You are on page 1of 12

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

BAB 4 KONSEP SKALA BESAR BUTIR


4.1 TINJAUAN UMUM Dalam kebanyakan analisis sedimen, data yang diperoleh disajikan sebagai fungsi dari besar butir partikel sedimen. Hal itu dilakukan untuk memudahkan dan menyederhanakan pelaksanakan analisis tersebut serta penyajian hasil-hasilnya. Karena dirasa penting, konsep skala besar butir perlu dibahas dalam bab tersendiri, yakni Bab 4 ini. Skala besar butir (grade scale) dapat didefinisikan sebagai skema penggolongan arbitrer dari kisaran ukuran partikel yang ber-sifat kontinu sedemikian rupa sehingga setiap kategori besar butir (scale unit; grade) dapat berperan sebagai suatu interval besar butir tertentu yang memudahkan pelaksanaan analisis atau penyajian hasil-hasilnya. Untuk menyajikan hasil analisis besar butir dalam diagram dua dimensi, besar butir ditempatkan pada salah satu sumbu, sedangkan pada sumbu lain diletakkan ukuran jumlah material yang ada dalam setiap kelas besar butir [diagram itu disebut diagram frekuensi besar butir (size frequency diagram)], jumlah mineral tertentu dalam setiap kelas besar butir [diagram itu disebut diagram frekuensi mineral (mineral frequency diagram)], bentuk partikel dalam setiap kelas besar butir [diagram itu disebut diagram frekuensi bentuk butir (shape frequency diagram)], dsb. Dalam setiap kasus itu, besar butir biasanya dipilih sebagai variabel bebas (independent variable) sehingga skala besar butir umumnya ditempatkan pada sumbu horizontal, sedangkan frekuensi diletakkan pada sumbu vertikal. Salah satu tipe diagram frekuensi yang paling umum digunakan adalah histogram. Histogram dibuat dengan cara menempatkan suatu batang vertikal di atas setiap kelas besar butir, dimana ketinggian batang vertikal itu sebanding dengan nilai variabel lain dari setiap kelas besar butir tersebut, misalnya jumlah mineral, bentuk butir, dsb. Berdasarkan konvensi yang selama ini dipraktekkan oleh para ahli, paling tidak di Amerika, setiap kelas besar butir itu digambarkan memiliki lebar yang sama, meskipun hal itu mungkin tidak sesuai dengan faktanya. Pembahasan yang lebih mendetil mengenai proses pembuatan histogram akan disajikan pada Bab 7. Pembahasan dalam bab ini hanya dilakukan dalam kaitannya dengan skala besar butir. Sayang sekali, bentuk histogram dari data analisis mekanik dipengaruhi oleh skala besar butir yang digunakan. Jadi, meskipun sedimen yang dianalisis identik, namun apabila analisis itu dilaksanakan dengan menggunakan skala besar butir yang berbeda, maka bentuk histogram yang dihasilkannya akan berbeda pula. Pemahaman terhadap adanya fenomenon tersebut telah mendorong sebagian ahli untuk membahas konsep skala besar butir dan teknik penyajian data secara mendalam. Setiap pembahasan biasanya diakhiri dengan sebuah saran untuk menggunakan satu skala besar butir tertentu dalam rangka menghindarkan munculnya histogram yang beragam. Tidak sedikit pula ahli yang membahas manfaat relatif dari beberapa skala besar butir, bahkan beberapa ahli menyimpulkan bahwa skala besar butir tertentu lebih logis, lebih sederhana, atau lebih alami dibanding skala besar butir lain.1 Hingga dewasa ini, belum ada satupun skala besar butir yang digunakan secara universal untuk analisis sedimen sehingga masalah pemilihan skala tersebut benar-benar bersifat arbitrer. Walau demikian perlu disadari bahwa, dengan pengecualian untuk beberapa perbedaan minor dalam nilai-nilai statistik yang diperoleh, kurva frekuensi yang dihasilkan dari analisis sedimen sebenarnya tidak tergantung pada skala besar butir yang digunakan. 4.2 SKALA BESAR BUTIR MODERN
1

Beberapa makalah penting mengenai hal ini antara lain: A. Atterberg (1912) Die mechanische Bodenanalyse und die Klassifikation der Mineralbden Schwedens. Int. Mitt. fr Bodenkunde. vol. 2, h. 312-342. C. W. Correns (1934) Grundstzliches zur Darstellung der Korngrssenverteilung. Centralbl. f. Min., Geol., u. Palon., Abt. A, h. 321-331. G. Fischer (1933) Gedanken zur Gesteinssystematik. Jahrb. d. Preuss. Geol. Landesanst. vol. 54, h. 553-584. C. K. Wenworth (1933) Fundamental limits of clastic grains. Science, vol. 77, h. 633-634.

