You are on page 1of 15

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI TUBERKULOSIS PADA ANAK Adi Utomo Suardi Divisi Respirologi, Departemen Ilmu Kesehatan

Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin

PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 melaporkan jumlah kasus TB di dunia pada tahun 2009 sebesar 9,4 juta atau sekitar 137 kasus per 100.000 populasi.1 Sepuluh sampai duapuluh persen dari keseluruhan kasus TB terjadi pada anak (0-14 tahun)2 bahkan di daerah endemis dapat mencapai 40%.3 Walaupun demikian, data mengenai TB anak di daerah endemis tidak banyak dan tidak akurat dilaporkan.4,5 Hal ini dikarenakan sulitnya mendiagnosis TB pada anak secara akurat, sistem pelaporan yang kurang baik dan adekuat di negara berkembang serta kurangnya perhatian dari pemegang otoritas program.6 Di Indonesia jumlah kasus baru TB pada tahun 2009 adalah 289.044 dengan kasus pada anak usia kurang dari 15 tahun adalah 30.662 .7 Diagnosis TB pada anak tidaklah mudah, seringkali terjadi overdiagnosis diikuti overtreatment, dan di sisi lain terjadi underdiagnosis dalam menegakkan diagnosis TB anak diikut undertreatment, bahkan TB anak seringkali tidak menjadi perhatian atau neglected.8,9 Masalah diagnosis TB pada anak dikarenakan beberapa hal antara lain gejala dan tanda penyakit yang tidak spesifik, kesulitan memperoleh spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologis, pemeriksaan beberapa pemeriksaan konvensional yang ada tidak dapat membantu diagnosis dan bahkan beberapa pemeriksaan yang dikembangkan dan bahkan sudah diperkenalkan di laboratorium seyogyanya belum terbukti dapat digunakan untuk kepentingan praktek klinis sehari-hari. Oleh karena itu, mendiagnosis pasti TB pada anak merupakan permasalahan yang hingga saat ini masih dihadapi.5,10 WHO telah mengeluarkan kebijakan terbaru WHO Stop TB Strategy dan mencanangkan Global Plan to Stop TB 2006-2015. Strategi tersebut mencakup masalah anak penderita TB kronis yang terlantar yang selama ini tidak tercakup dalam program penanggulangan Guidance for National Tuberculosis Programmes on The Management of Tuberculosis in Children.

Panduan tersebut memuat beberapa hal baru penting yaitu Program Tuberkulosis Nasional harus mencatat dan membuat pelaporan TB anak secara berkala yang dibagi menjadi 2 kategori umur yaitu 0-4 tahun dan 5-14 tahun secara rutin tiap 3 bulan, rekomendasi penggunaan etambutol pada anak, serta penanganan TB anak harus mengacu pada program Stop TB Strategy.11 Panduan global dalam manajemen TB anak, anak-anak dengan HIV serta rekomendasi dosis terbaru obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama juga termasuk di dalamnya.12

EPIDEMIOLOGI Tuberkulosis termasuk dalam 10 penyebab kematian terbanyak pada anak-anak di seluruh dunia. Namun, anak-anak dengan TB seringkali diberikan prioritas yang rendah dalam berbagai program kesehatan nasional. Tuberkulosis pada anak merupakan konsekuensi dari TB pada dewasa dan merupakan petunjuk yang baik mengenai penyebaran/transmisi TB di komunitas.13 Seorang dewasa dengan infeksi TB paru akan menginfeksi 8-15 individu sebelum didiagnosis TB. Beberapa pasien dapat sangat menularkan TB, namun beberapa pasien yang yang lain tidak menularkan sama sekali. Sekitar 5-10% orang dengan infeksi TB laten akan menderita sakit TB. Risiko menderita TB akan lebih tinggi pada anak-anak dan penderita imunokompromi.9 Sekitar 1 juta anak-anak menderita TB dan 75% terjadi di berbagai negara berkembang. Berdasarkan data regional WHO pada tahun 2007, anak-anak kurang dari 14 tahun dengan sputum positif TB berkisar antara 0,6%-3,6%. Namun, karena 95% kasus pada anak-anak di bawah 12 tahun mempunyai hasil sputum negatif, maka data ini hanya menunjukkan kenyataan kecil mengenai TB pada anak-anak.13 Indonesia berada pada peringkat ketiga di antara 22 negara dengan kasus TB terbesar. Survey nasional tahun 2004 menunjukkan prevalensi TB paru apus positif di Indonesia diperkirakan mencapai 104 per 100.000 populasi dan saat ini direncanakan untuk melakukan penilaian di tingkat provinsi untuk memperkirakan resiko infeksi tuberkulosis pertahun (Annual Risk of tuberculosis infections/ARTI). ARTI didefinisikan sebagai kemungkinan rata-rata dari sekelompok individu untuk terkena infeksi tuberkulosis selama 1 tahun, ARTI didapatkan dari perkiraan prevalensi infeksi dari survey tuberkulin. ARTI dapat memberikan petunjuk adanya epidemi TB dan pengaruh dari program pengendalian TB. ARTI juga dapat menggambarkan situasi epidemiologis TB terakhir. Saat ini sedang direncanakan untuk melakukan survey uji tuberkulin di 5 provinsi.14

