You are on page 1of 21

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

BAB 2 PENGUMPULAN SAMPEL SEDIMEN DAN BATUAN SEDIMEN


2.1 TINJAUAN UMUM Ketidakmungkinan fisik untuk menganalisis seluruh formasi sedimen, bahkan satu bagian daripadanya, menyebabkan kita harus bekerja dengan sampel. Suatu sampel diasumsikan merupakan bagian yang mewakili formasi pada tempat dimana sampel itu diambil. Sampel kadang-kadang dapat dipandang mewakili keseluruhan formasi. Makin tinggi kemampuan sampel untuk mewakili suatu bagian formasi, atau keseluruhan formasi, makin tinggi pula kesahihan kesimpulan yang diperoleh dari sampel itu. Tentu saja dengan syarat metoda analisis yang digunakan sahih adanya dan kita mengerjakannya dengan benar. Latar belakang yang mendorong seseorang untuk mempelajari batuan sedimen bermacam-macam. Sebagian melakukan itu untuk mengeksplorasi sumberdaya yang terkandung didalamnya; sebagian lain ingin memperoleh hasil penelitian geologi yang dapat lebih diandalkan; sebagian yang lain lagi ingin mempelajari kondisi-kondisi sedimentasi, agen-agen pembentuk sedimen, sumber batuan sedimen, dsb. Dengan demikian, masalah apakah proses pengambilan sampel hendaknya dilakukan dengan sederhana atau dengan tingkat ketelitian yang tinggi, semuanya tergantung pada tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian itu sendiri. Hal ini tidak dapat dipaksakan. Walau demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa makin baik cara kita mengambil dan menangani sampel, makin baik pula hasil penelitiannya. 2.2 TUJUAN PENGAMBILAN SAMPEL 2.2.1 Sampel untuk Peragaan Sampel sedimen yang tidak terkonsolidasi dan akan digunakan untuk peragaan (display) dapat berwujud satu botol pasir, lanau, lempung, atau campuran daripadanya, atau berupa satu kantung kerikil. Pengambilan sampel untuk tujuan ini tidak terlalu sulit dilakukan, kecuali apabila kita ingin menampilkan juga struktur sedimen yang ada didalamnya. Jika kita ingin mengawetkan struktur sedimen yang ada dalam sedimen yang tidak terkonsolidasi, dan jika material penyusun sedimen itu cukup halus untuk bersifat kohesif, maka sampel yang tidak terganggu (undisturbed sample) dapat dikumpulkan melalui prosedur biasa. Antev (1925) menjelaskan proses pengumpulan sampel lempung warwa sebagai berikut. Siapkan tempat penyimpanan sampel berupa mampan seng dengan panjang kira-kira 50 cm, lebar 9 cm, dan tebal 2 cm. Permukaan singkapan dibersihkan dan diratakan, kemudian mampan ditekankan pada permukaan singkapan yang akan diambil sampelnya dengan hati-hati hingga akhirnya dasar mampan tepat berimpit dengan permukaan singkapan tersebut. Setelah itu gunakan pisau untuk menghilangkan sedimen yang terletak di atas dan disamping mampan. Kemudian mampan itu ditarik dari singkapan sehingga akhirnya kita mendapatkan sebuah kue sedimen di atas mampan tersebut. Kalau sedimen tidak mau melekat pada mampan, maka untuk mendapatkannya kita harus menggali sedimen sedemikian rupa sehingga kita mendapatkan kue sedimen yang jauh lebih tebal dibanding ketebalan mampan. Setelah kue sedimen terletak di atas mampan, maka sedimen itu dikikis sedikit demi sedikit sehingga akhirnya kita mendapatkan kue sedimen yang tebalnya lebih kurang sama dengan ketebalan mampan tersebut. Sablon struktur sedimen akan dapat diperoleh apabila kita melihat permukaan mampan yang telah terisi oleh sedimen atau, kalau tidak, dengan cara membalikkan isi mampan tadi dan kemudian memperhatikan isi mampan yang semula merupakan permukaan singkapan. Sampel batuan sedimen yang telah terkonsolidasi mungkin akan berupa sampel genggam dengan ukuran 7,5 x 10 x 4 cm. Dimensi terkecil biasanya diambil pada arah tegak lurus dengan bidang perlapisan. Sudut dari sampel itu hendaknya runcing; tidak membundar sedemikian rupa sehingga memenuhi standar sampel genggam untuk batuan beku (Johannsen, 1918). 2.2.2 Sampel untuk Tujuan Analisis Komersil Sampel sedimen yang dikumpulkan untuk tujuan analisis komersil sukar ditentukan karena hal itu tergantung pada tujuan komersil yang sifatnya khas untuk setiap tipe

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

endapan. Walau demikian, secara umum metoda pengambilan sampel itu mirip dengan metoda pengambilan sampel untuk analisis laboratorium dalam kerangka penelitian ilmiah. Analisis komersil sangat bervariasi, misalnya untuk menentukan kandungan CO2 dan MgO dalam batugamping, nilai bakar dari material penyusun batubara, kekuatan kerakal dalam kaitannya dengan kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan pembuat jalan, atau kadar silika dalam pasir yang selanjutnya dapat digunakan untuk membuat gelas. Apapun tujuan analisis itu dan bagaimanapun kompaknya batuan, persyaratan utama yang harus terpenuhi oleh setiap sampel adalah dapat mewakili formasi. Aspek khusus dari pengambilan sampel untuk tujuan komersil adalah prospek ekonomis dari endapan. Hal itu berada di luar lingkup buku ini. Pembaca yang tertarik pada masalah tersebut dipersilahkan untuk membaca karya tulis Raeburn & Milner (1927). 2.2.3 Sampel untuk Penelitian Laboratorium Mendetil Pemilihan jenis sampel yang akan diambil, suatu hal yang perlu dilakukan dalam pemelajaran sedimen secara mendetil, hendaknya memperhitungkan sebanyak mungkin aspek permasalahan yang akan dipecahkan sedemikian rupa sehingga hasil akhir dari penelitian itu tidak menjadi buruk akibat kelemahan proses pengambilan sampel yang dilakukan tanpa memper-hitungkan tujuan penelitian. Sedimen bervariasi dalam hal kekerasan material penyusunnya, derajat pemilahannya, dan dalam tingkat alterasi yang dialaminya. Pada setiap formasi, kita juga harus memperhitungkan variasi besar butir pada arah vertikal dan lateral, kehadiran perlapisan, perubahan ketebalan dalam satu lapisan atau dalam satu formasi, serta perubahan bentuk, ukuran, dan aturan-susunan partikel-partikel penyusun batuan. Selain itu, sebagian sedimen juga muncul dalam bentuk singkapan kecil, bahkan tertutup vegetasi, tanah, atau air. Setiap kasus tersebut membawa permasalahan tersendiri yang hingga dewasa ini masih belum terpecahkan dengan baik. Sayang sekali, hingga sekarang belum ada teori matematis umum yang dapat digunakan sebagai rujukan pengambilan sampel sedimen sehingga memungkinkan setiap orang untuk dapat melakukan proses pengambilan sampel secara a priori. Hingga dewasa ini, ilmu pengambilan sampel masih ada dalam tahap pertumbuhan. Aturan-aturan yang sekarang ada didasarkan pada pengalaman dan hanya memuaskan dalam lingkup empiris. Untungnya, metoda pengambilan sampel seperti itu masih tetap menghasilkan data yang baik dan, hingga tahap tertentu, masih dapat diuji oleh teori-teori statistika modern. 2.3 SAMPEL SINGKAPAN Formasi sedimen yang tersingkap merupakan objek pengambilan sampel yang relatif mudah karena tempat pengambilan sampel itu dapat dipelajari dengan mudah, kemudian diputuskan posisi pengambilan sampelnya. Persoalan yang perlu dipecahkan dalam pengambilan sampel singkapan adalah: Berapa jumlah sampel yang harus diambil? Berapa ukuran setiap sampel itu? Apakah struktur sedimen dan orientasi partikel sedimen perlu diawetkan dalam bentuk sampel? 2.3.1 Sampel Noktah Pertama-tama mari kita bahas terlebih dahulu istilah sampel noktah (spot sample) dalam kaitannya dengan istilah sampel comot (grab sample). Kedua istilah itu sebenarnya menyatakan jenis sampel yang sama, yaitu sampel yang diambil dari sebuah titik. Walau demikian, istilah sampel comot dirasakan kurang baik karena mengandung konotasi bahwa sampel itu diambil secara serampangan. Karena itu, istilah yang digunakan dalam buku ini adalah sampel noktah, bukan sampel comot. Sampel noktah, atau sampel diskrit (discrete sample), adalah sampel terisolasi yang diambil dari suatu titik pada singkapan. Sampel itu diambil satu-satu dan disimpan secara terpisah dari sampel lain. Hal inilah yang membedakannya dari sampel komposit (composite sample) yang akan dijelaskan kemudian. Sampel noktah hendaknya hanya diambil dari sebuah singkapan apabila hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa singkapan itu bersifat homogen. Jika singkapannya merupakan tepi sungai yang terdiri dari pasir dan lanau, atau berupa till gletser, yang tidak memperlihatkan gejala perubahan komposisi sebagaimana yang terlihat oleh mata, maka sampel noktah dapat diambil dari satu titik pada singkapan tersebut, dimanapun titik itu berada. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa sampel yang 6

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

diambil hendaknya tidak mengandung bagian-bagian yang lapuk. Keharusan tersebut akan mendorong kita untuk mengambil sampel yang agak jauh dari horizon tanah atau yang terletak di belakang singkapan. Berikut akan dikemukakan cara untuk mengambil sampel dari bagian dalam singkapan. Suatu bagian kecil singkapan dibersihkan atau dikikis, kemudian sampel diambil dengan cara mengeruk material batuan yang jumlahnya terbatas dalam bentuk bujur sangkar atau lingkaran. Lebih baik lagi apabila kita tidak mengambil sampel dari permukaan singkapan yang telah dikeruk tadi, melainkan sedikit lebih dalam lagi. Proses pengerukan sampel dapat dilakukan dengan menggunakan sendok tembok, ujung palu yang runcing atau yang berbentuk pahat. Sebelum mengambil sampel, kita harus menyediakan terlebih dahulu kantong sampel sedemikian rupa hingga sewaktu memindahkannya tidak banyak sampel yang terbuang. Jika singkapan terletak pada bidang horizontal, misalnya permukaan gumuk atau gisik, sampel dapat dikumpulkan dengan beberapa cara. Metoda yang sederhana adalah dengan menggali lubang dangkal dengan dinding vertikal, kemudian mengambil sampel dari salah satu dinding lubang itu. Metoda yang lebih baik adalah dengan memasukkan sebuah pipa, yang dinding-dindingnya diberi lubang sehingga berbentuk seperti sebuah suling, 1 ke dalam singkapan horizontal hingga kedalaman sekitar 15 cm. Kemudian material yang ada di sekitar pipa yang tertancap tadi digali. Setelah itu, sedimen yang ada dalam pipa dikeluarkan sedemikian rupa sehingga kita akan dapat memperoleh sampel. Metoda ini juga dapat digunakan untuk mengambil sampel kering dan lepas. Sampel noktah hanya sahih untuk titik dimana sampel itu diambil. Sebuah sampel tunggal, yang kemudian digunakan untuk mengambil kesimpulan mengenai seluruh singkapan, hanya sahih apabila singkapan itu homogen. Sampel noktah dari suatu lapisan atau paket lapisan tertentu juga akan sahih apabila kita memang hanya akan melakukan penelitian pada lapisan atau paket lapisan itu. Jika terdapat variasi pada arah vertikal atau lateral, atau jika kita melakukan penelitian pada suatu daerah yang luas, sebaiknya kita mengambil sejumlah besar sampel genggam. 2.3.2 Sampel Deret Sampel deret (serial sample) adalah kumpulan sampel noktah yang diambil pada titiktitik tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Rencana pengambilan sampel deret paling tidak mencakup dua hal: (1) posisi titik-titik pengambilan sampel; dan (2) jarak antar titik pengambilan sampel itu. Jarak pengambilan sampel kadang-kadang bersifat arbitrer, namun umumnya tetap. Setiap sampel noktah yang diambil kemudian disimpan pada kantong sampel yang terpisah dan biasanya ditangani sebagai sebuah satuan tersendiri selama penelitian dilakukan. Sampel deret dapat diambil pada garis lintasan yang lurus, misalnya di sepanjang pantai, atau pada lintasan yang berkelok-kelok, misalnya di sepanjang alur sungai. Sampel deret juga dapat diambil pada suatu formasi, berturut-turut mulai dari bagian bawah hingga bagian atas. Dengan cara itu, deretan sampel tersebut dipandang linier, meskipun sewaktu pengambilannya tidak dilakukan pada suatu garis lurus. Sampel deret juga dapat diambil pada sejumlah titik yang secara keseluruhan membentuk pola tertentu. Teknik pengambilan sampel itu dapat dilakukan pada suatu daerah (dengan kata lain pada bidang horizontal) atau pada suatu singkapan vertikal. Pola itu akan tampak sebagai sebuah jaring-jaring dimana sampel diambil pada setiap titik perpotongan antara dua garis. Jarak antar titik pengambilan sampel dapat dipersempit atau diperlebar, sesuai dengan tujuan penelitiannya. Meskipun sampel biasanya diambil pada titik-titik perpotongan garis, namun kita juga perlu memperhatikan apakah diantara dua titik pengambilan sampel itu terjadi perubahan karakter batuan atau tidak. Jika hal itu terjadi, sebaiknya kita mengambil sampel pada perubahan karakter batuan tersebut, bukan pada titik perpotongan garis, dengan tujuan untuk mendeteksi terjadinya perubahan karakter batuan. Selain itu, jika kita menemukan bahwa banyak terjadi perubahan karakter batuan dan perubahan itu umumnya terjadi pada tempat-tempat yang terletak diantara titik-titik perpotongan garis, maka keseluruhan proses pengambilan sampel itu sebaiknya dilakukan pada daerah-daerah yang terletak diantara titik-titik perpotongan; bukan pada titik-titik tersebut.
1

