You are on page 1of 14

HIDRADENITIS SUPPURATIVA

Oleh: Aryuningtyas J.P Pembimbing : dr. Fitriani, SpKK Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNSRI/RSMH PALEMBANG 2011

A. PENDAHULUAN Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kronis yang berasal dari kelenjar apokrin, yang dapat menjadi kronis dan cenderung menimbulkan sikatriks.1 Penyakit ini secara klinis ditandai dengan pembentukan nodul bulat dan abses dengan jaringan parut hipertrofik dan supurasi yang rekuren, menyakitkan dan dalam yang terjadi terutama pada area lipatan-lipatan kulit yang memiliki ujung rambut dan kelenjar apokrin. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dengan ekstensi subkutan yang mengarah pada pembentukan jaringan parut hipertrofi, sinus, dan fistula.2,3 Daerah axillae, inguinal, dan perineal merupakan daerah yang sering terkena, sementara bokong dan submamary jarang terkena. Penyakit ini biasanya terjadi setelah pubertas dan empat kali lebih banyak menyerang wanita daripada pria serta lebih sering terjadi pada orang yang obesitas.2,3 Prevalensi dan insidensi HS di US masih belum diketahui dengan pasti. Namun, sebuah studi di Denmark menyatakan bahwa prevalensi hidradenitis suppurativa di dunia adalah 4%. Penyakit ini hanya menimbulkan kesakitan namun tidak berakibat fatal, kecuali jika berkembang menjadi infeksi sistemik yang luas pada pasien immunocompromised. Ada peningkatan insidensi pada ras rambut keriting. Perbandingan insidensi penyakit ini pada wanita dan pria adalah sekitar 4:1 sampai 5:1. HS tidak terjadi sebelum pubertas karena kelenjar apokrin belum aktif hingga dipicu oleh hormon sex.4

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Etiologi HS masih belum diketahui pasti. Studi histologik pada HS memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur epitel folikel dan pelepasan keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan dermis menyebabkan terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin. Terjadinya reaksi inflamasi pada kelenjar apokrin yang dipicu oleh oklusi tersebut menyebabkan ruptur pada kulit, fibrosis, dan pembentukan sinus. Infeksi sekunder oleh bakteri S. Aureus, Streptococcus pyogenes, dan berbagai bakteri gram negatif lain dapat terjadi.2,5 Suatu studi analisis multivariat menunjukkan hubungan yang kuat dengan merokok (OR=12.9; 95% CI 8.6-18.4) dan indeks massa tubuh (OR=1.1; 95% CI 1.1-1.2) untuk tiap peningkatan 1 indeks massa tubuh.6 Beberapa faktor risiko terjadinya HS antara lain:5 Faktor genetik Adanya riwayat keluarga supurativa diperoleh pada yang menderita penyakit hidradenitis 26% pasien. Beberapa studi tidak

menunjukkan adanya hubungan dengan HLA. Namun beberapa studi lainnya menunjukkan adanya penurunan autosomal dominan dengan single gene transmission. Namun, lokus genetik yang terkait tidak ditemukan. Hormonal Kecenderungan terjadinya hidradenitis suppurativa ketika pubertas atau setelah pubertas menunjukkan adanya pengaruh androgen. Selain itu, adanya peningkatan kejadian yang dilaporkan pada pasien postpartum yang berhubungan dengan penggunaan pil kontrasepsi oral dan pada periode premenstrual (sekitar 50% pasien). Terapi antiandrogen juga memperlihatkan keuntungan terapetik pada beberapa studi. Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat ditemukan pada 66 wanita dengan hidradenitis suppurativa. Selain itu, tidak seperti kelenjar sebacea, kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh

androgen. Karenanya, pengaruh androgen terhadap kejadian hidradenitis suppurativa masih belum jelas. Obesitas Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis suppurativa namun sering dianggap sebagai faktor yang memperberat melalui peningkatan gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi. Obesitas juga memperberat penyakit ini dengan meningkatkan androgen. Penurunan berat badan dianjurkan bagi pasien dengan berat badan berlebih dan dapat membantu mengontrol penyakit. Infeksi bateri Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis suppurativa masih belum jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama dengan peranan bakteri pada terjadinya jerawat. Obat antibakteri biasa digunakan sebagai terapi. Keterlibatan bakteri terjadi secara sekunder. Kultur biasanya menunjukkan hasil yang negatif, namun sejumah bakteri dapat ditemukan dari lesi. Staphylococcus aureus dan coagulase-negative-staphylococcus adalah yang peling sering diisolasi. Namun, bakteri lain termasuk Streptococcus, basil gram negaif, dan anaerob, juga dapat ditemukan. Merokok Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis suppurativa dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi kohort menunjukkan bahwa 70% dari 43 pasien dengan hidradenitis suppurativa perineal adalah perokok. Diperkirakan bahwa merokok dapat mempengaruhi kemotaxis sel polymorphonuclear. Penghentian merokok dapat

