You are on page 1of 25

Etiologi Epilepsi Etiologi epilepsi berbedabeda menurut usia. Berikut ini adalah daftar penyebab/faktor resiko epilepsi: 1).

Idiopatik (penyebab tidak diketahui) a) Terjadi pada umur berapa saja, terutama pada kelompok 5-20tahun. b) Tidak ada kelainan neurologis c) Acap kali ada riwayat epilepsi di keluarganya 2). Defek kongenital Munculnya serangan pada usia bayi atau anakanak 3). Kelainan metabolik a) Terjadi pada umur berapa saja b) Komplikasi dari diabetes melitus c) Ketidakseimbangan elektrolit d) Gagal ginjal, uremia e) Defisiensi nutrisi f) Itoksikasi alkohol atau obatobatan 4). Trauma kepala a) Terjadi pada umur berapa saja, terutama pada dewasa muda b) Terutama pada kontusio serebri c) Munculnya serangan biasanya 2 tahun pasca cedera 5). Tumor dan proses desak ruang lainnya a) Terjadi pada umur berapa saja, terutama umur di atas 30 tahun b) Pada awalnya berupa serangan parsial c) Kemudian berkembang menjadi serangan umum tonikklonik 6). Gangguan kaardiovaskuler Terutama karena stroke dan pada lanjut usia 7). Infeksi a) Dapat terjadi pada umur berapa saja b) Mungkin bersifar reversible c) Dalam bentuk ensefalitis, meningitis, abses d) Dapat merupakan akibat dari infeksi berat di bagian lain e) Infeksi kronis (sifilis) f) Komplikasi dari AIDS 8). Penyakit degeneratif a) Terutama pada lanjut usia b) Demensia Alzheimer (Harsono, 2001). Literature lain : FR epilepsi 1) Faktor prenatal a. Kehamilan primipara dan multipara b. Kehamilan dengan hipertensi dan eklamsia 2) Faktor perinatal a. Bayi yang lahir dengan asfiksia b. Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram c. Bayi yang dilahirkan dengan bantuan alat forcep/ vakum/ seksio sesaria/sungsang 3) Faktor postnatal a. Anak dengan kejang demam komplek b. Anak dengan cidera kepala c. Anak dengan infeksi otak (meningitis atau ensefalitis) 4) Faktor ibu a. Orang tua dengan sindrom spasmofili

b. Umur ibu waktu hamil c. Ibu perokok / peminum alkohol 5) Faktor genetik merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi pada anak Angka Insidensi (Incidence Rate) Jumlah kasus baru penyakit tertentu yang dilaporkan pada periode waktu tertentu, tempat tertentu dibagi dengan jumlah penduduk dimana penyakit tersebut berjanngkit. Biasanya dinyatakan dalam jumlah kasus per 1000 dtau per 100.000 penduduk per tahun. Angka ini bisa diberlakukan bagi umur tertentu, jenis kelamin tertentu atau karakteristik spesifik dari penduduk. (lihat Angka morbiditas, Angka Prevalensi). Angka Prevalensi - Jumlah keseluruhan orang yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu yang menimpa sekelompok penduduk tertentu pada titik waktu tertentu ( Point Prevalence), atau pada periode waktu tertentu (Period Prevalence), tanpa melihat kapan penyakit itu mulai dibagi dengan jumlah penduduk yang mempunyai resiko tertimpa penyakit pada titik waktu tertentu atau periode waktu tertentu nsidensi mengacu pada frekuensi perkembangan penyakit yang baru dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. Ketika kita mengatakan bahwa kejadian kanker ini telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, prevalensi adalah jumlah orang yang sakit pada periode tertentu, tidak peduli apakah pasien tersebut sudah sakit sebelumnya ataupun baru saja terdiagnosis, yang penting saat ini dia mengalami sakit, itu masuk dalam prevalensi. Prevalensi adalah KASUS LAMA + KASUS BARU.

Hamil : Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%.1,2,3,4,5,6 Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi.9 Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.

Etiologi Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.11 Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%30%.12 Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu - Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak. - Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak. Diagnosis : Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG). D. Patofisiologi Otak terdiri dari sekian milyaran sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: - Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter - GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.18,19

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu: 6

- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).18,19 Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. - Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.18,19 - Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait : - Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan bangkitan. - Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. - Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.18,19 Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak 7

dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.20,21,22 Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

Patofisiologi Epilepsi Umum Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3 Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions. Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influx yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.

Patofisiologi Epilepsi Parsial Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi. Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calcium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.

Patofisiologi Sylvia : Dua puncak patof. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksisimal yang berlebihandari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam-basa atau elektrolit. Kejang apabila singkat jarang membahayakan. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalamfunhsi motorik, sensorik, atau autonom. Kejang bisa sekali berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolism yang terjadi bertahuntahun disebut epilepsi.