37

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

4.2.1 Skala Udden Sepanjang pengetahuan penulis, skala besar butir pertama yang bersifat geometris adalah skala besar butir yang diajukan oleh Udden pada 1898.2 Dalam memilih limit-limit kelas besar butir tanah dan sedimen, Udden menyandarkan idea dasarnya pada pemikiran para ahli ilmu tanah. Walau demikian, dia memilih angka-angka tertentu karena memandang bahwa skema penggolongan yang diajukan oleh para ahli ilmu tanah tidak memiliki interval yang tetap dan geometris. Untuk mendapatkan nisbah yang tetap, dia mengganti limit-limit kelas besar butir dari 1, , , 1/10 menjadi 1, , , 1/8. Dengan menerapkan nisbah yang sama, yakni (atau 2, tergantung pada arah penentuan nisbah), Udden mengembangkan skala besar butirnya yang terdiri dari 12 kelas dengan kisaran mulai dari 1/256 mm hingga 16 mm dan limit-limit kelas sbb: 1 /256, 1/128, 1/64, 1/32, 1/16, 1/8, , , 1, 2, 4, 8, dan 16 mm. Pada 1914, Udden memperluas kisaran besar butirnya hingga mencakup ukuran-ukuran terbesar dan terkecil.3 Terbitnya karya tulis Udden menandai dimulainya perkembangan modern skala besar butir, meskipun hingga dewasa ini kita masih dapat menemukan skala besar butir yang tidak mengikuti prinsip interval geometris yang tetap. Dalam hubungannya dengan konsep skala besar butir geometris, agaknya perlu dijelaskan secara eksplisit disini mengenai apa yang dimaksud dengan kata geometris dalam ungkapan tersebut di atas. Deret geometri didefinisikan sebagai suatu urutan angka sedemikian rupa sehingga ada suatu nisbah tetap antara dua unsur yang saling berdampingan. Jadi, deret 1, , , 1/8 adalah suatu deret geometri karena setiap suku dalam deret itu berharga setengah suku sebelumnya sedemikian rupa sehingga setiap suku dalam urutan itu dapat ditemukan dengan cara mengalikan suku sebelumnya dengan . Setiap deretan angka dapat diuji ketetapan nisbahnya dengan cara membagi suku tertentu dengan suku yang terletak dibelakangnya. Sebagai contoh, dalam deret 1, , , 1/10, nisbah 1 : = 2, sedangkan : 1/10 = 2,5. Karena itu, nisbah pada deretan angka tersebut tidak tetap. Pada beberapa kasus, khuluk geometris dari suatu deret tidak tampak dengan jelas. Sebagai contoh, pengujian terhadap deret 1.000, 0.707, 0.500, 0.354, 0.250 menunjukkan bahwa 1 : 0,707 = 0,707 : 0,500 = 0,500 : 0,354 = 0,354 : 0,250 = 1,414. Karena angka 1,414 adalah akar pangkat dua dari 2, maka deret itu adalah deret geometris dengan dasar 2. Ciri lain dari suatu deret geometris adalah bahwa logaritma suku-suku yang membentuk deret itu, dengan menggunakan bilangan dasar tertentu, akan menghasilkan suatu deret aritmetik. Deret aritmetik adalah deretan angka-angka dimana selisih antara dua suku yang berdampingan bersifat tetap. 4.2.2 Skala Hopkins Pada 1899, satu tahun setelah terbitnya karya tulis Udden, Hopkins 4 mengusulkan digunakannya skala besar butir yang benar-benar geometris berdasarkan 10. Meskipun skala besar butir Hopkins tidak diadopsi oleh United States Bureau of Soils,5 namun skala itu sebenarnya dapat menjadi dasar yang sangat baik untuk analisis mekanik. 4.2.3 Skala Bureau of Soils Skala besar butir yang digunakan oleh United States Bureau of Soils diperlihatkan pada tabel 41. Tabel 4-1. Penggolongan besar butir menurut United States Bureau of Soils Limit-Limit Besar Butir (Diameter) 2 1 mm 1 mm
2 3

Nama Gravel (Gravel) Pasir kasar (Coarse sand)

J. A. Udden (1898) Mechanical composition of wind deposits. Augustana Library Publications, No. 1. J. A. Udden (1914) Mechanical composition of clastic sediments. Geol. Soc. America Bulletin, Vol. 25, h. 655-744. 4 C. G. Hopkins (1899) A plea for a scientific basis for the division of soil particles in mechanical analysis. U.S. Dept. Agric., Dept. Chem., Bull. 56, h. 64-66. 5 Briggs, Martin, dan Pearce. loc. cit.

38

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

mm
1

1/10 mm /10 1/20 mm

/20 1/200 mm Di bawah 1/200 mm

Pasir sedang (Medium sand) Pasir halus (Fine sand) Pasir sangat halus (Very find sand) Lanau (Silt) Lempung (Clay)

4.2.4 Skala Atterberg Pada 1905, Atterberg6 mengembangkan konsep skala besar butir dengan cara mencari sifatsifat fisik fundamental dari partikel yang kemudian dijadikannya sebagai dasar untuk menyusun skala besar butir. Interval-interval kelas besar butir yang diajukannya didasarkan pada nilai dasar 2 mm dan kelipatan 10 yang bersifat tetap untuk kelas-kelas yang berurutan sedemikian rupa sehingga akhirnya diperoleh limit-limit kelas butir 200, 20, 2, 0.2, dst. Setiap kelas besar butir utama selanjutnya dibagi menjadi dua sub-kelas, dimana limit sub-kelas itu merupakan nilai rata-rata geometris dari kelas besar butir utamanya. Dengan demikian, limit sub-kelas yang terletak diantara limit-limit kelas 20 dan 2 mm dapat diketahui dengan cara mencari akar pangkat dua dari hasil perkalian kedua limit tersebut: 40 2 = 40; dan 40 = 6,32. Untuk penyederhanaan, angka 6.32 dibulatkan menjadi 6,00. Proses pembulatan seperti itu menyebabkan rusaknya kesederhanaan geometris berbagai sub-kelas besar butir, namun tidak mempengaruhi khuluk geometris dasar dari kelas-kelas utama. Correns,7 sewaktu membahas skala besar butir Atterberg, menyatakan bahwa sub-kelas, serta kelas utama, hendaknya dibuat agar tetap memiliki interval geometris. Skala Atterberg diperlihatkan pada tabel 4-2. Atterberg memilih limit 2 mm karena dia menemukan fakta bahwa pasir yang disusun oleh partikel-partikel berdiameter > 2 mm tidak menahan air, sedangkan pasir disusun oleh partikelpartikel berdiameter < 2 mm hingga tingkat tertentu tergantung pada kapilaritas. Limit lain yang penting adalah 0,2 mm karena merupakan limit pemisah antara pasir basah yang sesungguhnya dengan pasir yang relatif kering. Limit lain yang tidak kalah pentingnya adalah 0,02 mm karena angka itu merupakan nilai ukuran partikel minimum yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang. Rambut akar tumbuhan juga tidak dapat memasuki ruangruang pori sedimen yang disusun oleh partikel-partikel yang lebih kecil dari 0,02 mm. Menurut Atterberg, angka 0,002 mm menandai dimulainya gerak Brown (Brownian movement). Adanya korelasi antara sifat-sifat fisik dengan angka-angka diameter kritis seperti tersebut di atas merupakan salah satu ciri paling menonjol dari skala Atterberg. Skala besar butir yang diajukannya dipakai secara luas oleh para peneliti tanah dan sedimen di Eropa. Pada 1927, skala Atterberg diadopsi oleh International Commission on Soil Science sebagai skala besar butir baku untuk analisis tanah. Walau demikian, United States Bureau of Soils tidak mengadopsi skala itu. Tabel 4-2. Penggolongan besar butir sedimen menurut Atterberg. Limit-Limit Kelas Besar Butir (Diameter) 2000 200 mm 200 20 mm 20 2 mm 2 0,2 mm 0,2 0,02 mm 0,02 0,002 mm Di bawah 0,002 mm
6 7

