You are on page 1of 19

BAB I REKAM MEDIS

IDENTIFIKASI Nama Umur Alamat Agama Status Kebangsaan Pendidikan Pekerjaan MRS : Ny. SR : 24 tahun : Tanjung Enim : Islam : Menikah : Indonesia : SLTA tamat : IRT : 12 Mei 2013 (pukul 19.40 WIB).

ANAMNESIS Anamnesis Umum Riwayat Obstetri : G2 P1 A0 No Tempat Bersalin 1. dokter 2008 Tahun Hasil Kehamilan Aterm Jenis Persalinan SC kelamin Laki-laki ANAK Berat 3200 g Keadaan hidup

2.

Hamil ini

Riwayat Kehamilan Lalu Preeklampsi-eklampsia/hiperemesis : (-) Perdarahan post partum Penyakit-penyakit lain : (-) : (-)

Trauma Operasi yang lalu Riwayat kehamilan sekarang Haid Banyaknya HPHT Taksiran persalinan Gerakan anak dirasakan Periksa hamil

: (-) : (+) SC

: Teratur, siklus 28 hari, lamanya 7 hari : Biasa : 04 Agustus 2012 : 11 Mei 2013 : 5 bulan yang lalu : bidan

Riwayat Persalinan Dikirim oleh His mulai sejak tanggal Darah lendir sejak tanggal : bidan : 12 Mei 2013 pukul 10.00 : 12 Mei 2013 pukul 10.00

Rasa mengedan sejak tanggal : Ketuban :-

Riwayat Perkawinan Riwayat Sosial ekonomi Riwayat gizi

: 1 kali; lama 6 tahun : Sedang : Sedang

Anamnesis Khusus Keluhan Utama : mau melahirkan dengan dengan riwayat SC 1x dan riwayat epilepsi

Riwayat Perjalanan Penyakit : 9 jam sebelum masuk rumah sakit paturient mengeluh perut mulas menjalar ke pinggang, hilang timbul, makin lama makin sering dan kuat. Riwayat keluar darah lendir (+), Riwayat keluar air-air (-). Parturient lalu datang ke bidan dan diketahui

terdapat riwayat operasi SC dan riwayat penyakit epilepsi. Parturient lalu dibawa ke RSUD H. M. Rabain. Parturient mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih dirasakan.

PEMERIKSAAN FISIK Status Present Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Frekuensi pernafasan Suhu Berat badan Tinggi badan Bentuk badan Konjungtiva palpebra Sklera Gizi Payudara hiperpigmentasi Jantung Paru-paru Hati dan lien Edema pretibial Varices Refleks fisiologis Refleks patologis : Baik : Kompos mentis : 120/70 mmHg : 88 x/menit : 20 x/menit : 36,7C : 61 kg : 155 cm : Asth : Pucat -/: Ikterik -/: Sedang : (+/+) : Gallop (-), murmur (-) : Wheezing (-), ronkhi (-) : Sulit dinilai : (-/-) : (-/-) : (+/+) : (-/-)

Status Obstetri Pemeriksaan Luar: Tanggal : 12 Mei 2013 pukul 20.30 wib Palpasi : Leopold I : 3 jari di bawah proccesus xiphoideus

Leopold II : letak memanjang, punggung kanan Leopold III : terbawah kepala Leopold IV : penurunan 4/5 His : 2x/10/25 DJJ : 140x/menit TBJ : 2945 gram

Pemeriksaan Dalam : Tanggal 12 Mei 2013 pukul 20.30 WIB Vaginal Toucher : Portio Pembukaan pendataran Ketuban Terbawah Penurunan Penunjuk Lain-lain : lunak, posterior : 2 cm : 25 % :+ : kepala : H I-II : belum dapat dinilai :-

Inspekulo : tidak dilakukan

Pemeriksaan Panggul : Promontorium KD KV Lin innom Sakrum Spina iskiadika Arkus pubis Dinding samping Kesan panggul : tak teraba : >13 : >11,5 : teraba 1/3 - 1/3 : konkaf : tak menonjol : > 90 : lurus : luas

