You are on page 1of 21

BAB I KORION DAN AMNION 1.1.

Definisi korion dan amion Korion adalah salah satu membran yang ada selama kehamilan antara janin dan ibu. Korion ini dibentuk oleh mesoderm ekstraembrionik dan dua lapisan trofoblas. Korion mengelilingi embrio dan membran lainnya. Vili korionik muncul dari korion, menyelusup ke dalam endometrium, dan memungkinkan transfer nutrisi dari darah ibu ke darah janin.(8) Amnion adalah membran pembentuk kantung ketuban yang mengelilingi dan melindungi embrio. Pada reptil, burung, dan mamalia, disebut "Amniota", tapi pada amfibi dan ikan (Ichthyopsida), disebut "Anamniota". Peran utamanya adalah melindungi perkembangan embrio. Amnion berasal dari mesoderm somatik ekstraembrionik pada sisi luarnya dan ektoderm ekstraembrionik pada sisi dalamnya.(5) Dalam perkembangan embrio manusia, tahap-tahap awal pembentukan amnion belum diamati secara terperinci, tapi pada embrio yang paling muda telah dipelajari bahwa amnion sudah hadir sebagai kantung tertutup, dan muncul di dalam sel-massa sebagai rongga. Rongga ini beratapkan strata tunggal pipih, sel ectodermal, ektoderm ketuban, dan lantai yang terdiri dari ektoderm prismatik dari disk-kontinuitas embrio, antara atap dan lantai yang membentuk disk embrio. Di luar ektoderm ketuban terdapat lapisan tipis mesoderm, yang menyambung ke somatopleure dan dihubungkan oleh tangkai tubuh-dengan lapisan mesodermal dari korion.(5) Ketika pertama kali dibentuk, amnion menempel dengan tubuh embrio, tetapi pada minggu keempat atau kelima cairan (cairan amnion) mulai menumpuk di dalamnya. Lapisan amnion meningkatkan jumlah cairan dan meluaskan rongga amnion dan akhirnya menyentuh permukaan dalam korion, sehingga bagian ekstra-embrio coelom tersebut berangsur-angsur lenyap. Jumlah cairan amnion meningkat sampai dengan bulan keenam atau ketujuh kehamilan, setelah itu berkurang sedikit, pada akhir kehamilan jumlah cairan mencapai sekitar 1 liter.(5) Cairan ketuban memungkinkan gerakan bebas dari janin selama tahap-tahap akhir kehamilan, dan juga melindungi dengan mengurangi risiko cedera dari luar. Cairan ini berisi 1

padatan kurang dari 2 persen, yang terdiri dari urea dan ekstraktif lainnya, garam anorganik, sejumlah kecil protein dan gula. Bahwa beberapa cairan amnion ditelan oleh janin dibuktikan oleh fakta bahwa sisa-sisa epidermal dan rambut telah ditemukan di antara isi saluran pencernaan janin.(5)

1.2. Anatomi korion dan amnion

Gambar 1.1 Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat. Bagian dalam selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel kuboid yang berasal dari ectoderm. Jaringan ini berhubungan dengan lapisan interstisial dan mengandung kolagen I, III, dan IV. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm. Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion Laeve.(2)

Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan berasal dari difusi pada tali pusat. Pada kehamilan kembar dikorionik-diamniotik terdapat selaput amnion dari masingmasing yang kemudian bersatu. Namun, ada jaringan koroin leave di tengahnya (pada USG tampak sebagai huruf Y, pada awal kehamilan); sedangkan pada kehamilan kembar dikorion monoamniotik (kembar satu telur) tidak akan ada jaringan korion di antara kedua amnion (pada USG tampak gambaran huruf T).(2) Pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput. Pada perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada pada ketahanan selaput sehingga pecah. Pada kehamilan normal kadang ditemukan sedikit makrofag. Pada saat persalinan, leukosit akan masuk kedalam cairan amnion sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-1B, tetapi pada persalinan pretem IL-1B akan ditemukan. Dikarenakan terjadinya infeksi.(2) Amnion berkembang dari delaminasi sitotrofoblas sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan ovum normal atau pada dasarnya berkembang sebagai ekstensi dari ekstoderm janin. Dimulai sebagai vesikel kecil, amnion berkembang menjadi sebuah kantong kecil yang menutupi permukaan dorsal embrio. Ketika amnion membesar, perlahan-lahan kantong ini meliputi embrio yang sedang berkembang yang akan prolaps kerongganya. Distensi kantong amnion akhirnya mengakibatkan kantong tersebut menempel dengan bagian interior korion. Amnion dan korion, walaupun menempel tidak pernah berhubungan erat dan biasanya dapat dipisahkan dengan mudah bahkan pada waktu aterm. Amnion normal mempunyai tebal 0,02-0,5 mm. Volume rata-rata yaitu 1 liter, banyaknya dapat berbeda-beda, pada minggu ke-36 banyaknya 1030 cc, minggu ke-40 banyaknya 790 cc dan pada minggu ke-43 sudah berkurang menjadi 240 cc. Jika banyaknya lebih dari 2 liter dinamakan Polyhidramnion atau Hidramnion kalau terlalu sedikit kurang dari 500 cc disebut Oligohidramnion. Cairan amnion merupakan bantalan bagi fetus akibat trauma dengan memperhalus dan menghilangkan kekuatan benturan dan memungkinkan pergerakan yang bebas bagi perkembangan sistem muskuloskeletal. Cairan amnion yang normalnya berwarna putih, akan menjadi agak keruh lalu berkumpul di dalam rongga amnion kemudian jumlahnya bertambah banyak selama kehamilan lanjut sampai mendekati aterm dan normalnya akan berkurang pada saat aterm. Cairan amnion reaksinya alkalis dengan BJ 1.008, komposisinya terdiri dari 99 % air, sisanya albumin, urea, asam urea, kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam organik. Secara makroskopis 3

berbau amis, adanya lanugo, rambut, dan verniks kaseosa, bercampur mekonium. Secara mikroskopis terdapat lanugo dan rambut, melalui pemeriksaan laboratorium dapat dilihat kadar urea (ureum) lebih rendah dibanding dengan air kencing. (5)

1.3. Pembentukan korion dan amnion Ketika morula masuk ke dalam ruang uterus, cairan mulai penetrasi melewati zona pelusida ke dalam ruang interselular, cairan menjadi confluent dan membuat satu ruang di dalam yang disebut blastocele. Saat ini embrio dikenal sebagai blastocyst. Sel yang berada di dalam blastocyst disebut embryoblast yang terletak pada satu kutub, dan sel yang ada di luar disebut trofoblast.(6)

Gambar 1.2

Mencapai umur embrio hari ke 8, blastocyst telah menempel sebagian pada stroma endometrium. Trofoblast kemudian berdiferensiasi menjadi 2 lapis: (1) lapisan dalam adalah sel mononukleus yang disebut cytotrofoblast dan (2) lapisan luar dengan sel multinukleus yang disebut sinsitiotrofoblast.(6) Embrioblast juga berdiferensiasi menjadi 2 lapis: (1) lapisan dengan sel kuboid yang masuk ke dalam kavitas blastocyst, yang dikenal sebagai lapisan hypoblast, dan (2) lapisan dengan sel silindris yang berada pada kavitas amnion yang disebut lapisan epiblast. Sel epiblas 4

yang masuk ke dalam cytotrofoblast disebut amnioblast, bersama dengan epiblast, mereka membentuk ruang amnion. (6)

Gambar 1.3 Pada hari 11 dan 12, populasi sel baru mulai terbentuk diantara permukaan dalam cytotrofoblast dan lapisan luar kavitas eksokoelomik. Sel-sel ini berasal dari sel yolk sac, membentuk jaringan konektif yang disebut ekstraembrionik mesoderm, yang kemudian akan mengisi ruang antara bagian luar trofoblas dan amnion serta bagian dalam membrane eksokoelomik. Sesaat kemudian, akan terbentuk ruang yang besar pada ekstraembrionik mesoderm, dan ketika confluent, mereka membentuk ruang baru yang disebut ruang ekstraembrionik atau ruang korion. (6)

