You are on page 1of 16

KONTRAKSI OTOT GASTROKNEMUS DAN OTOT JANTUNG KATAK

Oleh : Nama NIM : Rina Andriyani : B1J00952 Rombongan : III Kelompok :5 Asisten : Didi Humaedi Yusuf

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Data kontraksi otot gastroknemus Amplitudo (mm) 0V 0 5V 0 mm/volt 10 V 0 mm/volt 15 V 0,18 mm/volt 20 V 0,378 mm/volt 25 V 0,8 mm/volt

2.

Grafik hubungan stimulus elektrik dengan kontraksi otot gastroknemus katak (Fejervaria cancrivora)
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 -0,1 0 5 10
Voltase (v)

Amplitudo (mm)

15

20

25

30

kontraksi otot gastroknemus

3.

Tabel Kontraksi Otot Jantung Katak (Fejervaria cancrivora) Perlakuan Sebelum ditetesi asetilkolin Setelah ditetesi Asetilkolin B. Pembahasan Denyut jantung / Kontraksi otot Menurun Meningkat

a. Otot Jantung Berdasarkan praktikum hasil yang diperoleh yaitu: kontraksi otot katak yang diberi rangsangan listrik dengan voltase 0 V, 5 V, 10 V, 15 V, 20 V, dan 25 V berturut-turut amplitudonya yaitu 0; 0; 0; 0,18; 0,375 dan 0,8 mm/Volt. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin besar tegangan (voltase) yang diberikan maka semakin besar pula nilai amplitudo yang dihasilkan. Dalam percobaan ini tegangan berarti impuls atau rangsangan dan amplitudo merupakan besarnya otot gastronekmus terhadap rangsangan. Menurut Storer (1961), menyatakan, ketika rangsangan elektrik dimulai dari yang lemah maka hasilnya akan lemah, selanjutnya peningkatan akan menghasilkan kontraksi yang besar sehingga menimbulkan sebuah titik dimana rangsangan makin besar dan tidak menghasilkan efek. Hasil percobaan juga menunjukan bahwa semakin berat beban maka nilai amplitudonya akan semakin kecil. Hasil pengukuran terhadap kontraksi otot jantung tidak menggunakan kimografi tetapi langsung ditentesi dengan asetil kolon dan didapat hasil bahwa denyut jantung meningkat, hal ini dikarenakan alat yang digunakan untuk mencatat amplitudo getarannya sangatlah berat dan tak sesuai dengan kontraksi otot jantung katak (Fejervaria cancrivora) yang sangat lemah. Gunawan (2001) menjelaskan otot kardiak ternyata juga berlurik-lurik sehingga mengindikasikan suatu persamaan antara otot cardiac dan otot lurik. Otot skeletal (lurik) dan otot cardiac masih memiliki perbedaan antar sesamanya terutama pada metabolismenya. Otot cardiac harus beroperasi secara kontinu sepanjang usia hidup dan lebih banyak tergantung pada metabolisme secara aerobik. Otot cardiac juga secara spontan dirangsang oleh otot jantung itu sendiri disebanding oleh rangsangan saraf eksternal (rangsangan volunter). Respon suatu serabut tunggal itu menyeluruh atau tidak sama sekali, tetapi seluruh otot tidak berperilaku dalam cara ini sehingga memungkinkan untuk mengkontraksikan suatu otot pada tingkat apapun yang diinginkan dari relaks sampai kontraksi yang maksimal. Hal ini dapat dilihat pada percobaan praktikum yaitu merangsang otot gastroknemus dari seekor katak dengan stimulator listrik dan mengukur banyaknya kontraksi seluruh otot. Kekuatan kontraksi seluruh otot meningkat dengan meningkatnya jumlah serabut individu yang berkontraksi. Jadi

