You are on page 1of 9

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

PERAN SEL MAST DALAM REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE-I


Lie T Merijanti S *
* Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

ABSTRACT Mast cells are associated to hypersensitivity type I or allergic reactions, which are initiated by the binding between antigen and immunoglobulin E / Ig E on the surface of these cells. Ig E binds to specific high affinity receptor designated Fce RI. Activation of mast cells occur when there is cross-linking or bridging of Fce RI molecules by the binding of antigen and Ig E to these molecules. Leading to mast cell degranulation and release of chemical mediators like histamine (the most important mediator), SRSA (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis), prostaglandin, ECFA (Eosinofil Chemotactic Fc of Anaphylaxis), PAF (Platelet Activating Factor), heparin and some enzymes (tryptase, chymase). Chemical mediator release may cause local reactions like bronchial asthma, rhinitis, conjunctivitis, atopic dermatitis or systemic reactions (eg urticaria and anaphylactic shock).(J Kedokter Trisakti 1999;18(3):145-153)
Key words : Mast cells, hypersensitivity reaction

PENDAHULUAN
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan perubahan respons imun tubuh terhadap bahan yang ada dalam lingkungan hidup sehari-hari. Makanan atau obat yang semula tidak menimbulkan reaksi, pada suatu saat dapat menimbulkan gatal-gatal, eksim, atau sesak nafas. Pada vaksinasi cacar pertama, reaksi imun maksimal terjadi setelah 10 15 hari sementara pada vaksinasi cacar kedua, reaksi terjadi setelah 5 7 hari. Titer widal pada vaksinasi tifus kedua meningkat lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan dengan vaksinasi pertama. Dalam contoh reaksi vaksinasi cacar, tubuh dirugikan sedangkan pada peningkatan titer widal, tubuh mendapat keuntungan. Dewasa ini reaksi yang merugikan disebut hipersensitif dan yang menguntungkan disebut imunitas. Sel mast dan basofil memiliki peran yang sama dalam mekanisme reaksi alergi. Reaksi dimulai dengan adanya ikatan antara antigen dengan Ig E pada permukaan sel mast. Selanjutnya sel mast akan mengalami aktivasi dan melepaskan mediator kimia yang berkaitan dengan manifestasi klinik alergi.

Gambaran histologik sel mast


Sel mast ditemukan oleh Ehrlich dan dinamakan sel mast karena sitoplasma145

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

nya penuh dengan granula. (3) Sel ini tersebar luas dalam jaringan ikat, berkelompok kecil-kecil dekat pembuluh darah. (4) Sel mast + 12 um, berbentuk lonjong, tidak teratur dan kadang-kadang memiliki pseudopodia pendek, menunjukkan mobilitasnya yang lambat. (8) Inti sel berbentuk bulat, relatif kecil dan berwarna basofil/kebiruan, sering tertutup granula sitoplasma. Granula bersifat refraktil dan larut dalam air. (8) Dengan pewarnaan anilin basa (biru metilen/Azure A), sel mast terpulas metakromasia di mana warna biru berubah menjadi ungu. Hal ini timbul karena interaksi antara bahan pewarna dengan proteoglikan (heparin) yang terdapat di dalam granula. (6) Secara ultrastruktur, granula sel mast berbentuk bulat atau oval, diliputi unit membran, mengandung partikel padat dan matriks yang kurang padat. Juga ditemukan sedikit populasi dari granula kecil yang seragam terletak dekat inti. Sitoplasma sel mast mengandung ribosom bebas, mitokondria dan glikogen, sementara itu pada permukaan sel ada tonjolan2 yang tumpul dan tidak beraturan yang merupakan reseptor untuk imunoglobulin pada waktu sel mast terangsang oleh suatu antigen. (4,8)

endotel venula masuk ke dalam jaringan ikat (2,9). Sel mast berasal dari jaringan ikat, ditemukan terutama di sekitar pembuluh darah kecil dan berasal dari perivascular mesenchymal cell. Penelitian baru mengindikasikan bahwa keduanya berdiferensiasi dari sel stem hemopoetik . Sel stem dari sirkulasi darah masuk ke dalam jaringan ikat dan berdiferensiasi menjadi sel mast. Sel mast juga dapat berkembang dari sel mast yang sudah ada dengan melakukan pembelahan mitosis. (1,2,9)

