You are on page 1of 17

Demiliterisasi dan Keadilan Transisional

dalam Proses Demokratisasi di Indonesia


oleh AE Priyono Pendahuluan Isu mengenai keharusan demiliterisasi dan penegakan keadilan trasisional biasanya dikemukakan oleh para aktivis HAM sebagai prasyarat bagi demokratisasi di Indonesia. Argumen yang mendasari kedua isu itu sebenarnya berakar pada pandangan bahwa militer yang menjalankan pemerintahan represif di masa lalu menjadi aktor paling bertanggungjawab terhadap terjadinya kejahatan HAM dalam skala yang luas. Karena itu menjadi kewajiban pemerintah pasca Orde Baru untuk mengeliminasi peranan politik tentara, mengadili mereka yang bersalah, dan memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM. Dengan kata lain, demiliterisasi dan penegakan keadilan harus dilakukan secara bersamaan. Diasumsikan secara umum bahwa ketika rezim-rezim militer otoritarian tumbang oleh gerakan perlawanan demokratis, akan terjadi peralihan radikal dari represi ke demokrasi. Tapi dalam suasana peralihan itu likuidasi sistem politik lama dan eksperimentasi keadilan restoratif tidak bisa dengan mudah dikerjakan. Projek demililiterisasi cum penegakan keadilan transisional senantiasa menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks dan seringkali mengidap berbagai komplikasi. Ini biasanya berkaitan dengan kompleksitas politik proses demokratisasi. Tulisan ini akan melihat bagaimana pengalaman Indonesia menyangkut projek demiliterisasi dan skenario keadilan transisional sebagaimana yang dikerjakan oleh berbagai aktivis pro-demokrasi, khususnya yang bergerak di bidang advokasi HAM selama lima tahun terakhir, sejak 1999. Pertanyaan pokoknya adalah apakah demiliterisasi dan keadilan transisional merupakan projek yang sejalan dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia? Dengan cara bagaimana dan melalui strategi seperti apa kedua projek itu bisa menyumbangkan sesuatu yang produktif bagi pengembangan demokrasi substansial di Indonesia? Dengan memaparkan berbagai pemikiran para aktivis yang menggarap isu-isu demiliterisasi dan penegakan keadilan transisional, tulisan ini akan meninjau argumentasi mereka khususnya yang bersifat strategis-implementatif, lalu kemudian mengkomparasikannya dengan masalah-masalah dan pilihan-pilihan yang dihadapi gerakan aktor pro-demokrasi sebagaimana yang dihasilkan melalui temuan-temuan riset DEMOS. Projek Demiliterisasi Isu demiliterisasi di Indonesia pasca Suharto sebenarnya berakar pada gerakan-gerakan perlawanan untuk menentang rezim represif-militer Orde Baru. Menurut IRE, Institute for Research and Empowerment, sebuah NGO yang berbasis di Yogyakarta, tema pokok

gerakan oposisi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah menentang praktek militerisasiotoritarianisme-sentralisasi dalam rangka demiliterisasi-demokratisasi-desentralisasi.1 Setelah Orde Baru tumbang, agenda demokratisasi dan desentralisasi relatif berhasil dilembagakan; sementara agenda demiliterisasi mengalami berbagai hambatan sehingga berjalan lambat dan menghadapi banyak keruwetan. Komplikasi yang dihadapi proyek demiliterisasi pasca Orde Baru tampaknya disebabkan karena ruang dominasi dan hegemoni sosial, politik dan ekonomi yang diwarisi oleh militer begitu luas sehingga upaya pengikisannya memerlukan banyak energi dan sumberdaya. Isu demiliterisasi dalam konteks khusus Indonesia, sebagaimana diikhtisarkan oleh Cornelius Lay, pengamat militer dari UGM, bergerak di antara dua spektrum pandangan yang berbeda. Pandangan pertama bersifat menegasikan eksistensi militer dan mencitacitakan sebuah masyarakat tanpa tentara. Pandangan kedua bersifat lebih realistis dan secara substansial mengakui kehadiran tentara sebagai fenomena sosiologis; hanya peranannya harus diatur dalam format politik demokratis di mana tentara harus menerima supremasi sipil. Isu-isu spesifik yang dilontarkan dalam agenda demiliterisasi merentang dari tuntutan redefinisi dan reposisi TNI, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan, penghapusan dwifungsi ABRI, penghapusan fungsi teritorial TNI, hingga desakan agar prajurit kembali ke barak.2 Karena demiliterisasi seringkali dipahami sebagai agenda pada tingkat reformasi sektor keamanan (SSR security sector reform), padahal dalam kenyataannya hegemoni militer Indonesia tidak hanya didasarkan pada doktrin dwi-fungsi (keamanan dan politik) tetapi juga multi-fungsi (poleksosbud politik, ekonomi, sosial, budaya), maka seringkali pendekatan ini memang tidak menyentuh akar persoalan. Dalam hubungan ini para aktivis demiliterisasi kemudian mengembangkan konsep keamanan tidak sebatas dalam pengertian tradisional sebagai keamanan militer, tetapi juga dalam pengertian nontradisional yang mencakup keamanan ekonomi, lingkungan, dan insani. Karena itu tingkat keamanan didefinisikan ulang dari pengertian yang berorientasi kemanan-negara ke arah pemajuan keamanan insani yang menyentuh aspek-aspek keamanan individual.3 Reformasi atas institusi-institusi keamanan dalam pendekatan baru ini akan mencakup pemajuan atas pembuatan kebijakan, pelaksanaan dan pengawasan sektor keamanan dalam kerangka kontrol sipil atas kekuatan-kekuatan bersenjata. Pendekatan reformasi keamanan yang menjadi salah satu agenda demilitersasi di Indonesia sejauh ini diarahkan pada (1) pemajuan manajemen sipil atas kekuatan keamanan dan pertanggungjawaban kekuatan keamanan kepada otoritas sipil; dan (2) pemajuan
Arie Sujito & Sutoro Eko (editor), Demiliterasasi, Demokratisasi dan Desentralisasi, IRE Press, Yogyakarta, 2002.
2 1

Cornelis Lay, Demiliterisasi, Desentralisasi dan Demokrasi: Catatan Pengantar, dalam Arie Sujito & Sutoro Eko, op.cit.