Alat ini dikembangkan oleh G. H. Otto; pemakaiannya dijelaskan oleh W. C. Krumbein (1934).

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Fungsi utama dari metoda jaring adalah untuk memastikan bahwa sampel yang diambil bersifat random dan diambil dengan harapan dapat mewakili semua daerah yang diteliti. Jika proses pengambilan sampel tidak didasarkan pada jaring-jaring seperti itu, mungkin akan timbul bias dari keinginan pribadi seorang peneliti yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil penelitian. Dalam banyak kasus, jaring berbentuk bujur sangkar (gambar 2-1) mungkin sudah cukup memuaskan. Namun, untuk kasus-kasus tertentu, bentuk jaring yang lain mungkin lebih baik. Sebagai contoh, dalam melakukan penelitian terhadap kipas aluvial, sebaiknya kita mengambil sampel dengan menggunakan jaring berbentuk kerucut (gambar 2-2) sedemikian rupa sehingga jaring berbentuk kerucut itu berimpit dengan kipas alluvial. Lebih jauh lagi, jarak antar titik pengambilan sampel mungkin tidak linier, melainkan logaritmis (gambar 2-2). Hal ini, misalnya saja, dilakukan untuk menjaring variasi batuan yang memang bervariasi secara logaritmis. Fungsi eksponensial seperti itu kemungkinan muncul dalam kasus besar butir dan ketebalan lapisan. Pengumpulan sampel deret, apakah dengan pola linier atau dengan pola jaring, dilakukan berdasarkan asumsi bahwa bagian-bagian formasi tersebut akan tersingkap pada titik-titik pengambilan sampel yang direncanakan. Jika dalam kenyataan-nya asumsi tersebut tidak dapat terpenuhi, maka kita harus memutuskan apakah akan mengambil sampel yang terletak dekat dengan titik pengambilan sampel yang telah ditentukan atau melakukan pengeboran pada titik yang telah ditentukan. Berikut akan disampaikan contoh pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan sampel. Jika ingin mempelajari sebuah gisik, maka pengambilan sampel mungkin dilakukan dengan pola linier di dekat garis pantai. Namun, apabila gisik yang dipelajari tidak terlalu panjang, sebaiknya kita menggunakan pola jaring yang tidak hanya mencakup titik-titik pada garis pantai, namun juga titik-titik di lepas pantai dan titik-titik di belakang gisik. Sungai mungkin perlu ditangani dengan cara yang berbeda; sederetan sampel dapat diambil dengan pola linier yang lebih kurang sama dengan arah aliran sungai secara umum. Walau demikian, di sekitar gosong atau teras sungai, pola itu sebaiknya dilengkapi dengan pola jaring. Secara umum, proses pengambilan sampel dilakukan dengan pola deret apabila tujuan penelitian yang dilaksanakan adalah mengenal variasi dari satu titik ke titik lain. Survey tanah sejak lama menggunakan prinsip pengambilan sampel jaring dengan interval yang cukup rapat, dimana data yang dihasilkannya kemudian digunakan untuk membuat peta jenis tanah.2 Ketika akan melakukan pengambilan sampel dengan pola jaring, kita mungkin kesulitan dalam menentukan jarak antar titik pengambilan sampel. Untuk memecahkan masalah ini, sebaiknya kita mengambil sampel pada interval yang relatif dekat. Kemudian, pada saat melaksanakan analisis laboratorium, sampel-sampel yang dianalisis pertama kali adalah sampel-sampel yang terletak pada interval yang relatif jauh. Setelah itu, apabila kemudian kita melihat hasil analisis itu menunjukkan bahwa kisaran variasi sifat-sifat yang dianalisis terlalu jauh, kita dapat menganalisis sampel-sampel lain yang terletak diantara sampelsampel yang telah dianalisis sebelumnya sedemikian rupa sehingga kita dapat mengetahui apakah variasi yang terjadi memang bersifat tiba-tiba atau berangsur. Pola pengambilan sampel seperti tersebut di atas dapat digunakan untuk mengambil sampel dari wilayah perairan. Bentuk jaring mungkin disesuaikan dengan bentuk wilayah itu, misalnya bentuk teluk, atau dengan lintasan kapal atau perahu yang digunakan dalam penelitian, atau pada titik-titik yang lebih kurang sejajar dengan garis pantai. Sepengetahuan penulis, orang yang pertama-tama menjelaskan kebenaan pola jaring adalah Pratje (1932). Dia mengatakan bahwa dengan menggunakan pola itu, kita akan dapat mengetahui tatanan daerah penelitian dengan lebih baik lagi. Dia menggunakan ancangan tersebut sebagai bagian metoda statistika untuk mempelajari sedimen secara regional. 2.3.3 Sampel Alur Sampel alur (channel sample) dapat didefinisikan sebagai sampel memanjang yang diambil dari suatu zona yang relatif sempit pada suatu singkapan. Sampel alur diperlukan
2

Perlu diketahui bahwa sampel untuk survey tanah biasanya diambil pada titik tengah jaring, bukan pada titik perpotongan garis-garis pembentuk jaring. Pola pengambilan sampel seperti itu sama logisnya dengan pola pengambilan sampel pada titik-titik perpotongan garis.

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

apabila kita ingin mengetahui karakter rata-rata dari formasi yang sedang diteliti. Karena itu, tidak mengherankan apabila pengambilan sampel alur (channel sampling) banyak digunakan untuk tujuan komersil. Untuk tujuan ilmiah, teknik pengambilan sampel ini hendaknya tidak digunakan apabila memotong zona lapukan atau zona alterasi atau apabila teknik ini menimbulkan komplikasi dalam sampel. Walau demikian, ada beberapa kasus dimana sampel alur perlu diambil dalam penelitian sedimen mendetil seperti yang akan dibahas di bawah ini. Metoda pengambilan sampel alur merupakan suatu prosedur umum yang biasa digunakan untuk mengambil sampel batuan yang akan digunakan sebagai bahan pembuat jalan. Permukaan singkapan vertikal, dengan lebar sekitar 30 cm dibersihkan mulai dari titik atas hingga titik bawah. Material hasil pembersihan, yang mungkin menumpuk di bawah singkapan, disingkirkan. Sebuah lubang digali di bagian bawah singkapan yang telah dibersihkan tadi. Ukuran lubang itu henaknya tidak terlalu kecil, tidak juga terlalu besar; yang penting memungkinkan dimasukkannya sebuah terpal di bawah zona yang akan diambil sampel-nya. Sekop kecil kemudian digunakan untuk mengeruk material batuan dari bagian yang telah dibersihkan tadi dan hasil kerukan itu akan langsung jatuh di atas terpal. Kedalaman alur hendaknya paling tidak sama dengan diameter partikel terbesar yang ada pada zona pengambilan sampel. Dengan cara ini, sampel yang diambil akan lebih mewakili keseluruhan singkapan. Setelah sedimen yang akan diambil sampelnya bertumpuk di atas terpal, maka pada singkapan itu akan tampak bekas pengambilan sampel sebagai sebuah alur memanjang dari atas ke bawah dengan lebar sekitar 30 cm. Terpal dengan tumpukan sedimen itu kemudian dipindahkan menuju tempat yang agak lapang. Sedimen itu kemudian diaduk-aduk dan ditumpukkan hingga membentuk kerucut. Kerucut itu kemudian dibagi empat dengan menggunakan sekop. Dua tumpukan seperempat kerucut itu kemudian diambil, sedangkan dua tumpukan lain dapat dibuang kembali jika ukuran sampel dirasa terlalu besar. Sampel alur biasanya dikumpulkan lebih kurang tegak lurus terhadap bidang perlapisan. Tujuannya adalah mendapatkan material yang cukup seragam untuk diuji sedemikian rupa sehingga komposisi rata-rata dan ukuran-ukuran ekstrim akan dapat diketahui. Untuk penelitian sedimen yang lebih mendetil, proses pencampuran material yang berasal dari lapisan yang berbeda-beda itu mungkin tidak diperlukan, bahkan bisa merugikan. Sampel alur cenderung menghilangkan detil-detil sifat individu lapisan batuan: sampel ini hanya memberikan data gabungan yang berasal dari semua lapisan yang terambil sampelnya, namun tidak memberikan data setiap lapisan yang sangat penting seperti tekstur, struktur, dan komposisi. Dari penjelasan di atas tampak bahwa apabila sedimen yang akan diambil sampelnya merupakan paket lapisan yang bervariasi, misalnya glacial outwash deposits, maka sampel alur tampaknya tidak akan memberikan informasi yang diinginkan. Di lain pihak, apabila sedimen yang akan diambil sampelnya berupa sedimen tidak berlapis dan tampak homogen, misalnya loess, maka sampel alur akan lebih mewakili singkapan tersebut dibanding sampel noktah. Selain itu, kita juga perlu memper-timbangkan kemungkinan mengambil jenis sampel transisi antara sampel noktah dan sampel alur. Dengan cara ini kita tidak membuat alur dan tidak mengambil satu sampel genggam sebagai sampel, namun mengambil sampel noktah sekaligus dari bagian bawah, tengah, dan atas singkapan. Setiap sampel itu kemudian ditangani secara terpisah. Metoda ini diharapkan akan dapat mendeteksi variasi yang mungkin ada pada arah vertikal. Pengambilan keputusan mengenai jenis sampel yang akan diambilapakah sampel noktah, sampel alur pendek, atau sampel alur panjangantara lain ditentukan oleh kebijaksanaan si peneliti. Tidak ada satu aturan tegas mengenai hal ini, selama permasalahan yang akan dipecahkan telah diperhitungkan didalamnya. Walau demikian, perlu ditegaskan bahwa seorang peneliti hendaknya selalu sadar bahwa kebijaksanaannya itu akan menentukan hasil penelitian yang sedang dilaksanakannya. 2.3.4 Sampel Gabungan Sampel gabungan3 (compound sample) adalah campuran sejumlah sampel noktah yang digabungkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu sampel baru yang sifatnya tunggal. Sebagai contoh, beberapa potong batugamping berukuran kecil yang dikumpulkan
3

Sampel gabungan, bersama-sama dengan sampel alur, termasuk ke dalam kategori sampel komposit, yaitu sampel yang mencampurkan lebih dari satu kumpulan karakter.

