You are on page 1of 20

Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia

PANDUAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS DALAM KEHAMILAN


(DRAFT)

11-14 Maret 2012 PIT FETOMATERNAL 13 PALEMBANG

Kontributor: HKFM senter Makassar 1. dr. IMS Murah Manoe, SpOG(K) 2. dr. Retno Budiati Farid, SpOG(K) 3. Dr. dr. Maisuri Tadjuddin Chalid, SpOG(K) 4. dr. Efendi Lukas, SpOG(K) 5. Dr. dr. Isharyah Sunarno, SpOG(K) 6. dr. Deviana Soraya Riu, SpOG 7. dr. Rina Amiruddin, SpOG

I.

Pendahuluan Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi yang kronis menular dan secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua negara. Dari laporan tahunan WHO (2003) disimpulkan bahwa masih ada 22 negara dengan kategori beban tinggi terhadap TBC (high burden of TBC numbers). Sebanyak 8,9 juta penderita TBC dengan proporsi 80% pada 22 negara berkembang dengan kematian 3 juta orang per tahun. Satu orang dapat terinfeksi TBC setiap detik dan penyakit TBC membunuh 1 juta perempuan per tahun pada saat kehamilan dan persalinan.
1,2

Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dalam urutan jumlah penderita TBC setelah India (30%) dan China (15%) dengan presentase sebanyak 10% dari total penderita TBC di dunia. Kurun waktu 5 tahun terakhir dengan berbagai program TBC yang dilakukan hanya mampu menurunkan angka kesakitan penyakit Tuberkulosis yaitu 15 per 100.000 penduduk sehingga dari 122/100.000 menjadi 107/100.000 penduduk. Dari laporan WHO tahun 2005 dinyatakan bahwa estimasi insidens TBC di Indonesia dengan dasar hasil pemeriksaan sputum adalah 128 per 100.000 (2003) dengan perkiraan prevalens sebesar 295 per 100.000. Di Indonesia angka penemuan kasus (Case Detection Rate) mencapai 33% dengan angka kesembuhan (Cure Rate) adalah 86% dengan metoda DOTS (Directly Observed Treatment of Short Course). 1,2,3 Salah satu penyebabnya tingginya prevalensi Tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya ko-infeksi dengan HIV/AIDS.

Tuberkulosis dan HIV/AIDS termasuk penyebab utama kematian ibu. Setiap tahun, kurang lebih 700.000 kematian perempuan disebabkan oleh TB, sementara kurang lebih 2 juta kematian maternal setiap tahunnya disebabkan oleh HIV. Daerah dengan insidens HIV yang tinggi, mempunyai insidens TB yang tinggi. Wanita hamil dengan TB ko-infeksi HIV, mempunyai risiko kematian ibu lebih tinggi dibanding tanpa HIV.1,2 Salah satu masalah yang mempersulit eradikasi TB adalah meningkatnya resistensi terhadap obat-obat TB (multidrug-resistant). Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) adalah infeksi strain Mycobacterium TB yang

mempunyai resistensi terhadap baik Isoniazid maupun Rifampisin. Hal ini menyebabkan krisis kesehatan global, dengan meningkatnya insidens TB pada kehamilan, kemungkinan juga menyebabkan MDR-TB pada kehamilan akan sering didapatkan. Indonesia menempati urutan ke-7 dari 27 negara high MDR-TB burden countries, dengan insidensi 5,554/tahun (2007). II. Definisi Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium yang menyebar melalui udara. TB biasanya mengenai paruparu, tetapi dapat juga mengnenai organ lain seperti otak, ginjal, dan tulang belakang. [2]

III.

Etiologi

Mycobacterium tuberculosis

Gambar 1: Pewarnaan Ziehl-Neelsen dari pertumbuhan Mycobacterium tuberculosa pada pembesaran 1000x [4]

Gambar 2: Pemeriksaan mikroskop elektron dari pertumbuhan Mycobacterium tuberculosa pada kultur. [4]

IV.

Klasifikasi TB 0. Tidak ada riwayat terpapar dan reaksi skin test tuberkulin negatif [5]. 1. Memiliki riwayat terpapar tetapi memiliki reaksi skin test tuberkulin negatif. [5] Tindakan yang diambil untuk kelas ini adalah terutama tergantung dari derajat dan lamanya tenggang waktu terpapar dengan M. Tuberculosis, dimana sangat tergantung pada status immun dari orang yang terpapar. Jika terdapat paparan yang signifikan dalam 3 bulan, harus dilakukan follow up skin test tuberkulin dalam waktu 10 minggu setelah paparan.