memperbaiki manifestasi klinis penyakit ini.

C. PATOGENESIS Regio axilla dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering terkena HS, regio lain yang juga biasa terkena HS adalah areola mammae, regio submamary, periumbilicalis, scalp, fasialis, meatus ekternal auditori, leher dan punggung.7

Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang dari dermis ke jaringan subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas komponen sekretori yang dalam dan melingkar yang mengalir melalui duktus eksketorius yang lurus dan panjang, biasanya menuju folikel rambut. Sekresi dari kelenjar ini berbau.7 Walaupun penyebab yang jelas dari HS masih belum diketahui dengan jelas, telah disepakati secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin, yang menyebabkan dilatasi duktus dan stasis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem apokrin melalui folikel rambut dan terperangkap di bawah sumbatan keratin yang kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang mengandung banyak nutrisi dari keringat apokrin. Kelenjar dapat ruptur, sehingga menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar dan area sekitarnya. Infeksi Strptococcus, Staphylococcus, dan organisme lain menyebabkan inflamasi lokal yang lebih luas, destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses penyembuhan yang kronis menimbulkan fibrosis luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit di atasnya.7 (gambar 1)

Pada hidradenitis yang melibatkan regio perineal, ada peningkatan insiden infeksi oleh Streptosossus milleri, yang berhubungan dengan aktivitas penyakit. Organisme lain yang juga dapat diidentifikasi ketika penyakit ini menyerang daerah ini adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob dan Bacteroides.7

Gambar 1. Patogenesis Hidradenitis suppurativa7

D. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis hidradenitis suppurativa yang paling sering adalah lesi nodular, nyeri, lunak, dan tegas di ketiak. Keluhan yang sering dikatakan oleh penderita adalah gatal dan nyeri. Mula-mula gatal, lalu timbul nodus merah dan nyeri. Dapat lebih dari satu kelenjar sehingga tampak berbenjolbenjol dan saling bertumpuk tidak teratur. Kemudian terjadi pelunakan yang tidak serentak, disebut abses multipel. Jika abses pecah keluar sekret tanpa mata. Karena perlunakan tidak serentak dan kelenjar yang bertumpuk-tumpuk, sekret yang keluar sedikit-sedikit menimbulkan sinus dan fistel.4 Hidradenitis suppurativa biasanya diawali dengan nodul dalam (ukuran 0,5-2 cm) (gambar 2). Pustul juga dapat terlihat. (gambar 3). Nodul ini dapat sembuh secara lambat atau justru berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga menghasilkan abses inflamasi nyeri yang besar. Abses ini bulat tanpa nekrosis sentral dan dapat sembuh atau fuptur spontan, menghasilkan discharge purulen (gambar 4).5,7

Gambar 2. Bisul besar pada area genitalia wanita yang menderita hidradenitis suppurativa5

Gambar 3. Pustul dan papul inflamasi yang terdapat pada area yang terkena hidradenitis suppurativa pada pasien laki-laki5

Gambar 4. Abses yang ruptur mengeluarkan material purulen pada individu yang menderita hidradenitis suppurativa5 Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena inflamasi periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan. Proses penyembuhan dapat menghasilkan sikatrik dengan fibrosis (gambar 5), kontraktur dan peninggian kulit rope-like, dan double-ended comedones (gambar 6). Sinus juga dapat terbentuk (gambar 7). Sinus telah dilaporkan melibatkan jaringan dalam, termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses kemudian terjadi kembali pada area sekitarnya atau pada area lain yang mengandung kelenjar apokrin.5,7

