You are on page 1of 22

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

BAB 3 PREPARASI SAMPEL


3.1 TINJAUAN UMUM Preparasi sampel sedimen merupakan sebuah pekerjaan yang biasa dilakukan sebelum analisis yang sebenarnya dimulai. Sampel lapangan umumnya lebih besar dibanding sampel yang dibutuhkan untuk pengujian laboratorium. Sedimen itupun mungkin tidak berada dalam keadaan yang sesuai untuk dapat langsung digunakan dalam berbagai analisis. Ada beberapa tahapan kerja yang terlibat dalam preparasi sampel dan tipe pekerjaan itu tergantung pada jenis analisis yang akan dilakukan serta pada khuluk sampel itu sendiri. Meskipun tidak ada satu metoda penanganan sampel yang dapat dianggap universal, namun untuk semua bentuk analisis sedimen, ada beberapa perlakuan yang lebih kurang sama. Perlakuan pertama adalah disagregasi (disaggregation), yakni mengubah bentuk sampel lapangan menjadi kumpulan agregat berukuran kecil yang selanjutnya dapat dipisah-pisahkan sedemikian rupa sehingga akhirnya kita akan mendapatkan sampel uji (test sample) yang ukurannya dengan tipe analisis yang akan dilaksanakan. Sampel uji itu selanjutnya didisagregasi lebih lanjut atau didispersi sedemikian rupa sehingga akhirnya memiliki wujud yang sesuai untuk tipe analisis tersebut. Untuk analisis mekanik, sampel uji mungkin perlu diproses dengan menggunakan zat kimia tertentu sedemikian rupa sehingga setiap partikel penyusun batuan itu dapat terpisahkan dari partikel lain serta agar setiap partikel itu memiliki muatan listrik tertentu sehingga tidak akan mengalami reagregasi selama berlangsung-nya analisis tersebut. Untuk analisis mineralogi, di lain pihak, pemakaian asam atau basa kuat kadang-kadang diperlukan untuk membersihkan permukaan partikel serta untuk mempersiapkannya agar dapat digunakan dalam penelitian mikroskopis. Kita perlu ekstra hati-hati dalam membagi sampel untuk mendapatkan ukuran sampel uji yang sesuai. Hal itu tidak cukup dilaksanakan hanya dengan cara menuangkan sampel lapangan ke dalam sebuah wadah, khususnya untuk sedimen berbutir sedang dan sedimen berbutir kasar, karena sifat-sifat partikel sedimen seperti besar butir, bentuk butir, densitas, kemagnetan, koefisien friksi, dan elastisitas dapat menyebabkan terjadinya galat selektif (selective error) (Otto, 1933). Galat itu dapat memberikan efek yang serius terhadap hasil akhir penelitian, khususnya jika kita harus mengambil sampel uji yang berukuran kecil seperti yang diperlukan untuk penelitian mineral berat. Untuk sedimen yang butirannya sangat halus, proses pemisahan tidak sekritis seperti pada sedimen berbutir sedang dan sedimen berbutir kasar, apabila sedimen itu diaduk terlebih dahulu serta apabila proses pengambilan sampel uji dilakukan dengan menggunakan sebuah sendok seperti yang sering dilakukan untuk analisis kimia. Walau demikian, sekali lagi, kita sebaiknya menggunakan metoda pemisahan yang baku. Jika sampel lapangan merupakan sedimen lepas, maka proses pemisahan dapat langsung dilaksanakan, tanpa didahului oleh proses disagregasi. Disagregasi hanya dilaksanakan pada sampel yang berbentuk agregat. 3.2 PEMISAHAN SAMPEL Untuk menghindari terjadinya galat selektif, sampel lapangan hendaknya dipisahkan sedemikian rupa sehingga sampel itu hanya disusun oleh agregat-agregat berukuran kecil atau partikel-partikel diskrit. Jika sampel lapangan itu berupa batupasir dengan tingkat sementasi yang tidak terlalu kuat, maka langkah perlakuan awal mungkin teridiri dari penumbukkan ringan dengan memakai lumpang karet (rubber pastle) atau alat giling kayu (wooden rolling pin). Sampel lempung dan lanau tidak jarang mengeras sewaktu disimpan. Cara mendisagregasi sampel ini adalah menumbuknya dengan lumpang karet atau menggilingnya dengan alat giling kayu sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun agregat yang berukuran lebih besar daripada sepotong kue. Jika sampel itu berupa batuan yang telah mengalami kompaksi parsial, misalnya serpih, diperlukan beberapa alat tumbuk yang akan mengubah sampel tersebut menjadi kumpulan agregat yang ukurannya tidak lebih besar daripada sepotong kue. Jika memungkinkan, hal itu hendaknya dilaksanakan tanpa menyebabkan hancurnya individu-individu partikel sedimen. Gravel yang telah tersemenkan dapat didisagregasi dengan memakai larutan asam. Namun, sebelum memakai setiap

21

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

metoda kimia, kita perlu memastikan terlebih dahulu bahwa perlakuan itu menyebabkan hilangnya material-material yang diperlukan untuk analisis yang dilaksanakan. Satu-satunya tujuan disagregasi adalah mendapatkan material memungkinkan kita untuk membagi-bagi sampel tersebut menjadi sampel-sampel uji berukuran kecil.

tidak akan yang yang

3.2.1 Membagi dengan Tangan Metoda pembagian sampel yang paling mudah dilakukan adalah menuangkan sampel itu di atas selembar kertas berukuran relatif besar sedemikian rupa sehingga membentuk kerucut. Setelah itu, dengan memakai sendok tembok atau alat lain (telapak tangan dapat digunakan sebagai pengganti sendok tembok jika sedimen yang akan dipisahkan itu berbutir kasar), kita membagi kerucut itu menjadi empat bagian yang ukurannya lebih kurang sama. Dua bagian yang saling bersebrangan dipertahankan di atas kertas, sedangkan dua bagian lain dikembalikan ke tempat semula. Jika dua bagian yang tersisa di atas kertas itu masih terlalu besar dibanding ukuran sampel uji yang diharapkan, maka keduanya digabungkan kembali dan proses pembentukan kerucut dan pembagian itu dilakukan lagi hingga akhirnya kita mendapatkan ukuran sampel uji yang diharapkan. 3.2.2 Membagi dengan Knife-edge Splitter Beberapa tahun lalu, Krumbein (lihat Otto, 1933) melakukan eksperimen dengan memakai sebuah alat pemisah sampel, dimana sampel dimasukkan ke dalam sebuah corong berbentuk lingkaran. Di bawah corong itu diletakkan dua buah lempeng logam yang tegak lurus satu sama lain. Pinggiran lempeng logam yang menghadap ke atas sangat tajam seperti ujung pisau. Bagian yang disebut terakhir ini berfungsi untuk memisahkan sampel yang jatuh kepadanya menjadi empat bagian. Setiap bagian itu selanjutnya ditampung dalam wadah terpisah. Otto (1933), dalam rangka membandingkan beberapa metoda pemisahan sampel, menyempurnakan rancangan Krumbein namun dia menemukan fakta bahwa untuk beberapa tipe sedimen tertentu, alat yang dirancangnya menghasilkan deviasi yang jauh lebih besar dibanding alat yang semula dirancang oleh Krumbein. 3.2.3 Jones Sample Splitter Salah satu alat yang paling banyak digunakan untuk memisahkan sampel adalah Jones sample splitter. Alat itu terdiri dari deretan lekukan yang miring pada arah yang berlawanan menuju dua wadah yang terletak dibawahnya. Sampel yang akan dipisahkan dituangkan ke dalam corong yang terletak di bagian atas sample splitter itu dengan memakai wadah berbentuk kotak yang panjangnya lebih kurang sama dengan panjang deretan lekukan. Dengan cara itu, sampel akan terpisahkan menjadi dua bagian yang ukurannya lebih kurang sama. Proses pemisahan tersebut dilakukan terus-menerus hingga akhirnya kita mendapatkan ukuran sampel yang diharapkan. Proses penuangan ulang hendaknya dilaksakan dengan cara menuangkan kembali wadah penerima sampel yang terletak di sebelah kiri dan sebelah kanan alat pemisah sampel secara bergantian. Model komersil dari Jones splitter (gambar 3-1) memiliki kompartemen pemisah dengan lebar sekitar 1 cm sedemikian rupa sehingga penggunaan alat tersebut relatif terbatas, yakni hanya untuk partikel-partikel yang diameternya < 1 cm. Wentworth (1927) meneliti galat yang muncul akibat pemakaian Jones splitter, dengan memakai alat penguji berupa gravel pasiran yang disusun oleh partikel-partikel dengan besar butir 1/88 mm. Hasil penelitiannya itu menunjukkan bahwa nilai galat bertambah besar dengan bertambahnya ukuran partikel, meskipun hubungan antara besarnya galat dengan diameter partikel tidak mem-perlihatkan perbandingan yang konstan. Otto (1937) melakukan pengujian yang sama dengan memakai kontrol statistik. Metoda yang digunakan oleh Otto itu mencakup pemelajaran unjuk kerja alat dalam arti kata deviasinya dari hasil yang diperkirakan berdasarkan analisis teoritis. Penelitian itu mengindikasikan, antara lain, bahwa unsur manusia turut mempengaruhi hasil proses pemisahan, yakni ketika seseorang menuangkan sampel ke atas Jones splitter. Hal itu mendorong Otto untuk merancang sebuah alat yang merupakan bentuk penyempurnaan dari Jones splitter yang dilengkapi dengan sebuah metoda pengontrol. Alat itu mampu memberikan hasil yang memuaskan karena hasil pemisahannya memperlihatkan kemiripan dengan hasil yang diperkirakan secara teoritis. Model Jones splitter hasil penyempurnaan Otto memiliki bentuk yang berbeda dengan model Jones splitter komersil. Corong, yang menjadi saluran penerima sampel, dirancang sedemikian rupa sehingga hanya dapat menerima sampel yang dituangkan dengan cara 22

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

baku saja; wadah penadah sampel dilengkapi dengan sebuah pegangan yang akan mengeliminasi unsur pribadi dalam menuangkan sampel dan dalam menerima sampel. Wadah penadah sampel juga dilengkapi dengan penutup debu yang akan menurunkan kemungkinan terbangnya material berukuran debu setelah masuk ke dalam wadah tersebut. Gambar lengkap dari alat ini disajikan dalam karya tulis Otto (1937). Perlu diketahui bahwa sebelumnya Otto (1933) juga merancang sebuah miniatur Jones splitter yang dinamakannya microsplit. Alat ini akan dijelaskan lebih jauh nanti pada Bab 15. 3.2.4 Rotary Sample Splitter Wentworth dkk (1934) mengembangkan dua buah rotary sample splitter. Sample splitter yang besar dipakai untuk membagi sampel besar, sedangkan yang kecil digunakan untuk membagi sampel kecil. Alat itu terdiri dari satu set tabung silindris yang ditempatkan di sekeliling meja putar. Sampel dimasukkan melalui corong besar yang kemudian akan membaginya ke dalam sejumlah corong kecil yang ditempatkan di atas tabung-tabung silindris. Ketika meja itu berputar, partiikel-partikel penyusun sedimen akan didistribusikan ke dalam himpunan tabung tersebut. Laju putaran meja dapat diatur. Proses pembagian itu sendiri dapat diatur sedemikian rupa sehingga kita dapat memastikan berapa jumlah sampel yang diinginkan, relatif terhadap jumlah keseluruhan sampel awal. Sebagai contoh, kita dapat membagi sebuah sampel ke dalam 16 sampel baru yang masing-masing berharga 1/16 kali sampel keseluruhan. Serangkaian pengujian telah dilakukan untuk menentukan akurasi alat tersebut di atas, relatif terhadap akurasi Jones splitter. Hasilnya menunjukkan bahwa rotary sample splitter jauh lebih baik dibanding Jones splitter. 3.2.5 Oscillatory Sample Splitter Beberapa tahun lalu, J. E. Appel mengembangkan sebuah oscillatory sample splitter di University of Chicago. Alat ini akan dijelaskan lebih jauh pada Bab 14. 3.2.6 Kebenaan Uji Statistika terhadap Sample Splitter Dalam semua penelitian yang dilakukan terhadap kelebihan dan kekurangan suatu sample splitter, pengamatan ditujukan pada kisaran besar butir sampel yang diperoleh, bukan berdasarkan efek splitter itu terhadap parameter-parameter statistika dari kurva frekuensi besar butir. Pada beberapa penelitian lain dikatakan bahwa analisis komparatif terhadap sedimen mungkin memperlihatkan fluktuasi dalam jumlah material yang dikumpulkan oleh beberapa ayakan, namun nilai-nilai statistika dari sedimen itu secara keseluruhan tidak banyak terpengaruh. Adalah suatu hal yang baik untuk melakukan penelitian, baik dalam kaitannya dengan probable error maupun dengan teori pengontrolan, terhadap distribusi besar butir secara keseluruhan yang diberikan oleh alat pemisah sampel. Satu-satunya data yang dapat digunakan untuk mengetahui hal itu adalah data hasil penelitian insidental oleh Krumbein (1934) dalam kaitannya dengan galat pengambilan sampel lapangan. Dari penelitian itu diketahui bahwa probable error gabungan, yang muncul akibat pemisahan dan pengayakan, berkisar mulai dari 0,75 hingga 1,42 persen. Sample splitter yang digunakan dalam penelitian itu adalah Jones sample splitter komersil. Menurut hemat penulis, keseluruhan galat laboratorium yang pernah dilakukan selama ini mengindikasikan bahwa galat itu tidak cukup besar. 3.3 DISAGREGASI SAMPEL UJI Disagregasi tahap lanjut, setelah kita memperoleh sampel uji, harus dilakukan dengan memahami sepenuhnya efek setiap bentuk disagregasi terhadap karakter sedimen. Dalam kaitannya dengan hal ini, ada satu prinsip yang paling penting, yakni bahwa, sebelum menggunakan sebuah metoda yang akan menyebabkan terubahnya atau rusaknya data yang akan diperoleh, kita harus mengevaluasi terlebih dahulu galat yang ditimbulkan akibat pemakaian metoda tersebut. Sedimen yang tidak terkonsolidasi mungkin mendapatkan pra-perlakuan yang demikian kecil sehingga sifat-sifatnya praktis tidak terpengaruh. Namun, sejalan dengan makin tingginya kekompakan batuan, metoda-metoda disagregasi makin lama makin keras dan dengan demikian sebagian sifat batuan itu kemungkinan besar akan terubah. Jika melihat bahwa disagregasi hanya akan menyebabkan banyak terubahnya sifat batuan, sebaiknya kita lebih mengandalkan metoda sayatan tipis. 23