Lebih dari 75% pasien dengan epilepsi mengalami kejang.pertama sebelum usia 20 tahun. Apabila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder. Idiopatik (tidak terdapatnya lesi sentral). Simptomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respons kejang.

Patofis : Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebum kemungkinan bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Jenis kejang: Kejang diklasifikasikan sebagai pasial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kesadaran dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang) Efek fisiologik Kejang: Awal (kurang dari 15 men it) Meningkatnya kecepatan denyut jantung Meningkatnya tekanan darah Meningkatnya kadar glukosa Meningktanya suhu pusat tubuh Meningkatnya se darah putih Lanjut (15-30 men it) Menurunnya tekanan darah Menurunnya gula darah Disritmia Edema paru nonjantung Berkepanjangan (lebih dari 1 jam) Hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi hipotensi serebrum Gangguan sawar darah-otak yang menyebabkan edema serebrum Trauma kepala : patof Dalam kaitannya dengan patofisiologi kejang, terdapat dua faktor penting yang berperan. Cedera primer terjadi akibat gaya mekanis yang merobek prosesus dendritik, merusak kapiler, dan mengganggu lingkungan ekstrasel. Cedera sekunder ditimbulkan oleh edema serebrum. Penimbunan produk metabolic toksik dan iskemia akibat hipotensi, hipoksia, dan hiperkarbia ikut berperan menimbulkan edema serebrum.

Mekanisme terjadinya kejang akibat trauma kepala adalah iskemia akibat terganggunya aliran darah, efek mekanis dari jaringan parut, destruksi kontrol inhibitorik dendrit, gangguan sawar darah-otak, dan perubahan dalam sistem penyangga ion ekstrasel. Kejang dapat terjadi akibat fase akut atau sekuele dari infeksi susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit. Infeksi merupakan penyebab sekitar 3% kasus epilepsi simptomatik. Kelainan metabolik, sebagai kelainan yang mendasari kejang, mencakup hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, keadaan hiperosmolar hipokalsemia, hipomagnesemia, hipoksia, dan uremia. Gejala neurologi perubahan kadar natrium serum terjadi akibat peningkatan atau penurunan volume cairan intrasel neuron dan berkaitan dengan kadar asolut kurang dari 125 mEq/L atau lebih dari 150 mEq/L. Tumor otak adalah kausa lain kejang didapat, terutama pada pasien berusia antara 35 sampai 55 tahun. Kejang dapat merupakan gejala pada tumor otak tertentu, khusunya meningioma, glioblastoma, dan astrositoma. Tumor yang terletak supratentorium dan mengenai korteks kemungkinan besar menyebabkan kejang. Insidensi tertinggi terjadi pada tumor yang terletak di sepanjang ulkus sentralis disertai keterlibatan daerah motorik. Semakin jauh tumor dari bagian ini, semakin kecil kemungkinannya menyebabkan kejang. Insufiensi serebrovaskular arteriosklerotik dan infark serebrum merupakan kausa utama kejang pada pasien dengan penyakit vascular, dan hal ini tampaknya meningkatnya jumlah populais orang berusia lanjut. Infark besar dan infark dalam yang meluas ke sruktur-struktur subkorteks lebih besar kemungkinannya menimbulkan kejang berulang. Berbagi bahan toksik dan obat dapat menyebabkan kejang. Pada beberapa obat, kejang merupakan manifestasi efek toksik. Obat yang berpotensi menimbulkan kejang adalah aminofilin, obat antidiabetes, lidoakain, febotiazin, fisostigmin, dan trisiklik. Penyalahgunaan zat seperti alcohol dan kokain juga dapat menyebabkan kejang.

Epilep bagus

1. Epilepsi Primer Epilepsi primer adalah epilepsi yang tidak diketahui penyebabnya. Epilepsi primer disebut epilepsy idiopatik. Penderita epilepsy primer sekitar 50% adalah anak-anak. 2. Epilepsi Sekunder Epilepsi sekunder adalah epilepsy yang diketahui penyebabnya. Epilepsi sekunder disebut epilepsy simptomatik. Lepas muatan sudah barang tentu mulai dari suatu tempat di korteks serebri, tetapi yang menyebabkan timbulnya lepas muatan itu tidak selalu berada dalam ruang tengkorak itu sendiri. Penyebab bangkitan epilepsy dapat berasal dari intracranial dan ekstrakranial. a. Penyebab intracranial, seperti kerusakan SSP bayi sewaktu persalinan, infeksi otak (meningitis dan ensefalitis), trauma kapitis, tumor otak. b. Penyebab ekstrakranial, seperti anoksia, uremi, eklampsi, gangguan endokrin, dan keracunan obat dan alcohol. Penyebab epilepsi pada beberapa kelompok usia: 1. Kelompok usia 0-6 bulan Kelainan intrauterin, kelainan selama persalinan, kelainan kongenital, kelainan metabolik, dan kelainan susunan saraf pusat. 2. Kelompok usia 6 bulan-3 tahun Kejang demam komplikasi, trauma kepala, gangguan metabolism. 3. Kelompok anak-anak sampai remaja Infeksi virus, bakteri, parasit, dan abses otak setelah tindakan operasi. 4. Kelompok usia muda Cedera kepala merupakan penyebab tersering, disusul ole tumor otak dan infeksi. 5. Kelompok usia lanjut Gangguan pembuluh darah otak merupakan penyebab tersering. Pada usia di atas 50 tahun mencapai 50%, diikuti oleh trauma kepala, tumor dan degenerasi serebral. Ambang Miokloni (Ambang Kejang)