pada hewan yang utuh, kekuatan respon muskular itu dikendalikan oleh jumlah satuan motor yang diaktifkan oleh sistem saraf pusat (Kimball, 1988). Menurut Syarif (2006), kimograf adalah alat untuk pembelajaran dan penelitian kontraksi otot dan biasanya menggunakan otot gastroknemus katak. Otot yang mengalami pemendekan pada pembarian beban yang konstan (tidak ada perubahan pada tekanan) dinamakan kontraksi isotonik. Sedangkan bila otot menghasilkan tekanan tetapi tidak mengubah panjang otot dinamakan kontraksi isometrik. Voltase yang diberikan terhadap otot akan mempengaruhi besar responnya dalam bentuk amplitudo (simpangan). Beban yang diberikan juga akan mempengaruhi kelenturan otot yang diujicobakan. Beban akan menarik otot lebih besar, maka ketika otot tersebut dirangsang dengan aliran listrik akan menghasilkan simpangan gerak amplitudo yang kecil pula (Ganong, 1995). Otot dapat berkontraksi baik secara isometrik, isotonik, atau gabungan keduanya. Kontraksi isometrik pada otot gastronekmus memiliki lama kontraksi kira-kira 1/30 detik. Lama kontraksi disesuaikan dengan fungsi masing-masing otot. Otot gastroknemus harus berkontraksi dengan kecepatan yang cukup pada pergerakan tungkai untuk berlari atau melompat. Otot gastroknemus memiliki serabut cepat yang disesuaikan untuk kontraksi otot yang sangat cepat dan kuat seperti berlari dan melompat. Serabut ini tampak lebih besar. Retikulum sarkoplasmanya lebih luas sehingga dengan cepat dapat melepaskan ion-ion kalsium untuk memulai kontraksi otot (Guyton, 1995). Mekanisme kontraksi otot dapat dijelaskan dengan model pergeseran filamen (filamen-filamen tebal dan tipis yang saling bergeser saat proses kontraksi), model pergeseran filamen (filamen sliding). Model ini menyatakan bahwa gaya berkontraksi otot dihasilkan oleh suatu proses yang membuat beberapa set filamen tebal dan tipis dapat bergeser antar sesamanya. Menuruut Guyton (1995), menyatakan pada saat kontraksi filamen aktin tidak tertarik ke dalam filamen miosin sehingga overlap satu sama lainnya secara luas. Discus Z ditarik oleh filamen aktin sampai ke ujung filamen miosin. Jadi kontraksi otot terjadi karena mekanisme pergeseran filamen yang disebabkan oleh kekuatan mekanisme kimia atau elektrostatik yang ditimbulkan oleh interaksi jembatan

penyebrangan dari filamen miosin dan filamen aktin. Otot jantung termasuk otot seran lintang yang sifatnya involuntari yang artinya kerjanya tidak dipengaruhi oleh otak. Otot jantung ditemukan hanya pada bagian jantung dan mempunyai ciri-ciri bergaris-garis seperti pada otot sadar. Perbedaannya adalah serabutnya bercabang dan mengadakan anastomase yaitu bersambungan satu sama lain, tersusun memanjang seperti pada otot bergaris, berciri merah khas dan tidak dapat dikendalikan oleh kemauan. Otot jantung mempunyai kemampuan untuk mengadakan kontraksi otomatis dan ritmis tanpa bergantung pada ada tidaknya rangsangan saraf. Cara kerja semacam ini disebut miogenik. Kontraksi otot akan lebih kuat bila sedang renggang dan bila suhunya cukup panas kelelahan dan dingin memperlemah kontraksi (Pearce, 2004). Otot jantung terdiri atas serabut lurik yang saling isi mengisi. Myofibril pada otot jantung bercabang-cabang dan mitokondrianya lebih banyak daripada serabut otot kerangka. Impuls otot jantung berkontraksi dengan sendirinya, sementara saraf simpatik dan saraf parasimpatik berjalan menuju ke jantung bila pengendalian ini dihancurkan maka jantung akan tetap terus dapat berdetak selama glukosa dan oksigen tersedia di dalamnya (Kimball, 1988). Menurut Geneser (1993), menyatakan bahwa mitokondria jauh lebih banyak dan banyak memiliki krista, selain membentuk deretan-deretan yang memisahkan miofilamen, mitokondria ini terkumpul pada kutub-kutub inti dan pada celah mitokondria tampak banyak butir-butir lemak dan glikogen yang berfungsi sebagai sumber energi. Otot jantung berkembang dari bagian mesoderma splanknik yang mengelilingi tabung jantung yang berlapiskan endotel dan membentuk miokardium embrional. Serat-serat otot jantung ini berasal dari diferensiasi tiap sel-sel yang tumbuh melalui penambahan miofilamen-miofilamen baru pada sitoplasma di perifer, tanpa perubahan letak inti sel di tengah (Geneser, 1993). Jantung mengandung serat-serat jantung yang termodifikasi yang berfungsi untuk mengkoordinasikan detak jantung dengan mengatur waktu kontraksi dari atrium dan ventrikel, secara normal berawal pada nodus sinoatrium (SA) yang berlokasi dalam atrium kanan pada pintu masuk vena kava superior. Berawal dari nodus sino atrium sampai nodus antrio ventrikulum, terletak di