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Penjelasan di bawah ini ditujukan untuk membandingkan beberapa jenis perlakukan yang dapat digunakan untuk beberapa tipe analisis. 3.3.1 Preparasi untuk Analisis Mekanik Dalam melakukan disagregasi sedimen untuk analisis mekanik, ada beberapa hal yang perlu dicamkan agar partikel-partikel penyusun batuan itu tidak hancur serta agar tidak ada satupun material utama penyusun sedimen tersebut hilang selama berlangsungnya proses disagregasi. Partikel-partikel yang rusak atau hancur akan menyebabkan timbulnya galat dalam nilai besar butir rata-rata serta konstanta-konstanta stastistika lain. Hilangnya material utama penyusun sedimen akan menyebabkan hasil penelitian menjadi bias dan bias itupun dapat berlipat ganda karena material hasil hancuran itu akan termasukkan sebagai bagian dari fraksi partikel yang lebih halus. Perlakukan terhadap sampel untuk analisis mekanik juga tergantung pada besar butir sedimen. Sedimen berbutir kasar biasanya diayak, sedangkan sedimen berbutir halus biasanya dipisahkan berdasarkan kecepatan pengendapannya dalam air tenang. Untuk analisis ayakan, material yang diperlukan adalah sedimen yang disusun oleh individuindividu partikel penyusun sedimen tersebut. Untuk analisis kecepatan pengendapan, kita perlu memberikan perhatian khusus dengan menjaga agar partikel-partikel yang telah terdisagregasi tidak mengalami reagregasi selama berlangsungnya analisis. Persyaratan kedua yang harus dipenuhi oleh sedimen halus apabila akan digunakan untuk analisis kecepatan sedimentasi ini menyebabkan prosedur-prosedur kimia tertentu, yang akan menyebabkan terjadinya koagulasi, tidak boleh digunakan sebagai sarana untuk melakukan disagregasi sedimen tersebut. 3.3.2 Preparasi untuk Analisis Bentuk Butir dan Analisis Tekstur Permukaan Karena adanya limitasi penerapan praktis dari teknik-teknik analisis bentuk butir dan analisis tekstur permukaan, sebagian besar analisis tersebut dilakukan secara terbatas pada sedimen berbutir sedang dan sedimen berbutir kasar. Satu hal yang perlu dilakukan ekstra hati-hati disini adalah kita tidak melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan terhancurkannya partikel-partikel penyusun batuan. Hal itu akan sangat mempengaruhi kebundaran partikel-partikel tersebut, meskipun bentuknya mungkin tidak terlalu banyak terpengaruh. Demikian pula, metoda-metoda disagregasi yang dapat menyebabkan terubahnya tekstur permukaan, baik karena abrasi maupun karena pengaruh larutan, harus dihindarkan dalam analisis tekstur permukaan. Untuk kasus-kasus seperti itu, mungkin diperlukan beberapa bentuk pemeriksaan (sebelum dan setelah disagregasi) untuk memasti-kan bahwa suatu perlakukan tidak menyebabkan terjadinya perubah sifat-sifat butiran. 3.3.3 Preparasi untuk Analisis Mineral Untuk jenis-jenis penelitian mineralogi tertentu, kita tidak perlu menjaga keutuhan bentuk dan tekstur permukaan partikel sedimen. Pada kasus ini, perhatian umumnya difokuskan pada mineral berat. Dengan demikian, kita memiliki cukup banyak pilihan mengenai teknik dan metoda disagregasi apa yang dapat digunakan untuk analisis mineral. Walau demikian, apabila kita juga ingin menghitung frekuensi mineral untuk pembandingan statistik, kemungkinan hancurnya mineral akibat disagregasi perlu diperhitungkan. Pembahasan lebih jauh mengenai proses-proses disagregasi untuk analisis mineral ini dapat ditemukan pada Bab 13. 3.4 SEDIMEN BERBUTIR KASAR DAN SEDANG Gravel dan pasir yang tidak terkonsolidasi tidak menimbulkan masalah disagregasi. Dengan material seperti itu, kita dapat langsung melakukan analisis segera setelah sampel uji dapat diperoleh. Namun, jika sedimen yang akan dianalisis telah terkonsolidasi, maka ada beberapa peralatan yang perlu digunakan untuk melakukan disagregasi terhadap sedimen tersebut. Beberapa fragmen hendaknya diamati di bawah mikroskop binokuler, sebelum kita memberikan perlakuan tertentu terhadap batuan, sehingga kita dapat memilih metoda preparasi yang paling sesuai dengan sedimen tersebut. 3.4.1 Menghilangkan Semen

24

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Material yang paling sering berperan sebagai penyemen batuan sedimen adalah kalsit, oksida besi, kuarsa (dan silika, pada umumnya) serta material organik seperti bitumen. Metoda paling sederhana yang dapat digunakan untuk menghilangkan material tersebut adalah memanaskan secara perlahan-lahan sampel uji yang direndam dalam HCl cair. Walau demikian, sebelum memakai asam, kita perlu memastikan terlebih bahwa dalam batuan itu tidak terdapat fragmen-fragmen kalsit primer. Dalam gravel mungkin terdapat fragmen batugamping dan dalam pasir mungkin terdapat partikel kalsit dan karbonat lain yang merupakan bagian integral dari distribusi frekuensi besar butir. Jika pemakaian asam dilakukan tanpa memperhatikan hal itu, maka hasil analisis mekanik yang nanti diperoleh tidak akan akurat karena partikel-partikel kalsit yang seharusnya ada dalam sampel itu telah hilang akibat pengaruh asam. Jika fragmen karbonat primer tidak ditemukan dalam batuan yang akan dianalisis, maka pemakaian asam sebagai sarana untuk menghilangkan semen tidak akan memberikan pengaruh yang berarti terhadap hasil analisis mekanik, terutama setelah kita menerapkan beberapa metoda untuk mengoreksi material yang hilang akibat pengaruh asam. Dalam banyak kasus, data yang diperlukan untuk mengoreksi hasil analisis mekanik itu dapat diperoleh dari hasil pengamatan mikroskopis. Semen yang berupa oksida besi dapat dihilangkan dengan memakai stannous chloride. Larutan garam itu ditambahkan ke dalam larutan HCl cair, kemudian fragmen batuan yang akan dianalisis dipanaskan sewaktu direndam dalam larutan hasil pencampuran stannous chloride dan HCl tersebut. Untuk mendapatkan larutan tersebut, Tester (1931) mencampurkan 15-18% HCl dengan 10% stannous chloride. Karena larutan itu bersifat asam, kita juga perlu memastikan terlebih dahulu bahwa batuan yang akan dianalisis itu tidak mengandung partikel-partikel karbonat primer. Semen silika pada umumnya merupakan material penyemen yang paling sukar untuk dihilangkan. Jika material penyemen itu berwujud kuarsa dan merupakan secondary enlargement dari butiran-butiran kuarsa primer, maka kita praktis tidak memiliki satupun cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan material tersebut. Untuk menganalisis sampel seperti itu, kita dapat melakukan analisis mekanik dengan metoda sayatan tipis (lihat Bab 6). Apabila material penyemen itu berupa opal atau silika amorf, pemakaian larutan alkali kadang-kadang sudah cukup untuk menghilangkan material tersebut (Taylor & Georgesen, 1933). Walau demikian, larutan alkali juga akan mempengaruhi butiran-butiran mineral tertentu dan hendaknya digunakan apabila kita telah menyadari pengaruhnya terhadap berbagai tipe partikel yang ada dalam batuan. Pirit kadang-kadang berperan sebagai material penyemen. Pirit umumnya dapat dihilangkan dengan cara mendidihkan sampel dalam nitric acid cair (Dana, 1922). Semen yang berupa material organik, misalnya bitumen, dapat dihilangkan secara efektif dengan memakai larutan ether, aseton, benzol, atau bensin (Spieker, 1930). Sampel hendaknya dididihkan bersama-sama dengan larutan tersebut. Walau demikian, kita perlu melakukan hal itu dengan ekstra hati-hati karena larutan-larutan itu sangat mudah terbakar atau meledak. Pemakaian reflux condenser yang ditempelkan pada gelas Pyrex (Pyrex flask) biasanya sudah cukup aman. Untuk menghilangkan material perekat berwujud koloid yang ada dalam tanah, misalnya zat organik, oksida besi, atau silika koloid, Truog dkk (1936) mengembangkan suatu prosedur yang mencakup pemakaian oxalic acid dan natrium sulfida. Hidrogen sulfida yang terbentuk dalam suspensi tanah akan melarutkan material penyemen dan, pada gilirannya, akan menyebabkan dispersi tanah secara lengkap. 3.4.2 Pemecahan Batuan Pada beberapa kasus, material penyemen tidak dapat dihilangkan oleh cara-cara tersebut di atas, bahkan sebagian batuan justru makin kompak setelah terpanaskan. Apabila sampel yang sedang ditangani berupa konglomerat, maka individu-individu partikel dapat diambil dengan cara memahat wilayah perbatasan komponen-matriks. Hal itu perlu dilakukan dengan ekstra hati-hati apabila kita ingin memperoleh kisaran besar butir yang lengkap dari konglomerat tersebut atau apabila kita ingin mengetahui jumlah dari beberapa ukuran tertentu. Jika material penyusun batuan tidak cukup besar untuk dapat diambil satusatu, kita perlu menggunakan metoda pemecahan yang lain. Batuan mungkin dipanaskan hingga berwarna kemerahan, kemudian dicelupkan ke dalam air.1 Dengan cara itu, sebagian partikel penyusun batuan biasanya akan terlepas.
1

Metoda ini telah digunakan paling tidak sejak 1863 oleh R. Ulbricht. Lihat Ulbricht (1863).

25

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Walau demikian, metoda ini sangat efektif dalam mengubah mineral dan hendaknya tidak dimasukkan sebagai salah satu metoda rutin dalam memperlakukan sampel untuk analisis mekanik. Cara itu juga seringkali menyebabkan hancurnya individu partikel penyusun batuan. Metoda yang lebih halus adalah pemakaian sejumlah larutan jenuh yang dapat masuk ke dalam batuan sewaktu sampel batuan direndam dalam larutan tersebut. Setelah direndam beberapa lama, sampel kemudian diangkat dan dibiarkan mengering. Gaya-gaya yang muncul sejalan dengan ber-langsungnya kristalisasi larutan jenuh dalam batuan itu akan menyebabkan sampel tersebut terpecah-pecah. Natrium sulfat (Morris, 1931) dan natrium hiposulfit (kadang-kadang disebut hipo) (Tolmachoff, 1932) sering digunakan untuk tujuan tersebut. Metoda yang lebih kurang analog dengan itu adalah merendam sampel dalam larutan natrium karbonat jenuh selama beberapa lama, kemudian memasukkan sampel itu ke dalam larutan asam (Mann, 1932). Tekanan yang diberikan oleh gas CO 2 yang keluar dari sampel itu akan menyebabkan terpecahkannya batuan tersebut. Neumaier (1935) memakai ammonium nitrate untuk mendisagregasi sedimen. Garam itu dilarutkan hingga konsenstrasinya berharga 177 gram/liter pada temperatur 20oC dan 1011 gram/liter pada temperatur 100oC. Sampel uji kemudian direndam dalam larutan itu pada temperatur 110oC selama 5 menit, selama rentang waktu mana larutan itu akan mendingin relatif cepat hingga akhirnya akan memiliki temperatur yang sama dengan temperatur ruang. Kristalisasi ammonium nitrat yang berlebih di dalam batuan itu akan menyebabkan partikel-partikel penyusun sedimen terpisah satu dari yang lain. Proses itu diulang beberapa kali. Terakhir, garam yang menempel pada sampel dapat dihilangkan dengan cara mencuci sampel yang telah terpecah-pecah itu dengan air murni. 3.4.3 Disagregasi dalam Pressure-Chamber Taylor & Georgesen (1933) merancang sebuah pressure-chamber yang terbukti sangat efektif digunakan dalam disagregasi sedimen yang kompak. Kotak itu dibuat dari besi dengan panjang sekitar 30 cm dan lebar sekitar 25 cm. Bagian bawah dan bagian atas kotak itu ditutup oleh lempeng-lempeng baja setebal 1,25 cm. Sebuah kran dan indikator tekanan ditempatkan pada tutup kotak tersebut (gambar 3-2). Di dalam kotak itu dapat diletakkan sebuah rak kayu yang akan berperan sebagai mampan dimana kita meletakkan beberapa beaker glass. Sampel yang akan didisagregasi diletakkan di dalam beaker glass yang telah diisi oleh larutan yang sesuai. Larutan lain dituangkan pada bagian bawah kotak, kemudian kotak itu ditutup rapat-rapat. Kotak itu selanjutnya dipanaskan hingga akhirnya kita mendapatkan tekanan yang diharapkan sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator tekanan. Tekanan maksimum yang digunakan adalah 350 pound/in2. Kotak itu terbukti sangat efektif digunakan untuk disagregasi konglomerat, grit, batupasir, batulanau, dan serpih yang disemen oleh kalsium karbonat, oksida besi, silika, atau kombinasi dari ketiga tipe material penyemen itu. Pada banyak kasus, sampel yang telah mendapatkan perlakuan tersebut benar-benar terdisagregasi atau demikian lemah sehingga dapat hancur dengan mudah ketika ditekan dengan lumpang karet. 3.5 SEDIMEN BERBUTIR HALUS Kita perlu memberikan perhatian yang seksama terhadap masalah disagregasi dan dispersi sedimen berbutir halus untuk tujuan analisis mekanik. Karena adanya kesulitan dalam menentukan efek-efek berbagai agen disagregasi terhadap partikel-partikel yang sangat kecil itu, sebaiknya kita tidak memakai metoda-metoda yang keras sebagaimana yang dapat diterapkan pada sedimen berbutir sedang atau sedimen berbutir kasar. Demikian pula, kita sebaiknya tidak memakai zat-zat kimia yang keras terhadap sedimen berbutir halus. Perlakukan keras tidak saja akan menyebabkan terjadinya perubahanperubahan kimia pada sampel, namun juga dapat menyebabkan terjadinya koagulasi mineral lempung. Kalau terjadi koagulasi mineral lempung, mineral itu tidak mudah didispersi lagi secara sederhana, namun memerlukan cara yang sukar. Untuk sedimen berbutir halus, disagregasi dan dispersi biasanya dilaksanakan secara simultan, baik dengan metoda fisik, maupun (dan umumnya) dengan metoda kombinasi metoda fisik dan metoda kimia.2
2