Bentuk PAP

: gynekoid

DIAGNOSA KERJA G2 P1 A0 hamil aterm dengan bekas SC 1x (ai KPSW dan Presentasi bokong) + riwayat epilepsi, inpartu kala I fase laten, Janin Tunggal Hidup Presentasi kepala

PROGNOSIS Ibu : dubia

Anak : dubia

PENATALAKSANAAN Observasi tanda vital ibu, his, detak jantung janin IVFD RL gtt XX/m Kosongkan kandung kemih Rencana partus pervaginam Konsultasi dokter spesialis neurologi Cek laboratorium: darah rutin

LAPORAN PERSALINAN Tanggal 13 Mei 2013 Pukul 09.30 pembukaan lengkap, setiap ada his parturient dipimpin meneran

Pukul 09.50 lahir spontan neonatus hidup jenis kelamin laki-laki, berat badan 3300 gram, panjang badan 49 cm, APGAR score 7/8, PT AGA

Pukul 10.00 plasenta lahir lengkap

Perdarahan kala I

: 10 cc

Perdarahan kala II Perdarahan kala III Perdarahan kala IV Total Perdarahan

: 50 cc : 100 cc : 50 cc : 210 cc

Terapi

: - misoprostol - drip oksitosin 1 ampul - cefadroxil 2x1, asam mefenamat 3x1, pehavral 1x1

Follow up post partum (14 Mei 2013, pukul 07.00) Keluhan :-

Status present : KU TD T : sedang : 110/80 mmHg : 36,50 C Sensorium N RR : KM : 84 kali/menit : 20 kali/menit

Status Obstetrikus: Pemeriksaan Luar: Tinggi fundus uteri 2 jari di bawah umbilikus, kontraksi baik, perdarahan aktif (-), lokia rubra (+). Diagnosis: P2A0 post partum spontan neonatus hidup laki-laki, berat badan lahir 3300 gram, panjang badan 49 cm, APGAR score 7/8 FT AGA.

Penatalaksanaan : observasi tanda vital ibu dan perdarahan mobilisasi diri ASI on demand vulva hygiene obat: cefadroxil 2 x 1 asam mefenamat 3 x 1 pehavral 1x1

Rencana pulang

BAB II PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengaruh epilepsi terhadap kehamilan dan kehamilan terhadap epilepsi pada pasien ini? 2. Obat-obat apa saja yang direkomendasikan dalam penanganan kehamilan dengan epilepsi? Dan adakah pengaruh obat anti epilepsi terhadap kehamilan dan janin? 3. Apakah penalataksanaan pada kasus ini sudah tepat?

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


EPILEPSI

Etiologi Epilepsi Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Penyebab spesifik dari epilepsi antara lain ; 1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minumminuman alkhohol atau mendapatkan terapi penyinaran. 2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) . - Brain malvormation - Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia) - Gangguan elektrolit - Gangguan metabolisme janin - Infeksi\ 3. Saat usia bayi anak-anak - demam (kejang demam) - tumor otak (jarang) - infeksi 4. Saat usia anak dewasa - Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll. - Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua

orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%30%. - Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak (jarang) - Trauma kepala 5. Saat usia tua/lanjut - Stroke - Penyakit Alzeimer - Trauma Patofisiologi Eklampsi Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron. Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron neuron tertentu pada korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi: 1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan. 2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang. 3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik. 4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks. 5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi. Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu : 1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda. 2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF. 3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada. Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar. Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah : Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi. 1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy.Walaupun demikian

proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

Pengaruh Epilepsi terhadap Kehamilan dan Pengaruh Kehamilan terhadap Epilepsi Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi. Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan pengaruh obat anti epilepsi terhadap perkembangan janin.