2. Infeksi latent Tuberculosis, tidak ada gejala klinik [5] Memiliki reaksi skin test tuberkulin yang positif (dinyatakan dalam satuan mm (miliemeter), hasil pemeriksaan bakteriologi negatif (jika dilakukan) dan tidak terdapat bukti adanya tuberkulosis aktif, baik secara klinik, bakteriologik, maupun radiografi. Terapi infeksi tuberkulosis laten mungkin diindikasikan untuk orang tertentu. Harus dicatat kemoterapi yang sekarang diterima (tanggal dan jenis regimennya), kapan terapinya selesai (waktu dan dan jadwal pemberian terapi) serta apakah terapinya inkomplit atau tidak (waktu pemberian dan regimennya).[5]

3. Tuberculosis, secara klinik aktif. [5] Seluruh pasien dengan tuberkulosis yang secara klinik aktif dan telah menjalani prosedur diagnostik secara komplit. Jika prosedur diagnosis masih belum dapat dijalankan dengan lengkap, pasien harus dimasukkan dalam klasifikasi sebagai suspek tuberkulosis (kelas 5). Untuk memenuhi kriteria 3 ini, pasien haruslah memiliki gejala klinik, bakteriologik, dan/atau bukti radiografi akan adanya infeksi tuberkulosis. Hal ini paling mungkin ditentukan dengan isolasi M. Tuberculosis. Pasien yang memiliki riwayat tuberkulosis dan juga memiliki gejala klinik yang sekarang aktif termasuk kelas 3.

Lokasi penyakit [5] Pulmonar Pleural. Limfatik Tulang dan sendi Genitourinari Disseminated (milier) Meningeal Peritoneal Lain-lain

Lokasi infeksi yang dominan harus dicatat. Semua lokasi infeksi lain juga harus dicatat. [5]

Status bakteriologis Negatif [5] Tidak dilakukan Secara mikrroskopik (tanggal pemeriksaan) Amplifikasi asam nukleat (tanggal pemeriksaan) Kultur (tanggal pemeriksaan)

Positif [5] Mikroskopik (tanggal pemeriksaan) Amplifikasi asam nukleat (tanggal dilakukan) Kultur (tanggal dilakukan)

Hasil tes suseptibilitas beserta metode dan konsentrasi yang digunakan (tanggal pemeriksaan) [5] Data berikut ini diperlukan pada situasi tertentu: [5] Pemeriksaan radiografi torak [5] Normal Abnormal Kavitas dan non kavitas Stabil atau memburuk atau membaik

Reaksi skin test tuberkulin [5]

Positif (ukuran indurasi dalam satuan mm) Negatif (ukuran indurasi dalam satuan mm)

4. Tuberculosis: secara klinik tidak aktif Yaitu jika terdapat riwayat episode tuberkulosis sebelumnya atau temuan radiografi abnormal yang stabil pada pasien dengan reaksi skin test tubekulin yang positif (ukuran indurasi dalam satuan mm), pemeriksaan bakteriologik negatif (jika dilakukan) dan tidak terdapat bukti klinik dan/atau radiolografik dari penyakit sekarang. [5] Pasien dengan kelas 4 mungkin tidak pernah menerima kemoterapi, dan mungkin menerima terapi ung infeksi laten, atau mungkin telah melengkapi jadwat kemoterapi sebelumnya. Jika gejala klinik yang aktif belum dapat disingkirkan, khususnya pada pasien yang pernah menerima terapi adekuat, pasien harus diklasifikasikan sebagai suspek tuiberkulosa (kelas 5) sampai evaluasi diagnostik memungkinkan untuk mengklasifikasikannya sebagai kelas 3 atau kelas 4. [5] 5. Suspek Tuberculosis (diagnosis pending) Jika diagnosis tuberkulosis masih dipertimbangkan, baik terapi telah dimulai maupun belum, sampai prosedur diagnostik telah lengkap. Pasien tidak boleh berada dalam kategori ini selama 3 bulan. Jika prosedur diagnostik telah lengkap, pasien harus telah dapat

dimasukkan dalam salah satu kategori. [5]

V.

