You are on page 1of 5

Artikel Penelitian

Golongan Darah AB sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue pada Anak

Rahayu, Dany Hilmanto, Djatnika Setiabudi


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak: Penyebab kematian utama infeksi dengue adalah sindrom syok dengue (SSD). Faktor risiko SSD yang telah banyak diteliti adalah strain virus, predisposisi genetik, infeksi sekunder, gizi lebih, dan faktor usia (5-9 tahun). Faktor lain yang dikaitkan dengan infeksi dengue berat (SSD) adalah golongan darah AB. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui golongan darah AB sebagai faktor risiko SSD pada anak dengan mengikutsertakan faktor infeksi sekunder, gizi lebih, dan usia 5-9 tahun. Dilakukan penelitian cross sectional dengan pemilihan sampel secara consecutive sampling terhadap anak usia satu bulan sampai 14 tahun yang menderita demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), atau SSD berdasarkan kriteria WHO. Pemeriksaan golongan darah memakai metode slide test. Faktor risiko dianalisis dengan uji ki-kuadrat (X2) dan analisis regresi logistik. Berdasarkan analisis (X2) diperoleh hasil bahwa golongan darah AB merupakan faktor risiko SSD (RP 2,306; IK 95% 1,147-4,634; p=0,044). Berdasarkan analisis regresi logistik didapatkan hanya golongan darah AB yang merupakan faktor risiko SSD, sedangkan infeksi sekunder, gizi lebih, dan usia 5-9 tahun bukan merupakan faktor risiko SSD. Kesimpulan penelitian ini adalah golongan darah AB merupakan faktor risiko SSD pada anak meskipun dengan mengikutsertakan faktor infeksi sekunder, gizi lebih, dan usia 5-9 tahun. Kata kunci: sindrom syok dengue, golongan darah AB, faktor risiko

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008

383

Golongan Darah AB sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue

AB Blood Group as a Risk Factor for Dengue Shock Syndrome in Children Rahayu, Dany Hilmanto, Djatnika Setiabudi
Department of Child Health, Faculty of Medicine Padjadjaran University/ Dr. Hasan Sadikin Hospital, Bandung

Abstract: Dengue shock syndrome (DSS) was the major cause of mortality in dengue infection. The risk factor of DSS that most studied was viral strain, genetic predisposition, secondary infection, overweight, and age 5-9 years old. The aim of this study is to identify AB blood group as risk factor of DSS in children along with secondary infection, overweight, and age 5-9 years old factors. Cross sectional study with consecutive sampling was performed in children aged one month until 14 years old children with dengue fever (DF), dengue hemorrhagic fever (DHF), or DSS according to 2005 WHO criteria. Blood type was examined by slide test method. Risk factor was analyzed by chi square test (X2) and logistic regression. Based on chi square test (X2), AB blood group is risk factor for DSS (PR 2.306; 95% CI 1.147-4.634; p=0.044). Based on logistic regression analysis, only AB blood group is risk factor of DSS, meanwhile secondary infection, overweight, and age 5-9 years old are not risk factor of DSS. This study conclude that AB blood group is risk factor for DSS in children even along with secondary infection, overweight, and age 5-9 years old factors. Keywords: dengue shock syndrome, AB blood group, risk factor

Pendahuluan Penyakit infeksi dengue sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang sangat serius di daerah tropis, terutama di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.1 Pada tahun 2005, di wilayah Asia Tenggara terjadi peningkatan kasus infeksi dengue sebanyak 19% dan peningkatan kasus kematian sebanyak 43%. Di Indonesia peningkatan kasus tersebut sebanyak 53%. Setiap tahun terjadi 500 000 kasus infeksi dengue berat yaitu demam berdarah dengue/sindrom syok dengue (DBD/SSD) yang memerlukan perawatan rumah sakit. Mortalitas sekitar 1-5% atau kurang lebih 24 000 jiwa yang meninggal. Angka kematian dapat meningkat lebih dari 20% bila penatalaksanaan tidak tepat, tetapi apabila ditangani dengan baik di ruang intensif, angka kematian dapat diturunkan sampai kurang dari 1%.2 Sindrom syok dengue yang merupakan komplikasi berat DBD dapat menyebabkan kematian lebih dari 50% jika tidak ditangani secara tepat dan cepat.3 Perbedaan DBD dan demam dengue (DD) adalah pada DBD terjadi kebocoran plasma (plasma leakage), abnormalitas hemostasis termasuk trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Kebocoran plasma yang berat menyebabkan hipotensi dan syok (SSD). WHO mengklasifikasikan DBD