Untuk ulasan lebih lengkap lihat, M Riefqi Muna, Military Reform in Indonesia: How Far and How Real? dalam INFID, Creating Alternatives for Indonesia, A Collection of Selected Papers from INFIDs Conference 2002, INFID, Jakarta, September 2003, pp. 271-288.

transparansi dalam perencanaan dan anggaran sektor keamanan. Agenda ini mendapatkan respons dari pihak militer sendiri ketika pada 1998 mereka merumuskan apa yang disebut sebagai Paradigma Baru TNI yang di dalamnya terkandung serangkaian doktrin yang mengubah peranan sosial politik TNI. Pertama, TNI akan mengubah peranan sehingga tidak lagi perlu tampil di garis depan. Kedua, mengubah posisinya dari menduduki ke mempengaruhi. Ketiga, cara mempengaruhinya berubah dari pengaruh langsung menjadi pengaruh tak langsung. Dan keempat, TNI siap membagi kekuasan kepada kekuatan-kekuatan politik lainnya. Dengan doktrin baru ini, perubahan memang terjadi. Ruang dominasi militer dalam domain sosial-politik menjadi mengecil secara signifikan. Tetapi ini tidak berarti pengaruh politiknya hilang sama sekali. Menurut ICG,4 sekurang-kurangnya ada tiga sumberdaya utama yang menjadikan militer tetap memiliki pengaruh secara politik. Pertama adalah penguasaannya yang tidak tergoyahkan atas struktur teritorialnya di seluruh wilayah negara. Kedua, representasinya yang kuat dalam dinas intelijen negara dan militer. Dan ketiga, aksesnya pada pendanaan melalui perusahaan-perusahaan bisnisnya atau melaui cara-cara lain, termasuk bisnis gelap. Bahkan di sektor terakhir ini, dominasi mereka hampir-hampir tak tersentuh oleh reformasi.5 Karena penguasaannya di tiga sektor strategis itu secara langsung berfungsi sebagai sumber kekuatan mereka, banyak pengamat sekarang ini mulai menaruh perhatian dengan rasa was-was akan munculnya kembali tentara dalam panggung politik. Isu remiliterisasi kembali menguat, 6 apalagi setelah terbukti bahwa dalam pemilihan Presiden 5 Juli 2004 yang lalu, dua kandidat dari lima pasangan yang bersaing adalah Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Kepala Staf Teritotial ABRI pada masa Orde Baru yang dicalonkan oleh sebuah partai kecil yang baru; dan Jenderal Wiranto, mantan Panglima TNI, yang dicalonkan Golkar. Dengan menggunakan skema Alfred Stepan mengenai berbagai hak prerogatif militer yang biasanya masih tersisa dalam pemerintahan transisonal, bisa diperlihatkan dengan jelas bahwa meskipun proses demokratisasi di Indonesia telah menghasilkan pemerintahan sipil melalui pemilihan umum yang demokratis, beberapa hak prerogatif militer masih berlaku, walaupun skalanya rendah.7 Ini masih harus ditambah dengan faktor lain yang
ICG (International Crisis Group), Indonesia: Keeping The Military Under Control, www.crisisweb.org/projects/asia/indonesia/reports/A400054_05092000.pdf [19 April 2001] Untuk menunjukkan betapa besarnya keterlibatan militer dalam dunia bisnis, lihat hasil riset ICW (Indonesian Corruption Watch), Bisnis Militer Mencari Legitimasi, ICW & NDI (National Democratic Institute), Jakarta, 2003.
6 5 4

Untuk kajian mutakhir mengenai menguatnya gejala remiliterisasi, lihat Negeri Tentara, Membongkar Politik Ekonomi Militer, Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 17, Th. II, 2004, INSIST, Yogyakarta. Isu remiliterisasi juga muncul menjadi kekhawatiran publik menyangkut RUU TNI yang dewasa ini sedang dibahas di DPR. Banyak kalangan menilai RUU itu cenderung dipaksakan pengesahannya, khususnya untuk berberapa pasal yang jelas-jelas ingin mengembalikan peranan dwi-fungsi ABRI. Lihat misalnya laporan Kompas, 21 Juli, 2004.

Stepan menggunakan sebelas parameter untuk menentukan apakah dimensi hak prerogatif militer berskala rendah, moderat, atau tinggi. Kesebelas paramater itu antara lain, peranan militer dalam sistem politik;

juga harus diperhitungkan. Dalam situasi transisional di mana para elite politik sipil lama, yang pada masa pemerintahan Orde Baru menjalin hubungan erat dengan militer, bisa tampil dengan leluasa sementara elite politik sipil baru yang lebih reformis tidak cukup kuat desakan untuk semakin memperkecil hak-hak prerogatif militer sesungguhnya masih sangat terbatas. Dalam pengertian seperti itu, projek demiliterisasi memang menjadi pekerjaan yang sungguh amat berat, khususnya pada tahap-tahap awal transisi untuk menata ulang hubungan sipil-militer sesuai dengan format demokratis. Diasumsikan akan ada banyak perlawanan dari pihak militer yang tidak rela hak-hak prerogatifnya dilucuti. Dalam situasi di mana pemerintahan sipil yang terbentuk melalui proses demokratis pasca otoritarianisme ternyata mengidap banyak kelemahan, repolitisasi militer, atau remiliterisasi, akan berulang kembali baik melalui kontestasi maupun tanpa kontestasi yang berarti.8 Penting juga dipertimbangkan fakta lainnya. Meskipun penyebab dari tragedi kekerasan sosial yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini masih tertimbun dalam belantara desas-desus, namun faktanya adalah bahwa krisis yang menyertai tumbangnya Orde Baru diyakini banyak pihak melibatkan di dalamnya skenario dan sekaligus pelaku dari kalangan militer.9 Fakta ini jelas merupakan ironi karena alih-alih menjaga keamanan warga dan melindungi masyarakat, tentara justru terlibat dalam peristiwa kekerasan yang menimbulkan ribuan korban jiwa. Ini bukan saja menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan profesional tentara dalam fungsi utamanya menjaga keamanan tetapi juga motif di balik sikapnya membiarkan peristiwa-peristiwa kekerasan itu berlangsung tanpa pencegahan. Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa sejak 1997-2003 peristiwa kekerasan kolektif di berbagai wilayah di Indonesia meningkat tajam (3.145 kasus) menjelang krisis rezim dan selama masa transisi dibandingkan yang terjadi sebelumnya, sehingga menimbulkan korban mencapai lebih dari 10an ribu jiwa.