Perlu ditekankan disini bahwa istilah disagregasi (disaggregation) dalam buku ini digunakan untuk menyatakan proses penghancuran agregat sehingga agregat itu berubah menjadi kumpulan individu partikel penyusun sedimen atau menjadi agregat-agregat yang lebih kecil. Istilah dispersi (dispersion) adalah proses pemisahan dan pendispersian partikel-partikel penyusun sedimen melalui medium fluida tertentu sedemikian rupa sehingga

26

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Lumpur dan lanau tidak banyak memerlukan perlakuan dan biasanya perlakuan itu tidak sulit untuk dilaksanakan. Walau demikian, batulumpur dan batulanau yang kompak atau sedimen yang banyak mengandung garam-larut-air (water soluble salt) mungkin tidak dapat ditangani sama sekali. Eksperimentasi dengan sampel-sampel kecil seringkali diperlukan sebelum kita menemukan metoda atau teknik yang benar-benar sesuai untuk sampel itu. Selain itu, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memeriksa apakah dispersi yang dilaksanakan sudah sempurna atau belum. Secara teoritis, adalah suatu hal yang sangat penting untuk memastikan bahwa praktek pendispersian yang diberikan hendaknya cukup keras untuk memisahkan partikel-partikel penyusun batuan, sekaligus tidak menyebabkan pecahnya partikel-partikel itu. Pengembangan metoda universal yang dapat memenuhi dua persyaratan tersebut boleh dikatakan tidak mungkin akan tercapai. Walau demikian, kita dapat memiliki sejumlah metoda atau teknik yang pemakaiannya disesuaikan dengan karakter sampel. 3.6 PROSEDUR-PROSEDUR DISPERSI FISIK UNTUK ANALISIS MEKANIK 3.6.1 Perendaman dalam Air untuk Waktu yang Relatif Lama Sampel ditumbuk agar terpecah-pecah menjadi fragmen-fragmen yang relatif kecil, kemudian direndam dalam air atau dalam larutan elektrolit lemah.3 Lamanya waktu perendaman memungkinkan setiap partikel untuk dikelilingi oleh suatu film air atau memungkinkan pori-pori batuan untuk terisi sedemikian rupa sehingga ikatan antar partikel itu akhirnya melemah dan memungkinkan partikel-partikel itu untuk terdispersi. Metoda ini terutama sangat sesuai digunakan pada sedimen yang telah terkompakkan secara parsial. Rubey (1930) memakai metoda ini dalam penelitiannya terhadap serpih Kapur. Dia menyatakan bahwa kemudahan sampel serpih untuk terdispersi sebanding dengan kadar fluida yang ada didalamnya. Rubey merendam sampel-sampel yang dianalisisnya dalam amonia cair selama 8 minggu, namun dia menyatakan bahwa perendaman yang lama dapat menyebabkan terlarutkannya partikel halus dan mineral hidrat. Secara umum, lamanya perendaman tergantung pada tingkat konsolidasi sedimen. Dragan (1931) menyatakan bahwa dispersi tanah sebaiknya dilakukan dalam rentang waktu 24 jam dengan memakai air murni. 3.6.2 Penghancuran dan Triturasi dalam Air Sampel diubah menjadi sebuah pasta dengan air dan diremas dengan tangan atau kwas keras atau di-triturasi dengan lumpang karet. Dari waktu ke waktu air ditambahkan dan material yang terdispersi kemudian dialirkan ke dalam sebuah beaker glass, hingga semua agregat dapat terhancurkan. Whittles (1924) menegaskan perlunya pembasahan sampel secara berangsur sedemikian rupa sehingga air dapat memasuki semua bagian sampel. Dalam kaitannya dengan hal ini, para analis telah menemukan sebuah metoda umum yang dapat diterima. 3.6.3 Diayak dalam Air Pengayakan sedimen dalam air merupakan sebuah prosedur dispersi yang digunakan secara luas oleh para analis. Ayakan bolak-balik (reciprocating shaker) dan ayakan putar (rotary shaker) merupakan dua tipe ayakan yang paling sering digunakan untuk tujuan tersebut. Joseph & Snow (1929) menyarankan digunakannya ayakan bolak-balik. Proses pengayakan dengan alat itu berlangsung mulai dari sekitar 1 jam hingga sekitar 24 jam. Richter (1916) menemukan fakta bahwa ada sebagian partikel sedimen yang terhancurkan selama berlangsungnya pengayakan. Nolte (1919) membandingkan efek-efek pengayakan dan pendidihan sampel terhadap distribusi besar butir partikel sedimen. Dia menemukan fakta bahwa pengayakan lebih sedikit menimbulkan penurunan ukuran partikel dibanding pendidihan, meskipun dia mengingatkan bahwa pengayakan hendaknya tidak dilaksanakan dalam waktu yang terlalu lama. Olmstead dkk (1930) berpendapat bahwa efek-efek pengayakan yang dilaksanakan hingga sekitar 16 jam dapat diabaikan. Hissink (1921)
setiap partikel itu berlaku sebagai individu ketika mengendap. Meskipun penggunaan elektrolit merupakan sebuah prosedur kimia, namun metoda itu disebutkan disini karena dalam prakteknya metoda itu sering digunakan pada waktu yang bersamaan dengan metoda fisika. Walau demikian, dalam pembahasannya, pengaruh elektrolit tidak dibahas di bagian ini, namun akan dibahas pada bagian-bagian lain yang sesuai.

27

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

berpendapat bahwa pengeratan dengan kwas keras memberikan efek penghancuran yang lebih kurang sama dengan pengayakan. Ada banyak tipe mesin pengayak (shaking machine) yang beredar di pasaran dan sebuah mesin ayakan dapat dibuat dengan biaya relatif rendah. Satu contoh mesin ayak bolak-balik sederhana, sebagaimana yang dijelaskan oleh Puri & Keen, terdiri dari sebuah roda. Dua botol gelas kemudian dihubungkan dengan roda itu. Roda itu sendiri digerakkan oleh sebuah motor. Alat pengayak bolak-balik yang digunakan oleh United States Bureau of Soils (Briggs dkk, 1904) diperlihatkan pada gambar 3-3. Alat itu terdiri dari sebuah kotak yang dibagi-bagi ke dalam sejumlah kompartemen dan berfungsi sebagai penopang botol yang diletakkan secara horizontal dalam setiap kompartemen itu. Motor kemudian menggerakkan suatu sistem geligi yang, pada gilirannya, akan menyebabkan kotak itu bergerak bolakbalik. Alat pengayak itu telah digunakan dengan berhasil pada beberapa laboratorium di University of Chicago. Alat pengayak putar dapat dibeli dari beberapa pemasok alat-alat laboratorium. Alat itu terdiri dari sebuah lempeng logam yang dilengkapi dengan sejumlah penjepit untuk menahan botol. Selama berlangsungnya pengayakan, botol itu akan dibawa berputar-putar dalam sebuah lintasan berbentuk elips; mirip dengan lintasan pergerakan sebuah ayakan yang digerakkan oleh tangan. Penelitian mendetil terhadap alat pengayak dilakukan oleh Puri & Keen (1925). Mereka mengayak sampel-sampel tanah yang direndam dalam air pada rentang waktu yang beragam, kemudian mengukur tingkat dispersi yang dialami oleh sampel itu dalam satuan prosentase material halus yang terdispersi akibat pengayakan. Nilai prosentase itu, yang disebut faktor dispersi (dispersion factor), pada mulanya meningkat dengan cepat, kemudian laju pengingkatan itu menurun. Kurva yang memperlihat-kan faktor dispersi, yang diadaptasikan dari hasil-hasil penelitian Puri & Keen (1925), diperlihatkan pada gambar 3-4. Kurva itu diketahui sesuai dengan persamaan empiris d = a + k log t, dimana d adalah faktor dispersi; a dan k adalah konstanta, sedangkan t adalah waktu. Waktu pengayakan yang dicobakan dalam penelitian itu berkisar mulai dari beberapa menit hingga 100 jam. Walau demikian, limit atas dari faktor dispersi belum dapat diketahui dari penelitian itu. Dengan demikian, dispersi terlihat merupakan sebuah fungsi menerus yang berubah dengan berlalunya waktu. Walau demikian, rentang waktu 24 jam pengayakan kemungkinan besar sudah cukup memadai karena pada rentang waktu itulah laju dispersi mencapai nilai tertinggi. Kadar air dalam sampel serta konsentrasi suspensi sampel akan mempengaruhi dispersi. Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Krumbein (1933) memperlihatkan bahwa efektivitas pengayakan juga tergantung pada kehadiran material kasar dalam sedimen. Lempung danau, yang tidak memiliki partikel dengan diameter > 0,3 mm, tidak terdispersi setelah dilakukan pengayakan selama 6 jam. Till, di lain pihak, telah terdisagregasi lengkap setelah diayak selama sekitar 1 jam. Davis (1935) memakai bola-bola karet untuk mempercepat proses dispersi material halus. Sebagian ahli juga memakai bola gelas yang berlubang di bagian tengahnya. Efek yang diberikan oleh bola karet dan bola gelas itu adalah meningkatkan laju dispersi sampel. Analisis komparatif terhadap sampel-sampel lempung danau, dimana salah satunya diayak selama 12 jam tanpa bantuan bola gelas, dan sampel lain yang diayak selama 1 jam dengan bantuan bola gelas, tidak memperlihatkan perbedaan distribusi besar butir di luar limit-limit galat percobaan. Dengan demikian, efek penghancuran yang diberikan oleh bola gelas tampaknya dapat diabaikan. 3.6.4 Pengadukan dalam Air Bouyoucos (1927) memakai sebuah mixer listrik untuk mendispersi tanah. Karena alat pencampur itu bergerak dengan laju yang tinggi, maka sebuah alat peredam yang terbuat dari kawat diletakkan di dalam tabung putar untuk menahan agar suspensi yang terbentuk tidak berolak. Bouyoucos (1932) juga membandingkan efek pengadukan dalam air dengan efek pengayakan. Dia menemukan fakta bahwa pengadukan selama 10 menit memberikan hasil yang jauh lebih efektif dibanding pengayakan selama 16 jam. Dalam sampel yang berupa tanah pasiran (sandy soil), dia menemukan bahwa partikel-partikel pasir menjadi terpecah-pecah setelah diaduk lebih dari 10 menit. Alat pengaduk merupakan salah satu alat dispersi yang paling efektif. 3.6.5 Vibrasi dalam Air Salah satu prosedur dispersi terbaru adalah pemakaian vibrasi laju tinggi. Pada 1924, Whittles mengembangkan sebuah mekanisme dimana sebuah palu yang bergetar dengan 28