RIWAYAT ALAMIAH Secara alamiah, setelah kontak TB dan masuknya kuman ke dalam tubuh dengan timbulnya sakit seringkali berlangsung dalam waktu lama, sehingga umumnya individu yang telah terinfeksi membawa kuman dan asimptomatik. Gejala penyakit bisa timbul bertahun-tahun setelah infeksi primer. Infeksi terjadi setelah percikan ludah yang mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis terinhalasi. Seorang anak yang menderita penyakit TB sulit dibedakan apakah penyakitnya berasal dari infeksi primer atau reaktivasi kuman MTB dorman, infeksi bisa terjadi kapan saja sepanjang hidupnya. Berikut ini skala waktu untuk timbulnya berbagai manifestasi TB.15 Tabel 1. Skala waktu manifestasi TB
Bentuk Tuberkulosis Konversi imunitas Kompleks primer Komplikasi lokal paru Efusi pleura Milier/meningitis Tulang Kulit Ginjal Reaktivasi
Sumber: Hoskyns W15

Waktu Sejak Infeksi Sampai Onset Penyakit 4-8 minggu 1-3 bulan 3-9 bulan 3-12 bulan 3 bulan 10-36 bulan 5 tahun 10 tahun 5 tahun

Anak mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami progresifitas penyakit dibanding dewasa dan untuk terjadinya milier serta meningitis, hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuhnya dan maturitas sistem imunnya, terutama pada anak < 3 tahun. Belum maturnya sistem imun merupakan predisposisi untuk penyebaran TB di tubuh anak. Oleh karena itu pada anak kemoprofilaksis dapat diberikan untuk pengobatan infeksi TB laten namun tidak demikian pada dewasa. TB anak biasanya primer dan jumlah kuman sedikit (paucybacillary), sehingga transmisi TB meskipun kontak erat tidak akan terjadi. Sedangkan TB dewasa dan remaja adalah post-primer dengan kavitas pada paru dan infeksius.15 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bayi, risiko progresifitas TB primer sangat tinggi, risiko menurun sedikit sampai usia 2 tahun, risiko terendah pada usia antara 5-10 tahun.16 Di paru-paru MTB difagositosis oleh makrofag dan akan dibunuh atau dapat tetap hidup serta bermultiplikasi, bila sel pecah akan menyebarkan lebih banyak mikroorganisme. Selanjutnya akan terjadi perang antara respon imun tubuh dengan

organisme yang invasive. Pertahanan tubuh merupakan dinding untuk infeksi, sehingga anak tidak sakit, namun bila system imun tidak bisa mencegah, timbul penyakit yang aktif. Sebagai mekanisme pertahanan tubuh akan dibentuk granuloma berupa kapsul yang mengelilingi kuman MTB. Bakteri yang terkurung dalam dinding granuloma bisa mati namun lebih sering menjadi koloni dorman yang menetap. Berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian organisme dorman tersebut keluar dan menyebabkan penyakit. Penyakit lebih sering muncul pada lansia, keadaan stress, kurang gizi dan atau imunokompromis. Risiko terjadinya sakit setelah infeksi primer tertinggi pada kurun waktu 1 tahun setelah infeksi dan menurun secara drastis setelah 2 tahun. Rata-rata hanya 10% saja indivisu yang terinfeksi akan menjadi sakit. Hampir semua individu yang terinfeksi akan memberikan respon imun sel (cell mediated immune response) dalam waktu 2-10 minggu setelah infeksi inisial yang dapat dideteksi dengan uji kulit tuberkulin positif.