bagian belakang septum inter ventrikulum dan mulai dari titik ini, seberkas sel-sel otot jantung yang termodifikasi (serat-serat purkinje) bercabang dua dan cabang yang terpisah berjalan melalui jaringan subendokardial dari ventrikel kanan dan kiri. Sel-sel dalam dua daerah nodus itu berbentuk spul, sel-sel yang sangat bercabang yang dipisahkan satu sama lain oleh sedikit jaringan penyambung (Bevelander and Ramaley, 1979). Percobaan respon kontraksi otot jantung pada katak yang bertujuan untuk mengetahui kontraksi otot jantung dalam keadaan normal dan adanya stimulus berupa asetikolin ternyata tidak berhasil. Fungsi asetikolin adalah sebagai neurotransmitter atau untuk memberi rangsangan. Otot jantung akan diukur kontraksinya harus selalu dibasahi dengan larutan ringer agar jaringan tetap hidup. Transmisi pada hubungan neuromuskuler dan sinaps tertentu lainnya melibatkan sekresi dan komeresepsi asetikolin. Perangsang yang kuat ini menyebabkan depolarisasi setempat dari membran sel otot, yang memulai penyebaran impuls dalam membran dan menyebabkan kontraksi serabut otot. Serabut simpatik post ganglion mempercepat denyut jantung dengan melepaskan norepinefrin. Serabut demikian disebut adrenegrik, sedangkan serabut yang mengeluarkan asetikolin disebut kolinergik (Ville et al., 1988). Daerah sinaps mempunyai enzim yang kuat, yaitu asetikolinesteranase yang khusus menghidrolisis dan menginaktifkan asetikolin, dan monoamina oksidase yang mengoksidasi dan menginaktifkan norepinefrin. Enzim-enzim ini mencegah rangsangan yang terus-menerus dari dendrit atau otot oleh zat neurotransmitter. Asetikolin dilepaskan oleh saraf motor dalam paket-paket kecil yang terdiri atas sekitar 1000 molekul. Mekanisme yang melepaskan asetikolin memerlukan ion kalsium dan dihambat oleh ion magnesium (Ville et al., 1988). Larutan dan alat yang digunakan dalam praktikum adalah larutan Asetilkolin dan larutan Ringer. Fungsi dari larutan Asetilkolin adalah untuk mempercepat kerja jantung, sedangkan fungsi larutan Ringer adalah untuk mempertahankan sel otot supaya tetap hidup. Rosser et al., (2003) menyatakan bahwa di dalam otot terdapat reseptor asetilkolin (acetylcholine receptor, AChR) yang terdistribusi dengan densitas rendah dalam plasmalemma. Selain AChR, terdapat myosin heavy-chain (MyCH) yang berkorelasi dengan kecepatan kontraksi otot.

