You are on page 1of 7

HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR Hukuman mati adalah hukuman atau vonis yang diputuskan oleh pihak pengadilan

atau tanpa pihak pengadilan melibatkan pelaku atas segala perbuatannya. Hukuman mati ini dihukum secara pancung, tembak, gantung, suntik mati dan sengatan listrik dan rajam. Hukuman mati memiliki sejarah yang lama dalam masyarakat manusia, dan pernah terjadi di hampir semua masyarakat. Biasanya, hukuman mati itu dilaksanakan demi menegakkan keadilan di dalam masyarakat. Tetapi dari segi militer, hukuman mati adalah satu cara untuk mengontrol disiplin militer. Misalnya, tentara yang enggan bertempur atau lari dari tugas bisa dihukum mati. Tindakan ini adalah supaya tidak ada lagi yang enggan bertempur karena takut. Selain itu, hukuman mati ini merupakan satu cara untuk mengadakan kontrol sosial. Di negara yang Autokratik, mereka yang memiliki perbedaan pendapat dengan pemerintah mungkin akan dihukum mati. Misalnya di negara komunis, seseorang itu akan dibunuh jika ia dianggap "anti-revolusi" atau pemikirannya itu "berbahaya kepada masyarakat". Cara melaksanakan hukuman mati sebenarnya mengalami banyak perubahan. Pada masa sekarang hukuman mati biasanya dilakukan dengan sakit yang seminimal mungkin dengan cara yang melibatkan perdarahan dan mengambil waktu yang lama biasanya tidak digunakan. Hukuman mati ini merupakan hukum yang berlakukan untuk mengakhiri nyawa seorang penjahat, dan tidak berarti menyiksanya.Meskipun banyak negara menggunakan hukuman mati sebagai hukuman untuk kejahatan berat, ada beberapa negara yang tidak menerapkan hukuman mati.Contoh negara yang tidak menerapkan hukuman mati adalah negara-negara dalam Uni Eropah.Mereka menganggap hukuman mati adalah tindakan yang melanggar asasi manusia.

Menkum HAM: Hukuman Mati Koruptor Bukan Wacana


Wednesday, 19 September 2012, 21:24

Jakarta| Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Amir Syamsudin, mengungkapkan bahwa wacana hukuman mati bagi pelaku koruptor sebenarnya telah tercantum di dalam undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor). Itu bukan wacana, karena undang-undang Tipikor kita memang telah mengatur ketentuan tentang hal ini. Di Pasal 2 dalam hal yang dikorupsi adalah dalam keadaan darurat, seperti dana bantuan untuk bencana, maka dikenakan hukuman mati, kata Amir kepada wartawan di DPR, Jakarta, Rabu (19/9/2012). Amir menilai, apa yang disampaikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, hanyalah sebuah pesan moral berkaitan dengan kebosanan masyarakat Indonesia terhadap banyaknya praktek korupsi.Tentu dilihat berat ringannya tindakan korupsi yang dilakukan. Undang-Undang sudah mengatur, apa yang disampaikan di Cirebon oleh PBNU, saya lebih kepada pesan moral, sambungnya. Amir yang ditemui wartawan usai menggelar rapat kerja (raker) dengan Komisi III ini, mengingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa tidak semua koruptor patut dikenai hukuman mati. Tentunya asas keadilan perlu dipertimbangkan. Tidak semua kasus korupsi otomatis pelakunya harus dihukum mati. Kalau melakukan korupsi dana bantuan untuk rakyat, itu sama sekali tidak berperikemanusiaan, saya kira layak untuk dihukum mati, tegasnya. Selain itu, Amir juga mengingatkan untuk tidak dengan mudah memberikan sanksi hukuman mati. Sebab selain hukuman mati, pengembalian aset juga dinilai menjadi sebuah opsi penting untuk pemberian sanksi terhadap koruptor. (*) POLEMIK HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR Permasalahan Korupsi merupakan masalah yang intens dibicarakan dan diupayakan penanggulangannya, beberapa tahun terakhir, karena selain dampaknya yang dirasakan menghambat pembangunan ekonomi bagi negara-negara berkembang maupun maju, juga telah di sepakati sebagai pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia, yakni hak rakyat untuk memperoleh kehidupan sejahtera lahir batin dalam suatu negara demokrasi. Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi sudah dimulai semenjak awal kemerdekaan, yakni di keluarkannya Peraturan Pelaksana Perang Pusat (AD dan AL) tahun 1957-1958, yang kemudian dituangkan ke salam