DEFINISI KASUS Penting untuk membedakan antara terpapar, infeksi primer dengan penyakit yang aktif.16 Seseorang terpapar TB bila kontak dengan penderita TB aktif, selanjutnya apakah anak akan masuk kelompok terinfeksi atau penyakit tergantung pada derajat status penderita TB, umur penderita TB yang menularkan (bila usia <25 tahun lebih infeksius), hubungan keduanya (apakah 1 kamar, 1 runah), kondisi rumah, kepadatan huniah dan ada tidaknya HIV. 17 Faktor risiko untuk sakit TB adalah usia muda (bayi, balita), kontak serumah, malnutrisi berat, infeksi yang baru, imunosupresi terutama karena HIV.12,17

Terpapar TB Terpapar TB dikategorikan sebagai anak yang asimptomatik namun memiliki kontak dengan orang yang dicurigai menderita penyakit TB serta anak menunjukkan uji kulit tuberculin negative dan foto ronsen dada normal. Anak usia < 4 tahun dan anak yang imunokompromis mulai diobati dengan INH tanpa menunggu hasil uji tuberkulin ulang yang dilakukan pada 2-3 bulan kemudian, karena kelompok ini berisiko berkembang menjadi penyakit TB. Apabila hasil uji kulit tuberculin negatif, maka obat dapat dihentikan dan apabila positif maka INH dapat dilanjutkan selama 9 bulan. Anak dengan paparan TB berusia > 3 tahun dan imunokompeten dapat diobservasi dan OAT ditunda sampai ada hasil uji tuberkulin ulang.9

Infeksi TB (latent TB infection) Anak dengan uji tuberkulin positif harus diberikan pengobatan sebagai infeksi TB laten untuk menurunkan risiko berkembang menjadi penyakit di kemudian hari. Pengobatan infeksi TB laten adalah monoterapi dengan INH selama 9 bulan, sebagai alternative untuk penderita yang tidak toleran terhadap INH adalah rifampisin yang diberikan selama 9 bulan.9

Penyakit TB Anak yang menderita penyakit TB memiliki jumlah kuman yang lebih banyak dan langsung dimulai terapi kombinasi. Semua penderita dengan penyakit TB sebaiknya dikelola dengan prinsip strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS).9

DIAGNOSIS Anak yang terinfeksi TB bersifat tidak menularkan, kebanyakan anak mendapat infeksi berasal dari orang dewasa yang berada disekitarnya. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis namun pada anak, sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif. Seringkali M. tuberkulosis jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun kultur. Hanya sekitar 0-3/100.000 kasus saja yang mendapatkan hasil positif dengan pemeriksaan sputum.8

Gejala klinis Kekeliruan mendiagnosis TB pada anak dapat terjadi antara lain tenaga medis menganggap gejala klinis pasien TB anak sama dengan dewasa. Suatu gejala klinis langsung dihubungkan dengan TB tanpa atau kurang memikirkan kemungkinan diagnosis banding. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal. Manifestasi sistemik umumnya bersifat tidak khas yang hal ini sesuai dengan sifat kuman TB dan manifestasi berlangsung bertahap dan perlahan. Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam yang terjadi pada sekitar 40%-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik yang lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan tidak naik atau turun, malaise. Batuk kronik bukan merupakan gejala utama anak dengan TB. Hal ini berbeda dengan penderita TB dewasa dimana batuk kronik merupakan gejala tersering. Manifestasi spesifik lokal organ/lokal tergantung dari organ yang

terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan sendi, kulit, dan lainlain.10,18,19