Patofisiologi a. TB Setelah inhalasi, nukleus droplet akan memasuki cabang-cabang bronkus dan berimplantasi pada bronkiolus respiratorik dan alveolus. Apakah suatau basil tuberkel yang telah terinhalasi akan dapat menentukan infeksi paru atau tidak, tergantung baik pada virulensi bakteri maupun dari kemampuan mikrobisidal makrofag alveolar yang memakannya. [5] Jika basil mampu bertahan hidup dari pertahanan tubuh awal, maka bakteri ini akan bermultiplikasi dalam makrofag alveolus. Basil tuberkel akan bertumbuh secara lambat, membagi diri dalam 25-32 jam dalam

makrofag.

Mycobacterium

tuberculosis

tidak

memiliki

endotoksin

maupun eksotoksin; sehingga tidak terjadi respon immun immediate (awal) terhadap infeksi. Organisme ini akan bertumbuh dan waktu 2-12 minggu, sampai mencapai jumlah tertentu yang mampu untuk memicu respon immun yang dapat dideteksi dengan adanya reaksi skin test tuebrkulin. [5] Sebelum immunitas selular berkembang, basil tuberkel menyebar secara limfatik ke limfonodi hilar dan kemudia melalui aliran darah ke jarak yang lebih jauh. Beberapa organ dan jaringan tercatat resisten dengan multiplikasi bakteri ini. Tulang belakang, hepar dan limpa selalu dapat ditinggali bakteri tetapi multiplikasi bakteri yang tidak terkontrol pada area ini hampir tidak pernah terliihat. [5] Organisme ini akan tinggal pada area paru bagian atas, ginjal, tulang dan otak, dimana meerupakan lingkungan yang cocok untuk

pertumbuhannya dan sejumlah bakteri akan mengalami pembelahan sebelum kemudian immunitas selular berkembang dan membatasi multiplikasinya. [5] Pada pasien dengan immunitas selular yang utuh, kumpulan sel T yang telah teraktifasi dan makrofag akan membentuk granuloma yang membatasi multiplikasi dan penyebaran kuman tubersulosis dalam organisme. Antibodi yang melawan M. Tuberculosis akan terbentuk tapi tidak tampak protektif. Organisme cenderung untuk terlokalisasi di tengah granuloma, yang seringkali akan nekrotik. Untuk sebagian besar individu dengan fungsi immun yang normal, proliferasi M. Tuberkulosis berhenti begitu immunitas selular berkembang, meskipun demikian, sejumlah kecil basilus hidup mungkin saja masih akan ada di dalam granuloma. [5] Meskipun kompleks primer kadang-kadang dapat terlihat pada

pemeriksaan radiografi toraks, mayoritas infeksi tuberkulosis pulmo secara klinik dan radiografi tidak tampak. Sebagian besar, hasil skin test tuberkulin positif merupakan satu-satunya indikasi bahwa

M. Tuberkulosis telah berkembang. Individu dengan infeksi tuberkulosis laten tapi bukan penyakit aktif tidak infeksius, sehingga tidak dapat menularkan kuman. Diperkirakan kurang lebih 10% individu dengan

infeksi tuberkulosis dan tidak mendapat terapi pencegahan akan berkembang menjadi tuberkulosis aktif. [5] Risiko tertinggi pada 2 tahun pertama setelah infeksi. Kemampuan host untuk merespon organisme akan berkurang dengan adanya penyakit seperti silikosis, DM, dan penyakit yang berhubungan dengan immunosupresi, misalnya infeksi HIV, pemberian kortikosteroid dan obat-obat immunosupresan lain. Pada keadan ini, kecenderungan untuk berkembangnya penyakit tuberkulosis meningkat. Risiko untuk

berkembang menjadi tuberkulosis juga tampaknya lebih besar selama 2 tahun pertama kehidupan. Dalam hal cara persalinan, tidak ada bukti bahwa TB akan mempengaruhi cara persalinan.[5]