hubungan militer dengan kepala eksekutif; fungsi koordinasi sektor pertahanan; partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet; peranannya dalam proses legislasi, mesin birokrasi, dan dinas intelijen; peranannya dalam perusahaan negara, kepolisian, dan promosi milter; serta peranannya dalam sistem hukum. Lihat Alfred Stepan, Rethiking Military Politics, Brazil and Southern Cone, Princeton Univeristy Press, New Jersey, 1988, khususnya chapter 7, pp. 93-127.
8

Untuk ulasan mengenai yang terjadi di era pemerintah Gus Dur, lihat Dewi Fortuna Anwar et.al, Gus Dur versus Militer: Studi tentang Hubungan Sipil Militer di Era Transisi, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2002. Untuk situasi lebih mutakhir, lihat artikel-artikel Indro Tjahjono, Kusnanto Anggoro, dan George Junus Aditjondro, dalam edisi khusus Wacana seperti dikutip di atas, loc.cit. Untuk sebuah uraian yang menarik tentang projek militer dalam konflik sosial agama di Ambon, lihat Muhammad Najib Azca, Security Sector Reform, Democratic Transition, and Social Violence: The Case of Ambon, Indonesia, makalah yang disiapkan untuk website Berghof Handbook for Conflict Transformation, forthcoming.

4000

800

3500

700

2500

500

2000

400

1500

300

1000

200

500

100

0
deaths incidents

1990 10 30

1991 25 46

1992 7 62

1993 25 60

1994 14 63

1995 23 79

1996 51 123

1997 1,059 244

1998 1,442 432

1999 3,546 523

2000 2,585 722

2001 1,615 523

2002 245 406

2003 111 295

Sumber: Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean, Muhammad Zulfan Tadjoeddin, Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003), UNSFIR Working Paper, 04/03, United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta, July 2004, p. 24.

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor penting yang menjadi kendala bagi agenda gerakan demiliterisasi, misalnya menyangkut ruang kekuasaan militer yang masih tetap luas tetapi tersembunyi dalam bidang ekonomi; masih dipertahankannya beberapa hak prerogatif militer yang didasarkan pada klaim historis-ideologisnya; juga marginalnya para aktivis demiliterisasi dalam proses politik formal di tingkat negara; dan lebih penting dari itu adalah reaksi militer terhadap proses demokratisasi yang dipimpin kaum sipil, serta sejalan dengan itu: peranan aktif tentara sendiri termasuk para jenderal pensiunan yang menjadi politisi untuk melakukan perlawanan terhadap demiliterisasi, maka hampir bisa dikatakan bahwa projek ini masih akan tetap merupakan kegiatan dengan keberhasilan yang tidak bisa dipastikan. 10 Kesimpulan semacam inilah yang tampaknya melandasi munculnya pandangan dan strategi baru dari pendekatan yang semula bersifat state-center ke society-center di kalangan para aktivis yang mengkonsentrasikan diri pada isu demiliterisasi. Mengutip Kusnanto Anggoro, pengamat militer dari CSIS, di tengah berbagai komplikasi pada institutional building, pada akhirnya sangat mungkin yang akan berkembang adalah keadilan

Setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan hal ini terjadi: (1) adanya jurang yang luas di dalam basis reformasi institusional untuk mentransformasikan TNI menjadi kekuatan pertahanan profesional; (2) tidak selesainya projek untuk merevisi doktrin TNI dan untuk merestruktisasi organisasi militer; (3) lemahnya kapasitas Departemen Pertahanan untuk merumuskan kebijakan dan strategi pertahanana yang komprehensif; (4) ketidakmampuan pemerintah menangani masalah impunitas (kekebalan hukum) militer; dan (5) lemahnya kapasitas kalangan sipil untuk menjalankan peranan pengawasan. Lihat Rizal Sukma & Edy Prasetyono (editor), Security Sector Reform in Indonesia: The Military and the Police, Working Paper 9, Netherland Institute of International Relations Clingendael, The Hague, 2003.

10

jumlah peristiwa kekerasan

3000 jumlah korban mati

600

transisional ... untuk mengakomodasi political bargaining dalam konteks hubungan sipilmiliter.11 Di dalam perkembangan seperti ini gerakan demiliterisasi akhirnya menempuh rute lain, yakni melalui agenda pembongkaran kejahatan-kejahatan HAM masa lalu yang sebagian besar dilakukan oleh tentara. Melalui rute ini agenda mereka menemukan titik temu dengan agenda para aktivis HAM, khususnya dalam isu keadilan transisional. Keadilan Transisional: Menarik Garis Batas antara Masa Lalu dan Masa Depan Ada keyakinan umum di kalangan para aktivis yang bekerja untuk isu keadilan transisional bahwa konsolidasi demokrasi harus dimulai dengan menarik garis batas yang tegas antara masa lalu dan masa depan. Lengsernya Suharto dianggap sebagai momentum penarikan garis batas antara rezim otoriter Orde Baru dan sistem politik demokratis pasca Suharto. Meski penarikan garis batas antara masa lalu dan masa depan itu tidak bisa dikerjakan dengan mudah, namun proses transisi antara rezim lama dan rezim baru hanya akan bermakna jika masa depan didefinisikan sesuai dengan reevaluasi atas masa lalu. Menurut pandangan mereka, proses transisi pasca otoritarianisme semestinya diisi dengan agenda ganda, yakni upaya mencegah bangkitnya kembali sistem politik yang memproduksi kekerasan seperti yang dipraktekkan di masa lalu, sambil menerapkan kembali prinsip hukum dan moral yang telah dilanggar sebagai landasan baru bagi penciptaan masa depan yang lebih baik. Upaya menerapkan kembali prinsip hukum dan moral itu ditujukan untuk menegakkan keadilan, baik bagi para pelaku kejahatan masa lalu maupun bagi para korban. Keadilan yang dimandatkan untuk diterapkan oleh pemerintah pasca rezim otoritarian itu, karena bersifat memulihkan prinsip-prinsip hukum dan moral, sering disebut keadilan restoratif. Dan karena keadilan restoratif itu dikerjakan pada masa transisi, maka projek itu juga sering disebut keadilan transisional. Dalam pemahaman Karlina Leksono Supelli, seorang aktivis perempuan di YIP, projek ini lebih luas dari sekadar penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran HAM. Projek ini memiliki landasan dan tujuan untuk pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu pada tertib hukum.12 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution. Ia mengatakan bahwa keadilan transisional bertugas mengembalikan hukum dari fungsinya sebagai alat politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaan, menjadi alat golongan tertindas untuk merebut keadilan.13 Karena tujuan ini maka keadilan transisional tidak ditempuh melalui
Kusnanto Anggoro, Aktor yang Sangat Berperan di Masa Lalu, dalam Ifdhal Kasim & Eddie Riyadi Terre (editor), op.cit., h. 305.
12 11

Karlina Leksono Supelli, Berdamai dengan Masa Lampau: Antara Pengampunan dan Penghukuman, dalam Ifdhal Kasim & Eddie Riyadi Terre (editor), Pencarian Keadilan di Masa Transisi, ELSAM, Jakarta, 2003, hlm. 57. Adnan Buyung Nasution, Keadilan Transisional di Indonesia, pidato pembukaan dalam seminar mengenai Keadilan Transisional, LP3ES, Jakarta, 14 Mei 2002.