Pemeriksaan Penunjang Penegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak menjadi rumit karena tidak adanya baku emas yang praktis. Pemeriksaan mikroskopik sputum, seringkali menjadi satu-satunya uji diagnostik yang tersedia di daerah endemik. Pemeriksaan tersebut memberikan hasil positif pada <10-15% anak-anak yang diduga terinfeksi, begitu pula pemeriksaan kultur yang juga memberikan hasil yang kurang baik, yaitu hanya <30-40%.8,20,21 Uji kulit tuberkulin cara Mantoux sangat bermanfaat dalam mendeteksi infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anak meskipun cakupan BCG di daerah tersebut cukup tinggi.22 Uji kulit tuberkulin juga bukan tes yang ideal, harus diintrpretasikan secara kontekstual. Uji kulit tuberculin positif hanya menunjukkan bahwa ada indikasi infeksi kuman MTB. Penyuntikan dengan larutan purified protein derivative (PPD) 0,1 cc intrakutan. Menurut WHO sebaiknya disepakati dipergunakan PPD-S 5 TU atau PPD-RT23-2TU, dan hasil dibaca setelah 48-72 jam kemudian, dinilai diameter indurasi transversal terpanjang. Batas positif disepakati 10mm baik sudah maupun belum BCG dan > 5mm pada anak dengan HIV atau imunokompromis. Pada anak yang telah mendapat vaksinasi BCG uji kulit tuberculin sulit diinterpretasi dan hasil negative tidak berarti anak tidak sakit TB.12,15,23 Sekali seorang anak pernah menunjukkan hasil uji kulit tuberculin positif, sebaiknya tidak dilakukan lagi uji tuberculin, karena hasilnya tidak lagi bermanfaat dan dapat menimbulkan jaringan parut.9 Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang mudah, murah dan cepat. Pemeriksaan ini dapat diperiksa dari specimen yang berasal dari dahak, aspirasi cairan lambung, bronchoalveolar lavage, cairan serebrospinal dan cairan tubuh lain. Pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak, bahan pemeriksaan dapat diperoleh dari induksi sputum maupun aspirasi cairan lambung dini hari selama 3 hari berturut-turut. Aspirat lambung sebanyak 50 ml setelah sebelumnya puasa selama 8-10 jam, kemudian harus dinetralisir dengan natrium bikarbonat (100 mg tiap 5-10 ml specimen). Pemeriksaan ini membutuhkan kuman 5000-10.000 kuman/mm specimen untuk mendapatkan hasil yang positif.24 Tes serologis yang tersedia saat ini hendaknya tidak digunakan secara rutin untuk mendiagnosis TB anak karena belum ada data yang cukup mengenai penggunaanya pada anak.

Penelitian terhadap penderita dewasa menunjukkan reliabilitas dengan variasi yang luas. WHO juga tidak merekomendasikan penggunaannya pada negara-negara berkembang. Meski Interferon-gamma release assays (IGRA) menunjukkan keunggulan dibandingkan uji kulit tuberkulin pada anak terinfeksi HIV, bayi dan anak dengan malnutrisi namun tidaklah demikian untuk diagnosis infeksi TB laten.5

Sistem skoring Kesulitan untuk menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik, misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO, Jones, International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan Unit Koordinasi Kerja (UKK) Respirologi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PPIDAI).19,20 Beberapa hal yang dinilai pada kriteria Kenneth Jones (sistem poin) adalah konfirmasi bakteriologis, granuloma TB, uji tuberkulin cara Mantoux, pemeriksaan foto toraks, pemeriksaan fisis yang berhubungan dengan TB, riwayat kontak dengan penderita TB dewasa, batas usia dibawah 2 tahun, tidak berespons terhadap terapi, status gizi, dan imunisasi BCG. Sistem skoring Kenneth Jones ini dipergunakan di India dan Brazil.20 Pada sistem Keith Edwards yang dinilai adalah lama/durasi penyakit, status gizi, riwayat penderita TB dewasa dalam keluarga, uji tuberkulin cara Mantoux, malnutrisi tidak mengalami perbaikan setelah penanganan 1 bulan, pembesaran kelenjar pada leher yang tidak terasa nyeri, keringat malam atau demam lama, deformitas tulang, pembengkakan pada sendi, asites, koma lebih dari 48 jam atau adanya perubahan status neurologis. Pada sistem skoring WHO kriteria diagnostik adalah kontak dengan penderita TB dewasa, kesehatan tidak pulih kembali setelah terkena campak atau whooping cough, penurunan berat badan, batuk dan mengi yang tidak berespons dengan pemberian antibiotik, pembengkakan yang tidak terasa nyeri pad kelenjar limfe superfisial, uji tuberkulin cara Mantoux, foto toraks, adanya riwayat pernah mengalami perbaikan dengan pemberian obat anti-tuberkulosis, konfirmasi bakteriologis.20