Seorang yang sehat tidak akan mendapat serangan epilepsy karena memiliki suatu mabang miokloni yang cukup tinggi. Oleh karena itu, suatu rangsangan yang biasa menghinggapinya setiap hari, tidak akan menimbulkan kejang. Tapi tidak berarti bangkitan epilepsy tidak akan dapat timbul padanya. Asal rangsangan cukup tinggi dan kuat, sehingga dapat melampaui ambang miokloniknya, makan bangkitan epilepsy pasti akan timbul pula. Pada orang yang memiliki ambang miokloni yang sangat rendah, suatu rangsangan yang sangat lemah, seperti panas, emosi, kelelahan, ramgsang cahaya sewaktu menonton tv, hiperventilasi dan sebagainya, dapat melampaui amabnag miokloniknya sehingga timbul kejang. Dapat pula terjadi, orang dengan ambang mioklonik yang sangat rendah, akan dapat bangkitan epilepsy tanpa ada rangsangan apapun juga. Faktor-faktor yang mempengaruhi mabang miokloni: a. Umur Perbandingan elektrolit di dalam dan di luar sel pada susunan saraf pusat anak-anak belumlah sempurna seperti dewasa. Demam yang sering terjadi juga akan menimbulkan metabolisme yang meningkat di dalam susunan saraf pusat. Bila perimbangan elktrolit yang belum sempurna, maka anak memiliki ustau predisposisi untuk mendapatkan kejang. Keadaan ini dinamakan kejang demam atau Benigne Febrile convulsion (B.F.C). Pada orang tua yang demikian, ternyata [ada waktu kanak-kananknya, juga pernah mendapat kejang demam. Rupanya diturunkan kepada anaknya adalah ambnag miokloni ynag rendah tersebut. FR epilep anak: Batasan usia di bawah 6 tahun: Tahapan embrional yang penting dalam perkembangan otak adalah neurulasi, proliferasi, migrasi, mielinisasi dan sinatogenesis. Keadaan mulai lahir sampai usia 5 tahun akan terjadi pertumbuhan fisik yang cepat diikuti dengan perkembangan otak. Maturitas dari otak yang paling tinggi pada batang otak dan terakhir pada kortek serebri. Setelah usia 5 tahun maka pertumbuhan otak berjalan lambat, dan progresivitasnya untuk mencapai usia pertengahan masa kanak-kanak biasanya antara usia 6-8 tahun. Sinaptogenesis terjadi secara cepat pada kortek serebri saat 2 tahun dari kehidupan. Myelinisai paling

cepat saat usia 2 tahun pertama kemudian berlangsung lebih lambat setelah itu. Neuronneuron yang berhubungan (fungsi motorik, sensorik dan kognitif) mengalami mielinisasi yang besar dimulai saat usia anak masuk sekolah (6 tahun) dan sel saraf area ini terjadi mielinisasi yang lengkap antara usia 6-12 tahun. Lebih jauh lagi hal ini dekat sekali hubungannya dengan maturasi hipokampus di mana terjadi mielinisasi pada anakanak. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yangsama Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang dimaksud sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya sekumpulan gejala dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat penyakit . Dikenal 4 kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom epilepsi dapat dikelompokkan sebagai berikut: 19,32 1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan Serangan epilepsi pada anak berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu sebagian dari manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya buruk. Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini. 2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun Pada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok ini sangat peka terhadap infeksi dan demam. Kejang demam bukan termasuk epilepsi, tetapi merupakan faktor risiko utama terjadinya epilepsi. Sindrom epilepsi yang sering terjadi pada kelompok ini adalah sindrom Spasme Infantile atau Sindrom West dan sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi mioklonik. 3 Kelompok umur 4 - 9 tahun Pada kelompok ini mulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi umum primer terutama manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau epilepsi karena fokus epileptogenik heriditer. Jenis epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grand mal dan Benign epilepsy of childhood with Rolandic spikes (BECRS). Setelah usia 17 tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa menggunakan obat. 4. Kelompok umur lebih dari 9 tahun. a. Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau epilepsi umum lesionik.

b. Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi psikomotor. Kecuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut dapat tetap dilanda bangkitan epileptik pada kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis absence dapat muncul pada kelompok ini.