Gambar 1.4 Pada hari ke 13, hipoblast memproduksi sel yang bermigrasi di membrane eksokoelomik. Kemudian sel ini berproliferasi dan bertahap membentuk ruang baru yang disebut secondary yolk sac atau definitive yolk sac. Ketika masa pembentukannya, sebagian besar ruang eksokoelomik terpisahkan dan biasanya ditemukan di dalam ruang korion. Pada waktu yang sama, ekstraembrionik coelom meluas, dan membentuk ruang, yaitu ruang korion. Mesoderm ekstraembrionik yang berada di dalam cytotrofoblast kemudian disebut korion plate. Satusatunya daerah dimana mesoderm ekstraembrionik dapat berhubungan dengan ruang korion adalah melewati stalk penghubung (connecting stalk). Yang kemudian berkembang menjadi pembuluh darah, dan stalk akan menjadi tali pusat. (6)

Gambar 1.5

Pada minggu pertama perkembangannya, vili menutupi seluruh permukaan korion. Ketika kehamilan berlanjut, vili dari kutub embrionik tumbuh dan meluas sehingga membentuk korion frondosum (bushy chorion). Vili pada kutub abembrionik berdegenerasi, dan menginjak usia kehamilan 3 bulan, daerah korion ini disebut chorion leave, yang halus. Perkembangan selanjutnya, chorion leave ini akan bersentuhan dengan dinding uterus di sisi baliknya uterus, dan kemudian keduanya akan berfusi/ menyatu. Korion frondosum bersama dengan desidua basalis akan membentuk plasenta. Sedangkan penyatuan antara amnion dan korion akan membentuk membrane amniokorionik yang akan mengisi ruang korion. (6) Ruang amnion diisi oleh cairan jernih yang diproduksi oleh sel amnion tapi dipengaruhi terutama dari darah ibu. Jumlah cairan meningkat dari 30 mL pada 10 minggu pertama sampai mencapai 450 mL pada umur 20 minggu, kemudian 800 sampai 1000 mL pada minggu ke 37. Pada kehamilan bulan pertama, embrio ditahan oleh tali pusat yang berada pada cairan ini, sehingga melindunginya dari trauma. Volume cairan amnion tergantikan setiap 3 jam. Pada awal bulan ke 5, fetus dapat menelan cairan amnion dan diperkirakan dapat minum sampai 400mL perhari, sekitar setengah dari jumlah total. Urine dari fetus menambah volume cairan amnion setiap harinya pada bulan ke 5 kehamilannya, tapi urinnya hanya terdiri dari air, karena placenta yang akan berfungsi sebagai pertukaran sisa metabolisme. (6)

1.4. Fungsi korion dan amnion Amnion jelas lebih dari sekedar membrane avaskular yang berfungsi menampung cairan amnion. Membran ini aktif secara metabolis, terlibat dalam transport air dan zat terlarut untuk mempertahankan homeostasis cairan aminion, dan menghasilkan berbagai senyawa bioaktif menarik, termasuk peptide vasoaktif, factor pertumbuhan, dan sitokin. Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan metabolic. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat metalloproteinase-1.(7) Sel mesenkim itu, jaringan tersebut menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 ( monosit chemoattraciant protein-1); zat ini bermanfaat untuk melawan bakteri. Disamping itu, selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1 (vasokonstriktot), dan PHRP ( parathyroid 7

