You are on page 1of 20

PENATALAKSANAAN BRONKOPNEUMONIA Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat

selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifragmasi seperti penisilin diambah dengan kloramfenikol atau diberi antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampicillin. Pengobatan diteruskan sampai anak bebas demam selama 4 5 hari.3 Pengobatan dan penatalaksaannya meliputi :3,7

Bed rest Anak dengan sesak nafas memerlukan cairan inta vena dan oksigen (1 2 l/mnt). Jenis cairan yang digunakan adalah campuran Glukosa 5% dan NaCl 0,9% ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml botol infus.

Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan dan kenaikan suhu. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit Pemberian antibiotik sesuai biakan atau berikan : Untuk kasus pneumonia community base : Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian

Untuk kasus pneumonia hospital base : Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian Amikasin 10-15 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian

Antipiretik : paracetamol 10-15 mg/kgBB/x beri Mukolitik : Ambroxol 1,2-1,6 mg/kgBB/2 dosis/oral Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip. Jika sesaknya berat maka pasien harus dipuasakan.

Tabel pemilihan antibiotika berdasarkan etiologi :3 Mikroorganisme Streptokokus dan StafilokokusM. Penicilin Pneumonia H. Influenza Ampicilin 100-200 mg/kgBB/hari atau Klebsiella dan P. Aeruginosa Ceftriakson 75-200 mg/kgBB/hari Eritromisin 15 mg/kgBB/hari Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari Sefalosporin atau G 50.000-100.000 unit/hari IV

atauPenicilin Prokain 6.000.000 unit/hari IM

Penatalaksanaan bronkopneumonia menurut Mansjoer (2000) dan Ngastiyah (2005) dibagi dua yaitu penataksanaan, medis &keperawatan. 1. Penatalaksanaan medis Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi. Akan tetapi, karena hal itu perlu waktu dan pasien perlu terapi secepatnya maka biasanya diberikan : a. Penisilin ditambah dengan Cloramfenikol atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti Ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4 5 hari. b. Pemberian oksigen dan cairan intervensi. c. Karena sebagian besar pasien jatuh ke dalam asidosis metabolik akibat kurang makan dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri d. Pasien pneumonia ringan tidak perlu dirawat di Rumah Sakit. 2. Penatalaksanaan Keperawatan Penatalaksanan keperawatan dalam hal ini yang dilakukan adalah : a. Menjaga kelancaran pernafasan Klien pneumonia berada dalam keadaan dispnea dan sianosis karena adanya radang paru dan banyaknya lendir di dalam bronkus atau paru. Agar klien dapat bernapas secara lancar,lendir

tersebut harus dikeluarkan dan untuk memenuhi kebutuhan O2 perlu dibantu dengan memberikan O2 2 l/menit secara rumat. b. Kebutuhan Istirahat Klien Pneumonia adalah klien payah, suhu tubuhnya tinggi, sering hiperpireksia maka klien perlu cukup istirahat, semua kebutuhan klien harus ditolong di tempat tidur. Usahakan pemberian obat secara tepat, usahakan keadaan tenang dan nyaman agar psien dapat istirahat sebaik-baiknya. c. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan Pasien bronkopneumonia hampir selalu mengalami masukan makanan yang kurang. Suhu tubuh yang tinggi selama beberapa hari dan masukan cairan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi. Untuk mencegah dehidrasi dan kekukrangan kalori dipasang infus dengan cairan glukosa 5% dan NaCl 0,9%. d. Mengontrol Suhu Tubuh Pasien bronkoneumonia sewaktu-waktu dapat mengalami hiperpireksia. Untuk ini maka harus dikontrol suhu tiap jam. Dan dilakukan kompres serta obat-obatan satu jam setelah dikompres dicek kembali apakah suhu telah turun. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut : Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) Golongan Penisilin TMP-SMZ Makrolid Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi Marolid baru dosis tinggi Fluorokuinolon respirasi Pseudomonas aeruginosa Aminoglikosid Seftazidim, Sefoperason, Sefepim Tikarsilin, Piperasilin