Nama Bongkah (Block) Kerakal (Cobble) Kerikil (Pebble) Pasir kasar (Coarse sand) Pasir halus (Fine sand) Lanau (Silt) Lempung (Clay)

A. Atterberg (1905) Die rationelle Klassifikation der Sande und Kiese. Chem. Zeitung., vol. 29, h. 195-198. C. W. Correns (1934) Grundstzliches zur Darstellung der Korngssenverteilung. Centr. f. Min., Abt. A, h. 321-331.

39

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

4.2.5 Skala Besar Butir Wentworth Di Amerika, para ahli petrologi sedimen lebih menyukai skala besar butir Udden yang telah disempurnakan oleh Wentworth8 pada 1922. Wentworth membandingkan pemakaian istilahistilah kerakal (cobble), pasir kasar (coarse sand), dsb oleh para ahli, kemudian menggunakan hasil studi perbandingan itu menyempurnakan dan memperluas skala Udden dengan tetap mempertahan-kan interval geometris sebagaimana diusulkan oleh Udden pada 1898. Skala besar butir yang kemudian disebut skala Wentworth itu diadopsi oleh hampir semua peneliti di Amerika. Skala Wentworth disajikan pada tabel 4-3. Pada 1933, Wentworth9 meneliti kebenaan limit-limit kelas besar butir dalam pengangkutan partikel sedimen. Dia memperlihatkan bahwa limit-limit kelas besar butir tertentu sebenarnya tidak bersifat arbitrer, melainkan selaras dengan perbedaan-perbedaan antara beban suspensi dan beban traksi. Tabel 4-3. Penggolongan besar butir menurut Wentworth. Limit-limit besar butir (Diameter) Di atas 256 mm 256 64 mm 64 4 mm 4 2 mm 2 1 mm 1 mm mm 1/8 mm 1 /8 1/16 mm /16 1/256 mm Di bawah 1/256 mm
1

Nama Bongkah (Block) Kerakal (Cobble) Kerikil (Pebble) Granul (Granule) Pasir sangat kasar (Very coarse sand) Pasir kasar (Coarse sand) Pasir sedang (Medium sand) Pasir halus (Fine sand) Pasir sangat halus (Very fine sand) Lanau (Silt) Lempung (Clay)

Pembahasan dalam bab ini terutama ditekankan pada skala Atterberg dan Wentworth karena dewasa ini ada kecenderungan di kalangan para peneiti sedimen untuk menggunakan salah satu diantara kedua skala besar butir tersebut. Nanti akan diperlihatkan bahwa persaingan antara skala besar butir sebenarnya lebih bersifat artifisial dan bahwa, apabila dilihat dari kacamata analisis statistika, skala besar butir manapun sebenarnya sama-sama mudah diterapkan. Sebagaimana telah dimaklumi, para ahli petrologi sedimen dan ahli ilmu tanah sebenarnya pernah mengajukan dan menggunakan banyak skala besar butir. Sebagian skala itu telah dipelajari dan diperbandingkan oleh Fischer10 dan Zingg11. Hingga tingkat tertentu, skala-skala itu mirip dengan skala Bureau of Soils atau skala Atterberg, dengan perbedaan terletak pada jumlah kelas besar butir, limit-limit kelas besar butir, atau nama-nama kelas besar butir. Skala Wentworth juga telah dimodifikasi untuk mengurangi interval kelas besar butir atau mengganti nisbahnya (yang berharga 2) menjadi 2 atau 4 2 . 4.2.6 Skala Engineering Selain berbagai tipe skala besar butir yang digunakan oleh para ahli petrologi sedimen dan ahli ilmu tanah, ada pula varietas skala besar butir yang didasarkan pada sistem ayakan. Skala yang didasarkan pada sistem ayakan digunakan secara luas dalam berbagai pengujian rekayasa dan komersil. Salah satu contoh skala besar butir itu, dan yang paling dikenal luas,

8 9

C. K. Wentworth (1922) A scale of grade and class terms for clastic sediments. Jour. Geology, vol. 30, h. 377-392. C. K. Wentworth (1933) loc. cit. 10 G. Fischer (1933) loc. cit. 11 Th. Zingg (1935) Beitrag zur Schotteranalyse. Schweiz. Min. u. Pet. Mitt., vol. 15, h. 39-140.