Undang-undang No.24/Prp/1960, yang akhirnya berubah menjadi UU No.3 Tahun 1971 di awal pemerintahan Orde Baru. Pada Era Reformasi ini, UU No.31 Tahun 1999 tentang pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU No 31 tahun 1999 dan bahkan telah dibentuk suatu komite bernama KPK berdasarkan UU No.30/2002 yang diberi wewenang luar biasa (extra-ordinaary mesures)dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akhir-akhir ini bertiup wacana yang cukup kencang untuk menjatuhkan hukuman mati bagi para koruptor, dengan harapan agar para calon koruptor menjadi jera dan menghindarkan diri dari perbuatan yang dapat dipidana sebagai tindak pidana korupsi. Wacana ini menjadi kencang sebagai akibat asumsi bahwa pemeberantasan korupsi TPK yang akhir-akhir ini gencar pada tahap membidik sasaran namun lemah didalam menjatuhkan hukuman. Bahkan sebelumnya muncul wacana untuk memiskinkan para koruptor dengan menyita harta bendanya, yang tentunya juga berharap memberikan efek jera kepada para koruptor, demikian kata Mantan Kapolri Era Gusdur Jend.Pol(Purn)DR.Chairudin Ismail,SH,.MH usai mengajar di PTIK,Rabu(31/10/2012)di Jakarta. Bagi saya lanjut Chairudin, wacana demikian adalah wacana yang terlampau emosional, sebagai akibata kegagalan kita didalam memaknai, mengidentifikasi dan mencarikan solusi yang lebih jernih dan bermartabat bagi suatu masalah sosial yang telah menghantui pikran masyarakat tertentu akhir-akhir ini. Koruptor adalah pelaku tindak pidana korupsi(TPK) yang berdasarkan hukum dan politik hukum Indonesia digolongkan sebagai Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordnairy Crime), yang kemudian memerlukan cara-cara penanggulangan yang luar biasa pula(Extra-ordinary Measures). Karena itu, dibuatlah peraturan perundangundangan khusus disertai adanya suatu lembaga super body bernama KPK.Ujar Ketua Bapilu Partai Hanura menurut hukum positif RI perbuatan utama tindak pidana korupsi di dalam UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20/2001 adalah: (a) Perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan,yang dapat merugikan keuangan negara, (b)Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan/sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu berbagai perbuatan lain yang berkaitan juga dikualifikasikan sebagai perbauatan korupsi menurut undang-undang tersebut,kata Chairudin Hukuman Mati bagi Koruptor dalam persfektif HAM Chairudin menjelaskan pula , Bahwa tindak pidana korupsi tertentu dapat dikatagorikan sebagai palangaran HAM berat(Groos-violatioan of human rights), dan penghukuman juga pada hakekatnya adalah pelanggaran HAM yang dibolehkan oleh hukum dan dilakukan dengan cara-cara yang ditatapkan oleh hukum positif. Dalam UU No.31/1999 pasal 2 ayat 2, Hukuman mati dapat dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan korupsi dalam keadaan tertentu,yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku TPK,ujar dia Dalam konteks HAM secara internasional ada lima (5) kelompok hak-hak fundamental yang wajib di lindungi oleh negara, yaitu,

1.Hak-hak untuk berserikat, 2.hak untuk hidup,kesehatan badaniah dan intergritas, 3. Hak untuk berpartisifasi dalam kegiatan politik, 4.hak non diskriminasi dan perlakuan hukum sesuai dengan perinsip rules of law, 5. Dan hak untuk memperoleh pengembangan sosial dan ekonomi. Dengan demikian mengenai hukman mati(Dead Pinalty)bagi koruptor sebagai pelaku kejahatan korupsi tidak terdapat keberatan ditinjau dari segi HAM, apabila hukuman tersebut memang telah diletakkan didalam perarturan hukum positif. PENERAPAN HUKUMAN MATI DI CINA DAN INDONESIA A.CINA