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

dari berbagai titik dalam suatu lubang pertambangan batu-gamping digabungkan menjadi sampel gabungan dari tambang tersebut. Sampel itu kemudian dianalisis, misalnya untuk mengetahui kadar MgO, dan nilai yang diperoleh itu kemudian digunakan untuk menyatakan kadar MgO dari batugamping di pertambangan tersebut. Sampel gabungan banyak diterapkan dalam dunia komersil karena, sebagaimana sampel alur, sampel ini juga akan memberikan informasi rata-rata mengenai suatu aspek tertentu. Satu kelebihan dari sampel gabungan, dibanding sampel alur, adalah hasilnya lebih mewakili karena lokasi sampel-sampel asal yang menjadi komponen sampel gabungan dapat diketahui dan biasanya diambil dari lokasi-lokasi yang cukup berjauhan. Di lain pihak, sampel alur hanya diambil pada suatu tempat yang relatif terbatas. Efek yang sama dapat diperoleh apabila kita mengambil sampel alur pada beberapa tempat yang berbeda, kemudian menggabungkannya. Sekali lagi, khuluk material dan tujuan penelitian akan menentukan pemilihan metoda pengambilan sampel. Jika tujuan suatu penelitian adalah untuk mengetahui variasi karakter sedimen secara mendetil, sampel ini memiliki kekurangan yang sama seperti sampel alur. Walau demikian, ada satu kelebihan dari sampel ini yang penting artinya dalam penelitian sedimen. Sebagaimana telah dikemukakan pada anak sub bab 2.3.1, setiap sampel noktah sebenarnya berperan sebagai wakil sahih untuk titik pengambilan sampel. Di luar itu, masih ada kemungkinan dimana sampel yang diambil sebenar-nya merupakan perkecualian dari keseluruhan sedimen yang ada di sekitar titik pengambilan sampel. Kemungkinan itu disebut probable error dari sampel tersebut. Masalah probable error akan dibahas lebih jauh pada sub bab 2.14. Namun, sebagai pengantar, disini akan dijelaskan secara singkat masalah probable error.4 Konsep umum dari probable error dapat digambarkan dengan sebuah contoh berikut. Misalkan kita ingin mengambil sampel dari suatu pasir masif yang tersingkap di suatu tempat. Pasir itu memiliki tebal sekitar 30 meter dan lebar 90 meter. Sebuah sampel tunggal akan diambil dari singkapan itu sebagai wakil dari daerah tersebut dalam suatu himpunan sampel deret. Kemudian, misalkan kita memutuskan untuk mengambil sampel dari bagian tengah singkapan. Sejauh mana sampel itu akan memperlihatkan perbedaan dengan sampel lain dari sebelah kanan, kiri, atas, atau bawah singkapan (apabila diambil)? Untuk memudahkan, diasumsikan bahwa lapisan pasir itu terlihat homogen oleh mata telanjang sehingga kita memiliki suatu dasar yang cukup kuat untuk dapat mengambil sampel pasir dari satu titik, dimanapun titik itu berada. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan untuk pertanyaan tersebut adalah: hal itu tergantung pada variasi aktual dari tubuh pasir itu, bagaimanapun kenampakannya di mata kita. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kemungkin-an timbulnya probable error pada berbagai kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasir yang tampak homogen sebenarnya memperlihatkan sedikit variasi dari satu titik ke titik lain. Dalam pasir gisik, sebagai contoh, variasi besar butir rata-rata berharga 0,84,1% setiap beberapa kaki (Krumbein, 1934). Kesimpulan penting yang diperoleh dari penelitian probable error adalah bahwa galat itu, berapapun besarnya, akan dapat dikurangi dengan cara mencampur beberapa sampel noktah dan menjadikan-nya sebagai sebuah sampel gabungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel gabungan yang berasal dari empat sampel noktah akan dapat mengurangi galat hingga sekitar 50%. Sepuluh sampel, di lain pihak, akan dapat mengurangi galat hingga sekitar 70%. Reduksi paling tinggi untuk tujuan praktis dapat dicapai dengan cara mencampur empat sampel noktah ke dalam satu sampel gabungan. Dalam kaitannya dengan probable error, sampel gabungan layak dipertimbangkan dalam setiap jenis penelitian apabila kita berhadapan dengan sedimen homogen. Sewaktu mengambil sampel deret di sepanjang pantai, misalnya saja, setiap titik pengambilan sampel itu bukan merupakan sebuah sampel noktah, melainkan sebuh sampel gabungan yang diambil dari beberapa tempat di sekitar titik pengambilan sampel utama. Satu hal yang perlu selalu diingat apabila kita mengambil sampel gabungan seperti itu adalah bahwa jarak antar sampel noktah yang digabungkan hendaknya jauh lebih kecil dibanding jarak antar titik pengambilan sampel deret. Hal ini dimaksudkan bahwa setiap sampel gabungan dalam kerangka sampel deret pada hakekatnya akan dipandang sebagai satu sampel. 2.3.5 Sampel Tunggal vs. Sampel Komposit
4

Probable error adalah ukuran statistika mengenai deviasi suatu sampel untuk memiliki nilai yang sama dengan nilai rata-rata material yang diambil sampelnya. Galat ini tidak akan pernah dapat terpecahkan, meskipun kita mengambil sampel hingga lebih dari setengah populasi. Karena itu, probable error merupakan sebuah ukuran kehandalan sebuah sampel.

10

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Dari tulisan-tulisan di atas kita mungkin telah menyadari bahwa tidak ada satu aturan tetap mengenai pengambilan sampel. Makin lama makin banyak ahli yang memandang perlu dilakukannya penelitian terhadap cara-cara pengambilan sampel sehingga akhirnya kita memiliki sejumlah besar data kuantitatif yang memungkinkan dikembangkannya suatu teori umum mengenai pengambilan sampel sedimen. Salah satu fungsi dari sampel komposit (baik sampel gabungan maupun sampel alur) adalah memperkecil variasi non-sistematis yang mungkin ada pada suatu titik pengambilan sampel sedemikian rupa sehingga galat yang disebabkan oleh pengambilan sampel akan tetap kecil dibanding kisaran variasi sedimen dari satu titik ke titik lain dalam kerangka sampel deret. Fungsi lain dari sampel komposit adalah mengurangi variasi ekstrim pada setiap lokasi pengambilan sampel dengan meng-kombinasikan sampel-sampel noktah yang berasal dari setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel noktah, di lain pihak, berfungsi untuk mengungkapkan perbedaan diantara titiktitik pengambilan sampel yang berdampingan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kelemahan utama dari metoda ini adalah kemungkinannya untuk mengandung galat yang cukup tinggi (appreciable error). Namun, di balik itu, data-data penting yang tersimpan di suatu titik pengambilan sampel akan dapat terungkapkan; tidak tertutupi atau tercampuri oleh data-data sampel lain. Jelas sudah bahwa apabila kita ingin mengetahui variasi sedimen dalam sebuah singkapan, maka sampel noktah akan mampu mengungkapkannya. Dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sampel tunggal dan sampel komposit seperti telah dijelaskan di atas, kita akan lebih memahami jenis sampel mana yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dari penjelasan di atas juga tersirat bahwa keputusan mengenai jenis sampel yang akan diambil juga dipengaruhi oleh skala penelitian. Sebuah usaha untuk menetapkan prinsip-prinsip pengambilan sampel sedimen telah dilakukan oleh Otto (1938) yang meng-golongkan teknik pengambilan sampel ke dalam empat kategori berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari proses pengambilan sampel itu. Keempat kategori tersebut adalah: 1. Sampel untuk tujuan penelitian rekayasa. 2. Sampel untuk tujuan pemerian. 3. Sampel untuk tujuan penelitian lingkungan. 4. Sampel untuk tujuan korelasi stratigrafi. Pembahasannya mengenai teknik pengambilan sampel sedimen untuk tujuan penelitian lingkungan sangat menarik. Untuk tujuan tersebut dia mengembangkan konsep satuan sedimentasi (sedimentation unit) yang didefinisikannya sebagai ketebalan suatu sedimen, pada suatu titik pengambilan sampel, yang diendapkan di bawah kondisi-kondisi fisik yang konstan. Penggolongan dan analisis yang dilakukan oleh Otto (1938) menawarkan suatu dasar untuk menyusun teori pengambilan sampel yang dapat diterapkan pada berbagai macam permasalahan yang berkaitan dengan sedimen. 2.4 MASALAH PELAPUKAN Hingga disini kita selalu mengasumsikan bahwa sedimen yang terlibat dalam proses pengambilan sampel adalah sedimen yang tidak lapuk. Secara umum memang dapat dikatakan bahwa apabila kita ingin mengetahui kondisi-kondisi pengendapan atau khuluk batuan sumber, maka sampel yang diambil hendaknya sampel segar (tidak lapuk). Namun, untuk penelitian lain, misalnya penelitian sejarah alterasi sedimen, kita perlu mengambil sampel dari zona lapukan. Seorang peneliti hendaknya mengetahui kenampakan sedimen yang telah lapuk di lapangan serta memahami perubahan-perubahan yang dialami oleh sedimen apabila terlapukkan. Leighton & MacClintock (1930) serta Grim dkk (1936) menunjukkan bahwa pelapukan menyebab-kan terbentuknya empat horizon, dimana setiap horizon itu dicirikan oleh gejala-gejala tersendiri. Penelitian mereka dilakukan pada till loess, namun prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya dapat diterapkan pada batuan lain. Berikut akan dikemukakan ringkasan hasil penelitian mereka. Tahap pelapukan pertama adalah oksidasi yang akan mempengaruhi mineral-mineral yang mengandung unsur besi. Akibat yang paling mudah terlihat adalah berubahnya warna sedimen menjadi kecoklat-coklatan atau kemerah-merahan. Pada tahap kedua, akan terjadi peluruhan mineral-mineral yang mudah larut dalam air tanah, misalnya mineral-mineral karbonat (terutama kalsit). Pada tahap ketiga, terjadi dekomposisi silikat, pada saat mana 11

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

felspar dan mineral lain yang mirip dengannya akan hancur. Terakhir, akan terbentuk zona tanah yang hanya mengandung mineral resisten, misalnya kuarsa. Perubahan-perubahan kimia yang dialami oleh sedimen pada setiap tahapan pelapukan tersebut akan disertai oleh perubahah distribusi besar butir dan aspek-aspek fisik lain. Jadi, sebuah sedimen karbonatan yang terutama mengandung butiran kalsit, akan memiliki besar butir yang berbeda dari besar butir semula setelah dikenai proses leaching. Demikian pula, felspar akan terlapukkan menjadi lempung dan koloid. Kondisi penyaliran air di sekitar zona lapukan juga akan mempengaruhi proses pelapukan. Produk pelapukan pada daerah yang kondisi penyalirannya berbeda juga akan berbeda-beda. Penulis menemukan fakta bahwa untuk sedimen tertentu, misalnya pasir, loess, dan till, tidak ada perbedaan besar butir yang cukup berarti antara sampel segar dan sampel yang telah teroksidasi. Perubahan baru tampak cukup berarti pada leaching zone. Perubahan yang sangat jelas tampak pada zona dekomposisi silikat. Pasir kuarsa, yang mengandung mineral berat dalam jumlah yang relatif sedikit, praktis tidak terpengaruh oleh pelapukan. Untuk masa sekarang, tampaknya kita masih boleh memakai sampel yang berasal dari zona oksidasi jika kita memang tidak dapat memperoleh sampel segar. Namun, perlu diingat bahwa pernyataan ini tidak diartikan bahwa proses oksidasi terhadap batuan diabaikan, melainkan diartikan bahwa galat penelitian dari sampel yang teroksidasi relatif kecil. Apabila akan melakukan penelitian mengenai efek-efek pelapukan, maka prosedur pengambilan sampel hendaknya mencakup pengidentifikasian zona-zona pelapukan, jika telah terjadi secara lengkap, serta pengumpulan sampel dari setiap zona tersebut dan dari zona transisi antara zona pelapukan dengan tubuh batuan yang masih segar. Untuk penelitian ini, penulis lebih berkeyakinan bahwa sebaiknya kita mengambil deretan sampel noktah pada arah vertikal dengan jarak yang cukup dekat daripada mengambil sampel keruk. Hal ini dimaksudkan agar kita mengetahui detil-detil perubahan dari satu titik ke titik lain pada penampang pelapukan. 2.5 MASALAH KEKOMPAKKAN Sebagaimana pelapukan, kekompakkan batuan menyebabkan timbulnya masalah tersendiri dalam studi sedimen karena batuan seperti itu telah mengalami perubahan fisika dan kimia. Apabila kekompakkan itu semata-mata disebabkan oleh sementasi partikel nonkarbonatan oleh kalsit, praktis tidak ada masalah yang berarti karena material asal akan dapat diperoleh dengan cara merendam batuan itu dalam larutan asam. Apabila batuan yang kompak itu memperoleh tambahan mineral, berupa mineral sekunder, atau apabila perubahan itu melibatkan material asal, maka masalahnya menjadi kompleks karena kita harus mampu membedakan material asal dari material sekunder. Walau demikian, untuk banyak kasus, masalah itu sebenarnya masalah laboratorium sehingga tidak akan dibahas disini. Proses pengambilan sampel untuk batuan yang kompak berbeda dari proses pengambilan sampel untuk sedimen yang tidak terkonsolidasi, perbedaan mana terutama disebabkan karena kita sukar untuk memperoleh sampel yang representatif. Sampel alur, sebagai contoh, mungkin baru dapat diperoleh setelah kita memahat batuan. Grout (1932) membahas proses pengambilan sampel batuan beku untuk analisis kimia. Prinsip-prinsip yang dikembangkannya mungkin dapat diterapkan juga pada proses pengambilan sampel sedimen yang telah kompak. 2.6 PENGUMPULAN SAMPEL TERARAH Untuk tipe penelitian tertentu kita perlu mengambil sampel terarah (oriented sample), yakni sampel yang menyatakan kedudukannya sebagaimana terlihat di lapangan. Jika batuan itu berupa batupasir atau sedimen terkonsolidasi lainnya, maka arah jurus dan kemiringan batuan itu perlu ditulis pada permukaan sampel dengan menggunakan spidol tahan air, sebelum sampelnya sendiri diambil dari singkapan. Dengan adanya sampel terarah kita akan dapat membuat sayatan-sayatan tipis pada setiap arah yang diperlukan untuk penelitian kemas batuan. Jika sedimen yang akan diambil sebagai sampel terarah berupa sedimen lepas, maka kita perlu memperkeras sedimen itu sebelum diambil dengan cara menetesinya dengan parafin selama beberapa lama atau dengan menggunakan bakelite varnish yang cair.