b. Efek tuberculosis terhadap kehamilan dan bayi baru lahir Dengan berkembangnya kemoterapi yang efektif, sebagian besar penelitian memperlihatkan bahwa tuberkulosis tidak meningkatkan komplikasi persalinan. Tidak terdapat data statistik yang signifikan mengenai meningkatnya kecenderungan untuk terjadinya malformasi kongenital pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis meskipun demikian, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, BBLR dan peningkatan mortalitas perinatal sangat umum terjadi. Gambaran klinik tuberkulosis pada wanita hamil sama dengan pada pasien yang tidak hamil. [6] Batuk, kehilangan berat badan, demam, lemas dan hemoptisis merupakan gambaran umum. Gambaran lain seperti letargi, distensi abdomen, irritabilitas dan lesi kulit juga dapat terlihat. Tuberkulosis ekstrapulmonal juga sering ditemukan, dan telah diamati pada 20% kasus. Limfadenitis merupakan bentuk yang umum dari tuberkulosis ekstrapulmonal dan tidak memiliki efek lain terhadap maternal maupun hasil luaran fetal. [6] Bentuk lain dari tuberkulosis ekstapulmonal seperti intestinal, spinal, endometrial dan meningeal dihubungkan dengan peningkatan frekuensi disabilitas maternal, pertumbuhan janin terhambat, dan bayi dengan nilai Apgar rendah. Pasien yang terikfeksi HIV memiliki insidensi yang lebih

tinggi untuk menderita tuberkulosis ekstrapulmonal. Kejadian MDR TB seringkali juga dengan wanita ditemukan pada wanita hamil sebagimana halnya tidak hamil, meskipun hal ini belum pernah

didokumetasikan. Meskipun demikian, wanita hamil dengan MDR-TB memiliki peningkatan resiko komplikasi neonatal dan pasien sendiri cenderung menunjukkan perkembangan penyakit yang lebih parah dengan perubahan gambaran radiologik yang lebih parah waktu konversi sputum yang lebih lama. [6]

c. Efek terhadap kehamilan terhadap TB Efek kehamilan terhadap TB adalah risiko terjadinya reaktivasi terhadap TB, namun kehamilan tidak mempengaruhi luaran terapi TB. Faktor lain yang turut berperan adalah status gizi ibu, adanya penyakit penyerta dan ko-infeksi HIV.

VI.

Penularan TB

Tuberkulosis menyebar melaui udara dengan droplet nukleus, sebuah partikel berdiameter 1-5 mm yang mengandung kompleks M. Tuberkulosis. Droplet nuklei juga dihasilkan ketika pasien dengan tuberkulosis pulmonal atau laringeal batuk, bersin, berbicara atrau bernyanyi. Mikroorganisme juga dikeluarkan pada terapi

aerosol, induksi sputum, aerosolosasi selama proses bronkoskopi, dan melalui manipulasi lesi atau proses pengolahan jaringan atau sekret di laboratorium. [5] 4 faktor yang menentukan kecenderungan transmisi M. Tuberkulosis:[5] 1) Jumlah mikroorganisme yang dikeluarkan ke udara 2) Konsentrasi mikroorganisme diudara yang ditentukan oleh volume ruangan dan ventilasi. 3) Lamanya waktu seseorang terekspos dengan udara yang terkontaminasi 4) Status immun dari individu yang terekspos. [5]

VII.

Gejala TB

Karena TB dapat mengenai bermacam lokasi pada tubuh, gejalanya dapat sangat bervariasi, beberapa diantaranya bahkan tidak spesifik dan akhirnya menyebabkan diagnosis terlambat. [7] Gejala TB pulmonal yang khas termasuk batuk kronik, kehilangan berat badan, demam intermiten, keringat malam dan batuk darah. TB yang menyerang bagian tubuh lain selain paru akan memiliki gejala tergantung lokasinya, dan mungkin akan disertai demam intermiten dan kehilangan berat badan. TB merupakan diagnosis yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan demam intermitten, kehilangan berat badan dan gejala lain yang tidak jelas. TB laten tanpa infeksi aktif mungkin tidak akan menunjukkan gejala apa-apa. [7]

VIII.