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

cepat menumbuk dasar seluloid silinder kaca pada frekuensi dan amplitudo yang terkontrol. Tingkat dispersi yang relatif tinggi dapat diperoleh apabila sampel uji ditriturasi (dipecah menjadi fragmen-fragmen berukuran kecil) terlebih dahulu, kemudian dimasukkan ke dalam alat getar selama 1 jam dengan laju vibrasi 10.000 getaran per menit. Pada 1931, Olmstead memakai gelombang supersonik untuk melakukan dispersi. Vibrasi yang dihasilkan oleh sebuah kristal kuarsa piezoelektrik yang direndam dalam sebuah bak minyak dan digerakkan oleh sebuah tabung osilasi vakum. Energi itu ditransmisikan melalui minyak ke dalam botol yang mengandung suspensi tanah. Sampel selanjutnya digetarkan selama sekitar 2 menit, kemudian material yang telah terdispersi itu didekantasi. Olmstead membandingkan hasil metoda tersebut dengan hasil metoda penghancuran konvensional dan menemukan fakta bahwa keduanya dapat memberikan hasil yang mirip, namun metoda supersonik dapat dilaksanakan dalam waktu yang jauh lebih cepat. 3.6.6 Pembakaran Pemanasan sampel sewaktu berada dalam kondisi kering telah digunakan oleh beberapa peneliti. Nolte (1919) mengemukakan bahwa pemanasan itu memberikan efek fisika dan kimia yang kuat terhadap sampel. Richter (1916), setelah membandingkan beberapa metoda penghancuran sampel, menyatakan bahwa pemanasan merupakan metoda yang paling tidak memuaskan karena menyebabkan hancurnya koloid dan karena kemungkinan menyebabkan terjadinya fusi partikel penyusun batuan. 3.6.7 Pendidihan dalam Air Pendidihan sampel dalam air atau larutan elektrolit cair merupakan sebuah prosedur yang menjadi bahan perdebatan panas di kalangan para ahli. Pada 1919, Nolte menyajikan sebuah ringkasan mengenai permasalahan tersebut. Dia menyimpulkan bahwa pendidihan menyebabkan terjadinya penurunan besar butir partikel besar dan, pada saat bersamaan, menyebabkan terjadinya koagulasi partikel kecil. Pada tahun yang sama, Oden menyatakan fakta bahwa proses pendidihan menyebabkan hancurnya partikel berukuran > 10 mikron, sedangkan partikel yang < 1 mikron berkoagulasi membentuk agregat berukuran 1-2 mikron. Pada 1927, von Hahn menyatakan pendidihan sebagai sebuah praktek barbar karena kuatnya efek fisika dan kimia yang ditimbulkannya. Sumbangan pemikiran terpenting mengenai metoda ini diberikan oleh Wiegner (1927). Dia membandingkan efek-efek pendidihan terhadap sampel yang masih mengandung garam-larut-air dengan efek-efek pendidihan terhadap sampel yang telah dibersihkan dari garam-larut-air. Dalam sampel yang telah dicuci, dispersi meningkat akibat pendidihan, sedangkan garam-garam pada sampel yang tidak dicuci menyebabkan terjadinya koagulasi. Dengan demikian dia menunjukkan bahwa perlakuan yang sama bisa menghambat maupun membantu dispersi, tergantung pada ada tidaknya elektrolit asing dalam jumlah tertentu. Rentang waktu pendidihan bervariasi, mulai dari sekitar 10 menit hingga lebih dari 40 jam. Masih disangsikan apakah pendidihan selama 24 jam atau lebih akan membantu dispersi atau tidak, meskipun pada saat tidak ada elektrolit asing. Weigner berpendapat bahwa pendidihan selama 1 jam sudah cukup memadai. Krumbein (1933) menggunakan prosedur pemanasan suspensi hingga tercapai titik didih, namun tidak membiarkan sampelnya berada dalam larutan yang mendidih. Dengan cara itu, agitasi yang ditimbulkan oleh pemanasan mampu menjalankan fungsinya untuk mendispersi sampel tanpa menyebabkan sampel untuk dikenai efek-efek yang ditimbulkan oleh pemakaian panas dalam rentang waktu yang relatif lama. Sebuah bentuk variasi dari teknik pendidihan diajukan oleh Postel pada 1933. Dia memakai agitasi uap untuk mendispersi sampel. Sampel lempung diletakkannya dalam sebuah gelas dan sebuah pipa tembaga dimasukkan melalui sebuah stopper. Pipa itu dihubungkan dengan sebuah alat pendidih yang memasok uap sebanyak 30 pound tekanan. Uap itu selanjutnya akan terkondensasi di dalam gelas. Setelah hal itu berlangsung hanya sekitar 10 menit, sampel lempung tadi sudah terdispersi sehingga memungkinkan dilakukannya elutriasi (elutriation). 3.6.8 Penghilangan Garam-Larut-Air Pencucian elektrolit asing, sebagai sebuah perlakuan awal terhadap sampel, mendapatkan perhatian yang makin tinggi dari para ahli selama satu dasawarsa terakhir. Meskipun prosedur itu pada dasarnya merupakan prosedur fisika, namun pembahas-an yang mendetil mengenai prosedur tersebut baru akan dilakukan di bagian akhir dari bab ini. 29

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

3.7 PROSEDUR-PROSEDUR DISPERSI KIMIA UNTUK ANALISIS MEKANIK 3.7.1 Pembilasan dalam Asam atau Alkali Pembilasan sampel dalam asam cair sebagai sebuah perlakuan awal terhadap sampel telah dilaksanakan sejak lama oleh para ahli ilmu tanah. Walau demikian, apabila dilihat dari kacamata petrologi sedimen, agaknya sudah tidak perlu ditekankan lagi bahwa semua partikel karbonat primer yang ada dalam sedimen hendaknya tidak menjadi hilang sebelum proses analisis mekanik dilaksanakan karena partikel-partikel itu merupakan bagian integral dari distribusi frekuensi besar butir sedimen. Apabila sampel yang akan dianalisis hanya mengandung karbonat sekunder, maka material itu boleh saja dihilangkan. Namun, apabila dalam sebuah sampel terdapat karbonat primer dan semen sekunder, maka kita tidak dapat menghilangkan salah satu diantaranya tanpa menyebabkan hilangnya material lain. Selain itu, pada akhirnya kita harus ingat bahwa semua keputusan mengenai teknik penghilangan sebagian material hendaknya didasarkan pada permasalahan yang ada. Pembilasan sampel dalam alkali kuat, misalnya natrium hidroksida, juga banyak digunakan oleh para ahli. Apabila dilihat dari kacamata petrologi sedimen, perlakukan tersebut berada dalam kategori yang sama dengan perlakukan dengan asam. 3.7.2 Peptisasi dengan Elektrolit Sangat Cair Sejumlah kecil elektrolit yang telah dipeptisasimisalnya ammonium hydroxide, natrium karbonat, atau natrium oksalatbanyak digunakan untuk mendispersi sampel dan tidak banyak teknik yang tidak memasukkan proses pemakaian elektrolit tersebut. Tujuan dimasukkannya elektrolit itu adalah untuk mendispersi sedimen serta untuk menghambat terjadinya koagulasi partikel selama berlangsungnya analisis-analisis berikutnya. Masalah ini demikian pentingnya dalam analisis mekanik sehingga aspek-aspek teoritis dari teknik tersebut akan diberikan di bawah ini. Selain itu, pembahasan tersebut juga akan mencakup pengantar mengenai proses-proses koagulasi. 3.7.2.1 Suspensi Stabil dan Suspensi Tak-stabil Ketika sebuah individu partikel mengendap dalam air, pengendapan itu berlangsung pada laju yang nilainya antara lain tergantung pada ukuran dan bentuk partikel tersebut serta pada khuluk fluida dimana partikel itu mengendap (lihat Bab 5). Ketika suatu sistem partikel mengendap, kumpulan material itu dapat tenggelam sebagai individu-individu yang praktis tidak dipengaruhi oleh individu lain yang berdekatan dengannya, atau sejumlah individu berkoagulasi kemudian mengendap sebagai sebuah agregat. Jelas bahwa hasil analisis mekanik hanya akan memiliki nilai yang tinggi jika kondisi pengendapan berlangsung seperti pada kasus pertama karena analisis itu bertujuan untuk menentukan distribusi frekuensi partikel-partikel primer penyusun sedimen. Karena itu pula, adalah suatu hal yang sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi serta dapat menggunakan cara atau teknik tertentu yang dapat menghambat terjadinya koagulasi yang akan menyebabkan timbulnya galat dalam hasil analisis. Suspensi koloid berbeda dari larutan sebenarnya karena larutan yang disebut terakhir ini bersifat stabil secara permanen, sedangkan suspensi koloid tidak bersifat stabil secara permanen. Para ahli umumnya sepakat bahwa, dalam suatu suspensi koloida yang stabil, pada permukaan setiap partikel terdapat dua lapisan (double layer) yang bermuatan listrik. Muatan itu dapat berupa muatan positif maupun muatan negatif, hal mana antara lain tergantung pada khuluk koloid itu sendiri. Khuluk lapisan berganda itu dapat digambarkan sebagai berikut. Pada suatu partikel zat padat, atom-atom tersusun membentuk struktur kristalin dan di bagian dalam partikel itu setiap atom berada dalam kesetimbangan, dalam arti kata valensinya, dengan atom-atom unsur lain. Walau demikian, valensi dari atom-atom yang terletak pada permukaan partikel itu tidak berada dalam kesetimbangan dan, oleh karena itu, mampu menarik ion-ion yang berada dalam fluida di sekeliling partikel tersebut. Awan ion tersebutyang dapat bermuatan positif maupun negatif, tergatung pada khuluk partikel serta khuluk ion-ion yang ada dalam larutanakan mengatur dirinya pada batasbatas partikel dan membentuk lapisan-dalam. Lapisan inilah yang menentukan muatan apa yang dimiliki oleh partikel tersebut. Pada waktu yang bersamaan, ion-ion yang muatannya berlawanan akan terletak di seputar lapisan-dalam untuk membentuk lapisan-luar. Dengan demikian, terbentuklah partikel yang diselimuti oleh lapisan berganda. Pembahasan teknis

30

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

yang lebih mendalam mengenai konsep lapisan berganda dapat ditemukan dalam berbagai buku ajar mengenai koloid (lihat, misalnya saja, karya Kruyt, 1930). Di bawah pengaruh gaya gerak Brown, partikel-partikel koloid yang bermuatan itu akan bergerak saling mendekat. Walau demikian, selama muatannya berada di atas potensi kritis (lihat gambar 3-5), partikel-partikel itu saling menolak dan, oleh karena itu, tidak akan bergabung. Jika muatannya berada di bawah potensi kritis, atau jika muatannya nol, partikel-partikel itu akan bergabung sewaktu bertumbukan. Hal itu pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya koagulasi. Agregat-agregat yang terbentuk kemudian mulai mengendap dan akhirnya akan terbentuk suatu fasa dispersi di bagian bawah massa larutan itu. Koagulasi antar partikel itu dapat lambat maupun cepat, tergantung pada ada tidaknya muatan listrik pada partikel-partikel tersebut. Sedikit perubahan kadar elektrolit dalam suspensi akan memberikan besaran muatan listrik yang sangat bervariasi pada partikel-partikel yang ada dalam suspensi itu. Efek suatu elektrolit agaknya bervariasi, tergantung pada khuluk koloid itu. Dalam koloid lempung, misalnya saja, muatan dapat berkurang apabila terjadi peningkatan kadar kalsium klorida. Elektrolit seperti itu disebut koagulan (coagulant). Elektrolit lain, misalnya natrium karbonat, menyebabkan naiknya muatan listrik pada partikel-partikel lempung. Elektrolit seperti itu dinamakan peptiser (peptizer). Di luar limit-limit konsentrasi tertentu, peptiser juga dapat menyebabkan terjadinya koagulasi. Dengan demikian, salah satu perbedaan antara koagulan dengan peptiser adalah karena keduanya memiliki konsentrasi relatif tersendiri untuk menyebabkan terjadinya koagulasi. Ada dua jenis koagulasi, yakni koagulasi perikinetik (perikinetic coagulation) dan koagulasi ortokinetik (orthokinetic coagulation). Koagulasi perikinetik terjadi dalam sistemsistem dimana pada dasarnya tidak terjadi sedimentasi serta apabila probabilitas tumbukan pada setiap arah memiliki harga yang lebih kurang sama dan semata-mata hanya disebabkan oleh gerak Brown yang bersifat kaotik. Koagulasi ortokinetik terjadi dalam sistem-sistem sedimentasi dimana probabilitas untuk terjadinya tumbukan pada arah tertentu lebih besar dibanding probabilitas terjadinya tumbukan pada arah yang lain. Pergerakan yang menyebabkan terjadinya tumbukan pada sistem yang disebut terakhir ini terjadi akibat adanya pergerakan partikel-partikel penyusun sistem tersebut yang bergerak ke bawah. 3.7.2.2 Koagulasi Perikinetik Selama tidak terlibat dalam sedimentasi individu-individu partikel, maka koagulasi perikinetik dipandang tidak memiliki kebenaan apa-apa dilihat dari kacamata analisis mekanik. Walau demikian, agaknya tidak ada salahnya apabila disini kita mencoba untuk memahami konsep koagulasi perikinetik ini. Von Smoluchowski (1916/1918) adalah orang yang pertama-tama mengembangkan teori matematis untuk koagulasi. Dia memandang bahwa, sebelum terjadi koagulasi, terdapat beberapa faktor tertentu. Pertama, jelas bahwa partikel-partikel hanya akan dapat saling bergabung apabila saling bertumbukan satu sama lain. Dengan demikian, probabilitas tumbukan (probability of collision) merupakan salah faktor yang memegang peranan terpenting dalam koagulasi. Selain itu, proses penggabungan partikel itu terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu. Dengan demikian, probabilitas penggabungan (probability of adherence) partikel merupakan faktor kedua yang memegang peranan penting dalam koagulasi. Probabilitas tumbukan antar partikel dikontrol oleh gerak Brown, sedangkan probabilitas penggabungan dikontrol oleh muatan listrik partikel. Von Smoluchowski pertama-tama mengamati perkembangan koagulasi dalam suatu sistem monodispersi dimana tidak terdapat muatan listrik pada partikel sedemikian rupa sehingga setiap tumbukan antar partikel menyebabkan terjadinya penggabungan partikel. Dengan cara itu, dia mengetahui probabilitas penggabungan yang disebabkan semata-mata akibat tumbukan antar partikel. Dengan demikian, pada kondisi itu, probabilitas penggabungan berharga 1. Dalam merancang teori koagulasi, Von Smoluchowski menganggap bahwa suatu partikel yang memiliki radius r akan memiliki daya tarik pada suatu wilayah dengan radius R dari pusat partikel tersebut. Dengan demikian, setiap partikel lain yang terletak pada wilayah pengaruh partikel itu akan tertarik kepadanya. Dia kemudian menggunakan simbol w untuk menyatakan probabilitas bahwa suatu partikel akan masuk ke dalam wilayah pengaruh partikel lain, dengan anggapan bahwa partikel yang disebut terakhir ini tidak bergerak. Dia mengemukakan persamaan w = 4DR, dimana D adalah perpindahan yang disebabkan oleh pengaruh gerak Brown. Dari titik awal itu, von Smoluchowski 31