Faktor-faktor risiko epilepsi Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui faktor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simtomatik. Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan genetik sebagai berikut : terdapat suatu gen yang menentukan sintesis dan metabolisme asam glutamik yang menghasilkan zat Gama amino butiric acid (GABA). zat ini merupakan penghambat (inhibitor) kegiatan neuron yang abnormal. Penderita yang secara kurang cukup memproduksi GABA merupakan penderita yang mempunyai kecenderungan untuk mendapat serangan epilepsi.17 Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala dan lain-lain.17 Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.17 Faktor postnatal a. Kejang Demam 4 Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Anakanak yang

mengalami kejang demam tersebut tidak mengalami infeksi susunan pusat atau gangguan elektrolit akut. Umumnya anak yang mengalami kejang demam berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering usia 18 bulan. Berapa batas umur kejang demam tidak ada kesepakatan, ada kesepakatan yang mengambil batas antara 3 bulan sampai 5 tahun, ada yang yang menggunakan batas bawah adalah 1 bulan. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Awitan di atas 6 tahun sangat jarang. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Shorvon berpendapat bahwa kejang demam yang berkepanjangan menyebabkan iskemik otak, dan yang paling terkena dampaknya adalah lobus temporalis. Hal ini menyebabkan predisposisi timbulnya epilepsi lobus temporalis (ELT).44 Pada pasienpasien ELT yang interactable, setelah dilakukan lobektomi didapatkan mesiotemporal sklerosis (MtS), dan sebanyak 80%nya memiliki riwayat kejang demam. MtS juga ditemukan sebanyak 62% pada pemeriksaan post mortem pada ELT. ELT bentuk klasik terjadi melalui kejang demam, sedangkan bentuk bilateral melalui infeksi SSP, trauma kepala, hipoksia dan idiopatik. Trauma kepala/ cedera kepala Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental. Dampak yang tidak nyata memberikan gejala sisa berupa jaringan sikatrik, yang tidak memberikan gejala klinis awal namun dalam kurun waktu 3 - 5 tahun akan menjadi fokus epilepsi.38 Menurut Willmore sebagaimana dikutip oleh Ali. RA mengemukakan, bila

seseorang mengalami cedera di kepala seperti tekanan fraktur pada tengkorak, benturan yang mengenai bagian-bagian penting otak seperti adanya amnesia pasca traumatik yang cukup lama (> 2 jam) maka ia memiliki risiko tinggi terkena bangkitan epilepsi. Biasanya serangan berlangsung satu minggu setelah terjadinya cedera. Epilepsi biasanya mengalami perkembangan selama 1 tahun setelah terjadinya cedera (50% -60% pasien), dan dalam 2 tahun pada 85% pasien.39 Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIV/1 Tahun 2006. Prevensi dini terhadap kekerasan seksual pada anak-anak.Oleh Ira Paramastri, Dra. M.Si. Universitas Gadjah Mada Oktober 2006. Berdasarkan Sensus penduduk tahun 2000 proprosi jumlah anak & remaja berusia 0-14 tahun mencapai hampir 30% dari jumlah penduduk total. Jika dengan menambahkan jumlah anak yang berusia antara 15 18 tahun, jumlah anak secara keseluruhan mencapai lebih dari 1/3 jumlah penduduk total Indonesia. Anak secara Hukum UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK BAB I PASAL 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Menurut WHO ada empat tahap batasan umur yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008). Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun ke atas dan usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat (Mutiara, 1996).
Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho, 2008).

Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia Constantinides (1994) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008). 1.4.1 Perubahan-perubahan fisik 1. Sel Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10% (Nugroho, 2008). 2. Sistem persarafan Terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20%, cepatnya menurun hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, serta kurang sensitifnya terhadap sentuhan. Pada sistem pendengaran terjadi presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi-bunyi atau nada-nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, otosklerosis akibat
Universitas Sumatera Utara

atrofi membran timpani, serta biasanya pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stres (Nugroho, 2008).