Diagnosis

Infeksi Tb pada kehamilan mungkin memilki gambaran yang menyulitkan untuk didiagnosis, terutama karena gejala awalnya yang kadang non-spesifik, seperti lemas, letih, yang mungkin memang sering diekeluhkan oleh ibu hamil dan tidak mengarahlan kecurigaan ke arah TB. [8] Selain ini, gambaran TB pada wanita hamil serupa dengan wanita tidak hamil, dimana TB pulmonal merupakan manifestasi klinik yang paling sering ditemui. Langkah yang paling penting untuk membuat diaagnosis dalam kehamilan adalah identifikasi faktor resiko infeksi TB dan pemeriksaan khusus mengenai gejala untuk menduga adanya infeksi. Skrinign rutin TB dalam kehamilan tidak standard di

beberapa daerah. Dan hal inilah yang merupakan salah satu faktor yang dianggap dapat menyebabkan diagnosis terlambat dan pada akhirnya berperan dalam kematian ibu. Penelitian yang dilakukan di Soweto, afrika selatan, skrining TB dengan menggunakan sejumlah pertanyaan selama ANC dianggap cukup berguna dan hanya memeakan waktu sedikit selama konsultasi pada ANC> [8] Rekomendasi telah mengatakan bahwa pertanyaan mengnai TB untuk menskrining harus diimplementasikan pada daerah dengan prevalensi HIV cukup tinggi,dimana tingkat infeksi HIV pada wanita hamil cukup tinggi pada daerah terrsebut. Modalitas laboratorium yang paling sering adalah pemeriksaan mikroskopik sputum untuk mendeteksi adanya basil tahan asam, kultur sputum dan spesimen lain yang diduga mengandung M. TB serta foto toraksmasih merupakan alat utama diagnostik. [8]

Test kulit tuberkulin memiliki nilai dalam mendiagnosis infeksi TB laten, kecuali di area dimana terdapat prevalensi dan insidensi TB yang tinggi. Konfirmasi adanya infeksi M. TB masih merupakan issue yang sulit, dengan teknologi yang sudah ketinggalan dan inakurat, terutama pada daerah dengan fasilitas terbatas. Peningkatan teknologi diagnostik masih merupakan prioritas penelitian. Interferon-C Release Assays dan Quanti-FERON-TB Gold In-Tube assay telah dipakai sebagai metode diagnosis infeksi laten TB. Metode ini telah meningkatkan spesifitas dan akurasi diagnostik dan tidak dipengaruhi oleh vaksinasi BCG atau infeksi dari Mycobacteria non tuberkulosa. Quanti-FERON-TB Gold In-Tube assay aman digunakan dalam kehamilan, meskipun belum divalidasi untuk kehamilan. [8] Infeksi HIV mengubah gambaran infeksi TB aktif. TB dengan hasil smear negatif sering ditemukan pada individu dengan infeksi TB dimana individu tersebut cenderung untuk menghasilkan lebih sedikit bakteri basilus dan pemeriksaan mikroskopik saja tidak seharusnya digunakan untuk membuat diagnosis.

Pemeriksaan foto torak

dan penilaian suara paru secara klinik merupakan

pemeriksaan yang sangat membantu dalam menegakkan diagnosis secara cepat pada penderita dena hasil smear TB yang negatif; meskipun demikian gambaran foto torak mungkin saja menunjukkan hasil normal pada 14% individu dengan hasil kultur TB. Tb ekstrapulmoner tidak umum pada kehamilan, sehingga dokter harus sangat mencurigai individu dengan gejala atipik. Pengendalian infeksi penting untuk mengendalikan penyebaran TB, dimana TB akan sangat infeksius jika terjadi di paru dan laring, dan biasanya tidak pada kontak singkat. Petugas kesehatan dan anggota keluarga pasien harus mendapatkan informasi mengenai transmisi dan pentingnya skrining [8]

a. Skin test pada ibu hamil Kurang lebih ribuan wanita hamil menerima TST selama test ini

dikembangkan dan tidak ditemukan catatan akan adanya efek samping yag membahayakan janin yang diakibatkan oleh TST. Tidak terdapat bukti bahwa TST memiliki efek samping terhadap wanita hamil dan janin. Pasien harus ikut menjalani test kulit serial sebagai bagian dari program pengendalian infeksi ataupun pemeriksan kontak karena tidak ditemukan kontraindikasi terhadap tes kulit yang ada. Guideline yang dikeluarkan oleh ACOG menekankan

bahwa penundaan diagnosis/diagnosis terlmabat

terhadap infeksi yang

diakibatkan oleh M. Tuberkulosa sangat tidak dapat ditoleransi. [9] Test kulit tuberkulin Mantoux merupakan metode standar untuk

mengidentifikasi seorang dengan infeksi M. Tuberculosa. Test dengan tusukan multipel (multiple puncture test/ MPTs) tidak seharusnya digunakan untuk mengidentifikasi apakah seseorang terinfeksi atau tidak. MPTs bukan merupakan test yang reliabel karena jumlah tuberkulin yang diinjeksikan secara intra dermal tidak dapat dikontrol dengan tepat. Test kulit tuberkulin aman dan reliabel untuk dilakukan selama kehamilan. [9]

IX.

