You are on page 1of 23

APPENDISITIS

I. Anatomi Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, yang berfungsi membentuk produk immunoglobulin. Appendiks berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar dibagian distal. 2 Basis appendiks terletak pada bagian postero medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis appendiks.8,9 Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a. Appendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocaecal. Mesoappendiks-nya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.3,10 Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic yang membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari appendiks.3

Appendiks pertama kali terlihat saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan menjadi appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.2 Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insiden appendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus lainnya, appendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang kolon ascendens, atau ditepi lateral kolon ascendens. Gejala klinis appendisitis ditentukan oleh letak appendiks.7 Jenis posisi: Promontorik Retrocolic retroperitoneal Antecaecal Paracaecal Pelvic descenden Retrocaecal : appendiks berada di depan caecum : appendiks terletak horizontal di belakang caecum : appendiks menggantung ke arah pelvis minor : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke atas ke belakang caecum6 Pada appendiks persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendisitis bermula disekitar umbilikus. : ujung appendiks menunjuk ke arah promontoriun sacrum : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya

Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.2 II. Fisiologi Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.7 Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh.7 Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan terjadi penghancuran lumen appendiks komplit.2 III. Definisi Appendisitis adalah proses radang appendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Penyebarannya terbatas oleh omentum dan usus-usus serta peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Appendiks disebut juga umbai cacing Umumnya massa appendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa appendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih, karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.13

IV. Epidemiologi Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara berkembang. Namun beberapa tahun belakang terjadi penurunan, yang disebabkan peningkatan penggunaan makanan berserat dalam menu sehari hari. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, tetapi pada anak kurang dari satu tahun jarang ditemukan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dan wanita umumnya sebanding, kecuali pada umur 20 30 tahun insidens pada pria lebih tinggi. V. Etiologi Appendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor appendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa appendiks oleh parasit E. histolytica.1,2 Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya appendisitis.2

VI. Patogenesis Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.9 Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.5 Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.9,10 Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.9 Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis perforasi.9

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate appendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.9 Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.2 Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.9 Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesica urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).4 Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.2 NYERI APPENDICITIS

Nyeri dari visera seringkali secara bersamaan dilokalisasi di dua daerah permukaan tubuh karena nyeri dijalarkan melalui nyeri alih viseral dan nyeri langsung parietal. Mekanisme : 1. Impuls nyeri yang berasal dari appendix akan melewati serabut-serabut nyeri viseral saraf simpatik dan selanjutnya akan masuk ke medulla spinalis kira-kira setinggi thorakal X sampai thorakal XI dan dialihkan ke daerah sekeliling umbilikus (menimbulkan rasa pegal dan kram) 2. Dimulai di peritoneum parietal tempat appendix meradang yang melekat pada dinding abdomen. Ini menyebabkan nyeri tajam di peritoneum yang teriritasi di kuadran kanan bawah abdomen

VII. Manifestasi klinis

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain 1. Nyeri abdominal Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samarsamar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.2 2. Mual-muntah biasanya pada fase awal. 3. Nafsu makan menurun. 4. Obstipasi dan diare pada anak-anak. 5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5-38,5 C Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi.2 Gejala berdasarkan klasifikasi usus buntu: 1. Penyakit Radang Usus Buntu akut (mendadak) Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-muntah saja. 2. Penyakit Radang Usus Buntu kronik Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang

hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney (istilah kesehatannya). Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.2,4 1. Bila letak appendiks retrocaecal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. 2. Bila appendiks terletak di rongga pelvis

Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala appendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya appendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala appendisitis tidak jelas dan tidak khas.2,3 1. Pada anak-anak Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargi. Karena ketidakjelasan

gejala ini, sering appendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 2. Pada orang tua berusia lanjut Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi. 3. Pada wanita Gejala appendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan appendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala appendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. VIII. Diagnosis A. Pemeriksaan Fisik Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. 1. Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.

Pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. 2. Palpasi Dengan palpasi di daerah titik Mc.Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu: Nyeri tekan di Mc. Burney Titik Mc.Burney: garis antara umbilicus dengan SIAS dextra kemudian dibagi 3. 1/3 lateral adalah letak appendiks (kuadran kanan bawah) Nyeri lepas Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg) nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan. Appendisitis infiltrat atau adanya abses appendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.2 3. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan.11 Dasar anatomi dari tes psoas: Appendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).11 Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. (11) Dasar Anatomi dari tes obturator: Peradangan apendiks dipelvis yang kontak dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.11 Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika. B. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium o Darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada appendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada appendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan appendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. o Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila appendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.13

Pemeriksaan Radiologi o Foto Abdomen Polos Gambaran perselubungan ileal atau caecal ileus (gambaran garis permukaan cairan udara di sekum atau ileum) Patognomonik bila terlihat gambaran fekolit Foto polos pada appendisitis perforasi: Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak berbatas di kuadran kanan bawah Penebalan dinding usus di sekitar lemak appendiks, seperti caecum dan ileum Garis lemak pre-peritoneal menghilang Skoliosis ke kanan Tanda tanda obstruksi usus seperti garis garis permukaan cairan cairan akibat paralysis usus usus local di daerah proses infeksi o APPENDIKOGRAM

Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit. Bisa AP, lateral, oblique Tetapi untuk appendisitis akut pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture appendiks.3

Gambaran: Akut: Non filling (Tetapi bisa juga karena peristaltic sehingga kontras tidak terlihat dan berwarna hitam) Kronik: Filling (terisi penuh), filling irregular (dinding tidak rata akibat peradangan), filling parsial, filling mouse tail

o USG atau CT Scan USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal, divertikulum meckels, endometriosis dan Pelvic Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.14 Pada CT Scan khususnya appendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Selain dapat mengidentifikasi appendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periappendiks. o Laparoskopi Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks. Sistem skor Alvarado Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang

relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999). Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut: Gejala dan tanda: Nyeri berpindah Anoreksia Mual-muntah Nyeri fossa iliaka kanan Nyeri lepas Peningkatan suhu > 37,30C Jumlah leukosit > 10x103/L Skor 1 1 1 2 1 1 2

Jumlah neutrofil > 75%

__________________________________________________ Total skor: Keterangan Alavarado score : Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram: 14 56 79 dipertimbangkan appendicitis akut possible appendicitis tidak perlu operasi appendicitis akut perlu pembedahan : 10

Penanganan berdasarkan skor Alvarado 14 56 : observasi : antibiotic

7 10 : operasi dini IX. Diagnosis Banding 1. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis. 2. Limfadenitis mesenterica

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mualmuntah.

3. Ileitis akut Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan. 4. DHF Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat. 5. Peradangan pelvis Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. 6. Kehamilan ektopik Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok

hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah. 7. Diverticulitis Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis. 8. Batu ureter atau batu ginjal Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. X. Penatalaksanaan Appendiktomi Cito Elektif : akut, abses & perforasi : kronik

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah appendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan appendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Massa appendiks terjadi bila terjadi appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periappendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periappendikular yang terpancang

dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.2 Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaikbaiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendisitis sederhana tanpa perforasi.13 Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.13 Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.2 Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periappendikular infiltrat : 1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi. 2. Diet lunak bubur saring 3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika

ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.(4,2) 4. Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.4 Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila appendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.4 Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa appendektomi yang dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000). Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi : 1. 2. 3. 4. 5. Cutis Sub cutis Fascia Scarfa Fascia Camfer Aponeurosis MOE 6. 7. 8. 9. 10. MOI M. Transversus Fascia transversalis Pre Peritoneum Peritoneum

XI. Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(2) Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh Suhu tubuh naik tinggi sekali. Nadi semakin cepat. Defans Muscular yang menyeluruh Bising usus berkurang Perut distended

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya : 1. Pelvic Abscess 2. Subphrenic absess 3. Intra peritoneal abses lokal.(4)

XII. Prognosis Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendik/Epidemiologi.html 2. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. 3. http://www.medicinenet.com/appendicitis/ 4. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya. 5. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication. 6. Kartika, Dina, 2005. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta. 7. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines. http://www.patholoyoutlines.com 8. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.

9. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua . Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 10. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15. www.emedmag.com 11. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas .http://www.aafg.org 12. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas . Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 13. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 14. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services. National Institute of Health. NIH Publication No. 044547.June 2004. www.digestive.niddk.nih.gov

You might also like