Prevalesi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk, 2003). Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit epilepsi (Depkes, 2006). a. Kadar Gula Darah Kadar kalsium din dalam cairan dpat memudah timbulnya bangkitan epilepsy. Hal ini menunjukkan mengapa ada penderita epilepsy yang bangkitanya selalu timbul pada jam 4 pagi. b. Hipokalsemia Kadar kalsium darah penderita epilepsy biasanya normal. Tapi bila seseorang penderita epilepsy terdapat hipokalsemia, maka bangkitan epilepsy akan lebih mudah timbul.

c. Haid Bangkitan epilepsy lebih sering timbul pada saat sedang, menjelang atau segera sesudah haid. Hal ini disebabkna retensi air di dalam jaringan tubuh, termasuk pula dalam susuna saraf pusat. d. hamil (Graviditas) Pada orang hamil, sering dijumpai hipertensi, dang gangguan faal ginjal. Hal ini dapat merendahkan ambang miokloni dan memudahkan timbulnya bangkitan epilepsi diagnosis Walaupun ia melakukan pemeriksaan yang teliti, ia mungkin tidak akan menjumpai suatu kelainan. Bahkan pemeriksaan EEG sering pula memberikan hasil yang normal. Dalam hal demikian, dokter terpaksa mendasarkan diagnosis epilepsi atas laporan penderita dan orang yang menyaksikannya. Neurologi Klinik. Hubungan: Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Budiarto, faktor genetik memegang peranan penting dalam terjadinya kejang demam pada anak-anak. Kemungkinan besar sifat genetik yang diturunkan adalah sifat menurunnya ambang kejang pada kenaikan suhu tubuh. Hal ini memberi keyakinan terjadinya kejang demam oleh karena sel-sel neuron hiperiritabel terhadap peningkatan suhu tubuh.12 11. Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. 1999 Menurut Damudoro salah satu risiko penderita epilepsi adalah faktor keturunan. Risiko epilepsi pada anak yang mempunyai ayah dan ibu menyandang epilepsi adalah 5 kali lebih besar dari pada anak dengan ayah dan ibu bukan menyandang epilepsi.9

Parsial n Kompleks Pada anak usia 3 bulan 12 tahun dengan bangkitan parsial komplek 65% dan bangkitan parsial sederhana 35%, dengan gambaran EEG maupun gejala klinis, 88% adanya kesesuaian letak lesi dengan bentuk bangkitan, Pada bangkitan parsial sekitar 20 % mempunyai gejala klinis dan EEG yang normal,
Epilepsi parsial sederhana dapat memberikan gejala klinis yang berbeda tergantung dari area lesi didaerah mana yang terkena. Lokasi menentukan bentuk bangkitan yang terjadi Guyton :

Epilepsi grand mal ditandai dengan pelepasan muatan listrik yang dari neuron di seluruh area otak dalam korteks serberi, di bagian dalam serebrum, dan bhakan di bagian batang otak. Kejang grand mal biasanya berlangsung selama beberapa detik sampai 3-4 menit. Sebagian besar yang mengalami serangan grand mal mempunyai faktor predisposisi herediter untuk epilepsi, yakni kira-kira 1 dari setiap 50 samapi 100 penderita. Bahkan pada beberapa orang yang tidak mempunyai faktor predisposisi genetik, lesi traumatik dengan jenis tertentu di hamper semua bagian otak dapat menimbulkan kelebihan eksitabilitas daerah setempat. Epilepsi Petit Mal Epilepsi ini ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, dan selama waktu serangan, pasien merasakan kontraksi otot seperti kedutan, yang biasanya terjadi di daerah kepala, terutama pengedipan mata, selanjutnya diikuti dengan kembalinya kesadaran dan timbulnya aktivitas seperti semula. Epilepsi Fokal Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik region setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal paling sering disebabkan oleh lesi organic setempat atau adanya kelainan fungsional, seperti jaringan parut di otak yang menekan neuron di dekatnya, adanya tumor yang menekan daerah otak, rusaknya suatu area pada jaringan otak, atau kelainan sirkuit setempat yang diperoleh

secara congenital. Lesi semacam ini dapat menyebabkan pelepasan impuls yang sangat cepat pada neuron setempat. Serangan epilepsi fokal dapat terbatas hanya di suatu area otak.

Epilepsi adalah salah satu masalah neurologis yang paling umum di seluruh dunia. Sayangnya, individu dengan epilepsi berada pada risiko kematian yang lebih tinggi daripada populasi umum, dan kematian mendadak yang tak terduga pada epilepsi adalah epilepsi terkait langsung paling penting penyebab kematian. Dalam artikel ini meninjau, kelompok penelitian kami difokuskan pada faktor risiko, mekanisme dan langkah-langkah pencegahan yang diperoleh dari studi klinis dan eksperimental pada kematian mendadak yang tak terduga pada epilepsi.
1. Sudden ebexpexted epilep : Scorza FA, Cysneiros RM, Albuquerque M, Scattolini M, Arida RM. Sudden unexpected death in epilepsy: an important concern. Clinics (Sao Paulo). 2011;66 Suppl 1:65-9. PubMed PMID: 21779724; PubMed Central PMCID: PMC3118439.

