You are on page 1of 40

REFERAT HIV/AIDS

DISUSUN OLEH: Ribka Theodora (11-2011-196) PEMBIMBING: dr. Mayorita Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara Dr. Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma 2012

BAB I PENDAHULUAN Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii dan sarcoma Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika Serikat. Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ). Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006) Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya negative, sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. (Djoerban Z dkk, 2006) Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV (Djoerban Z dkk, 2006). Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi HIV, 97 % dari Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %, usia produktif 41% ( 15-24 th) dan anak-anak ( WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan,

menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006). Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664 orang. (Depkes RI, 2008). Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia. Pada tahun 2007 menempati urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan pengobatan.(UNAIDS, 2010) Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan terapi ARV, maka strstegi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan. Dalam memberikan kontribusi 3 by 5 initiative global yang direncanakan oleh WHO di UNAIDS, Indonesis secara nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila berat dapat menimbulkan kematian pada odha. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup odha akan meningkat. . (Djauzi S dkk, 2002).

BAB II HIV - AIDS 2.1 DEFINISI Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006) 2.2 EPIDEMIOLOGI Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anakanak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS. (WHO,2010 ) Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010) Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009) Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ). Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 3039 tahun. (Depkes RI, 2008) Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes RI,2008)

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008) 2.3 ETIOLOGI AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006) Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006) 2.4 MODE PENULARAN Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan. Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh . Risiko tinggi Darah, serum Semen Sputum Sekresi vagina Risiko masih sulit Risiko rendah selama ditentukan tidak terkontaminasi darah Cairan amnion Mukosa seriks Cairan Muntah serebrospinal Feses Cairan pleura Saliva Cairan peritoneal Keringat Cairan perikardial Air mata Cairan synovial Urin Sumber : Djauzi S, 2002

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2002)

2.5 PATOGENESIS Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006) Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006) Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada

permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006) Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2. Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006) Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006) 2.6 PERJALANAN PENYAKIT Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk, 2006)

10

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk, 2006) Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya. Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV Kelompok Umum Kekerapan (%) 90 54 Mukokutan 70 12 Limfadenopati 74 Neurologi Nyeri kepala 32 Nyeri belakang mata Fotofobia Depresi Meningitis 12 Saluran cerna Anoreksia Nausea Diare 32 Jamur di mulut 12 Sumber : (Djauzi S, 2002) Gejala Demam Nyeri otot Nyeri sendi Rasa lemah Ruam kulit Ulkus di mulut

11

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006) Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk, 2006) Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam

12

limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006) Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+ ditampilkan dalam gambar 3. Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan penurunan viremia. Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995 Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.

13

2.7 DIAGNOSIS 2.7.1. Anamnesis Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4). Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV Penjaja seks laki-laki atau perempuan Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang) Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria) Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS) Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril. Sumber : Depkes RI 2007

14

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007

2.7.2 Pemeriksaan fisik Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6

15

Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007 Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan

16

kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5 . Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Gejala Demam lama Batuk Penurunan berat badan Sariawan dan nyeri menelan Diare Sesak napas Pembesaran kelenjar getah bening Penurunan kesadaran Gangguan penglihatan Neuropati Ensefalopati Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005 2.7.3 Pemeriksaan penunjang Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) . ( Depkes RI, 2007) Frekuensi 100 % 90,3 % 80,7 % 78,8 % 69,2 % 40,4 % 28,8 % 17,3 % 15,3 % 3,8 % 4,5 %

17

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha Tes antibodi terhadap HIV (AI); Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI); HIV RNA plasma (viral load) (AI); Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII); Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII); Sumber : Yayasan Spiritia 2006. Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent. (Djoerban Z dkk,2006) Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

18

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006). Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV

Sumber : Depkes,2007 2.7.4 Penilaian Klinis

19

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2002) 2.7.5 Stadium Klinis WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV. AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan. Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan seharihari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 34 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal. Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

20

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A. Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu : a. Infeksi Akut : CD4 : 750 1000 Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu. b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml. Infeksi Kronis Simtomatik Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita. Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 500 Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang

c.

1)

21

lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC). 2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200 Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya. Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

Limfadenopati Generalisata yang menetap Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas. Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati. Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB atau komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah: a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama. 1. Gejala Mayor Penurunan berat badan lebih dari 10% Diare kronik lebih dari satu bulan Demam lebih dari satu bulan

22

2.

Gejala Minor Batuk lebih dari satu bulan Dermatitis preuritik umum Herpes zoster recurrens Kandidias orofaring Limfadenopati generalisata Herpes simplek diseminata yang kronik progresif Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.

b.

1.

2.