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

mengembangkan sebuah persamaan yang menyatakan jumlah partikel utama yang masih tersisa dalam suspensi setelah waktu t. Selain itu dia pun melakukan penelitian terhadap pembentukan agregat yang disusun oleh dua, tiga, atau lebih partikel utama serta perubahan jumlah partikel utama dari waktu ke waktu pada saat terjadi koagulasi seperti itu. Gambar 3-6, yang diambil dari makalah von Smoluckowski, memperlihatkan jumlah semua partikel, (n), partikel-partikel utama (n1), diad (n2), atau triad (n3). Nisbah n/n0 dirajahkan sebagai ordinat, sedangkan nisbah t/T dirajahkan sebagai absis. Simbol n0 menyatakan jumlah asal partikel, sedangkan T menyatakan laju koagulasi. Jelas bahwa n dan n1 dimulai pada titik n/n0 = 1. Setelah itu, nisbah itu makin lama akan berkurang. Walau demikian, jumlah diad pada mulanya berharga nol, kemudian akan bertambah hingga mencapai nilai maksimum, kemudian menurun kembali sejalan dengan makin banyaknya triad. Demikian pula, agregat-agregat yang lebih kompleks semuanya memperlihatkan nilai maksimum pada titik-titik yang berturut-turut akan terletak makin tinggi pada sumbu-x. Teori von Smoluckowski yang sederhana itu telah terbuktikan kesahihannya oleh sejumlah ahli melalui berbagai percobaan. Von Smoluckowski kemudian menelaah kasus dimana muatan-muatan partikel memiliki harga yang lebih rendah dibanding nilai potensi kritis, namun tidak sama dengan nol. Pada kasus itu, setiap tumbukan tidak menyebabkan terjadinya penggabung-an sedemikian rupa sehingga laju koagulasi lebih rendah dibanding dengan kasus pertama seperti telah dijelaskan di atas. Efek akhir dari laju koagulasi yang rendah itu adalah masuknya probabilitas , yang nilainya < 1, untuk menyatakan kepastian yang membedakannya dari koagulasi cepat. Pada 1926, Mller mengembangkan sebuah teori koagulasi perikinetik cepat dari sistem bidispersi dimana terdapat dua ukuran partikel. Teori Mller dibuktikan secara eksperimental oleh Wiegner & Tuorila (1926). Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa koagulasi dari sistem bidispersi lebih cepat dibanding laju koagulasi sistem monodispersi serta bahwa ketika jumlah suatu partikel dengan ukuran tertentu jauh lebih besar dibanding jumlah partikel dengan ukuran yang lain, maka laju koagulasi mendekati laju koagulasi sistem monodispersi yang praktis disusun oleh satu ukuran partikel. 3.7.2.3 Koagulasi Ortokinetik Dalam analisis mekanik, partikel besar terus-menerus menarik partikel yang ukurannya lebih kecil sedemikian rupa sehingga kecepatan tenggelam dari partikel besar itu makin lama makin tinggi. Dengan demikian, probabilitas tumbukan antar partikel itu relatif besar dan kita dapat mengharapkan bahwa koagulasi akan terus berlangsung dengan laju yang makin lama makin tinggi. Teori yang melandasi tipe koagulasi ini dikembangkan oleh Tuorila (1927). Wiegner (1932) menyajikan sebuah ikhtisar yang sangat baik mengenai proses tersebut, dimana dalam makalah itu dia juga menyitir penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh von Smoluckowski dan Mller. Pembahasan di bawah ini, dan bagianbagian dari tertentu dari tulisan di atas, didasarkan pada makalah-makalah tersebut. Dalam mengembangkan teorinya, Tuorila meneliti suspensi-suspensi dimana terdapat partikel dalam jumlah yang lebih rendah dari 108 setiap 1 cc dispersi sehingga koagulasi perikinetik tidak terjadi selama berlangsungnya penelitian tersebut. Dia kemudian mengajukan sejumlah asumsi bahwa partikel besar menarik partikel-partikel yang lebih kecil dengan volume tarikan (attraction volume) yang memiliki luas penampang (A2 R2), dimana A = (R + r), yakni jumlah radius semua partikel, baik partikel besar maupun partikel kecil. Pada suatu rentang waktu tertentu, partikel besar tenggelam dengan menempuh jarak L sehingga volume zona tarikannya adalah (A2 R2)L. Volume itu dinyatakan oleh Tuorila sebagai Hautraumvolumen partikel tersebut dan diberi simbol b. Karena setiap partikel besar memiliki volume tarikan, maka N partikel akan memiliki volume tarikan total Nb = (A2 R2)LN = B. Ke dalam rumus itu Tuorila memasukkan Hukum Stokes (lihat Bab 5) dan memperoleh hasil akhirnya yang berupa persamaan: B = KM 2( 2 + S 2 S S ) dimana S = r/R, K adalah konstanta M adalah massa partikel besar setiap cc Dari persamaan itu jelas bahwa volume tarikan total, B, sebanding dengan berat partikel besar yang ada dalam suspensi serta tergantung pada fungsi r (2 + S 2S2 S3). Karena S =
3

32

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

r/R, maka B tergantung pada fungsi nisbah radius. Apabila r = 0, maka B = 0, dan sistem itu merupakan sistem monodispersi. Demikian pula, ketika r/R = 1, maka B = 0. Dengan demikian, nilai B berkisar mulai dari r/R = 0 hingga r/R = 1. Dengan merajahkan fungsi (2 + S 2S2 S3) terhadap r/R, Tuorila menemukan nilai-nilai yang hampir konstan ketika r/R berharga 0,0 hingga 0,4. Tuorila berpendapat bahwa jika terdapat n partikel kecil setiap cc suspensi, maka dalam volume tarikan B akan terdapat nB partikel. Dengan demikian, jumlah partikel yang tertarik dan turun tenggelam adalah nB. Dengan demikian, penurunan jumlah partikel kecil, dn, per satuan waktu dt akan bernilai dn/dt = nB. Tanda minus mengindikasikan fungsi menurun. Persamaan diferensial itu menghasilkan eksponensial negatif: n Bt =e n0 dimana n adalah jumlah partikel kecil dalam suspensi pada suatu rentang waktu yang pendek n0 adalah jumlah asal dari partikel Fungsi itu memerlukan bahwa B bersifat konstan. Analisis Tuorila terhadap fungsi (2 + S 2S2 S3) mengindikasikan bahwa kondisi itu akan terpenuhi pada kisaran yang telah disebutkan di atas, yakni ketika r/R < 0,4. Sejalan dengan terus berlangsung-nya sedimentasi, partikel-partikel besar tenggelam hingga mencapai tempat yang makin lama makin dalam sedemikian rupa sehingga efek-efeknya terhadap partikel kecil dalam suatu zona akan terbatasi oleh waktu yang diperlukan oleh partikel besar itu untuk bergerak turun melalui keseluruhan kolom suspensi. Tuorila menunjang teori yang dikemukakannya itu dengan sejumlah percobaan. Hasilhasil percobaan itu banyak memberi-kan sumbangan pemikiran terhadap analisis mekanik. Percobaan-percobaan itu memperlihatkan bahwa sistem polidispersi dimana muatan partikel-partikel penyusunnya lebih tinggi daripada potensi kritis tidak memperlihatkan efekefek koagulasi, meskipun konsentrasi suspensi itu setinggi 150 gram zat padat per 1 liter suspensi. Ketika muatan listrik partikel-partikel itu lebih rendah daripada potensi kritis, terjadi koagulasi ortokinetik. Selama berlangsungnya koagulasi itu, partikel-partikel besar membawa serta partikel-partikel kecil untuk tenggelam bersama-sama. Efek-efek koagulasi ortokinetik juga terlihat meningkat dengan cepat sejalan dengan peningkatan konsentrasi suspensi. Dalam suspensi kuarsa, partikel-partikel dengan radius > dari 20 mikron (diameternya > 0,04 mm) tidak mengalami koagulasi. Dengan demikian, limit atas dari koagulasi dapat diketahui. Limit atas dari koagulasi itu tampaknya bervariasi sejalan dengan khuluk material, dimana suspensi lempung memiliki limit atas koagulasi yang tinggi. Partikel kuarsa dengan radius 1020 mikron hanya memberikan sedikit aksi terhadap partikel kecil; jika radiusnya 610 mikron, efek-efek yang diberikannya lebih besar. Efek-efek itu mencapai nilai maksimum ketika radius partikel-partikel kuarsa itu berharga 56 mikron. Partikelpartikel kuarsa dengan radius < 4 mm tersapu seluruhnya dari suspensi selama berlangsungnya proses tersebut. Tuorila menyatakan bahwa dalam banyak kasus, pada mulanya koagulasi hanya berlangsung sedikit sekali sehingga sukar diditeksi. Sejalan dengan terus berlalunya waktu, efek-efek koagulasi meningkat dengan cepat dan baru akan menurun kembali sebelum berakhirnya proses koagulasi. Dengan demikian, laju koagulasi itu akan tergambarkan sebagai sebuah kurva yang bentuknya mirip dengan huruf S terbalik (gambar 3-14). Hal itu juga dapat terjadi pada sistem monodispersi, dimana koagulasi perikinetik menghasilkan agregat-agregat berukuran besar yang mulai mengendap dan, dengan demikian, menimbulkan efek ortokinetik terhadap partikel-partikel kecil yang masih ada dalam suspensi. Efek ortokinetik itu biasanya meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah partikel dalam suspensi, hingga sebagian besar partikel mengalami koagulasi, pada saat mana laju proses ortokinetik itu menurun kembali. 3.7.2.4 Ringkasan mengenai Koagulasi Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tuorila dan peneliti lain memberikan hasil yang sangat penting artinya bagi analisis mekanik. Selama sedimen yang akan terdispersi merupakan sistem polidispersi, maka fenomena koagulasi ortokinetik dapat muncul. Pada

33

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

tipe koagulasi itu setiap partikel besar akan menyeret partikel-partikel kecil dan, dengan demikian, meningkatkan efek-efek koagulasi. Laju koagulasi ortokinetik akan bertambah tinggi pada suspensi yang relatif pekat. Hal itu mengindikasikan bahwa, untuk keperluan analisis mekanik, sebaiknya kita menggunakan suspensi cair. Teori koloid umum juga mengindikasikan bahwa koagulasi tidak terjadi apabila partikelpartikel yang ada dalam suspensi memiliki muatan listrik lebih besar dibanding potensi kritis dan bahwa hal itu tampaknya berasosiasi dengan peptiser atau dengan suspensi yang benar-benar bebas dari elektrolit. Dengan demikian, untuk keperluan analisis mekanik, kita sebaiknya menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan semua elektrolit dari suspensi atau menggunakan peptiser yang sesuai dengan khuluk sedimen. Ada beberapa teknik untuk menguji apakah dalam suatu suspensi terjadi koagulasi atau tidak. Teknik-teknik itu akan dibahas pada sub bab 3.9. 3.7.3 Berbagai Prosedur Peptisasi Amonium hidroksida dan natrium karbonat merupakan dua tipe agen kimia yang banyak digunakan untuk mendispersi tanah dan sedimen. Amonium hidroksida digunakan oleh Briggs dkk (1904) di laboratorium-laboratorium United States Bureau of Soils, sedangkan pemakaian natrium karbonat diperkenalkan oleh Beam (1911). Kedua peptiser itu banyak dipakai oleh para analisis hingga beberapa tahun terakhir, dan masih tetap digunakan sampai sekarang, meskipun telah mendapatkan pesaing lain. Pemakaian amonium hidroksida untuk dispersi telah dirancang secara sistematis oleh Oden (1919) ketika dia mengembang-kan metoda normal yang melibatkan penghancuran tanah atau sedimen dengan sebuah sikat keras, menambahkan amonium hidroksida hingga tercapai konsentrasi N/100, kemudian menggoyang-goyangkan suspensi itu selama 24 jam. Metoda normal yang dirancang oleh Oden banyak digunakan oleh para peneliti. Correns & Schott (1932) menyatakan bahwa metoda itu lebih baik dibanding metoda-metoda lain. Walau demikian, untuk kasus sedimen marin resen, mereka menyarankan untuk digunakan dialisis (dialysis). Penelitian yang mendetil terhadap efek peptiser terhadap suspensi tanah dilakukan oleh Puri & Keen (1925). Penelitian mereka menandai dimulainya suatu fasa baru dalam penelitian peptiser dengan cara membandingkan efek-efek sejumlah elektrolit terhadap dispersi sekaligus memberikan suatu jalur baru untuk penelitian-penelitian yang lebih mendetil mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan dispersi. Puri & Keen mempelajari efek beberapa elektrolit terhadap suspensi tanah yang sebelumnya telah dicuci dengan garam yang tidak larut. Elektrolit ditambahkan, dalam jumlah yang beragam, terhadap suspensi itu dan derajat dispersi yang terjadi kemudian dicatat dan diplot menjadi kurva. Mereka menemukan bahwa kurva natrium karbonat memperlihatkan bentuk seperti sebuah dataran tinggi, yang mengindikasikan bahwa kisaran konsentrasi elektrolit tertentu menghasilkan tingkat dispersi yang lebih kurang sama. Plateau-effect merupakan sebuah ciri khas dari peptiser yang baik karena hal itu memungkinkannya untuk digunakan dalam konsentrasi yang beragam. Elektrolit lain, misalnya KCl, memberikan efek dispersi yang jauh lebih kecil serta memperlihatkan adanya sebuah puncak tajam yang menandai konsentrasi optimumnya untuk menghasilkan dispersi optimum. Efek yang ditimbulkan oleh beberapa tipe elektrolit diperlihatkan pada gambar 315. Puri & Keen menyimpulkan bahwa efek-efek elektrolit terhadap suspensi tidak bersifat tiba-tiba, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan kontinu dalam derajat dispersi sesuai dengan konsentrasi elektrolit itu. Mereka mengaitkan hasil-hasil penelitiannya dengan fenomenan pertukaran basa, meskipun mereka tidak memberikan penjelasan yang mendetil mengenai hal tersebut. Winters & Harland (1930) juga mempelajari efek-efek natrium karbonat terhadap dispersi. Hasil-hasil penelitian mereka sejalan dengan hasil-hasil penelitian Puri & Keen serta memperlihatkan bahwa efek-efek dispersi agak bervariasi, sesuai dengan jenis horizon tanah yang dianalisis. Olmstead dkk (1930) membandingkan beberapa peptiser serta menyimpulkan bahwa natrium oksalat merupakan jenis peptiser yang paling memuaskan. Mereka menyatakan bahwa natrium hidroksida dan amonium hidroksida memberikan hasil yang baik ketika kalsium karbonat dan magnesium karbonat dihilangkan sebelumnya dengan menggunakan asam atau melalui pencucian. Jika kalsium karbonat masih ada, maka natrium karbonat akan memberikan hasil yang lebih baik dibanding natrium hidroksida atau amonium hidroksida karena karbonat yang ada dalam sampel itu akan menyebabkan menurunnya 34

