertensi grade 1 atau grade 2 disamping pemeriksaan tahap 1A adakalanya diperlukan pula pemeriksaan tahap 1 B, 2A, dan 2B Hipertensi essensial didiagnosis sebagai penyebab hipertensi, bila pada anamnesis ada riwayat hipertensi dalam anggota keluarga, riwayat komplikasi dini hipertensi (stroke, infark myokard, gagal jantung), hubungannya dengan hipertensi ditemukan, obesitas, dan pemeriksaan penunjang tahap 1 A semuanya normal Penyakit ginjal dicurigai sebagai penyebab hipertensi bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik dijumpai tanda-tanda/gejala yang mencurigakan ke arah penyakit ginjal, sedangkan diagnosis ditegakkan berdasarkan kelainan pada pemeriksaan tahap 1A. Untuk mendiagnosis jenis-jenis dari penyakit parenkim ginjal lainnya diperlukan bantuan beberapa pemeriksaan tambahan (tahap 1 B). Jenis pemeriksaan yang diperlukan tergantung dari kelainan yang didapatkan pada tahap 1A 1) Pemeriksaan tahap lA, untuk mendeteksi penyakit ginjal: Urinalisis, biakan urin Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, profil lipid, KGD puasa, elektrolit) EKG/ Echocardiography Klirens kreatinin dan ureum Darah lengkap Foto thorax 2) Pemeriksaan tahap 1 B untuk mendiagnosis jenis-jenis penyakit ginjal ASTO komplemen (C3) Sel LE, uji serologi untuk SLE (ANA, ds DNA antibodi) Pielografi intravena Miksio sistouretrografi (MSU) Biopsi ginjal Bila dicurigai penyebab hipertensi berkaitan dengan stenosis arteri renalis atau gangguan endokrin berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa hasil pemeriksaan tahap lA dan 1 B, untuk menegakkan diagnosis perlu bantuan beberapa pemeriksaan penunjang lain tahap 2A dan 2B yang hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar dimana fasilitasnya lebih lengkap. 3) Pemeriksaan tahap 2A untuk diagnosis ke arah stenosis arteri renalis dan kelainan endokrin (dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap) Aktivitas renin plasma dan aldosteron Katekolamin plasma Katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin Aldosteron dan metabolit dalam urin (17 ketosterol dan 17 hidroksikortikosteroid)

32

Tatalaksana

3) Pemeriksaan tahap 2B untuk diagnosis yang lebih spesifik (dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap) Tc 99m DTPA atau DMSA scan CT scan abdomen Arteriografi/digital substraction angiografi Katekolamin vena kava (KVK) Analisis aldosteron dan elektrolit urin Uji supresi dengan deksametason Renin vena renalis (RVR) Indikasi rawat inap: Semua penderita hipertensi sekunder Hipertensi essensial grade II Penatalaksanaan I. Terhadap Hipertensi: A. Pengobatan Non Farmakologik: 1. Hipertensi Non Krisis 1.1 Pra-Hipertensi Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Pengobatan ini ditujukan pada anak remaja dan adolescent dengan hipertensi esensial yang mengalami obesitas, yaitu dengan cara : Diet rendah garam 1200-1500 mg/hari Menurunkan berat badan dengan mengatur diet Olahraga seperti jalan santai, joging atau bersepeda Kebiasaan merokok dan minum alkohol dihentikan Bila dengan langkah di atas TD tidak turun dan cenderung naik setelah beberapa minggu sampai 6 bulan, maka diberikan obat tambahan farmakoterapi (antihipertensi). 1.2.Hipertensi stadium 1 Pengobatan dengan modifikasi gaya hidup. Bila gagal, baru masuk ke terapi farmakologik. B. Pengobatan Farmakologik Indikasi pengobatan farmakologik : a. Hipertensi stadium I yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi non farmakologik atau menjadi hipertensi stadium II. Pengobatan farmakologik dimulai dahulu dengan satu obat (diuretik) atau obat antihipertensi seperti beta blocker, ACE inhibitor atau Ca channel blocker, dimulai dengan dosis kecil dahulu. Bila belum respon, dosis dapat dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal. Bila masih gagal, berikan terapi kombinasi. Sasaran pengobatan : menurunkan TD < 95 persentil, kemudian menurunkan TD < 90 persentil. b. Hipertensi sekunder

33

Disamping menurunkan TD, penyebab dan komplikasi yang timbul harus dicari dan ditanggulangi. c. Hipertensi Krisis Pada penderita dengan hipertensi urgensi biasanya digunakan obatobatan oral, sedangkan pada penderita hipertensi emergensi digunakan obat-obatan parenteral. Adapun obat-obatan yang biasa dipakai di Bagian IKA RSMH dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Kelas Obat-obatan Dosis Awal Dosis Maksimal ACE inhibitor Enalapril 0,08 mg/kgbb/hari 0,6 mg/kgbb/hari Dibagi 2 dosis Sampai 40 mg/hari Lisinopril 0,07 mg/kgbb/hari 0,6 mg/kgbb/hari Dbagi 2 dosis Sampai 40 mg/hari Captopril 0,36 mg/kgbb/hari 0,5mg/kgbb/kali Diberikan 2-3x/hari Beta blocker Propanolol 0,5-1 mg/kgbb/hari 5 mg/kgbb/hari Dibagi 2-3 dosis Diuretik Hidroklortiazid 1 mg/kgbb/hari 3 mg/kgbb/hari Dibagi 2 dosis Sampai 50 mg/hari Furosemid 1-2 mg/kgbb/hari 6 mg/kgbb/hari Dibagi 2 dosis Efek samping yang perlu diperhatikan: Kelas Obat-obatan Efek Samping ACE inhibitor Enalapril Diare, mual, sakit kepala, rash, batuk, hipotensi Lisinopril Diare, mual, muntah, dispepsia, sakit kepala, vertigo, batuk, hipotensi Captopril Batuk, diare, sakit kepala, mual, muntah, rash, hiperkalemia, netropenia Beta blocker Propanolol Vertigo, rash, akral dingin, bradikardi Diuretik Hidroklortiazid Hipotensi, konstipasi, anoreksia, rash, purpura, hipokalemia, hipomagnesia. Furosemid Hipotensi, pankreatitis, jaundice, anemia, mual, rash. Pengobatan Hipertensi Krisis (emergensi)

34

Prinsip: tekanan darah harus diturunkan secepatnya dengan menggunakan obat antihipertensi yang poten, guna mencegah kerusakan berlanjut dari organ target. Obat-obat : klonidin (Catapres) dan furosemide. Klonidin diberikan secara infus tetes dengan dosis 0,002 mg/kgBB dilarutkan dalam 100 ml larutan glucosa 5% dengan kecepatan XII tetesan mikro/menit, dinaikkan 6 tetes tiap 30 menit, sampai tekanan darah diastolik < 100 mmHg. Dosis maksimal 36 tetes/menit atau 0,006 mg/kgBB. Bila terdapat over load atau anak tidak dehidrasi diberikan furosemid secara IV dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Bila tekanan darah diastolik belum turun, tambah kaptopril, dosis awal 0,3 mg/kg/kali, dosis maksimal 2 mg/kali, diberi 2-3 kali/hari. Bila Td D Turn di bawah 100 mgHg, tetesan klonidin diturunkan secara bertahap, sedangkan kaptopril terus diberikan seperti dosis diatas (gambar 1). Prinsip pengobatan hipertensi kronik hampir sama dengan hipertensi akut, hanya saja perbedaan interval penambahan dosis dan jenis obat lebih panjang yaitu 2-4 minggu. Pengobatan hipertensi akselerasi, penurunan tekanan darah dengan menggunakan obat parenteral tidak boleh terlalu cepat seperti pada hipertensi akut yang mengalami krisis. Tekanan darah diturunkan 30% dalam 6 jam pertama, untuk mencegah iskemia otak, lalu 1/3 lagi 12-36 jam dan sisanya 2-4 hari.