12

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Untuk batuan sedimen yang berbutir kasar, misalnya gravel, konglomerat, atau breksi, individu-individu partikel penyusunnya mungkin cukup besar untuk dapat diambil dan diberi tanda kedudukan. Wadell (1936) mengembangkan sebuah teknik dimana garis horizontal dan vertikal digambarkannya dengan menggunakan spidol berturut-turut berwarna merah dan hitam sedemikian rupa sehingga setiap butiran yang telah diberi angka itu dapat dengan mudah direkonstruksikan kembali kedudukannya di laboratorium. Detil-detil teknik yang dirancang oleh Wadell akan dibahas pada Bab 10. 2.7 SAMPEL BAWAH PERMUKAAN Semua prosedur pengambilan sampel yang dikemukakan di atas disusun dengan asumsi bahwa sedimen tersingkap dengan lengkap atau, paling tidak, sedimen itu tertutup oleh lapisan tipis endapan permukaan sehingga lubang pengamatan (pit) akan dapat memperlihatkannya. Apabila sedimennya terletak beberapa meter di bawah permukaan, kita perlu memakai peralatan mekanis untuk mengambil sampel sedimen tersebut. 2.7.1 Bor Tangan Bor tangan (hand auger) dapat digunakan untuk memperoleh sampel hingga kedalaman sekitar 710 m. Kita biasanya memanfaatkan tenaga buruh untuk memasukkan alat tersebut hingga kedalaman lebih dari 10 m. Bor tangan pada mulanya dikembangkan untuk mengambil sampel tanah yang umumnya terletak pada kedalaman < 75 cm. Untuk target dangkal seperti itu, unjuk kerja bor tangan akan tampak sangat baik. Ada juga tipe bor tangan yang dirancang baik untuk tujuan umum maupun untuk tujuan khusus. Mata bor yang digunakan pada bor tangan sederhana untuk mengambil sampel sedimen dapat berupa mata bor baja dengan diameter 5 cm yang biasa digunakan untuk mengebor kayu.5 Ulir pada ujung mata bor dan pinggiran ulir pertama dikikir. Mata bor itu kemudian dihubungkan dengan sebuah pipa baja dengan diameter sekitar 1,5 cm dan panjang 1 m. Pipa tambahan, yang dapat dihubungkan dengan pipa utama melalui suatu ulir, juga perlu dibuat sehingga panjang total dari bor itu adalah sekitar 45 meter. Stang bor (handle) dapat dibuat dari batang baja sepanjang 45 cm, serta satu batang lain yang terletak tegak lurus terhadap pipa pertama dan menjadi penghubung setang dengan pipa bor dengan cara diulir. Dengan demikian, bentuk keseluruhan dari stang bor itu mirip dengan huruf T. Dalam menggunakan bor tangan, mata bor didorong agar melesak ke dalam tanah hingga jarak yang diinginkan atau hingga jarak maksimum, kemudian diangkat. Sampel yang tersimpan dalam pipa bor itu, yang berbentuk inti bor, kemudian dikeluarkan dan diletakkan di atas sebuah kanvas yang memang disediakan untuk tujuan tersebut. Proses itu dapat diulang berkali-kali atau diteruskan hingga tercapai kedalaman yang diharapkan. Penggantian mata bor hanya dilakukan apabila kita menemukan kesulitan untuk memasukkan bor itu karena adanya hambatan yang besar dari material yang terletak di bawah tanah. Kalau cara itupun tidak memberikan hasil apa-apa, maka kita tidak mempunyai pilihan selain menghentikan pekerjaan tersebut atau menggunakan bor mesin. Semua inti bor yang diperoleh diletakkan di atas kanvas secara berurutan sehingga kita dapat dengan mudah mengetahui urut-urutan sedimen yang terletak di bawah permukaan. Ada beberapa hal yang perlu dicamkan dalam memakai bor tangan agar tidak terjadi kontaminasi terhadap sampel. Tanah dan material lain yang terletak di sekitar lubang bor harus dibersihkan sehingga tidak ada material lepas yang masuk ke dalam lubang bor. Selain itu, sewaktu kita mengangkat dan memasukkan bor ke dalam lubang, material yang berada pada dinding lubang bor itu dapat tersenggol dan jatuh menuju dasar lubang bor. Ketika mengeluarkan inti bor, kita akan menemukan material itu terletak di bagian atas inti bor. Material itu hendaknya dibuang. Dengan memperhatikan setiap inti bor baru, kita biasanya akan dapat dengan relatif mudah mengetahui berapa banyak material pengotor itu sehingga kita akan dapat membuangnya. Tipe bor tangan yang telah disebutkan dia atas paling efektif digunakan untuk mengambil sampel lanau atau lempung. Pasir umumnya tidak membentuk inti bor yang baik. Walau demikian, apabila cukup lembab, pasir halus tidak jarang mampu ditangkap oleh bor tangan. Untuk mempermudah pekerjaan tersebut, air dapat dimasukkan ke dalam lubang
5

Alat ini dikembangkan oleh Illinois State Geological Survey. Alat itu telah digunakan secara luas untuk berbagai tujuan, misalnya untuk membuat sumur uji, mengumpulkan sampel, dsb.

13

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

bor. Material dengan kelembaban tinggi, misalnya quick sand, tidak akan dapat diambil karena setiap kali kita mengangkat bor, pada saat itu pula pasir yang ada dalam pipa bor akan melorot jatuh kembali ke dasar lubang. Banyak ahli memaparkan berbagai alat rancangan baru yang dapat digunakan untuk mengambil undisturbed sample dari tempat yang relatif dangkal. Salah satu tipe alat itu dikembangkan oleh Heyward (1936). Mitscherlich (1905) merancang sebuah bor khusus yang dapat digunakan untuk mengambil sampel sedimen dalam jumlah yang relatif sedikit dari tempat yang tidak terlalu dalam. Alat itu berupa sebuah pipa yang pada salah satu sisinya terdapat rekahan yang sejajar dengan sumbu panjang pipa tersebut (gambar 2-3) sehingga penampang melintang pipa itu mirip dengan huruf C. Pipa itu memiliki diameter sekitar 2,5 cm. Ujung bawah pipa itu dibuat runcing, sedangkan pada ujung yang lain ditempatkan stang bor. Untuk mengambil sampel, alat itu dimasukkan ke dalam tanah, kemudian diputar ke satu arah, dan akhirnya diangkat. Sampel yang diperoleh berwujud satu inti bor kecil. Peralatan lain yang mirip dengan bor tangan, dan sesuai untuk digunakan dalam program pengambilan sampel dangkal, adalah alat penggali lubang patok (post-hole digger) dan bor pembuat lubang golf (golf-hole drill). Post-hole digger, alat yang biasa digunakan oleh para petani, terdiri dari dua pisau berbentuk setengah lingkaran. Pada ujung atas alat tersebut terdapat sebuah stang. Alat itu digunakan dengan cara melesakkannya ke dalam tanah, diputar ke satu arah, dan kemudian diangkat. Alat ini dapat digunakan hingga kedalaman sekitar 1,5 meter. Golf-hole drill berwujud sebagai pipa baja dengan diameter 7,5 cm dan dilengkapi dengan sebuah katup yang berperan sebagai alat untuk mengeluarkan inti bor yang ada didalamnya. Alat ini digunakan dengan cara melesakkannya ke dalam tanah, kemudian diangkat. Veatch (1906) memaparkan sebuah bor yang dapat digunakan untuk mengambil sampel pasir lepas. Alat itu pada dasarnya merupakan sebuah mata bor tangan atau alat pemotong yang dikelilingi oleh suatu tabung logam. Tabung logam itu berfungsi mempertahankan material lepas yang telah dikerat oleh mata bor atau alat potong. 2.7.2 Pipa Dorong Alat yang biasa digunakan untuk mengambil sampel lempung atau sedimen berbutir halus lain adalah pipa dorong (drive-pipe), yakni sebuah pipa biasa dengan diameter sekitar 2,5 atau 5 cm dan digunakan dengan cara melesakkannya ke dalam tanah. Sebuah cincin logam ditempatkan di ujung atas pipa tersebut agar tidak menyebabkan bagian itu menggembung dan untuk memudahkan proses pemindahan sampel. Untuk mengambil sampel dari kedalaman hingga sekitar 1,5 m, pipa itu dapat ditempatkan agar berdiri vertikal di atas sebuah lubang kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanah dengan bantuan sebuah palu besar. Sebuah kotak kayu, yang bagian tengahnya diberi lubang, digunakan sebagai penahan agar pipa tidak terguling sewaktu akan ditancapkan ke dalam tanah. Ketika bagian pipa yang dirancang sebagai tempat sampel telah masuk seluruhnya ke dalam tanah, pipa itu diangkat dengan bantuan dongkrak atau alat lain yang memungkinkan, kemudian inti bor yang ada didalamnya dikeluarkan. Apabila proses pengambilan sampel dengan drive-pipe ingin dilakukan hingga kedalaman 5 atau 7 m, mungkin diperlukan sebuah tripod logam dan alat pemberat untuk memasukkannya ke dalam tanah. Puncak tripod ditempatkan tepat di atas tempat pengambilan sampel. Drive-pipe sendiri kemudian diletakkan di bawah tripod, di atas sebuah tanah yang dikeruk, secara vertikal. Sebuah silinder besi dengan berat sekitar 25 kg digunakan sebagai alat bantu untuk memasukkan drive-pipe ke dalam tanah. Salah satu sisi silinder besi itu dilengkapi dengan sebuah cincin, sedangkan pada sisi yang lain diberi lubang yang memungkinkan dimasukkannya pipa logam. Sebatang tali diikatkan pada cincin silinder dan sebatang pipa baja dimasukkan pada lubang yang ada pada silinder. Selanjutnya pemberat itu diangkat sekitar 1 meter dan kemudian dilepaskan agar menumbuk drive-pipe. Dengan melakukan hal itu berkali-kali, drive-pipe akan melesak ke dalam tanah. Sebuah dongkrak dapat digunakan untuk mengangkat drive-pipe yang telah terisi sampel. Inti bor yang ada dalam drive-pipe dapat dipindahkan dengan menggunakan sebuah alat dorong yang bentuknya mirip dengan bagian dalam pompa sepeda. Untuk menekan inti bor agar keluar dari drive-pipe, apa yang perlu dilakukan hanyalah memutar setang alat pendorong. 14