Menurut Silverthorn (2001), mekanisme kerja otot jantung dipengaruhi oleh syaraf, hormon, otak dan CO2. Syaraf yang mempengaruhi kerja jantung yaitu syaraf simpatik yang bekerja memperlambat kerja jantung, dan syaraf simpatik yang bekerja untuk mempercepat denyut jantung. Pelepasan hormon nonadrenalin akan mempercepat kontraksi jantung. Medula oblongata pada otak mengontrol pemacu denyut jantung. Meningkatkan konsentrasi CO2 dalah darah akan meningkatkan kecepatan kontraksi jantung. Faktor-faktor yang mempengaruhi fisiologis jantung antara lain: temperatur lingkungan, zat kimia (alkohol), ukuran tubuh dan umur. Hewanhewan kecil mempunyai frekuensi (frekuensi pulsus) denyut jantung yang lebih cepat dari pada hewan yang besar. Hal ini disebabkan hewan kecil memiliki kecepatan metabolisme yang lebih tinggi pada setiap unit berat badannya. Hewan yang muda memiliki frekuensi pulsus yang lebih cepat dari pada hewan dewasa. Hal ini disebabkan karena pengaruh hambatan nerves vagus pada hewan-hewan muda belum berkembang (Soetrisno, 1987). Menurut Jane (2008) Pandangan bahwa hipertrofi jantung, di respon terhadap tekanan overload miokard (PMO), melayani memulihkan ekonomi otot jantung kembali normal, dan melawan disfungsi miokard. Seperti adaptif proses didominasi oleh beberapa perubahan dalam ekspresi gen termasuk modifikasi kuantitatif dengan jantung hipertrofi, yang menurut hukum Laplace, normal tegangan dinding, dan perubahan kualitatif termasuk gen janin reprogramming, yang memungkinkan kardiomiosit untuk memulihkan ekonomi yang normal dengan memiliki kecepatan shortening yang lebih rendah maksimum, Vmax dan menggunakan perbedaan gaya / kurva kecepatan. pandangan seperti itu menyediakan yang wajar dasar untuk menyajikan terapi oleh kedua menggarisbawahi fakta bahwa hipertrofi jantung per se adalah fisiologis reaksi jantung untuk stimulus patologis dan bahwa efek inotropik positif harus merugikan dalam kronis gagal jantung (CHF). Namun, ada data, terutama eksperimental keraguan, casting pada validitas disebut dinding-stres hipotesis, yang terbaik didokumentasikan sebagai hasil dari Framingham Heart Study yang menunjukkan hubungan antara hipertrofi jantung dan kematian jantung meningkat. b. Otot Gastroknemus

Praktikum pengukuran kontraksi otot gastroknemus pada katak (Fejervaria cancrivora) tidak dilakukan oleh masing-masing kelompok dikarenakan alat Kimograf yang tersedia hanya sebuah saja. Cara pembacaan amplitudo pada Kimograf dengan cara menghitung jarak antara satu gunungan dan dengan gunungan yang lain pada kimograf.
0,9 0,8 0,7
Amplitudo (mm)

Grafik hubungan stimulus elektrik dengan kontraksi otot gastroknemus katak (Fejervarya cancrivora )

0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 -0,1 0 5 10 15


Voltase (v)

20

25

30

kontraksi otot gastroknemus

Kontraksi otot didefinisikan sebagai pembongkaran aktif tenaga dalam otot. Penggunaan tenaga oleh otot pada beban eksternal disebut tekanan otot. Jika tekanan yang terbentuk oleh otot lebih besar dari penggunaan tenaga eksternal pada otot oleh beban, maka otot akan memendek. Penggunaan tenaga dengan beban lebih besar atau sama dengan tekanan otot, maka otot tidak memendek (Hill and Wyse, 1989). Gordon (1997) menyatakan bahwa kontraksi otot melibatkan komponen zat kimia dalam otot tersebut. Zat kimia terpenting yang terdapat di dalam otot rangka yang berperan dalam distribusi dan dan pergerakan adalah ion kalsium, sekurang-kurangnya ada empat protein yaitu aktin, M-protein, troponin, dan tropomiosin. Urutan kejadian dalam stimulus dan kontraksi pada otot meliputi stimulus, kontraksi dan relaksasi. Menurut Ville et al. (1988), otot adalah sistem biokontraktil dimana sel-sel atau bagian dari sel memanjang dan dikhususkan untuk menimbulkan tegangan pada sumbu yang memanjang. Otot merupakan jaringan umum pada tubuh kebanyakan binatang yang terbuat dari sel panjang atau benang-benang khusus