II. Pengobatan terhadap penyakit penyebab: Tindakan operasi perlu dilakukan antara lain pada kasus: 1) Koartasio aorta-stenosis arteri renalis/penyakit parenkim ginjal unilateral 2) Tumor ginjal 3) Feokromositoma, adenoma kelenjar adrenal. Tindak lanjut Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan setiap 4-8 minggu pada penderita hipertensi essensial ringan yang berobat jalan. Perlu dijelaskan tentang manfaat pengobatan non farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah. Penderita hipertensi derajat 1 dan 2 yang sedang dirawat perlu dilakukan pengukuran tekanan darah 2-3 kali sehari. Faal ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks/darah tepi umumnya dilakukan saat penderita dirawat dan pada waktu pulang. Hipertensi stadium 2, pengukuran tekanan darah lebih sering dilakukan, bila perlu setiap 3 jam sekali. Fungsi ginjal/kimia darah/EKG/foto thoraks, darah tepi dilakukan saat penderita dirawat dan saat dipulangkan. Bagi penderita yang tidak menunjukkan tanda kongesti vaskuler saat dirawat, foto thoraks/EKG hanya dilakukan 1 kali saja. Penderita hipertensi berat dengan krisis, pengawasan lebih ketat untuk itu sebaiknya penderita dirawat di ruang ICU anak, agar pemantauan fungsi

35

vital, .jumlah cairan, efek pengobatan terhadap penurunan tekanan darah dapat dilakukan secermat mungkin. perlu pemantauan funduskopi, EKG, darah tepi, gagal ginjal (jumlah diuresis, BUN/kreatinin serum/elektrolit secara berkala). Pemeriksaan foto rontgen dada dilakukan setelah tekanan darah terkontrol. Terhadap penderita ini perlu dicari komplikasi berat yang mungkin timbul seperti ensefalopati, dekompensasio kordis, gagal ginjal atau infeksi. Bila komplikasi ini timbul perlu segera diatasi. Pada penderita ensefalopati hipertensi adakalanya diperlukan pemeriksaan CT scan bila dengan pengobatan antihipertensi tekanan darah sudah turun menjadi normal, akan tetapi kesadaran penderita tidak membaik. Pada penderita dengan ISK, perlu dilakukan pengamanan tentang struktur anatomi dari ginjal dan saluran kemih dengan USG/PIV/MCU.

Indikasi pulang Keadaan umum, tekanan darah normal (< persentile ke-90), penyakit penyebabnya (pada anak-anak) terbanyak penyebab hipertensi adalah GNA, gejala-gejala dari penyakit penyebab cenderung menghilang. Penderita dinasehatkan untuk kontrol berobat ke poli khusus ginjal anak. Edukasi Komplikasi Hipertensi bila terjadi akut atau dalam derajat berat dapat menimbulkan ancaman terhadap kehidupan atau kerusakan akut yang sedang berlangsung dari organ target. Hipertensi bila berlangsung kronil (misalnya hipertensi esensial) tanpa diobati bisa menyebabkan faktor resiko terhadap penyakit: Penyakit kardiovaskuler Penyakit serebrovaskuler Gagal ginjal kronik Bila terjadi perburukan akut akan timbul komplikasi berupa hipertensi akselerasi maligna. Prognosis tergantung dari derajat beratnya hipertensi, kecepatan penanganan komplikasi dan penyakit yang mendasarinya.
Gambar 1. Skema pengobatan hipertensi krisis dengan Klonidin
Klonidin drip 0,002 mg/kgBB/8 jam Dalam 100 ml glukosa 5 % (12 tetes mikro) Maksimal 0,006 mg/kgBB/8 jam

Prognosis Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

Td Dias 90-100 mmHg

Skema pengobatan hipertensi krisis/ensefalopati dengan Nifedipin Furosemide 1-2 mg/kgBB/kali


NIFEDIPIN SUBLINGUAL 0.1 mg/kgbb Di naikkan 0.1 mg/kgbb/kali setiap Kaptopril oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimal 2 5menit, mg/kgBB/kali 2-3pada 30 menit pertama kali/hari Lalu setiap 15 menit pada 1 jam, selanjutnya tiap 30 menit Dosis maksimal 10 mg/kali + LASIX 1 mg/kgbb/kali, 2 x sehari Oral: bila KU baik + bila tensi ti dak turun KAPTOPRIL 0.3 mg/kgbb/kali 2-3 x sehari (maks. 2 mg/kgbb/kali)

STABIL Klonidin stop Kaptopril terus

DIASTOLIK 90 100 mmHg

36
Tekanan darah diukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, setiap 15 meni t pada 1 jam pertama, selanjutnya setiap 30 menit sampai tensi diastolik < 100 mmHg, selanjutnya tiap 1-3 jam sampai tensi stabil STABIL NIFEDIPIN RUMAT 0.2 mg 1 mg/kgbb/hari, 3 -4 x

Referensi : 1. Dahler Bahrun, Hipertensi Sistemik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002: 242-289

37

38

39

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG

GAGAL GINJAL AKUT (GGA) No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: N17.Halaman:

Ditetapkan oleh, Panduan Praktek Klinis Definisi Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat terjadinya penimbunan hasil metabolit senyawa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. 1) GGA pre renal akibat hipovolemia, hipotensi dan hipoperfusi ginjal, sebagai akibat: Kehilangan darah: trauma, pendarahan Kehilangan air dan elektrolit: gastroenteritis akut Kehilangan plasma: luka bakar, peritonitis Hipoalbuminemia berat pada sindroma nefrotik Dekompensasio kordis: infark miokard Pada neonatus akibat sepsis/asfiksia berat 2) GGA rena1, sebagai akibat: a. Kerusakan epitel tubulus: Nekrosis tubular akut o Tipe iskemik: kelanjutan dari GGA pra-renal o Tipe nefrotoksik: obat-obatan seperti aminoglikosida, zat kontras radioopak, pigmen (hemoglobinuria / mioglobinuria), logam berat, hiperurisemia b. Kerusakan glomerulus o GNA o Sindroma hemolitik uremik c. Penyakit vaskuler d. Anomali ginjal (ginjal polikistik, multikistik/displastik) 3) GGA paska renal Obstruksi: valvula uretra posterior, batu, bekuan darah, tumor, kristal (asam jengkol, asam urat) Lampiran 1 1) Gagal ginjal akut non oligurik: produksi urine normal, akan tetapi terdapat peningkatan kadar ureum dan keratin serum. Biasanya timbul akibat pemakaian obat bersifat nefrotoksik (gol. aminoglikosid). 2) Gagal ginjal akut oliguria: ditandai dengan volume urine < 240 ml/m2/24 jam atau 0,5 - 1 ml/kgBB/jam. Pada neonatus < 1ml/kgBB/jam. Tentukan penyebab GGA 1) GGA pra renal: riwayat kekurangan cairan (diare, muntah), kehilangan darah/plasma (trauma, luka bakar), pembedahan, sakit jantung dll. 2) GGA pasca renal: riwayat ISK berulang, nyeri pinggang, hematuria, riwayat batu, bila berkemih sering mengedan dan tidak lancar, terasa nyeri yang hebat pada waktu berkemih, ada riwayat makan jengkol. 3) Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah

Etiologi

Patogenesis Klasifikasi

Anamnesis

40

Pemeriksaan fisik

Kriteria diagnosis

Pemeriksaan penunjang

berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal. Perlu ditanyakan riwayat yang mengarah ke penyakit tertentu, seperti faringitis/impertigo beberapa hari sebelum munculnya GGA, riwayat kemih berwarna merah gelap. Riwayat diare berlendir/atau bercampur darah, urine berwarna merah gelap, ruam pada kulit, pucat, gambar darah tepi menunjukkan anemia hemolitik mikroangiopati dan trombositopeni menjurus kearah diagnosis SHU. Riwayat pemakaian obat-nefrotoksik, demam nyeri sendi, urtikaria, sedang hematuria dan piuria disertai sel epitel tubulus. 1) GGA pra renal: Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tanda dehidrasi, luka bakar, takikardi, tanda-tanda gagal jantung kongesti (edema paru, kardiomegali, bising jantung). 2) GGA pasca renal Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan retensio urine (kandung kemih penuh), terasa massa di rongga abdomen, atau terlihat ada kristal asam jengkol pada ofisium urethra eksterna. 3) Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada kelopak mata dengan atau tanpa hipertensi mengarah dugaan pada GNAPS. Ruam pada kulit, arthiritis, arthralgia, nyeri perut, mengarah dugaan pada vaskulitis. GGA oliguria Volume urine pada seorang anak <240 ml/m2/24jam atau <10 ml/kgBB/jam atau pada neonatus <1 ml/kgBB/jam, disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dalam waktu yang cepat. GGA non oliguria Kadar ureum dan kreatinin serum naik dengan cepat namun volume urine normal Laju filtrasi glomerulus diperkirakan dengan formula: Klirens kreatinin (rumus Schwart) = K x tinggi badan (cm) kreatinin serum (mg/dl) Nilai K (konstanta) tergantung usia: BBLR < 1th = 0,33 Aterm < 1th= 0,45 1-12 th = 0,55 Perempuan 13-21th= 0,57 Lelaki 13-21 th = 0,70 1) GGA pra renal: Gambaran urine: osmolalitas urine > 500, BJ> 1,020, rasio osmol urine/plasma > 1,3, Na urine < 20, fraksi ekskresi (FE) Na < 1 2) GGA pasca renal: Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria, hematuria, piuria, kristal asam jengkol Pada pemeriksaan USG dapat dijumpai kemungkinan adanya dilatasi sistem pelvicokalises. 3) Bila penyebab GGA pra-renal/paska renal dapat disingkirkan langkah

41

Tatalaksana

berikutnya adalah mencari etiologi GGA intra renal. Pada GGA intra renal gambaran urinalisis menunjukkan: BJ urine <1,020, osmol Urine < 350, ratio osmol urine/plasma < 1,2, Na urine >20, FE Na> 2. Pemeriksaan laboratorium lain yang menyokong GGA intra renal adalah azotemia yang meningkat cepat, peningkatan kadar kreatinin 0,51,5 mg/dl/hari sedangkan BUN meningkat 10-20 mg/dl/hari. Biopsi ginjal hanya diindikasikan pada kasus-kasus yang tersangka glomerulonefritis dengan perburukan akut dari fatal ginjalnya 1) Ginjal akut pra renal. Tergantung dari penyebab. Pada keadaaan tertentu perlu dilakukan pengukuran tekanan vena sentral (CVP) untuk mengevaluasi hipovolemia CVP normal = 6-10 cm Hg. Bila CVP < 10 cm Hg hipovelemia Jenis cairan yang digunakan tergantung dari etiologi hipovolemia. Pada GE + dehidrasi berat diberikan Ringer laktat sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberikan transfusi darah. Syok pada sindroma nefrotik akibat hipoalbuminemia, diberikan infus low salt albumin atau plasma. Pada dehidrasi yang etiologinya tidak jelas diberikan RL 20 ml/kgBB selama 1 jam. Diuresis biasanya terjadi 2-4 jam pemberian tetapi rehidrasi dilanjutkan dengan diuretika. Terapi cairan secara cepat ini berguna untuk membedakan apakah GGA bersifat pra-renal atau intra renal. Respon terapi dikatakan baik, bila diuresis > 1 3 ml/kgBB/jam. Cara lain membedakan kedua keadaan ini adalah dengan diuresis paksa dengan catatan penderita sudah lama dalam keadaan hidrasi tetapi masih oliguria. Diberikan furosemid dengan dosis 1 -2 mg/kgBB IV. Bila terjadi peningkatan diuresis 6 10 ml/kgBB/jam, GGA bersifat pra-renal, bila tidak GGA bersifat intrarenal. Bila penyebabnya gagal jantung, terapi cairan tidak dianjurkan, karena akan menambah beban jantung. Pengobatan yang diberikan adalah furosemid dan inotropik (dopamin, digoksin). Dopamin diberikan dengan dosis (1-3 mikrogram)/kgBB, secara infus tetes guna meningkatkan aliran darah ginjal dan curah jantung 2) Gagal ginjal paska renal Terapi spesifik pada gangguan ini adalah menghilangkan obstruksi, mungkin perlu pemasangan foley kateter, vesikotomi tube nefrostomi. Obstruksi yang telah terkoreksi dapat mengalami piuria dengan kemungkinan hipokalemia, hiponatremia, hipotensi sampai kolaps. Dalam hal ini terapi cairan harus betul-betul diperhatikan. 3) Gagal ginjal akut intra renal a. Terapi konservatif 1. Restriksi cairan Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan insensible water loss

42

2.

3.

4.

5.

+ jumlah urine 1 hari sebelumnya jumlah cairan yang keluar bersama muntah, berak, slang nasogastric, dll + kenaikan suhu setiap 1 C diatas 37,5 oC sebanyak 12% berat badan. Perhitungan IWL didasarkan pada kalori expenditure, sesuai berat badan: 0 10 kg : 100 kal/kgBB 11 20 kg : 1000 kal + 50 kal/kg/hari diatas 10kg > 20 kg : 1500 20 kal/kg/hari diatas 20 kg Jumlah IWL = 25 ml/100 kal. Secara praktis perhitungan yang digunakan anak umur < 5 tahun = 30ml/kgBB/hari, anak umur>5 tahun = 20ml/kg/hari. Cairan sebaiknya diberikan per oral, kecuali bila muntah Jenis cairan yang digunakan: Bi1a anuria: glukosa 10% bila oliguria glukusa 10% 3:1. Kalau menggunakan vena sentralis dapat digunakan glukosa 20-40%. Jumlah kalori minimal yang diberikan untuk mencegah katabolisme 400 kkal/m2/hari. Bila terapi konservatif berlangsung > 3 hari pertimbangkan pemberian emulsi lemak dan protein 0,5 - 1 g/kgbb/hari.. Pemberian protein dilakukan sesuai dengan jumlah diuresis. Pengobatan komplikasi Asidosis melabolik dikoreksi dengan cairan bicnat 7,5 % sesuai dengan hasil analisis gas darah. Yaitu akses basa x berat badan x 0,3 (meq) atau kalau ASTRUP tidak ada dapat dengan koreksi buta 2-3 meq/kg/hari Hiperkalemia Bila kadar kalium serum 5,5 - 7 meq/l perlu diberikan kayexalat 1 gr/kgBB per oral /rektal 4 x sehari Kalium serum > 7 meq/l atau ada kelainan EKG/atau aritmia jantung perlu diberikan glukonas kalsikus 10% 0,5 ml/kgBB IV lambat-lambat dalam 5-10 menit, natrium bikarbonat 7,5 % 2,5 meq/kg BB IV dalam waktu 10-15 menit Bila hiperkalemia masih ada glukosa 20% (1cc/kgBB atau 0,5 g glukosa/kgBB) + 0,5 U insulin dan siapkan dialisis Hiponatremia Dikoreksi bila kadar natrium < 120 meq/l atau timbul gejala. Dosis yang digunakan adalah 0,6 x BB x (Na yang diharapkan Na serum yang didapat) meq/l diberikan dalam bentuk larutan NaCl hipertonis (3%) selama 4 jam infus. Koreksi diberikan separohnya untuk mencegah hipertensi atau overload cairan. Kejang Diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang. Koreksi terhadap penyebab kejang (Kejang pada GGA dapat disebabkan gangguan elektrolit, hipertensi atau uremia) Tetapi diatasi dengan injeksi kalsium glukonas 10 % 0,5 cc/kgBB IV lambat-lambat.

