You are on page 1of 3

BAB I PENDAHULUAN: SYIAH DAN KAWIN KONTRAK

Segala puji bagi Allah swt, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Muhammad saw yang diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam. Rahmat dan salam semoga juga tetap terlimpahkan kepada keluarga, sahabat dan para pengikut beliau hingga hari kiamat. Kawin kontrak atau nikah mutah adalah persoalan kontroversial yang menciptakan konflik antara kelompok muslim Sunni dengan kelompok Syiah. Beberapa riwayat shahih yang diambil dari Rasulullah saw telah menetapkan keharamannya hingga hari kiamat. Akan tetapi, kelompok Syiah dengan meminjam lidah mulia Rasulullah saw dan keluarganya yang luhur mengubahnya menjadi halal. Bahkan, mereka menjadikan kawin kontrak tidak berbeda dengan kemesuman yang hanya patut dilakukan oleh mereka yang tidak berakhlaq. Para sahabat dan generasi tabiin telah mengharamkannya dengan berpedoman pada nash, kemudian para ulama fiqh yang menyusul kemudian juga mengikuti jejak mereka. Akan tetapi, Syiah Rafidhah atau Syiah Imam 12 atau Syiah Iran sekarang menyimpang dan mengambil keputusan yang aneh, yang sebenarnya keanehan mereka tidak ada harganya. Dari sini bisa ditegaskan bahwa agama Syiah berbeda secara keseluruhan dengan agama Islam. Syiah adalah agama tersendiri yang lahir dengan prinsip-prinsipnya sendiri. Dasardasar dan ajarannya merupakan perpaduan dari berbagai unsur banyak agama dan aliran. Dengan kata lain, Syiah adalah agama temuan, bikinan dan tidak bisa dikelompokkan ke dalam agama Islam. Syiah tidak puas hanya dengan menyandarkan riwayat-riwayat mutah pada sabda Rasulullah saw dan keluarga beliau, bahkan mereka terus-menerus dalam kesatuan. Mereka membuat-buat riwayat yang disandarkan kepada sebagian sahabat dengan mengatakan bahwa para sahabat membolehkan kawin kontrak, lalu mereka memalsu penukilan riwayat yang dikatakan berasal dari sumber-sumber Islam. Mereka juga tidak segan-segan mengubah teks nash sebagaimana tidak segannya mereka untuk berdusta, seperti kebohongan mereka yang diatasnamakan kepada Ibnu Umar ra bahwa ia membolehkan mutah, lalu kebohongan itu dinisbahkan kepada Sunan al-Turmudzi, seperti yang dikatakan al-Fukayky dalam bukunya, al-Mutah. Begitu juga pengikut setianya, Muhammad Taqy al-Hakim dalam bukunya, alZawaj al-Muaqqat (kawin kontrak). Apa yang dikatakan dalam dua buku tersebut diterima dengan tangan terbuka oleh Hafidh bin Saba, seorang penyeru kebohongan dan Abd alHusin Syaraf al-Din dalam bukunya, al-Masail al-Fiqhiyah. Contoh-contoh riwayat atau pendapat Syiah yang menikam para sahabat Rasulullah saw berasal dari dasar-dasar akidah Syiah Rafidhah. Hal ini dikarenakan mereka tidak ragu lagi untuk melekatkan kekurangan kepada sahabat dan membuat-buat kebohongan yang diatasnamakan kepada mereka, di samping juga membuat-buat berbagai riwayat palsu yang menceritakan aib para sahabat. Buku yang berada di hadapan Anda, saudaraku para pembaca yang semoga senantiasa dilindungi Allah swt, merupakan bagian dari upaya menentang dan menolak kebohongan Khumaini, yang mempropagandakan bahwa kawin kontrak alias nikah mutah adalah halal dan Umar al-Faruq ibnu al-Khaththab ra telah lancang mengharamkan apa yang telah dihalalkan Rasulullah saw. Khumaini sebenarnya telah mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa nikah mutah adalah haram. Demikian itu diketahui dari riwayat-riwayat Syiah sendiri yang bersumber dari para imam mereka sendiri. Kami memperoleh keterangan ini ketika berhasil memahami posisi Ahl al-Bayt (keturunan Rasulullah saw) dalam masalah nikah mutah. Akan tetapi, karena kebenciannya
1