Electroencephalography (EEG) tetap pusat penyelidikan epilepsi. Tinjauan ini membahas dua masalah klinis di ekstrem temporal rekaman neurofisiologis: evaluasi signifikansi klinis lonjakan debit individu dalam epilepsi jinak anak dengan paku centrotemporal (BECTS), dan lama (beberapa hari) pemantauan EEG terus menerus di ICU. BECTS sering salah didiagnosa, dan mungkin salah-sering diperlakukan juga. Meskipun hasil jangka panjang biasanya sangat baik, masih belum jelas apakah pembuangan epileptiform individu memiliki efek klinis. Menjawab pertanyaan ini sulit, sebagian karena evolusi alami dari epilepsi dan penampilan yang berbeda tergantung pada keadaan tidur atau terjaga, dan juga karena masalah metodelogi substansial dalam mengukur efek kognitif jangka pendek dan jangka panjang. Kontinyu EEG (CEEG) perekaman telah berkembang sangat selama 10years terakhir. Telah terbukti penting dalam diagnosis status epilepticus nonconvulsive (NCSE), terutama di ICU, mengingat kurangnya tanda-tanda klinis biasa jelas kejang pada sebagian besar pasien, banyak dari mereka yang sakit kritis. Banyak kemajuan telah dibuat dalam menyepakati istilah untuk temuan EEG, tetapi diagnosis masih rumit. Teknologi yang lebih efisien dan dapat diandalkan sedang dikembangkan untuk membantu proses jumlah besar data yang ditangkap oleh CEEG dan membuatnya lebih bermanfaat (dan secara tepat waktu) klinis. Namun, itu tidak sepenuhnya jelas

yang pasien harus dipantau, untuk berapa lama, dan apa peran terbaik untuk CEEG dalam menilai dan menyesuaikan pengobatan setelah diagnosis telah dibuat. Penyidik menggunakan CEEG untuk belajar "beban kejang," untuk membantu menentukan apa efek jangka panjang dari kejang nonconvulsive dan NCSE, dan untuk membantu pengobatan membimbing dan meningkatkan hasil.
1. EEG klinikal epilepsy : Herman ST, Takeoka M, Hughes JR, Drislane FW. Electroencephalography in clinical epilepsy research. Epilepsy Behav. 2011 Aug 6. [Epub ahead of print]PubMed PMID: 21824821.

Pada artikel ini, berbagai layanan khusus medis dan lainnya untuk epilepsi yang terakhir. Tujuan diuraikan dan kekurangan ini yang disorot. Saran yang dibuat untuk perbaikan dan khususnya kita menarik perhatian pada kebutuhan dan tempat untuk pengembangan klinik epilepsi untuk pasien epilepsi yang menimbulkan masalah terus. Layanan untuk epilepsi telah dibahas dalam berbagai laporan pemerintah disponsori selama beberapa tahun. Yang terbaru adalah tinjauan mulai lebar dengan rekomendasi khusus untuk perbaikan. Dalam makalah ini, kami menggambarkan kerangka keseluruhan kasus dibutuhkan untuk menangani epilepsi, menekankan terutama masalah epilepsi kronis yang tidak terkendali dan saran menggabungkan dibuat dalam laporan terakhir. Beri peringkat terjemahan
1. Framework epilep : Oxley J, Espir M, Shorvon S, Goodridge D, Richens A. The framework of medical care for epilepsy. Health Trends. 1987 Nov;19(4):13-7. PubMed PMID: 10285230.

2.

Epilepsi, kondisi neurologis yang serius yang paling umum, adalah salah satu non-transmissible penyakit yang paling luas di dunia. Di negara berkembang, sekitar 90% dari mereka dengan epilepsi tidak menerima pengobatan yang tepat, hal ini kesenjangan pengobatan, sangat tinggi dibandingkan dengan penyakit kronis lainnya, membantu untuk menjelaskan marginalisasi dan kondisi hidup yang buruk dari orang-orang. Mengurangi kesenjangan pengobatan dan beban bahwa epilepsi merupakan merupakan tugas yang sulit dan hambatan yang banyak. Sikap budaya, tidak adanya prioritas untuk penyakit ini, infrastruktur kesehatan yang lemah dan kekurangan pasokan anti-epilepsi adalah beberapa faktor yang mencegah pengobatan yang memadai. Sejauh mana masalah ini menyebabkan WHO dan Liga Internasional Melawan Epilepsi untuk meluncurkan kampanye internasional pada bulan Juni 1997 untuk membawa epilepsi "keluar dari bayang-bayang". Kami berusaha untuk mengevaluasi strategi berbasis masyarakat merawat epilepsi pada enam kabupaten percontohan. Strategi ini terdiri dalam mengurangi kesenjangan pengobatan dalam enam unit perawatan lokal primer (PCUs) dan kemudian menyebar program untuk PCUs sekitarnya, seluruh kabupaten dan kemudian seluruh wilayah. Studi evaluasi ini prospektif, yang berlangsung dari Mei 2008 sampai Juli 2009, diterapkan banyak strategi. WHO / AFRO membuat dana yang tersedia sebesar USD 3500 per tahun. Sebuah pertemuan pelatihan diadakan untuk staf dan agen PCU kesehatan masyarakat,