43

6.

Hiperfosfatemia Diatasi dengan aluminium hidroksida 60 mg/kgBB dibagai 3 dosis, atau dengan calcium karbonas 500 1 gram/hari. 7. Anemia Jika kadar Hb turun di bawah 6 g/dl, diberikan darah segar atau PRC. 8. Kongesti vaskuler Gejala edema paru/gagal jantung kongesti diatasi dengan furosemid IV dosis 1-2 mg/kgBB/kali, oksigen, tourniquet atau plebotomi, pemberian morfin 0,1 mg/kgBB. Bila tidak berhasil dalam waktu 20 menit segera dilakukan dialisis. 9. lnfeksi Harus ditanggulangi. Dosis obat harus disesuaikan dengan derajat penurunan faal ginjal 10. Hipertensi Diatasi sesuai dengan standard profesi 11. Hiperurisemia Kadar asam urat dapat meningkatkan sampai 50 mg/dl. Bila terjadi peningkatan diberikan alopurinol dengan dosis 100-200 mg untuk anak usia < 8 tahun dan 200-300 mg untuk usia diatas 8 tahun, dibagi 2 dosis. b. Terapi pengganti Dialisis: Dilakukan atas indikasi: a. Kadar Ureum darah > 200 mg/dl. b. Hiperkalemia berat (K>7,5 meq/l) yang tidak menunjukkan respon dengan pengobatan konservatif. c. Bikarbonas plasma 12 meq/ l. d. Gejala-gejala kongesti vaskuler yang tidak dapat diatasi dengan terapi medikamentosa. e. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat seperti pendarahan penurunan kesadaran sampai koma. Fase diuresis: Pada fase ini harus diawasi jumlah diuresis/hari. Bila terjadi diuresis yang masif harus mendapat penggantian cairan dan elektrolit yang sesuai.

4. Tindak lanjut
1) Selama perawatan perlu dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, ritme jantung, suhu tubuh. 2) Pemeriksaan Hb/Ht/trombosit secara berkala 3) Pemeriksaan ureum/kreatinin dan elektrolit serum secara berkala 4) Analisis gas darah bila ada

44

5) 6) 7)

Masukan cairan dan jumlah diuresis/24 jam EKG secara serial Foto rontgen dada

Indikasi pulang: Bila keadaan umum baik, fungsi ginjal baik, komplikasi yang terjadi sudah menghilang. Nasehat perlu kontrol berobat jalan ke Poli Khusus Ginjal anak. Edukasi Komplikasi

Prognosis Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

Uremia dengan segala akibat Edema/kongesti vaskuler Hipertensi berat Gangguan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia). Asidosis metabolik Kejang Infeksi Tergantung pada penyebab dan kecepatan bertindak Referensi : 1. Alatas H, gagal ginjal akut Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:490-508 2. Noer MS, Soemiyarso N, Prasetyo RV, Gagal Ginjal Akut. Dalam Naskah Lengkap SINAS dan Workshop Nefrologi IDAI, Bali,2009 Lampiran 1. Lampiran 2.

45

Lampiran 1. Pathogenesis Gagal Ginjal Akut


Faktor pencetus:

Perfusi ginjal Total aliran darah ginjal Konsumsi O2

Reabsorpsi Na tubular Proximal

Oliguria BUN

Redistribusi aliran darah ginjal Laju filtrasi glomerulus

Konsentrasi Na pada cairan tubulus distal Stimulasi pada apparatus jukstaglomerular Pelepasan rennin dan aktivasi local

Aktivitas renin plasma

Aktivasi local angiotensin II Glomerular afferent Vasokonstriksi arteriol

46

Lampiran 2. Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan GGA


Gambaran urinalisis: urine nephritis (hematuria, proteinuria, selindernuria) + Oliguria serta azotemia

GGA
Tentukan faktor penyebab Anamnesis Pemeriksaan . Fisik Pemeriksaan Penunjang - Urinalisis - Profit biokimiawi - Darah tepi lengkap - Petunjuk pem. urine

Diare/muntah/pendarahan Hipotensi/curah jantung Petunjuk urinalisis BUN/kreatinin>20 Osmolalitas urine>500 FE Na, 1%

Overload cairan Hipertensi Keterlibatan multisistemik Gambaran apusan darah abnormal Trombositopenia Sedimen urine aktif Osmol urine < 350 FE Na > 2%

Riwayat ISK
Riwayat makan jengkol Riwayat batu Kandung kencing penuh GGA yang tidak dapat dinyatakan dengan anamnesis dan PF

Suspek pre renal ARF

Suspek intrisik renal ARF


Pemeriksaan pencitraan Biopsi ginjal

Suspek paska renal ARF


Kateterisasi Pem. pencitraan

Rehidrasi Transfusi Obat inotropik

Diuresis

Oliguria menetap

Awasi jumlah cairan Koreksi asidosis Koreksi elektrolit Dukungan nutrisi

Koreksi Bedah

Membaik

Diuretik/ dopamin

Membaik

Overload cairan yang nyata Edema paru/gagal jantung Kongesti sulit diatasi Asidosis metabolik tak dapat diatasi Hiperkalemia tidak terkontrol Hipemetabolisme/uremia

Oliguria DIALISIS

47

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG

GAGAL GINJAL KRONIK No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: N18.Halaman:

Ditetapkan oleh, Panduan Praktek Klinis Definisi Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) GGK adalah suatu keadaan gangguan yang kompleks, baik klinis, kimiawi maupun metabolisme tubuh sebagai akibat menurunnya fungsi ginjal yang kronik dan progresif dalam hal ini kecepatan glomerulus (KFG)

Etiologi Patogenesis Klasifikasi

Ada 3 tingkatan GGK berdasarkan penurunan KFG, yaitu:

1) GGK awal: LFG menurun antara 15-30 ml/men/1,73 m2 2) GGK lanjut: LFG menurun antara 5-15 ml/men/1,73 m2 3) GGK terminal: LFG menurun < 5 ml/men/1,73 m2
Anamnesis Pemeriksaan fisik Lemah, letargi, penurunan kesadaran somnolen-koma, sesak nafas, anoreksia, mual, muntah, hematemesis, pucat Anemia, purpura Edema, hipertensi Rikets, osteomalasia, hiperfosfatemia. Hipokalsemia, hiperparatiroidisme, pruritis Hiperkalemia, asidosis, metabolik, hiperuriasidemia. Retardasi pertumbuhan, neuropati perifer Perikarditis, kardiomiopati, gagal jantung

