You are on page 1of 26

REFERAT ILMU KESEHATAN MATA

PTERIGIUM

DIAJUKAN OLEH : DWI AKBARINI, S. Ked 702008039

PRESEPTOR : dr. Septiani Nadra Indawaty, Sp. M

SMF ILMU KESEHATAN MATA RSUD PALEMBANG BARI 2012

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG APRIL 2012 HALAMAN PENGESAHAN

Telaah Ilmiah berjudul PTERIGIUM

Oleh: Dwi Akbarini, S.Ked.

telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Periode Maret- April 2012.

Palembang, April 2012 Dosen Pembimbing

dr.

Septiani Nadra Indawaty, Sp. M

DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan.....................................................................................................................i Daftar Isi ......................ii Kata Pengantar............................................................................................................................iii BAB I. Pendahuluan ....................1 1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1 1.3 Tujuan.........................................................................................................................2 1.4 Manfaat.......................................................................................................................2 BAB II. Pembahasan ...............................2 2.1 Anatomi.......................................................................................................................3 2.1.1 Anatomi Konjungtiva ................. ........3 2.1.2 Anatomi Kornea.............................4 2.2. Pterigium .............................6 2.2.1 Definisi ............. ........6 2.2.2 Epidemiologi ....................6 2.2.3. Etiologi ...............................................7 2.2.4 Faktor Risiko...........................8 2.2.5 Klasifikasi............................................................................................................9 2.2.6 Patofisiologi ...................................10 2.2.7 Gejala klinis ................... .......11 2.2.8 Penegakkan diagnosa ...........................................12 2.2.9 Diagnosa ................................................13 2.2.10 Diagnosa Banding ....................... .......14 2.2.11 Penatalaksanaan................ .......15 2.2.12 Komplikasi ..........................17 2.2.13 Pencegahan ........................17 2.2.14 Prognosis .........................17 BAB III. Kesimpulan .........................19 Daftar Pustaka.............................................20

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Telaah Ilmiah dengan judul Pterigium dengan baik. Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr.

Septiani Nadra Indawaty, Sp. M, selaku dosen pembimbing yang telah membantu penyelesaian telaah ilmiah ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tulisan ilmiah ini. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa telaah ilmiah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan di masa mendatang. Kami berharap telaah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman di FK Muhammadiyah Palembang dalam memperdalam keilmuan di bidang kesehatan mata.

Palembang, April 2012

Tim Penyusun

iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pterigium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap. Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.1,2 Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah equator , yaitu 13,1 %. 1,3 Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.3 Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.4 1.2 Manfaat Penelitian. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penulisan ilmiah. Penerapan Ilmu kedokteran yang dimiliki dan didapat selama pendidikan di SMF bagian Mata RSUD PALEMBANG BARI, serta mampu memberi peningkatan dalam berkomunikasi dengan masyarakat.

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Anatomi 2.1.1 Anatomi Konjungtiva Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 1,5 Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya. Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Vaskularisasi Konjungtiva terdiri dari : Long posterior ciliary arteries penetrasi sklera didekat optic nerve. Satu berjalan di temporal dan yang lain didekat dinding nasal bola mata ke korpus siliaris dan iris Short posterior ciliary arteries membentuk plexus vaskular di koroid, yang berjalan di dinding posterior bolamata hingga oraserata Anterior ciliary arteries berjalan dari otot rektus ke sklera, dimana mereka bercabang pada jar episcleral dan di konjungtiva (membentuk marginal loop)

Central retinal artery masuk ke optic nerve kira-kira 1 cm dibelakang bolamata dan bercabang-cabang untuk mendarahi permukaan dalam retina. 4,5

Gambar1. Konjungtiva (Penampang Sagital)

2.2 Pterigium 2.2.1 Definisi Pterigium


Pterigium adalah suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degenaratif dan invasif. Pertumbuhan pterigium ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral atau daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan ketika terjadi iritasi bagian pterigium akan memerah. Pterigum dapat mengenai kedua belah mata. 2

Gambar 3. Pterigium

2.2.2 Epidemiologi Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37 0 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.3 Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.1,4 Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah equator , yaitu 13,1 %.1 2.2.3. Etiologi 1. Paparan sinar matahari (UV) Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. 2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu) Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 3,4

2.2.4. Faktor Risiko 1. Usia Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Penelitian lain berpendapat pterigium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 2. Pekerjaan Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 3. Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari pterigium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 4. Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan. 5. Herediter Pterigium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 6. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterigium. 7. Faktor risiko lainnya Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterigium. 2,3,6

2.2.5. Klasifikasi Pterigium1,3,4 Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu: A. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 : Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat. Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan. B. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu: Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm). mengganggu penglihatan.

Gambar 4. Pterigium stadium 1

Gambar 5. Pterigium stadium 2

Gambar 6. Pterigium stadium 3 C. Berdasarkan progresifitas tumbuhnya :

Gambar 7. Pterigium stadium 4

1. Stasioner : relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi) 2. Progresif : berkembang lebih besar dalam waktu singkat. 2.2.6. Patofisiologi Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari

hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal. Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase. Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E. Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.3,6

Gambar 8. Histopatologi Pterigium 2.2.7. Gejala Klinis 3 Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
a) b) c)

Mata sering berair dan tampak merah Merasa seperti ada benda asing Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut,

biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan
d)

Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual

sehingga tajam penglihatan menurun.

Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membran bowman, dengan jaringan elastik dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani. Kelainan ini merupakan kelainan degenarasi yang berlangsung lama. Bila mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena timbul astigmat dan juga dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya. 3,7 2.2.8. Penegakan Diagnosa A. Anamnesa Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma.8 B. Pemeriksaan Oftalmologis a. Gradasi Klinis Pada pterigium pemeriksaan di adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan. Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala ( head) yang mengarah ke kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ) :
1) 2)

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran

melewati kornea
3)

pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

4)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu Primer atau residif Kesan klinis 1) Vaskularisasi, lebih dari 2 pembuluh darah yang melebar 2) Stroma yang tebal, jika visualisasi pembuluh darah episklera terputus di bawah stroma 3) Deposit partikel, besi, bintik-bintik warna kecoklatan di permulaan atau di tepi jaringan 4) pterigium

penglihatan. b. c.

- Meradang (Inflamed), jika terdapat 2 dari 3 tanda-tanda:

- Tidak meradang (Non-inflamed), jika hanya terdapat salah sati diatas.7,8 3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.3 Test uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterigium tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.9 2.2.9. Diagnosa 3,6 Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.3 2.2.10. Diagnosa Banding A. Pinguekula

10

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan. Keadaan ini tampak sebagai nodul pada kedua sisi kornea yang kebih banyak di sisi nasal. Pinguekula merupakan degenaris hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pinguekula sangat sering pada orang dewasa. 2

Gambar 9. Pinguekula B.Pseudopterigium Merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Terdapat Suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Apabila terjadi suatu ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea, dapat terjadi bahwa dalam proses penyembuhan, konjungtiva menutupi luka tersebut, sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar ke kornea.2

Gambar 10. Pseudopterigium Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah : - Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea, sedangkan pada pseudopterigium tidak

11

- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea, sedangkan pada pterigium tidak - Pada pseudopterigium pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.2,9

2.2.11. Penatalaksanaan a. Medikamentosa Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea. Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmaisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan. 3,5 b. Tindakan operatif 3,7,10 Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan dengan indikasi: 1. 2. 3. 4. 5. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular. Mata terasa mengganjal. Visus menurun, terus berair. Mata merah sekali. 12

6. 7. 8. 9.

Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus. Alasan kosmetik. Mengganggu pergerakan bola mata. Mendahului operasi intra okuler Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti pengggunaan sinar

radiasi atau terapi lainnya untuk mencegah kekambuhan seperti mitomycin C. Jenis Operasi pada Pterigium antara lain 8: -

Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan

permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana

teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relative kecil. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk

membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari

konjungtiva bulbi bagian superior.

13

Gambar 11. Jenis-jenis operasi pterigium4 a. Bare sclera b. Simple closure c. Sliding flap d. Rotational flap e. Conjungtival graft

Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi local, bila perlu diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau antinflamasi.

2.2.12. Komplikasi 3,4 1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut: - Gangguan penglihatan - Mata kemerahan - Iritasi - Gangguan pergerakan bola mata. - Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea - Dry Eye sindrom 2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut: - Infeksi - Ulkus kornea - Graft konjungtiva yang terbuka - Diplopia - Adanya jaringan parut di kornea

14

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi. 2.2.13. Pencegahan Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari. 3 2.1.14. Prognosis Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi. Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. . Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.4

BAB III Kesimpulan


Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya. Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada pembedahan akan dilakukan 15

jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pterigium. Available from : http://www.mata-fkui-rscm.org/?page=content.view&alias=edukasi_pasien 2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. hal:2-6, 116 117 3. Laszuarni, Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Medan. Universitas sumatera Utara. 2010 4. Riri Julianti, Pterigium.[online]2009.[cited 2011 November 22]. Available from : http://facultyofmedicine.riau.com/prosedures/pterigium.html 5. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17 Jakarta : EGC. 2009. Hal 119 6. Fisher, Jerome P. Pterigium. [online]. 2011 Maret 7. [cited 2011 November 22]. Available from : hhtp://www.emedicine.com/article.htm 7. Wiajaya, Nana. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal. 1993 16

8. Prosedur Standar Diagnostik dan Pengobatan/ Tindakan di Bagian I.P Mata FKUI/RSCM 9. Ilyas, Sidarta, dkk. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : Sagung Seto. 2002. Hal. 107-109. 10. Alpay, Atila. Comparing techniques for pterygium surgery. 2008. Available from: http://www.dovepress.com/comparing-techniques-for-pterygium-surgery-peer-reviewedarticle-OPTH-recommendation1

erapi A. dua, yaitu : Gradasi 1 Tidak meradang : observasi 3 bulan Meradang : steroid / NSAID topikal, anjuran pencegahan paparan Konservatif Sedangkan menurut peradangannya indikasi operasi pterigium terbagi menjadi

sinar UV dan materi polutan lainnya 17

Gradasi 2 Tidak meradang : - Observasi 3 bulan, jika progresif anjurkan untuk pengangkatan -Anjuran pencegahan paparan sinar UV dan materi polutan lainnya - Meradang : - Steroid / NSAID topikal - Anjuran pengangkatan - Anjuran pencegahan paparan sinar UV dan materi polutan B. Bedah Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat. C.
a) b) c)

lainnya

Indikasi Operasi Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena Kosmetik, terutama untuk penderita wanita. Teknik Pembedahan Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,

astigmatismus
d)

D.

dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih 18

untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea. a) Teknik Bare Sclera Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan. b) Teknik Autograft Konjungtiva Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini. c) Cangkok Membran Amnion Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu

19

cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva. E. Terapi Tambahan Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut. MMC (Mitomycosin C) telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas. Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis sclera, endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya. Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian a) Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu. b) c) d) Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan Sinar Beta Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

20

21

You might also like