Karbapenem : Meropenem, Imipenem Siprofloksasin, Levofloksasin Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) Vankomisin Teikoplanin Linezolid Hemophilus influenzae TMP-SMZ Azitromisin Sefalosporin gen. 2 atau 3 Fluorokuinolon respirasi Legionella Makrolid Fluorokuinolon Rifampisin Penatalaksanaan gagal napas a. Konservatif 1. Oksigen Terapi oksigen sebaiknya dilakukan dengan control pemberian secara titrasi untuk mendapatkan saturasi (SaO2) 90-92%, diukur dengan oksimeter dan serial AGD. Oksigen awalnya dapat diberikan dengan kanul intranasal aliran rendah atau 24% atau 28% sungkup venturi. Peningkatan PaCO2 pada terapi oksigen sering terjadi dan harus diberikan suatu perhatian. Jika peningkatan PaCO2 terjadi secara eksesif (misalnya lebih dari 10 mmHg), pemberian oksigen diturunkan, dan dilakukan titrasi SaO2 2-3% dibawah nilai awal dan dilakukan pengulangan pemeriksaan AGD. Jika tidak terjadi peningkatan PaCO2 pada terapi oksigen, maka SaO2 dapat dijadikan target untuk dicapai dengan pemeriksaan AGD secara serial. Jika hipoksia tidak secara adekuat dapat ditangani (SaO2 <85%), dapat digunakan system hantaran oksigen yang lebih tinggi.

2. Bronkodilator Pada gagal nafas yang diduga disebabkan oleh PPOK, dapat diberikan bronkodilator untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas dan meningkatkan bersihan mukosilier terhadap secret jalan nafas. Pemberian secara nebuliser -2 simpatomimetik (missal salbutamol, terbutalin, atau fenoterol) diberikan selama 24 jam. Kombinasi dengan ipratropium bromide akan meningkatkan efikasinya. Aminiphillin (loading dose 5-7 mg/kgbb IV dalam 30 menit, diikuti dengan perinfus 0,6 mg/kgbb) juga sering diberikan, meskipun masih banyak diragukan kegunaannya secara umum. Theophillin mempunyai keuntungan tambahan karena meningkatkan kontraktilitas diafragma, meskipun kepentingan klinis akan hal tersebut belum jelas. Simpatomimetik parenteral jarang diindikasikan dan tidak direkomendasikan untuk penggunaan secara rutin. 3. Steroid Pemberian steroid akan mengatasi sumbatan jalan nafas pasa saat terjadinya eksaserbasi PPOK. Pemberiannya sebaiknya dihindari pada gagal nafas akut yang disebabkan oleh pneumonia bacterial atau bronchitis.Dosis yang digunakan adalah mirip dengan terapi pada asma akut (missal : hidrokortison 3 mg/kgbb atau metilprednisolon 0,5 mg/kgbb diberikan setiap 6 jam selama 72 jam). 4. Antibiotik Kegunaan dari terapi antibiotic masih kontroversi. Antibiotik nampaknya bermanfaat jika gagal nafas akut terjadi karena suatu infeksi bacterial. 5. Pembersihan sekresi secara non-invasif Pembersihan sekresi jalan nafas bawah adalah sangan penting dan krusial: a. Fisioterapi dada, adalah teknik primer, dan seharusnya dimulai dan secara regular diulangi sebagai suatu penilaian secara kuratf dan preventif. Peningkatan kemampuan batuk dan nafas dalam adalah dua factor terpenting. b. Nebuliser dengan mukolitik, seperti asetilsistein sebagai tambahan untukbronkodilator, diketahui. namun keuntungannya belum secara pasti

6. Penilaian Lain a. Hidrasi, Diuretic, Digoksin, dan Vasodilator Diuretik dan digoksin berguna pada gagal ventrikel kiri. Diuretik akan menurunkan overload cairan pada korpulmonale. Namun demikian, penggunaanya harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien dengan hipertensi pulmoner yang berat. Penurunan preload secara eksesif akan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kanan dan akan menimbulkan keadaan output yang rendah. Vasodilator paru mempunyai dasar yang lebih rasional, namun hasil klinisnya bertentangan, tanpa suatu keuntungan yang jelas. b. Heparin Diberikan subkutan dengan dosis rendah (missal 5000 unit SC), direkomendasikan sebagai profilaksis pada venous trombosis dan emboli paru. c. Koreksi Elektrolit Sering terjadi hipophospatemia, dan hipomagnesemia, hipoklasemia dan hiperkalemia juga dapat timbul dan akan mempengaruhi fungsi otot respirasi. Hiponatremia dapat timbul pada penggunaan diuretikyang berlebihan. d. Drainase Interkostal Diindikasikan pada pneumothorak dan efusi pleura dengan penurunan volume respirasi yang besar. e. Stimulan Respirasi Untuk meningkatkan drive respirasi dan menurunkan PaCO2. Obat yang dapat digunakan antara lain : azetazolamide, medroxyprogesteron, naloxon, doxapram dan almitrine. f. Nutrisi Factor nutrisi sangat penting karena malnutrisi sering dihubungkan dengan penurunan massa dan kelenturan otot respirasi, dan meningkatkan resiko kelelehan otot respirasi. Nutrisi enteral lebih disukai.