Persamaan dan perbedaan sel mast dan sel basofil


Sel mast dan basofil memiliki beberapa persamaan antara lain sebagai mediator/perantara pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Keduanya mempunyai jumlah reseptor yang banyak untuk Ig E pada permukaan selnya. Pada manusia reseptor Ig E pada sel mast adalah 300000 - 400000/sel sedangkan pada basofil 40000 - 100000/sel. Sitoplasma mengandung granula metakromasi yang spesifik. (1,3,6,8,9) Ada beberapa perbedaan antara sel mast dan basofil. Sel mast ditemukan hanya pada jaringan penyambung, umur beberapa bulan hingga tahun, dapat regranulasi, granula mengandung prostaglandin, pelepasan mediator kimia dipengaruhi oleh sodium kromoglikat. Sedangkan basofil ditemukan di dalam sirkulasi dan jaringan penyambung, umur 10-12 hari, granulanya tidak mengandung prostaglandin, pelepasan histamin oleh basofil tidak dihambat oleh kromoglikat, granula basofil manusia lebih banyak mengandung kondroitin sulfat dibanding sel mast. (1,4,5,6,9)

Asal dan distribusi sel mast


Sel mast merupakan bagian dari sel pengembara jaringan ikat yang memiliki pseudopodia untuk melakukan mobilisasi. (2) Pada dasarnya sel mast terdapat pada semua organ, terutama pada jaringan mukosa paru-paru, traktus digestivus, dan kulit. Kepadatan sel mast di dalam kulit normal manusia sekitar 10000/mm3 (2,4) . Sel mast dari jaringan ikat mempunyai beberapa persamaan karakteristik sitologikal dan fungsional dengan basofil, tapi mereka merupakan 2 sel yang berbeda jenis. Basofil berasal dari sumsum tulang, masuk ke dalam sirkulasi darah, dan bermigrasi melalui

Aktivasi sel mast pada reaksi hipersensitivitas tipe I


Ada 4 tipe reaksi hipersensitivitas menurut Gell & Coombs, yaitu :
146

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

Tipe I : Mastosit mengikat Ig E melalui reseptor Fc. Ikatan antara antigen dan Ig E tersebutakan menimbulkan degranulasi mastosit yang melepas mediator. Tipe II : Antibodi dibentuk terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Kompleks antigen dan antibodi yang terbentuk akan menimbulkan respon sitoksik sel K (sebagai efektor ADCC) dan atau sel melalui aktivitas komplemen. Tipe III : Kompleks imun diendapkan di dalam jaringan. Komplemen diaktifkan, sel polimorfonuklear dikerahkan ke tempat kompleks. Tipe IV : Sel T yang disensitisasi melepas limfokin akibat pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Limfokin mengerahkan dan mengaktifkan makrofag yang selanjutnya melepas mediator serta menimbulkan respons inflamas. (1) Reaksi tipe 1, 2, dan tipe 3 memerlukan antibodi sedang tipe 4 tidak memerlukannya, oleh karena yang berperanan pada reaksi tipe 4 adalah sel T. Sel mast dan basofil berkaitan erat dengan reaksi hipersensitivitas tipe I. (1,4) Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan ikatan antara antigen oleh minimal 2 molekul Ig E pada permukaan sel mast. Ig E melekat pada reseptor spesifik berafinitas tinggi yang disebut FceRI. Ada 2 macam molekul FceR, yang berafinitas tinggi terhadap Ig E yaitu FceRI, dan FceRII yang afinitasnya lebih rendah. Sel mast dan basofil mempunyai reseptor berafinitas tinggi FceRI. Walaupun konsentrasi Ig E di dalam serum sangat rendah dibandingkan dengan Ig lain (< 1 g / ml), tetapi sudah mencukupi untuk mengikat reseptor ini.