berdasarkan derajat beratnya penyakit menjadi DBD derajat I, II, III, dan IV. Derajat III dan IV disebut SSD yang merupakan kegawatan serta perlu tindakan segera.2,4 Berbagai faktor risiko DBD/SSD yang telah diketahui adalah strain virus, predisposisi genetik, usia 5-9 tahun, dan status gizi lebih. Virus spesifik yang bereplikasi dengan level tinggi dan virus DEN-2 akan menyebabkan peningkatan respons imun dan beratnya penyakit.5 Status gizi lebih dan anak usia 5-9 tahun merupakan faktor risiko terjadinya dengue berat.5-8 Salah satu faktor yang mungkin berhubungan dengan derajat beratnya infeksi dengue yang akhir-akhir ini mulai diteliti adalah faktor golongan darah. Kalayanarooj et al9 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa golongan darah AB merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi dengue yang berat pada infeksi sekunder virus dengue. Mengingat angka kematian akibat infeksi dengue masih tinggi serta belum ada penelitian mengenai hubungan golongan darah dengan kejadian SSD pada anak di Indonesia, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat golongan darah AB sebagai faktor risiko SSD pada anak dengan mengikutsertakan faktor infeksi sekunder virus dengue, gizi lebih, dan usia 5-9 tahun.

384

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008

Golongan Darah AB sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional yang dilaksanakan mulai bulan Januari 2008 sampai Maret 2008. Pemilihan subjek dilakukan secara consecutive sampling pada bayi dan anak yang dicurigai menderita infeksi dengue yang berobat ke Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Dr. Hasan Sadikin. Kriteria inklusi adalah anak usia 1 bulan sampai kurang atau sama dengan 14 tahun dan memenuhi kriteria klinis DD, DBD, dan SSD menurut WHO (2005) disertai bukti infeksi dengue secara serologis. Kriteria eksklusi adalah anak yang berdasarkan anamnesis mempunyai penyakit kelainan darah seperti hemofilia dan thalassemia . Besar sampel dihitung berdasarkan rumus untuk data nominal dengan taraf kemaknaan 5% dan power test 80% sehingga didapatkan sampel sebanyak 92 pasien. Subjek dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan diagnosis DD dan DBD serta kelompok dengan diagnosis SSD. Penentuan spektrum klinis infeksi dengue berdasarkan kriteria WHO 2005. Infeksi dengue dikatakan infeksi primer bila hasil pemeriksaan serologis dengan metode rapid test didapatkan IgM positif dan IgG negatif, sedangkan infeksi sekunder bila didapatkan hasil IgG positif dengan atan tanpa IgM positif. Status gizi ditentukan berdasarkan antropometri dengan menggunakan kurva pertumbuhan WHO Child Growth Standard 2006 sebagai referensi. Klasifikasi status gizi berdasarkan sistem z-score menggunakan klasifikasi WHO. Setelah mendapat persetujuan dari orang tua, pada subjek dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pemeriksaan serologis IgM dan IgG antidengue dilakukan pada hari kelima sakit atau pada saat perburukan dengan metode rapid test menggunakan kit Panbio dengue duo cassette. Setelah didapatkan bukti serologis infeksi dengue, dilakukan pemeriksaan golongan darah dengan metode slide test menggunakan ABO screen. Faktor risiko SSD dianalisis dengan uji statistik kikuadrat, ditentukan rasio prevalens (RP) dengan interval kepercayaan 95% dan p<0,05 dianggap bermakna. Peluang faktor risiko untuk terjadinya SSD dianalisis menggunakan analisis regresi logistik. Data dianalisis menggunakan program SPSS version 15.0. Hasil Penelitian Selama kurun waktu Januari 2008 sampai dengan Maret 2008, didapatkan 94 anak yang memenuhi kriteria klinis DD, DBD, dan SSD menurut WHO (2005) yang dirawat di ruang perawatan anak Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Sebanyak 92 anak memenuhi kriteria inklusi penelitian. Dari 92 anak penderita infeksi dengue, jumlah penderita DD sebanyak 42 anak (45,6%), penderita DBD sebanyak 25 anak (27,2%), dan SSD sebanyak 25 anak (27,2%). Lama panas badan atau sakit di rumah yang dikeluhkan sebelum berobat atau dirawat lebih lama untuk kelompok SSD dibandingkan kelompok pasien DD dan DBD. Karakterikstik umum dan manifestasi klinis subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Umum dan Manifestasi Klinis Subjek Penelitian Kelompok DD/DBD n=67 SSD n=25 p