b. Non Konservatif 1. TeknikInvasif Untuk Pembersihan Sputum Sebagian besar dari teknik bersifat sementara ini dilakukan pada pasien yang mengalami atau diduga akan mengalami kegagalan dengan teknik non-invasif. Tujuannya adalah untuk menghindari intubasi dan ventilasi mekanik jika memungkinkan.

a. Penghisapan Oropharing atau Nasopharing Tidak jarang digunakan untuk mencapai trakea, namun prosedur ini penting untuk membersihkan sekresi faring, stimulasi batuk dan pembersihan jalan nafas bawah yang dibatukkan hanya sampai pada hipofaring. b. Nasopharyngeal Airway Memungkinkan lewatnya alat penghisap melalui hidung dan faring bagian atas untukmencapai laring. c. Bronkoskopi Fiberoptik Menjamin untuk dapat masuk ke jalan nafas bawah dan mengevaluasi ke semua subsegmen mayor. Biasanya diindikasikan pada kolaps fokal atau konsolidasi karena obstruksi oleh sputum. d. Minitrakeostomi (Portex Mini-Trach) Pemasangan tube trakeostomi dengan diameter kecil(4,0 mm) melalui membran kriko-tyroid dengan anetesi local,menggunakan teknik

Seldinger. Hal ini akan memungkinkan penghisapan menggunakan kateter lubang kecil (10 FG). e. Intubasi Endotrakeal Intubasi endotrakeal hanya untuk penghisapan secret jalan nafas (tanpa tunjangan ventilasi) mungkin masih dipertanyakan, namun telah digunakan. Lebih tidak ditoleransi daripada minitrakeostomi namun akan

memberikan akses lubang penghisap yang lebih besar dan control yang lebih baik pada inspirasi oksigen dan kelembabannya. Tunjangan ventilasi juga akan lebih mudah dilakukan.

f. Trakeostomi Akan memberikan lubang akses ke jalan nafas bawah yang terbaik, paling nyaman, dan bentuk yang paling stabil.

2. Tunjangan Ventilasi Mekanik Ketika gagal nafas memberat atau gagal untuk pulih meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang agresif, intubasi dan tunjangan ventilasi mekanik akan dibutuhkan. Keputusan untuk melakukan tunjangan ventilasi mekanik memerlukan pertimbangan yang hati-hati. Ventilasi mekanik sering

berhubungan dengan kesulitan untuk penyapihan dan ketergantungan terhadap ventilator. Hiperkarbia dan asidosis tersendiri tidak merupakan indikasi untuk ventilasi mekanik, selama tidak menimbulkan tanda-tanda ancaman gagal nafas. Beberapa criteria yang dapat dijadikan pertimbangan untukmlakukan ventilasi mekanik : a. Penampakan klinis kelelahan otot nafas dan ancaman gagal nafas. b. Peningkatan PaCO2 meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang adekuat, dan tidak disebabkan oleh pemberian oksigen. c. Perburukan level kesadaran karena kelelahan, hiperkarbia atau keduanya. d. Perburukan karena kegagalan perbersihan sputum. e. Henti nafas.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada penyakit yang mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus ditujukan untuk mencegah komplikasi dan memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU.5 Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan.

Penatalaksanaan Non Respiratorik Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari.16,18-20 Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,537,5oC.10 Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia.19 Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10% atau dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat ditambahkan pada infus cairan yang diberikan.16 Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3 g/kgBB/hari.10 Prinsip lain perawatan neonatus yang mengalami distress nafas adalah minimal handling. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan monitor sekaligus untuk menilai keadaan kardiorespiratorik, temperatur, dan saturasi oksigen pada bayi.19 Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah ampicillin dan gentamicin.7,18,19

Penatalaksanaan Respiratorik Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan ventilasi.16,20 Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan.16

Tabel 5. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri


> 95% 88-94% 85-92%
Sumber: Mathai16

Bayi aterm Bayi pre term (28-34 minggu) < 28 minggu

Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau memburuknya keadan klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang terganggu.11,19