yang sangat berlebih-lebihan terhadap para sahabat menjadikan matanya tertutup dan tidak mampu mengikuti kebenaran. Sebenarnya, kesombongan Khumaini yang berkelanjutan terhadap para sahabat, khususnya kepada Umar al-Faruq ra merupakan perbuatan rendah dan murah yang didorong oleh nafsu dendam yang diwarisi dari leluhurnya, bangsa Persi. Khumaini berjalan mengikuti jalan ini. Apa yang dilakukan tidak akan membuahkan apa-apa selain kerugian dan penderitaan dalam jiwanya. Ia akan selalu tetap kerdil dalam menghadapi umat dan pemimpin yang salaf. Cara yang ditempuh kelompok Sunni salaf dalam mempertahankan para sahabat sangat mulia dan berhasil menjelaskan kepalsuan para pendusta yang terseret oleh kelancangan Syiah Rafidhah. Di antara masalah-masalah yang berhasil dikupas dengan baik oleh kelompok Sunni adalah masalah kawin kontrak atau mutah dan kepalsuan propaganda mereka yang mengatakan bahwa Umar bin Khaththab ra mengharamkan mutah hanya karena kepentingan pribadinya sendiri. Kami sebenarnya tidak ingin menerjuni masalah ini yang sesungguhnya sudah dibahas tuntas oleh ulama-ulama salaf, (dan mereka berhasil menyingkap kepalsuan Syiah Rafidhah) seandainya tidak ada kesombongan Khumaini yang terus-menerus menghujat Umar ra. Khumaini sendiri juga tidak membawa hal baru. Ia terseret oleh kedunguan pendahulu kaumnya, kemudian mengulang-ulanginya lagi. Ia merasa yakin bahwa pengharaman kawin kontrak termasuk salah satu penentangan Umar ra terhadap al-Quran. Dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Persi, Kasyf al-Asrar (saya mengambilnya dalam terjemahan bahasa Arab) pada halaman 117-118, Khumaini berkata: Menikmati wanita secara mutah (dikawin secara kontrak) sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin secara syarah sejak zaman Nabi hingga wafatnya. Tidak ada nash yang menasakh atau menghapus hukumnya. Ketetapan hukum bolehnya didasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang diperoleh dari Ahl al-Bayt dan kitab-kitab hadits yang shahih. Ahlu Sunnah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dalam Shahih Muslim dengan melalui sanad yang beragam. Di antara riwayatnya mengatakan, Kami bernikah mutah di masa Rasulullah, Abubakar dan Umar hingga Umar melarangnya. Riwayat ini dinukil dari Umar. Ia naik mimbar dan berkata, Dua pelaku mutah terjadi di zaman Rasulullah, dan saya melarangnya dan menghukum keduanya, yaitu mutah haji dan mutah wanita. Omongan Umar ini bertentangan dengan al-Quran, yaitu ayat 24 surah al-Nisa: Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (kumpuli) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya [dengan sempurna] sebagai suatu kewajiban. Al-Thabari juga menukil dari Ubay bin Kaab, Ibnu Abbas, Said bin Jubair, al-Suddy dan sekelompok ulama yang ahli itibar. Ibnu Masud dengan berpedoman pada ayat di atas (al-Nisa, 24) dan pengakuan Umar sendiri di atas mimbar juga mengatakan bahwa mutah di zaman Nabi telah disyariatkan, tetapi Umar melarangnya dan menghukum orang-orang yang melakukan mutah. Untuk menolak dua sumber yang membingungkan dari Khumaini ini, kami perlu menyusun sebuah buku yang membahas persoalan ini, dengan mengharap semoga Allah swt mencatatnya sebagai pahala dalam timbangan kebaikan kami, yaitu di hari ketika harta dan anak tidak member manfaat apa-apa kecuali orang yang datang dengan hati yang jernih. Dalam membahas persoalan ini, saya memperoleh beberapa kesimpulan: (1) Kepalsuan propaganda Syiah, yaitu propaganda yang mengatakan bahwa Umarlah yang mengharamkan mutah. Kami akan menyebutkan sejumlah riwayat yang menunjukkan keharaman kawin kontrak yang bukan dari riwayat Umar, tetapi dari sahabat-sahabat lain. Kami juga akan mengetengahkan posisi para tabiin (ulama salaf) dalam masalah mutah atau kawin kontrak. (2) Posisi Ahl al-Bayt tidak bertentangan dengan pendapat para sahabat. Dalam masalah ini kami akan mengeluarkan argumen-argumen yang disandarkan pada sanad-sanad yang diambil dari riwayat Syiah sendiri, yaitu riwayat yang
2