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Drive-pipe juga dapat berwujud sepasang pipa, dimana pipa pertama terletak di dalam pipa kedua. Pipa yang terletak di bagian dalam berfungsi sebagai alat penadah sampel. Untuk memudahkan proses pengambilan sampel, pipa-dalam itu tidak dibuat utuh, melainkan disusun oleh dua bagian yang setangkup. Dengan rancangan seperti itu, proses pengeluaran sampel akan dapat dilakukan dengan relatif mudah karena kita hanya tinggal menarik kedua belahan pipa dalam tersebut. Ada satu alat yang merupakan bentuk penyempurnaan dari drive-pipe. Penjelasan yang lebih panjang mengenai alat yang disebut sampling rod itu dapat ditemukan dalam karya tulis Simpson (1906/1907). Alat itu terdiri dari sebuah pipa dengan diameter sekitar 5 cm dan panjang sekitar 2 meter. Salah satu sisi pipa itu dipotong pada arah yang sejajar dengan sumbu pipa, mulai dari ujung bawah hingga suatu tempat yang dekat dengan ujung atas pipa tersebut. Adanya celah itu memungkinkan pipa tersebut untuk mengembang sedikit sewaktu ditekan ke dalam tanah serta memungkinkan pipa itu untuk menahan sampel yang ada didalamnya karena sebagian material batuan itu akan terikat pada celah tersebut. 2.8 SAMPEL PENGEBORAN Sampel pengeboran memiliki bentuk yang beragam, tergantung metoda pengeborannya. Dewasa ini dikenal adanya tiga metoda pengeboran. Karena ketiga metoda itu menghasilkan kualitas sampel yang berbeda-beda, maka pembahasan sampel di bawah ini akan dilakukan sesuai dengan metoda pengeborannya. 2.8.1 Pengeboran Inti Pengeboran inti dengan menggunakan intan (diamond core drilling) mampu menghasilkan sampel berkualitas terbaik karena teknik pengeboran ini menghasilkan inti bor yang tersimpan baik di dalam core barrel. Pengeboran ini dilakukan dengan memakai sebuah mata bor berbentuk seperti pipa baja, dimana pada ujung pipa itu ditempatkan sejumlah intan hitam yang berperan sebagai pemotong batuan. Mata bor itu ditempelkan pada sebuah core shell dan core barrel. Core barrel kemudian dihubungkan dengan sederetan pipa baja hingga ke permukaan. Keseluruhan rangkaian peralatan itu kemudian diputar. Pada waktu itu, air bertekanan kuat disemprotkan ke dalam lubang bor melalui saluran yang terletak di bagian tengah pipa bor dan bagian pinggir core barrel. Air itu berperan untuk menjaga agar ujung mata bor tetap dingin. Ketika naik kembali ke permukaan, air akan membawa keratan-keratan batuan yang terpotong oleh mata bor. Ketika mata bor menembus batuan, terbentuklah sebuah inti bor yang sedikit demi sedikit menempati ruang yang tersedia dalam core barrel. Ketika core barrel telah terisi penuh, keseluruhan rangkaian peralatan itu diangkat ke permukaan dan inti bor yang ada dalam core barrel dikeluarkan. Dengan cara ini, kita akan dapat memperoleh rekaman batuan yang lengkap. Inti bor itu selanjutnya dapat dikirim ke laboratorium untuk diperiksa secara seksama atau dibagi-bagi untuk dijadikan beberapa sampel. Secara umum, inti bor dapat terawetkan dengan sangat baik, meskipun kadang-kadang material lunak yang seharusnya ada dalam core barrel tidak dapat terawetkan karena tersapu oleh air yang terus-menerus bersirkulasi. 2.8.2 Pengeboran Tumbuk Dalam pengeboran tumbuk (percussion drilling), diperoleh sejumlah keratan pengeboran yang umumnya sudah cukup memadai untuk penelitian laboratorium. Karakter-karakter tertentu dari batuan, misalnya besar butir dan bentuk, mungkin rusak, namun mineral dan mikrofosil yang ada didalamnya dapat terawetkan dengan baik. Untuk pengeboran ini digunakan sebuah alat potong yang terbuat dari baja dan dihubungkan dengan sederetan pipa baja yang berat. Rangkaian itu kemudian dihubungkan dengan anjungan pengeboran (drilling rig) oleh sejumlah kabel. Keseluruhan rangkaian itu diangkat dan diturunkan berkali-kali sehingga alat potong yang ada di ujung bawah rangkaian itu akan menumbuk batuan yang ada dibawahnya. Hasil pengeboran ini adalah keratan atau bubuk batuan. Sampel itu selalu berada dalam keadaan basah oleh aliran air yang terus-menerus dimasukkan ke dalam lubang bor. Pada interval tertentu, rangkaian bor tumbuk itu diangkat, kemudian bailing tube diturunkan ke dalam lubang bor untuk mengambil keratan pengeboran yang ada dibawahnya. Bailer adalah silinder baja yang pada

15

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

ujung bawahnya dilengkapi oleh sebuah katup. Setelah diangkat ke permukaan, isi bailer yang sebagian diantaranya akan dijadikan sampel itu dikeluarkan. Sampel pengeboran tumbuk mengandung risiko tinggi untuk terkontaminasi oleh material yang terletak di bagian atas lubang bor akibat pergerakan bor tumbuk atau akibat rendahnya daya kohesi yang dimiliki oleh material itu sendiri. Walau demikian, apabila dilakukan dengan hati-hati, kita akan dapat memperoleh sampel yang lumayan baik. Sampel yang diambil dari bailer lebih kurang setara dengan sampel alur yang diambil antara dua titik kedalaman tertentu. Kita mungkin tidak dapat memperoleh sampel karena batuan yang tertumbuk demikian lunak atau getas sehingga berubah menjadi bubuk batuan yang dapat dengan mudah tersapu oleh air yang terus-menerus dialirkan ke dalam lubang bor. 2.8.3 Pengeboran Putar Dilihat dari kacamata pengambilan sampel, pengeboran putar (rotary drilling) menghasilkan sampel yang kualitasnya paling buruk. Dengan metoda pengeboran ini, sebuah mata bor yang berbentuk seperti ekor ikan diletakkan pada ujung deretan pipa bor. Kemudian seluruh rangkaian itu diputar. Selama berlangsungnya proses pengeboran itu, lumpur terus-menerus dialirkan ke dalam lubang bor. Lumpur itu berperan sebagai pelumas mata bor sekaligus untuk mendinginkannya. Ketika naik kembali ke permukaan, lumpur itu membawa serta keratan pengeboran yang berasal dari batuan-batuan yang telah terpotong oleh mata bor. Sampel pengeboran putar diambil dari campuran lumpur dan keratan pengeboran itu. Pemakaian lumpur pengeboran yang sama selama berlangsungnya program pengeboran dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap sampel. Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mendapatkan sampel yang memuaskan dari teknik pengeboran ini. Sebagai contoh, lumpur yang naik ke permukaan dialirkan terlebih dahulu melalui sebuah saringan sehingga keratan pengeboran akan tertahan pada saringan itu Lumpur yang telah bebas dari keratan pengeboran itu selanjutnya akan dialirkan ke sebuah bak penampungan khusus untuk kemudian disirkulasikan kembali ke dalam lubang bor. Pembahasan yang mendetil mengenai pengambilan sampel dari pengeboran putar ini dijelaskan oleh Whiteside (1932). 2.9 SAMPEL DARI WILAYAH PERAIRAN Pengumpulan sampel sedimen dari suatu wilayah perairan merupakan satu prosedur yang agak khusus yang memerlukan peralatan khusus, tergantung pada beberapa faktor seperti kedalaman, khuluk dasar perairan itu, jenis sampel yang ingin diperoleh (apakah disturbed sample atau undisturbed sample), serta ukuran sampel itu (besar atau kecil). Banyak peralatan telah dikembangkan oleh para ahli untuk mengambil sampel dari wilayah perairan (Soule, 1932). Walau demikian, sebagian besar diantaranya hanya merupakan bentuk pengembangan dari beberapa tipe dasar. Tipe-tipe peralatan dasar itu adalah: 1. Eretan (bottom dredge and drag bucket) yang digusur di dasar perairan. 2. Tabung yang ditancapkan secara vertikal ke dalam endapan dasar perairan. 3. Alat mekanis yang akan menahan sampel agar tetap berada diantara dua geligi yang ada pada alat tersebut. Diantara ketiga tipe alat tersebut di atas, tabung mungkin merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk mengambil sampel di wilayah perairan. 2.9.1 Eretan Ada beberapa tipe eretan. Salah satu eretan model lama yang bentuk modifikasinya masih dipakai hingga sekarang adalah eretan tipe Challenger (Challenger-type dredge) (Murray, 1885). Eretan itu terdiri dari dua bagian: (1) rangka besi yang berperan sebagai pengeruk dasar perairan, dan (2) kantong yang berperan untuk mengumpulkan sampel yang telah terkeruk. Tipe alat lain yang diseret di dasar perairan adalah Gilson sampler (Gripenberg, 1934) yang dikembangkan pada 1906. Alat itu terdiri dari sebuah ember berbentuk setengah bola yang ditempelkan pada satu batang besi. Mann sampler, menurut Trask (1932), terdiri dari sebuah silinder besi dengan diameter 10 cm dan panjang 15 cm. Salah satu ujung silinder itu tertutup, sedangkan ujung yang lain dibiarkan terbuka dan diikatkan pada sounding line. Alat itu juga diseret di dasar perairan dan kemudian diangkat setelah penuh. 16