40

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

adalah skala yang diadopsi oleh American Society for Testing Materials.12 Skala itu didasarkan pada nisbah yang tetap, yakni 4 2 . Tabel 4-4 memper-lihatkan hubungan antara bukaan ayakan (dalam satuan milimeter) serta nomor ayakan yang berkorespondensi dengannya. Perlu dicamkan bahwa setiap nilai keempat dalam tabel itu (dimulai dari 4,00 mm) bersesuaian dengan limit-llimit kelas besar butir dalam skala Wentworth. Tabel 4-4. Skala ayakan A.S.T.M. Ayakan 5 6 7 8 10 12 14 16 18 20 25 30 35 40 45 50 60 70 80 100 120 140 170 200 230 270 325 Bukaan (mm) 4,00 3,36 2,83 2,38 2,00 1,68 1,41 1,19 1,00 0,84 0,71 0,59 0,50 0,42 0,35 0,297 0,250 0,210 0,177 0,149 0,125 0,105 0,088 0,074 0,062 0,053 0,044

Skala lain yang dikenal luas dan didasarkan pada sistem ayakan adalah skala yang diadopsi pada 1907 oleh Institute of Mining and Metallurgy (I.M.M.) Inggris. 13 Dalam skala itu, nisbah bukaan antara dua ayakan yang berurutan tidak tetap. Karena itu, skala ini tidak sepenuhnya bersifat geometris. Tabel 4-5 memperihatkan bukaan ayakan dan nomor ayakan yang berkorespondensi dengan-nya. Sistem I.M.M. digunakan secara luas di Inggris untuk melakukan analisis mekanik terhadap sedimen. Salah satu kritik yang sering ditujukan pada sistem tatanama ayakan adalah bahwa sukar bagi kita untuk mengkonversikan nomor ayakan menjadi ukuran dalam satuan metrik, kecuali apabila nilai bukaan untuk setiap ayakan (dalam satuan milimeter atau satuan lain) dinyatakan dengan jelas. Pembandingan antara ukuran bukaan yang berkorespondensi dengan nomor ayakan pada tabel 4-4 dan 4-5 memperlihatkan bahwa perbedaan ukuran bukaan untuk nomor ayakan pada sistem A.S.T.M. dan I.M.M. cukup besar. Lebih jauh lagi, apabila penamaan ayakan
12 13

American Society for Testing Materials (1930) A.S.T.M. Standards, Bagian 2, h. 1120. Rujukan asli tidak tersedia. Data dari W. S. Tyler Company, Catalog 53, h. 14.

41

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

didasarkan pada banyaknya lubang jaring dalam setiap inci, maka tidak akan ada hubungan yang pasti antara nomor ayakan dengan ukuran bukaan. Tabel 4-5. Skala ayakan I.M.M. Ayakan 5 8 10 12 16 20 25 30 35 40 50 60 70 80 90 100 120 150 200 Bukaan (mm) 2,540 1,574 1,270 1,056 0,792 0,635 0,508 0,421 0,416 0,317 0,254 0,211 0,180 0,157 0,139 0,127 0,107 0,084 0,063

4.2.7 Skala Robinson Dalam setiap pembahasan di atas, besar butir suatu partikel didefinisikan sebagai diameter partikel tersebut. Pemakaian diameter sebagai ukuran besar butir tidak memuaskan semua ahli. Sebagai contoh, Robinson14 menganggap bahwa diameter bukan merupa-kan dasar penentuan ukuran butir yang memuaskan untuk tujuan analisis mekanik karena bentuk partikel tanah atau sedimen pada umumnya tidak beraturan. Dia kemudian mengusulkan pemakaian nilai settling velocity, atau logaritmanya, sebagai ukuran besar butir. Dengan mengungkapkan besar butir suatu partikel dalam ukuran settling velocity partikel itu, atau nilai logaritmiknya, Robinson memperkenalkan skala transformasi logaritmik yang pertama. Kelebihan utama dari skala itu adalah mampu mengkonversikan interval-interval geometri yang tidak sama menjadi interval-interval aritmetik yang sama dan, dengan pemilihan logaritma yang sesuai, memunculkan angka-angka yang merupakan bilangan bulat; bukan pecahan sebagaimana yang biasanya menjadi limit-limit kelas besar butir. Transformasi seperti itu sudah barang tentu lebih sesuai untuk diterapkan pada skala besar butir yang benar-benar geometris, bukan pada skala besar butir yang intervalnya tidak tetap, karena skala besar butir yang intervalnya tidak tetap tidak akan menghasilkan deret aritmetik bilangan bulat. 4.2.8 Skala Rubey Rubey15 mengadopsi gagasan Robinson dalam menggunakan settling velocity partikel sebagai dasar penyusunan skala besar butir. Dia bahkan mengembangkan konsep itu lebih jauh hingga mampu menciptakan skala besar butir yang didasarkan pada settling velocity. Rubey merajahkan nilai-nilai settling velocity dan diameter partikel ke dalam double log paper, kemudian menarik limit-limit besar butir sebagaimana yang diusulkan oleh Atterberg, Wentworth, dan Udden pada skala yang sama. Sebuah garis lurus, yang diperoleh berdasarkan
14

G. W. Robinson (1924) The forms of mechanical composition curves of soils, clays, and other granular substances. Jour. Agric. Sci., vol. 14, h. 626-633. 15 W. W. Rubey (1930) Lithologic studies of fine-grained Upper Cretaceous sedimentary rocks of the Black Hills region. U.S.G.S. Prof. Paper 165A, h. 1-54.