Komplikasi serangan epilepsi pada kehamilan terjadi 1,5 sampai 4 kali, perdarahan pervaginam sekitar 7%-10% pada trimester I dan III, hiperemesis gravidarum sebagian besar akibat dosis tinggi obat anti epilepsi. Risiko pada ibu dapat terjadi trauma fisik, menurunnya kemampuan neuropsikologik dan kemungkinan untuk dilakukannya seksio sesaria. Sedangkan kematian ibu hamil sewaktu serangan kejang sangat jarang sekali (di Inggris hanya sekitar 1 per tahun) dan penyebab kematian adalah karena asfiksia pada saat serangan. Tabel 1. Komplikasi maternal dan janin pada wanita hamil penyandang epilepsi
Komplikasi maternal & janin Total kehamilan Hiperemesis gravidarum Perdarahan pervaginam Preeclampsia Lahir dengan - SC - EF/EV Usia gestasi < 37 minggu Berat lahir < 2500 g Hipoksia Malformasi kongenital Cleft lip or palate Angka Mortalitas Janin (per 1000 kelahiran) Stillbirth Perinatanal Kematian neonatal Epilepsi 371 1%-3% 5,1% 7,5% 3,2% 6,3% 8,9% 7,4% 1,9% 4,5% 1,1% Bukan epilepsi 125,423 0,8% 2,2% 4,7% 1,1 % 2,4% 5,0% 3,7% 0,7% 2,2%

5,3 31,8* 29,3*

7,8 14,6 8,0

Kematian postnatal Dikutip dari Yerby Ms dkk dan Cartlidge

5,3

3,4

Pada pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan sepertiga wanita lagi akan mengalami penurunan frekuensi serangan. Beberapa peneliti lain mendapatkan pengaruh kehamilan terhadap epilepsi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Pengaruh kehamilan terhadap frekuensi serangan epilepsi ____________________________________________________________
Studi (tahun) Kehamilan Peningkatan(%) Tidak ada perubahan Penurunan(%) _________________________________________________________________________________ Burnett (1946) 19 42 52 6 Mc Clure (1955) 20 55 25 20 Sabin & Ozorn (1956) 55 33 53 15 Klingman (1957) 120 61 33 6 Knight & Rhind (1975) 84 45 50 5 Total kehamilan 298 Berat rata-rata (%) 50 42 8 _____________________________________________________________________________ Dikutip dari Donaldson dan Cartlidge

Peningkatan frekuensi serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan, usia wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi atau frekuensi serangan pada kehamilan yang lalu.

Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan kejang setiap bulannya sebelum hamil, frekuensi serangannya akan meningkat selama kehamilan, sedangkan wanita penyandang epilepsi yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah kejang atau hanya satu kali, tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama hamil. Penderita lebih dari dua tahun bebas serangan maka risiko timbulnya serangan epilepsi selama hamil menurun atau tidak timbul.

Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami serangan kejang umum atau fokal sebelum konsepsi akan lebih sering mengalami serangan selama kehamilan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa frekuensi serangan epilepsi meningkat pada waktu mengandung bayi laki-laki (64%) sedangkan waktu

mengandung bayi perempuan (36%) tetapi beberapa peneliti lain tidak berpendapat demikian.

Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekuensi serangan kejang pada wanita penderita epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh; perubahan hormonal, perubahan metabolik, deprivasi tidur dan perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi.

Usia kehamilan pada pasien ini adalah aterm, kemudian dari anamnesis didapatkan saat diketahui hamil sampai sekarang pasien tidak pernah mendapatkan serangan kejang dan pasien juga telah berobat rutin ke poliklinik saraf dan kebidanan.

Pada pemeriksaan fisik dan penunjang juga didapatkan komplikasi obstetrik seperti oligohidramnion, diharapkan kehamilan pasien ini dapat diterminasi sehingga didapatkan outcome yang baik. Pada suatu penelitian juga telah disebutkan 90 % wanita hamil dengan epilepsi tidak mendapatkan masalah yang berarti.

Pengaruh Obat Antiepilepsi tehadap Kehamilan dan Janin

Seperti telah diketahui bahwa pemberian obat anti epilepsi mempunyai risiko, Karena itu memilih antara minum atau tidak minum obat harus berpedoman pada risiko timbulnya komplikasi obat anti epilepsi pada ibu dan janin.