Gambar 5. Sikatriks dengan fibrosis5

Gambar 6. Double ended comedone5

Gambar 7. Pembentukan sinus pada daerah vulva seorang wanita yang menderita hidradenitis suppurativa5 Perinanal hidradenitis suppurativa dapat disertai nyeri, edema, discharge purulen, pruritus atau perdarahan dan dapat menyerupai penyakit lain seperti furunculosis, fistula ani, penyakit pilonidal, abses perianal atau penyakit Crohn. Fistula pada canalis analis dapat terjadi pada hidradenitis, namun hanya akan terjadi pada bagian terbawah canalis analis, pada kulit yang mengandung kelenjar apokrin.5

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk hidradenitis

suppurativa. Kultur dari eksudat yang diambil dapat menumbuhkan berbagai bakteri saprofit dan patogen seperti staphylococcus dan streptococcus. Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan lesi HS akut dapat memperlihatkan peningkatan laju endap darah atau C-reactive protein. Bila pasien tampak toksik atau demam, pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, kultur eksudat, dan kimia rutin perlu dilakukan.4,5

F. DIAGNOSIS BANDING Adanya papul, nodul, atau abses nyeri pada lipat paha dan axilla dapat didiagnosis banding sebagai: furunkel, karbunkel, limfadenitis, cat-scratch disease, limfogranuloma venerum, scrofuloderma. Adanya sinus dan fistula dapat didiagnosis banding dengan colitis ulserativa dan enteritis regional.4,8

G. DIAGNOSIS Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis dan telah memenuhi kriteria yang diadopsi oleh 2nd International Conference on Hidradenitis suppurativa. Kriteria hidradenitis supurativa tersebut antara lain:6 1. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: blind boils pada lesi awal; abses, sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo-comedones pada lesi sekunder. 2. Topografi tipikal seperti axillae, paha dan regio perianal, bokong, lipatan infra dan inter mamary 3. Kronik dan rekuren Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk masing-masing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem sederhana namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara global. Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya mempertimbangkan sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan lesi secara individual.

Klasifikasi Hurley:9 Tingkat I Karakteristik Abses soliter atau multipel tanpa sikatriks atau sinus. (sejumlah sisi minor dengan inflamasi yang jarang; mungkin keliru untuk jerawat) Abses rekuren, lesi soliter atau multipel yang terpisah jauh, dengan sinus (inflamasi yang membatasi pergerakan dan mungkin membutuhkan bedah minor seperti insisi dan drainase) Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas dengan sinus dan abses yang saling berhubungan. (inflamasi berukuran sebesar bola golf atau terkadang sebesar bola baseball; timbul sikatriks, termasuk infeksi subkutan. Pasien pada tingkat ini mungking tidak dapat berfungsi)

II

III

B A
Gambar 8. (A) dan (B) Tingkat I klasifikasi Hurley

A B
Gambar 9. (A) dan (B) Tingkat II klasifikasi Hurley

10

Gambar 10. (A), (B), dan (C). Tingkat III klasifikasi Hurley

Sistem klasifikasi Hurley dinilai tidak dinamis dalam menjelaskan hasil terapi. Sartorius Score yang menghitung skor keterlibatan regio, nodul, dan sinus, kemudian dijadikan panduan untuk menilai keparahan penyakit.

Gambar 8. Sartorius Score9

H. PENATALAKSANAAN Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan antibiotik sistemik hanyalah merupakan bagian dari program

penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan glukokortikoid intralesi, pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.8

11

Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan lesi primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti sikatriks atau pembentukan sinus. Lesi yang timbul paling awal sering kali sembuh dengan cepat dengan pemberian terpai steroid intralesi, dan sebaiknya dicoba untuk memulai kombinasi dengan cleocin topikal atau tetracycline atau minocycline oral.2,5 Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat digunakan triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamcinolone (35 mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Antibiotik oral yang dapat digunakan adalah erythromycin (250-500 mg qid), tetracycline (250-500 mg qid), atau minocycline (100 mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh, atau kombinasi klindamisin 2 x 300 mg bid dengan rifampin (300 mg 2 kali perhari) selama beberapa minggu. Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dosisnya 70 mg perhari selama 2-3 hari, diturunkan (tappered) selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis namun bermanfaat pada awal penyakit untuk mencegah sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi.8 Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri dan pemberian clindamycin topikal penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan dengan menggunakan pakaian longgar dan penurunan berat badan bila diperlukan, dan mencegah timbulnya keringat berlebih dengan menggunakan aluminium klorida topikal. 2,5 Pada kondisi adanya draining sinus, kultur dari pus mungkin akan menunjukkan S. Aureus atau organisme gram negatif. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada sensitivitas kultur organisme. Isotretinoin efektif pada beberapa kasus. Pada suatu studi diberikan isoretinoin dengan dosis 0,56 mg/kg selama 4 sampai 6 bulan. 2,5 Pembedahan yang dilakukan pada semua jaringan yang terlibat adalah modalitas pengobatan. Rekurensi postoperatif dapat terjadi. Pembedahan yang dilakukan dapat berupa insisi dan drainase abses akut, eksisi nodul fibrotik atau sinus. Pada penyakit yang luas dan kronis, dibutuhkan eksisi komplit

