You are on page 1of 29

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah berabadabad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lesi tuberkulosis pada penggalian tulang-tulang kerangka di Mesir. Demikian juga di Indonesia, yang dapat kita saksikan dalam ukiran-ukiran pada dinding candi Borobudur.1 Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009 adalah : Insidens kasus Prevalens kasus : 9.4 juta ( 8.9 9.9 juta ) : 14 juta ( 12 16 juta )

Kasus meninggal ( HIV negatif ): 1.3 juta ( 1.2 1.5 juta ) Kasus meninggal ( HIV positif ) : 0.38 juta ( 0.32 0.45 juta )

Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara ( 35%), Afrika ( 30% ) dan regio pasifik barat ( 20% ). Sebanyak 11 13% kasus TB adalah HIV positif, dan 80% kasus TB-HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus TB multidrug-resisten ( MDR ) sebanyak 250.000 kasus ( 230.000-270.000 kasus ), tetapi hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari hasil data WHO tahun 2009, lima negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu india ( 1.6- 2.4 juta ), China ( 1.1-1.5 juta ), Afrika selatan ( 0.4 0.59 juta ), Nigeria ( 0.37 0.55 juta ) dan Indonesia ( 0.35 0.52 juta ). India menyumbang kira kira seperlima dari seluruh jumlah kasus didunia ( 21% ).2

BAB II TUBERCULOSIS

1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.2 2 Epidemiologi Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh Micobacterium tuberculosis. Pada tahun 1998 ada 3. 617.047 kasus TB yang tercatat di seluruh dunia. Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.7 3 Etiologi Micobacterium tuberculosis, basilus tuberkel, adalah satu diantara lebih dari 30 anggota genus Mycobacterium yang dikenali dengan baik maupun banyak yang tidak tergolongkan. Bersama dengan kuman berkerabat dekat yaitu M. boviskuman ini menyebabkan tuberculosis.

Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen

4 Klasifikasi TBC Kasus TBC diklasifikasikan berdasarkan2: 1. Letak anatomi penyakit 2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi ( termasuk hasil resistensi) 3. Riwayat pengobatan sebelumnya 4. Status HIV pasien

1. Berdasarkan letak anatomi penyakit Tuberculosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam paru. TB Ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening ( termasuk mediastinum dan / atau hilus ), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak. 2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi Tuberkulosis paru BTA positif, apabila : o Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat quality external assurance ( EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut berasal dari dahak pagi. Saat ini indonesia sudah memiliki beberapa laboratorium yang memenuhi syarat EQA. o Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium dengan syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah : Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto thoraks sesuai dengan gambaran TB yang ditetapkan oleh klinisi, atau

Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M. Tuberculosis positif.

Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila : o Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. Sedikitnya dua kali hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat EQA Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan prevalens HIV > 1% atau pasien TB dengan kehamilan 5% Atau o Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah yang belum memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis o Memenuhi kriteria sebagai berikut : Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah satu dibawah ini : Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV, atau Jika HIV negatif ( atau status HIV tidak diketahui atau prevalens HIV rendah ), tidak menunjukan perbaikan setelah pemberian antibiotik spektrum luas ( kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti fluorokinolon dan aminoglikosida ) Kasus bekas TB : o Hasil pemeriksaan BTA negatif ( biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial ( dalam 2 bulan ) menunjukan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung o Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi 3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Sangat penting diketahuiuntuk melihat resiko resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :

Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya atau sudah pernah mendapat pengobatan kurang dari 1 bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan TB sebelumnya minimal selama 1 bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit dimanapun 4. Status HIV Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan pengobatan. III.5 Patofisiologi A. Tuberkulosis Primer Penularan tuberculosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan menjadi droplet nuclei (partikel berdiameter 1-5m yang mengandung M. tuberculosis) dalam udara sekitar kita.9Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam susasna lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas, atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. 8 Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma makrofag. Basil tuberkel tumbuh perlahan-lahan, kira-kira tiap 25-32 jam di dalam makrofag. Pertumbuhan berlangsung 2-12 minggu, hingga kuman berjumlah 1000-10000 dimanacukup untuk mendapatkan responimun selularyang terdeteksiolehtestuberkulin. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer

limfangitis local bersama-sama limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi : 1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (restitution ad integrum), 2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant , 3) Berkomplikasi dan menyebar secara : a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberculosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut , b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB, typhobachillosis Landouzy.

B. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel DatiaLanghans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. 8

Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi : 1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, 2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. 3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan firbroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Be.tuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat menjadi : a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura, b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma, Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk seperti bintang yang disebut stellate shape. 6 Manifestasi klinik Tuberkulosis Pulmonal A. Gejala Respiratori 1) Batuk / Batuk Darah. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produkproduk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut adalah batuk darah (hemoptisis). Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang hebat (aneurisma

Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik.10 2) Sesak Napas Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. 3) Nyeri dada Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya. B. Gejala Sistemik 1) Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadand panas badan dapat mencapai 40-41C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari serangan demam influenza. 2) Malaise Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan hilang timbul secara tidak teratur. III.7 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Ekstrapulmonal8 1) Pleuritis dengan Efusi Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M. tuberculosis. Setelah infeksi primer perifer, rongga pleura dapat terkontaminasi dengan organisme yang diangkut melalui aliran limfe ke pleura dan kemudian melintasi permukaan paru ke hilus. Efusi pleura terjadi, kadangkala massif, biasanya dengan nyeri pleura yang amat sangat. Efusi terjadi plaing sering unilateral, tetapi tidak selalu. Efusi bersifat eksudatif, dan gambaran cairan pleura yang paling khas adalah konsentrasi protein yang lebih dari 3,0 g/dL. Biopsi jarum pada pleura parietal dapat mengungkap adanya granuloma, yang menguatkan diagnosis pleuritis tuberkulosis.Respons terhadap kemoterapi baik. Pengeluaran seluruh cairan pleura tidak diperlukan. Pada kasus yang jarang diperlukan dekortikasi secara bedah. Fistula bronkopleura dan empiema tuberculosis merupakan penyulit yang sangat berbahaya pada tuberculosis yang tidak diobati akibat terjadinya ruptur lesi paru ke salam rongga pleura. Diagnosis biasanya tidak sukar, dan basil tahan asam biasanya dengan mudah tampak pada eksudat pleura. Pengobatan terdiri dari drainase secara bedah dan kemoterapi yang adekuat.

2) Peritonitis dan Perikarditis tuberculosis Pericardium dan peritoneum dapat menjadi tempat tuberkulosis. Perikarditis kadang terjadi bersama dengan pleuritis. Yang lebih sering, perikardium terinfeksi akibat drainase dari kelenjar limfe yang terinfeksi. Terjadilah efusi eksudatif, dan pasien datang dengan demam dan nyeri perikardial. Bisa didapati bising gesek (friction rub). Diagnosis perikarditis tuberkulosis sering sukar dan kadang-kadang memerlukan torakotomi untuk melakukan biopsi perikardial. Peritonitis tuberculosis disebabkan penyebaran secara hematogen pada peritoneum atau jalan masuk basilus dari sumber organ kemih kelamin atau limfatik abdomen. Diagnosisnya seringkali sukar. Mungkin diperlukan biopsi secara bedah untuk menegakkan diagnosis. 3) Tuberkulosis Meningeal Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis. Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol. Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi manifestasi utamanya. 4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis superficial menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala utama. Dengan cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang menyebabkan bronchitis tuberculosis. Batuk dan hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis dan bronchitis yang luas biasanya sangat infeksius. 5) Tuberkulosis Tulang Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang, biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis . Tuberculosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa. 6) Tuberkulosis Genitourinarius Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan

urin. Seiring dengan berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak diperlukan. Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organism lewat tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter. Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan asam. 7) Adenitis Tuberkulosis Scrofula merupakan limfadenitis tuberculosis kronik pada kelenjar limfe leher. Beberapa kelenjar leher munkin terkena tetapi tempat yang paling sering adalah segitiga anterior leher tepat dibawah mandibula. Pembesaran kelenjar tuberculosis biasanya kenyal dan tidak nyeri tekan. Dengan perkembangan penyakit pembesaran kelenjar ini menjadi lebih keras dan kasar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan biopsy secara bedah. Sumber gambar : Clinical Tuberculosis 4th edition by Peter DO Davies, Peter F Barnes, and Stephen B Gordon 8) Tuberkulosis pada AIDS Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan M. tuberculosis dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberculosis adalah 5 hingga 10 persen pertahun. Limfosit dan monosit, yaitu sel-sel pertahanan primer yang dikerahkan untuk infeksi tuberculosis, dihancurkan oleh HIV. Reaktivasi uji kulit tuberculin dapat tidak ada pada individu yang terinfeksi HIV yang masih sehat dan bebas gejala klinis AIDS, sekalipun begitu sebayak dua pertiga persen pasien yang terinfeksi HIV dengan tuberkulosis memiliki uji kulit tuberkulin positif. Jumlah limfosit T CD4 pada pasien tuberculosis seropositif-HIV yang khas berada dalam rentang 150-200 sel per milimeter kubik. Hampir separuh pasien AIDS dengan tuberculosis memiliki bentuk ekstrapulmonal, dengan limfadenitis tuberkulosa yang menonjol, biasanya di leher anterior. Hampir setengah pasien

ditemukan gambaran rontgen yang atipik, dengan infiltrate halus yang difus, infiltrate pneumonik, adenopati hilus, dan infiltrate perihilus, serta seringkali tampak efusi pleura. 9) Tuberkulosis Saluran Makanan Lambung sangat resisten terhadap infeksi tuberculosis. Hal yang jarang, yang biasanya terjadi bersama dengan penyakit paru yang berkavitas luas dan kecacatan berat, organism yang tertelan mencapai ileum terminalis, dan sekum sehingga timbul ileitis tuberkulosa. Diare kronik dan terbentuknya fistula merupakan manifestasi utama, dan penyakit ini sulit dibedakan dari penyakit Crohn. 10) Tuberkulosis Milier Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran hematogen yang luas. Cenderung lebih fulminan pada anak daripada orang dewasa. Yang klasik, tuberculosis milier timbul setelah penyebaran hematogen sewaktu infeksi primer, dan pasien datang tanpa adanya riwayat tuberculosis sebelumnya. Lesi timbul serempak diseluruh tubuh. Pasien menjadi sakit sebelum terdapat perubahan radiografik, yang memakan waktu 4 hingga 6 minggu untuk dapat dikenali. Temuan radiologic yang khas adalah nodul-nodul halus, tersebar secara uniformis, dan lembut pada kedua lapangan paru. Temuan ini sering dapat diketahui pertama kali pada foto toraks lateral, atau foto toraks posteroanterior yang penyinarannya dikurangi. Diagnosisnya sulit, dan sputum yang dibatukkan jarang mengandung organisme. 8 Pemeriksaan Fisik Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada asukultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess.

9 Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan Bakteriologi 1) Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan. Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refles batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). 8 Criteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. Kuman berbentuk batang yang ramping (diameter kurang dari 0,5 m), kadang melengkung, sering bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada specimen klinis sebagai pasangan atau kelompok beberapa organism yang terletak bersisian.10 Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah : a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa, b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus), c) Pemeriksaan dengan biakan (kultur), d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat. Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar ultraviolet walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai (auraminrhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik. Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan ini membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak, basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali. Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negative. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa. Sementara medium biakan agar adalah Middle Brook.

Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA. 2) Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari : a) Cairan serebrospinal sebaiknya dianalisis untuk mengetahui kadar proteindan glukosa (dibandingkan dengan total serumsimultan protein danglukosa).Jumlahsel darahputihjuga harus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi serumprotein), limfositosis, dan glukosayang rendah adalah khasmeningitistuberkulosis. b) Bilasan lambung sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sekitar 50 ml isi lambung harus diaspirasi pada pag hari, setelah pasien menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih baik jika pasien masih di tempat tidur. c) Cairanpleura, peritoneum, dan perikardialdapat dianalisis untuk mengetahui kadar proteindan glukosa (dibandingkan dengan total serumsimultan protein danglukosa). Sel dandiferensialjumlahharus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasiserum protein), limfositosis, danglukosa yang rendahbiasanya ditemukanpada infeksituberkulosis. d) Bilasanurinbiasanya menunjukkan hasilnegatif dan karenanya tidakefektif untuk dilakukan. B. Pemeriksaan Radiologi Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum selalu negatif. Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior. Gambaran yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah : 1) Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta segmen superior lobus bawah paru ditemukan berupa bercak-bercak seperti awan / nodular2 , 2) Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal, 3) Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru ,

