You are on page 1of 20

APENDISITIS

DEFINISI
Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dindingnya. Inflamasi pada kuadran kanan bawah yang dihubungkan dengan adanya obstruksi pada sekitar 50-80% kasus, pada umumnya obstruksi ini diakibatkan karena adanya fecalith atau bisa juga akibat adanya batu empedu ataupun tumor (tetapi hal ini jarang sekali).4,5 Fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh).2

ETIOLOGI
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh adanya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Pada anak-anak & dewasa muda, obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan lymphoid hyperplasia dari submucosal follicle, yang jumlahnya sangat banyak. Sedangkan pada orang dewasa, penyebab obstruksi lumen ialah karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit). Penyebab lainnya dari obstruksi lumen ini adalah penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. Fekalit terbentuk dari feses (tinja) yang terperangkap di dalam saluran apendiks. Selain fekalit, yang dapat menyebabkan terjadinya sumbatan adalah cacing atau benda asing yang tertelan. Beberapa penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat terhadap timbulnya apendisitis. Kebiasaan makan makanan rendah serat dapat mengakibatkan kesulitan dalam buang air besar, sehingga akan meningkatkan tekanan di dalam rongga usus yang pada akhirnya akan menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.3-5

Etiologi Appendisitis: 1. Diet & higiene 2. Obstruksi kebiasaan makan makanan rendah serat fekalit (dewasa)

Tabel 1. Etiologi Appendisitis

EPIDEMIOLOGI
Apendisitis paling sering ditemukan pada usia 20 sampai 40 tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada usia yang sangat muda atau orang tua, dikarenakan bentuk anatomis apendiks yang berbeda pada usia tersebut. Sekitar 7 % orang-orang di negara Barat mengalami apendisitis pada suatu waktu ketika mereka hidup dan sekitar 250.000 apendiktomi pada akut apendisitis dilakukan untuk tiap-tiap tahun di Amerika. Insidensinya telah menurun secara stabil selama kurun waktu 25 tahun terakhir, hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pegunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Namun insidensi di negara-negara berkembang yang pada kurun waktu sebelumnya sangat sedikit angka insidensinya tapi sekarang sudah mulai naik sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perubahan gaya hidup manusianya. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi meningkat pada anak-anak 6-10 tahun dan mencapai puncak tertinggi pada kelompok umur 20 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan inta

sekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apensitis akut. Pada bayi apendik berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens, gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendistis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren. Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoapendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka apendik tidak terbungkus oleh tunika serosa. Mukosa apendik terdiri atas sel-sel dari gastrointestinal endokrin system. Sekresi dari mukosa ini adalah serotonin dan terkenal dengan nama sel argentaffin. Tumor ganas paling sering muncul pada apendik dan tumbuh dari sel ini.3-6

KLASIFIKASI
Appendisitis terbagi menjadi 2, yaitu 3-6: 1. Appendisitis akut

2. Appendicitis kronis PATOFISIOLOGI 3-6

a. Peranan Lingkungan: Diet dan Higiene Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis. Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras.

b. Peranan Obstruksi Terdapat lima stage apendisitis akut yang disebabkan oleh adanya obstruksi lumen. Early stage of appendicitis: Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%. Apendistis di mulai dari obstruksi lumen oleh sumbatan feses atau fekalit. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan. Selain fekalit, penyebab obstruksi lumen lainnya ialah hiperplasia limfoid. Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks

karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi. Apendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus makin banyak, ia terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks yang menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri (perpindahan bakteri dari lumen usus masuk ke dalam submukosa), dan ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks. Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Suppurative appendicitis: Dengan adanya bakteri dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan

supurativa yang menghasilkan pus (disebut juga acute suppurative appendicitis). Peradangan ini secara cepat meluas melalui submukosa menembus tunika muskularis dan tunika serosa. Ketika lapisan serosa yang terinflamasi menyentuh peritoneum parietal, maka pasien akan merasakan nyeri yang berpindah dari periumbilicus ke abdomen kuadran kanan bawah, yang nyerinya semakin parah dibandingkan dengan nyeri pada awalnya.

Gangrenous appendicitis: Keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan

tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri. Akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Pada akhirnya, end arteri yang menyuplai apendiks akan terjadi trombosis dan apendiks yang tersumbat itu dapat menjadi nekrosis atau gangrenosa.

Perforated appendicitis: Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi,

sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietal. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

Phlegmonous appendicitis or abscess: Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan

dinding apendik dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Jika perforasi terbungkus oleh omentum atau perlengketan usus halus maka dapat muncul abses lokal (disebut juga phlegmonous appendicitis or focal abscess). Jika tidak tertutup maka akan terjadi peritonitis yang menyebar keseluruh cavum peritoneum. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk

jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.