bersumber dari Ahl al-Bayt. Kami juga akan menjelaskan keadaan para periwayat hadits yang pendusta itu, yaitu tentang cacat-cacat mereka. Mereka sebenarnya bukanlah perowi yang terpercaya jika merujuk pada keterangan yang menjelaskan hubungan mereka dengan para imam mereka. Dalam hal ini, kami akan menguliti riwayat-riwayat mereka yang termuat dalam empat kitab utama Syiah, yaitu al Ushul, al-Furu dan al-Raudhah yang terdapat dalam (i) kitab al-Kafy, karya alKulayny, (ii) kitab al-Tahdzib serta (iii) al-Istibshar, karya Syekh al-Thusy, dan (iv) kitab Man la Yahdhuruhu al-Faqih, karya al-Shaduq. (3) Dusta Syiah (riwayat palsu) terhadap sebagian sahabat, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Asma binti Abubakar ra. Demikian itu dilakukan karena sebagian Syiah telah memalsu riwayat dan menipu para pembaca, sehingga diharapkan mereka percaya bahwa sebagian besar sahabat menyetujui mazhab Syiah dalam menghalalkan kawin kontrak atau mutah. Caranya, riwayat-riwayat yang telah dipalsu itu dirujukkan kepada sebagian sumber hukum Islam yang berkaitan dengan mutah, seperti yang dilakukan al-Fukayky dalam bukunya, al-Mutah. Dalam bukunya ini disebutkan riwayat yang katanya dari Ibnu Umar, yaitu riwayat yang menghalalkan mutah. Ia mengeklaim bahwa riwayat tersebut juga terdapat dalam hadits ulama Sunni, yaitu Sunan al-Turmudzi. Akan tetapi, setelah dicek, ternyata riwayat yang tersebut dalam Sunan al-Turmudzi bukanlah menjelaskan mutah wanita (menikahi wanita secara mutah atau kontrak), tetapi mutah haji. (4) Hujjah Syiah yang disandarkan pada ayat 24 surah al-Nisa adalah batal. Banyak keterangan para ulama yang menjelaskan masalah ini. (5) Keganjilan kawin kontrak yang dipraktekkan kaum Syiah. Dalam pembahasan ini kami akan mengutarakan keanehan dan keganjilan yang dibuat-buat Syiah dalam nikah mutah. Pembaca yang mulia pasti menyimpulkan bahwa mutah yang dipropagandakan Syiah tidak berbeda jauh dengan zina. Kami berharap buku kecil ini memberikan manfaat bagi siapa saja, baik yang berkecenderungan kepada Syiah maupun Sunni. Saya siap menerima masukan darimanapun saja jika telaah saya dinilai kurang atau ada yang salah. Saya pribadi bukanlah ahli fiqh karena memang saya bukanlah ulama fiqh, tetapi saya adalah pencari ilmu yang tidak ingin berhenti, dan saya prihatin atas kecenderungan sebagian mahasiswa di kota yang menganggap sepele masalah mutah. Jika kita menemukan masalah, lalu mengembalikan kepada Allah swt dan Rasul-Nya dengan merujuk pada pendapat-pendapat para ulama salaf yang zuhud dan ahli marifah adalah tindakan yang terpuji dan selamat. Dal am buku ini, peran kami sebatas mengumpulkan dalil-dalil dengan meminjam kalimat-kalimat dan jawaban-jawaban bijak para ulama dalam menghadapi kelicikan Syiah Rafidhah. Kumpulan mutiara tersebut kemudian kami kemas dalam suatu buku tentang kawin kontrak atau nikah mutah.

You might also like