Jenis kelamin Laki-laki 34 (50,7%) Perempuan 33 (49,3%) Usia (tahun) 7,4 + 3,6 Lama sakit di rumah 4,2 + 1,1 (hari) Manifestasi perdarahan Tes tourniquet 43 (64,2%) Petekie spontan 16 (23,(%) Perdarahan hidung 12 (17,9%) Perdarahan saluran cerna Hepatomegali 18 (26,9%) Gambaran laboratorium pada saat datang Hemoglobin (g/dL) 12,5 + 1,5 Hematokrit (%) 36,5 + 4,3 Trombosit (/mm3 ) 78 000 + 40 000

14 (56%) 11 (44%) 7,2 + 3,4 4,9 + 0,9

p=0,654 p=0,489 p=0,007*

25 (100%) 5 (20%) 9 (36%) 21 (84%)

p=0,000* p=0,693 p=0,066 p=0,005* p=0,000*

14,2 + 2,9 41,7 + 8,6 49 000 + 29 000

p=0,080 p=0,020* p=0,269

Uji Pearson chi-square, bermakna bila p<0,05

Golongan darah AB merupakan faktor risiko untuk terjadinya SSD pada anak (RP 2,306; IK 95% 1,147-4,634; p=0,044). Infeksi sekunder virus dengue serotipe berbeda bukan merupakan faktor risiko SSD pada anak (RP 2,588; IK 95% 0,851-7,876; p=0,06). Faktor gizi lebih dan usia 5-9 tahun juga bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya SSD pada anak (RP 1,841; IK 95% 0,869-3,900; p=0,146 dan RP 1,214; IK 95% 0,307-1,999; p=0,587) (Tabel 2).
Tabel 2. Analisis Univariat Faktor Risiko SSD Derajat Klinis DD/DBD SSD Rasio prevalens (IK 95%) p

Golongan darah Golongan AB Golongan non AB Infeksi Primer Sekunder Status gizi Gizi lebih Gizi baik dan kurang Kelompok usia 5-9 tahun <5 atau >9 tahun

4 63 21 46 6 61

5 20 3 22 5 20

2,306 (1,147-4,634) 2,588 (0,851-7,876) 1,841 (0,869-3,900)

p=0,044*

p=0,060* p=0,146*

26 37

11 12

1,214 (0,307-1,999)

p=0,587

Uji Pearson chi-square, bermakna bila p<0,05

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008

385

Golongan Darah AB sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue Berdasarkan analisis regresi logistik stepwise/forward logistic regression diperoleh hasil bahwa golongan darah AB berhubungan dengan SSD pada anak, sedangkan infeksi sekunder dan gizi lebih tidak berhubungan dengan kejadian SSD dan dikeluarkan dari persamaan (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat B Golongan darah Konstanta -1,371 1,594 Exp (B) 0,254 4,922 IK 95% 0,062-1,038 p 0,056

B: koefisien regresi, Exp (B): eksponensial B

Diskusi Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa golongan darah AB merupakan faktor risiko untuk terjadinya SSD. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kalayanarooj et al9 pada tahun 2007 yang menyimpulkan bahwa golongan darah AB merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi dengue berat pada infeksi sekunder. Sistem golongan darah ABO secara statistik berhubungan dengan kondisi kesehatan atau penyakit tertentu. Hubungan golongan darah dengan infeksi terjadi karena mikroorganisme tertentu mempunyai struktur dengan aktivitas seperti golongan darah.9,10 Produk gen A dan B adalah glycosyltransferase yang memodifikasi membran sel untuk mensintesis antigen A dan B. Antigen tersebut adalah karbohidrat; karbohidrat imunodominan pada determinan A adalah N-acetyl-D-galactosamine, dan pada determinan B adalah D-galactose. Walaupun antigen golongan darah merupakan antigen sel darah merah, sebenarnya beberapa antigen tersebar luas pada berbagai jaringan manusia dan terdapat pada sebagian besar sel epitel dan endotel sesuai dengan genotip individu ABO. Beberapa penulis berpendapat bahwa antigen golongan darah ABO disebut sebagai antigen histo-blood group ABO karena secara primer merupakan antigen jaringan.11-13 Dalam keadaan normal, jika antigen A dan B tidak terdapat dalam sel darah merah, antibodi yang sesuai (isohemaglutinin) ada dalam plasma. Antibodi tersebut predominan IgM dan secara alamiah antibodi tersebut bisa dirangsang oleh zat-zat yang alami terdapat di alam. Beberapa protein virus dengue merupakan protein glycosilated dan antibodi, khususnya IgM yang dihasilkan oleh pasien terinfeksi virus dengue diduga bereaksi silang dengan sel pejamu diantaranya sel eritrosit dan sel endotel.9,11,14,15 Menurut teori ADE yang dikemukakan oleh Halstead, antibodi serotype cross-reactive yang terbentuk pada infeksi virus dengue sebelumnya berperan sebagai opsonin virus sehingga menyebabkan jumlah virus yang menginfeksi makrofag atau sel mononuklear meningkat dan juga meningkatkan replikasi virus dalam sel tersebut. Jumlah monosit yang terinfeksi virus meningkat menyebabkan
386