MORFOLOGI PA1,6
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis apendisitis akut. Gambaran histopatologi berdasarkan stage: 1. Early acute appendicitis Terdapat neutrohil di mukosa, submukosa, dan muscularis propria pada apendiks Terdapat perivascular neutrophilic infiltrate Terjadi reaksi inflmasi yang mengubah lapisan serosa yang tadinya normal menjadi dull, granular, dan red membrane 2. Acute suppurative appendicitis Ketika proses inflamasi semakin memburuk, terdapat pembentukan abses dengan ulserasi dan nekrosis supuratif dalam mukosa 3. Acute gangrenous appendicitis Area ulserasi mukosa menjadi besar Terdapat green-black gangrenous necrosis di dinding appendiks yang memanjang sampai lapisan serosa diikuti ruptur dan suppurative peritonitis.

MANIFESTASI KLINIS 3-6


1. Nyeri abdomen Gejala utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam akan dirasakan berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks). Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar. 2. Mual, muntah, anoreksia

Anoreksia (penurunan nafsu makan) biasanya selalu menyertai apendisitis. Mual dan muntah dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali. 3. Demam ringan dan terasa sangat lelah Demam juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih dari 1oC (37,8 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis). 4. Diare atau konstipasi (pada pasien ini tidak mengalami gangguan bowel habit) Peradangan pada apendiks dapat merangsang peningkatan peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan peristaltik. Selain itu, apendisitis dapat juga terjadi karena adanya feses yang keras ( fekolit ). Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi. 5. Frekuensi kencing meningkat (pada pasien ini tidak mengalami gangguan mikturasi) Rasa sakit semakin meningkat, sehingga pada saat berjalan pun penderita akan merasakan sakit yang mengakibatkan badan akan mengambil sikap membungkuk pada saat berjalan. Nyeri yang dirasakan tergantung juga pada letak apendiks, apakah di rongga panggul atau menempel di kandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi meningkat. Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut: a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam b. Demam tinggi lebih dari 38,50C c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000) d. Dehidrasi dan asidosis e. Distensi f. Menghilangnya bising usus g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah h. Rebound tenderness sign i. Rovsing sign j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus sering disebut sebagai massa periapendikuler atau infiltrat. Pada pasien ini tidak terdapat tanda dan gejala dari perforasi.

Pemeriksaan & Diagnosis


1. Anamnesis a. Nyeri abdomen Gejala utama pasien ini adalah nyeri abdomen. Nyeri abdomen ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal. Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya lalu menjalar ke Mc.Burney dan akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.

b. Mual, muntah, dan anoreksia Pasien mengalami mual dan muntah sebanyak 2 kali dalam satu minggu. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria

c. Panas Pasien sempat merasa panas badan. Gejala lain appendisitis adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50-38,50 C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

2. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi Pasien berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit. Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada inspeksi biasa ditemukan distensi perut.

b. Palpasi Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Pada pasien ini di dapat hasil: Nyeri tekan / tenderness (+) Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis Nyeri lepas / rebound tenderness (+) Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney. Rovsing sign (+) Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan. Psoas sign (+)

Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara memeriksa : 1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae kanan lalu terjadi nyeri perut kanan bawah. 2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, nyeri perut kanan bawah Obturator sign (+) Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium c. Perkusi Ditemukan bunyi timpani. Tidak terdapat pekak pindah dan pekak samping. d. Auskultasi Terdapat bowel sound yang menurun. Jika tidak ada bowel sound maka kemungkinan pasien sudah mengalami peritonitis.

DIAGNOSIS APPENDISITIS
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10.

ALVARADO SCALE PADA PENEGAKAN DIAGNOSIS APPENDICITIS


Manifestation Symptoms Migration of pain Anorexia Nausea/vomit Sign RLQ tenderness Rebound Elevated temperature Laboratory Leucocytosis Left shift Value 1 1 1 2 1 1 2 1 Total point 10 Pasien dengan score: 9-10 7-8 5-6 0-4 : Pasien didiagnosis appendicitis, dianjurkan untuk operasi : Pasien kecenderungan tinggi untuk terdiagnosis appendicitis, perlu imaging : Pasien memungkinkan, tetapi bukan terdiagnosis appendicitis, perlu CT scan : Pasien tidak didiagnosis appendicitis

Selain itu, ada juga yang menyebutkan klasifikasi lain: <4 4-7 >7 : apendisitis kronik : ragu-ragu : apendisitis akut

Berdasarkan penilaian Alvarado, pasien ini terdapat nyeri berpindah, anoreksia, mual dan muntah, nyeri perut kanan bawah, nyeri lepas, dan peningkatan suhu tubuh, dengan nilai 7. Hasil ini menandakan bahwa pasien memiliki kecenderungan tinggi untuk terdiagnosis appendicitis, dan diperlukan gambaran radiologi.

