You are on page 1of 6

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG Bagasse atau ampas tebu adalah zat padat dari tebu yang diperoleh sebagai sisa dari pengolahan tebu pada industri pengolahan gula pasir. Bagasse mengandung air 48 52%, gula 3,3% dan serat 47,7%. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), ampas tebu (bagasse) yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu yang digiling. Dari jumlah 32% tersebut, 60%-nya digunakan untuk bahan bakar ketel (boiler), sedangkan kelebihannya dijual dan banyak dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan kertas, media pertumbuhan jamur merang dan industri pembuatan papan papan buatan. Di Indonesia setidaknya ada 64 buah pabrik gula yang saat ini masih beroperasi dengan berbagai kapasitas dan menghasilkan sisa pembakaran bagasse pada boiler (ketel) berupa abu bagasse dalam jumlah yang sangat banyak. Jumlah produksi abu bagasse kira kira 0,3% dari berat tebu, sehingga bila sebuah pabrik gula memiliki kapasitas 5000 ton perhari maka abu bagasse yang dihasilkan sebesar 15 ton perhari. Dari hasil analisa XRF terhadap abu bagasse diketahui bahwa dalam abu bagasse mengandung mineral mineral yang berupa Si, K, Ca, Ti, V, Mn, Fe, Cu, Zn dan P. Kandungan yang paling besar dari mineral mineral tersebut adalah silikon (Si) sebesar 55,5%. Karena kandungan silika dalam abu bagasse besar maka abu bagasse berpotensi sebagai bahan baku pembuatan silika gel sehingga mempunyai nilai tambah yang lebih dengan memanfaatkan limbah padat yang dihasilkan oleh pabrik gula. Silika gel dapat dibuat dari larutan caustic silicate misalnya larutan sodium silikat dengan penambahan asam misalnya hidrochloric acid (HCl). Sodium silikat adalah sumber silika yang paling murah meskipun sumber alami dapat juga

2 dipakai. Secara komersial sodium silikat dapat dibuat dengan cara menggabungkan soda ash dengan pasir silika dalam furnace pada suhu 1300oC 1500oC. Tetapi pembuatan sodium silikat ini membutuhkan energi yang tinggi. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu metode yang sederhana dan tidak membutuhkan energi yang besar untuk menghasilkan sodium silikat yang merupakan bahan baku pembuatan silika gel. Metode yang potensial untuk ini, salah satunya adalah metode caustic digestion. Pada metode ini abu biomassa diekstrak dengan larutan alkali pada suhu didihnya hingga didapat larutan sodium silikat. (Iller, 1979 ; Affandi. dkk, 2009) Affandi dkk. (2009) melaporkan silika xerogel yang dibuat dari abu bagasse memiliki kemurnian mencapai 99% berat, luas permukaan 69-152 m2/g (pH 10-7), volume pori 0,059-0,137 cm3/g, diameter pori 3,2-3,4 nm yang mengindikasikan silika mesopori. Kapasitas adsorpsi silika gel yang diuji dengan uap air menunjukkan silika xerogel dengan kemurnian tinggi lebih baik daripada silika xerogel dengan kemurnian rendah. Silika xerogel tersebut bisa ditingkatkan luas permukaan dan volume pori dengan agen pemodifikasi permukaan membentuk silika aerogel. Dalam hal ini digunakan TMCS (trimethylchlorosilane) dan HMDS (hexamethyldisilazane) yang kemudian dilakukan pengeringan pada tekanan ambien (Pramudityo dan Pertiwi, 2009). Silika aerogel merupakan bahan keramik yang sangat porous dan secara kimia bersifat inert. Silika aerogel biasanya merupakan produk dari proses sol-gel, yang tahap akhirnya melibatkan penghilangan pelarut yang mengisi pori, biasanya dengan pengeringan menggunakan karbondioksida superkritis. Densitas silika aerogel sangat rendah, bisa mencapai 0,002 g/cm3. Aerogel telah dipertimbangkan untuk isolasi panas, penyangga katalis, atau sebagai penyangga untuk berbagai macam bahan fungsional untuk aplikasi kimia, elektronik dan optik. Akan tetapi aplikasi praktis

3 berjalan sangat lambat karena aerogel rapuh dan higroskopis, menyerap air dari udara yang mengarah kepada keruntuhan karena gaya-gaya kapiler yang berkembang dalam pori. Rao dkk. (2007), Baghat dkk. (2007), Purwanto (2007) serta Bahrak dan Riaswati (2008) melaporkan silika aerogel yang bersifat hidrofobik dari water glass (larutan natrium silikat) yang disintesis dengan modifikasi permukaan hidrogel sehingga dapat dikeringkan pada tekanan ambien tanpa terjadi pengkerutan. Aerogel ini memiliki volume pori yang besar (~3 cm3/g) dan luas permukaan yang besar (~900 m2/g). Jika didoping dengan berbagai macam unsur logam transisi, silika aerogel ini dapat digunakan sebagai katalis dan/atau adsorben molekulmolekul yang besar. Silika aerogel dimungkinkan dapat mengadsorpsi hidrogen karena luas permukaannya yang besar. Saat ini hidrogen digunakan terutama dalam industri kimia, misal dalam industri pupuk, kilang minyak, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam waktu dekat hidrogen akan menjadi bahan bakar yang penting. Sejak krisis minyak pertama pada tahun 1970-an, telah banyak minat untuk mengembangkan bahan bakar alternatif. Penurunan dan kestabilan harga minyak setelah itu telah menurunkan minat dalam pengembangan bahan bakar alternatif. Akan tetapi, ketidakpastian harga minyak dunia akhir-akhir ini dan juga dipicu oleh penipisan cadangan minyak telah memunculkan kembali minat terhadap pengembangan energi alternatif. Di samping itu, ada kekhawatiran terhadap lingkungan dengan penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak dan batubara. Diperkirakan kota-kota di Indonesia polutan sudah cukup tinggi untuk mempengaruhi kesehatan masyarakat dan/atau lingkungan di daerah tersebut dimana sebagian besar penduduk tinggal. Kondisi seperti ini tampaknya juga dialami kota-kota lain hampir di seluruh dunia. Kendaraan ringan bertanggung jawab terhadap jumlah emisi karbondioksida dan volatile organic compound (VOC) dan