Terapi

Pasien baru dengan TB pulmonal harus menerima terapi regimen yang mengandung rifampisin dengan lama pemberian 6 bulan: 2HRZE/4HR. Pemberian regimen 2HRZE/2HE sudah tidak dianjurkan [10]. Pasien baru dengan TB pulmonal boleh menerima pengobatan intensif dengan pemberian setiap hari diikuti dengan fase lanjutan dengan pemberian setiap 3x seminggu [2HRZE/4(HR)3] dengan syarat setiap dosis dharus diawasi ketat secara langsung dan pasien BUKAN merupakan penderita HIV atau tinggal di daerah dengan prevlensi HIV yang tinggi. [10]

Table 1. Regimen standar untuk pasien TB baru (diduga, atau diketahui, atau memiliki tes suseptibilitas Tb) [10] Terapi fase Intensif 2 bulan HRZEa Fase Lanjutan 4 bulan terapi HR

a WHO tidak lagi merekomendasikan peniadaan pemberian etambutol selama fase intensif untuk terapi pasien non kavitas, pasien TB pulmonal dengan hasil smear negatif atau TB ekstra pulmonal yang di ketahui HIV negatif. Pada meningitis TB, etambutol harus digantikan oleh streptomisin. H = isoniazid, R= rifampicin, Z = pyrazinamide, E= ethambutol

Table 2. Frekuensi Dosis untuk pasien TB baru. [10] FREKUENSI DOSIS Harian Harian CATATAN Optimal

Harian

3 x seminggu

Alternatif yang dapat diterima untuk setiap pasien TB baru yang terapinya secara langsung diawasi

3 x seminggu

3 x seminggu

Alternatif yang dapat diterima dimana pasien mendapat observasi secara langsung dan tidak menderita HIV atau tidak tinggal pada daerah

dengan tingkat HIV yang tinggi

Catatan: Dosis setiap hari (lebih baik dari 3x seminggu) pada fase intensif mungkin membantu untuk mencegah resitensi obat dapatan pada pasien TB yang memulai terapi dengan resistensi isoniazid . [10]

Program kontrol TB nasional memerlukan 3 regimen standard: Regimen pasien baru: regimen mengandung 6 bulan pemberian rifampicin: 2HRZE/4HR1 Pemberian terapi ulangan dengan first-line drugs: 2HRZE/1HRZE/5HRE2 Regimen MDR. [10]

Table 3. Rekomendasi dosis obat antituberkulosis first-line pada dewasa [10] OBAT DOSIS YANG DIREKOMENDASIKAN Harian Dosis range (mg/kg body weight) Isoniazid Rifampicin Pyrazinamide Ethambutol 5 (46) 10 (812) 25 (2030) 15 (1520) 300 600 dan Maximum (mg) 3 x seminggu Dosis dan Dosis range (mg/kg body weight) 10 (812) 10 (812) 35 (3040) 30 (2535) 900 600 maksimum Harian (mg)

Wanita menyusui yang menderita TB harus menerima terapi TB sepenuhnya. Saat pemberian dan jenis kemoterapi yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah transmisi basil tuberkel kepada bayi. Ibu dan bayi harus tetap bersama dan bayi harus tetap melanjutkan menyusu. Setelah menyingkirkan adanya infeksi TB aktif pada bayi, bayi harus diberikan terapi preventif berupa isoniazid selama 6 bulan, diikuti dengan vaksinasi BCG. [10] Pemberian suplemen piridoksin direkomendaiskan terhadap seluruh wanita hamil dan menyusui yang mendapat isoniazid. [10]

X.