Kriteria diagnosis Pemeriksaan penunjang

48

Tatalaksana

1) Pengobatan konservatif Pengobatan ini masih dapat dilakukan bila klirens kreatinin > 5 ml/mnt/1,73 m2 Tujuan pengobatan ini untuk memperbaiki keadaan umum, sehingga bila penderita jatuh dalam stadium terminal dari perjalanan GGK, maka untuk mendapatkan dialisis dan transplantasi ginjal, kondisi fisiknya tetap dalam keadaan optimal. a. Kebutuhan Kalori Anak dengan GGK harus mendapat masukan kalori minimal 40-120 kcal/kgBB/hari. Dapat dipakai patokan minimum RDA seperti terlihat pada tabel 1. Tabel-1. Rekomendasi Pemberian Kalori sehari-sehari pada anak dengan insufesiensi Ginjal Kronik sesuai Umur Usia Tinggi Energi Protein Kalsiu Fosfor (Cm) (kcal) minimal m (gr) (gr) (gr) 0-2 bln 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2 2-6 bln 63 110/kg 2 /kg 0,5 0,4 6-12 bln 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5 1-2 th 81 1100 18 0,7 0,7 2-4 th 98 1300 22 0,8 0,8 4-6 th 110 1600 29 0,9 0,9 6-8 th 121 2000 29 0,9 0,9 8-10 th 131 2100 31 1,0 1,0 10-12 th 141 2450 36 1,2 1,2 12-14 th L 151 2700 40 1,4 1,4 12-14 th P 154 2300 34 1,3 1,3 14-16 th L 170 3000 45 1,4 1,4 14-16 th P 159 2350 35 1,3 1,3 16-22 th L 175 2800 42 0,8 0,8 16-22 th P 163 2200 33 0,8 0,8 b. Kebutuhan protein Pada anak dengan GGK pembatasan protein dimulai pada klirens kreatinin di antara 15-20 ml/men/1,73 m2. Protein sebaiknya protein hewani. Pembatasan protein dapat disesuaikan dengan usia dan KFG seperti terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Anjuran Intake Protein untuk anak dengan insufesiensi ginjal Sesuai dengan Umur dan LFG Usia 50-20 20-10 10-5 (120% (100% RDA) (100%

49

RDA)

RDA)

0-2 bln 2,6 g/kg 2,2 g/kg 1,6 g/kg 2-6 bln 2,4 g/kg 2 g/kg 1,5 g/kg 6-12 bln 2,1 g/kg 1,8 g/kg 1,5 g/kg 1-3 th 28 g 28 g 18 g 3-6 th 38 g 30 g 23 g 6-8 th 43 g 36 g 27 g 8-10 th 48 g 40 g 30 g 10-12 th L 54 g 45 g 34 g 12-14 th L 60 g 50 g 38 g 14-18 th L 72 g 60 g 45 g 10-14 th P 60 g 50 g 38 g 14-18 th P 66 g 55 g 41 g c. Natrium Pada penderita GGK tanpa hipertensi umumnya diberikan diet rendah garam yaitu natrium 1 meq/kgBB/hari. Retriksi ketat natrium dilakukan bila terdapat hipertensi dan oliguria berat yaitu 0,5 meq/kgBB/hari (1 gram garam dapur mengandung 400 mg natrium atau 17 meq natrium) d. Air Pembatasan cairan dilakulkan bila terdapat edema dan hipertensi atau LFG turun dibawah 10 ml/men/l,73 m2, untuk mencegah intoksikasi air dan hiponatremia. Jumlah air yang diperlukan adalah IWL + volume urin 1 hari sebelumnya e Kalium Bila kadar kalium dalam serum antara 5,5-6,5 meq/L, semua jenis makanan yang mengandung kalium harus dihindari: sayur-mayur yang berwarna hijau, buah-buah, kacang-kacangan, coklat dll. Bila kadar kalium 6,5 meq/l disertai dengan perubahan EKG maka harus segera diatasi seperti pada GGA f . Asidosis Obat yang digunakan adalah natrium bikarbonat dengan dosis 0.5-1 meq/kgBB/hari atau berdasarkan hasil analisa gas darah. g. Osteodistrofi renal Dalam usaha pencegahan osteodistrofi renal pada anak dengan GGK Tindakan yang perlu dilakukan adalah: Pemberian kalsium yang cukup. Dosis kalsium yang dianjurkan adalah 500 1000

50

meq/kgBB/hari Mengurangi masukan protein dan produk susu yang kaya akan fosfat, menghambat absorbsi fosfat dari dalam usus dengan pemberian aluminium gel. Kadar fosfat dalam serum harus diperiksa dan dipertahankan antara 4 5 mg/dl. h. Pemberian vitamin D Tergantung pada derajat gagal ginjal dan kecurigaan pada tulang berdasarkan hasil pemeriksaan radiologis. Vitamin D diberikan dengan dosis 4000 40.000 U/hari. Selama pemberian obat kadar kalsium harus diperiksa untuk mendeteksi timbulnya hiperkalsemin akibat efek samping vitamin D. i. Hipertensi Pada hipertensi ringan diberikan diuretika seperti furosemid dan membatasi masukan air dan garam. Pada hipertensi moderat-berat diberikan obat antihipertensi secara oral. Bila hipertensi berat sampai menimbulkan kerusakan organ target, diberikan antihipertensi secara intravena. Obat antihipertensi yang digunakan seperti terlihat pada tabel 3. j. Anemia Bila Hb < 6 g/dl dan timbul gejala-gejala anemia. perlu diberikan transfusi darah dengat jumlah 5 - 10 m1/kgBB dalam bentuk "fresh packed cells. Bila anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi atau asam folat, diberikan zat besi 6 mg/kgBB/hari dan asam folat 0,25- 1 mg/hari. k. Gangguan Pertumbuhan Pengobatan terhadap gangguan pertumbuhan ini sulit karena banyak faktor yang berperan. Faktor yang dapat memberikan respon terhadap pengobatan ini adalah koreksi asidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pengelolaan terhadap malnutrisi harus diusahakan sebaik mungkin, anoreksia harus diberantas, untuk itu perlu bantuan ahli gizi untuk menyusun diet yang cocok untuk selera anak. l. Infeksi Bila ada infeksi harus segera ditanggulangi. Sambil menunggu hasil biakan dan sensitifitas dapat diberikan obat antibiotik yang berspektrum luas.

