You are on page 1of 28

LAPORAN KASUS 2 POLIP CAVUM NASI SINISTA STADIUM II

MUHAMMAD FADILLAH H1A 007 041

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MATARAM 2013

BAB I PENDAHULUAN Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat pekerjaan, aktivitas

mempengaruhi kualitas hidup penderita baik pendidikan,

harian dan kenyamanan. Polip nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga hidung. Polip nasi ini dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau tanpa bantuan Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006).3,4 Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.2 endoskopi.1,2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. ANATOMI HIDUNG Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.2

Gambar 2.1 Kerangka tulang dan tulang rawan

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring2.

Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.2 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. 2 Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine dan bagian posterior oleh

lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Gambar2.3 Septum nasi

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 2 Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius

terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.2 Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.2

II. FISIOLOGI HIDUNG Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-sinus anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada mukosa yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.1 Beberapa fungsi hidung juga antara lain : 1,2 1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara

masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara: a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C. 3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh: a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi b. Silia Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di sebelah posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans, merupakan kerja silia yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang sangat luas antara udara inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan mukusnya,lapisan mukus berupa selubung sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustakius, faring, dan seluruh cabang bronkus.

Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta melembabkan udara isnpirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya. Namun, bahkan dengan jumlah uap demikian sering kali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering, sering kali terdapat di rumah-rumah dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai ganguan hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia lebih aktif pada meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung menarik lapisan mukus dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Arah gerakan septum adalah kebelakang dan agak ke bawah menuju dasar. Pada dasar hidung, arahnya kebelakang dengan kecenderungan bergerak di bawah konka inferior ke dalam meatus inferior. Pada sisi medial konka, arah gerakan kebelakang dan kebawah, lewat dibawah tepi inferior dari meatus yang bersesuaian. Drainase dari daerah tak bersilia pada sepertiga anterior hidung sebelumnya praktis lewat meatus. Ini merupakan daerah yang paling banyak mengumpulkan kontaminan udara. Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit untuk mendapat suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus, bersifat destruktif terhadap dindiong sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel pernapasan juga memberikan imunitas induksi seluler. Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai kebutuhan fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis

alergika terjadi bila alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga antigen tersebut terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast submukosa. Selanjutnya dihasilkan dan dilepaskan mediator radang yang menimbulkan perubahan mukosa hidung yang khas. 4. Indra Penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. 5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

III. POLIP NASI a. Definisi Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari celah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.2,5 b. Epidemiologi Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.2,3,4 c. Etiopatogenesis Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.2 Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu :5 1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus. 2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor. 3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung

Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :2,3,5 Alergi Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung.1 Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung.7 Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-15% Ketidak Seimbangan Vasomotor Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip. Bernouli Fenomena Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif dalam KOM, yang negatif ini mempengaruhi kemudia akan mukosa terjadi disekitarnya. Karena polip. Terori Rupture Epithel tekanan

infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya

Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada pasien dengan polip hidung. Intoleransi Aspirin Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis. Cystic Fibrosis Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated impermeabilitas Peningkatan klorida absorpsi chloride dan natrium dan chanel yang peningkatan penurunan menyebabkan natrium. klorida sekresi absorpsi

menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya

menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder. Nitric Oxide Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase , catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung. Infeksi Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami. Superantigen Hypotensis Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal

disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip hidung. d. Manifestasi Klinis Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas hidup.2 Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma.5 Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.5 e. Diagnosis Anamnesis Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.2 Pemeriksaan Fisik Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan mudah digerakkan.2

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.2 Pemeriksaan Penunjang Naso-endoskopi Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.2,6 Pemeriksaan Radiologi Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.6 f. Tatalaksana Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6 Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung Meminimalisir gelaja Meningkatkan kemampuan penghidu Menatalaksanai penyakit penyerta Meningkatkan kulitas hidup Mencegah komplikasi.

Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan medis dan operatif. Tatalaksana Medis Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6 1. Antibiotik Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies merupakan Staphylococcus, Streptococcus, dan mikroorganisme pada sinusitis bakteri kronis.6 2. Corticosteroid Topikal Korticosteroid Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.4 Sitemik Kortikosteroid Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg anaerob, yang

dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan mengurangi ukuran polip.4 Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.6 3. Terapi lainnya akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik Imunoterapi menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi aspirin.4 Terapi Pembedahan

Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan navigasi komputer dan instrumentasi power. 3,6

Keluhan Sumbatan hidung dengan 1/> gejala Massa polip hidung Tentukan stadium Jika mungkin : biopsy untuk tentukan tipe polip dan lakukan polipektomi reduksi Stad 2&3 Terapi bedah Stad I & 2 Biopsy sesuai tatalaksana

Curiga keganasan Permukaan berbenjol, mudah berdarah

Keterangan menentukan stadium Polip dalam MM (NE) Polip keluar dari MM Polip memenuhi rongga hidung

Terapi medik

Persiapa n pra bedah

Terapi medik : steroid topical dan atau polipektomi medikamentosa dengan cara : deksametason 12 mg (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr) Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr) Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)

Terapi bedah

Tidak ada perbaikan

Perbaikan mengecil

Perbaikan hilang

Tindak lanjut dengan steroid topical Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE sembuh

Polip rekuren : Cari faktor alergi Steroid topical Steroid oral tidak lebih 3-4x/ tahun Kaustik a. Prognosis Operasi ulang Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal7 Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia

g. Prognosis Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung.2,3,6

BAB III LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama pasien Umur Jenis kelamin Alamat Tanggal Pemeriksaan ANAMNESIS Keluhan utama: : T SN : 41 tahun : Laki-laki : Ampenan : 14 Januari 2013

Hidung tersumbat Riwayat penyakit sekarang:

Os datang dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada kedua hidung, namun lebih berat pada hidung sebelah kiri. Pasien mengaku keluhan hidung tersumbat ini sering disertai keluhan pusing serta penciumannya berkurang. Pasien juga mengaku sering batuk dan pilek, dan jika pilek mengeluarkan ingus yang kental berwarna putih. Keluhan sering pilek ini terutama dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya benjolan pada rongga hidung sebelah kiri, yang menyebabkan keluhan hidung tersumbat semakin memberat pada hidung sebelah kiri. Pasien tidak tau pasti kapan benjolan tersebut mulai muncul. Benjolan tidak nyeri. Riwayat epistaksis disangkal pasien dan keluhan nyeri saat pasien menunduk juga disangkal. Riwayat demam (-). Tidak ada keluhan mual ataupun muntah.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat DM, hipertensi, serta asma disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit keluarga/sosial: Riwayat pengobatan: Riwayat alergi:

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan umum : Baik Kesadaran : Compos mentis Tanda vital :

Tensi : 110/80 mmHg Nadi : 72 x/menit Respirasi : 18 x/menit Suhu : afebris

Status Lokalis Pemeriksaan telinga No. 1. 2. Pemeriksaan Telinga Tragus Daun telinga Telinga kanan Nyeri tekan (-), edema (-) Bentuk dan ukuran dalam batas normal, hematoma 3. Liang telinga (-), nyeri tarik aurikula (-) Serumen (-), hiperemis (-), furunkel (-), edema (-), otorhea (-) Telinga kiri Nyeri tekan (-), edema (-) Bentuk dan ukuran dalam batas normal, hematoma (-), nyeri tarik aurikula (-) Serumen (-), hiperemis (-), furunkel (-), edema (-), otorhea (-)

4.