tingkat aktivasi sel T juga meningkat. Sel T ini menghasilkan sitokin seperti IFN-, IL-2, dan TNF-. Kompleks virus antibodi mengaktifkan kaskade komplemen menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai efek langsung terhadap permeabilitas vaskular. Efek sinergis dari IFN-, TNF-, dan komplemen teraktivasi memicu terjadinya kebocoran plasma dari sel endotel pada infeksi sekunder.7,16,17 Kompleks antigen (antigen A dan atau B) dan antibodi IgM yang dihasilkan oleh pasien terinfeksi virus dengue akan mengaktifkan kaskade komplemen menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai efek langsung terhadap permeabilitas vaskular, bersama-sama dengan IFN-, TNF- memicu terjadinya kebocoran plasma. Pada analisis univariat diperoleh hasil bahwa infeksi sekunder, gizi lebih, dan usia 5-9 tahun bukan merupakan faktor risiko SSD dan tidak berhubungan dengan derajat beratnya infeksi dengue. Setelah dilakukan analisis regresi logistik ternyata hanya golongan darah AB yang merupakan faktor risiko SSD pada anak. Tantracheewathon et al18 dari penelitiannya menyimpulkan bahwa usia, jenis kelamin, dan status gizi bukan merupakan faktor risiko SSD, sedangkan infeksi sekunder merupakan faktor risiko SSD. Pichainarong et al7 pada penelitiannya tahun 2006 menyimpulkan bahwa obesitas dan infeksi DEN-2 berhubungan dengan beratnya infeksi dengue. Junia et al8 pada tahun 2007 menyimpulkan bahwa usia 5-9 tahun dan gizi lebih merupakan faktor risiko untuk terjadinya SSD. Hammond et al19 juga menyimpulkan bahwa infeksi dengue berat lebih dominan pada usia 4-9 bulan dan anak usia 5-9 tahun serta pada infeksi sekunder. Pada penelitian ini, usia 5-9 tahun dan infeksi sekunder bukan merupakan faktor risiko SSD. Perbedaan hasil penelitian ini dengan sebelumnya mungkin disebabkan kurangnya jumlah subjek penelitian pada penelitian ini. Subjek penelitian Pichainarong et al7 adalah 210 pasien, subjek penelitian Tantracheewathon et al18 165 pasien, dan penelitian Junia et al8 merupakan penelitian retrospektif dengan jumlah sampel yang besar yaitu 600 subjek, sedangkan subjek pada penelitian ini 92 pasien. Baku emas pemeriksaan serologis untuk membedakan infeksi primer dan sekunder adalah tes HI dan IgM/IgG ELISA karena selain sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi juga titer IgM/IgG dapat diketahui secara kuantitatif.20 Pada penelitian ini, pemeriksaan serologis menggunakan metode rapid test dengan prinsip kerja immunochromatography yang walaupun senstifitas dan spesifisitasnya tinggi tetapi kadar titer IgM/IgG tidak diketahui pasti karena bersifat kualitatif, sehingga tidak dapat dinilai rasio IgG/IgM atau peningkatan titer antibodi tersebut.21,22 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa golongan darah AB merupakan faktor risiko terjadinya SSD pada anak, sehingga disarankan untuk dilakukan
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008