13

hukum positif yang semata-mata bersifat formal-prosedural, karena hukum positif yang ada lebih berfungsi sebagai instrumen represi. Lebih dari itu, cita-cita penegakan keadilan transisional adalah untuk menegakkan tertib hukum yang legitimate, yakni keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kedamaian. Namun demikian, para aktivis HAM umumnya menyadari adanya berbagai kesulitan yang bakal dihadapi dalam pelaksanaan projek semacam itu. Bagi Karlina, proses penyelesaian pelanggaran HAM dalam suasana transisi tidaklah sederhana karena prosesnya tidak hanya mencakup pelaksanaan hukum tetapi juga melibatkan kepentingan politik yang lebih luas. Kerumitannya misalnya terletak pada fakta bahwa upaya penyelesaiannya selalu berbarengan dengan ketidakstabilan politik situasi transisional. Kekacauan politik sangat mungkin terjadi karena para pelaku kejahatan masa lalu masih menggenggam sisa-sisa kekuatan untuk merebut kembali kekuasaan. Dalam situasi tersebut pemerintahan transisi berada dalam dilema antara keadilan dan kompromi politik. Pemerintahan transisi, menurut Karlina, terus bergulat dalam ketegangan antara mengetahui atau tidak mengetahui, antara menuturkan atau membisu, mengingat atau melupakan; atau lebih luas lagi, antara memilih korban atau pelaku.14 Mengambil pelajaran dari berbagai negara yang juga pernah mengalami transisi seperti yang dialami Indonesia sejak akhir 1990an, para aktivis HAM melihat adanya dua model bagaimana menangani warisan masa lalu. Model pertama adalah dengan melakukan penghukuman kepada para pelaku kejahatan masa lalu tanpa kompromi, mengadili mereka, dan menyisihkan mereka dari partisipasi untuk mengelola masa depan. Dengan beberapa variasi, model seperti ini pernah ditempuh Yunani, Malawi, Bolivia, Argentina, Ethiopia, Jerman Barat, dan Rwanda. Model kedua adalah dengan melakukan rekonsiliasi dan amnesti, seperti yang ditempuh Uruguay, Afrika Selatan, Brazil, El Salvador, Guatemala, Chili, dan Haiti. Melalui model kedua ini, pemerintahan transisi membuka peluang untuk rekonsiliasi dan perdamaian dengan para pelaku kejahatan masa lalu.15 Apa yang telah ditempuh Indonesia? Apa yang persisnya harus ditempuh Indonesia sebagai negeri yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi, sebagaimana dipikirkan oleh para aktivis HAM?
14 15

Ibid, hlm. 46.

Untuk berbagai pandangan mengenai pengalaman negara-negara lain dalam menempuh kebijakan transisi politiknya menurut pandangan para aktivis HAM Indonesia, lihat misalnya Ifdhal Kasim, Jalan Ketiga bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu, dalam Ifdhal Kasim & Eddie Riyadi Terre (editor), op.cit., hlm. 15-41; Karlina Leksono Supelli, op.cit., hlm. 42-102; Agung Putri, Berjuang Mengungkap Kebenaran dan Mengadili Masa Lampau: Pengalaman Rakyat Negeri Tertindas, dalam Ifdhal Kasim & Eddie Riyadi Terre (editor), op.cit., hlm. 103-203. Lihat juga Daniel Sparringa, KKR dan Pelanggaran HAM Masa Lalu, makalah untuk seminar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia Mandat, Institusionalisasi, Kendala, dan Prospek, ELSAM & Kantor Menteri Negara HAM, Jakarta, 5 Oktober 2000. Untuk beberapa hasil riset mengenai pilihan-pilihan politik masa transisi pasca Orde Baru, lihat Studi Transisi Menuju Konsolidasi Demokrasi, laporan hasil riset LP3ES, Jakarta, 2002; Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia, Runtuhnya Rezim Orde Baru, APMD Press, Yogyakarta, 2003; juga Hilmar Farid & Rikardo Simarmata, The Struggle for Truth and Justice, A Survey of Transistional Justice Initiatives Throughout Indonesia, ICTJ, Jakarta, January 2004.

Bagi Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM, yang perlu dilakukan pertama-tama adalah mendorong tanggungjawab negara untuk mengingat (state duty to remember), sekaligus memperjuangkan hak korban untuk mengetahui kebenaran (victim rights to truth), memperoleh keadilan (victim rights to justice), dan mendapatkan pemulihan (victim rights to reparation). Agenda ini khususnya berkaitan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga sekarang belum pernah diselesaikan: (i) pembunuhan massal dan penahanan tanpa proses hukum 1965-1967 (di berbagai daerah); (ii) pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983); (iii) pembunuhan misterius (1983-1986, pembunuhan terhadap para penjahat tanpa proses hukum di berbagai kota); (iv) pembantaian kaum Muslim Tanjung Priok (Jakarta, 1984); (v) penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap aktivis-aktivis politik Islam (kelompok Usroh 1985-1988, terutama di daerah Jawa); (vi) pembantaian kelompok Warsidi yang dituduh mendirikan Negara Islam Indonesia (Lampung, 1989); (vii) penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jamaat HKBP (1992-1993); (viii) pembantaian kelompok Muslim Haur Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993); (ix) pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993); (x) operasi militer di Aceh II (1989-1998); (xi) pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995); (xii) bumi-hangus pasca plebisit di Timor Timur (1999), dan seterusnya.16 Menurut Hakim, sesungguhnya Indonesia sudah memiliki apa yang disebutnya sebagai konsensus politik untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM masa lalu sebagaimana yang dituangkan melalui Ketetapan MRR No. V/2000. Tap itu berisi mandat kepada pemerintah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tetapi mengapa hingga sekarang mandat itu belum juga dilaksanakan oleh pemerintah, karena menurut penilaiannya masih terdapat kekuatan-kekuatan politik di dalam masyarakat dan negara yang tidak ingin pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu itu diungkap.17 Dalam pandangan Hakim, mereka yang tidak menginginkan kejahatan masa lalu itu diungkap, memang berkendak mengekalkan rantai impunitas, dan dengan gigih memperjuangkan gagasan untuk melupakan masa lalu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akhirnya bisa dianggap gagal. Komplikasi yang dialami oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu juga dialami oleh Pengadilan HAM, sebuah lembaga judisial yang dibentuk berdasarkan UU No. 26/2000 yang salah satu mandatnya adalah juga untuk menangani kasus-kasus kejahatan masa lalu. Tetapi sebagaimana dievaluasi oleh David Cohen, Direktur War Crimes Studies Center, Universitas Berkeley, pengadilan ini ternyata memang dimaksudkan untuk gagal.18 Hakim menyadari bahwa kelompok-kelompok kepentingan yang menginginkan kekebalan hukum dan amnesia sejarah, itu bisa menjadi penghalang utama bagi upaya untuk menangani kejahatan masa lalu. Menurutnya kekuatan-kekuatan lama masih memegang kendali politik bagi penyelesaian agenda transisi di tingkat negara. Karena
16