hormone related protein), suatu vasorelaksan. Dengan demikian selaput amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.(2) Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibetuk. Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar di cairan amnion merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin (lanugo, verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng.(2) Fungsi cairan amnion antara lain memungkinkan anak bergerak dengan bebas dan tumbuh dengan optimal kesegala jurusan karena tekanan pada anak sama pada semua bagiannya. Hal ini sangat penting karena seandainya anak tertekan oleh organ sekitarnya maka pertumbuhan akan terganggu. Selain itu juga untuk melindungi anak terhadap pukulan-pukulan dari luar dan ibu terhadap gerakan-gerakan anak. Jika cairan berkurang pergerakan anak dirasakan nyeri oleh ibu. Kemudian mempertahankan suhu yang tetap bagi anak. Mencegah terjadinya perlengketan. Waktu persalinan cairan amnion dapat membuka servik dengan mendorong selaput janin kedalam ostium uteri. Bagian selaput anak yang diatas ostium uteri yang menonjol waktu his disebut ketuban dan membuka servik pada saat persalinan.

BAB II DEFINISI KORIOAMNIONITIS Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah 1 5% dari kehamilam aterm dan sekitar 25% dari partus preterm.(2) Korioamnionitis adalah perdarangan ketuban, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan berlanjut menjadi sepsis. Korioamnionitis tersamar (silent), yang disebabkan oleh beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan premature, atau keduanya. Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonatus secara bermakna. Secara spesifik , sepsis neonatus, distress pernapasan, perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia periventrikel, dan palsi serebral lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis.(1)

Gambar 2.1 BAB III ETIOLOGI Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak (Cox dan rekan kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan (Reddy and colleagues, 2001). Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion.(3) Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan menjalar ke uterus. Angka kejadian korioamnionitis 1-2 % Faktor resiko terjadinya korioamninitis adalah kelahiran prematur atau ketuban pecah lama. Mycoplasma genital, seperti ureaplasma urealyticum dan mycoplasma hominis (genital mycoplasma), organisme ini memicu efek reaksi inflamasi mempengaruhi ibu dan fetus khususnya pada mur kehamilan preterm. Biasanya organisme ini terisolasi dalam cairan amnion pada persalinan preterm atau pada ketuban pecah dini tanpa tanda-tanda korioamnionitis. Genital mycoplasma ditemukan pada traktus genital bawah (vagina atau servik) sedangkan keberadaannya di traktus genital atas 10

( uterus dan atau tuba falopi) dan korioamnion sangat jarang terjadi (<5%) pada saat tidak saat bersalin atau ketuban pecah.(3) Bakteri anaerob lainnya yang dapat menyebabkan korioamnionitis seperti Gardnerella vaginalis dan bacteroides, bakteri aerob lainnya termasuk Group B Streptococcus (GBS 15 %) dan bakteri gram negatif termasuk Escherichia coli. Organisme-organisme ini merupakan flora normal vagina dan flora normal enterik. Biasanya korioamnionitis disebabkan oleh penyebaran secara hematogen ke placenta karena bakteri dan virus. (3)

BAB IV PATOGENESIS Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi korioamnion dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya disebabkan oleh infeksi secara retrograde atau ascending dari traktus genitalia bawah (cervix dan vagina). Penyebaran secara hematogen atau tranplacental dan infeksi iatrogenic karena komplikasi dari amniosintesis atau sampling korionik villous jarang menimbulkan infeksi. Infeksi anterograde bermula dari peritoneum via tuba falopi. Adanya infeksi dari mikroorganisme memicu respon inflamasi dari maternal dan fetal sehingga melepaskan kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin dan chemokines dari ibu dan janinnya. Respon inflamasi mungkin menimbulkan tanda-tanda korioamnionitis dan atau dapat memicu pelepasan prostaglandin, pematangan servik, perlukaan membrane dan persalinan aterm atau preterm pada umur kehamilan dini. Selain dapat menimbulkan infeksi dan sepsis pada fetus, respon inflamasi fetus dapat menimbulkan kerusakan pada serebral pada white matter, yang akhirnya dapat menyebabkan cerebral palsy dan kelainan neurological jangka pendek dan jangka panjang lainnya. (3) 11