Golongan Darah AB sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue pemeriksaan golongan darah pada setiap penderita infeksi dengue atau yang dicurigai infeksi dengue agar komplikasi berat dari infeksi dengue bisa dicegah. Daftar Pustaka
Guha-Sapir D, Schimmer B. Dengue fever: new paradigms for a changing epidemiology. Emerging Themes in Epidemiol. 2005;2:1-10. 2. WHO. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of integrated management fo childhood illness. Geneva: WHO;2005. 3. Hadinegoro SR, Purwanto SH, Chatab F. DSS: Clinical manifestation, management and outcome. A hospital based study in Jakarta, Indonesia. Dengue Bull. 1999;23:12. 4. Rothman AL. Dengue: defining protective versus pathologic immunity. J Clin Invest. 2004;113:946-51. 5. Vaughn DW, Green S, Kalayanarooj S, Innis BL, Nimmannitya S, Suntayakhon S, et al. Dengue viremia titer, antibody response pattern, and virus serotype correlate with disease severety. JID. 2005;181:2-9. 6. Hung NT, Lan NT, Lei HY, Lin YS, Lien LB. Association between sex, nutritional status, severity of dengue hemorrhagic fever, and immune status in infants with dengue hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg. 2005;72:370-4. 7. Pichainarong N, Mongkalangoon N, Kalayanarooj S, Chaveepojnkarnjorn W. Relationship between body size and severity of dengue hemorrhagic fever among children aged 0-14 years. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2006; 37(2):283-9. 8. Junia J, Garna H, Setiabudi D. Clinical risk factors for dengue shock syndrome in children. Paediatr Indones. 2007;47:7-11. 9. Kalayanarooj S, Gibbons RV, Vaughn D, Green S, Nisalak A, Jarman RG, et al. Blood group AB is associated with increased risk for severe dengue disease in secondary infection. JID. 2007;195:10147. 10. Skripal IG. ABO system of blood groups in people and their resistance to certain infectious diseases (prognosis). Mikrobiol Z. 1996;58:102-8. 11. Schroeder ML. Red cell, platelet, and white cell antigens. Dalam: Lee GR, Paraskevas F, Foester J, Greer JP, Lukens J, Rodgers GM, penyunting. Wintrobes clinical hematology. Edisi ke-10. Baltimore: Williams & Willkins Co; 1999.h.774-89. 1. 12. NCBI. The ABO blood group (diunduh 28 Januari 2008). Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books. 13. Garratty G. Relationship of blood groups to disease: do blood group antigens have a biological role? Rev Med Inst Mex Seguro Soc. 2005;43:113-21. 14. Lei HY, Yeh TM, Liu HS, Lin YS. Immunopathogenesis of dengue virus infection. J Biomed Sci. 2001;8:377-88. 15. Viele M, Donegan E. Blood banking and immunohematology. Dalam: Parslow TG, Stites DP, Terr AI, Imboden JB, penyunting. Medical immunology. Edisi ke-10. Philadelphia: McGraw-Hill; 2001.h.250-9. 16. Calhoun L, Petz LD. Erytrocyte antigens and antibodies. Dalam. Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps T, Seligsohn U, penyunting. Williams hematology. Edisi ke-6. New York: McGrawHill; 2001.h.1843-57. 17. Pang T, Cardosa MJ, Guzman MG. Of cascade and perfect storms: the immunopathogenesis of dengue haemorrhagic fever-dengue shock syndrome (DHF/DSS). Immunol and Cell Biol. 2007;85:435. 18. Tantracheewathorn T, Tantracheewathorn S. Risk factors of dengue shock syndrome in children. J Med Assoc Thai. 2007; 90(2):272-7. 19. Hammond SN, Balmaseda A, Perez L, Tellez Y, Saborio SA. Differences in dengue severity in infants, children, and adults in a 3years hospital-base study in Nicaragua. Am J Trop Med Hyg. 2006;73:1063-70. 20. Guzman MG, Kouri G. Advances in dengue diagnosis. Clin Diagn Lab Immunol. 1996;3(6):621-7. 21. Vaughn DW, Nisalak A, Kalayanarooj S, Solomon T, dung NM, Cuzzubbo A, el al. Evaluation of rapid immunochromatographic test for diagnosis of dengue virus infection. J Clin Microbiol. 1998;36(1):234-8. 22. Sang CT, Hoon LS, Cuzzubbo A, Devine P. Clinical evaluation of rapid immunochromatographic test for the diagnosis of dengue virus infection. Clin Diagn Lab Immunol. 1998;5(3):407-9.

SS

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008

387

You might also like