Kriteria diagnosis TB anak pada sistem skoring yang diajukan International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD) adalah adanya riwayat kontak dengan penderita TB, uji tuberkulin cara Mantoux, batuk persisten, kurangnya berat badan terhadap umur, demam yang tidak diketahui penyebabnya.20

TATALAKSANA Penatalaksanaan TB anak merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila terdapat sumber infeksi juga harus mendapat pengobatan. Prinsip penatalaksanaan TB adalah pencegahan infeksi TB, pencegahan infeksi TB menjadi penyakit TB, dan pengobatan penyakit TB.12 Pencegahan infeksi TB Upaya pencegahan agar tidak terinfeksi TB adalah dengan cara vaksinasi pada anak yang belum terinfeksi (pre-exposure) vaksin yang tersedia saat ini adalah Bacilli Calmette-Guerin (BCG) suatu vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak ulang selama 1-3 tahun, sehingga virulensinya hilang tetapi masih mempunyai imunogenisitas.9 Pengaturan jadwal imunisasi di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu sesegera mungkin setelah lahir. Imunisasi ini sebaiknya diberikan pada bayi <2 bulan. Apabila diberikan pada bayi > 3 bulan, maka sebelumnya harus dilakukan uji tuberkulin, pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB BTA(+) maka sebaiknya diberikan terlebih dahulu INH profilaksis. Apabila kontak sudah tenang, maka dilakukan uji tuberkulin, jika hasil negativ dapat diberikan BCG.25 Upaya pencegahan lain adalah dengan penemuan kasus dan pengobatan pada penderita TB dewasa yang menjadi prioritas kegiatan yang paling tinggi dalam program pemberantasan TB paru. Penemuan pasien dan pengobatan TB bertujuan secara epidemiologi untuk memutuskan rantai penularan. Apabila menemukan anak dengan TB maka harus dicari sumber penularannya, orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan ini dilakukan secara sentripetal yaitu dilakukan pemeriksaan radiologis dan BTA sputum pada orang dewasa yang kontak dengan anak tersebut. Bila telah ditemukan sumbernya perlu dilakukan

pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak disekitarnya yang mungkin tertular yaitu dengan uji tuberkulin.10 Pencegahan infeksi TB menjadi sakit TB Pencegahan infeksi TB menjadi sakit TB dapat dilakukan melalui kemoprofilaksis.11 Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB yaitu pada anak yang kontak erat dengan penderita TB dewasa BTA positif tetapi belum terinfeksi (uji tuberculin negative) dengan pemberian INH 5-10 mg/kg/hari dosis tunggal selama 6 bulan. Pada bulan ketiga pengobatan dilakukan kembali uji tuberculin dan jika hasilnya tetap negative maka pengobatan diteruskan sampai 6 bulan. Apabila terjadi konversi menjadi positif maka perlu dinilai kembali status TB anak. Pada akhir bulan keenam dilakukan kembali uji tuberculin, jika hasil tetap negative maka pemberian INH dihentikan, tetapi jika menjadi positif maka nilai kembali status TB anak.9

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan infeksi TB tetapi tidak sakit TB yaitu yang ditandai dengan uji tuberculin positif tetapi klinis dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah anak yang berisiko tinggi menjadi sakit TB yaitu anak yang dalam keadaan imunokompromis seperti usia balita, remaja, mendapat imunosupresif, menderita varisela, morbili, pertusis dan infeksi TB baru (konversi uji tuberculin dalam waktu kurang dari 12 bulan) dengan lama pemberian 6-12 bulan

1) INFEKSI Paparan dengan agen yang mungkin infeksius atau adanya bukti respon imunologis infeksi

Tidak

Ya

2) PENYAKIT Uji tapis berdasarkan gejala dan atau diagnosis dan atau radiologis mengindikasikan infeksi atau dengan konfirmasi bakteriologis