Sel-sel lain termasuk limfosit, netrofil, trombosit, monosit, eosinofil dan sel dendritik juga mempunyai reseptor terhadap Ig E sehingga juga dapat mengikat Ig E, tetapi dengan afinitas yang lebih rendah. Fungsi dari reseptor berafinitas rendah ini tidak jelas. (1,4) Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross linking atau bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E yang menempati molekul tersebut. Pengaktifan sel mast menghasilkan reaksi biologik sebagai berikut : (i) terjadi sekresi sel mast, zat zat yang telah terbentuk dan disimpan dalam granula akan dilepaskan keluar secara eksositosis/degranulasi. (ii) sel mast mensintesa lipid mediator secara enzimatik dari precursor yang tersimpan di dalam membran sel. (iii) sel mast membentuk dan mensekresi sitokin. (4) Pada proses degranulasi sel mast terjadi pelepasan mediator kimia yang berkaitan dengan manifestasi klinik alergi. Interaksi Ig E dengan alergen pada permukaan sel mast mengakibatkan aktivasi enzym proesterase (E) menjadi enzym esterase aktif (E). Enzym ini mengakibatkan agregasi mikrotubuli dalam sitoplasma sel mast mendekati membran sel mast. Mikrotubuli ini berfungsi sebagai saluran tempat keluarnya mediator yang akan dilepaskan oleh sel mast. Pelepasan mediator ini berlangsung bila terjadi influks ion Ca 2+ ekstraselular ke dalam sel mast. Influks Ca 2+ ini mengakibatkan membran sel mast tidak stabil sehingga mudah ditembus oleh mediator kimia. Proses degranulasi sel mast dapat terjadi akibat reaksi alergen dengan Ig E dan akibat gangguan keseimbangan saraf otonom (Gambar 1).

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

147

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

Gambar 1. Skema Degranulasi Sel Mast. ( 5 ) Degranulasi sel mast juga tergantung dari kadar siklik AMP (cAMP) dan siklik GMP (cGMP) pada sitoplasma sel mast yang dalam keadaan normal selalu seimbang. Siklik AMP bersifat menghambat proliferasi dan pem-bentukan mikrotubuli, sedangkan cGMP bersifat menekan efek cAMP. Bila konsentrasi cGMP lebih tinggi dari konsentrasi cAMP, maka efek cAMP akan ditekan. Keadaan ini memudahkan terjadinya proliferasi mikrotubuli yang pada akhirnya memudahkan terjadinya degranulasi sel mast. Rangsangan reseptor agonis b2 akan meningkatkan kadar cAMP, sedang rangsangan reseptor alfa akan menurunkan kadar cAMP. Peningkatan cAMP menimbulkan bronkodilatasi, sedang penurunan cAMP dan peningkatan cGMP menimbulkan bronkokonstriksi (1,5). Faktor- faktor lain yang dapat mengaktifkan mastosit yaitu hipoksia, obat opioid, antibiotik, kontras, pelemas otot. Panas, sinar matahari, dingin, dan tekanan merupakan rangsangan fisis yang juga mengaktifkan sel mast.

Mediator kimia yang dilepaskan sel mast


Banyak mediator kimia dari reaksi hipersensitivitas tipe I yang dikeluarkan pada waktu aktivasi sel mast dan basofil. Ada 2 kategori mediator yang dilepaskan : (i) mediator yang telah dibentuk sebelumnya (preformed) dan dikeluarkan pada waktu aktivasi, termasuk biogenic amine dan makromolekul di dalam granula. Mediator ini dilepaskan segera setelah sel mast teraktivasi (1 30 menit), dan menimbulkan respon segera. (ii) mediator yang baru disintesa pada waktu aktivasi (newly synthesized), termasuk lipid mediator dan sitokin. Mediator ini dilepaskan 24 jam setelah sel mast teraktivasi, dengan demikian reaksi hipersensitivitas tipe IV/ delayed lipid
148

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

mediator dan sitokin. Mediator ini diplepaskan 24 jam setelah sel mast teraktivasi, dengan demikian reaksi hipersensititas tipe IV/ delayed

hipersensitivity merupakan kelanjutan dari reaksi hipersensitivitas tipe I.