4 emisi utama karbonmonoksida dan nitrogen oksida yang dihasilkan. Untuk mengatasi isu diatas, telah banyak usaha untuk menganekaragamkan pasokan energi khususnya untuk sektor transportasi dan mencari bahan bakar yang bersih. Akan tetapi, bahan bakar alternatif tidak semuanya tersedia dalam satu lokasi satu lokasi mungkin menginginkan etanol, yang lain didominasi oleh biodiesel, atau bensin, atau metana. Sebagian besar bahan bakar tersebut membutuhkan teknologi mesin yang berbeda untuk operasi yang efisien. Akan tetapi, hidrogen dapat diproduksi dari semua bahan baku tersebut maupun banyak yang lainnya yang menjadikannya sebagai bahan bakar universal. Akhir-akhir ini telah ada perhatian internasional terhadap pengembangan teknologi hidrogen baru sebagai penyelesaian potensial terhadap ketakutan dan kekhawatiran saat ini dan untuk meningkatkan keamanan pasokan energi dan roda ekonomi (Holladay dkk., 2009). Salah satu isu kunci dalam teknologi hidrogen adalah penyimpanan hidrogen, khususnya penyimpanan hidrogen di kendaraan ketika digunakan dalam kendaraan bertenaga fuel cell yang berbasis hidrogen (Holladay, 2009; Wu dkk., 2009). Penyimpanan hidrogen secara luas dikenali sebagai teknologi kritis yang memungkinkan bagi keberhasilan komersialisasi dan penerimaan pasar terhadap kendaraan bertenaga hidrogen (Jorda-Beneyto dkk., 2008). Berdasarkan data US Departement of Energy (DoE), persyaratan agar hidrogen dapat digunakan sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar kendaraan secara komersial adalah memiliki berat jenis 2 kW/kg atau 1,5 kW/l, dioperasikan pada suhu -30 sampai 50C, proses pengisian (re-fuelling) kurang dari 5 menit dengan laju 1,5 kg hidrogen/menit dan hidrogen yang mampu direcovery sebesar 90% (Ross, 2006). Akhir-akhir ini, banyak usaha telah dilakukan yang mengarah kepada penyimpanan hidrogen dalam kompleks

5 hidrida, nanotube karbon dan nongrafit dan kerangka organik logam (Escobar dkk., 2008; Jorda-Beneyto dkk., 2008). Untuk tujuan tersebut salah satu faktor kunci untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi hidrogen adalah terkait dengan struktur mikroporositas bahan (Armandi dkk., 2008; Guan dkk., 2009). Ada ketergantungan linier antara kapasitas adsorpsi hidrogen dengan volume mikroporous. Jadi apabila diinginkan agar bahan memiliki kapasitas adsorpsi yang besar, maka volume mikropori juga harus dibuat besar. Mengacu pada hal ini, DoE menetapkan target pengembangan terhadap bahan penyimpan hidrogen pada tahun 2010 dan 2015 mencapai 6% dan 9% berat (Thomas, 2007). Sehingga dalam penelitian ini, kami mengembangkan sintesis silika aerogel berbasis abu bagasse yang dikeringkan pada tekanan ambien untuk aplikasi penyimpan hidrogen. Abu bagasse ini dipilih karena ketersediaannya yang melimpah, harganya yang murah (hampir tak berharga) dan juga yang tak kalah penting adalah pertimbangan lingkungan dimana abu bagasse merupakan limbah pabrik gula. I.2. RUMUSAN PERMASALAHAN Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa penelitian difokuskan pada pembuatan silika aerogel yang bersifat hidrofob berbasis abu bagasse dengan metode solgel, dikeringkan pada tekanan ambien untuk aplikasi media penyimpan hidrogen. I.3. TUJUAN PENELITIAN Dari uraian di atas, maka penelitian ini difokuskan untuk mempelajari pengaruh kadar TMCS dan HMDS terhadap surface area dan volume pori dalam pembuatan silika aerogel.

6 I.4. MANFAAT PENELITIAN Menciptakan sebuah produk yang memiliki nilai tambah yang berupa silika aerogel dari bahan berharga nol. Menciptakan material baru yang dapat digunakan sebagai solid sorption untuk media penyimpan hidrogen dengan kapasitas adsorpsi yang baik Mengurangi problem buangan limbah pabrik gula.

You might also like