untuk kontraksi. Hal itu menyebabkan adanya pergerakan dari tubuh dan bagian kerja otot adalah voluntari (dibawah kontrol kesadaran) atau involuntari (tidak dibawah kontrol atau keinginan). Struktur otot adalah halus (benang tanpa lurik) atau lurik (benang serat lintang). Secara garis besar sel otot dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Otot motoritas, disebut juga otot serat lintang (otot lurik) oleh karena didalamnya protoplasma mempunyai garis-garis melintang. Umumnya otot ini melekat pada kerangka sehingga disebut juga otot kerangka. Otot ini dapat bergerak menurut kemauan (otot sadar), pergerakkanya cepat tetapi cepat lelah, rangsangan ini dialirkan melalui saraf motorik. 2. Otot otonom, disebut juga otot polos karena protoplasmanya licin tidak mempunyai garis melintang. Otot ini terdapat pada alat-alat dalam seperti ventrikulus, usus, kandung kemih, pembuluh darah dan lain-lain, cara kerjanya diluar kesadaran (otot tak sadar) oleh karena rangsangannya melalui saraf otonom. 3. Otot jantung, bentuknya menyerupai otot serat lintang, didalam sel protoplasmanya terdapat serabut-serabut melintang yang bercabang-cabang tetapi jika kita melihat fungsinya seperti otot polos, dapat bergerak sendiri secara otomatis karena mendapat rangsangan dari susunan saraf otonom. Otot ini hanya terdapat pada jantung yang mempunyai fungsi tersendiri (Bevelander and Ramaley, 1979). Percobaan yang dilakukan menggunakan otot gastroknemus karena otot tersebut peka terhadap rangsangan listrik. Cairan dan ion-ion yang ada pada otot gastroknemus selalu dijaga, pada praktikum ini digunakan larutan ringer. Larutan ringer juga digunakan sebagai penghantar aliran listrik. Alat yang digunakan pada praktikum pengukuran kontraksi otot gastroknemus universal kimograf beserta asesorinya fungsi dari alat ini yaitu untuk mengetahui pengaruh rangsangan listrik terhadap kontraksi otot gastroknemus. Menurut Prosser (1961), mekanisme kontraksi otot menurun yaitu ketika otot berkontraksi menggunakan O2 dan melepaskan CO2 sedangkan glikogen dikurangi, asam laktat berkumpul dan panas diproduksi. Aktin dan miosin bergabung dalam bentuk globular yang merupakan kopula dari molekul miosin. Molekul miosin terdiri atas bagian pengikatan aktin dan ATPase, tidak adanya

aktin menyebabkan tidak reaktifnya ATPase ketika miosin berikatan dengan aktin akan membentuk aktomiosin ATP. Sel otot juga terdiri atas retikulum sarkoplasmik hampir sama dengan retikulum yang sangat penting dalam kontraksi. Retikulum endoplasma akan mengikat ion Ca dan berhenti ketika asam laktat terakumulasi. Menurut Kofsyok (1992), Mekanisme kontraksi otot dapat digambarkan sebagai berikut : Ca (dalam kantung sarkoplasma) tipis dan filament tebal
pergerakan berikatan diaktifkan

Ca2+

lepas

terdifusi filamen

troponin

mengaktifkan

interaksi myosin dan aktin

Ca2+

kembali

sarkoplasma.

Sedangkan menurut Johnson (1984), adalah sebagai berikut :


Rangsangan Kontraksi sarkolema reticulum Ca+ Troponin

ATP

Aktin

Tropomiosin

Aktin melepaskan diri

Ion Ca+ rendah

Tropomiosin bergerak ke tempat aktif filament aktin

Kontraksi

Urutan kejadian dalam stimulasi, kontraksi dan relaksasi pada otot menurut Rosser (1961), meliputi : 1. Stimulasi Depolarisasi sarkolema Depolarisasi T sistem Depolarisasi Ion Kalsium dari SR Difusi ion kalsium dari filamen tipis

2.

Kontraksi Ion kalsium (Ca2+) terikat ke troponin Komplek troponin Ca2+ remove blocking tropomiosin Head dari filamen tebal membentik cross bridges ke Hidrolisis ATP memicu perubahan konformasi pada head Relaksasi

dari tempat aktin benang aktin 3.

menyebabkan cross bridges bergeser Ca2+ ditarik dari filamen tipis oleh SR Ca2+ berdifusi dari filamen tipis ke SR Ca2+ dilepas dari komplek troponin Ca2+ Tropomiosin kembali ke posisi blocking Cross bridges miosin-aktin terputus Komplek miosin-ATP dibentuk kembali dalam heads dan

filamen tebal.