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Alat pengambil sampel yang mirip dengan eretan tipe Challenger adalah sebuah lead cup seperti (Murray, 1885). Lead cup itu dilengkapi dengan sebuah tutup yang berfungsi untuk menahan agar material yang ada dalam gentong itu tidak lepas. Mulut gentong itu diikat dan dihubungkan dengan sebuah kawat yang diberi beban agar mampu menahan gentong agar gentong itu tidak mengapung. Alat pengambil sampel karya Lugn (1927), yang semula dirancang untuk mengambil sampel sedimen dasar Sungai Mississippi, termasuk ke dalam kategori eretan. Alat itu terdiri dari dua pemberat, yang diikat kuat-kuat pada tali baja satu di atas yang lain, serta sebuah gentong besar yang diletakkan pada salah satu sisi pemberat bawah. Sewaktu digunakan, alat pengambil sampel itu diseret di dasar perairan. Ketika diangkat, salah satu pemberat akan berfungsi sebagai penutup gentong sehingga sampel yang ada dalam gentong tadi tidak jatuh kembali ke dasar perairan. 2.9.2 Pipa Pengambil Sampel Di Dasar Perairan Pipa pengambil sampel dari dasar suatu wilayah perairan (bottom sampling tube) pada dasarnya terdiri dari sebuah pipa dan sebuah alat pemberat. Ketika jatuh di dasar perairan, karena beratnya, pipa itu akan melesak ke dalam sedimen dan akan terisi oleh sedimen. Pipa pengambil sampel ini, dengan bentuk dan ukuran yang beragam, mungkin merupakan tipe alat pengambil sampel perairan yang paling banyak digunakan para ahli. Salah satu tipe pipa pengambil sampel yang tertua adalah Baillie Rod (Murray, 1885). Pipa itu dibuat dari besi dengan diameter sekitar 7,5 cm, dimana pada ujung bawahnya ditempatkan sebuah katup kupu-kupu (butterfly valve). Alat yang lebih efektif lagi, dilengkapi dengan comb-valve untuk menahan agar sampel tidak lepas sewaktu pipa diangkat, adalah Buchanan Combined Water Bottle and Sampling Tube (Murray, 1885). Ekman Sampler (Ekman, 1905) dan berbagai alat lain yang merupakan bentuk modifikasinya, merupakan tipe pipa pengambil sampel yang paling penting. Bentuk modifikasi dari Ekman Sampler, yang dirancang oleh Trask (1932), diperlihatkan pada gambar (2-4). Alat itu terdiri dari satu galvanized iron pipe dengan panjang 1 meter dan diameter 4 cm. Ujung bawah pipa itu dibiarkan terbuka, sedangkan ujung yang lain diikatkan pada sebuah pipa lain yang dilengkapi dengan sebuah katup. Pipa yang disebut terakhir ini kemudian dihubungkan dengan sebuah pemberat. Keseluruhan rangkaian pipapemberat itu selanjutnya diikatkan pada sebuah kawat baja. Untuk mengambil sampel, alat itu dibiarkan jatuh bebas. Kedalaman yang dapat dicapai oleh alat tersebut tergantung pada ukuran dan berat jenis pemberat serta pada kekerasan sedimen penyusun dasar perairan. Setelah diangkat ke permukaan, sedimen yang ada dalam pipa bawah didorong agar keluar dan kemudian ditempatkan dalam sebuah wadah. Jika diinginkan, sebuah pipa kayu dapat ditempatkan di bagian dalam pipa pengambil sampel sehingga pipa kayu itu dapat berperan sebagai core barrel. Alat pengambil sampel tipe Ekman sangat efektif untuk digunakan pada kedalaman berapapun juga, terutama apabila dasar perairan disusun oleh lanau atau lempung. Dengan alat itu kita akan dapat memperoleh inti bor dengan panjang hingga sekitar 120 cm. Walau demikian, alat itu kurang berhasil digunakan untuk mengambil sampel sedimen kasar karena tidak dilengkapi dengan sebuah katup di bagian bawah. Jenis bottom sampling tube terkini, yang merupakan hasil penyempurnaan Ekman bottom sampler, adalah Piggot sampler (Piggot, 1936). Piggot sampler menawarkan sebuah rancangan baru. Alat itu dilengkapi dengan sebuah komponen yang mampu memberikan daya dorong terhadap pipa pengambil sampel, setelah alat itu menyentuh dasar perairan, sedemikian rupa sehingga pipa itu dapat melesak lebih jauh ke dalam sedimen dibanding dengan kedalaman yang dapat dicapai oleh bottom sampling tube yang hanya mengandalkan gaya gravitasi. Alat itu pada dasarnya terdiri dari dua bagian: (1) pipa pengambil sampel; dan (2) mesin yang memberikan daya dorong terhadap pipa tersebut. Untuk menjaga agar pipa pengambil sampel yang didorong masuk ke dalam sedimen tidak lepas, digunakan sebuah kawat baja yang memungkinkan keseluruhan rangkaian alat itu diangkat ke permukaan. Secara keseluruhan, alat itu memiliki panjang sekitar 3 meter dan berat sekitar 180 kg. Rangkaian seberat itu sudah barang tentu memerlukan adanya sistem kerek yang memadai di atas kapal. Piggot sampler dapat berhasil digunakan pada wilayah perairan dengan kedalaman hingga sekitar 5000 m dan mampu mengambil inti bor sepanjang 3,5 m. Inti bor yang diperoleh kemudian ditempatkan pada sebuah tabung tembaga yang diletakkan pada selubung luar sehingga memudahkan proses pemindahan dan penyimpannya. Diagram 17

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

skematis dari Piggot sampler diperlihatkan pada gambar (2-5). Penjelasan yang lebih mendetil mengenai alat ini dapat ditemukan pada makalah karya Piggot (1936). 2.9.3 Tabung Hidrolik Varney & Redwine (1937) mengembangkan sebuah alat hidrolik yang merupakan salah satu bentuk penerapan prinsip tekanan diferensial karena tekanan di luar alat itu jauh lebih tinggi dibanding tekanan di bagian dalam alat tersebut. Tekanan diferensial dapat digunakan untuk mendorong pipa agar melesak masuk ke dalam sedimen. Alat itu terdiri dari pipa pengambil sampel yang dapat bergerak melalui sebuah piston dan diikatkan pada piston tersebut. Sisi atas piston itu dihubungkan dengan sebuah lengan-lengan pemicu yang akan bergerak apabila bagian dasar alat itu menyentuh dasar perairan sedemikian rupa sehingga piston itu akan bergerak menuju bagian dalam sedimen di bawah pengaruh tekanan air. Pada waktu bergerak ke bawah, piston akan membawa serta pipa yang berperan sebagai alat penyimpan sampel. Alat ini terbukti mampu digunakan pada wilayah perairan dengan kedalaman 15 hingga 90 meter dengan penetrasi bervariasi mulai (12,1 m). 2.9.4 Pipa Mekanis Tipe lain dari tabung pengambil sampel, yang digerakkan secara mekanis agar mampu menembus tempat yang lebih dalam, adalah Knudsen sampler seperti yang dipaparkan oleh Trask (1932). Alat itu terdiri dari sebuah pipa yang diikatkan pada sebuah drum. Di sekeliling drum itu dilingkarkan sejumlah sounding line. Pipa pengambil sampel akan dilepaskan pada saat alat itu menyentuh dasar perairan. Tumbukan itu juga menyebabkan sounding line yang ada di sekeliling drum tertarik ke atas. Hal itu pada gilirannya menyebabkan drum berputar dan memicu beroperasinya sebuah pompa yang akan menyedot air yang ada dalam pipa pengambil sampel. Adanya perbedaan tekanan antara bagian dalam dan bagian luar pipa itulah yang selanjutnya akan mendorong pipa untuk melesak masuk ke dalam sedimen dasar perairan. Trask (1932) melaporkan berbagai kesulitan yang dihadapi dalam pemakaian alat tersebut. 2.9.5 Clam-Shell Snapper dan Alat-Alat Lain yang Mirip dengannya Salah satu tipe peralatan yang dirancang secara khusus baru-baru ini untuk mengambil sampel sedimen berbutir sedang adalah clam-shell snapper dan beberapa alat lain yang mirip dengannya (Soule, 1932). Alat itu terdiri dari sepasang mangkok yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk alat yang mirip dengan rahang manusia (gambar 26). Kedua mangkok itu dihubungkan dengan sebuah alat pemicu. Ketika alat itu menyentuh dasar perairan, pegas yang semula berfungsi untuk menahan kedua bagian itu akan bekerja sedemikian rupa sehingga keduanya akan meraup sedimen dan kemudian menutup. Alat lain yang mirip dengan clam-shell snapper dapat terdiri dari beberapa lengan yang bentuknya mirip dengan kulit jeruk ketika dipotong-potong. Salah satu contoh alat yang ukurannya lebih besar dari clam-shell snapper, dan dijalankan oleh sebuah kabel (bukan pegas), adalah Peterson Dredge (Pratje, 1935). Alat yang disebut terakhir ini terdiri juga terdiri dari dua mangkok, namun penguncian kedua mangkok itu dijalankan oleh sebuah rantai. 2.9.6 Alat-Alat Lain Sebuah alat sederhana yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai endapan yang ada di bagian dasar suatu wilayah perairan adalah sounding lead kecil yang di bagian bawahnya terdapat sebuah lekukan. Pada lekukan itu ditempatkan lilin. Ketika lead itu menyentuh dasar perairan, sebagian sedimen akan melekat pada lilin dan akan memberikan informasi mengenai khuluk sedimen penyusun dasar perairan itu. Alat pengambil sampel lain yang digunakan untuk mengetahui khuluk endapan yang ada di bagian dasar suatu wilayah perairan adalah sampling spud (Eakin, 1936). Alat itu terdiri dari sebuah pipa panjang bersama-sama dengan sebuah galur yang dibuat sedemikian rupa sehingga disusun oleh sederetan lekukan dan tonjolan yang menarah ke atas. Jarak antar lekukan itu sedikit lebih lebar dari 2,5 cm. Pipa itu kemudian didorong agar masuk ke dalam endapan. Ketika diangkat kembali, lekukan-lekukan yang ada di bagian bawahnya akan membawa serta sejumlah kecil sedimen dari tempat terdalam yang mampu ditembus oleh alat tersebut. Spud dijalankan dengan tangan dan biasanya hanya digunakan di daerah perairan dangkal.

18

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

2.10 UKURAN SAMPEL Ukuran sampel yang dikumpulkan untuk suatu kasus biasanya tergantung pada dua aspek: (1) kekasaran sedimen; dan (2) tujuan pengambilan sampel atau, dengan kata lain, untuk penelitian apa sampel itu diambil. Idealnya, sampel yang dikumpulkan berukuran sekecil mungkin, namun pada saat yang bersamaan selengkap mungkin. Sebagai aturan umum, dapat dikatakan bahwa ukuran sampel lapangan untuk sedimen berbutir halus dan menengah harus jauh lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk satu kali penelitian laboratorium. Namun, apabila sedimen itu berbutir kasar, sampel lapangan cenderung lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk satu kali analisis laboratorium. Hal ini dilakukan antara lain dengan pertimbangan bahwa kita akan kesulitan untuk membawa sampel yang ukurannya terlalu besar. Ukuran seperti itu tetap dipertahankan, walaupun sampel itu direncanakan sebagai sampel komposit. Hal ini muncul dari pemikiran dasar yang melandasi proses pengambilan sampel komposit, yakni bahwa sampel yang ada paling tidak mampu mewakili besar butir partikel terbesar yang ada pada suatu titik. Wentworth (1926) melakukan penelitian terhadap hubungan antara besar butir dengan ukuran sampel. Dia menyatakan bahwa sebuah sampel hendaknya cukup besar untuk mencakup fragmen-fragmen terbesar yang ada dalam endapan pada titik pengambilan sampel tersebut. Beberapa fragmen mungkin ditafsirkan cukup besar sedemikian rupa sehingga probabilitas adanya penyimpangan yang serius dari jumlah normal fragmen seperti itu menjadi kecil. Lebih jauh, Wentworth menyatakan bahwa sampel yang diambil, bagaimanapun besar butirnya, tidak boleh kurang dari 125 gram. Hasil penelitian Wentworth, dengan sedikit penyempurnaan, diperlihatkan pada tabel 1. Tabel 1 dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan ukuran sampel berdasarkan besar butir partikel penyusun sedimen. Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan jenis analisis yang akan dilakukan terhadap sampel untuk menentukan ukuran sampel. Saransaran yang diberikan oleh Wentworth sebenarnya ditujukan untuk analisis mekanik, namun agaknya masih sesuai untuk analisis sedimen pada umumnya. Untuk sedimen berbutir kasar, pasir atau yang lebih kasar lagi, sampel yang sama dapat digunakan untuk analisis besar butir, bentuk butir, dan analisis mineral. Namun, untuk lanau dan lempung, metoda analisis besar butir (metoda pipet) menuntut agar kita tidak menggunakan material yang pernah digunakan untuk analisis lain. Walau demikian, sampel yang diperlukan untuk analisis pipet sebenarnya tidak terlalu banyak, cukup sekitar 20-30 gram saja. Sampel yang diambil hendaknya dapat digunakan untuk beberapa kali analisis pipet. Analisis kimia kemungkinan besar akan menyebabkan hancurnya sampel setelah digunakan. Jika sampel peragaan juga akan digunakan sebagai sampel yang akan dianalisis, maka sampel itu harus diambil dengan hati-hati sehingga memenuhi syarat, kecuali material hasil analisis itu sendiri akan digunakan sebagai bahan peragaan. Salah satu ancangan yang menarik untuk menentukan ukuran sampel diajukan oleh Knight (1932), terutama dalam kaitan-nya dengan sampel keramik. Dia antara lain menyatakan bahwa ukuran sampel suatu sedimen hendaknya sebanding dengan kuadrat besar butir rata-rata dari sedimen tersebut. 2.11 WADAH SAMPEL Wadah sampel (sample container) dapat digunakan untuk membawa, menyimpan, dan memperagakan sampel. Pada beberapa kasus, wadah sampel dapat memiliki lebih dari satu peranan. Walau demikian, sebaiknya kita memanfaatkan wadah tersebut untuk fungsi dasarnya saja. Sampel yang kompak mungkin dapat dibungkus dengan kertas koran, kemudian dikirim ke laboratorium, atau diperagakan dalam mampan atau kotak khusus. Pembahasan di bawah ini ditujukan pada sedimen yang tidak terkonsolidasi. 2.11.1 Wadah untuk Mengumpulkan dan Mengirim Sampel Dewasa ini banyak material dapat dipilih sebagai wadah penyimpan sampel lapangan. Wadah yang paling banyak digunakan adalah kantong sampel (sample bag). Wentworth (1926) menyarankan digunakannya kantong kain untuk menyimpan sampel kering pada kondisi biasa. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa kantong kertas dapat dipakai sebagai kantong sampel yang layak dipercaya. Bahkan pasir basah pun dapat disimpan dalam kantong tersebut asal kita dapat mengepaknya dengan baik. Wadah yang paling sering digunakan untuk sedimen basah adalah botol gelas. Karton 19