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

kelarutan kalsium karbonat, sedangkan natrium hidroksida atau amonium hidroksida akan menyebabkan terjadinya koagulasi ion-ion kalsium. Natrium oksalat, menurut mereka, bahkan lebih baik lagi dibanding natrium karbonat karena ion-ion kalsium yang ada dalam sampel akan tersapu seluruhnya oleh oksalat. Perbandingan kualitas keempat peptiser tersebut di atas terhadap suspensi tanah memperlihatkan bahwa natrium oksalat memberikan efek dispersi yang paling tinggi. Loebe & Kohler (1932) juga mempelajari efek-efek dispersi natrium oksalat dan menemukan fakta bahwa peptiser itu sangat cocok untuk digunakan dalam penelitian umum. Krumbein (1933) melakukan sejumlah eksperimen dengan natrium oksalat untuk menentukan apakah peptiser itu memiliki plateau-effect seperti yang diperlihatkan oleh natrium karbonat. Suspensi-suspensi air yang mengandung 2,5% lempung gampingan endapan danau Plistosen dipersiapkan dengan menggunakan sikat. Setelah itu, N/5 natrium oksalat atau N/5 natrium karbonat dengan jumlah yang beragam ditambahkan ke dalam suspensi-suspensi tersebut. Persentase material berukuran < 1 mikron di dalam suspensisuspensi itu kemudian diukur dengan melakukan pipetting. Gambar 3-16 memperlihat-kan kurva-kurva yang diperoleh dari eksperimen tersebut. Dari gambar itu jelas terlihat bahwa natrium oksalat memiliki efek dispersi yang lebih besar serta memiliki kisaran keamanan yang lebih lebar dibanding natrium karbonat. Sebagaimana yang dapat dideduksikan dari kurva-kurva tersebut, konsentrasi optimum dari peptiser itu adalah sekitar N/100. Ungerer (1932) melakukan penelitian mendetil terhadap beberapa metoda preparasi tanah untuk analisis mekanik. Berbagai pengujian dilakukannya dengan lithium klorida dan lithium karbonat, dengan membandingkan jumlah material berukuran < 2 mikron di dalam suspensi. Lithium klorida terlihat sangat sesuai untuk tanah, sedangkan lithium karbonat tidak disarankan untuk digunakan pada material tersebut. Vinther & Lasson (1933) mempelajari efek-efek yang diberikan oleh beberapa elektrolit (termasuk natrium karbonat, amonium hidroksida, lithium karbonat, kalsium nitrat, kalium silikowolframat, dan natrium pirofosfat) terhadap dispersi kaolin. Natrium pirofosfat dalam konsentrasi 0,002 m terbukti paling sesuai. Lithium karbonat menduduki ranking kedua setelah natrium pirofosfat. Pada semua kasus tersebut dilakukan pengayakan selama 17 jam untuk menelaah efek dispersi. Diantara berbagai penelitian terakhir terhadap dispersi, penelitian yang dilakukan oleh Foldvari (1936) sangat penting artinya. Dia membandingkan efek-efek amonium hidroksida, natrium oksalat, dan natrium metasilikat terhadap berbagai tipe tanah dan sedimen. Pilihan terhadap salah satu diantara ketiga tipe agen dispersi tersebut ditentukan berdasarkan klasifikasi Foldvari mengenai peptiser yang membagi peptiser ke dalam tiga kategori umum: (1) peptiser yang memasok ion-ion OH terhadap suspensi; (2) peptiser yang efeknya tergantung, paling tidak sebagian diantaranya, pada penghilangan ion-ion pemicu koagulasi (terutama Ca2+) dari suspensi; dan (3) peptiser yang memasok partikel dengan selaput pelindung dan, dengan demikian, menahan agar ion-ion pemicu koagulasi menempel pada partikel. Berdasarkan penelitian komparatif yang dilakukan-nya itu, Foldvari menyimpulkan bahwa natrium oksalat 0,005 N memberikan hasil terbaik dalam kebanyakan kasus, namun untuk sedimen yang mengandung gipsum atau kalsit dalam jumlah yang relatif tinggi, natrium metasilikat memberikan efek dispersi terbaik. Konsentrasi natrium metasilikat itu adalah 1 cc waterglass (36o-38o Be) per liter suspensi. Pengaruh fenomena pertukaran basa terhadap dispersi telah diteliti oleh Thomas (1928). Dia menemukan bahwa tanah yang basanya digantikan oleh natrium merupakan material yang paling mudah terdispersi oleh natrium karbonat, sedangkan tanah magnesium langsung mengalami flokulasi ketika natrium karbonat ditambahkan kepadanya karena lepasnya ion-ion magnesium. Karena adanya berbagai kesukaran dalam preparasi tanah natrium untuk tujuan penelitian rutin, Thomas kemudian menyarankan agar basa yang ada dalam tanah itu dihilangkan terlebih dahulu dengan menggunakan asam, kemudian baru didispersi dengan natrium karbonat. Selama beberapa dasawarsa, para ahli ilmu tanah banyak menujukan perhatian mereka pada masalah pertukaran basa dan berbagai prosedur dispersi dengan menggunakan agenagen kimia yang beragam telah dikembangkan untuk mengurangi ion-ion pemicu koagulasi dengan cara menghilangkannya dengan reaksi-reaksi pertukaran basa. Robinson (1933) membahas masalah tersebut dalam sebuah karya tulis yang komprehensif. Dia membandingkan beberapa metoda dispersi yang melibatkan fenomena pertukaran basa: (1) metoda International-A, yang memakai HCl untuk menghilang-kan basa 35

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

yang dapat bertukar posisi, kemudian dilakukan dispersi dengan memakai amonium hidroksida; (2) metoda Sudan (Joseph & Martin, 1921; Joseph & Snow, 1929) yang melibatkan pemakaian natrium karbonat 0,05% secara langsung untuk memicu dispersi; dan (3) metoda Puri (Puri, 1929) yang pada dasarnya terdiri dari proses penghilangan basa yang dapat ber-tukar posisi dengan menggunakan natrium klorida sedemikian rupa sehingga akan diperoleh lempung natrium. Jika diperlukan, natrium hidroksida ditambahkan untuk mendapatkan suspensi alkali. Robinson menyempurnakan metoda Internasional-A dengan cara menangani tanah dengan NaOH 4 cc N per 10 gram tanah setelah sebelumnya digunakan asam, bukan dengan amonium hidroksida. Teknik yang telah disempurnakan itu kemudian disebut metoda Internasional-soda. Penelitian yang dilakukan oleh Robinson menunjukkan bahwa metoda Internasional-soda mampu memberikan hasil terbaik untuk kebanyakan tipe tanah. Natrium oksalat, di lain pihak, meskipun memberikan hasil yang memuaskan pada banyak kasus, hanya memberikan efek dispersi yang tidak lengkap pada saat digunakan pada tanah laterit dan tanah pengandung besi (ferruginous soil). Masalah yang sangat penting dalam petrologi sedimen, dan yang tidak terlibat dalam kebanyakan analisis tanah, adalah adanya partikel-partikel karbonat primer sebagai bagian integral dari distribusi besar butir sedimen. Analisis sedimen biasanya dilaksanakan pada sampel yang tidak terubah dan tidak lapuk, di dalam sampel mana partikel-partikel karbonat mungkin menjadi bagian sampel yang tidak dapat diabaikan begitu saja karena merupakan bagian yang berarti dari keseluruhan distribusi besar butir. Penggunaan asam pada kasuskasus seperti itu jelas akan sangat mempengaruhi hasil-hasil analisis sehingga data statistik yang diperoleh akan terdistorsi. Dengan demikian, berbagai metoda pertukaran basa serta pembentukan lempung hidrogen agaknya merupakan metoda yang paling sesuai untuk sedimen pada umumnya, meskipupn metoda itupun masih dapat diterapkan pada sedimen non-karbonatan. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Puri (1935) mencakup penyempurnaan teknik dispersi yang pernah dikembangkan-nya pada beberapa tahun sebelumnya dengan menggunakan amonium karbonat untuk memicu terjadinya pertukaran basa. Dalam teknik baru itu, basa-basa yang dapat saling bertukar posisi digantikan oleh amonia dengan cara mendidihkan tanah dengan larutan N amonium karbonat. Pendidihan dilanjutkan hingga volume larutan berkurang menjadi setengahnya, setelah itu 48 cc N natrium hidroksida atau N lithium hidroksida ditambahkan pada setiap 10 gram tanah untuk menimbulkan efek dispersi. Puri lebih cenderung menggunakan lithium hidroksida dibanding natrium hidroksida karena larutan yang disebut pertama itu mampu memberikan efek dispersi yang lebih besar. Metoda baru yang dikembangkan oleh Puri itu agak bersifat drastis karena melibatkan proses pendidihan. Sebagaimana yang akan dijelaskan pada sub bab 3.9, proses pendidihan itu dapat menyebabkan sedikit terubahnya sampel sedimen. Satu kelebihan utama dari ancangan Puri adalah menghilangkan proses pemakaian asam serta memungkinkan diterapkannya teknik dispersi pada sedimen dengan memanfaatkan fenomena pertukaran basa. 3.7.4 Penghilangan Garam-Larut-Air Sebagian besar sedimen dan tanah mengandung garam-larut-air (water-soluble salt) dengan jumlah yang beragam. Dengan demikian, setiap elektrolit asing yang dimasukkan ke dalam suspensi sedimen atau suspensi tanah kemungkinan besar akan menimbulkan efek dispersi. Kation-kation yang tampaknya sering ditemukan dalam sedimen adalah Ca2+, Na+, Fe3+, dan Mg2+, sedangkan anionnya adalah SO4=, CO3=, dan Cl. Gipsum merupakan jenis garam non-karbonatan yang penting, sedangkan kalsium karbonat atau bikarbonat merupakan jenis garam karbonatan yang paling sering ditemukan dalam sedimen. Penelitian terpenting mengenai efek-efek elektrolit asing terhadap suspensi sedimen dilakukan oleh Weigner (1927). Dia menyatakan bahwa jika sejumlah kecil garam-larut-air ada dalam sedimen atau tanah, maka muatan pada partikel-partikel tanah atau sedimen itu akan lebih tinggi daripada potensi kritis, sedangkan jika garam-larut-air itu hadir dalam jumlah yang cukup banyak, maka muatan pada partikel-partikel itu akan lebih kecil dibanding potensi kritis sedemikian rupa sehingga akan meng-hambat terjadinya dispersi. Prosedur-prosedur dispersi, misalnya pengayakan atau pendidihan, meningkatkan agitasi partikel dan, dengan demikian, akan meningkatkan jumlah tumbukan antar partikel. Jika muatan partikel-partikel itu lebih besar dibanding potensi kritis, maka peningkatan agitasi itu akan meningkatkan laju dispersi. Namun, jika muatan partikel-partikel itu lebih rendah 36