4) Efusi pleura unilateral atau bilateral. Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah : 1) Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis, 2) Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan densitas tinggi, 3) Schwarte atau penebalan pleura. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah bayangan hitam radio-ulsen di pinggir paru atau pleura (pneumotoraks) dan atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. C. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux) Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). (3) Teknik standar tes Mantoux adalah dengan menyuntikkan tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U. tuberkulin secara intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dipegang dengan permukaan miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritem yang bernilai. Hasil tes mantoux ini dibagi dalam : 1) Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif 2) Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan 3) Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif 4) Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat 5) Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous 5 mm, dinilai positif. Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak dijumpai daripada positif palsu.

BAB III PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.7 1 Aktivitas Obat11 Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni : Aktivitas bakterisid Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif).Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan) Aktivitas sterilisasi Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.

2 Obat Anti Tuberkulosis Obat yang dipakai : 1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunaka adalah : INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin. 2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) Kamaisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon, Etionamid, Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin, Amikasin, Norfloksasin, Levofloksasin, Klofazimin.

Tabel 1. Jenis dan dosis OAT Berat Badan < 40 40-60 >60 Dosis Obat (mg) Rifampisin (R) 300 450 600 INH (H) 150 300 450 Pirazinamid (Z) 750 1000 1500 Etambutol (E) 750 1000 1500 Streptomisin (S) Sesuai BB 750 1000

Tabel 2. Dosis OAT KDT Tahap Intensif Berat Badan tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 30-37 38-54 55-70 >71 2 tablet 3 tablet 4 tablet 5 tablet Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 3 tablet 4 tablet 5 tablet

Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien. d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.

3 Paduan obat Anti Tuberkulosis Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi : 1) Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru). Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3atau 2RHZE/6HE Pengobatan fase inisial resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama dua bulan. Kemudian

diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE, maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan setiap hari atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan. Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi. 2) Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto toraks lesi minimal. Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3 atau 6RHE 3) Pasien TB paru kasus kambuh. Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan. 4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan. Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE. Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan. 5) Pasien TB kasus putus obat. Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB : 2RHZES/1RHZE/5R3H3E3. Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria berikut : a) Berobat < 4 bulan Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif, TB aktif pengobatan diteruskan.

b) Berobat 4 bulan Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. 6) Pasien TB paru kasus kronik.

c) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dan lain-lain. Pengobatan minimal selama 18 bulan. d) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup e) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. f) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.

Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi : 1) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: a) Pasien baru TB paru BTA positif. b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c) Pasien TB ekstra paru 2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: a) Pasien kambuh b) Pasien gagal c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 Tahap Intensif Berat Badan tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari 30-37 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj. 38-54 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj 55-70 4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. >71 5 tab 4KDT + 1000mg Streptomisin inj. 5 tab 4KDT 4 tab 4KDT 3 tab 4KDT Selama 28 hari 2 tab 4KDT Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400) selama 20 minggu 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

1) Efek samping obat dan penatalaksanaannya Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala. Tabel 4. Efek samping ringan OAT Efek Samping Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri Sendi Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni (urine) Rifampisin Pirasinamid INH Penyebab Rifampisin Penatalaksanaan Semua OAT diminum malam sebelum tidur Beri Aspirin Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per hari Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 5. Efek samping berat OAT

Efek Samping Gatal dan kemerahan kulit

Penyebab Semua jenis OAT

Penatalaksanaan Ikuti petunjuk penatalaksanaan dibawah *).

Tuli

Streptomisin

Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol.

Gangguan keseimbangan . Ikterus tanpa penyebab lain

Streptomisin

Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang.

Bingung dan muntah-muntah (permulaan ikterus karena obat)

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati.

Gangguan penglihatan Purpura dan renjatan (syok)

Etambutol Rifampisin

Hentikan Etambutol. Hentikan Rifampisin.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit: Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. (1)

4 Directly Obeserved Treatment Short Course (DOTS) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulagan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS yang juga telah dianut oleh negara kita. Karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan bak. DOTS memiliki lima komponen, yaitu : 1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional, 2) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Obsered Therapy), 3) Pengadaan OAT secara berkesinambungan, 4) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar.

Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam startegi stop TB yang direkomendasi oleh WHO : 1) Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu. 2) Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, Multi Drug Resistance (MDR)-TB, dengan aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan. 3) Konstribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum. 4) Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non pemerintah dengan pendekatan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standarts of TB care.

5) Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif. 6) Memunkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik, dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program.

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang pengawasan menelan obat (PMO) dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang DOT.

Persyaratan untuk menjadi seorang PMO : 1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. 2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela. 4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO adalah : 1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. 2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. 3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. 4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. 5) Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (UPK). Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: 1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan 2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur 3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya 4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) 5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

4 Pengobatan tuberculosis pada keadaan khusus 1) Kehamilan dan menyusui Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan Pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Tidak ada indikasi penguguran pada pasien TB dengan kehamilan. Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

2) Pasien TB pengguna kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).

3) Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

4) Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan (rekomendasi WHO) adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

5) Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula darah tdak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.

7) Pasien TB Milier Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40 mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.

8) Pasien Efusi Pleura TB

Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.

9) Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: a) Untuk TB paru: a. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. b. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. c. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir b) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

10) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal). Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

11) Tuberculosis pada organ lain Paduan OAT untuk pengobatan tuberculosis di berbagai organ tubuh sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya lama pengobatan untuk TB tulang, TB sendi, dan TB kelenjar adalah 9-12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2HRZE/7-10RH

5 Pemantauan kemajuan pengobatan TB 1) Evaluasi bakteriologi

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu specimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis dilakukan saat sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan.Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 6. Tindakan lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak. Tipe Pasien TB Pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1 Sebulan sebelum Akhir Pengobatan atau Akhir Pengobatan (AP) Negatif keduanya Positif Gagal, ganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Pasien baru BTA (-) & R (+) dengan pengobatan kategori 1 Penderita baru BTA positif dengan pengobatan ulang Positif Akhir intensif Negatif Positif Akhir intensif Negatif Berikan pengobatan tahap lanjutan sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap. Ganti dengan Kategori 2 mulai dari awal. Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan. Beri Sisipan* 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika ada fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan Akhir tahap Intensif Negatif Positif Tahap lanjutan dimulai. Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan Sembuh. Uraian Hasil BTA Tindak Lanjut

kategori 2 Sebulan sebelum Akhir Pengobatan atau Akhir Pengobatan (AP) Negatif keduanya Positif

obat. Sembuh.

Belum ada pengobatan, disebut kasus kronik, jika mungkin, rujuk kepada unit pelayanan spesialistik

Tabel 7. Dosis KDT untuk sisipan Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30 37 kg 38 54 kg 55 70 kg 71 kg 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

2) Evaluasi radiologis Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran menyatakan evaluasi radiologis ini sebenarnya kurang begitu berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto control dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang, dengan pemeriksaan radiologis dapat keadaan tuberculosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan tiap 3 bulan sekali.

3) Evaluasi efek sampi secara klinis. a) Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan darah lengkap. Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit peyerta atau efek samping pengobatan. b) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. c) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan) d) Pasien yang mendapat streptomisin harus diuji keseimbangan dan audiometric (bila ada keluhan)

Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penangan efek samping obat sesuai pedoman.

4) Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

6 Kriteria sembuh dari TB 1) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat. 2) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan. 3) Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan negatif.

KESIMPULAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium tuberkulosa.Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Tuberculosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. TB Ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening ( termasuk mediastinum dan / atau hilus ), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak. Penularan tuberculosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan menjadi droplet nuclei (partikel berdiameter 1-5m yang mengandung M. tuberculosis) dalam udara sekitar kita.9 Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.7

DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta : revisi pertama,juli 2011. 2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4. 3. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis. Surabaya, Des. 1982 : 11-20. 4. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC. 5. Sherwood L. Sistem Pernapasan, dalam: Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Ed.2. Jakarta EGC. 6. Evelyn C. Pearce. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedis. Jakarta. PTGRAMEDIA. 7. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis ed 2. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. 8. Aru W, Bambang S, Idrus A et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam vol.2 ed.4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. 9. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161. 2000; p:13761395. 10. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam vol.2 ed.13.Jakarta : EGC, 1999. 11. Asril Bahar. 2003. Tuberkulosis Paru in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi ketiga. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

You might also like