51

Dosis obat harus disesuaikan kerusakan fungsi ginjal.

dengan

derajat

2). Pengobatan pengganti: dialisis dan transplantasi ginjal. Edukasi Komplikasi Prognosis Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

Referensi : 1. Nanan Sekarwana,Dedi Rachmadi, Dany Hilmanto, Gagal ginjal Kronik. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:509-530

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG Panduan Praktek Klinis Definisi Etiologi Patogenesis Anamnesis Pemeriksaan fisik Kriteria diagnosis

NEFRITIS LUPUS (SLE) No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: N80.5 Halaman:

Ditetapkan oleh, Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K)

1) Ruam kupu-kupu di muka 2) Ruam discoid di kulit 3) Fotosensitif 4) Ulserasi uro dan nasofating 5) Arthritis tanpa deformitas 6) Pleuritis atau perikarditis 7) Kelainan ginjal (proteinuria > 0,5 g,/hari atau +++, selinder seluler, sel darah merah/Hb/granuler/tubuler) 8) Kelainan neurologik: kejang atau psikosis. 9) Kelainan hematogik: anemia hemolitik dengan retikulositosis atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia. 10) Kelainan imunologik: sel LE positif atau titer abnormal anti DNA terhadap DNA tubuh atau anti SM positif atau uji serologis sifilis positif palsu dalam 6 bulan terakhir

52

11) Pemeriksaan antibodi antinuklear positif. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria di atas yang salah satunya merupakan tanda nefritis (kelainan pada ginjal). Pemeriksaan penunjang Tatalaksana

1. Kortikosteroid Sangat berguna untuk mengontrol manifestasi inflamasi akut LES. Penggunaan kortikosteroid mungkin secara adekuat dapat mengobati NL yang ringan dengan risiko rendah atau disfungsi ginjal yang progresif seperti NL mesangial, NL proliferatif fokal dini atau NL membranosa. Glukokortikoid yang biasa dipakai adalah prednison atau metilprednisolon, yang masih merupakan terapi imunosupresif yang efektif dan bekerja secara cepat untuk episode awal dan rekurensi dari penyakit ginjal yang aktif. Obat ini digunakan sebagai imunosuopresif pada pengobatan gangguan autoimun. Aktivitasnya dengan melawan peningkatan premeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN. Prednison dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgbb (maksimum 80 mg/hari) dengan dosis terbagi ( 3 kali sehari) diberikan sampai terdapat perbaikan klinis (remisi) yang bisa dilihat dari menurunnya derajat proteinuria (<1 gr/hari atau +), berkurangnya hematuria (< 10/LPB), mambaiknya fungsi ginajl, normalisasi komplemen darah dan penurunan titer anti ds DNA. Pemberian dosis penuh biasanya berlangsung 4-6 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan. Penurunan dosis secara cepat biasanya mengakibatkan rekurensi dari aktivitas penyakit. Mula-mula prednison atau sejenisnya dikurangi 5-10 mg dari dosis awal dengan pemberian dosis tunggal pada pagi hari setiap hari selama 4-6 minggu. Selanjutnya dosis diturunkan lagi 5-10 mg dari dosis sebelumnya setiap 4 minggu dengan pemberian selang sehari secara tunggal pada pagi hari sampai mencapai 5-10 mg/hari (0,1-0,2mg/kgbb/hari) dan dipertahankan 1-2 tahun baru dipertimbangkan untuk dihentikan. Tujuan dari diturunkan dosis secara perlahan adalah utnuk mengurangi efek toksisitas dari steroid. Bila timbul relaps dosis dinaikkan lagi menjadi 60mg/m 2/hari. Pada NL berat yaitu penurunan fungsi ginjal yang progresif serta dari gambaran biopsi ginjal memperlihatkan glomerulonefritis proliferatif difusa dan kresen epitelial,

53

dianjurkan pemberian terapi pulse dengan metil prednisolon intravena dengan dosis 15mg/kgbb (10-30 mg/kgbb) secar infus dalam 50-100 ml glukosa 5% selama 30-60 menit. Pemberian terapi pulse dapat diulang setiap hari atau selang sehari selama 3-6 hari dilanjutkan dengan pemberian prednison atau prednisolon oral dengan dosis 0,5mg/kgbb/hari selama 4 minggu kemudian dosisnya diturunkan 5 mg setiap minggunya dengan pemberian selang sehari sampai mencapai dosis minimum untuk mengontrol penyakit ekstra renal yang disertai flare yang berat, diperbolehkan untuk pemberian predni(solon)son 1 mg/kgbb/hari selama 2 minggu. Tekanan darah diukur secara ketat dan dipertahankan dalam rentang 110-130/70-85 dengan obat-obatan anti hipertensi. Problem utama dengan pengobatan steroid adalah toksisitasnya yang dihubungkan penggunaannya yang lama yang dapat menimbulkan katarak, glaukoma, hipertensi, osteoporosis, aterosklerosis, avaskular nekrosis, striae kulit, fragilitas kapiler yang dihubungkan dengan ekimosis, penampilan cushinoid, insomnia, agitasi, gangguan ansietas dan risiko infeksi. 2. Obat sitostatika Siklofosfamid dan azatioprin adalah obat yang sering dipakai pada lesi ginjal yang agresif (seperti NL proliferatif fokal, NL proliferatif difus). Pengobatan dengan sitostatika dipakai dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Pada beberapa penelitian mikofenalat mofetil telah menunjukkan hasil yang efektif untuk pengobatan NL. Obat imunosupresan sebagai tambahan kortikosteroid diindikasikan pada pasien yang tidak respon dengan kortikosteroid saja yang tidak dapat menerima toksisitas kortikosteroid, fungsi ginjal yang buruk, lesi proliferatif yang berat atau yang terbukti sklerosing pada pemeriksaan biopsi ginjal. 2.1.Siklofosfamid Diindikasikan pada pengobatan pasien yang sebagian besar menunjukan gambaran NL proliferatif fokal atau NL proliferatif difus. Walaupun secara bermakna menimbulkan toksisitas tetapi telah ditunjukkan oleh berbagai penelitian dapat mencegah progresivitas nefritis dan memperbaiki outcome ginjal.

54

Sebagai alkilating agent mekanisme kerja dari metabolit aktif siklofosfamid akan mempengaruhi crosslinking DNA yang akan mempengaruhi pertumbuhan sel-sel normal dan neoplasma. Siklofosfamid dapat dipakai secara oral dengan dosis 2 mg/kgbb/hari tetapi akhir-akhir ini lebih dianjurkan parenteral yaitu obat siklofosfamid dengan cara terapi pulse yaitu dengan pembarian bolus intravena 0,5-1gr/m2 secara infus selama 1 jam. Sebaiknya dikombinasikan dengan MESNA (2-merkaptopurin-etanesulfon). Pemberian mesna disulfida dapat menginaktifkan metabolit aktif dari siklofosfamid yang dapat menyebabkan iritasi pada kandung kemih (sistitis hemoragik). Austin dkk (1986) menganjurkan pemberian pulse siklofosfamid tiap 3 bulan selama 4 tahun atau 18 bulan setelah terjadi remisi. Lehman dkk (1989) melaporkan dengan hasil yang baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginajal pada NL proliferati difus. Dosis yang dipakai adalah 500mg/m 2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgbb). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. bila jumlah leukosit <2x109/L dosis tidak boleh dinaikkan dan bila 1x 109 dosis diturunkan 125mg/m2. Obat diberikan satu kali sebulan selam 7 bulan, dilanjutkan dengan tiap tiga bulan sampai selama 36 bulan. Bila terjadi peningkatan aktivitas penyakit, obat diberikan tiap bulan lagi selama 3 bulan. Pemberian siklofosfamid pulse dilaporkan memberikan efek samping yang kurang daripada oral yang diberikan tiap hari. Selama pengobatan ini dosis kortikosteroid diturunkan bertahap sampai 0,25 mg/kgbb/hari dan dipertahankan selama tiga tahun baru dosis diturunkan. Selama pemakaian sikofosfamid dilakukan pemeriksaan hemoglobin, leukosit, trombosit tiap minggu. Efek samping yang dapat timbul adalah toksisitas seperti muntah, lekopenia, trombositopenia, anemia, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik, infertilitas, teratogenik dan risiko terjadinya keganasan. 2.2. Azatioprin Azatioprin berguna untuk NL yang moderat sampai berat. Obat ini bekerja dengan cara mengantagonis metabolisme

55

purin dan menghambat sintesis DNA, RNA dan protein. Hal ini mungkin menurunkan proliferasi sel-sel imun yang akan mengakibatkan aktivitas autoimun yang lebih rendah. Walaupun obat ini dapat memperbaiki outcome ginjal tetapi tidak seefektif siklofosfamid walaupun kurang toksik. Dosis yang digunakan adalah 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal atau terbagi. Dosis awal 1mg/kgbb/hari kemudian dosis ditingkatkan tergantung dari respon klinisdan hematologi. Efek sampingnya adalah mual dan muntah, leukopenia, trombositopenia, anemia, infeksi dan abnormalitas fungsi hati.