Sumber: Mathai16, Hermansen18

Penatalaksanaan di ruang NICU Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif neonatus (NICU) saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), telah banyak dilakukan dan berakibat pada berkurangnya penggunaan extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek samping.5,17 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi gagal nafas pada neonatus (misalnya dengan pemberian nitrat oksida, extracorporeal membrane oxygenation), 25-30% penderita yang berhasil bertahan hidup mengalami gangguan kognitif, 6-13% mengalami cerebral palsy, 6-30% mengalami gangguan pendengaran, dan pada usia sekolah banyak yang mengalami gangguan perhatian, pendengaran, disfungsi neuromotorik dan perilaku.14

Ventilasi Mekanis Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. 10,21 Derajat distress pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan.22,23 Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.21,23

Surfaktan Surfaktan dibentuk oleh pneumosit alveolar tipe II dan disekresikan kedalam rongga udara pada usia kehamilan sekitar 22 minggu. Komponen utama surfaktan adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan mielin tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan lapisan tunggal berasal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC. Fungsinya adalah untuk mengurangi tegangan permukaan dan menstabilkan saluran nafas kecil selama ekspirasi yang memungkinkan stabilisasi dan pemeliharaan volume paru. Surfaktan juga berperan dalam mekanisme pertahanan paru dengan meningkatkan mucociliary clearance.24-26 Fungsi surfaktan yang paling penting adalah menurunkan tegangan permukaan alveolar sehinggga terjadi stabilisasi volume paru pada tekanan transpulmonal yang rendah. Surfaktan akan mencegah kolapsnya jalan nafas saat ekspirasi dan memungkinkan tekanan yang lebih rendah untuk mengembangkan paru-paru, sehingga peregangan yang berlebihan dari paru-paru dapat dicegah dan resiko terjadinya ruptur alveolus berkurang akibat surfaktan mengurangi tekanan negatif yang diperlukan untuk membuka jalan nafas dan kerja pernafasan.10,25,26 Terapi surfaktan diberikan pada kedaan defisiensi surfaktan pada bayi prematur seperti pada hyaline membrane disease (HMD), neonatal lung injury yang tidak berhubungan dengan prematuritas, seperti hernia diafragma kongenital, dan meconeum aspiration syndrome (MAS). Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari bilas paruparu domba atau babi.24, 26 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan surfaktan dapat menurunkan penggunaan extracorporeal membrane oxygenation pada neonatus yang mengalami kegagalan nafas.27 Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih.24

Tabel 6. Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.


Nama Produk Galfactant Beractant Colfosceril Porcine
Sumber: Kosim24

Dosis Awal 3 ml/KgBB 4 ml/KgBB 5 ml/KgBB diberikan dalam 4 menit 2,5 ml/KgBB

Dosis Tambahan Dapat diulang sampai 3 kali pemberian dengan interval tiap 12 jam Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total 4 dosis dalam 48 jam Dapat diulang setelah 12 dan 24 jam Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap 12 jam

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan cara ini kurang efektif karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit.10,24,25 Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi, hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan ventilasi.24,25

High Frequency Ventilation High frequency ventilation (HFV) adalah bentuk ventilasi mekanik yang menggunakan volume tidal yang kecil, dan laju ventilator yang cepat. Keuntungan HFV adalah dapat memberikan gas yang adekuat dengan tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga mengurangi kejadian barotrauma.17,28

High frequency ventilation menggunakan konsep untuk mengurangi trauma volume dan atelektaruma, yang akan mengurangi PaCO2 dengan resiko barotrauma yang kecil pada paru-paru. HFV telah digunakan pada bayi dengan respiratory distress syndrome (RDS) yang memerlukan bantuan nafas lebih lanjut. HFV juga sangat efektif pada bayi dengan aspirasi mekonium. HVF juga mengurangi kejadian barotrauma pada bayi dengan berat badan rendah. Pada saat ini penggunaan HFV lebih direkomendasikan karena komplikasi yang lebih sedikit. Terdapat beberapa macam mode high frequency ventilator yang digunakan, yaitu: high-frequency positive-pressure ventilators, high-frequency jet ventilators, dan high frequency oscillators.17,28 Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan ventilator biasa. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS yang menggunakan ventilator HFV memperlihatkan penurunan kejadian lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan ventilasi yang adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah, sehingga penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks, hipoplasia paru, sindroma aspirasi mekonium, pneumonia dengan atelektasis.17,28