dan berbagai pertemuan dari Mei 2007 sampai Maret 2008 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi. Program Nasional untuk Kesehatan Mental (NPMH) menjamin ketersediaan pasokan permanen anti-epilepsi. Pemantauan dengan pengawasan dan evaluasi kegiatan dilakukan selama dan pada akhir proses oleh anggota tim neurologi Rumah Sakit Lome dan tim manajemen setiap kabupaten. Pengelolaan berbasis masyarakat dari 816 orang dengan epilepsi selama periode 15 bulan dinilai internal. Strategi yang direncanakan dilakukan. Rasio jenis kelamin (M / W) adalah 1.10. Pengobatan adhesi berkisar antara 96% sampai 99%. Kematian adalah 9%. Kesenjangan perawatan di PCUs, yang bervariasi dari 98% menjadi 94% di bulan Mei 2008 turun pada bulan Juli 2009, mulai dari hanya 40% sampai 25%. "Praktek baik" menerima dan mengobati pasien dengan epilepsi di daerah-daerah di mana budaya tradisional mengecualikan mereka dari masyarakat menuntut penerimaan lokal tanggung jawab baik medis dan psikososial. Penurunan serangan epilepsi dan integrasi 2 atau 3 pasien dalam sebuah komunitas cukup untuk membawa orang-orang lain dengan epilepsi keluar dari bayangbayang. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa di negara berkembang, adalah mungkin untuk meningkatkan kesehatan populasi berbeda ketika proyek ini diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer. Hasil yang positif, dan khususnya kesenjangan pengobatan di bawah 50%, diperoleh di semua enam PCUs. Hasil ini, diperoleh setelah berbulan-bulan aktivitas, memberikan kontribusi untuk mengurangi stigmatisasi epilepsi. Mempertahankan ini pengurangan kesenjangan pengobatan membutuhkan kelanjutan dari perjuangan melawan epilepsi dan perbaikan permanen dari perawatan kesehatan primer. Bergerak sering tidak terencana staf dan keengganan kabupaten dan manajer kesehatan regional untuk mengalokasikan sumber daya untuk proyek untuk mengabadikan program merupakan kesulitan utama. Tampaknya mendesak untuk mengadopsi kebijakan yang aktif untuk menyediakan perawatan pasien dengan epilepsi di Afrika dalam rangka untuk meningkatkan jangka hidup mereka. Beri peringkat terjemahan
Epilepsi tretmen togo : Guinhouya KM, Aboki A, Kombat D, Kumako V, Apts K, Belo M, Balogou AK, Grunitzky KE. [The epilepsy treatment gap in six primary care centres in Togo (2007-2009)]. Sante. 2010 Apr-Jun;20(2):93-7. Epub 2010 Aug 3. French. PubMed PMID: 20682482.

Banyak

pedoman

untuk

pengelolaan

epilepsi

telah

dipublikasikan

sejak

diperkenalkannya pengobatan berbasis bukti. Di Jepang, pedoman klinis pertama untuk pengelolaan epilepsi diterbitkan oleh Masyarakat Jepang Neurology (JSN) pada tahun 2002. Jepang Epilepsi Society (JES) telah menerbitkan pedoman untuk beberapa topik sejak tahun 2005. Namun, karena kemajuan terbaru dalam epileptology dan akumulasi pengetahuan yang terkait, ia telah menjadi perlu untuk merevisi pedoman ini. Empat masyarakat-JSN medis, JES, Masyarakat Jepang Therapeutics Neurologis, dan Masyarakat Jepang Anak Neurology-telah bersamasama diterbitkan baru epilepsi terkait pedoman klinis untuk praktisi. Komite terdiri dari 23 pedoman spesialis yang mewakili masyarakat 4. Para praktisi pedoman

target utama umum merawat pasien epilepsi dan dirancang untuk menjadi user friendly-dalam bentuk 81 "pertanyaan klinis" (CQs). Para CQs komprehensif mencakup berbagai aspek manajemen epilepsi termasuk yang berkaitan dengan diagnosis, pengobatan, pembedahan, kehamilan, dan sosial. Rekomendasi singkat dijelaskan dengan tingkat dari A ke D. Tingkat bukti (I sampai IV) dari referensi didasarkan pada tinjauan literatur yang dilakukan oleh panitia. Pedoman ini diterbitkan pada bulan Oktober 2010.