2.3. Siklosporin Siklosporin dapat digunakan untuk mengobati NL. Basis penggunaannya berhubungan dengan produksi limfokin yang diproduksi oleh aktivasi limfosit T. Dengan menghambat produksi interleukin-2, rekruitmen sel T sitotoksik dihentikan mengurangi respon inflamsi dan mempresipitasi pengendapan kompleks imun di ginjal. Pada individu dengan NL berat, penggunan siklosporin bersama dengan kortikosteroid, telah ditunjukan untuk mengurangi proteinuria dan menstabilisasi fungsi ginjal. 3. Plasma exchange Walaupun terdapat korelasi yang jelas tentang plasma exchange pada lupus, tetapi pada beberapa penelitian pada NL belum jelas. Pada penelitian uji terkontrol menunjukkan tidak ada manfaat dengan penambahan 3 kali seminggu plasma exchange selama kombinasi dengan terapi sitostatik dan dengan terapi kortikosteroid. Pada penelitian lainnya menunjukkan tidak ada manfaatnya ketika pemberian siklofosfamid iv bersama dengan plasma exchange untuk mengurangi rebound antibody 4.Imunoglobulin intravena Dosis tinggi imnoglobulin intravena digunakan untuk LES khususnya jika dijumpai adanya trombositopenia. Belum ada peneliti yang melaporkan penggunaannya pada NL anak. Imunoglobulin intravena dihubungkan dengan terjadinya gagal ginjal akut dan penggunaannya pada individu dengan insufisiensi ginjal terbatas.

56

Edukasi Komplikasi Prognosis Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

Referensi : 1. Husein Alatas, Nefritis Lupus. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:366-380

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG Panduan Praktek Klinis Definisi Etiologi Patogenesis

KERACUNAN JENGKOL No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: T.62 Halaman:

Ditetapkan oleh, Tanggal 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) Keracunan jengkol adalah keracunan yang memakan buah jengkol yang menimbulkan gejala-gejala klinis Buah jengkol (phitecolobium lobatum) termasuk golongan polong-polongan Patogenesis yang pasti tentang terjadinya keracunan jengkol masih belum jelas. Hingga saat ini diperkirakan gejala keracunan jengkol disebabkan oleh pengendapan kristal jengkol yang menyumbat saluran kemih. Buah jengkol asam jengkol tubulus ginjal proses pemekatan dan penurunan pH (pH mencapai titik isoelektrik 5,5) pembentukan kristal jengkol Secara klinis keracunan jengkol dapat dibagi dalam 3 tingkatan yaitu: Ringan, bila terdapat keluhan ringan seperti sakit pinggang, kencing berwarna merah Berat, bila disertai oliguria Sangat berat, bila terjadi anuria atau tanda-tanda gagal ginjal akut yang nyata. Dasar diagnosis Adanya riwayat makan jengkol, keluhan sakit perut, muntah, disuria, pernafasan dan urin berbau jengkol yang

Anamnesis

Pemeriksaan fisik Kriteria diagnosis

57

khas, hematuria, disuria atau anuria, serta ditemukan kristal asam jengkol dalam urin yang merupakan kriteria diagnostik yang cukup spesifik. Langkah diagnosis Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik Pemeriksaan laboratorium/penunjang untuk mendukung diagnosis Cari ada komplikasi Pemeriksaan penunjang Laboratorium: Pada pemeriksaan urin dengan mikroskop terdapat kristal asam jengkol USG/Pielogravi intravena (PIV): ditemukan pelebaran ureter atau tanda-tanda hidronefrosis akibat obstruksi Penanganan Medis Ringan : diberikan minum yang banyak dengan penambahan air soda atau tablet sodium bikarbonat kira-kira 1-2 meq/kgbb/hari atau sebanyak 1-2 gram/hari . Berat : ditandai dengan oligouria/anuria maka penderita harus dirawat dan ditangani sebagai kasus gagal ginjal akut. Bila ditandai dengan retensi urin maka dilakukan kateterisasi urin, buli-buli dibilas dengan larutan sodium bikarbonat 1,5%. Sodium bikarbonat diberikan 2-5 mEq/kgbb, sebaiknya disesuaikan dengan hasil analisis gas darah. Diuretik diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Bila cara-cara diatas belum berhasil atau terdapat tanda-tanda perburukan klinis maka perlu dilakukan tindakan dialisis segera. Tindakan Bedah Bila terdapat obstruksi berat di uretra distal, terdapat kesulitan pemasangan katater, pada retensi urin, dilakukan tindakan punksi buli-buli dengan jarum sayap ukuran besar atau jarum sistofik no. l5 F, satu jari diatas simfisis pubis di garis tengah dengan sudut 45. Selanjutnya dilakukan pembilasan kandung kemih dan sebaiknya dipasang drainase secara tertutup. Bila terdapat edema atau infiltrat urin di

Tatalaksana

58

daerah batang penis atau skrotum dapat dilakukan tindakan insisi pada bagian skrotum paling bawah. Edukasi Komplikasi Prognosis

Lain-lain (algoritma, protokol, prosedur, standing order)

Gagal ginjal akut Prognosis pada umumnya baik, mortalitas dilaporkan sebesar 6% penderita meninggal dunia sebab akibat gagal ginjal akut Referensi : 1. Taralan Tambunan, Keracunan Jengkol. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:231-241

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG Panduan Praktek Klinis Definisi Etiologi

REFLUKS VESIKO URETER (RVU) No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: N13.7 Halaman:

Ditetapkan oleh, Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) Regurgitasi urin dari kandung kemih ke dalam ureter. Berdasarkan etiologi refluks dibagi dalam 2 golongan: a. Refluks primer yaitu: refluks yang disebabkan oleh defek kongenital pada hubungan ureter vesika (uretero vesical junction) b. Refluks sekunder yaitu: refluks yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan di dalam kandung kemih (misalnya: katup uretra posterior, buli-buli neurogenik, diskoordinasi detrusor sphincter), abnormalitas ureter (ureter ektopik), abnormalitas ISK bawah (prune belly syndrome, bladder exstrophy, ureterocele ektopik) Pada refluks primer, adanya defek kongenital pada hubungan ureter vesika ditandai dengan ureter intra vesika yang pendek, orifisium uretra lebih besar dan bergeser ke lateral. Bila ratio antara panjang ureter intramural dan diameter orifisium uretra berkurang (Normal 5:1) maka mekanisme anti refluks tidak berfungsi dengan baik. Refluks yang berhubungan dengan ISK. Regurgitasi akan memepermudah timbulnya ISK akibat adanya residu dalam kandung kemih. Infeksi dapat menjalar ke arah ureter dan ginjal. Bakteri sering menghasilkan suatu endotoksin yang menyebabkan