Inhaled Nitric Oxide Inhaled nitric oxide (iNO) dapat memperbaiki vasodilatasi paru dan oksigenisasi pada bayi cukup bulan dengan gagal nafas yang berat. Beberapa penelitian multisenter menyebutkan bahwa iNO akan mengurangi kebutuhan akan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).29,30 Penggunaan iNO pada terapi gagal nafas pada bayi berdasar kepada kemampuannya sebagai vasodilator di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO dipertimbangkan karena memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular resistance (PVR).29,30 Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan salah satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah dalam batas normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos pembuluh darah dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari cGMP, cGMP kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase

dependent cGMP, yang secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan menyebabkan relaksasi otot polos.29,30 Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida endogen secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida menyebabkan angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal.30,31 Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru.15,29 Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas.15,29,30

Extracorporeal Membrane Oxygenation Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator. Selama ECMO berlangsung paru-paru bayi dapat terus bekerja namun dalam volume yang lebih kecil untuk mencegah terjadinya atelektasis.32,33 ECMO paling sering digunakan pada keadaan-keadaan seperti: sindroma aspirasi mekonium, dengan rata-rata 94% dapat bertahan hidup setelah terapi, persistent pulmonary hypertension, sepsis, respiratory dystress syndrome, hernia diafragmatika.32-34 Prosedur ECMO sangat invasif dan resiko tinggi. Penggunaan ECMO pada bayi preterm dengan usia gestasi 34 minggu ternyata memperlihatkan angka kematian yang tinggi disebabkan perdarahan intrakranial. Sehingga kriteria inklusi untuk ECMO adalah usia gestasional 34 minggu atau berat lahir 2000 gram, tidak ada gangguan perdarahan, telah diberikan ventilasi mekanik selama 10-14 hari, penyakit paru bersifat reversibel.33-35 Pasien neonatus biasanya memerlukan terapi ECMO selama 7-8 hari. Selama periode ini bayi dengan gagal napas dapat secara perlahan diberikan seting ventilator yang minimal dan apabila perbaikan dapat di ekstubasi dalam 24-48 jam. Setelah dilakukan ekstubasi bayi memerlukan oksigen selama 5-7 hari dan perlu pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit,

dan elektrolit dalam 6-18 jam setelah ECMO. Komplikasi dari ECMO antara lain perdarahan intrakranial, infark sistem saraf pusat, kejang, perdarahan paru, hipertensi, dan tamponde jantung. Penderita yang telah menjalani ECMO dapat bertahan hidup walaupun morbiditasnya tinggi.33,35