Mekanisme pertahanan tubuh tidak bisa secara adekuat mencegah infeksi intramnion, namun mekanisme pertahanan local memerankan peran penting dalam pencegahan infeksi. Mucous plug yang terdapat di cervical serta mucous yang terdapat di placenta dan membrannya memberikan perlindungan barier untuk mencegah infeksi dari carian amnion dan fetus. Lactobacillus yang memproduksi peroxide dan berkoloni di jalan lahir yang merupakan flora normal juga dapat menahan virulensi mikroorganisme pathogen. (3)

Bagan 4.1

12

Gambar 4.1

BAB V MANIFESTASI KLINIS Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari vagina. Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala tersebut di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan ultrasound dan kardiotokografi.(2) Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan suhu 38 celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban. Demam pada ibu selama persalinan atau setelah ketuban pecah biasanya disebabkan oleh korioamnionitis kecuali dibuktikan lain. Demam sering disertai oleh takikardi ibu dan janin, lokia berbau busuk, dan nyeri tekan fundus. Leukositosis material semata-mata tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis korioamnionitis.(3) Parameter klinis yang digunakan untuk mendiagnosis korioamnionitis

13

Demam Maternal Takikardi Fetal Takikardi Nyeri tekan pada fundus Lochea

Temperatur > 38 C >100/menit >160 / menit Nyeri pada palpasi Lochea yang bau. Tabel 5.1

BAB VI PEMERIKSAAN PENUNJANG Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan). Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, dan memperediksi kematangan paru. (3) Parameter Cairan Amniotik

Kultur Pewarnaan gram Kadar glukosa

Pertumbuhan mikroba Bakteri atau leukosit <15 mg/dl

14

IL-6 Matrix metalloproteinase Jumlah leukosit Leukosit esterase

>7,9 mg/ml Hasilnya positif >30/mm Positif (dipstick) Tabel 6.1

BAB VII PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba, antipiretik, dan pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotik harus dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan polimikroba yang terdapat di vagina dan serviks. Salah satu regimen korioamnionitis adalah ampicilin 2 g IV setiap 6 jam atau 3 x 1000 mg, dan gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam atau 5mg/kgBB/hari. Klinadamisin, 900 mg setiap 8 jam, dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk operasi sectio caesar. Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin. Antibiotik biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak demam dan asimptomatik selama 24 48 jam post partum.(2) Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan perabdominam (seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau akselerasi persalinan. (2) Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca persalinan. Hal ini akan mencegah / menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding uterus.(3)

15

BAB VIII KOMPLIKASI 7.1 Komplikasi Maternal Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum hemorrage kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian maternal jarang terjadi.(3) 7.2 Komplikasi Fetus Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi yang disebut Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS merupakan kebalikan proses dari Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena parameternya hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi 16

pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah umbilical (tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM namun kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari FIRS adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai representasi respon pertahanan fetus terhadap infeksi atau mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan chemokines seperti interleukins, TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan persalinan preterm yang dapat menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus preterm dengan kegagalan multi organ, termasuk penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular dan cerebral palsy. Meski FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya biasanya lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma genital ( U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem inflamasi, pneumonia.(3) 7.3 Komplikasi jangka panjang untuk neonatus Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy.(3)

17

BAB IX PROGNOSIS Usahakan diagnosis dini untuk korioamnionitis. Hal ini berhubungan dengan prognosis, segera lahirkan janin. Bila kelahiran prematur, keadaan ini akan memperburuk prognosa janin.(2) Hasil penelitian Alexander JM, Gilstrap LC, Cox SM, McIntire DM, dan Leveno KJ menunjukkan adanya hubungan antara indeks korioamnionitis dan beberapa klinis morbiditas neonatal pada bayi berat badan lahir sangat rendah. (4) Korioamnionitis tampaknya membuat bayi berat lahir sangat rendah sangat rentan terhadap kerusakan neurologis. Komplikasi jangka pendek bagi neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis adalah resiko infeksi tinggi. Morbiditas kelainan neurologi pada neonatus lebih dikarenakan komplikasi pada saat persalinan, bukan karena komplikasi karena korioamnionitis.(4) Segera berikan antibiotika profilaksis pada neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis. Sehingga dapat memberikan prognosa yang baik bagi neonatus. Ibu dengan korioamnionitis yang tidak segera melahirkan anaknya dapat meningkatkan morbiditas terjadinya sepsis bagi ibu. Sehingga prognosa buruk dapat didapatkan oleh ibu yang tidak dapat melahirkan segera bayinya.