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

dibanding potensi kritis, maka peningkatan agitasi akan meningkatkan laju koagulasi dan, oleh karena itu, akan memperlambat atau menghambat dispersi. Weigner membandingkan efek-efek (1) pengayakan selama 6 jam, (2) penghancuran selama 1 jam dengan sebuah sikat, dan (3) pendidihan selama 1 jam dengan sebuah reflux condenser terhadap tanah. Analisis itu dilakukannya dalam tabung Weigner (Weigner tube; lihat Bab 6), dimana beberapa sampel dapat digunakan setelah diberi perlakuan tertentu karena tidak satupun diantara sampel itu dipindahkan selama berlangsungnya keseluruhan rangkaian analisis. Weigner menemukan bahwa, untuk sampel tanah yang telah dicuci, pendidihan lebih efektif dibanding penghancuran dengan sikat atau pengayakan. Namun, untuk sampel tanah yang tidak dicuci, pengayakan memberikan hasil yang paling efektif. Efek N/10 amonia diuji pada sampel tanah yang telah dicuci dan sampel tanah yang belum dicuci. Hasilnya memperlihatkan bahwa penghilangan elektrolit-elektrolit asing lebih efektif dibanding pemakaian peptiser terhadap tanah yang tidak dicuci. Banyak peneliti (a.l. Olmstead dkk, 1930; Correns & Schott, 1932; Gessner, 1931; Gallay, 1925; Robinson, 1933) membahas penghilangan garam-larut-air sebagai sebuah prosedur baku dalam analisis rutin terhadap tanah atau sedimen atau dalam kaitannya dengan sampel yang tidak memberikan tanggapan apapun terhadap dispersi langsung dengan peptiser. Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk mencuci sedimen. Salah satu metoda paling sederhana adalah dengan menggunakan filter Pasteur-Chamberland (gambar 3-17). Dalam kaitannya dengan metoda tersebut, teknik yang dikembangkan oleh Olmstead dkk (1930) terbukti sangat efektif. Berikut akan dikemukakan teknik tersebut. Dua belas centimeter terbawah dari filter digergaji dan ukurannya disesuaikan dengan sebuah stopper yang dapat dipindah-pindah. Suspensi sedimen ditempatkan dalam sebuah beaker glass. Filter tadi, yang dihubungkan dengan suction pump, kemudian ditempatkan didalamnya. Cairan yang ada dalam filter kemudian dipindahkan dengan mengekstraksikan stopper, dan inti dari filter kemudian diisi dengan air murni. Selanjutnya, stopper dimasukkan kembali dan tekanan balik diberikan melalui sebuah katup karet, untuk memindahkan material yang melekat pada bagian luar filter. Air murni ditambahkan lagi ke dalam beaker glass, dan proses pencucian dilakukan kembali. Enam kali pencucian biasanya sudah cukup memadai untuk memindah-kan garam-larut-air. Robinson menggunakan sebuah corong Buchner (Buchner funnel) yang dilengkapi dengan sebuah kertas filter berdiameter 9 cm (Whatman 50). Kertas direkatkan pada corong itu dengan semen selulosa, setelah corong itu dietsa terlebih dahulu dengan HCl untuk memastikan bahwa keduanya dapat saling melekat. Corong ditempatkan pada filter flask yang disusun dalam sebuah baterai AA4 pada suatu pompa tunggal. Untuk sampel tanah, biasanya dilakukan tiga kali pencucian dengan 2030 cc air. Penghilangan elektrolit asing merupakan sebuah proses yang banyak menutut ketekunan dan kecermatan. Sebagian ahli memiliki pandangan pragmatis mengenai masalah tersebut: untuk kebanyakan sedimen yang tidak mengandung garam-larut-air dalam jumlah relatif banyak, dispersi diefektifkan dengan memakai peptiser seperti natrium karbonat, natrium oksalat, lithium klorida, atau lithium hidroksida. Para ahli itu hanya menggunakan teknik Olmstead tersebut di atas kalau terjadi koagulasi. 3.8 KRITIK UMUM TERHADAP DISPERSI Banyaknya literatur mengenai dispersi menunjukkan bahwa masalah itu tidak sederhana. Diantara berbagai variabel yang mempengaruhi efek dispersi suatu elektrolit adalah komposisinya, konsentrasinya, fenomena pertukaran basa yang berasosiasi dengannya, serta kehadiran elektrolit asing. Selain itu, masalah itu menjadi makin kompleks dengan adanya fakta bahwa partikel yang ukurannya berbeda tidak memiliki sensitivitas yang sama terhadap dispersi atau koagulasi. Tuorila memperlihatkan bahwa dalam suspensi kuarsa, efek-efek koagulasi mulai memanifestasikan diri pada diameter sekitar 0,04 mm dan makin jelas lagi pada diameter 510 mikron. Partikel-partikel dengan diameter < 4 mikron akan tersapu seluruhnya dari suspensi. Dengan demikian, sedimen yang terutama disusun oleh partikel yang berada dalam kisaran paling sensitif kemungkinan besar akan sangat terpengaruh oleh perubahan-perubahan teknik dispersi, meskipun hanya perubahan kecil. Hubungan antar berbagai variabel, sebagian diantaranya bersifat independen dari variabel lain, dengan jelas mengindikasi-kan bahwa mungkin kita tidak akan pernah dapat menemukan satu teknik dispersi tunggal yang dapat diterapkan pada semua tipe material. 37

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Pernyataan seperti ini juga pernah dikemukakan oleh banyak ahli dan berbagai penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini mendukung kesahihan pernyataan tersebut. Para ahli ilmu tanah telah membuat berbagai kemajuan dengan mengarah-kan usaha mereka pada penyusunan suatu skema preparasi rutin yang bersifat baku dan dapat diterapkan pada jenis tanah yang beragam. Dalam kaitannya dengan sedimen, alterasi dan kekompakan menimbulkan komplikasi. Dispersi terbukti merupakan sebuah proses kontinu; pada mulanya cepat, kemudian makin lama makin lambat. Puri & Keen memperlihatkan fenomenon tersebut melalui serangkaian percobaannya terhadap pengayakan, sedangkan Olmstead memperlihatkannya melalui percobaan-percobaannya terhadap vibrasi. Jika hal itu bersifat universal, maka kita tidak akan pernah dapat mencapai dispersi sempurna atau secara kontinu akan terdapat material halus akibat penghancuran partikel-partikel yang relatif besar. Clark (1933) mengajukan pertanyaan apakah ada tanah yang memiliki distribusi frekuensi besar butir khas atau apakah distribusi itu bukan merupakan fungsi dari proses dispersi. Kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu, sebagaimana dikemuka-kan oleh Clark sendiri, terletak pada fakta bahwa dispersi agregat tidak mudah dibedakan dari penghancuran fragmenfragmen kristal berdasarkan hasil akhirnya. Fenomenon yang disebut terakhir ini mungkin tidak sepenuhnya berlaku pada partikel halus yang ada dalam sedimen. Diantara berbagai jenis sedimen berbutir halus yang telah mengalami perubahanperubahan autigenetik, secara teoritis kita tidak akan menemukan masalah yang berarti dan yang akan mempengaruhi dispersi individu-individu partikel. Namun, dalam kasus inipun dapat terjadi peningkatan jumlah material halus dengan bertambah kuatnya perlakukan yang diberikan terhadap sampel atau bertambahnya waktu dispersi. Jika sedimennya kompak atau terubah oleh pelapukan, distribusi besar butir asli dapat terubah akibat pertumbuhan sekunder (secondary growth), dehidrasi, munculnya mineral sekunder, atau hilangnya material penyusun tertentu dari sedimen itu. Dengan demikian, pada kasus tersebut, perekonstruksian distribusi asli hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Jadi, beberapa kesimpulan yang dikemukakan oleh Clark juga berlaku pada sedimen dan masalah tersebut tidak mudah untuk dipecahkan. Para ahli ilmu tanah, yang bekerja sama dalam mengembangkan beberapa prosedur dispersi, menemukan fakta bahwa hasil-hasil yang diperoleh dari laboratorium yang berbeda terhadap tanah yang sama tidak konsisten. Akibatnya, mereka kemudian melakukan berbagai usaha untuk mengembangkan metoda-metoda baku yang bebas dari galat subjektif dan akan memberikan hasil-hasil yang konsisten. Dalam sebuah makalah, Novak (1932) membandingkan beberapa prosedur dispersi dan berpendapat bahwa selama ini tidak ada keseragaman diantara berbagai laboratorium yang digunakan untuk analisis mekanik. Para ahli petrologi sedimen masih belum mencapai kesepakatan dalam memecahkan masalah-masalah tersebut dalam kaitan-nya dengan sedimen. Tidak diragukan lagi bahwa kompleksitas permasalahan umum serta ketidaktahuan kita terhadap pengaruh beberapa variabel merupakan sebagian diantara kesulitan yang harus dihadapi. Kelebihan-kelebihan relatif dari berbagai metoda dispersi sedimen, baik metoda fisika maupun metoda kimia, telah ditelaah oleh Neumaier (1935). Akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa metoda-metoda kimia hendaknya tidak digunakan dan bahwa metodametoda itu hendaknya digantikan oleh metoda-metoda fisika. Walau demikian, analisis yang dilakukan oleh Neumaier itu terutama didasarkan pada makalah-makalah yang relatif tua. Kelebihan-kelebihan relatif dari analisis sampel dalam kondisi kelembaban alaminya dan analisis sampel yang telah dikeringkan juga menjadi bahan perdebatan di kalangan para ahli. Sebagian ahli bersikukuh bahwa sedimen yang telah dikeringkan mengalami perubahan dan perubahan itu memberikan efek serius terhadap analisis-analisis lain yang dilakukan terhadap sampel tersebut. Correns & Schott (1933) membahas masalah itu dan menarik kesimpulan bahwa sampel hendaknya tidak dikeringkan. Walau demikian, Foldvari (1936) berpendapat bahwa untuk kasus sedimen purba, perubahan-perubahan yang dialami oleh material telah demikian banyak sehingga kondisi kelembaban sedimen sebagaimana ketika diambil sampelnya sebenarnya tidak memiliki arti apa-apa. Ahli lain yang membahas masalah kelembaban ini adalah von Sigmond (1914), Richter (1916), Hissink (1921), dan Neumaier (1935). 2.9 PROSEDUR RUTIN UNTUK DISPERSI

38

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Tujuan dasar dari dispersi telah dikemukakan pada bagian-bagian sebelumnya: menghancurkan sedimen tanpa menyebab-kan berubahnya ukuran partikel-partikel penyusun sedimen tersebut. Selain itu, ada hal lain yang terimplikasikan dari proses ini, yaitu bahwa partikel-partikel yang terdispersi hendaknya tidak membentuk agregat kembali selama berlangsungnya analisis mekanik. Untuk memenuhi kedua persyaratan tersebut, shearing stress dan aksi abrasi terhadap individu partikel hendaknya dibuat seminimal mungkin, sedangkan disagregasi dan dispersi hendaknya dibuat semaksimal mungkin. Gessner (1931) banyak membahas tentang dispersi sampel serta menyajikan sebuah prosedur rutin yang melibatkan beberapa langkah kerja, dimana setiap langkah itu diikuti oleh pengujian dispersi dan koagulasi, sedemikian rupa sehingga setiap perlakukan yang diberikan tergantung pada kemudahan material untuk mengalami koagulasi. Dalam prosedur rutin itu, sampel diayak dan kemudian diperiksa apakah mengalami koagulasi atau tidak. Pengujian itu akan memperlihatkan apakah sampel (1) benar-benar terdispersi; (2) terdispersi sebagian, namun tidak mengalami koagulasi; atau (3) mengalami koagulasi. Jika dari pengujian itu sampel telah benar-benar terdispersi, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis sampel itu secara mekanis. Jika dari pengujian itu diketahui bahwa sampel telah terdispersi sebagaian dan tidak mengalami koagulasi, maka langkah berikutnya adalah mendidihkannya. Setelah itu, sampel kembali diuji. Jika hasilnya menunjukkan bahwa sampel telah terdispersi secara sempurna, maka sampel itu langsung dianalisis secara mekanis. Namun, apabila sampel itu belum terdispersi seluruhnya, maka sampel itu dicuci. Kemudian, setelah dicuci, sekali lagi dilakukan pengujian. Jika hasilnya memperlihatkan bahwa sampel benar-benar telah terdispersi, maka dilakukan analisis mekanik. Demikian proses itu diulang sampai sampel benar-benar terdispersi, baru dilakukan analisis mekanik. Sebagai hasil serangkaian pengujian komparatif yang dilakukan terhadap sejumlah prosedur yang dirancang oleh para ahli, Krumbein (1933) mengembangkan suatu prosedur rutin untuk mendispersi sedimen berbutir halus. Langkah-langkah dalam prosedur rutin itu makin lama makin keras sedemikian rupa sehingga hanya sedimen resisten saja yang mendapatkan per-lakuan keras. Gambar 3-18 memperlihatkan prosedur rutin itu secara diagramatis. Elektrolit asing hanya dihilangkan apabila kondisinya memang menuntut demikian. Pada semua kasus, sampel direndam dalam peptiser cair selama waktu yang telah ditentukan. Hal itu kemudian diikuti oleh salah satu diantara dua deretan langkah kerja, tergantung pada jumlah material berdiameter > 0,06 mm dalam sampel yang sedang diuji. Dengan menggigit suatu fragmen sampel dan kemudian menggeser-kan geligi atau dengan menekannya diantara dua jari, kita akan dapat memperkirakan jumlah material tersebut dalam suatu sampel. Dalam kaitannya dengan hal ini tidak ada limit ukuran yang pasti. Walau demikian, penulis menemukan fakta bahwa pada kasus umum, jika material kasar itu hadir dalam jumlah yang sangat sedikit, maka brushing atau pestling jauh lebih efektif dibanding pengayakan. Namun, jika pasir hadir dalam jumlah yang cukup berarti, maka perlakukan yang sebaiknya digunakan adalah pengayakan atau stirring. Hal itu terutama berlaku untuk sedimen yang tidak terkonsolidasi. Untuk sampel yang telah terkompakkan sebagian, sebaiknya dilakukan brushing sebelum melakukan pengayakan. Garis putus-putus pada gambar 3-18 mengindikasikan kemungkinan tersebut. Anak-anak panah pada gambar itu menunjukkan urutan langkah kerja yang perlu diikuti. Dalam menyusun prosedur rutin tersebut, penulis telah memperhitungkan kekenyalan pemakaiannya, dengan menyusun-nya sedemikian rupa sehingga makin lama perlakukan yang dapat diberikan terhadap sampel makin keras. Diantara berbagai agen dispersi yang selama ini digunakan untuk tanah dan sedimen, natrium oksalat tampaknya paling sesuai. Dalam berbagai pengujian komparatif, natrium oksalat tampak menjadi salah satu agen dispersi terbaik yang dapat digunakan untuk pekerjaan rutin dan, oleh karena itu, diadopsi disini oleh penulis sebagai agen dispersi baku. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan di bawah ini memaparkan dispersi pada saat natrium oksalat digunakan sebagai agen dispersi. Walau demikian, pembaca dipersilahkan untuk memakai agen dispersi lain jika memang ingin menggunakannya. Diantara berbagai agen dispersi lama, natrium karbonat (dalam konsentrasi mulai dari N/25 hingga N/100) terbukti sangat efektif pada kasus-kasus tertentu. Penulis melihat bahwa natrium karbonat akan memberikan hasil yang lebih baik dibanding natrium oksalat apabila sampel yang akan dianalisis merupakan bagian glacial till yang telah terlapukkan. Diantara berbagai agen dispersi baru, lithium hidroksida terbukti dapat memberikan hasil yang baik dalam banyak kasus. Agen dispersi yang disebut terakhir ini dapat digunakan dalam konsentrasi sekitar N/50 atau N/100. Dalam kaitannya dengan langkah-langkah dispersi yang melibatkan proses 39