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Pemulihan Korban, Solidaritas Masyarakat, dan Tanggungjawab Negara, pidato kemanusiaan, Jakarta, 13 Mei 2003. Ibid. David Cohen, Intent to failed ..

17 18

itulah, bagi Hakim, gerakan ini harus dialihkan dari tingkat negara ke tingkat masyarakat, yakni dengan membangun dan memperkuat solidaritas korban.19 Salah satu unsur terpenting dari upaya yang terakhir ini adalah memberikan ruang bagi korban untuk bersuara. Para korban juga diberi akses untuk mengetahui kebenaran, misalnya melalui penceritaan kembali rekaman-rekaman peristiwa kejahatan masa lalu. Sejarah direkonstruksi dari perspektif korban pihak yang selama ini dibungkam dan dinihilkan.20 Sumber untuk rekonstruksi historiografi itu tidak lagi mengandalkan dokumen resmi, tetapi melalui ingatan kolektif dan penuturan lisan. Sejarah lisan mulai banyak ditulis. Ini karena sejarah lisan bisa menjadi alat berharga untuk meneliti kejahatan negara.21 Dengan demikian, sejarah lisan menjadi mutlak diperlukan oleh sejarahwan yang ingin menulis tentang kejahatan yang ingin ditutupi atau disangkal oleh negara.22 Demikianlah, projek keadilan transisional yang semula diarahkan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui pendekatan di tingkat negara, tampaknya sekarang sedang mulai bergeser ke bawah di tingkat masyarakat. Pergeseran ini tampaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa mereka mulai melihat pemerintahan transisi pasca Orde Baru tidak bisa diharapkan memenuhi mandat untuk menyelesaikan warisan kasuskasus pelanggaran HAM berat dari masa lalu. Tampaknya, dengan menggunakan spektrum yang digambarkan Karlina, mereka cenderung menilai bahwa pemerintah transisi pasca Orde Baru lebih memilih untuk membisu, dan melupakan masa lalu; serta lebih berpihak pada pelaku daripada kepada korban.23 Apakah makna penilaian seperti itu bagi agenda gerakan HAM berikutnya? Bagaimana dengan kerangka penilaian seperti itu mereka kemudian merumuskan strategi untuk mengkonsolidasi gerakan mereka sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi? Projek Demiliterisasi dan Keadilan Transisional: Ikhtisar Kegagalan
Pada kenyataanya, sejak 1998 memang telah semakin banyak bermunculan organisasi yang dibentuk oleh para korban pelanggaran HAM, antara lain yang terpenting, adalah IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru), LPKP 1965-1966 (Lembaga Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966), dan LP-KROB (Lembaga Perjuangan Korban Rezim Orde Baru). Untuk ulasan lebih detil, lihat Hilmar Farid & Rikardo Simarmata, op.cit., pp. 36-38. Untuk contoh mengenai penulisan sejarah berbasis korban pelanggaran HAM, lihat misalnya John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid (editor), Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65: Esai-esai Sejarah Lisan, ELSAM, TRUK (Tim Relawan untuk Kemanusiaan) & ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia), Jakarta, Januari 2004. Lihat juga, Saleh Abdullah, et.al. (editor), Usaha untuk Tetap Mengenang: Kisah-kisah Anak-anak Korban Peristiwa 65, Yappika, Jendela Budaya, Hidup Baru, Yogyakarta, November 2003. Tetapi tampaknya penulisan sejarah dari perspektif korban juga menjadi perhatian para aktivis yang bekerja untuk isu kaum miskin kota. Dalam contoh ini, lihat misalnya Afrizal Malna (editor), Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri, UPC (Urban Poor Consortium) & Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan, Jakarta, Oktober 2003.
21 22 23 20 19

John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid (editor), op.cit., h. 5. Ibid. Karlina Leksono Supelli, op.cit., h. 46.