42

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

data settling velocity berbagai partikel, dilukiskan pada kertas itu dan garis itulah yang kemudian memuncul-kan apa yang disebut sebagai skala Rubey. Skala itu disajikan pada tabel 4-6. Jika diperhatikan, terlihat bahwa angka-angka yang menjadi limit diantara dua fraksi besar butir yang berurutan dalam tabel 4-6 menurun dengan nisbah yang konstan, mulai dari 1 hingga 4. Dilihat dari ukuran diameter partikel, hal itu mengandung pengertian bahwa nisbah itu adalah 1 hingga 2, karena menurut Hukum Stoke (lihat Bab 5) settling velocity bervariasi sebagai pangkat dua dari diameter. Dengan demikian, skala Rubey mengikuti hukum-hukum interval geometri yang tetap.

Tabel 4-6. Penggolongan besar butir menurut Rubey yang didasarkan pada settling velocity. Kelas Besar Butir Pasir sangat halus (Very fine sand) Lanau kasar (Coarse silt) Lanau sedang (Medium silt) Lanau halus (Fine silt) Lanau sangat halus (Very fine silt) Lempung kasar (Coarse clay) Lempung sedang (Medium clay) Lempung halus (Fine clay) Settling velocity (dalam satuan mikron/detik) > 3840 960 3840 240 960 60 240 15 60 3,75 15 0,9375 3,75 < 0,9375

4.2.9 Skala Phi dan Zeta Pada 1934, Krumbein16 mengajukan satu persamaan transformasi logaritmik untuk skala Wentworth dan mendapatkan skala phi (phi scale), di dalam skala mana limit-limit kelas besar butir dinyatakan sebagai bilangan bulat yang nilainya makin besar dengan makin kecilnya diameter partikel. Skala itu dikembangkan khusus sebagai sebuah alat statistik agar memungkinkan diterapkannya prosedur-prosedur statistika secara langsung. Pada 1937, Krumbein17 menerapkan logaritma negatif terhadap skala Atterberg dan mendapatkan skala zeta (zeta scale) dengan sifat-sifat yang mirip dengan skala phi. Kedua skala transformasi itu didasarkan pada teori bahwa skala geometri yang sebenarnya dapat dikonversikan menjadi skala lain yang ekivalen dengannya dan memiliki interval aritmetik jika logaritma limit-limit kelas besar butir itu berperan sebagai pengganti nilai-nilai diameter. Krumbein memilih persamaan transformasi

= log 2
dimana adalah diameter partikel (dalam satuan milimeter) untuk skala Wentworth. Untuk skala Atterberg, dia memakai persamaan = 0.301 log 10 dimana adalah diameter partikel (dalam satun milimeter). Skala phi dan skala zeta diperlihatkan pada tabel 4-7.
16

W. C. Krumbein (1934) Size frequency distribution of sediments. Jour. Sed. Petr., vol. 4, h. 65-77. Lihat juga penerapan momen-momen logaritmik terhadap distribusi frekuensi besar butir sedimen dalam Journal of Sedimentary Petrology, vol. 6 (1936), h. 35-47. 17 W. C. Krumbein (1937) Korngrsseneinteilungen und statistische Analyse. Neues Jahrb. f. Min., etc., Beil.-Bd. 73, Abt. A, h. 137-150.

43

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Tabel 4-7. Skala besar butir phi dan zeta. Skala Besar Skala Besar Butir Butir Wentworth Atterberg 32 mm 5 2000 mm 3 16 mm 4 8 mm 3 200 mm 2 4 mm 2 2 mm 1 20 mm 1 1 mm 0 mm +1 2 mm 0 mm +2 1 /8 mm +3 0,2 mm +1 1 /16 mm +4 1 /32 mm +5 0,02 mm +2 1 /64 mm +6 1 /128 mm +7 0,002 mm +3 1 /256 mm +8 1 /512 mm +9 0,0002 mm +4 1 /1024 mm + 10 4.3 MASALAH-MASALAH YANG TIMBUL AKIBAT INTERVAL KELAS YANG TIDAK SERAGAM Apabila diperhatikan, semua skala besar butir partikel tanah dan sedimen ternyata memiliki interval kelas yang tidak seragam. Hingga tingkat tertentu hal itu memang merupakan sebuah keharusan karena kisaran besar butir partikel penyusun tanah atau sedimen tidak jarang demikian lebar sehingga pemakaian interval kelas besar butir yang tetap sangat tidak praktis. Sebagai contoh, misalkan saja ada serpih pasiran yang disusun oleh partikel-partikel dengan ukuran mulai dari 0,001 mm hingga 1 mm. Jika misalnya saja kita menggunakan sebuah skema pembagian kelas besar butir dengan interval yang tetap sebesar 0,1 mm, maka kemungkinan besar lebih dari 50% partikel itu akan termasuk ke dalam kelas butir yang paling halus. Agar distribusi pada fraksi halus itu terlihat jelas, kita perlu menggunakan interval yang berharga 0,001 mm. Namun, apabila digunakan interval sebesar itu, maka kita akan dihadapkan pada dua masalah. Pertama, kita akan mendapatkan kelas besar butir yang jumlahnya beberapa ribu buah, sedangkan jumlah kelas besar butir sebanyak itu tidak mudah ditangani. Kedua, skala itu tidak dapat diterapkan dalam praktek karena hingga dewasa ini praktis tidak mungkin bagi kita untuk memisahkan partikel-partikel yang ukurannya berbeda 0,001 mm. Sebagai contoh, kita tidak dapat memisahkan partikel-partikel yagn berukuran 1,000 mm dari partikel-partikel yang berukuran 0,999 mm, terutama pada saat partikel-partikel itu memiliki bentuk yang tidak beraturan sebagaimana yang dimiliki oleh partikel alami. Terakhir, pemakai-an interval sebesar 0,001 mm itu mungkin tidak akan memberikan informasi yang berarti karena perbedaan partikel sebesar 0,001 mm antara partikel-partikel yang berukuran 1,000 mm dengan 0,999 mm praktis tidak ada artinya, meskipun perbedaan sebesar itu jelas akan sangat berarti untuk partikel-partikel yang sangat halus. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelaahan di atas ialah bahwa suatu skala besar butir hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga setiap kelas besar butir memiliki nisbah yang sama terhadap kelas-kelas besar butir yang berdampingan dengannya. Inilah prinsip yang diperkenalkan pertama kali oleh Udden dan kemudian diterapkan oleh Atterberg dan Wentworth. Walau demikian, perlu dicamkan bahwa prinsip itu tidak mengimplikasikan bahwa skala besar butir dengan interval yang bervariasi adalah skala besar butir yang tidak memuaskan. Sebenarnya, setiap skala besar butir dapat memuaskan untuk tujuan deskriptif selama disepakati pemakaiannya oleh kelompok para ahli yang jumlahnya relatif banyak. Walau demikian, untuk tujuan analitik, skala besar butir dengan interval yang tidak beraturan dapat menimbulkan kesulitan tersendiri dalam analisis statistika. Jadi, memuaskan atau

