You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang

Dengan bertambahnya jumlah gangguan peredaran darah otak (CDV) dan trauma kapitis, maka jumlah kasus dengan gejala sisa neurologik juga makin meningkat. Gejala sisa elementer yang paling menyolok adalah hemiparesis dan gejala sisa fungsi luhur yang paling banyak adalah afasia. Pada kasus CVD, kemungkinan seorang pasien menderita afasia adalah 25%, karena separuhnya menderita hemiparesis dekstra dan separuh dari ini mungkin menderita afasia. Karena afasia tergolong kelainan komunikasi dan komunikasi merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia, maka rehabilitasi afasia tidak dapat diabaikan. Mungkin saja seorang dengan gejala sisa kelumpuhan menduduki jabatannya semula tetapi akan sangat sulit bagi orang yang menderita afasia. Bukannya ini berarti tidak mungkin; sebagian pasien afasia dapat juga kembali menduduki jabatan semula asal afasianya yang tidak terlalu berat mendapatkan rehabilitasi yang cepat dan tepat. Untuk maksud itu, kecepatan dan ketepatan diagnosis sangat diperlukan untuk menolong nasib pasien afasia.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak. Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia), gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia.(1,2,3,4,5) Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun

biasanya terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di dalam afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya gangguan mengenal (agnosia),

apraksia (gangguan belajar atau ketrampilan),

gangguan menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau muncul sendiri.(2,3)

2.2 Etiologi

Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur.(1,2,3,6,7,8) Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.(2,3)

2.3 Patofisiologi Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.(2,3,6,7,8) Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.(2,3) Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.(6,7,8,9) Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.(6,7,8,9) Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area Wernicke.(6)

2.4 Klasifikasi Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan kepada: Manifestasi klinik Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik

Gambar 1. Area pengaturan bahasa pada otak. Lesi padaarea ini akan menyebabkan afasia Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas: (1,2,3,4,5,6) Afasia tidak lancar atau non-fluent Afasia lancar atau fluent

Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan: (1,2,3,4,5,6,7,8,9) Sindrom afasia peri-silvian Afasia Broca (motorik, ekspresif) Afasia Wernicke (sensorik, reseptif) Afasia konduksi

Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone) Afasia transkortikal motorik Afasia transkortikal sensorik Afasia transkortikal campuran

Sindrom afasia subkortikal Afasia talamik Afasia striatal

Sindrom afasia non-lokalisasi Afasian anomik Afasia global

Sebagai tambahan, ada yang disebut dengan parafasia.

Parafasia ialah mensubstitusi kata. Ada 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonemik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata lain, misalnya kucing dengan anjing. Parafasia fonemik ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain, misalnya bir dengan kir.(6)

2.5 Diagnosis Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya. (2,3)

2.6 Manifestasi Klinik Afasia tidak lancar. Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita menggunakan kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai artikulasi dan irama bicara yang buruk. Gambaran klinisnya ialah: Pasien tampak sulit memulai bicara Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat) Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks Artikulasi umumnya terganggu Irama bicara terganggu Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks Pengulanan (repetisi) buruk Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

Afasia lancar. Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran klinisnya ialah: Keluaran bicara yang lancar Panjang kalimat normal Artikulasi dan irama bicara baik Terdapat parafasia

Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk Repetisis terganggu Menulis lancar tadi tidak ada arti Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak

lancar dan tertegun-tegun: mana rokok beli. Sedangkan seorang afasia fluen mungkin akan mengatakan dengan lancar: rokok beli tembakau kemana situ tadi gimana dia toko jalan Afasia Broca. Pemahaman auditif dan membaca tidak terganggu, tetapi sulit

Broca (motorik,

ekspresif).