Menurut Guyton (1995), sebuah otot akan berkontraksi sangat cepat bila kontraksi penuh kira-kira 0,1 detik untuk rata-rata bobot. Keadaan ini menyebabkan amplitudo menjadi maksimal, dimana dipengaruhi juga oleh voltase yang digunakan, tetapi bila diberi beban kecepatan kontraksi menurun secara progesif dan amplitudo juga menurun. Apabila beban meningkat sampai dengan kekuatan maksimum yang digunakan otot tersebut, maka kecepatan kotraksinya menjadi nol dan tidak terjadi kontraksi sama sekali, walaupun dilakukan pengaktifan pada serabut otot. Beberapa penelitian klinis dan eksperimen telah mendapatkan adanya disfungsi endotel pada sirosis hati yang ditunjukkan melalui peningkatan kadar Nitrik oksida dan factor von Willebrand. Penyebab peningkatan dari kadar ini masih belum diketahui dengan jelas, diduga ada hubunganya dengan sirkulasi hipeerdinamik dan adanya endotoksemia yang umum dijumpai pada sirosis hati. Penyebab dari vasodilatasi tetap tidak diketahui, tetapi diduga oleh karena ;yang pertama,. Adanya peningkatan konsentrasi vasodilator disirkulasi, yang kedua adanya peningkatan produksi vasodilator local oleh endotel, dan yang ketiga;

adanya penurunan respon vascular terhadap vasokonstriktor endogen. Mekanisme yang terakhir ini mungkin karena efek komponen dipengaruhi oleh shear stress dari peredaran darah. Produksi NO juga dapat dirangsang oleh aktifitas fisik, estradiol, asetilkolin, endotoksin, substansi P atau oleh ADP dan beradikinin yang dilepaskan oleh endotel (Sutadi, 2003). Ketika otot rangka sedang beristirahat atau relaksasi akhirnya kebutuhan akan oksigen merupakan ukuran dari metabolisme otot dan hal ini dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, temperatur tubuh, aliran pembuluh darah dan nutrisi. Pengaruh dari penyempitan pembuluh darah menyebabkan kandungan oksigen di jaringan berkurang sehingga berpengaruh terhadap konsumsi oksigen oleh mitokondria. Oleh karena itu, konsumsi oksigen dapat menentukan ukuran berkurangnya titik jenuh oksigen dari hemoglobin dan myoglobin mengikuti keadaan total arteri (Abozguia, 2008). Ada 3 jenis jaringan otot yaitu involuntari lurik atau kardiak (jantung) dan voluntari lurik atau otot rangka badan. Struktur untuk melakukan aksi pada hewan baik dari dalam maupun dari lingkungan luar disebut efektor. Efektor yang paling penting adalah yang mengekresikan zat-zat kelenjar dan melakukan gerak. Bagian efektor yang paling penting untuk menciptakan gerak adalah otot. Jadi, otot adalah sistem biokontraksi dimana sel-sel atau bagian sel mengalami pemanjangan dan dikhususkan untuk menimbulkan gerakan (kontraksi pada sumbu yang memanjang). Karakteristik dari otot antara lain membangun otot rangka, dapat berkontraksi dan berkonduksi, terdiri dari sel bentuk memanjang, pipih myofibril dan berasal dari lapisan mesoderm. Otot rangka adalah masa otot yang bertaut pada tulang yang berperan dalam menggerakkan tulang-tulang tubuh. Otot rangka dapat dijelaskan lebih dalam misalnya dengan mempelajari otot gastroknemus pada katak. Otot gastroknemus katak banyak digunakan dalam percobaan fisiologi hewan. Otot ini lebar dan terletak di atas fibiofibula, serta disisipi oleh tendon tumit yang tampak jelas (tendon achillus) pada permukaan kaki. Mekanisme kerja otot pada dasarnya melibatkan suatu perubahan dalam keadaan yang relatif dari filamen-filamen aktin dan miosin. Selama kontraksi otot, filamen-filamen tipis aktin terikat pada dua garis yang bergerak ke pita A, meskipun filamen tersebut tidak bertambah banyak. Gerakan pergeseran itu mengakibatkan perubahan dalam penampilan sarkomer,

yaitu penghapusan sebagian atau seluruhnya garis H. selain itu filamen miosin letaknya menjadi sangat dekat dengan garis-garis Z dan pita-pita A serta lebar sarkomer menjadi berkurang sehingga kontraksi terjadi. Kontraksi berlangsung pada interaksi antara aktin miosin untuk membentuk komplek aktin-miosin (Hickman, 1996). Larutan dan alat yang digunakan dalam praktikum adalah larutan Asetilkolin dan larutan Ringer. Fungsi dari larutan Asetilkolin adalah untuk mempercepat kerja jantung, sedangkan fungsi larutan Ringer adalah untuk mempertahankan sel otot supaya tetap hidup. Rosser et al., (2003) menyatakan bahwa di dalam otot terdapat reseptor asetilkolin (acetylcholine receptor, AChR) yang terdistribusi dengan densitas rendah dalam plasmalemma. Selain AChR, terdapat myosin heavy-chain (MyCH) yang berkorelasi dengan kecepatan kontraksi otot. Kontraksi otot menurut Frandson (1992) dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1.