Tabel I. HUMAN MAST CELL MEDIATORS Preformed and eluted Histamin Chemotactic fc Superoxide Aryl sulfatase A IL 3,4,5,6 & 8 Interferon g, TNF a

(4)

Preformed & granule associated Heparin Chondroitin sulfate Tryptase Chymase Carboxypeptidase Superoxide dismutase

Newly synthesized Leukotrien / SRSA PAF Prostaglandin

Mediator yang dihasilkan mastosit dan basofil menimbulkan gejala alergi, sehingga kedua sel ini disebut juga sel mediator. Sel mast penuh terisi oleh bahan vasoaktif yang mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi mikro-sirkulasi dan menyebabkan perubahan permeabilitas kapiler. Selain itu, mediator ini dapat mempengaruhi mobilitas sel keluar masuk jaringan ( kemotaksis), mempengaruhi sistem saraf dengan menimbulkan potensiasi serat saraf lokal, dan dapat pula merangsang kontraksi otot polos saluran nafas. Jadi apabila produk sel mast ini dilepaskan secara massal, akan terjadi reaksi immediate type hipersensitivity yang hebat yang dapat menimbulkan kematian dalam beberapa saat. Reaksi seperti ini dikenal dengan reaksi anafilaksis. Mekanisme kerja sebenarnya didalam tubuh dikaitkan dengan fungsi biologik sel mast sukar untuk didefinisikan, karena banyak mediator yang diproduksi oleh sel lain dan terjadi banyak interaksi dengan sel - sel yang lain. (4)

Histamin
Histamin merupakan mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast, berperan terhadap timbulnya respon segera setelah

terpapar oleh alergen. Di dalam tubuh histamin sebagian besar disimpan dalam lisosom sel mast dan basofil dalam bentuk granul, di dalam granul histamin terikat pada proteoglikan. Kandungan histamin di dalam sel mast sekitar 5 - 10 % dari total berat granula. Di dalam darah normal dapat ditemukan histamin dalam jumlah sedikit (+500 pg / ml). Histamin dibentuk dari asam amino histidin melalui aktivitas enzym histidine dekarboxilase di dalam sitoplasma. Struktur kimia histamin berupa beta imidazolethylamine disintesa oleh aparatus golgi sel mast dan basofil. Sekitar 3 % diekskresikan melalui urine dalam bentuk histamin tanpa perubahan, sisanya dimetabolisir oleh enzym diaminoxidase atau enzym histamin metil transferase. Hasil metabolit diekskresikan sebagai metil histamin dan imidazol asam asetat. Manifestasi klinik karena pengaruh histamin terjadi akibat interaksi histamin dengan reseptornya, yaitu reseptor H1, H2, H3. Reseptor H1 ditemukan terutama pada otot polos saluran nafas dan sistem vaskular. Reseptor H2 ditemukan pada sel parietal lambung, sedangkan reseptor H3 terutama pada terminal saraf. Melalui ikatan pada reseptor, histamin memicu aktivitas intraselular seperti degradasi fosfatidil inositol menjadi IP3 dan DAG
149

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

yang kemudian menimbulkan perubahan pada sel tersebut. Rangsangan pada reseptor H1 menyebabkan kontraksi bronkus dan otot polos, peningkatan permeabilitas vaskular, vasokonstriksi pulmoner, pening-katan cGMP intraseluler, dan meningkatkan sekresi mukosa hidung/ hipersekresi kelenjar. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya kongesti nasal, rinore, dan bersin akibat rangsangan pada reseptor iritan mukosa hidung. Histamin juga menarik eosinofil dan netrofil untuk bergerak ke arah yang sesuai dengan konsentrasi gradient/ kemotaksis. Hampir semua efek ini dapat diblok oleh antihistamin (AH 1). Pada sel endotel kapilar, ikatan histamin menyebabkan kontraksi sel endotel yang mengakibatkan keluarnya plasma darah ke jaringan perivaskular. Histamin juga menyebabkan sel endotel memproduksi relaksan otot polos seperti prostasiklin dan oksida nitrat yang mengakibatkan vasodilatasi. Aktivitas histamin ini menimbulkan wheal & flare response yaitu edema, flushing dan pruritus ( triple response of Lewis ). Histamin yang menduduki H2 reseptor menyebabkan meningkatnya produksi mukus pada jalan nafas, meningkatkan keluarnya asam lambung dan meninggikan level cAMP, menstimulasi sel T suppresor, menghambat sel T cytotoxic, menurunkan pelepasan histamin dari basofil dan sel mast (feedback regulation) dan bronkodilatasi. Efek ini dapat diblok oleh H2 antagonis. Histamin berperanan merangsang reseptor saraf yang disebut nociceptive type C serabut saraf/ reseptor H3. Neuron nociceptive mempunyai banyak cabang pada epitelium dan daerah submukosa. Serabut saraf ini berasal dari saraf trigeminus. Pada mukosa, depolarisasi dari neuron dapat menyebabkan terbentuknya neurotransmiter seperti substansi P, kalsitonin, neurokinin A, peptida menyerupai gastrin dan neuro-transmiter lain melalui me-