Disebabkan

lesi

di

area

mengungkapkan isi pikiran. Gambaran klinis afasia Broca ialah bergaya afasia non-fluent. Afasia Wernicke (sensorik, reseptif). Disebabkan lesi di area Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Penderita tidak mampu memahami bahasa lisan dan tulisan sehingga ia juga tidak mampu menjawab dan tidak mengerti apa yang dia sendiri katakan. Gambaran klinis afasia Wernicke ialah bergaya afasia fluent. Afasia Konduksi. Disebabkan lesi di area fasciculus arcuatus

yaitu penghubung antara area sensorik (wernicke) dan area motorik (broca). Lesi ini menyebabkan kemampuan berbahasa dan pemahaman yang baik tetapi

didapati adanya gangguan repetisi atau pengulangan. Afasia transkortikal. Disebabkan lesi di sekitar pinggiran area pengaturan bahasa. Pada dasarnya afasia transkortikal ditandai oleh terganggunya fungsi berbahasa tetapi didapati repetisi bahasa yang baik dan terpelihara. Afasia transkortikal motorik, ditandai dengan tanda afasia Broca dengan bicara non-fluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan terpelihara. Afasia transkortikal sensorik, ditandai dengan tanda afasia Wernick dengan bicara fluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan terpelihara. Afasia transkortikal campuran, ditandai dengan campuran tanda afasia Broca dan Wernicke. penderita bicara non-fluent atau tidak lancar, tetapi juga disertai

kemampuan memahami bahasa yang buruk, sementara kemampuan mengulang atau repetisi tetap baik. Afasia talamik, disebabkan lesi pada talamus, dan afasia

striatal disebabkan lesi pada capsular-striatal, yang keduanya juga berperan dalam pengaturan bahasa. Pada kedua afasia ini terdapat tanda afasia anomik Afasia anomik, merupakan suatu afasia dimana penderita kesulitan

menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Bicara, gramatika dan irama lancar, tetapi sering tertegun ketika mencari kata dan mengenal nama objek. Afasia global, adalah bentuk afasia yang paling berat. Ini disebabkan lesi yang luas yang merusak sebagian besar atau semua area bahasa pada otak. Keadaan ini ditandai oleh tidak ada lagi atau berkurang sekali bahasa spontan dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara berulang- ulang, misalnya baaah, baaah, baaah atau maaa, maaa, maaa.

Pemahaman bahasa hilang atau berkurang. Repetisi, membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia global hampir selalu disertai dengan hemiparese atau hemiplegia. 2.7 Pemeriksaan Tambahan Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan karena afasia merupakan tanda klinis.(2) Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif untuk mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih dari 48 jam. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin sampai 1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu untuk mendeteksi tumor.(2)

2.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.(2,3) Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara. (1,2,3,10,11) Prinsip umum dari terapi wicara adalah: Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari

dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang lebih banyak pula. Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik, dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia. Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik. Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan, seperti diuraikan dalan situs about: (10,11) Terapi kognitif linguistik.

Bentuk terapi inimenekankan pada komponen - komponen emosional bahasa. Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk

menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbedabeda. Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira." Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan kemampuan komprehensif sementara pemahaman komponen emosi dari bahasa. tetap fokus pada

Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk

gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit. Stimulation-Fascilitation Therapy. Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan terapi adalah kemampuan

berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan. Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orang-orang tercinta mereka. PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness). Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan

menggunakan percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis. Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka. Transcranial Terapi ini Magnetic dilakukan Stimulation (TMS).

dengan mendekatkan magnet langsung ke area

otak yang diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan hasil yang

menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.

2.9 Prognosa Prognosa hidup untuk pendertia afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil, sedangkan afasia dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat baik. Prognosis hidup ditentukan oleh penyebab afasia tersebut.(2) Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia Wernicke.

Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.(2)

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia Sebagai Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1135944-print 3. Wikipedia The Free Encyclopedia: Aphasia. 2010 Available at:

http://en.wikipedia.org/wiki/Aphasia 4. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010 Available at: http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm 5. National Institute On Deafness and Other Communication Disorders. Aphasia, Voice, Speech and Language Health Info. 2010. Available at:

http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/aphasia.html 6. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab XI: Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008 7. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. 8. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologis. Neurologi Patofisiologi:

Pemeriksaan Neurologis, Evaluasi Penderita Konsep

Klinis Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC,

Jakarta. 1995. 9. Suwono WJ. Afasia Sensorik atau Wernicke. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995. 10. Media Indonesia. Terapi Afasia Perbaiki Gangguan Bahasa. 2010 Available at: http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/04/28/1 109/13/Terapi-Afasia-Perbaiki-Gangguan-Bahasa 11. About.com: Aphasia Treatment. 2010 Available at:

http://stroke.about.com/od/caregiverresources/a/Aphasiarx.htm

11

You might also like