18

BAB X PENCEGAHAN Manajemen dari Preterm Premature Rupture Membrane (PPROM) adalah penyebab utama terjadinya korioamnionitis. Pemberian antibiotik profilaksis atau latency, biasanya ampicillin dan eritromisin telah diuji dalam menurunkan angka kematian neonatus, penyakit paru kronis,atau hasil ultrasound cerebral yang abnormal. Antibiotic telah menunjukkan menurunkan insiden korioamnionitis dan sepsis neonatus dan pada persalinan dengan partus lama dengan ketuban pecah dini kecuali pada persalinan fase aktif dengan ketuban utuh. Amoksisilin / klavulanik kombinasi antibiotic harus dihindari untuk indikasi ini karena potensial meningkatkan resiko necrotizing enterocolitis.(3) Percobaan lain besar yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Nasional dan Pembangunan Manusia Maternal-Fetal Medicine Unit (NICHD MFMU) jaringan di akhir 1990-an menyarankan untuk memberi eritromisin dalam mengurangi hasil perinatal yang merugikan termasuk kematian perinatal dan morbiditas serta infeksi maternal. Tidak ada tindak lanjut jangka panjang dari studi ini. Standar yang biasa di AS tetap memberikan antibiotik spektrum luas biasanya melibatkan makrolida (eritromisin atau azitromisin) dan ampisilin selama 7-10 hari melalui intravena (2 hari) diikuti oleh rute oral. Induksi persalinan dan kelahiran dini untuk 19

PPROM setelah usia kehamilan 34 minggu dianjurkan, karena dibandingkan dengan manajemen infeksi saat masih hamil, melahirkan dengan cepat dapat mengurangi infeksi ibu dan mengurangi perawatan intensif pada neonatal tanpa meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. (3) Namun kini sedang berlangsung uji coba untuk mengetahui manfaat dari induksi persalinan sebelum 37 minggu dalam kasus PPROM. Pada ketuban pecah dini (> 18 jam), antibiotik profilaksis tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada ibu yang tidak terinfeksi GBS, namun CDC merekomendasikan terapi profilaksis untuk GBS jika status GBS tidak diketahui. Dalam salah satu uji coba secara acak penggunaan antibiotik profilaksis intrapartum (ampisilin / sulbaktam) pada ibu hamil dengan air ketuban bercampur mekonium, dapat menurunkan risiko korioamnionitis.(3) DAFTAR PUSTAKA

1. William Obstetricss, 22 nd. Abnormal of the Plasenta, Umbilical Cord and Membranes. 2007; chapter 36. New York : The McGraw-Hill Companies. Inc 2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan, 2010. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 3. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis. (homepage on the internet) Diunduh tanggal 15 Januari 2013. Pada website http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/ 4. JM, Alexander. Chorioamnionitis and the prognosis for term infants. (home page on the internet) Diunduh tanggal 20 Januari 2013. Pada website http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10432142 5. En.wikipedia.org. Amnion. (homepage on the internet). Diunduh tanggal 20 Januari 2013. Pada website http://en.wikipedia.org/wiki/Amnion 6. Sadler, T.W. Langmans Medical Embryology, 12 nd. 2012: chapter 8. Baltimore, Maryland: Lippincott Williams & Wilkins 20

7. Cunningham, F.Gary. Obstetri Williams, 21 nd. Vol 2. 2005. Jakarta : EGC 8. En.wikipedia.org. Chorion. (homepage on the internet) Diunduh tanggal 20 Januari 2013. Pada website http;//en.wikipedia.org/wiki/Chorion

21

You might also like