kanisme akson respons. Mekanisme akson respons menambah permeabilitas kapiler dan mempermudah infiltrasi lekosit. Substansi P mempunyai potensi kuat terhadap mukosa dan menimbulkan eksudasi cairan yang kaya dengan albumin. Rangsangan terhadap nociceptor dapat pula menimbulkan refleks bersin, rasa gatal, eksositosis dari kelenjar dengan akibat sekresi mukus
(7)

Pelepasan histamin dari sel mast diduga juga akibat rangsangan PAF, influks ion Ca 2+ ekstrasel, dan beberapa sitokin seperti IL1, IL 3, IL5 dan IF gamma. Hal ini terbukti adanya peningkatan kadar sitokin tersebut pada reaksi lambat rhinitis alergi. Penelitian dilakukan dengan inkubasi sel mast dan basofil dalam media yang mengandung ion Ca 2+, kemudian dilakukan provokasi dengan PAF, maka dalam waktu 0 -1 menit terjadi pelepasan histamin (4,5).

SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis )


Mediator ini tidak berasal dari granul sel mast, tetapi berasal dari asam arakidonat membran sel mast yang molekul fosfolipidnya terlepas. Apabila pelepasan molekul fosfolipid terjadi oleh enzym siklooksigenase, akan terbentuk prostaglandin D2 dan tromboksan, tetapi apabila oleh enzym lipooksigenase akan terbentuk SRSA. Mediator ini dahulu belum teridentifikasi dengan jelas, hanya karena pengaruh kliniknya yang lambat sehingga disebut SRSA, dan kini disebut leukotrien. Sintesa leukotrien diawali oleh hidrolisis asam arakidonat membran sel mast sehingga terbentuk asam arakidonat bebas. Asam arakidonat ini kemudian mengalami lipooksigenasi sehingga terbentuk lekotrin yang tidak stabil (LTA 4). LTA 4 mengalami hidrolisis menjadi LTB 4 dan LTC 4. LTB 4 merupakan faktor kemotaktik untuk netrofil, eosinofil,
150

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

limfosit dan makrofag. Bila LTC 4 mengalami proses enzymatik tertentu akan terbentuk LTD 4 dan LTE 4. Potensi LTD lebih besar dibandingkan LTC dan LTE. Leukotrien tidak hanya dihasilkan oleh sel mast tetapi dapat juga dihasilkan oleh makrofag alveoli paru dan netrofil. Injeksi intracutan dari substansi ini menimbulkan rasa terbakar, erithematous wheal & flare reaction yang dapat berlangsung sampai 4 jam. Mikroskopis tampak edema kulit, dilatasi venula dan kapiler, dan aktivasi sel endotel. Inhalasi LTC 4 dan LTD 4 menyebabkan konstriksi jalan nafas. Dalam hal ini kekuatannya dapat 100 - 1000 kali kekuatan histamin. Secara umum dapat dikatakan bahwa leukotrien mempunyai aktivitas serupa dengan histamin namun jauh lebih potent dan berlangsung lebih lama. (1,4,5)

Selain itu leukotrien (LTB4), PAF dan histamin juga bersifat kemotaktik terhadap netrofil. Eosinophylic chemotactic factors terdapat pada supernatant dari sel mast. Faktor ini disebut eosinophyl chemotactic factor of anaphylaxis (ECF -A). Hal ini dapat menjelaskan mengapa sering terlihat infiltrasi eosinofil pada reaksi alergi. (4)