Membran timpani

Retraksi (-), bulging (-), hiperemi (-), edema (-), perforasi (-),cone of light (+)

Retraksi (-), bulging (-), hiperemi (-), edema (-), perforasi (-),cone of light (+)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung luar

Hidung kanan Bentuk (normal), hiperemi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Hidung kiri Bentuk (normal), hiperemi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anterior Vestibulum nasi Cavum nasi Meatus media Konka inferior Septum nasi Transluminasi nasi nasi

Hiperemis

(+),

sekret

Hiperemis

(+),

sekret

mukopurulen (+) Bentuk (normal), hiperemia (+) Mukosa hiperemis, sekret (+), Massa (-) Edema (+), mukosa hiperemi (+) Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-)

mukopurulen (+) Bentuk (normal), hiperemia (+) Mukosa hiperemis, krusta (+), Massa (+) Edema (+), mukosa hiperemi (+) Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-)

Sinus Pemeriksaan Tenggorokan

Tidak dilakukan

Bibir Mulut Geligi Lidah Uvula

Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N) Mukosa mulut basah berwarna merah muda Normal Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-) Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran

Palatum mole Faring Tonsila palatine Fossa Tonsillaris dan Faringeus Arkus

(-) Ulkus (-), hiperemi (-) Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-), lender (-) kanan T1 hiperemi (-) kiri T1 hiperemi (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG - Pemeriksaan Darah Parameter HGB MCV MCH MCHC RBC WBC Eosinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit HCT PLT GDS Creatinin Ureum BT CT - RADIOLOGI Nilai 14,6 80,4 27,2 33,9 5,36 9,83 6,4 0,2 50,8 35,8 6,8 43,1 295 139 1,0 25 200 445 Nilai Normal L : 11,5-16,5 g/dL 82-92 fL 27-31 pg 32-37 g/dL L : 4,0 5,0 [10^6/L] 4,0 11,0 [10^3/ L] 0-1 0-1 50-76 25-33 3-8 L : 37-45 [%] 150-400 [10^3/ L] <160 0,6-1,1 mg/dL 6-26 mg/dL 1-6 menit <15 Menit

Foto rontgen posisi waters : Sinus Maksilaris dextra et sinistra tampak normal. DIAGNOSIS Polip nasi cavum nasi sinistra stadium 2. DIAGNOSIS BANDING (-)

RENCANA TERAPI a. Kortikosteriod: Deksametason Tab 3x4 mg selama 3 hari, kemudian 2x4mg 3 hari selanjutnya, kemudian dilanjutkan 1x4mg pada 3 hari terakhir. b. Dekongestan : Psuudoefedrin HCL tab 3 x 8 mg c. Operasi untuk mengangkat massa pada cavum nasi sinistra (polip) Polipektomi KIE a. Kurangi makanan berminyak, serta makanan atau minuman dingin. b. Diet seimbang dan tingkatkan konsumsi makanan tinggi vitamin A, C dan E, seperti buah-buahan dan sayuran. c. Kontrol 9 hari kemudian untuk evaluasi kemajuan terapi. PROGNOSIS Dubia ad bonam

BAB IV PEMBAHASAN Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan polip nasi sinistra stadium dua yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat serta riwayat pilek berulang sejak satu tahun yang lalu. Pilek disertai pengeluaran sekret kental berwarna putih. Keluhan hidung tersumbat ini juga disertai keluhan pusing yang sering dirasakan oleh pasien. Selain itu, pasien juga mngeluhkan ada benjolan di rongga hidung sebelah kiri, namun keluhan mimisan disangkal pasien. Pada pemeriksaan fisik sekret Didapatkan adanya massa berwarna putih keabuan di bagian konka media, terlihatbertangkai dan terdapat sedikit krusta. Hal ini menunjang ke arah diagnosis polip nasi. Untuk rencana penatalaksanaan pada pasien ini karena merupaka polip nasi stadium 2 adalah dengan pemberian steroid, disini diberikan steroid sistemik karena lebih mudah dalam pengaturan dosisnya. Steroid diberikan selama 9 hari dengan dosis yang di turunkan perlahan. pseudoefedrin HCL di berikan sebagai dekongestan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Namun pada pasien ini juga perlu dipertimbangkan untuk tatalaksana operatif jika dengan penatalaksanaan medikamentosa tidak memberikan hasil yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of

the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme, 2006, h. 2 13
2. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar

N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 88 95 3. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-75 4. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87 5. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc Thai. 2005 : 88 (12) :1966-72 6. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps. Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 : 27-36 7. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THTKL di Indonesia. 2007. Hal 25

You might also like