Pemerintah Cina ternyata bersungguh-sungguh berupaya memberantas korupsi di negaranya. Salah satu korban terakhir Partai Komunis Cina itu adalah Zhang Kuntong dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Cina pada Selasa (27/3). Korupsi di Cina, menurut koresponden BBC News di Beijing, Duncan Hewitt, begitu merajalela dari tingkatan atas sampai ke bawah. Bahkan, sebuah statistik resmi pemerintah Cina mengungkapkan, kerugian negara akibat korupsi mencapai AS$16 miliar (sekitar Rp 120 triliun) sampai tahun 1999. Ini belum termasuk kasus korupsi pada skandal penyelundupan senilai AS$10 miliar yang melibatkan pejabat-pejabat teras Propinsi Fujian di Tenggara Cina. Sekarang, praktik korupsi yang merajalela di Cina menjadi sasaran incaran kampanye pemerintah Cina dalam dua tahun terakhir ini. Surat kabar resmi Cina, China Daily, mengungkapkan bahwa pada Sabtu pekan lalu gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan Cina telah berhasil mengembalikan dana publik sebesar 400 juta yuan atau senilai Rp440 miliar lebih ke kas negara. Cina dua tahun belakangan ini memang tengah melakukan kampanye pemberantasan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Kampanye ini diawali dengan melakukan penyelidikan terhadap 10.000 pejabat setingkat kabupaten yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. B.INDONESIA Bagaimana dengan Indonesia? Kita boleh iri dengan Cina yang tegas menyikat para bandit-bandit koruptor. Padahal tingkat korupsi di Indonesia lebih parah dari Cina. Ini dibuktikan dari peringkat negara terkorup yang dikeluarkan oleh Transparency International setiap tahun. Indonesia selalu menempati lima besar negara terkorupsi

dunia bersama dengan negara-negara Afrika dan Amerika Latin. Bahkan di Asia, Indonesia mendudukui peringkat wahid alias jagoan nomor satu. China menduduki peringkat ketiga setelah Indonesia dan India. Ketiga negara Asia ini kebetulan masuk lima besar negara dengan penduduk terbanyak dunia. Para koruptor di Indonesia beroperasi dengan leluasa, dari kelas teri, kelas kakap, sampai kelas paus. Korupsi telah menjadi monster yang melahap uang negara. Pada rezim Orde Baru, KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) begitu merajalela. Namun pada era reformasi, pejabat yang korup tidak berkurang dan KKN telah menjelma menjadi "Konco Konco-Ne". Sayangnya, pemberantasan korupsi di Indonesia masih setengah hati. Para elite lebih asyik bertikai, sedangkan LSM maupun lembaga antikorupsi tidak berdaya menghadapi penyakit korupsi yang sudah kronis dan akut. Indonesia juga tidak punya pemimpin seperti Zhu Rongji. Kita butuh puluhan Mr Clean untuk menyikat para koruptor yang bandel. Penerapan hukuman mati di Indonesia sendiri masih kontroversial, meskipun terhadap pelaku korupsi dan pelanggar HAM. Namun, hukuman mati bagi para koruptor agaknya juga bakal ditentang pemimpin atau pejabat. Karena, itu sama saja menggali kuburannya sendiri. ARGUMEN PRO DAN KONTRA TENTANG HUKUMAN MATI Argumen kontra Hukuman mati telah lama, dan nampaknya akan tetap, menjadi topik debat klasik di antara para ilmuwan filsafat dan hukum. Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati (kelompok retensionis), mendasarkan pendapatnya pada argumen yang kuat. Kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000. Majelis Umum PBB pada tahun 2007, 2008 dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (non-binding resolutions) yang menghimbau moratorium global terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak. Dasar argumen selanjutnya yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amandemen VIII Konstitusi Amerika Serikat. Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di Indonesia. Pada tahun 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga warga Australia yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Rush mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal hukuman mati dalam UU No 22/1997 tentang Narkotika. Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No 22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II UndangUndang Dasar 1945. Namun, permohonan para pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap

kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia. Kelompok abolisionis juga menolak alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera, dan karenanya akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya korupsi. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi negatif antara hukuman mati dan tingkat korupsi. Sebaliknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional tahun 2011 justru negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati menempati ranking tertinggi sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi, yaitu Selandia Baru ranking 1, Denmark 2, dan Swedia 4. Argumen pro Kelompok retensionis tidak kalah sengit mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman mati memberikan efek cegah terhadap pejabat publik yang akan melakukan korupsi. Bila menyadari akan dihukum mati, pejabat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati memiliki tingkat kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime pada tahun 2012, misalnya, tingkat kejahatan pembunuhan hanya 1,0 per 100.000 orang. Bandingkan dengan Finlandia 2,2, Belgia 1,7 dan Russia 10,2. Kaum retensionis juga menolak pendapat kelompok abolisionis yang mengatakan hukuman mati (terhadap koruptor) bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya, mereka berpendapat justru korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan. Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak hidup dan hak asasi manusia tidak hanya satu orang, namun jutaan manusia. Kelompok retensionis berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di Amerika Serikat pun, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus Gregg vs Georgia Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan, the punishment of death does not violate the Constitution. Dari berbagai argumen yang dikemukakan kelompok abolisionis dan retensionis sesungguhnya dapat diambil kebijakan sintesis hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Dalam keadaan darurat korupsi seperti sekarang ini dimana korupsi telah menyebabkan kemiskinan yang luas dan karenanya membunuh hak hidup jutaan manusia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang koruptor. Jadi pertimbangan utamanya adalah rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman mati juga diterapkan untuk memberikan peringatan keras pada para pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi. Akan tetapi, hukuman mati hanya dijatuhkan pada bentuk korupsi yang paling jahat dan berdampak luas. Selain itu, hukuman mati harus sangat berhati-hati dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana yang korup seperti sekarang ini seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Di Amerika Serikat, 23 orang telah dihukum mati karena kekeliruan peradilan dalam periode 1900-1987. Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice terdakwa korupsi harus diberikan hak melakukan upaya hukum yang adil. Misalnya, dalam sidang kasasi terdakwa wajib diadili sendiri oleh sembilan hakim agung pidana independen Mahkamah Agung.

Untuk mengumpulkan bukti-bukti baru yang meyakinkan (novum), ia pun diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali tanpa batas waktu. Apabila terdakwa pada akhirnya dipidana mati, ia pun masih memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi atau permintaan ampun. Ada dua opsi dalam hal ini. Pertama, ia mengajukan permintaan ampun kepada Parlemen sebagai wakil rakyat yang telah dirugikan. Jika grasinya diterima, maka hukumannya diperingan. Peringanan hukuman hanya boleh diberikan menjadi minimal 20 tahun penjara. Namun bila ditolak, ia masih memiliki kesempatan memohon grasi ke Presiden. Opsi kedua, terdakwa mengajukan grasi ke Presiden yang sedang berkuasa. Tetapi, apabila grasinya ditolak, ia dapat mengajukan kepada Presiden dari pemerintahan yang baru. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan hukuman mati oleh rezim korup yang ingin menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Apabila Indonesia telah terbebas dari darurat korupsi dan kedaulatan hukum telah ditegakkan, maka hukuman mati terhadap koruptor sebaiknya dihapuskan. Dampak korupsi dalam keadaan normal tidaklah seburuk seperti dampak korupsi dalam keadaan darurat. Selain itu, meskipun kita telah mendesain sistem peradilan pidana dengan baik untuk mencegah miscarriage of justice, kemungkinan menghukum mati orang yang tidak sepantasnya dihukum mati tetap ada. Kita tidak ingin menghukum mati anak manusia yang tidak bersalah. Karena, seperti yang dikatakan ahli hukum abad 12 Moses Maimonides, It is better and more satisfactory to acquit a thousand guilty persons than to put a single innocent man to death." Membunuh satu manusia (yang tidak bersalah), sabda Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya seperti membunuh seluruh manusia . PENDAPAT KAMI Menurut saya hukuman mati sebenarnya layak untuk di berikan bagi koruptor. Karena hukuman tersebut dapat diterapkan sebagai efek jera. Meskipun banyak yang mengatakan hukuman tersebut melanggar HAM. Akan tetapi para koruptor sebenarnya telah melanggar HAM terlebih dahulu, yaitu mengambil hak-hak dari rakyat. Terlepas dari itu semua pro dan kontra pasti akan terjadi dalam penetapan hukuman tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

You might also like