Baik kalangan aktivis yang bergerak dalam isu demiliterisasi maupun keadilan transisional tampaknya sama-sama melihat bahwa pemerintahan transisi pasca Orde Baru gagal menjalankan mandat untuk mengendalikan kekuatan militer di bawah pengawasan sipil secara total dan bersamaan dengan itu mengeliminasi sama sekali peranan militer kehidupan politik. Kegagalan ini mempunyai dampak langsung pada ketidakmampuan mereka menyeret para pelaku kejahatan HAM masa lalu yang sebagian besar dilakukan oleh militer. Gerakan demiliterisasi sejauh ini hanya efektif menjadi kekuatan penekan di luar negara dalam bentuk tekanan publik. Wacana anti-militerisme memang mempengaruhi opini publik secara efektif, tetapi tidak sepenuhnya dikonversi menjadi kebijakan yang mengubah secara total hubungan sipil-militer dalam format politik demokratis. Gagalnya pemerintahan sipil pasca Orde Baru untuk melakukan kontrol ketat terhadap militer diperburuk oleh kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan politik sipil sendiri masih sangat terfragmentasi; juga oleh makin kecilnya pengaruh faksi-faksi reformis di parlemen yang juga semakin mengidap komplikasi korupsi. Di tengah-tengah situasi seperti itu, sebaliknya, pengaruh politik tentara masih sangat kuat, dengan atau tanpa kontestasi sipil. Sebagaimana tercermin dalam doktrin paradigma baru TNI, militer Indonesia masih tetap merumuskan peranannya sebagai punggawa politik, walaupun menyatakan ingin berbagi kekuasaan dengan kekuatan sipil. Tidak ada jaminan bahwa melalui paradigma barunya itu TNI akan melepaskan diri sama sekali dari percaturan politik. Dengan sumberdayanya yang masih sangat besar dalam struktur kepemimpinan teritorial, dinas-dinas intelijen, dan aksesnya yang tak terkontrol pada sumber dana, tidak bisa dipastikan bahwa mereka akan mau tunduk sepenuhnya di bawah pengawasan sipil. Persis dalam suasana seperti ini, desakan para aktivis HAM untuk memutus rantai impunitas dan menyuarakan keadilan transisional dengan agenda utamanya menghukum para pelaku kejahatan masa lalu menjadi tidak masuk akal secara politik. Mereka menyadari bahwa desakan semacam itu didasarkan pada hipotesis normatif bahwa pemerintahan transisi seharusnya berpihak pada upaya untuk mengadili masa lalu, dan berdasarkan ini menarik batas moral dan politik untuk membangun masa depan. Namun demikian, kenyataan realpolitik tampaknya tidak seperti gambaran hipotetis itu. Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi? Demokratisasi mengalami Impasse, Para Aktivis Pro-Demokrasi Kembali Bergerak dari Bawah Untuk mengkomparasikan fenomena kegagalan tema-tema gerakan yang dikerjakan oleh para aktivis demiliterisasi dan keadilan transisional dengan kesimpulan-kesimpulan umum riset DEMOS mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia, di bawah akan ditelusuri berbagai komplikasi yang menyebabkan terjadinya kegagalan seperti itu. 1. Momentum Transisi untuk Konsolidasi Demokrasi telah Sirna

10

Kesimpulan para aktivis yang bekerja dalam isu demiliterisasi dan keadilan transisional tampaknya membenarkan kesimpulan riset DEMOS,24 khususnya Kesimpulan ke-11, bahwa kaum elite telah membajak sebagian besar momentum transisi demokrasi dan mereka mengambil keuntungan darinya. Dalam kesimpulan tersebut digambarkan bahwa biasanya tema konsolidasi demokrasi yang mewarnai pembicaraan publik mengenai transisi politik dari rezim otoritarian menuju pemerintahan demokratis, dinegosiasikan antara kalangan elite reformis dan kalangan oposisi pro-demokratik menyangkut tuntutan akan good-governance, hak asasi manusia, dan rule of law. Namun demikian, di Indonesia negosiasi itu hampir-hampir tidak terjadi karena kalangan elite dominan telah membajak demokrasi untuk kepentingannya sendiri. Pembajakan demokrasi oleh kalangan elite dilakukan melalui cara di mana mereka menyesuaikan diri dengan mekanisme, prosedur dan sistem demokrasi, untuk menguasai negara dan pemerintahan, bahkan juga lembaga-lembaga peradilan, termasuk di tingkat lokal. Dalam suasana seperti ini, tawar-menawar kalangan oposisi demokratik menjadi lemah sehingga mereka tidak berhasil mendesakkan perubahan-perubahan untuk dinegosiasikan di tingkat negara. Situasi ini selanjutnya menyebabkan kalangan aktivis pro-demokratik, terutama yang bergerak di dalam isu-isu demiliterisasi, menghadapi impasse, jalan-buntu. Tetapi kendatipun demikian, seperti halnya para aktivis pro-demokrasi lain yang masih percaya pada demokrasi, mereka juga masih berusaha mendesakkan perubahan-perubahan melalui jalan demokratik. Setidaknya seperti yang dikemukakan oleh Karlina, ada tiga jenis agenda mendesak yang harus dilakukan pada tahap ini. Pertama, adalah memulihkan hak-hak korban dan keluarganya melalui reparasi. Kedua, menjalankan pertanggungjawaban hukum atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dengan kemungkinan memberikan amnesti tanpa mengabaikan keadilan. Ketiga, reformasi kebijakan dan lembaga peradilan yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.25 2. Memerangi Ketidakadilan, tetapi Menghindar dari Pemerintahan Pendekatan yang dicontohkan oleh Karlina itu memang mengingatkan kita pada pengalaman para aktivis HAM di beberapa negara lain. Dalam kajiannya mengenai bagaimana negara-negara Amerika Latin pada masa transisi menangani kejahatan-kejahatan masa lalu, Ruti Teitel, seorang aktivis HAM dari Brazil, melihat tidak ada jalan lain agar prosekusi atas pelanggaran HAM masa lalu itu dikerjakan tidak secara terpisah dari kepedulian terhadap demokrasi.26 Menurutnya, ada beberapa titik-temu yang bisa

24

DEMOS, Studi mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta, Februari 2004. Karlina, op.cit, h. 90-91.

25 26

Ruti Teitel, How are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past Human Rights Abuses? dalam Neil J. Kritz (ed.), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, United States Institute of Peace Press, Washington D.C., 1995, Vol. 1, General Considerations, p. 146-153.