Patogenesis

59

respon immun selular dan humoral berupa reaksi inflamasi. Sequele dari reaksi host tersebut berupa fibrosis parenkim yang diistilahkan sebagai nefropati refluks. Refluks dapat terjadi pada : a. Fase pengisian kandung kemih disebut sebagai refluks pasif/refluks tekanan rendah/low pressure reflux b. Saat miksi berlangsung disebut sebagai refluks aktif/refluks tekanan tinggi/high pressure reflux Klasifikasi Derajat refluks menurut klasifikasi internasional : Derajat I : refluks pada ureter saja, tidak ada dilatasi Derajat II : ureter, pelvis dan kalises tidak ada dilatasi Derajat III : dilatasi ringan dengan atau tanpa disertai ureter berkelok (turtuosity). Dilatasi ringan pelvis, kaliks minor agak cembung. Derajat IV : dilatasi sedang disertai ureter berkelok. Dilatasi sedang pada pelvis; kaliks mayor dan minor tampak cembung. Derajat V : dilatasi hebat disertai ureter yang berkelok-kelok dan sistem pelviokalises sangat melebar Riwayat ISK berulang Untuk mendiagnosis adanya RVU dapat digunakan teknik MSU (miksio-sisto-uretrografi). Untuk mendeteksi parut ginjal dapat dipakai PIV (Pielografi Intavena). Bila sarana tersedia, pemeriksaan yang lebih sensitif ialah sintigrafi Te-99 DMSA (dimercapto succinic acid). Dengan teknik ini dapat ditemukan defek gambaran ginjal yang disebut daerah rendah emisi (cold area) akibat menurunnya uptake DMSA pada daerah tersebut

Anamnesis Pemeriksaan fisik Kriteria diagnosis

Pemeriksaan penunjang Tatalaksana

Penanganan terhadap RVU bertujuan untuk identifikasi dan gradasi RVU, pencegahan ISK berulang, memelihara perkembangan fisik serta pertumbuhan ginjal yang normal dan pencegahan timbulnya parut ginjal. Penanganan dinilai berhasil bila refluks menghilang baik secara spontan maupun setelah tindakan bedah. Penanganan RVU meliputi : a. RVU derajat I dan II : hanya diberi terapi medikamentosa. Obat-obat yang sering digunakan adalah sulfamethoxazoletrimetoprime, trimethoprim saja, atau nitrofurantoin dengan pemberian satu kali per hari dengan dosis 1/4 -1/3 dari dosis yang dibutuhkan untuk terapi ISK

60

b. RVU derajat III dan IV : dicoba terapi konservatif, bila secara klinis mengalami perburukan,dipertimbangkan dilakukan tindakan bedah. c. RVU derajat V : dilakukan tindakan bedah (tranplantsi ureter) Edukasi Komplikasi Prognosis Lain-lain hipertensi, glomerulopati, GGK atau gabungan beberapa gejala klinis tersebut. Referensi : 1. Taralan Tambunan, Nefropati Refluks. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:164-181

DEPARTEMEN IKA RSMH PALEMBANG Panduan Praktek Klinis Definisi Etiologi

BATU GINJAL (NEFROLITHIASIS) No.Dokumen No. Revisi

KODE ICD: N20.0 Halaman:

Ditetapkan oleh, Tanggal revisi 25 Juni 2011 Dr. Dahler Bahrun, SpA(K) Terdapat pembetukan batu di ginjal dan saluran kemih a. Beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya supersaturasi/kristalisasi zat-zat yang relatif tidak larut dalam urin, sebagai berikut : Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria Hiperoksalemia dan hiperoksaluria Hiperurisemia dan hiperurikosuria Sistinuria Xantinuria Perubahan pH urin b. Dehidrasi, juga akan mempengaruhi supersaturasi zat-zat terlarut dalam urin. c. Stasis urin, berupa kelainan kongenital maupun yang di dapat menyebabkan obstruksi mekanis maupun fungsional. d. Obstruksi aliran limfe ginjal, baik yang kongenital maupun akibat peradangan menyebabkan timbulnya inti kalsifikasi batu e. Kerusakan epitel ginjal inti presipitasi batu f. Idiopatik (40%) Batu ginjal memberikan keluhan bila terjadi obstruksi parsial

Patogenesis Anamnesis

61

atau bila batu berubah Posisi. Gejala klinik: Nyeri abdomen umumnya terasa di pinggang Kolik ginjal Hematuri makroskopik atau mikroskopik Piuria Mual dang muntah Kembung Pemeriksaan fisik Kriteria diagnosis

Dapat ditegakkan melalui : Anamnesis yang teliti (saat mulai timbul keluhan, riwayat perjalanan penyakit, pola makanan, pemakaian obat-obatan, riwayat penyakit batu saluran kemih dalam keluarga). Pemeriksaan fisik (adakah nyeri abdomen, kolik ginjal, hematuri,dll) Pemeriksaan Penunjang, antara ialah : a. Urinalisis b. Pemeriksaan radiologis (Foto polos abdomen, USG, Pielografi Intravena) c. Pemeriksaan darah d. Analisis Langkah diagnosis dapat dilihat pada algoritma.

Pemeriksaan penunjang Tatalaksana

Berhasilnya penatalaksaan batu saluran kemih ditentukan oleh 5 faktor yaitu ketepatan diagnosis, lokasi batu adanya infeksi saluran kemih dan derajat beratnya, derajat kerusakan fungsi ginjal, serta tatalaksana yang tepat. Terapi dinyatakan berhasil bila: keluhan menghilang, kekambuhan batu dapat dicegah, infeksi telah dapat dieradikasi dan fungsi ginjal dapat dipertahankan. Pengobatan konservatif (lebih ditujukan kepada penyakit/keadaan yang mendasari terbentuknya batu). Pemakaian obat-obatan (untuk mengurangi rasa sakit yang hebat, mengusahakan agar batu keluar spontan, disolusi batu dan mencegah kambuhnya batu ). Pengeluaran batu dengan cara ESWL (Extracorporeal shock wave lithoptripsy) menggunakan gelombang untuk meretakkan batu atau dengan cara pembedahan (pielolitotomi atau nefrektomi).

Edukasi Komplikasi Prognosis

Prognosis dari batu ginjal tergantung dari diagnosis awal dan terapi yang diberikan, tetapi tingkat berulang kembali biasanya tinggi jika kondisi tersebut tidak diobati.

62

Lain-lain (algoritme, protokol, prosedur, standing order)

Referensi : 1. Partini P. Trihono ,Sudung O Pardede, Batu Saluran Kemih. Dalam Buku Ajar Nefrologi Anak ; FK UI, Jakarta, 2002:212-230 Algoritma (lampiran 1)

Lampiran 1. Algorithm For Evaluating Possible Nephrolithiasis


Symptoms/Signs of Urinary Stone

History, physical exam, urinalysis, urine culture, imaging

Stone passed

Stone identified in urinary tract

No stone identified

Urinary Ca/creatinine

Urologic or surgical consultation

Normal

Elevated

Stone not recovered

Stone recovered

Options include observation ESWL, surgical removal

Complete metabolic evaluation Serum creatinine, calcium, Stone analysis bicarbonate, uric acid, potassium, phosphorus 24 hour urine volume, calcium, creatinine, oxalate, uric acid, sodium, Calcium oxalate citrate OR random urine Calcium phosphate calcium, creatinine,

Consider alternative diagnoses

Urinary citrate and uric acid, serum calcium & phosporus

Cystine Urine cystine

63

Struvite Urine culture

Uric acid Urine and serum Uric acid and creatinine

You might also like