TB pada keadaan khusus

Beberapa rekomendasi mengenai MDR-TB: Perlu mendiskusikan dengan ibu mengenai resiko dan keuntungannya [12] Memulai terapi resistensi obat pada trimester kedua, atau sesegera mungkin jika kondisi ibu tidak memungkinkan. Karena efek teratogenik terjadi pada trimester pertama, terapi sebaiknya ditunda sampai trimester kedua. [12] Hindari terapi injeksi. Pada sebagian besar area, aminoglikosida tidak boleh digunakan dalam regimen untuk pasien hamil, karena bersifat toxik bagi perkembangan telinga janin. [12] Kapreomisin diduga memiliki resiko ototksisitas, tetapi merupakan obat injeksi pilihan jika memang diperlukan[12] Hindari pemberian etionamid. Etionamid dapat meningkatkan resiko mual muntah selama keamilan, dan efek teratogenik ditemukan pada beberapa penelitian pada hewan [12] Obat harus mengandung sedikitnya 4 obat-obat yang efektif. [10] Tes menunjukkan bahwa isoniazid, rifampicin, fluoroquuinolon dan obat injeksi cukup efektif. [10]

Table 4. Kelompok obat tuberkulosis second-line yang direkomensdaiksn [11]

Pasien TB yang gagal terapi atau relaps setelah terapi pertama sebaiknya menerima regimen yang mengandung first line drugs 2HRZES/1HRZE/5HRE pada daerah dengan dengan tingkat MDR rendah atau medium atau jika data sama sekali tidak ada. [10] Untuk terapi MDR, obat anti Tb digolongkan menurut efikasinya, pengalaman penggunaan dan kelas obat. Seluruh obat anti TB yang termasuk dalam golongan first line dimasukkan dalam group 1, kecuali streptomicyn, yang digolongkan bersama dengan obat injeksi ke dalam group 2. Seluruh obat dalam group 2-5 (kecuali streptomisin) merupakan obat golongan second-line. Resistensi silang berarti mutasi resistensi (pada bakteri M. Tuberkulosis) terhadap salah satu obat anti TB dapat berubah ke beberapa atau bahkan semua obat dalam satu golongan atau bahkan obat dalam lain golongan. [10]

Group 1 Obat golongan 1 merupakan obat yang paling poten dan paling dapat ditoleransi. Jika terdapat bukti laboratorik dan riwayat klinik bahwa obat dari golongan ini efektif, maka obat tersebut harus digunakan. Jika obat golongan 1 pada pemberian sebelumnya gagal, maka efikasinya harus dipertanyakan bahkan walaupun jika hasil DST menyatakan efektifitasnya. Rifampysin, seperti halnya rifabutin memiliki tingkat resistensi silang yang tinggi terhadap rifampisin. [10] Group 2. Seluruh pasien yang menerima obat injeksi golongan 2 jika diduga efektifitasnya dan ada data yang mendukung. Di antara golongan aminoglikosida, kanamisin dan amikasin merupakan obat injeksi pilihan pertama, diberikan pada kasus MDR-TB yang memiliki tingkat resistensi streptomisin yang tinggi. Sebagai tambahan, kedua obat ini tidak mahal, toksisitasnya kurang dibanding streptomisin dan telah digunakan luas untuk terapi TB-MDR. Amikasin dan kanamisin dianggap serupa dan memiliki frekuensi yang tinggi untuk terjadinya resistensi silang. Jika kasus TB tersebut hanya resisten terhadap baik streptomisin dan kanamisin, atau jika data DRS menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap amikasin dan kanamisin, maka kapreomisin harus digunakan. [10] Group 3. Seluruh pasien harus menerima pengobatan dengan obat golongan 3 jika strain M. Tuberculosis sensitif terhadap agen ini atau jika diketahui memiliki efikasi yang baik. Salah satu generasi fluoroquinolon, seperti levofloxacyn atau moxifloxacin merupakan pilihan fluoroquinolon. Siprofloksasin tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi bagi MDR-TB [10] Group 4. Etionamid atau protionamid seringkali ditambahkan ke dalam regimen karena harganya yang murah. Jika biaya tidak menjadi pertimbangan, maka PAS (p-aminosalicylic acid) harus ditambahkan, dalam formula salut enterik yang relatif dapat ditoleransi dan tidak menyebabkan resistensi silang dengan obat lain. Jika dibutuhkan 2 regimen lain, sikloserin dapat ditambahkan. Karena etinamid (atau protionamid) dan PAS seringkali meyebabkan efek gastrointestinal dan

hipotiroidisme, maka agen ini biasanya diberikan bersama hanya jika dibutuhkan

3 macam obat dari obat golongan 4, yaitu: etionamid (atau protionamid), sikloserin dan PAS. Terizidone dapat digunakanselain sikloserin karena dianggap cukup efektif. [10] Group 5. Obat yang termasuk dalam golongan 5 tidak direkomendasikan oleh WHO untuk penggunaan rutin dalam terapi TB-MDR karena efikasinya masih belum jelas. Obatobat ini dapat digunakan pada kasus-kasus dimana tidak mungkin memberikan regimen yang adekuat dengan obat-obat dari regimen 1-4. Pasien harus konsultasi dengan ahli [10]