11

menghubungkan antara agenda-agenda demokratisasi, penegakan keadilan transisional, dan demiliterisasi, antara lain: a. dalam rangka mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa depan, baik oleh penjahat yang sama, maupun yang akan menimpa calon korban lain di masa depan b. dalam rangka memberikan hak kepada korban atas semacam ganti rugi hukum; dan karena itu juga penegakan rule of law c. memulihkan kepercayaan kepada pengadilan d. untuk memungkinkan resolusi yudisial atas luka-luka masa lalu dan terciptanya rekonsiliasi di kalangan berbagai kelompok kepentingan e. untuk menstigmatisasi pelaku kejahatan dan memisahkan mereka dari dunia publik. Esensi dari tesis penghukuman demi demokrasi ini pada dasarnya adalah bahwa justifikasi terhadap penghukuman itu akan mendatangkan kebaikan sosial di masa depan. Kendati demikian, apakah semua elemen masyarakat akan mendukung penghukuman atau permaafan, pada kenyataannya tergantung dari kalkulasi moral dan politik mereka menyangkut masa depan mereka sendiri. Karena itu menurut tesis ini tetap tidak ada pewajiban untuk melakukan penghukuman; keputusan untuk menghukum atau tidak sangat tergantung pada pilihan kebijakan kolektif masyarakat. Merekalah yang akan menentukan pilihan-pilihan etisnya sendiri untuk menentukan satu di antara empat kombinasi ini: (1) menghukum dan tidak melupakan; (2) menghukum tetapi kemudian melupakan; (3) memaafkan dan melupakan; dan (4) memafkan tetapi tidak melupakan. Di tengah-tengah kesadaran mengenai ilegitimasi pemerintahan pasca transisi, pilihan yang dihadapi oleh para aktivis keadilan transisional dan demiliterisasi di Indonesia menjadi cenderung tidak lagi mempercayai pemerintah, menghindarinya, tetapi pada saat yang sama mencoba membangun solidaritas dengan korban. Dengan kata lain, mereka berusaha mengerjakan agenda-agenda untuk isu ketidakadilan pada tingkat masyarakat. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil riset DEMOS, khususnya pada kesimpulan ke-1 yang menyebutkan bahwa hukum dan pemerintahan menjadi runyam bahkan setelah terbentuknya rezim pasca transisi, meskipun berbagai perangkat kebebasan sipil dianggap semakin membaik. Mereka menilai bahwa dengan pemerintahan yang kacau, lemah, dan tidak accountable, agenda-agenda reformasi tidak bisa dikerjakan. 3. Mengingkari Representasi Kesimpulan di atas juga harus dibaca sebagai sejalan dengan kesimpulan ke-4 hasil riset DEMOS yang menyebutkan bahwa meskipun mereka menghindar dari pemerintah, tetapi para aktivis pro-demokrasi masih terus bekerja untuk memerangi ketidakadilan, kekerasan, dan korupsi. Hanya saja serangkaian agenda itu dikerjakan dengan cenderung mengabaikan lembaga-lembaga representasi, termasuk partai politik. Diagram di bawah ini menggambarkan secara lebih rinci pilihan yang dilakukan para aktivis pro-demokrasi menyangkut perangkat-perangkat hak dan institusi demokrasi. Pada diagram pertama tergambar bahwa mereka memanfaatkan serta sekaligus berusaha memajukan dan memperbaiki perangkat-perangkat kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara, berserikat, dan berkumpul; kebebasan media; kebebasan beragama; serta

12

kebebasan mendirikan serikat buruh. Yang menarik adalah bahwa sementara mereka cenderung kurang berminat memperbaiki lembaga-lembaga representasi seperti partai politik (hanya 47,1% di kalangan aktivis HAM, dan hanya 44,8% di kalangan aktivis lainnya), mereka sangat cenderung untuk lebih banyak terlibat dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil (HAM: 89,9%; general: 85,6%).

Kualitas H/I Dem okrasi Terbaik Menurut Aktivis HAM dan Tingkat Pem ajuannya Dibandingkan dengan yang Dilakukan Aktivis Lainnya
Kualitas H/I Tingkat P emajuan o leh A ktivis HA M Tingkat P emajuan o leh A ktivis Lainnya

100 90 80
75.4 92.9 93.4 89.9 85.6 69.8 68.6 59.9 55.7 47.1 44.8

70 60 50 40 30 20 10 0
1 8.6

70.4

1 4.6

1 1

1 0.5

8.5

5.4

Kebebasan Berbicara Kebebasan & Krit isisme Kebebasan M endirikan M edia Part ai

Partisipasi Warga dalam CSO

Kebebasan Beragama

Kebebasan Berserikat Buruh

Sumber: Diolah dari informal website DEMOS: www.geocities.com/willyps

Sementara itu diagram kedua di bawah menggambarkan bahwa dari serangkaian perangkat hak dan institusi demokrasi (H/I) yang dianggap buruk oleh para aktivis pro-demokrasi, isu pertanggungjawaban militer menjadi perhatian paling besar di kalangan aktivis HAM, dan dengan itu mereka bekerja untuk memperbaikinya. Sejalan dengan itu, mereka juga mengkonsentrasikan upaya perbaikan itu pada isu-isu seperti rule of law, isu politik uang dalam partai politik, serta bagaimana mengeliminasi pengaruh mafia dan milisi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Agak aneh bahwa sementara isu mengenai pertanggungjawaban militer mendapat perhatian tinggi di kalangan para aktivis HAM, bahkan paling tinggi dibandingkan perhatian umumnya para aktor pro-demokrasi lainnya yang cenderung menekankan perhatian utamanya pada isu anti korupsi para aktivis HAM tidak menekankan isu keadilan sebagai perhatian utama. Tampaknya gejala ini mengindasikan ketidakpercayaannya pada jenis keadilan prosedural melalui lembaga-lembaga peradilan yang ada.

13

Kualitas H/I Dem okrasi Terburuk Menurut Aktivis HAM dan Tingkat Pem ajuannya Dibandingkan dengan yang Dilakukan Aktivis Lainnya
Kualitas H/I Tingkat P emajuan General Tingkat Pemajuan o leh A ktivis HA M

90 80 70 60 50 40 30 20
1 0.6 1 0.6 63.8 60.3 50.3 47.1 46.2 81 .4 68.9 57.1 60

68

67.6 63.1

10 0
Subordinasi Pem pada Rule of Law Pertanggungjawaban M iliter pada Pem Terpilih

9.5

8.4

6.7

6.1

Akses yang Sama pada Keadilan

Independensi Partai pada Bebas dari M afia & M ilisi Politik Uang

Bebas dari Korupsi

Sumber: Diolah dari informal website DEMOS: www.geocities.com/willyps

Sebagaimana yang terlihat sebelumnya, mereka memang memberikan tekanan pada jenis keadilan transisional yang bersifat restoratif khususnya bagi korban, yang dalam penilaian mereka tidak cukup bisa dipenuhi oleh lembaga-lembaga peradilan yang ada. Penekanan pada penguatan hak-hak korban menjadi tema penting perjuangan keadilan transisional. Dan sejalan dengan pendekatannya untuk lebih memajukan partisipasi warga melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil, agenda penguatan solidaritas korban dikerjakan di luar lembaga-lembaga representasi. 4. Strategi: Melalui Masyarakat Sipil Tabel grafis di bawah menjelaskan lebih detil bahwa para aktivis HAM umumnya lebih merasa berada dalam posisi lemah daripada kuat dalam hubungannya dengan isu-isu pemerintahan dan lembaga representasi. Tetapi sebaliknya mereka mengaku berada dalam posisi lebih kuat ketika berhubungan dengan urusan-urusan masyarakat sipil. Dalam kedua wilayah itu sebagian besar mereka (lebih dari 50%) memanfaatkan dan memajukan perangkat-perangkat H/I yang ada. Tetapi kecenderungannya adalah bawah mereka lebih maksimal memanfaatkan dan memajukan H/I yang ada di masyarakat sipil daripada yang ada di pemerintahan dan lembaga representatif. Dalam posisi tidak cukup maksimal memanfaatkan dan memajukan H/I yang ada di tingkat pemerintahan dan lembaga representatif, mereka cenderung melakukan tindakan-tindakan untuk mencari alternatif lain ketika harus memperbaikinya. Hanya saja posisi mereka lemah untuk itu.