Gejala Mayor Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal Diare kronik lebih dari 1bulan Demam lebih dari1bulan Gejala minor Limfadenopati generalisata Kandidiasis oro-faring Infeksi umum yang berulang Batuk parsisten Dermatitis

2.7.6 Penilaian Imunologi Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2007)

23

Tabel 9. Stadium klinis HIV Stadium 1 Asimptomatik Tidak ada penurunan berat badan Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium 2 Sakit ringan Penurunan BB 5-10% ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE) Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku Stadium 3 Sakit sedang Penurunan berat badan > 10% Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni (<50.000/ml) Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Sindroma wasting HIV Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan. Kandidosis esophageal TB Extraparu* Sarkoma kaposi Retinitis CMV* Abses otak Toksoplasmosis* Encefalopati HIV Meningitis Kriptokokus* Infeksi mikobakteria non-TB meluas Sumber : Depkes RI, 2007 2.8 PENATALAKSANAAN

kronis

24

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:


a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat

antiretroviral (ARV). b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks. c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. 2.8.1Terapi Antiretroviral (ARV) Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

25

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007) Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007) Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa Stadium Bila tersedia pemeriksaan CD4 Klinis 1 2 Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4 Terapi ARV tidak Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan <200 Bila jumlah total limfosit <1200 3 Jumlah CD4 200 350/mm , pertimbangkan terapi sebelum CD4 <200/mm3. Pada kehamilan atau TB: Terapi ARV dimulai Mulai terapi ARV pada semua ibu tanpa memandang jumlah hamil dengan CD4 350 limfosit total Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4 Sumber : Depkes RI, 2007

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).

26

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai

belum dapat ditentukan. 3. Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas. Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007) Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu. Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)

27

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005) WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11. Tabel 11 : Terapi ARV

28

Sumber : Depkes RI, 2007 Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masingmasing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2007

29

Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat ARV golongan ini. Tabel 13 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007 PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada

30

terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI. 2.6.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS) Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

31

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8.3 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E, 2005)

32

Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/L ataupun > 200 sel/L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat pada table 15. Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan) Ensefalopati HIV a Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau esofagitis Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan) Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru Kandidiasis esophagus Kanker serviks invasif Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu Kriptokokosis, ekstraparu Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan) Leukoensefalopati multifocal progresif Limfoma Burkitt Limfoma imunoblastik Limfoma primer pada otak Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu Pneumonia Pneumocystis carinii Pneumonia rekuren b Sarkoma Kaposi Septikemia Salmonella rekuren Toksoplasmosis otak Wasting syndrome c
a

Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang

33

mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI) b Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun c Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari, intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain (missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV. Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005 2.8.3.1 Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha. (Yunihastuti E dkk, 2002) TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/L sedangkan TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah. (Yunihastuti E dkk, 2002) Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit. (Yunihastuti E dkk, 2002) Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/L tidak berbeda dengan non HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/L, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha

34

adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT. Yunihastuti E dkk, 2002) Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2002) Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan Klasifikasi Kasus TB baru TB kambuh/ pengobatan ulang Regimen Obat 2HRZE / 6 HE (DOTS) 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS) Sumber : Yunihastuti E dkk, 2002

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk, 2002) Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV CD4 CD4 mm3 Paduan yang dianjurkan Keterangan <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 8 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2 bulan) Paduan yang mengandung EFV (AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari).

35

Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP. Bila NVP terpaksa harus digunakan disamping OAT, maka dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan fungsi hati (SGOT/SGPT) secara ketat CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi mm3 TB CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai mm3 kembali pada saat minggu ke 8 terapi TB dan setelah terapi TB lengkap CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV mungkin mulai 2 8 minggu setelah diperiksa terapi TB dimulai Sumber : Depkes RI, 2007

2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yakni (Djauzi S dkk, 2002) :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi

terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP. 2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi. Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh. Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas

36

pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002) Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik Penyakit PCP Mulai Obat yang digunakan o 1 CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari atau CD4 % < 14 INH 300mg/hari + PPD > 5 ml Piridoksin Kontak Positif CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari IGG Toksoplasma aviditas rendah CD4 > 200 Anti HBs (-) HBs Ag(-) Anti HAV (-) Risiko paparan MSM, dll) tinggi (IDU, Sumber : Djauzi S dkk, 2002 Vaksinasi pneumovax Vaksinasi Hepatitis B Vaksinasi Hepatitis A

TB T. Gondii S. pneumoniae Hepatitis B Hepatitis A

BAB III KESIMPULAN

AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

37

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV.

Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin.

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal

Diagnosis ditegakkan dengan Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,

38

memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat

antiretroviral (ARV). b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks. c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni: nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP

DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu

39

penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and

related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,

Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].

Available at url: http://www.aidsindonesia.or.id


6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib

AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009
8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis

Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:

executive summary. Geneva. 2010.


10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];

Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

40

You might also like