44

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

tidaknya suatu skala besar butir juga tergantung pada penerapannya. Hal ini jarang dibahas oleh para ahli petrologi sedimen dan ahli tanah sehingga kadang-kadang menimbulkan kebingungan. Untuk itu, berikut akan dibahas fungsi dari skala besar butir.18 4.4 FUNGSI SKALA BESAR BUTIR 4.4.1 Fungsi Deskriptif Fungsi pertama dan mungkin fungsi terpenting dari skala besar butir adalah fungsi deskriptif karena skala itu berperan sebagai landasan untuk menyusun sistem tatanama dan tata peristilahan yang seragam. Dengan adanya penyeragaman sistem tatanama dan peristilahan, tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi ilmiah. Sebagai contoh, apabila dalam suatu karya tulis ditemukan istilah pasir kasar, maka bayangan si pembaca terhadap pasir kasar itu hendaknya sama dengan pasir kasar yang ingin dikemukakan oleh si penulis. Untuk menghindarkan terjadinya kesalahpahaman, dan dengan belum diperolehnya kesepakatan universal mengenai skala besar butir, maka dalam setiap bentuk komunikasi hendaknya dijelaskan skala besar butir mana yang dipakai sebagai dasar pemerian, mengingat banyak istilah besar butir digunakan untuk menunjuk objek yang beragam. Sebagai contoh, istilah pasir kasar dalam skala Wentworth dipakai untuk menyatakan partikel dengan diameter hingga 1 mm, sedangkan dalam skala Atterberg digunakan untuk menyatakan partikel yang diameternya 0,6 hingga 2 mm. Untuk menjalankan fungsi deskriptif, sebenarnya tidak ada satupun persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh suatu skala besar butir. Kalaulah ada, persyaratan itu tidak lain kesepakatan di kalangan komunitas ilmiah tertentu untuk menggunakan skala itu. Demikian pula dengan pemakaian istilah-istilah seperti pasir kasar, pasir halus, lempung, dsb. Kalaupun diyakini bahwa limit-limit kelas besar butir dalam suatu skala memiliki kaitan tertentu dengan sifat-sifat fisik tanah atau sedimen, maka hal itu tidak lebih dari sekedar nilai tambah yang dimiliki oleh skala besar butir tersebut, namun tidak mempengaruhi nilai fungsi deskriptifnya. 4.4.2 Fungsi Analitik Selain digunakan untuk menunjang penyeragaman sistem tatanama, kelas-kelas besar butir juga digunakan sebagai satuan dalam berbagai analisis sedimen. Sebagai contoh, kelas-kelas besar butir dipakai untuk menentukan komposisi mekanis sedimen. Kelas besar butir juga digunakan sebagai satuan dalam analisis statistika. Dalam kaitannya dengan fungsi analitik inilah sebagian besar kekeliruan dan kesalahpahaman muncul dalam menilai kelebihan dan kekurangan berbagai tipe skala besar butir. Pengenalan fakta bahwa bentuk histogram dapat bervariasi sesuai dengan skala besar butir yang digunakan telah membawa banyak penulis untuk menyimpulkan bahwa kita hendaknya hanya menggunakan satu skala besar butir tertentu dalam semua bentuk analisis agar tidak muncul bentuk histogram yang bervariasi.19 Sayang sekali, sebenarnya tidak ada satu skala besar butir yang dapat dikatakan benar untuk semua bentuk analisis mekanik karena konsep kelas besar butir diskrit sebenarnya tidak dapat muncul dari kisaran besar butir yang sebenarnya bersifat kontinu itu. Maksudnya, karena kisaran besar butir partikel sebenarnya bersifat kontinu, maka penentuan kelas dan interval kelas apapun pada dasarnya bersifat artifisial. Dari khuluk partikel penyusun sedimen jelas sudah bahwa, dengan beberapa pengecualian yang langka, diameter partikel-partikel itu bervariasi secara kontinu, bukan membentuk kelas-kelas diskrit. Walau demikian dalam mempelajari distribusi kontinu seperti itu, kita memerlukan adanya satuan-satuan tersebut, meskipun satuan-satuan itu bersifat arbitrer. Selain itu, untuk tujuan praktis, satuan-satuan itu tidak harus berkaitan dengan aspek-aspek deskriptif skala besar butir. Jika suatu skala besar butir cukup fleksibel sehingga memungkinkannya untuk menjalankan fungsi deskriptif dan analitik, maka skala itu memiliki kelebihan tersendiri. Skala besar butir Atterberg dan Wentworth memiliki kualifikasi seperti itu. Pemahaman bahwa suatu sedimen pada dasarnya merupakan sebuah distribusi besar butir yang kontinu, dan bahwa tidak ada pengelompokkan alami partikel-partikel penyusun
18 19

W. C. Krumbein (1934) loc. cit. Lihat, misalnya saja, L. Dryden (1034) Cummulative curves and histograms. Amer. Jour. Sci., vol. 27, h. 146-147.