14

Posisi dan Tindakan Para Aktivis HAM dalam Isu Pemerintahan/Lembaga Representasi dan dalam Urusan Masyarakat Sipil
Posisi Lemah 90 80 Posisi Aktivis HAM 70 60 50 40 30 20 10 0 Posisi Kuat Tindakan Mencari Alternatif Tindakan Memanfaatkan & Memajukan 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

P em Rep & A cco untable

M asy. Sipil

Sumber: Diolah dari informal website DEMOS: www.geocities.com/willyps

Sebaliknya dalam posisi kuat berkenaan dengan isu-isu masyarakat sipil mereka secara maksimal memanfaatkan dan memajukan H/I yang ada tanpa banyak dibebani pekerjaan untuk mencari alternatif-alternatif. Hampir di semua isu masyarakat sipil, seperti penguatan partisipasi warga dalam organisasi-organisasi kewargaan yang independen, konsultasi publik dalam perumusan kebijakan dan legislasi, transparansi dan akuntabilitas organisasi masyarakat sipil, maupun dalam isu partisipasi perempuan dalam kehidupan publik, sebagian besar mereka (rata-rata di atas sekitar 70%) memanfaatkan dan memajukan H/I yang ada sejalan dengan posisi mereka yang kuat. Pendekatan mereka untuk lebih mengkonsentrasikan diri pada usaha memajukan masyarakat sipil lebih ketimbang memperkuat lembaga-lembaga representasi seperti yang dilakukan para aktivis HAM, rupanya juga menjadi pendekatan kalangan aktivis lainnya. Sebagaimana terlihat dalam tabel grafis berikut ini, di kalangan para aktivis pro-demokrasi pada umumnya strategi untuk memperjuangkan program-program mereka melalui masyarakat sipil memang menjadi prioritas utama. Seperti yang juga dirumuskan dalam kesimpulan ke-13 riset DEMOS, gerakan demokrasi di Indonesia memang cenderung hanya berkutat di unit-unit swadaya, partisipasi, lobbying, advokasi, usaha-usaha pemberdayaan, dan agaknya lebih terisolasi lagi pada pemajuan kepentingan-kepentingan yang didasarkan pada pengorganisasian masyarakat sipil ... Tetapi bagian vital dari sistem demokratis, termasuk negara dan pemerintahan lokal, telah diabaikan oleh gerakan.27

27

DEMOS, op.cit. h. 14.

15

Tindakan Aktivis HAM

Peringkat I 80
34.5

N = 366 40 35 30 25
1 8.9

70 60 50 40
13.8

20
1 1.9 7.3 69.3 4.4 5.5 1.8
M elalui Sistem Politik

30 20 10 0
M elalui Civil Society

15
1 3.1 6.5 3.6 7.1

10 5 0

2.2
M elalui Sistem Hukum & Sistem Politik

M elalui Sistem Hukum

M elalui Civil Society M elalui Civil Society M elalui CS, Sistem & Sistem Hukum & Sistem Politik Hukum & Sistem Politik

Kesimpulan Demokrasi Indonesia sedang tumbuh tetapi transisi telah usai. Karena kekecewaannya kepada pemerintahan transisi yang dianggap gagal melaksanakan skenario transisi menuju konsolidasi demokrasi, para aktivis yang bekerja dalam isu demiliterisasi dan keadilan transisional cenderung berbalik ke masyarakat sipil, menggalang partisipasi dan solidaritas, advokasi, pemberdayaan. Konsentrasi untuk menggalang kekuatan korban pelanggaran HAM masa lalu tentu akan sangat kontributif bagi penguatan salah satu segmen sosial yang selama ini under-represented dan vioceless. Menyuarakan suara korban melalui penulisan sejarah mereka, di samping akan sangat berguna bagi rekonstruksi sejarah, juga akan sangat berguna bagi upaya-upaya pengungkapan kebenaran dua unsur yang mutlak diperlukan bagi pekerjaan untuk melawan kejahatan-kebisuan yang selama ini dilakukan oleh rezim pasca Orde Baru dalam rangka pelupaan terhadap masa lalu. Tetapi konsentrasi pada penggalangan kekuatan korban juga potensial menimbulkan dua kerugian bagi gerakan demokratisasi yang lebih luas. Pertama, dengan hanya berkonsentrasi pada korban, gerakan demokratisasi hanya akan menjadi gilda politik untuk sekadar menyantuni konstituen minoritas yang diperkirakan tidak akan menarik perhatian mayoritas lebih luas yang biasanya menjadi basis bagi demokratisasi. Gilda semacam ini bisa jadi menjadi pulau-pulau eksklusif yang hanya berorientasi ke masa lalu, padahal bagi demokratisasi yang justru diperlukan adalah basis inklusif untuk segala kelompok sosial yang berorientasi ke masa depan. Kedua, konsentrasi pada korban yang dikerjakan sepenuhnya melalui strategi penguatan masyarakat sipil juga bisa melalaikan agenda pekerjaan untuk reformasi kelembagaan hukum. Bagaimanapun keadilan transisional masih memerlukan instrumen legalinstitusional yang memungkinkan tuntutan keadilan dikerjakan melalui strategi komprehensif, yakni penguatan basis sosial di tingkat masyarakat sipil serta reformasi sistem hukum dan sistem politik secara sekaligus. Mengutip Teitel, wilayah institution

16

building menjadi wilayah strategis untuk likuidasi perangkat-perangkat rezim lama dan rehabilitasi bagi peranan lembaga-lembaga baru demokrasi. Karena itu konsentrasi penguatan korban di tingkat masyarakat sipil seharusnya disertai agenda lain untuk perbaikan sistem politik dan sistem hukum secara keseluruhan. Strategi komprehensif semacam ini menjadi kebutuhan bagi agenda demiliterisasi, persis dengan tujuan yang sama secara jangka panjang untuk rehabilitasi sistem politik dan sistem hukum sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan secara proporsional jika hanya dilakukan melalui penguatan masyarakat sipil. ***

17

You might also like