Malformasi kongenital ditemukan 1,25%-11,5% pada yang mendapat obat anti epilepsi politerapi, penggunaan dosis tinggi obat anti epilepsi dan kadar asam folat yang rendah. Beberapa studi atau penelitian mendapatkan hampir

sebagian besar malformasi kongenital terjadi akibat pengaruh obat anti

epilepsi yang diberikan pada wanita hamil trimester pertama (18,9%), tetapi ada yang berpendapat karena memang sudah ada faktor genetiknya.

Beberapa tindakan obstetrik yang perlu dipertimbangkan akibat pengaruh obat anti epilepsi pada kehamilan, misalnya induksi persalinan yang dilakukan 2-4 kali lebih banyak dibandingkan persalinan normal. Keadaan ini disebabkan oleh partus lama, perdarahan dan kelelahan uterus dan fisik akibat obat anti epilepsi, sehingga akhirnya dilakukan seksio sesaria (dua kali lebih sering dari biasa).

Sebenarnya epilepsi sendiri bukanlah suatu indikasi untuk operasi, karena kejang tonik klonik hanya terjadi kurang dari 2% dari wanita hamil penyandang epilepsi sehingga Hilesmaa membuat daftar indikasi seksio sesaria yang dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Seksio sesaria atas dasar epilepsi
Seksio sesaria elektif Dasar neurologik atau defek mental Kurang kerja sama wanita penyandang epilepsi selama partus Kejang yang sukar diatasi pada trimester III Kejang parsial kompleks yang timbul tiap hari Kejang tonik klonik yang timbul tiap minggu Ada riwayat kejang hebat setelah stress fisik mental Seksio darurat Kejang tonik klonik selama partus Adanya asfiksia janin Tidak adanya kerja sama maternal
Dikutip dari Hilesmaa VK

ayi lahir mati, kematian neonatal serta kematian perinatal didapatkan dua kali lipat lebih banyak pada wanita hamil dengan epilepsi daripada populasi umum. Perdarahan pada neonatus terjadi dalam 24 jam pertama dari awal kehidupan. Keadaan ini disebabkan kekurangan atau defisiensi faktor pembekuan II, VII, IX dan X yang tergantung pada vitamin K. Defisiensi vitamin K disebabkan oleh obat anti epilepsi secara kompetitif

menghambat transpostasi vitamin K melalui plasenta dan ditambah dengan kadar vitamin K yang rendah pada kehamilan. Keadaan ini dapat dicegah dengan memberikan vitamin K dosis tinggi kehamilan. Namun karena lebih sering terjadi persalinan prematur maka vitamin K (10-20 mg/hari) ini diberikan pada 2-4 minggu terakhir. dengan perdarahan neonatus harus diberi mengatasi koagulopati. Proses metabolisme obat anti epilepsi merupakan faktor utama yang potensial terhadap teratogenitas janin. Defek genetik akibat proses Pada kasus pada minggu terakhir

fresh frozen plasma untuk

detoksifikasi dan inhibisi yang berinteraksi dengan obat anti epilepsi tertentu diduga mempunyai pengaruh yang kuat pada risiko teratogenitas. Wanita hamil penyandang epilepsi yang mendapat obat anti epilepsi karbamazepin pada 35 bayi didapatkan 11% defek craniofacial, 26% finger nail hipoplasia dan 20% perkembangan yang lambat. Berikut ini adalah beberapa sindroma obat anti epilepsi, yaitu Sindroma Trimethadione fetal berupa short stature (kerdil), mikrosefali, retardasi mental, lipatan epikantal, hernia inguinalis dan lain-lain.

Trimethadione ini karena sangat teratogenik saat ini tidak digunakan lagi. Sindroma Hidantoin Fetal berupa dismorfi fascial, retardasi mental dan retardasi perkembangan intrauterin. Keadaan dismorfi fascial ini dapat timbul akibat phenobarbital, penggunaan alkohol yang menyebabkan defisiensi asam folat. Sindroma Embriopati Primidone berupa dismorfi fascial, berat badan lahir rendah, gangguan perkembangan dan defek jantung. Sindroma Valproat berupa dismorfi fascial, finger nail hipoplasia, distress perinatal, Apgar skor yang rendah, mikrosefali dan defisiensi perkembangan postnatal. Sindroma Karbamazepine berupa dismorfi fascial, mikrosefali, kelainan jari kuku dan gangguan perkembangan.