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

pembungkus ice-cream berbentuk silinder makin lama makin sering digunakan untuk tujuan yang sama. Karena relatif ringan dan memiliki kemungkinan yang rendah untuk bocor, wadah ini sangat sesuai untuk tujuan tersebut. 2.11.2 Wadah Penyimpanan Dalam penelitian, sebagian sampel biasanya disimpan untuk dirujuk kembali di kemudian hari, apabila memang diperlukan. Wadah yang paling baik untuk menyimpan sampel adalah karton silindris seperti telah dikemukakan di atas karena ukuran dan bentuknya yang kompak sehingga dapat ditumpuk satu di atas yang lain. Wadah lain yang dapat digunakan untuk tujuan itu adalah kantong kertas yang juga cukup kompak untuk dapat ditumpuk. Kedua wadah itu dapat digunakan untuk menyimpan sampel sedimen berbutir halus dan sedang. Untuk sampel gravel, sebaiknya kita menggunakan karton kecil atau, untuk kasuskasus istimewa, kita dapat menggunakan kertas semen. Jika sampel yang disimpan akan digunakan untuk berbagai jenis penelitian, wadah yang paling baik adalah karton silinder. Kantong kertas memang baik untuk digunakan sebagai penyimpan sampel, namun kurang baik untuk digunakan berkali-kali. Untuk mengawetkan kelembaban sampel, agaknya botol gelas merupakan wadah yang paling memenuhi harapan. 2.11.3 Wadah peragaan Wadah sampel yang dapat digunakan untuk peragaan ada beberapa macam, tergantung antara lain pada ukuran material yang akan diperagakan. Sebuah mampan kayu berukuran 5 x 7,5 x 4 cm mungkin sudah cukup besar untuk menampung sampel kerikil dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Wadah sampel yang lain mungkin pula dapat diperoleh, lengkap dengan penutupnya untuk melindungi sampel dari debu. Sedimen berbutir halus mungkin dapat diperagakan dalam vial plastik bundar dengan kapasitas sekitar 2 ons dan diameter sekitar 6 cm. Vial seperti itu kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah tutup. Wadah lain yang dapat digunakan untuk memperagakan sampel adalah botol yang tutupnya terletak di bagian bawah. Botol seperti itu tersedia dalam beberapa ukuran. 2.12 KAPASITAS WADAH SAMPEL Tabel 2 memperlihatkan beberapa jenis wadah sampel yang sering digunakan, disertai dengan penjelasan mengenai kapasitas dan ukuran masing-masing. 2.12.1 Kantong Kain Kantong kain tersedia dalam tipe dan ukuran yang beragam. Lubang masuk dari kantong itu mungkin sudah dilengkapi dengan sebuah tali untuk mengikat lubang tersebut setelah terisi sampel. Berat kantong itu tergantung pada berat dan kehalusan butiran sedimen. Lubanglubang kain harus lebih kecil dibanding ukuran butiran sedimen paling halus yang akan dimasukkan kedalamnya. Ukuran kantong mungkin tidak berubah sewaktu terisi sedimen kering, namun ukurannya mungkin menjadi sedikit lebih kecil sewaktu terisi oleh sedimen basah. 2.12.2 Kantong Kertas Apabila biaya menjadi salah satu faktor yang menentukan pemilihan jenis wadah sampel yang akan digunakan, dan apabila sebagian besar sampel berupa sedimen berbutir halus atau sedang, kita dapat memanfaatkan kantong kertas. Harga kantong ini sangat murah. Penulis telah menggunakan kantong tersebut dalam banyak penelitian pada beberapa tahun terakhir dan menemukan kenyataan bahwa kebocoran dan kehancuran kantong tersebut dapat diabaikan. Dalam satu kesempatan kami dapat mengangkut sampel untuk jarak sekitar 400 mil dan tidak satupun diantara kantong itu pecah. Ada cara tersendiri agar kantong kertas itu tidak rusak atau bocor sewaktu akan dibawa pulang. Pertama, kantong itu diisi hingga setengah bagian, kemudian ditekan sedemikian rupa sehingga bentuk kantong itu menjadi seperti sebuah papan. Bentuk seperti itu akan menjadi lebih mantap setelah kita menutup lubang kantong dengan cara melipat ujungnya beberapa kali. Ujung kantong sampel ini tidak perlu diikat dengan tali. Setelah ujungnya dilipat, kantong ini dapat disimpan dengan menempatkan ujung atas di bawah dalam sebuah kardus. Setelah terisi penuh, kardus itu kemudian diikat dengan kuat. Alasan untuk meletakkan sampel dengan cara terbalik seperti tersebut di atas adalah bahwa, apabila 20

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

diletakkan seperti biasa, kelembaban dapat menyebabkan terlepasnya rekatan di bagian bawah kantong sampel dan, apabila hal itu terjadi, maka kantong itu bisa ambrol sewaktu dikeluarkan dari kardus. Cara lain untuk menambah kekuatan kantong sampel adalah melapis satu kantong dengan kantong lain. Jadi, kita menggunakan dua kantong untuk satu sampel. Untuk sedimen berbutir halus, misalnya lanau dan lempung, khususnya apabila sedimen itu kering, kantong #1 sudah memenuhi kebutuhan. Sejumlah kantong sampel yang telah terisi sedimen kemudian dapat disimpan dalam sebuah kardus besar. Sebagai contoh, sembilan buah kantong #1 yang telah terisi sedimen dapat dengan tepat masuk ke dalam kantong #8. Secara umum, kantong nomor 1, 2, dan 3 dapat digunakan sebagai kantong sampel, sedangkan kantong kertas nomor 8, 12, dan 19 dapat digunakan sebagai kardus penyimpan beberapa kantong sampel kecil sehingga secara keseluruhan sampel-sampel itu akan lebih mudah ditangani. Kantong kertas kurang baik untuk digunakan sebagai wadah sampel gravel. 2.12.3 Botol Gelas Botol sering digunakan untuk mengumpulkan sampel yang banyak mengandung air. Walau demikian, salah satu risikonya adalah kebocoran. Karena itu, makin lama makin banyak ahli yang menggantikan peranan botol dengan karton silinder yang lebih murah, namun memiliki risiko kebocoran yang lebih rendah. 2.12.4 Karton Silinder Anti Air Sampel yang lembab atau basah paling baik disimpan dalam karton silinder anti air. Karton itu biasanya sudah dilengkapi dengan tutup.6 Karton silinderkarton modern biasanya tidak memanfaatkan lilin sebagai pelapis sehingga tidak menyebabkannya tergores apabila bergesekan dengan sedimen. Karton paling besar sesuai untuk menyimpan sampel gravel, sedangkan sedimen lain disimpan dalam karton yang lebih kecil. Untuk kegiatan pemetaan, sebenarnya agak sukar untuk memilih jenis wadah mana yang lebih sesuai: kantong kain atau karton anti air. Kantong kain mudah dibawa sewaktu kosong, sedangkan karton lebih mudah mengepaknya setelah terisi sampel. Karton dapat digunakan untuk menyimpan sampel basah maupun kering, sedangkan kantong kain lebih terbatas pemakaiannya untuk sampel kering. 2.12.5 Amplop Kertas Wadah lain yang dapat digunakan untuk menyimpan sampel, dan belum dijelaskan di atas adalah amplop kertas yang biasanya sudah disertai dengan lempeng aluminium di bagian ujungnya sedemikian rupa sehingga kita akan dapat melipat dan mengunci lubang masuk amplop setelah terisi sampel. Amplop ini biasanya terlalu kecil untuk dapat menampung sampel lapangan, namun dapat menampung material laboratorium dalam jumlah terbatas. Sebagai contoh, amplop ini dapat digunakan untuk menyimpan setiap fraksi sedimen hasil analisis mekanik atau untuk menyimpan mineral-mineral berat dan mineral-mineral ringan hasil analisis mineral berat. 2.13 PENAMAAN DAN PENOMORAN SAMPEL Setiap sampel hendaknya diberi nomor atau diberi nama pada waktu sampel itu diambil di lapangan. Satu cara yang baik, disarankan oleh Wentworth (1926) dan digunakan oleh penulis sebagai prosedur baku, adalah memberi nomor semua sampel secara berurutan dalam setiap ekspedisi lapangan, tanpa tergantung pada khuluk dan lokasi pengambilan sampel. Wadah sampel hanya diberi nomor dan, pada saat yang bersamaan, nomor dan informasi lain dari sampel dicatat dalam buku catatan lapangan. Selain itu, akan lebih baik lagi apabila lokasi dan nomor sampel dirajahkan pada peta. Dengan cara ini, nomor kantong sampel, catatan lapangan, dan peta akan terkoordinasi dengan baik. Pengamatanpengamatan lapangan yang perlu dilakukan pada saat pengambilan sampel telah dijelaskan pada Bab 1.

Merek yang menurut hemat penulis paling memuaskan adalah Titelok, yang diproduksi oleh Sutherland Paper Co., Kalamazoo, Michigan.

21

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Jika diperlukan, kita harus menangani dua atau lebih proyek secara terpisah sewaktu mengambil sampel. Sebagai contoh, dalam pengambilan sampel untuk proyek A kita memberi simbol A untuk semua sampel yang diambil dalam proyek itu. Jadi, sampel untuk proyek itu akan bernomor A1, A2, A3, dst. Demikian pula untuk proyek-proyek lain. Dalam beberapa kasus, kita juga dapat memberi nomor sampel lebih dahulu dalam perencanaan dengan menggunakan metoda jaring, bagaimanapun nantinya urut-urutan pengambilan sampel dilaksanakan. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa sebenarnya penomoran seperti itu dapat dilaksanakan nanti di laboratorium, berdasarkan sampel deret yang diambil. Dengan kata lain, kita dapat saja mengganti nomor sampel sewaktu melakukan penelitian laboratorium. Praktek penamaan sampel bervariasi dari satu peneliti ke peneliti lain. Walau demikian, pengalaman penulis menunjukkan bahwa sebuah nomor berukuran besar dan ditulis dengan jelas pada kantong sampel atau wadah sampel dengan menggunakan spidol sudah cukup memenuhi kebutuhan. Selain itu, nomor berukuran besar cenderung tidak menjadi samar sebagaimana nomor berukuran kecil sewaktu terkena efek kelembaban sampel. Jika sampel yang diambil merupakan sedimen yang tidak terkonsolidasi, nomor dapat ditulis dengan pinsil pada sebuah pita yang kemudian diikatkan pada kantong sampel. Nomor yang sama juga hendaknya ditulis pada karton pembungkus kantong sampel untuk memudahkan pencarian dan pemisahannya di laboratorium. Untuk penyimpanan atau tujuan lain di laboratorium, sebaiknya kita memiliki suatu sistem penamaan dan penomoran yang mampu membedakan sampel dari satu proyek dengan sampel yang berasal dari proyek lain. Wentworth (1926) mengusulkan suatu sistem penamaan dan penomoran sampel dengan sejumlah huruf dan angka. Penulis menggunakan suatu sistem penomoran dan penamaan yang memungkinkannya untuk disusun dalam bentuk katalog, sebagaimana yang digunakan oleh Johannsen (1918) untuk kasus batuan beku. Urut-urutan penomoran dan penamaan itu adalah sbb: Nomor Akses Catatan Nomor Lapangan Jenis Sedimen Lokasi Pengambil