Table 4. Kelompok obat yang digunakan untuk terapi MDR-TB [10] GROUP Group 1: First-line oral agents Pyrazinamide (Z) Ethambutol (E) Rifabutin (Rfb) Group 2: Injectable agents Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Streptomycin (S) Group 3: Fluoroquinolones Levofloxacin (Lfx) Moxifloxacin (Mfx) Ofloxacin (Ofx) Group 4: Oral agents bacteriostatic Para-Aminosalicylic Acid (PAS) second-line Cycloserine (Cs) Terizidone (Trd) Ethionamide (Eto) Protionamide (Pto) Group 5: Agents with unclear role in treatment of drug resistant-TB Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoxicillin/Clavulanate (Amx/Clv) Thioacetazone (Thz) OBAT

Imipenem/Cilastatin (Ipm/Cln) High-Dose Isoniazid (High-Dose H)B Clarithromycin (Clr)

Negara yang menggunakan metode konvensional untuk mendeteksi MDR: [10] Sementara menunggu hasil Ketika MDR telah dikonfirmasi DST untuk isoniazid,

rifampicin; Suspek MDR-TB Terapi empirik dengan Lanjutkan regimen MDR standar Atau Mengubah regimen MDR yang terindividualisasi (ketika test suseptibilitas untuk obat second-line telah dilakukan)

regimen MDR

Pada terapi MDR-TB, fase intensif didefinisikan dengan durasi terapi injeksi. Obat injeksi harus dilanjutkan selama minimal 6 bulan dan sedikitnya 4 bulan mulai dari ditemukan kultur atau smear yang negatif sampai tetap negatif. [10] Konversi kultur juga menentukan durasi terapi TB keseluruhan. Direkomendasikan untuk melanjutkan terapi selama minimum 18 bulan setelah konversi kultur. Perpanjangan waktu 24 bulan mungkin diindikasikan paa kasus kronik dengan kerusakan paru yang parah. [10]

TINJAUAN PUSTAKA

1.

2.

3. 4. 5.

6. 7. 8. 9.

10. 11. 12.

WHO, THE STOP TB STRATEGY: Building on and enhancing DOTS to meet the TB-related Millennium Development Goals, 2006, WHO STOP TB partnership: www.who.org. anonym, TB EliminationTuberculosis: General Information, V.H. National Center for HIV/AIDS, STD, and TB Prevention and D.o.T. Elimination, Editors. 2011. WHO, the global plan to stop TB 2011-2015, 2010: www.stoptb.org. Palomino, J.C., S.C. Leo, and V. Ritacco, Tuberculosis 2007: From basic science to patient care. 1 ed2007. DUNLAP, N.E., et al., Diagnostic Standards and Classification of Tuberculosis in Adults and Children. AMERICAN JOURNAL OF RESPIRATORY AND CRITICAL CARE MEDICINE, 2000. 161. Khilnani, G.C., Tuberculosis and Pregnancy. Indian J Chest Dis Allied 2004. 46 p. 105-111. Excellence, N.I.f.H.a.C., Tuberculosis: Clinical diagnosis and management of tuberculosis, and measures for its prevention and control, 2011. Mnyani, C. and J. McIntyre, Tuberculosis in pregnancy. International Journal of Obstetrics and Gynaecology, 2011. 118: p. 226231. anonym, Guidelines for Preventing the Transmission of Mycobacterium tuberculosis in Health-care Settings, U.S.D.O.H.H. SERVICES and C.f.D.C.a.P. (CDC), Editors. 2005, MMWR: http://www.cdc.gov/nchstp/tb/pubs/mmwrhtml/mmwr_infection.htm. p. 49. WHO, Treatment of tuberculosis guidelines, 2010. WHO, Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis, 2011: www.who.org. WHO and I.M.o.A.a.A.I. (IMAI), Management of MDR-TB: A field guide A companion document to Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis, 2009: www.stoptb.org/wg/tb_hiv/ http://www.who.int/tb/hiv/en/.

You might also like