12

pada axilla atau area yang terlibat. Eksisi mungkin mendalam hingga lapisan fascia sehingga dibutuhkan skin grafting untuk penutupannya. Beberapa peneliti menyarankan penggunaan laser CO2 untuk ablasi jaringan. Penutupan primer, grafting, atau flaps telah digunakan secara luas, namun mungin berhubungan dengan hasil yang tidak begitu baik.5,8 Radioterapi. Beberapa peneliti melaporkan kesuksesan radioterapi dalam pengobatan HS. Lebih sering diberikan pada populasi pasien muda. Efek samping jangka panjang perlu diperhatikan. 5

I. PROGNOSIS Keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya mengalami gejala ringan yang rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak berobat. Penyakit ini biasanya mengalami remisi spontan pada usia > 35 tahun. Pada beberapa individu, gejalanya dapat menjadi progresif, dengan morbiditas nyata terkait pada penyakit kronis, pembentukan sinus, dan sikatriks yang menimbulkan keterbatasan gerak.8

J. KOMPLIKASI Komplikasi sistemik yang dapat terjadi antara lain disebabkan oleh infeksi lokal yang dapat menimbulkan septikemia. Anemia atau leukositosis dapat terjadi namun tidak signifikan. Komplikasi lokal dapat berupa sikatriks yang membatasi mobilitas. Inflamasi genitofemoral dapat mengakibatkan striktur anus, uretra, atau rektum. Fistula uretra juga dapat terjadi. Selain itu, dapat juga terjadi kecacatan persisten pada penis dan skrotum, atau limfedema vulva yang menyebabkan kerusakan fungsi yang signifikan. Limfedema ini diduga terjadi karena fibrosis dan obstruksi saluran limfe. Squamous cell carcinoma (SCC) dapat terjadi pada area yang mengalami inflamasi dan sikatriks kronis. SCC dilaporkan terjadi pada 3,2% pasien dengan perianal HS yang terjadi selama 20-30 tahun. SCC sering terjadi pada pria di regio anogenital.4,5,8

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Burns T, Breathnach S, et al. [editor]. Rooks Textbook of Dermatology 7th edition. Blackwell Science. 2004. 2. James WD, Berger TG, and Elston DM. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology, 10th edition. Philadelphia: saunders Elsevier. 2006. 3. Revuz J. Hidradenitis suppurativa. Orphanet Encyclopedia. March 2004. Available from URL: http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-hidradenitissuppurativa.pdf. Accesed on May 22nd, 2011. 4. Fite D. Hidradenitis Suppurativa in Emergency Medicine. May 2010. Emedicine. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/762444-overview. Accesed on may 22nd, 2011. 5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 7th edition. US: Mc Graw Hill Medical. 2008. 6. Fimmel S and Zouboulrs CC. Cormobities of Hidradenitis Suppurativa (Acne Inversa). Dermatoendocrinol.2010 Jan-Mar; 2(1): 9-16. Available from URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3084959/?tool=pmcentrez. Accesed on May 22nd, 2011. 7. Parks RW and Parks TG. Pathogenesis, Clinical Features and Management of Hidradenitis Suppurativa (Review). Ann R Coll Surg Engl 1997; 79: 83-89. 8. Wolf K and Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 6th edition. US: Mc Graw Hill Medical. 2009 9. Hidradenitis suppurativa. Wikipedia. Available from URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Hidradenitis_suppurativa. Accessed on May 22nd, 2011.

14

You might also like