Tanggal

Nomor akses adalah nomor urut yang memberikan nomor pada setiap sampel, darimana pun dan kapan pun sampel itu diambil, tanpa tergantung pada jenis proyek. Nomor lapangan adalah nomor asli sebagaimana yang diberikan sewaktu diambil di lapangan. Jenis sedimen dinyatakan dengan sebuah istilah deskriptif singkat, misalnya pasir gumuk, till, dsb. Lokasi dinyatakan dengan mendetil atau dengan menyatakan nama kabupaten, kecamatan, dan nomor lokasi. Kolom pengambil disiapkan untuk menyatakan nama orang yang mengambil sampel, biasanya cukup dengan nama depan. Tanggal pengambilan juga diberi kolom tersendiri. Pada kolom catatan kita memberikan keterangan khusus yang dirasa penting menyangkut sampel tersebut. Sebagai contoh kita dapat memasukkan nama proyek disertai dengan keterangan mengenai catatan lapangan dimana penjelasan yang lebih jauh mengenai sampel itu dapat diperoleh. Jika data dari sampel itu pernah dipublikasikan, perlu juga agaknya dinyatakan makalahnya. Katalog itu selanjutnya dapat disimpan dan digunakan untuk tujuan penyimpanan. Sebagai rujukan, sebuah katalog dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan kita untuk merujuk sampel berdasarkan unsur tertentu, misalnya berdasarkan lokasi pengambilan sampel, berdasarkan jenis sedimen, dsb. Dengan kata lain, kita membuat katalog itu dengan tipe rujukan-silang. Berikut akan diberikan contoh-contoh kartu katalog berdasarkan jenis sampel dan lokasi pengambilan sampel. Sistem penamaan dan penomoran yang lebih canggih dapat dibuat berdasarkan klasifikasi lengkap mengenai sedimen. Milner (1929) menggunakan suatu skema penggolongan yang didasarkan pada huruf dan nomor. Walau demikian, karena skema penggolongan sedimen yang ada dewasa ini masih belum memuaskan, sebaiknya kita menggunakan skema pemerian seperti telah disebutkan di atas. Jika skema penggolongan genetik telah dapat dibuat dengan baik, katalog juga dapat menyertakan informasi tersebut. 2.14 TEORI PENGAMBILAN SAMPEL

22

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Para ahli statistika banyak menujukan perhatian mereka pada teori pengambilan sampel, namun teori yang dapat langsung diterapkan pada prinsip-prinsip petrologi sedimen tampaknya masih belum terbahas dengan semestinya. Di lain pihak, masalah pengambilan sampel juga masih belum dibahas dengan semestinya oleh mereka yang terlibat dalam penelitian sedimen. Hal ini antara lain disebabkan karena rumitnya permasalahan dan karena kebanyakan ahli petrologi sedimen memang tidak terlatih dalam statistika matematis. Tulisan di bawah ini tidak dimaksudkan untuk menyajikan suatu teori pengambilan sampel sedimen, melainkan untuk memperlihatkan permasalahan yang ada dan berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk memecahkannya. Sewaktu membahas tentang sampel gabungan, telah dikatakan bahwa pada prakteknya semua prosedur pengambilan sampel mengandung galat. Hal ini mungkin dapat dilukiskan dengan contoh adanya suatu populasi atau semesta yang terdiri dari 10.000 buah kerikil membundar. Kita akan mengambil 100 buah kerikil untuk setiap sampel dari populasi tersebut. Diameter kerikil akan berbeda dengan tingkat perbedaan yang menerus, mulai dari r1 hingga r2, dimana, untuk contoh ini, r2 dianggap berharga lebih kurang dua kali r1. Populasi ini memiliki diameter rata-rata rav yang tidak kita ketahui. Misalkan kita mengambil lima sampel yang masing-masing terdiri dari 100 buah kerikil. Berdasarkan hukum galat, kemungkinan besar tidak akan ada dua individu sampel yang memiliki rata-rata sampel yang identik. Demikian pula kemungkinan besar tidak akan ada rata-rata sampel yang memiliki nilai seperti rav. Namun, jika jumlah sampel ditambah dan diukur, maka nilai rataratanya akan cenderung tersebar secara simetris dengan membentuk diagram distribusi yang seperti lonceng, dengan rav akan terletak pada sumbu lonceng tersebut. Selain itu, puncak dari diagram distribusi itu akan, secara praktis, berimpit dengan nilai rav. Prinsip umum tersebut di atas mengindikasikan satu definisi sederhana dari sampel yang memuaskan untuk setiap endapan sedimen: sampel random dapat didefinisikan sebagai suatu sampel yang karakternya memperlihatkan variasi yang tidak sistematis dari karakter endapan pada tempat pengambilan sampel.7 Prinsip ini menjadi dasar untuk mengambil sampel representatif di lapangan. Agar sampel bersifat random, maka material yang diambil sampelnya itu harus homogen. Hal ini memungkinkan setiap individu lapisan atau stratum digunakan sebagai satuan dasar dalam proses pengambilan sampel, karena sebagian besar lapisan atau stratum memiliki ciri-ciri yang sama di seluruh bagiannya. Salah satu pengecualian untuk hal itu adalah graded bed. Berdasarkan prinsip di atas, setiap individu sampel yang akan diamati secara mendetil hendaknya tidak memotong bidang perlapisan. Hal ini mendorong timbulnya pertanyaan mengenai definisi lapisan dan segi praktisnya dalam analisis laboratorium. Walau demikian, dengan memulai dari konsep dasar tersebut, seorang peneliti dapat menggunakan kebijaksanaannya untuk menentukan satuan pengambilan sampel mana yang akan digunakannya. Masalah prinsip penggunaan lapisan atau stratum dalam pengambilan sampel telah dibahas pada tulisan-tulisan di atas. Prinsip ini sangat sesuai untuk diterapkan pada kasus penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejarah sedimen secara mendetil; bukan pada kasus penelitian yang bertujuan untuk mengetahui karakter rata-rata dari suatu paket sedimen. Berikut akan dikemukakan sebuah contoh yang memperlihatkan pemakaian prinsip tersebut di atas. Misalkan suatu outwash terrace terdiri dari sejumlah lapisan yang ketebalan dan ukuran butirnya berbeda-beda. Bagaimana kita mengambil sampel dari teras tersebut agar dapat mengungkapkan karakteristiknya secara mendetil? Salah satu cara adalah memandang setiap lapisan itu sebagai suatu satuan homogen, kemudian mengambil sampel dari setiap lapisan tersebut. Dengan pandangan seperti itu, setiap sampel akan ditangani secara tersendiri. Data setiap individu sampel kemudian diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya kita akan mengetahui karakter umum dari teras tersebut. Informasi yang didapatkan bukan hanya nilai rata-rata, namun juga kisaran dari setiap aspek yang ingin diungkapkan. Walau demikian, mungkin ada satu pertanyaan susulan yang dapat diajukan pada kasus di atas: Bagaimana kita yakin bahwa sampel yang diambil dari setiap lapisan atau stratum itu memang merupakan sampel random? Ada beberapa cara untuk menguji apakah sampel yang diambil merupakan sampel random atau bukan. Semua cara pengujian itu didasarkan pada prinsip bahwa suatu sampel random akan memperlihatkan deviasi sistematis yang
7

Pembahasan ini melukiskan kesesuaian antara ancangan yang digunakan oleh penulis dengan ancangan yang digunakan oleh Otto terhadap masalah pengambilan sampel. Dengan memperkenalkan istilah satuan sedimentasi (sedimentation unit), dan dengan menyusun sebuah skema penggolongan teknik-teknik pengambilan sampel, Otto mengembangkan lebih jauh hal-hal yang dijelaskan pada tulisan ini.

23

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

tidak terlalu jauh dari karakter asli lapisan tersebut. Uji-uji mencakup probable error method, uji kai kuadrat, dan theory of a state of control yang kesemuanya akan dijelaskan pada Bab 9. Setiap metoda itu melibatkan operasi-operasi statistik yang bersifat teknis sebagaimana dijelaskan pada banyak buku ajar statistika. Probable error method secara khusus telah diterapkan pada masalah-masalah pengambilan sampel sedimen oleh Krumbein (1934); uji kai-kuadrat telah digunakan oleh Eisenhart (1935) dalam kaitannya dengan korelasi geologi; sedangkan theory of control digunakan oleh Otto (1937) untuk menguji sampel-sampel yang merupakan suatu bagian kecil dari sampel yang diambil dari lapangan. Galat pengambilan sampel merupakan fungsi dari homogenitas sedimen, lokasi pengambilan sampel, dan cara sampel itu dikumpulkan. Walau demikian, bagaimanapun besarnya galat, telah dikemukakan bahwa galat pengambilan sampel akan dapat direduksi hingga tingkat tertentu dengan cara mengambil sampel gabungan. Hal ini muncul dari khuluk fungsi galat yang mungkin dapat digambarkan sebagai berikut. Misalkan ada sekumpulan bilangan r1, r2, r3, ... rn, dengan rata-rata rav. Jika kita mengambil dua buah bilangan dari kumpulan bilangan itu secara random, maka setiap individu bilangan itu cenderung akan berbeda dengan nilai rata-rata. Perbedaan itu berupa suatu angka yang disebut galat. Namun, apabila kedua angka itu diambil rata-ratanya, maka nilai rata-rata itu tidak akan memiliki galat yang lebih besar daripada bilangan-bilangan itu dan kemungkinan besar lebih mendekati harga rav. Rietz (1924) menemukan bahwa galat dari suatu nilai rata-rata dari sekumpulan data sama dengan galat suatu data dibagi dengan akar jumlah data. Secara matematis, hal itu dinyatakan dengan persamaan Em = dimana E n E n

Em adalah galat rata-rata adalah galat suatu data adalah jumlah data

Persamaan itu dapat dinyatakan dalam bentuk lain, yakni Em E = 1 n

Dengan menggunakan bentuk pernyataan yang disebut terakhir ini kita dapat mempelajari fungsi Em/E dengan berubahnya nilai n. Dengan memilih nilai n mulai dari 1 hingga 10, kita dapat mengetahui nilai Em/E yang berkorespondensi dengan setiap harga n itu (tabel 2-3). Gambar 2-7 adalah grafik yang memperlihatkan fungsi Em/E dalam n. Gambar itu memperlihatkan bahwa ketika n bertambah, maka galat pertama-tama menurun dengan cepat, namun kemudian menurun relatif lambat. Titik dimana Em/E mulai mendatar terletak pada saat n = 4. Dari kurva itu dapat disimpulkan bahwa galat akan banyak terkurangi apabila empat data dikombinasikan, ditambah dengan beberapa data lain untuk menambah agar galat sekecil mungkin. Hal itu mengindikasikan bahwa untuk memperkecil galat kita perlu mengambil empat sampel diskrit, kemudian menggabungkannya menjadi suatu sampel komposit. Inilah asalannya mengapa pada bagian-bagian sebelumnya kami menyarankan agar sampel komposit disusun oleh empat sampel tunggal. Adalah suatu hal yang mungkin pula bagi kita untuk membuat agar galat sampel mencapai suatu harga tertentu. Sebagai contoh, misalkan galat dari setiap individu sampel adalah 4,5% dan kita ingin agar galat sampel itu hanya sekitar 0,5%. Berapa sampel yang harus diambil? Jawaban dari pertanyaan itu dapat diperoleh dengan cara memasukkan harga individu galat dan galat yang diinginkan ke dalam persamaan di atas. Jadi, Em E = 0.111 = 1 n

24

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

n =

1 0.111

= 9 .0

n = 9 .0 n = 81 Jadi, jumlah sampel yang harus dikumpulkan adalah 81 buah. Pembahasan mengenai teori pengambilan sampel sedimen disini masih jauh dari memuaskan. Masih banyak masalah yang belum tersentuh disini. Sebagai contoh, satu masalah penting yang perlu dikaji adalah penentuan karakter sedimen dalam sebuah satuan apabila kita bergerak dari bagian proksimal menuju bagian distal. Salah satu diantara pertanyaan yang perlu dijawab dalam kaitannya dengan hal ini adalah: Apakah perubahan karakter sedimen itu merupakan sesuatu yang nyata atau disebabkan oleh hal-hal lain, misalnya galat pengambilan sampel. Permasalahan seperti itu masih belum dibahas dari kacamata sedimentologi, meskipun permasalahan yang mirip dengan itu telah dicoba untuk dibahas dari kacamata ilmu pertanian. Khuluk permasalahan seperti itu, dan metodametoda statistika yang dapat digunakan untuk memecahkannya, telah dijelaskan oleh Fisher (1935). Metoda yang digunakan oleh Fisher disebut analisis varians (analysis of variance). Metoda ini, apabila diterapkan pada sedimentologi, tampaknya akan memberikan hasil-hasil yang menggembirakan.

25

You might also like