PAF ( Platelet Activating Factor )


PAF dihasilkan oleh sel mast, makrofag, eosinofil dan netrofil. PAF juga bersifat kemoatraktan terhadap sel penghasilnya yaitu eosinofil dan netrofil, serta meningkatkan degranulasi sel mast. Diberi nama PAF karena kemampuannya dalam mengaktifkan trombosit (membentuk mikrotrombus). Bila diinjeksikan ke kulit PAF menimbulkan wheal and flare response yang disertai dengan infiltrasi lekosit. Inhalasi PAF akan menimbulkan bronkokonstriksi akut, infiltrasi eosinofil dan mengakibatkan keadaan hiperaktivitas bronkus nonspesifik yang dapat berlangsung beberapa hari atau minggu. Pada pemberian intravena dapat menimbulkan spasme otot polos ileum, aktivasi netrofil, trombosit dan basofil, dapat juga terjadi hipotensi dan kolaps vaskular. (1,4,5)

Prostaglandin
Prostaglandin disintesa melalui proses siklooksigenasi asam arakidonat mem-bran sel mast. Ada bermacammacam prostaglandin, tergantung dari sel yang memproduksinya. Sel mast menghasilkan prostaglandin D2 (PGD2), makrofag menghasilkan PGE2, PGF2, dan tromboksan, sedangkan sel endotel pembuluh darah menghasilkan PGI1 dan prostasiklin. PGD2 merupakan bronkokonstriktor dan dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler dan sekresi mukus. (1,5)

Heparin
Granula sel mast dan basofil kaya dengan molekul protein karbohidrat kompleks yang disebut proteoglikan. Proteoglikan merupakan bahan inti struktur matriks granula. Sifat metakromasia dari sel mast terjadi karena pengaruh proteoglikan yang banyak mengandung ikatan sulfida. Proteoglikan yang terdapat pada granula sel mast manusia terutama adalah heparin yang mempunyai berat molekul 60000 kD. Setiap sel mast manusia mengandung sekitar 5 pg heparin. Berbeda dengan sel mast, pada granula basofil manusia lebih
151

ECFA ( Eosinophyl Chemotactic Fc of Anaphylaxis )


Beberapa produk sel mast telah diidentifikasi berfungsi sebagai mediator dalam proses migrasi granulosit dan sel mononuklear. Diantaranya adalah high molecular weight neutrophyl chemotactic factors (HMW - NCF) yang ditemukan pada penderita asthma apabila diprovokasi dengan pemberian antigen.

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

banyak mengan-dung kondroitin sulfat. Perbedaan antara heparin dan kondroitin sulfat adalah pada cabang rantai glikosaminoglikan. Heparin terdiri dari rantai asam uronat yang terikat dengan glukosamin sedangkan kondroitin sulfat terdiri dari asam uronat yang terikat dengan galaktosamin. Proteoglikan di dalam granula mempunyai beberapa fungsi, diantaranya sebagai tempat melekat, sekaligus stabilizer dari bahan aktif lain yang tersimpan didalam granula.

atau menunjukkan gejala klinis dari salah satu jenis penyakit alergi. Lima puluh persen orang dari masyarakat menunjukkan reaksi tes kulit positif terhadap satu atau lebih bahan lingkungan hidup sehari- hari, tetapi hanya 3 - 10 % yang menderita asma bronkial dan sekitar 20 % menderita rhinitis alergi. Timbulnya manifestasi klinis alergi tergantung dari faktor hospes dan faktor lingkungan seperti derajat pemaparan. (1)

Enzym
Ada 2 jenis enzym yang terdapat pada sel mast : (i) triptase, sekitar 25 % dari berat sel mast, terdapat dalam bentuk aktif melalui ikatan yang kuat dengan heparin. Identifikasi sel mast di dalam jaringan dapat dilakukan dengan cara melokalisir enzym triptase secara imu-nologi. Peninggian kadar triptase di dalam sirkulasi darah dapat dipakai se-bagai indikator untuk menunjukkan ada-nya aktivasi sel mast. Triptase mencair-kan matriks jaringan ikat melalui peng-aktivan enzym metalloproteinase. De-ngan demikian melalui cara ini sel mast mungkin berperan pada homeostasis jaringan. (ii) chimase, enzym ini men-degradasi komponen membran basalis termasuk laminin dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan apabila dilepaskan pada proses degranulasi sel mast (4).