Pada pasien ini diberikan terapi obat anti epilepsi fenitoin 3x100 mg dan luminal 3x30 mg. Dekapote ER merupakan analog dari asam valproat (valproate acid). Telah diketahui bahwa penggunaan asam valproat secara mono maupun politerapi terhadap epilepsi berhubungan dengan outcome kehamilan yang abnormal. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa penggunaan asam valproat dalam politerapi sebagai anti epilepsi berhubungan dengan peningkatan risiko outcome kehamilan abnormal yang lebih tinggi dibandingkan dengan monoterapi. Kelainan distal digital hipoplasia merupakan tanda spesifik untuk teratogenitas dari phenytoin. Dibandingkan obat anti konvulsan lain,

tampaknya phenytoin paling banyak disalahkan untuk malformasi kongenital ini, namun kelainan kongenital yang lebih sering dijumpai (4 kali) seperti bibir sumbing atau celah palatum serta kelainan jantung biasanya dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. Hal yang

mencemaskan adalah neuroblastoma yang terjadi pada anak yang terpapar phenytoin in utero. Pada pasien ini diberikan fenitoin 3x100 mg sebagai obat anti epilepsi, dan setelah di lakukan pemeriksaan ultrasonografi tidak didapatkan kelainan kongenital pada janin. Bayi dari ibu yang mendapat phenobarbital akan mengalami risiko timbulnya drug withdrawal 7 hari setelah partus, dengan gejala sebagai berikut yaitu kegelisahan, gemetar (tremor), mudah terangsang (hiper eksetibilitas), high pitch cry, nafsu makan yang besar disusul dengan muntah-muntah. Gejala ini mulai timbul pada saat bayi telah meninggalkan rumah sakit sehingga membuat kepanikan pada ibunya. Biasanya semua gejala ini akan berakhir dalam 1 atau 2 minggu, kecuali hipereksitibilitas dapat berakhir 24 bulan. Terdapat sedikit keterangan mengenai teratogenik dari obat ini, studi awal mengatakan bahwa sebagian besar wanita epilepsi mendapat kombinasi antara fenotoin dan fenobarbital. Efek teratogenik obat ini kurang bila dibandingkan dengan obat anti epilepsi lain dan pada manusia,

Shapiro dan kawan-kawan (1976) menemukan fenobarnbital tidak menyebabkan Yerby,1991). meningkatnya Pemakaian obat angka ini malformasi dapat (Laidlaw, 1988;

mengakibatkan sindrom

fenobarbital fetus, yang berupa Dismorfim wajah, gangguan pertumbuhan pre dan postnatal dan perkembangan yang lambat (Yerby, 1991). Bagian Obstetri dan Ginekologi Akademi Amerika menganjurkan pemakaian fenobarbital sebagai obat pilihan untuk wanita epilepsi yang hamil (Yerby,1991). Sullivan (1975), pada penelitiannya terhadap tikus yang hamil diberikan obat ini mengakibatkan bibir and palatum sumbing berkisar antara 0.6 3.9% . Ada dua kelompok malformasi kongenital yang dikenal yaitu malformasi mayor 2%-3% (yang paling sering adalah celah orofacial, anomali jantung dan defek pada neural tube) dan malformasi minor 15% (yang paling sering adalah hipertelorism, lipatan epikantal, shallow philt, hipoplasia jari digital dan lipatan simian). Hanya saja dikatakan defek neural tube (terutama spina

bifida lumbosakral) yang diakibatkan asam valproat (1%-2%) lebih banyak daripada karbamazepin (0,5%). Oleh karena itu ada yang menyarankan agar dosis yang digunakan diturunkan pada wanita hamil penyandang epilepsi.

You might also like