Treppe atau staircase effect, yaitu meningkatnya kekuatan kontraksi berulang kali pada suatu serabut otot karena stimulasi berurutan berseling beberapa detik. Pengaruh ini disebabkan karena konsentrasi ion Ca2+ di dalam serabut otot yang meningkatkan aktivitas miofibril.

2.

Summasi, berbeda dengan treppe, pada summasi tiap otot berkontraksi dengan kekuatan berbeda yang merupakan hasil penjumlahan kontraksi dua jalan (summasi unit motor berganda dan summasi bergelombang).

3. 4.

Fatique adalah menurunnya kapasitas bekerja karena pekerjaan itu sendiri. Tetani adalah peningkatan frekuensi stimulasi dengan cepat sehingga tidak ada peningkatan tegangan kontraksi. Rigor terjadi bila sebagian terbesar ATP dalam otot telah dihabiskan, sehingga kalsium tidak lagi dapat dikembalikan ke RS melalui mekanisme pemompaan.

5.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Otot jantung termasuk otot seran lintang yang sifatnya involuntari yang artinya kerjanya tidak dipengaruhi oleh otak.

2. Otot jantung pada katak (Fejervaria cancrivora) merupakan otot


involuntari. 3. Otot gastroknemus dapat berkontraksi dengan adanya rangsangan dari tegangan listrik. 2. Voltase yang diberikan terhadap otot akan mempengaruhi besarnya respon dalam bentuk amplitudo. 3. Semakin besar voltase listrik yang diberikan akan semakin besar pula amplitudo yang dihasilkan. Besarnya amplitudo menunjukan besar kecilnya kontraksi otot yang dihasilkan.

DAFTAR REFERENSI

Bevelander and J. A Ramaley. 1979. Essentials of History. CV. Moss by Company, sant Louis. Frandson, R. D. 1992. Anatomi Fisiologi Ternak. UGM Press, Yogyakarta. Ganong, W. F. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit EGC, Jakarta. Geneser, Finn. 1993. Textbook of Histology. Munksgaard, Denmark. Guyton, A. C. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku kedokteran EGC, Jakarta. Hickman, C. P. 1972. Biology of Animal. CV Mosby Company, Saint Louis. Hill, R. W. and G. A. Wyse. 1989. Animal Physiology Second ed. Harper and Collins Inc., New York. Jane-Lise Samuel and Bernard Swynghedauw. Journal of Hypertension 2008, Vol 26 No 5. Is cardiac hypertrophy a required compensatory mechanism in pressure-overloaded heart?. Paris Cedex 10 France Johnson, K. D., Rayle and H. L. Aledberg. 1984. Biology of Introduction. The Benjamin Comings Publishing Co. Inc, London. Kimball, J. W. 1988. Biologi Jilid II. Erlangga, Jakarta. Pearce, E. C. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis . PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Prosser, C. T. 1961. Comparative Animal Physiology. W.B Saunders Company, London. Rosser, B.W.C. and Bandman, E. 2003. Heterogeneity of Protein Expression Within Muscle Fibers. J Anim Sci. : 81: 94-101. Storer, T. I. 1961. Element of Zoology. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York. Sutadi, Sri Maryani. 2003. Kadar Nitrik Oksida dan Faktor Von Willebrand sebagai Petanda. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Dalam Disfungsi Endotel pada Sirosis Hati : Universitas Sumatera Utara Syarif, I. 2006. Kimoinstrumentation : Alat Pengukuran Karakteristik Otot Gastroknemus Katak Berbasis Komputer. Departemen Fisiska ITB, Bandung. Ville, C. A., Warner F. W dan Robert B. D. 1988. Zoologi Umum. Erlangga. Jakarta.

You might also like