Tidak

Ya

3) RISIKO PROGRESIFITAS PENYAKIT (bila ada infeksi atau terpapar infeksi) < usia 3 tahun atau dengan immunocomprmised

4) KELOMPOK GEJALA

BTA -negatif diobati dengan 3 obat

BTA-positif diobati dengan 4 obat

Milier Diseminata diobati dengan 4 obat

Tidak

Ya

5) PERTIMBANGAN FAKTOR KOMPLIKASI

Resiko rendah Pantau kemungkinan munculnya penyakit

Resiko tinggi kemoterapiprofilaksis

Gambar 1. Diagram Alur Panduan Diagnosis Dan Penatalaksanaan Anak Yang Dicurigai Menderita TB Paru Sumber: Marais BJ16

Regimen pengobatan TB anak Pengobatan TB anak dibagi menjadi dua fase yaitu, fase intensif (2 bulan pertama) dan selanjutnya fase lanjutan atau fase sterilisasi. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman interseluler dan ekstraseluler. Pada fase intensif diberikan rifampisin, INH, dan PZA sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan INH. Apabila pengobatan terhenti sampai lebih dari 14 hari maka pengobatan TB harus dimulai lagi. Foto ronsen toraks pada akhir pengobatan 6 bulan umumnya masih menunjukkan abnormalitas dan keadaan ini bukan merupakan indikasi untuk melanjutkan pengobatan sampai resolusi sempurna.9
Tabel 2. Obat anti-tuberkulosis (OAT) lini pertama dan lini kedua serta dosis yang direkomendasikan untuk TB anak
Cara Kerja Obat Lini Pertama Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol Obat Lini Kedua Ethionamide /Prothionamide Streptomisin Fluorokuinolon Siprofloksasin Aminoglikosid Kanamisin Amikasin Kapreomisin Sikloserin/Terizidone Para-aminosalysilic acid Bakterisidal Bakterisidal dan sterilisasi Sterilisasi Bakteriostatik Dosis (mg/kg/dosis) (Dosis Maksimum) Dosis per hari Dosis 2-3 kali perminggu 10 15 (300 mg) 10-20 (600 mg) 20-40 (2000 mg) 15 25 ( 1200 mg) 20-30 (900 mg) 10-20 (600 mg) 50 ( 2000 mg) 30-50 (2500 mg)

Bakterisidal Bakteriostatik Bakterisidal Bakteriostatik

15-20 (1000 mg) 20-40 ( 1000 mg) 20 40 (1000 mg)

Tidak ada penerapannya Tidak ada penerapannya Tidak ada penerapannya Tidak ada penerapannya

Bakteriostatik Bakteriostatik

15 30 (1000 mg) 15 30 (1000 mg) 15- 30 (1000 mg) 10-20 (1000 mg) 200-300 (10 g)

Tidak ada penerapannya Tidak ada penerapannya

Etambutol pada anak usia < 7 tahun harus diberikan dengan hati-hati, karena ketajaman penglihatan belum dapat dinilai. Dosis yang direkomendasikan adalah 15 mg/kgBB, tetapi pada kasus resisten , dosis 25 mg/kgBB dapat diberikan. Sumber : Marais BJ16

Pada keadaan TB berat baik TB paru maupun ekstraparu seperti TB milier, TB susunan saraf pusat, TB skeletal dan lain-lain, pada fase intesif diberi minimal 4 macam obat yaitu rifampisin, INH, PZA, dan Etambutol atau streptomisin. Pada fase lanjutan diberi INH dan rifampisin

selama 10 bulan. Rekomendasi lain adalah pemberian selama 9-12 bulan untuk TB tulang dan sendi.26 Tabel 3. Rekomendasi WHO untuk regimen terapi
Kasus TB dan kategori diagnostic Pasien baru TB paru BTA positif TB paru BTA (-) dengan keterlibatan parenkim ekstensif TB ekstra paru berat selain meningitis Pasien baru TB paru BTA (-) tanpa keterlibatan parenkim paru ekstensif TB ekstra paru less severe seperti TB adenitis servikal Pasien baru Meningitis TB retreatment TB paru BTA (+) pernah diterapi (relaps, terapi terinterupsi, atau gagal Bila risiko rendah MDR TB atau risiko tidak diketahui: lanjtkan regimen retreatment Bila risiko tinggi MDR TB: gunakan regimen MDR TB dibawah ini MDR regimen MDR TB