RINGKASAN

Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius, yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan. Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi berat badan lahir rendah, dan golongan sosioekonomi rendah. Diagnosis gagal nafas merupakan diagnosis klinis. Gambaran klinis yang meningkatkan kewaspadaan klinisi akan terjadinya gagal nafas antara lain: peningkatan atau penurunan laju respirasi, peningkatan atau penurunan usaha nafas, periodic breathing, apnea, sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen, turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti bradikardi, dan penggunaan otototot pernafasan tambahan. Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai gagal nafas akut. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2 60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25. Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus saat ini meliputi penggunaan ventilator mekanik, penggunaan surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), dan extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek samping. Penggunaan ventilator mekanik biasa mempunyai resiko terjadinya baro trauma dan volume trauma. Inhaled nitric oxide bekerja sebagai vasodilator dari paru-paru, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif terapi terutama pada komplikasi penyakit paru bayi (PPHN. Surfaktan dapat digunakan pada RDS dan sindroma aspirasi mekonium dan memperlihatkan perbaikan yang nyata. High frequency ventilation adalah bentuk ventilasi mekanik yang baik dengan risiko barotraumas dan volumetrauma yang lebih kecil. ECMO merupakan alternatif penatalaksanaan gagal napas yang lain apabila terapi diatas sudah tidak dapat digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. Epidemiology of neonatal respiratory failure in the united states. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1154-60. Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, dkk. Neonatal respiratory failure: a 12-month clinical epidemiologic study from 2004 to 2005 in China. Pediatrics. 2008;121:1115-24. UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23 November 2010); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan kesehatan: Peran penelitian kesehatan. 2006; (Diunduh 23 November 2010); Tersedia dari: http://www.depkes.go.id. Hagedorn M, Gardner S, Abman S. Common systemic diseases of the neonate: Respiratory diseases. Dalam: Merenstein G, Gardner S, penyunting. Handbook of neonatal intensive care. Edisi 5. St. Louis: Mosby; 2002. h. 485-575. Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. Disorders of the lung parenchyma. Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 683-93. Jing L, Yun S, Jian-ying D, Tian Z, Jing-ya L, Li-li L, dkk. Clinical characteristics, diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term neonates. Chin Med J. 2010;123(19):2640-44. Levy M. Pathophysiology of oxygen delivery in respiratory failure. Chest. 2005;128:547-53. Kumar A, Bhatnagar V. Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatr 2005. 2005;72(5):425-38. Sweet D, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, dkk. European consensus guidelines on the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants: 2010 Update. Neonatology. 2010;97:402-17. Frankel L. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman R, Behrman R, Jenson H, Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 18. Philadelphia: Sunders Elsevier; 2007. h. 421-4. Ranjit S. Acute respiratory failure and oxygen therapy. Indian J Pediatr 2001. 2001;68(3):249-55.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Carlo W. Assisted ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the high-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders; 2001. h. 277-300. Allen M. Follow-up of high-risk infants. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. Edisi 6. USA; 2009. h. 179. AAP Committe on fetus and newborn. Use of Inhaled Nitric Oxide. Pediatrics. 2000;106(2). Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007;63(269-72). Field D. Alternative strategies for the management of respiratory failure in the newborn clinical realities. Semin Neonatol 2002. 2002;7:429-36. Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician. 2007;76:987-94. Metropolitan health and aged division victorian government. Neonatal Handbook. (Diunduh 18 November 2010); Tersedia dari: www.neonatalservices.health.vic.gov.au. Doniger S, Sharieff G. Pediatric resuscitation revised: A summary of the updated BLS/NALS/PALS recommendations. Israeli Journal of Emergency Medicine 2007;7(2):18-25. Eichenwald E. Mechanical ventilation. Dalam: Cloherty J, Eichenwald E, Stark A, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 331-42. Hamm C. Respiratory management. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, disease, and drugs. Edisi 6. USA: McGraw-Hill; 2009. h. 48-67. Van Kaam A, Rimensberger P, Borensztajn D, De Jaegere A. Ventilation practices in the neonatal intensive care unit: A cross-sectional study. J Pediatr 2010;157:767-71. Kosim M. Use of surfactant in neonatal intensive care units. Pediatrica indonesiana. 2005;45:233-40. Bissinger R, Carlson C. Surfactant. Newborn and Infant Nursing Reviews. 2006;6(2):87-93. Masmonteil T. Expanded use of surfactant therapy in newborns. Clin Perinatol. 2007;34:179-89. Lotze A, Mitchell B, Bulas D, Zola E, Shalwitz R, Gunkel J. Multicenter study of surfactant (beractant) use in the treatment of term infants with severe respiratory failure. Pediatr. 1998;132:40-7.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

Lampland A, Mammel M. The Role of high-frequency ventilation in neonates: Evidence-based recommendations. Clin Perinatol 34. 2007;34:129-44. Konduri G, Vohr B, Robertson C, Sokol G, Solimano A, Singer J, et al. Early inhaled nitric oxide therapy for term and near-term newborn infants with hypoxic respiratory failure: neurodevelopmental follow-up. J Pediatr. 2007;150:235-40. Rosenberg A. Inhaled nitric oxide in the premature infant with severe hypoxemic respiratory failure: A time for caution. J Pediatr. 1998;133:720-2. NICHD Neonatal research network. Inhaled nitric oxide in full-term and nearly fullterm infants with hypoxic respiratory failure. N Engl J Med. 1997;336:597-604. Hustead V. Extra corporeal membrane oxygenation of the newborn. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. Edisi 6. USA: McGraw-Hill. h. 139-49. Brown K, Sriram S, Ridout D, Cassidy J, Pandya H, Liddell M, et al. Extracorporeal membrane oxygenation and term neonatal respiratory failure deaths in the United Kingdom compared with the United States: 1999 to 2005. Pediatr Crit Care Med 2010;11(1). Chevalier J, Renolleau S. Extracorporeal lung support for neonatal acute respiratory failure. Semin Neonatal 1997;2:139-46. Khambekar K, Nichani S, Luyt D. Developmental outcome in newborn infants treated for acute respiratory failure with extracorporeal membrane oxygenation: present experience. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2006;91:21-5.

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

You might also like