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Pada pasien ini terdapat leukositosis. Sekitar 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara

12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3

2. Radioloic examination Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus. Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut.

3. Ultrasonography Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat

mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi. Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel

4. CT Scan Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini.

Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 100% dan 96 97%, serta akurasi 94 100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon

Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Gastroenteritis akut adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-pindah. Hiperperistaltik merupakan gejala yang khas. Adenitis mesenterikum juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan apendisitis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak, biasanya didahului infeksi saluran nafas. Lokasi nyeri diperut kanan tidak konstan dan menetap, jarang terjadi true muscle guarding (De Jong, 2004). Divertikulitis meckeli juga menunjukkan gejala yang hampir sama. Lokasi nyeri mungkin lebih ke medial, tetapi ini bukan kriteria diagnosis yang dapat dipercaya. Karena kedua kelainan ini membutuhkan tindakan operasi, maka perbedaannya bukanlah hal penting. Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, pada perempuan adalah (PID / pelvic inflamantory disease) salpingitis akut, kehamilan ektopik terganggu, dan kista ovarium terpuntir juga sering dikacaukan dengan apendisitis. Peneumonia lobus kanan bawah kadang-kadang juga behubungan dengan nyeri di kuadran kanan bawah (Santacroce, 2005)

Penatalaksanaan
Prinsip terapi: 1. Siapkan ruangan operasi dan tenaga medis yang memadai dengan segera. 2. Berikan hidrasi yang adekuat.

3. Perbaiki abnormalitas-abnormalitas lain ketidakseimbangan elektrolit dan kondisi-kondisi penyakit jantung, paru-paru, dan ginjal jika ada. 4. Berikan pre operatif antibiotik untuk mencegah komplikasi appendisitis. Preoperatif antibiotik ini diberikan sebagai berikut: a. Single agent therapy seperti: i. Cefoxitin. Antibiotika ini berfungsi dengan cara mengganggu sintesis dinding sel bakteri. Spektrum aktivitasnya mencakup bacteria gram positif dan negatif yang luas serta mencakup bakteri-bakteri anaerob. Cefoxitin juga efektif untuk Pseudomonas aeruginosa dan enterococci serta Enterobacter cloacae. ii. Cefotetan. Merupakan injectable antibiotic dari tipe cephamycin yang berguna untuk profilaksis dan treatment dari infeksi bakteri. Cefotetan mempunyai spektrum antibiotik yang sama dengan cefoxitin tetapi tidak mencakup bakteri-bakteri anaerob. iii. Carbapenem. Antibiotik ini termasuk kelas beta-lactam dengan aktivitas antibakteri yang luas. b. Combination therapy seperti: i. 3rd generation cephalosporin, seperti: 1. Monobactam 2. Aminoglycoside ii. Metronidazole. Merupakan nitroimidazole anti-infecive medication yang digunakan untuk treatment infeksi anaerobic bacteria dan protozoa. Metronidazole merupakan prodrug yang diubah di dalam anerobic organism dengan bantuan enzim redox pyruvate-ferredoxin

oxidoreductase. Gugus nitro dari metronidazole secara kimiawi direduksi oleh ferredoxin dan akan mengganggu DNA helical structure yang akan menginhibisi struktur asam nukleat. 5. Appendectomy

Appendectomy
Indikasinya untuk menangani appendisitis

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi : 1. Cutis 2. Sub cutis 3. Fascia Scarfa 4. Fascia Camfer 5. Aponeurosis MOE 6. MOI 7. M. Transversus 8. Fascia transversalis 9. Pre Peritoneum 10. Peritoneum

Indikasi 1. Appendisitis Akut 2. Appendisitis kronis 3. Peri appendicular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid) 4. Appendiks terbawa pada laparatomi operasi kandung empedu 5. Appendisitis perforata

Open appendectomy o Merupakan standar management untuk appendisitis o Dengan cara membuat insisi kecil pada right lower quadrant. o Sebelum dilakukan anasthesi umum tentukan dulu titik paling sakit. o Insisi pada Mcburney scara oblique atau pada rocky davis secara transverse

Berikut adalah gambar dari jaringan appendicitis yang telah diangkat dari tubuh pasien.

REFERENCE
1. Junquiera L.C., Carneiro J.,O Kelly R. Basic Histology, Appleton & Lange, 2005 2. Guyton AC. Hall E John, Textbook of Medical Physiology 10th ed. Saunders, 2000 3. Robbins, Cotran, Kumar & Colin. Pathology Basic of Disease 4. De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 639-48 5. Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku Media Aesculapius. Jakarta. Hal 307-13 6. Marijata. 2006. Pengantar Dasar Bedah Klinis. Unit Pelayanan Kampus. FK UGM. Jogjakarta hal :273-81

You might also like