2HRZE

4HR

2HRZ

4HR

2HRZSa

4HR

2HRZES/1HRZE

5HRE

individualisasi

Rekomendasi di atas berlaku hingga Agustus 2010 dan telah di revisoleh Guidelines Review Committee. Perubahan utama adalah semua kasus TB (kecuali meningitis TB dan TB osteoartikuler) pada daerah endemis HIV harus mendapatkan 4 macam obat selama fase intensif yaitu 2RHZE/4RH, meningitis TB dan TB osteoartikuler harus mendapatkan 2RHZE/10RH, dan streptomisin sudah tidak direkomendasikan lagi sebagai lini pertama terapi pada anak.
a

Regimen lain merekomendasikan strptomisin diganti dengan ethionamide untuk terapi meningitis TB selama 9-12 bulan.

Sumber : Graham SM4

WHO juga telah merekomendasikan penggunaan etambutol sebagai lini pertama menggantikan streptomisin. Penelitian membuktikan etambutol aman digunakan dan risiko toksisitas pada anak dapat diabaikan bila pemberiannya sesuai dengan rentang dosis yang direkomendasikan. Perubahan rekomendasi WHO lainnya adalah perubahan dosis OAT lini pertama untuk anak karena berdasarkan penelitian ternyata anak membutuhkan dosis lebih besar dari dosis rekomendasi sebelumnya untuk mencapai kadar serum terpeutik, yang dapat dilihat dibawah ini:4

Tabel 2. Obat-obatan Lini Pertama dan Dosis yang Direkomendasikan WHO


Obat Dosis rekomendasi terbaru Dosis harian (mg/kgBB) 10 (10-15) 15 (10-20) 35 (30-40) 20 (15-25) 15(12-18) Dosis yang Direkomendasikan sebelumnya Dosis Harian Dosis harian Dosis Maksimum (mg/kgBB) (mg) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 600 25 (20-30) 15 (15-20) 15 (12-18) Dosis 3 mingguan Dosis (mg/kgBB) Dosis Maksimal Harian 10 (8-12) 10 (8-12) 600 35 (30-40) 30 (25-35) 15 (12-18) -

Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Ethambuthol streptomisin

Rekomendasi dosis harian etambutol lebih tinggi (20 mg/kgBB) dibandingkan dewasa (15 mg/kgBB) disebabkan perbedaan aktivitas farmokinetik (kadar maksimal etambutol serum anak lebih rendah pada anak dibandingkan dewasa pada dosis yang sama). Diperlukan pemantauan toksisitas etambuthol (neuritis optika) pada anak. Pemberian dosis aman untuk anak yang disarankan adalah 20 mg/kgBB perhari. Streptomisin harus dihindari pada anak sedapat mungkin, karena pemberiannya menyebabkan rasa sakit saat injeksi dan dapat menyebabkan kerusakan saraf pendengaran yang irreversibel. Penggunaan streptomisin dianjurkan pada 2 bulan pertama untuk TB meningoensefalitis. Sumber : Graham SM4

Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid bermanfaat pada adanya kerusakan jaringan sebagai akibat respon penderita terhadap MTB. Kortikosteroid dapat diberikan pada meningoensefalitis TB, TB milier, obstruksi bronkus akibat pembesaran kelenjar limfe hiler, pleuritis TB, efusi pericardial, dan TB paru berat/luas, TB endobronkial, TB abdomen. Dosis yang diberikan yaitu prednisone 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama 4-6 minggu diikuti pengurangan dosis atau dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg/hari dengan lama pemberian 2-4 minggu dosis penuh diikuti pengurangan dosis selama 2-4 minggu.9