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

pertukaran basa, penulis cenderung menggunakan natrium hidroksida, meskipun lithium hidroksida juga digunakan oleh sebagian ahli karena dapat memberikan hasil yang baik. Tulisan-tulisan di bawah ini menjelaskan beberapa langkah kerja dalam prosedur rutin. Tulisan itu disusun sedemikian rupa sehingga urut-urutannya sesuai dengan langkah kerja dalam prosedur itu. Walau demikian, untuk pekerjaan-pekerjaan sejenis, disini penulis hanya akan menjelaskannya sekali saja. Sedimen yang telah dikeringkan di udara4 ditumbuk dengan lumpang karet, rolling pin, atau wooden mallet hingga fragmen-fragmen yang ada cukup kecil. Sampel uji kemudian dibagi empat dan ditimbang. Berat sampel tergantung pada kisaran besar butir sedimen tersebut. Untuk analisis modern, kita sebaiknya mendapatkan suspensi dengan konsentrasi 2 atau 3 persen sedemikian rupa sehingga 25 gram merupakan berat optimum untuk 1 liter suspensi. Jika sampel mengandung, misalnya saja, 25% pasir, maka sampel uji hendaknya memiliki berat sekitar 30 gram. Ketika pasir itu terjaring oleh ayakan, maka material halus yang tersisa akan menjadi suspensi dengan konsentrasi sekitar 2,3%. Sampel yang telah dibagi empat itu selanjutnya ditempatkan dalam gelas Erlenmeyer 250 cc dengan 100 cc larutan natrium oksalat N/100,5 kemudian dibiarkan agar terendam untuk suatu selang waktu yang panjangnya tergantung pada laju disagregasi sampel. Waktu perendaman itu berkisar mulai dari sekitar 24 jam hingga 8 hari. Beberapa serpih Pennsylvania (Karbon Akhir) memerlukan perendaman selama 10 hari sebelum dapat dipecahkan dengan sikat, sedangkan serpih lain hanya memerlukan waktu perendaman selama 24 jam. Dengan menggoyang gelas Erlenmeyer beberapa kali, kita akan dapat mengamati proses disintegrasi. Jika sampel diambil terlalu dini, dan kemudian terbukti bahwa disagregasi dengan sikat atau dengan lumpang karet tidak efektif, sampel itu dapat dikembalikan lagi ke dalam gelas Erlenmeyer. Setelah direndam, sampel ditempatkan pada cawan pengering (evaporating dish) dan dikerat dengan sikat keras atau lumpang karet. Penulis lebih suka menggunakan sikat untuk pekerjaan tersebut. Setelah agregat-agregat sampel terdisagregasi, air kemudian ditambahkan dan material dispersi itu kemudian dialihkan ke dalam sebuah beaker glass. Air yang digunakan selama pengeratan dengan sikat hendaknya memiliki konsentrasi natrium oksalat N/100. Proses pengeratan seringkali memerlu-kan waktu hingga sekitar 1 jam sehingga mungkin terasa melelahkan, namun hasil yang diperoleh biasanya sebanding dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan. Whittles (1924) merancang sebuah lumpang karet khusus dengan cara memperhalus sebuah stopper dan kemudian menempelkannya dengan sebatang kaca. Lumpang seperti itu memiliki beberapa kelebihan sebagai alat penumbuk karena agregat-agregat yang resisten dapat dihancurkan secara halus sebelum dikerat dengan sikat. Volume suspensi setelah berakhirnya pengeratan mungkin sekitar 400 cc. Suspensi itu kemudian diperiksa untuk menentu-kan apakah suspensi itu telah terdispersi seluruhnya atau belum dengan cara menempatkan 1 tetes suspensi ke atas cover glass, dibiarkan dalam posisi itu selama beberapa menit, kemudian diamati di bawah mikroskop. Jika setiap butiran tampak merupakan individu partikel, dan jika partikel-partikel kecil memperlihatkan gerak Brown, maka dapat disimpulkan bahwa dispersi telah sempurna. Jika kita menemukan rantai atau kumpulan partikel berbentuk seperti kerak roti, maka dapat disimpul-kan bahwa suspensi itu mengalami koagulasi. Jika suspensi itu tampak sebagian merupakan individuindividu partikel, sedang-kan sebagian lain mengumpul, maka dapat disimpulkan bahwa dispersi itu masih belum sempurna. Dalam prakteknya, terdapat gradasi diantara ketiga situasi tersebut di atas dan kita kadang-kadang sulit membedakannya. Selain itu, jika koagulasi ber-langsung secara lambat, suspensi yang terlihat di bawah mikroskop mungkin tetap terdispersi selama beberapa jam. Karena itu, sebagai sebuah bentuk pengujian akhir, penulis biasanya membiarkan suatu suspensi yang tampak telah terdispersi secara sempurna selama satu malam. Jika esok harinya penulis tidak menemukan adanya gejala koagulasi, maka dapat disimpulkan bahwa koagulasi tidak akan terjadi selama berlangsungnya analisis mekanik. Jika koagulasi berlangsung cepat, maka flokulen (flocculent) akan mengendap dan bagian atas suspensi hanya akan berupa cairan yang relatif jernih. Presipitat tersebut berbeda
4

Penulis cenderung bekerja dengan sampel yang memiliki kelembaban seperti ketika sampel itu diambil. Kadar air dalam sampel uji dapat ditentukan dari hasil pengujian sampel uji lain. 5 Sebaiknya kita sudah mempersiapkan terlebih dahulu larutan natrium oksalat N/5. Larutan itu dibuat dengan melarutkan 13,4 gram garam tersebut dalam 1 liter air. Larutan N/100 dibuat dengan cara mencampurkan 5 cc larutan natrium oksalat N/5 dengan 95 cc air.

40

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

dengan sedimen yang biasanya terakumulasi karena material itu biasanya memperlihatkan diri sebagai zat yang mirip dengan cairan serta mengalir ketika cover glass dimiringkan. Sedimen normal akan menempel dengan tegar di atas dasar cover glass. Pada kasus koagulasi lambat, efek itu mungkin hanya akan muncul setelah beberapa jam. Dalam koagulasi yang sangat lambat, efek tersebut baru muncul setelah beberapa hari. Tuorila (1927) menyaran-kan dilakukannya suatu uji kritis terhadap kemungkinan adanya koagulasi lambat. Jika koagulasi meningkat cepat sejalan dengan bertambahnya konsentrasi, maka sedimen dapat dianalisis dua kali. Pertama, dalam suspensi cair; kedua, dalam suspensi pekat. Jika sampel masih berada dalam limit-limit koagulasi yang dapat diterima, maka tidak akan terjadi koagulasi. Jika pengujian memperlihatkan dispersi lengkap, maka suspensi itu hendaknya dicairkan dengan natrium oksalat N/100 hingga tercapai volume 1 liter. Jika dispersi itu belum sempurna, maka suspensi itu dicairkan dengan natrium oksalat N/100 hingga tercapai volume 800 cc, kemudian dipanaskan hingga tercapai titik didih. Segera setelah mendidih, cairan itu diangkat dan dijauhkan dari api. Setelah mendingin, suspensi itu kembali diperiksa. Dalam setiap kasus yang pernah dialami oleh penulis, dengan cara itu kita akan melihat apakah sampel terdispersi sempurna atau akan terjadi koagulasi. Jika koagulasi terjadi pada setiap langkah pekerjaan rutin, suspensi dicairkan hingga menjadi sekitar 1 liter, kemudian di-pindahkan ke dalam beaker glass tinggi. Setelah itu, larutan tersebut disaring dengan menggunakan filter Pasteur-Chamberland yang dilengkapi dengan penyedot. Rangkaian alat itu mencakup filter yang dihubungkan dengan botol penyaring, dimana botol itu dilengkapi dengan sebuah saluran yang menghubungkannya dengan pompa filter. Suspensi yang lolos melalui saringan (yang berbentuk tabung silindris) kemudian dikumpulkan dalam botol. Ketika residu yang ada dalam beaker glass tampak sudah berbentuk seperti pasta, filter dibersihkan dan sedimen sekali lagi dicairkan dengan menggunakan natrium oksalat N/100 hingga mencapai volume 1 liter karena sebagian besar peptiser yang semula ada dalam larutan itu telah terjaring oleh saringan. Suspensi yang baru itu kemudian dipanaskan kembali hingga mendidih. Dengan cara itu, suspensi tersebut biasanya akan terdispersi. Pada beberapa kasus diperlukan beberapa kali pencucian. Para pembaca akan menemukan fakta bahwa beberapa sampel benar-benar resisten terhadap dispersi. Jika sedimen yang akan dianalisis mengandung pasir dalam jumlah yang cukup banyak, langkah perendaman hendaknya diikuti oleh langkah pengayakan atau pengolakkan (stirring), kecuali apabila sampel itu kompak. Untuk sampel yang kompak, sebelum dilakukan pengayakan atau pengolakan, kita sebaiknya melakukan pengeratan dengan sikat. Sampel kemudian diayak selama 1 jam, sebaiknya dengan menggunakan ayakan bolak-balik, atau diolak dalam sebuah electric drink mixer selama 510 menit. Sebaiknya menempatkan sebuah alat penahan yang terbuat dari kawat pada tutup mixer. Setelah diayak atau diolak, suspensi kemudian diperiksa apakah telah terdispersi atau belum sebagaimana telah disebutkan di atas. Jika dispersinya belum lengkap, suspensi yang ada kemudian dicairkan hingga mencapai volume sekitar 800 cc, kemudian dipanaskan hingga mendidih sebagaimana telah dijelaskan di atas. Jika terjadi koagulasi, elektrolit asing dibersihkan dengan cara-cara yang telah dijelaskan di atas. Material yang lebih kasar dari 1/16 mm disaring dengan ayakan, sebelum dilaksanakannya analisis. Suspensi kemudian dituangkan melalui ayakan dan cairan yang melewati ayakan ditampung dalam sebuah beaker glass. Residu yang terjaring kemudian dicuci dalam air yang mengalir secara lambat. Volume total dari suspensi hendaknya kurang dari 1 liter, termasuk air pembilas. Suspensi mungkin dapat digoyang-goyangkan kembali setelah dikerat dengan sikat atau diayak. Walau demikian, setiap cara lain yang ada dalam prosedur rutin ini dapat saja dipergunakan. Material yang diameternya > 1/16 mm diayak kering sehingga terbagi-bagi ke dalam beberapa fraksi jika jumlahnya memang cukup banyak. Material itu hendaknya diamati untuk menentukan apakah material itu merupakan partikelpartikel diskrit atau merupakan agregat yang tidak terdisintegrasi. Dalam banyak kasus, fragmen-fragmen kecil yang tidak terdisintegrasi ditemukan dalam ayakan. Pada beberapa sedimen yang tidak mengandung partikel kasar, banyak ditemukan pelet batubesi berukuran kecil. Kita tidak jarang merasa kesulitan untuk menentukan perlakuan apa yang harus diterapkan pada material itu. Agregat-agregat yang belum terurai mungkin dapat ditangani kembali, kecuali apabila agregat-agregat itu demikian kuat tersemenkan sehingga partikel-partikel penyusunnya lebih cenderung hancur daripada 41

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

terdisintegrasi. Pelet batubesi umumnya merupakan material sekunder dan sebuah bentuk koreksi dapat diterapkan terhadap berat sampel sehubungan dengan adanya material tersebut. Sikap pragmatis mengindikasikan bahwa sejumlah kecil material tersebut tidak perlu menjadi bahan koreksi; jika material yang sukar terdisagregasi seperti itu hadir dalam jumlah yang relatif banyak, maka langkah-langkah rutin tertentu tidak akan berhasil diterapkan. Pengalaman penulis dan mahasiswa pada berbagai laboratorium di University of Chicago menunjukkan bahwa prosedur rutin umum sebagaimana telah dijelaskan di atas terbukti dapat diterapkan pada kasus-kasus umum. Walau demikian, kami pun memang menemukan sampel yang demikian bandel untuk terurai, dimana kekompakan sedimen itu tidak memungkinkan berhasilnya pekerjaan disagregasi atau dispersi. Pada kasus seperti itu, analisis mekanik dengan metoda sayatan tipis menjadi jalan keluar (lihat Bab 6). Jika kesulitan muncul akibat hadirnya garam-larut-air dalam jumlah yang tinggi, biasanya berupa ion-ion kalsium, pencucian seringkali dapat memecahkannya. Walau demikian, dalam kaitannya dengan hal ini, agaknya akan lebih baik lagi apabila kita mencoba menelaah kemungkinan pemakaian metoda Puri (1935). Metoda Puri mencakup pendidihan sampel dengan natrium karbonat selama satu rentang waktu yang telah ditentukan, namun hal itu dapat dimodifikasi dengan perioda perendaman dalam elektrolit atau dengan pemanasan suspensi hingga mencapai titik didih. Tambahan natrium hidroksida hingga tercapai konsentrasi 0,004 N dapat diberikan untuk menggantikan amonia yang dihasilkan dalam lempung natrium yang sangat stabil. Penulis mengadopsi praktek percobaan terhadap sampel-sampel kecil dalam dispersi tabung-uji untuk menentukan efek-efek relatif dari berbagai prosedur dispersi dan agen dispersi. Demikian pula, uji-uji kualitatif terhadap khuluk elektrolit asing sangat bermanfaat dalam menentukan kemungkinan digunakannya teknik atau cara lain yang berbeda dengan teknik-teknik dispersi rutin. Untuk dispersi tabung-uji, beberapa peptiser dengan jumlah yang beragam ditambahkan pada sejumlah kecil suspensi dan efek-efek yang ditimbulkannya kemudian dianalisis secara kualitatif dengan cara membiarkan tabung uji berdiri tegak selama beberapa jam atau beberapa hari.

42

You might also like