Pseudoalergi
Yang dimaksud dengan pseudoalergi ialah reaksi serupa alergi, tetapi bukan disebabkan alergen dan Ig E. Sebagai contoh yaitu urtikaria atau syok yang terjadi setelah suntikan kontras yang digunakan pada pemeriksaan radiologi.
(1)

Desensitisasi
Desensitisasi atau imunoterapi ialah terapi yang dilakukan dengan cara memberikan ekstrak alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig G yang disebut blocking antibody. Ig G tersebut akan mengikat alergen yang masuk tubuh sehingga tidak ada lagi alergen yang dapat diikat oleh Ig E. Desensitisasi memerlukan waktu yang lama, mahal, mempunyai resiko terjadinya syok anafilaksis, dan hanya dilakukan pada indikasi kuat. Pengobatan ini memberi hasil baik pada alergi serangga dan rinitis musiman. Desensitisasi pada asma bronkial masih merupakan kontroversi. (1)

Atopi
Atopi ialah kemampuan tubuh untuk memberikan reaksi kulit yang positif (membentuk Ig E) terhadap satu/lebih bahan yang ditemukan dalam lingkungan hidup sehari-hari, misalnya debu rumah, tepungsari tumbuhan . Faktor atopi dapat diturunkan. Dalam praktek sehari-hari, istilah atopi sering disamakan dengan alergi. Sebenarnya hal itu tidak benar. Seseorang yang atopik belum tentu alergi

KESIMPULAN
Sel mast memegang peranan penting dalam mekanisme timbulnya gejala klinis dalam reaksi hipersensitivitas tipe I . Hal ini berkaitan dengan kemampuan sel mast dalam mengikat Ig E melalui
152

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

w
w

w
w

PD

F -X C h a n ge

PD

F -X C h a n ge

O W !

bu

to

lic

.d o

c u -tr a c k

.c

Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas Tipe-I

lic

to

bu

N
w

O W !
.d o

c u -tr a c k

.c

reseptor Fc. Ikatan antara antigen dan Ig E akan menimbulkan degranulasi sel mast dan melepaskan mediator kimia ke dalam jaringan. Hal ini mengakibatkan timbulnya gejala alergi berupa reaksi lokal seperti asma bronkial, rinitis, konjungtivitis, dermatitis atopik, atau reaksi
DAFTAR PUSTAKA

sistemik seperti urtikaria dan syok anafilaksis. Histamin merupakan mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast, mediator yang lain adalah SRSA, Prostaglandin, ECFA, PAF, Heparin, dan Enzym.

1. Baratawidjaja, K. 1993. Penyakit alergi. Yayasan Penerbit IDI. Jakarta. 2. Fawcett, D.W. 1986. Connective tissue proper. A textbook of Histology. In: Bloom, W. and Fawcett, D.W. WB Saunders Co. Japan. 11 th ed : 160 64. 3. Gunawijaya, F. A. 1994. Jaringan penyambung. Buku Teks Histologi jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta. 169 70. 4. Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru tentang ciri morfologik dan fungsinya. Jurnal Kedokteran Yarsi. 6 ( 3 ): 28 40. 5. Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka patogenesis dan mediator kimia pada rinitis alergi. Maj. Kedokter Diponegoro. 1 & 2 : 119 27.

6. Juncqueira, L. , Carneiro, J. 1980. Connective tissue. Basic Histology. Lange. Canada. 3 rd ed : 100 03. 7. Konthen, P. G. 1998. Pandangan baru penatalaksanaan penyakit alergi berdasarkan imunopatogenesis. Surabaya J.Int. Med. 24 (1) : 9 13. 8. Leeson, C. R. , Leeson, T. S., Papparo, A. A. 1981. Connective tissue. Histology. WB Saunders Co. 4 th ed. 123 25. 9. Stevens, A. , Lowe, J. 1997. Blood cells. Human Histology. Mosby Co. U K. 2 nd ed, : 105.

J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3

153

w
w

w
w

You might also like