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Global tuberculosis control 2010: WHO report 2010. 2010 [updated 2010; cited 4 Januari 2011]; Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241564069_eng.pdf. 2. Nelson L, Wells C. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:636-47. 3. Marais B, Scaaf H. Childhood tuberculosis: an emerging and previously neglected problem. Infect Dis Clin North Am 2010;24:727-49. 4. Graham S. Treatment of paediatric TB: revised WHO guidelines. Paed Respir Rev 2011;12:2226. 5. Zar H, Pai M. Childhood Tuberculosis-a new era. Paed Respir Rev 2011;12:1-2. 6. Shingadia D, Novelli V. Diagnosis and tratment of tuberculosis in children. Lancet 2003;3:62432. 7. WHO. Tuberculosis profile. World Health Organization; [cited 6 Januari 2011]; Available from: www.who.int/tb/data. 8. Marais B, Pai M. Specimen collection methods in the diagnosis of childhood tuberculosis. J Med Microbiology 2006;24(4):249-51. 9. Cruz A, Starke J. Pediatric tuberculosis. Pediatr Rev 2010;31:13-26. 10. Rahajoe N, Basir D, Makmuri M, Kartasasmita C, penyunting. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta. UKK Respirologi IDAI. 2007. 11. WHO. Global tuberculosis control: epidemiology, strategy,financing: WHO report 2009. WHO/STM/TB/2009.411. Geneva: World Health Organization, 2009. 12. World Health Organization. Guidance for National Tuberculosis and HIV Programmes on the management of tuberculosis in HIV-infected children: recommendations for a public health approach. Geneva: World Health Organization; 2010. 13. Swaminathan S, Rekha B. Pediatric tuberculosis : global overview. Clin Infect Dise 2010;50:184194. 14. Bachtiar A, Miko T, R Machmud , Besral B, Yudarini P, Metha F, et al. Annual risk of tuberculosis infection in East Nusa Tenggara and Central Java Provinces Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis 2009;13: 32-38. 15. Hoskyns W. Paediatric tuberculosis. Postgrad Med J 2003;79:272-8. 16. Marais B, Gie R, Schaaf H, Beyers N, Donald P, Starke J. Childhood pulmonary tuberculosis. Old wisdom and new challenges. Am J Respir Crit Care Med 2006;173: 1078-90. 17. Marais B, Gie R, Obihara C, Hasseling A, Scaaf H, Beyers N. Well defined symptoms are value in the diagnosis of childhood pulmonary tuberculosis. Arch Dis Child 2005;90:1162-5. 18. Marais B, Gie R, Hesseling A, Schaaf H, Lombard C, Enarson D, et al. A Refined Symptombased approach to diagnose pulmonary tuberculosis in children. Pediatrics 2006;118;e1350-e9 19. Alcais A, Fieschi C, Abel L, Casanova J. Tuberculosis in children and adults: two distinct genetic diseases. JEM 2005:12:1617-1621. 20. Ahmed T, Sobhan F, Ahmed A, Banu S, Mahmood A, Hyder K. Childhood tuberculosis: a Review of epidemiology, diagnosis and management. J Infect Dis Pakistan Vol 17 Issue 02 AprJun 2008. Tersedia dari: http://www idspak org/journal/2008/april-june/page52-60pdf. Diunduh tanggal 2 Agustus 2009 21. Schaaf S, Marais B, Whitelaw A, Hesseling A, Eley B, Hussey G, et al. Culture-confirmed childhood tuberculosis in Cape Town, South Africa: a review of 596 cases. BMC Infect Dis 2007, 7:140. 22. Sancho C, Garcia L, Corona E, Martinez M, Reyes L, Quintero S, et al. Is tuberculin skin testing useful to diagnose latent tuberculosis in BCG-vaccinated children? Int J Epid 2006;35: 1447-54. 23. Graham S, Gie R, Schaaf H, Coulter J, Espinal M, Beyers N. Childhood tuberculosis: clinical research needs. Int J Tuberc Lung Dis 8(5):648-57

24. Lowinsohn D, Gennaro M, Scholvinck L, Lewinsohn D. Tuberculosis immunology in children:diagnostic and theurapeutic challenges and opportunities. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8(5);658-74. 25. WHO. BCG in immunization programmes. Wkly Epidemiol Rec 2001;76:33-40. 26. Mandalakas A, Starke J. Tuberculosis and non tuberculous mycobacterial disease. Dalam: Chernick V, Boat T, Wilmot R, Bush A. Kendig's disorders of the respiratory tract in children. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h. 507-29.

You might also like