45

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

sedimen ke dalam kelas-kelas besar butir tertentu, membebaskan analisis mekanik dari keharusan untuk menggunakan satu skala besar butir tertentu. Dari kacamata tersebut, interval-interval kelas besar butir yang digunakan dalam analisis aktual dapat dipilih sedemikian rupa sehingga interval-interval itu mampu memperjelas karakter distribusi. Distribusi frekuensi besar butir itu kemudian dapat diungkapkan dalam ukuran-ukuran statistika konvensional dan ukuran-ukuran tersebut dapat dikaitkan dengan sejumlah kelas besar butir deskriptif. Ada dua metoda analisis statistika yang sering dipakai oleh para ahli: (1) metoda yang didasarkan pada momen distribusi; (2) metoda yang didasarkan pada kuartil dan median (lihat Bab 8 dan 9). Dalam metoda momen, interval kelas harus dipilih sedemikian rupa sehingga memiliki nisbah geometri yang tetap untuk memudahkan proses penghitungannya. Di lain pihak, pada metoda kuartil dan median, ukuran interval kelas tidak menjadi masalah, bahkan skala besar butirnya sendiri tidak harus memiliki nisbah geometri yang tetap. Tingginya kebebasan dalam metoda kuartil muncul dari fakta bahwa metoda itu menggunakan teknik grafik sedemikian rupa sehingga pemilihan interval kelas itu hanya akan mempengaruhi kecermatan hasil analisis. Karena itu, pemilihan interval dalam analisis yang menggunakan metoda kuartil pada dasarnya lebih ditentukan oleh tingkat kecermatan yang ingin diperoleh si analis. Meskipun makin lama para ahli makin sadar bahwa sebagian besar data sedimen bersifat kontinu, namun banyak analisis dewasa ini dilaksanakan dengan menggunakan satuan-satuan deskriptif penyusun sedimen tersebut. Maksudnya, para ahli dewasa ini tidak memandang sedimen sebagai suatu kesatuan, melainkan sebagai gabungan dari sejumlah satuan. Para ahli ilmu tanah, misalnya saja, lebih tertarik pada usaha untuk mengetahui jumlah pasir atau koloid yang ada dalam tanah, bukan menelaah khuluk distribusi partikel penyusun tanah secara keseluruhan. Demikian pula dengan pengujian-pengujian komersil. Pengujian itu biasanya dilakukan untuk mengetahui jumlah pasir, lanau, atau lempung. Analisis lanjutan dilakukan untuk menguji material dalam kerangka pemikiran tersebut. Pada kasus-kasus seperti itu, teknik yang paling tepat digunakan adalah teknik yang menganalisis material dalam setiap kelas besar butir deskriptif sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat langsung diterapkan pada kelas besar butir tersebut. Walau demikian, perlu ditegaskan disini bahwa jika data analisis mekanik disimpan sebagai distribusi frekuensi besar butir yang kontinu, maka kita akan dapat menyajikan data itu dalam bentuk distribusi diskrit yang terdiri dari beberapa kelas besar butir. Di lain pihak, jika kita menggunakan suatu skala besar butir diskrit sewaktu mencatat data hasil analisis, maka kita dapat menemukan kesukaran untuk menyajikan data tersebut dalam bentuk distribusi frekuensi kontinu, terutama pada saat skala itu hanya memiliki beberapa kelas besar butir atau apabila interval kelas-kelas besar butir itu tidak sama. 4.5 PEMILIHAN SKALA BESAR BUTIR Keleluasaan untuk memilih sudut pandang untuk menganalisis sedimen dan zat partikuler lain mengindikasikan bahwa untuk tujuan umum, kita sebaiknya memilih sejumlah interval kelas analitik yang mampu menghasilkan data yang memadai untuk semua tujuan yang ingin dicapai. Penulis berkeyakinan bahwa kita sebaiknya memilih suatu skala besar butir yang didasarkan pada interval geometri yang tetap dan cukup fleksibel untuk menerima sejumlah sub-kelas yang relatif kecil. Skala Atterberg dan Wentworth dapat digunakan sebagai dasar, dan tidak menjadi masalah skala mana yang akan digunakan, karena hasil yang diperoleh dari salah satu skala itu akan dapat diungkapkan dalam skala lain, jika hal itu memang diinginkan. Dalam kaitannya dengan hal ini, skala Hopkins perlu dipertimbangkan untuk digunakan karena skala itu juga menawarkan dasar yang baik untuk analisis. Kemungkinan untuk mengkonversikan nilai-nilai dari satu skala besar butir deskriptif menjadi skala besar butir deskriptif lain pada dasarnya merupakan cerminan dari fakta bahwa analisis suatu distribusi kontinu seperti distribusi besar butir tidak tergantung pada interval-interval kelas yang digunakan. Selain itu, dalam kisaran galat eksperimental yang relatif kecil untuk limit-limit besar butir tertentu, karakter sampel praktis tidak berubah.