Pdf Diagnosis n Klasifikasi

International League Against Epilepsi mengkategorikan epilepsi menjadi parsial (localization related) dan general tergantung dari letak abnormalitas epileptogenik yang mendasarinya , apakah berada di suatu bagian di salah satu hemisfer otak atau menyangkut kedua hemisfer secara difus. Selanjutnya epilepsi ini juga dibagi menjadi epilepsi primer ( idiopatik ) yang bersifat genetik, age-related, biasanya kondisinya benign dimana epilepsi merupakan gejala yang menonjol atau memang merupakan satusatunya gejala dari gangguan itu, dan epilepsi sekunder (simtomatik) dimana kejang epileptiknya merupakan akibat dari gangguan struktural di sebagian atau seluruh otak, bisa didapat (acquired) ataupun diturunkan (inherited). Pada gangguan genetik seperti tubero-sklerosis dimana defek utama dari otak adalah berupa patologi serebral yang spesifik dan menimbulkan tanda dan gejala yang multipel, meskipun epilepsi merupakan gejala utama, tetap digolongkan menjadi epilepsi sekunder simtomatik.

WHO
Epilepsy can be broadly classified into two types depending upon the presence or absence of a known cause: (a) Idiopathic, where the cause is not known;

(b) Symptomatic, secondary or situation-related seizures where the cause is known.

Idiopathic epilepsy
As the name itself suggests, the cause of this type of epilepsy is not known, although there are some risk factors associated with it. These include previous history of repeated febrile convulsions during early childhood and history of epilepsy among close family members.

Epilepsy and heredity


Some forms of epilepsy, but certainly not all, are hereditary, i.e. inherited due to genetic defects. Seizures are an important manifestation of more than 150 single-gene disorders. In certain parts of India, for example, South India, consanguineous marriages (uncleniece) are in practice, with figures estimated at 33%. This type of marriage should not be encouraged in the event of a family history of epilepsy. Genetic counselling may be necessary for such families.

Risk factor Contribution to risk of seizure Febrile seizures (repeated) 320% develop recurrent seizures (epilepsy) Family history of seizures Not known clearly, may increase risk Brain infections 510% will have seizures at the time of infections Brain injuries 510% will have seizures at the time of injury and another 10% during later years Cerebrovascular disorders 515% develop seizures Mental retardation or cerebral palsy 1020% have seizures Brain tumours The majority will have seizures HIV/AIDS 60% will have seizures at some time Alcohol abuse Heavy usage and withdrawal seizures Drug abuse Depends on type and dose of drug Metabolic conditions Variable: depends on severity of condition and age Hypocalcaemia, hyponatraemia, hypoglycaemia of patient

A few common causes of secondary/provoked seizures in different age groups.


Newborn Birth injury Metabolic abnormalities Congenital abnormalities Genetic causes Infant (less than one year of age) Birth injury Brain infection High fever

School-age child Genetic causes Brain infection High fever Brain injury Young adult (1525 years) Genetic causes Brain infection Metabolic abnormalities Brain tumour Adult (2650 years) Alcohol abuse Brain infection Brain tumours Brain injury Stroke. Elderly citizen (50 plus) Stroke Brain tumour Brain injury Alcohol abuse Terus seluruh patof dr penyakit ke epilepsy liat di WHO .

Infancy and epilepsy Infants below the age of one year may have prolonged seizures, sometimes lasting up to thirty minutes or one hour. Since these seizures may be bizarre and fragmented, it is difficult to make a correct diagnosis. Child specialists need to be knowledgeable about the different types of childhood seizures. This is specially required in developing countries such as those in the SEA Region, where very few trained paediatric neurologists (neurologists specializing in brain disorders of children) are available. The common causes for seizures during infancy are: (i) birth injury; (ii) metabolic disturbances and (iii) brain infections. In addition, there are certain special forms of epileptic syndromes, such as infantile spasms. These need to be diagnosed and properly treated to prevent the development of mental handicaps and intractable epilepsy.

Tabel Judul tabel 1. Distribusi Subjek Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin 2. Distribusi Subjek Berdasarkan Karakteristik Klinis 3. 4. Distribusi Subjek Berdasarkan Etiologi Epilepsi Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin dan

Halaman 24 24 25 25

5.

Kelompok Usia Distribusi Subjek Kelompok Usia

Berdasarkan

Etiologi

dan

26

6.

Hubungan antara usia penderita rawat jalan epilepsi dan etiologi epilepsi

26

You might also like