46

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Dalam kaitannya dengan manipulasi statistik inilah dan dengan konversi data dari satu skala deskriptif ke skala deskriptif lain lah skala tipe logaritmik akan terasa sangat bermanfaat. Dalam skala Wentworth, penggunaan notasi logaritmik, misalnya skala phi (tabel 4-7), menghasilkan bilangan-bilangan bulat yang menandai limit-limit setiap kelas besar butir. Jika suatu analisis didasarkan pada limit-limit Wentworth secara langsung tidak menghasilkan data yang memadai untuk melakukan analisis lengkap terhadap suatu sedimen, maka limit-limit skala dapat diubah menjadi satuan-satuan setengah-phi. Skala analitik yang baru itu masih tetap bersifat aritmetik; hanya intervalnya saja yang berubah dari 1, 2, 3, ... menjadi 1, 1.5, 2.0, 2.5, 3.0, ... Pendeknya, penggantian skala besar butir 2 tidak mempengaruhi kesederhanaan notasi phi. Demikian pula, penggunaan skala 4 2 akan menghasilkan satuan-satuan dalam skala phi menjadi /4 sehingga deret yang dihasilkannya masih merupakan deret aritmetik 1.0, 1.25, 1.50, 1.75, 2.0, ... Limit-limit skala Atterberg juga dapat terlalu besar untuk analisis tertentu dan dengan memilih titik-titik tambahan yang besarnya setengah atau seperempat zeta (lihat tabel 4-8), setiap detil apapun akan dapat diperlihatkan. Tingkat kecermatan yang diperoleh pada dasarnya hanya dibatasi oleh ketidaksempurnaan teknik analisis yang digunakan. Tabel 4-8. Skala besar butir logaritmik berdasarkan interval-interval kelas /4 dan /4. SKALA ATTERBERG Besar Butir (mm) 20,00 1,00 11,25 6,32 3,56 2,000 1,125 0,632 0,356 0,200 0,112 0,063 0,035 0,020 0,75 0,50 0,25 0,00 + 0,25 + 0,50 0+ ,75 + 1,00 + 1,25 + 1,50 + 1,75 + 2,00 SKALA WENTWORTH Besar Skala 2 Butir (mm) (mm) 2 2,00 1,00 1,69 0,75 1,41 0,50 1,19 0,25 1 1,00 0,00 0,84 + 0,25 0,71 + 0,50 0,59 + 0,75 0,50 + 1,00 0,420 + 1,25 0,351 + 1,50 0,297 + 1,75 0,250 + 2,00 0,210 + 2,25 0,177 + 2,50 0,149 + 2,75 1 /8 0,125 + 3,00 0,105 + 3,25 0,088 + 3,50 0,074 + 3,75 1 /16 0,062 + 4,00

Konversi nilai-nilai statistik dari satu skala deskriptif ke skala deskriptif lain merupakan masalah yang relatif sederhana selama skala-skala itu didasarkan pada interval geometris dan diungkapkan sebagai nilai logaritmik. Hal itu dapat dicontohkan oleh skala Atterberg dan 47

Manual Petrografi Sedimen (Krumbein & Pettijohn, 1938)

Wentworth, dimana kedua skala besar butir itu berturut-turut dapat diungkapkan dalam skala zeta dan skala phi. Misalkan saja suatu ukuran statistik yang berupa nilai rata-rata dapat diungkapkan dalam satuan phi. Apabila si peneliti kemudian ingin mengkonversikan ukuran itu ke dalam nilai yang ekivalen dengannya, dalam skala Atterberg, maka dia dapat menggunakan persamaan konversi tersebut di bawah ini. Skala phi didasarkan pada fakta bahwa setiap nilai diameter partikel (dalam satuan milimeter) dalam skala Wentworth dapat disajikan dalam nilai phi melalui persamaan = 2 dimana

adalah nilai diameter dalam satuan milimeter adalah nilai pada skala phi.

Apabila diubah menjadi persamaan logaritma, maka persamaan itu akan menjadi:

= log 2 Dengan cara yang sama, setiap nilai diameter (dalam satuan milimeter) dalam skala Atterberg dapat dinyatakan dalam nilai zeta melalui persamaan: = 2 10

dimana adalah diameter dalam satuan milimeter adalah nilai pada skala zeta. Apabila diubah menjadi persamaan logaritma, maka persamaan itu akan menjadi:

= 0,301 log 10
Untuk mengkonversikan nilai-nilai dari satu skala ke skala lain digunakan persamaan logaritmik umum untuk mengubah bilangan dasar: log = log 2log . 10 10 2 Apabila faktor log2 diganti oleh dan log10 diganti oleh 0,301 ., maka akan diperoleh persamaan transformasi akhir sbb: = 0,301(+ 1) Dengan menggunakan persamaan di atas, setiap nilai pada skala zeta dapat dikonversikan menjadi nilai dalam skala phi. Demikian sebaliknya. Efek adanya persamaan transformasi itu adalah bahwa kita dapat melakukan analisis dengan memakai skala manapun yang dirasa lebih sesuai dan mudah dilaksanakan selama skala itu memiliki interval geometris. Setelah itu, nilainilai statistik yang dihasilkannya dapat ditransformasi dalam skala geometris manapun. Hubungan antara diameter dengan skala dan skala diperlihatkan secara grafis pada gambar 4-1. Pembahasan yang menyeluruh mengenai metoda-metoda statistika yang dapat digunakan untuk menganalisis data sedimen akan disajikan pada Bab 8 dan 9. Penerapan metoda-metoda itu dicontohkan dengan data analisis mekanik. Pada bab-bab itu juga akan dijelaskan berbagai bentuk perhitungan statistika untuk skala besar butir konvensional dan skala besar butir logaritmik. Tujuan utama dari bab ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar analisis mekanik dengan memaparkan bahwa beberapa jenis skala besar butir sangat penting artinya dalam analisis sedimen. Walau demikian, pemilihan terhadap satu skala pada dasarnya dilakukan berdasarkan kemudahan pemakaiannya dalam analisis yang dilaksanakan.

48

You might also like