You are on page 1of 20

I. PENDAHULUAN Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteria.

Penyakit ini mudah menular terutama menyerang traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran berwarna putih abuabu, mudah berdarah serta dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.1 Golongan umur 2 sampai 10 tahun merupakan golongan yang paling sering terkena penyakit ini, dan jarang ditemukan pada bayi dibawah umur 6 bulan karena masih mempunyai imunitas pasif dari ibu. Juga jarang pada orang dewasa yang berumur diatas 15 tahun.2 Carrier difteri merupakan sumber penularan yang berbahaya karena tidak dikenal dan bersifat silent. Keterlambatan diagnosis dapat mengakibatkan bertambah beratnya penyakit dan bahkan dapat berakibat fatal.1 Pada prinsipnya tujuan dasar pencegahan dan pengobatan adalah membatasi penyebaran difteria toksigenik pada penduduk dan mempertahankan tingkat imunisasi aktif setinggi mungkin.3 II. FARINGITIS DIFTERI A. Definisi dan etiologi Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh Corrynebacterium diphteriae, kuman gram positif aerob yang tersusun berpasangan (palisade), tidak berspora dengan salah satu ujungnya berbentuk gada. Kuman mati pada suhu 60 0 C selama 10 menit, tahan dalam beberapa minggu dalam air susu, es, dan lendir yang mengering. 2,4 Terdapat 3 jenis basil menurut bentuk, besar dan warna koloni, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Semua bentuk kuman tersebut dapat menghasilkan eksotoksin, tetapi jenis gravis dan intermedius lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. 2 B. Anatomi dan fisiologi Fokus infeksi primer penyakit difteri terutama pada tonsil dan faring (94%), diikuti oleh dua tempat berikutnya yang paling lazim adalah hidung dan laring.3 Dalam tulisan ini kami hanya membahas penyakit difteri pada tonsil dan faring saja. B.1 Faring Faring dibagi atas 3 bagian: 5,6 a. Epifaring (nasofaring) : berbatasan dengan hidung, dan meluas dari dasar tengkorak sampai batas palatum molle. b. Mesofaring (orofaring) : meluas dari palatum molle sampai batas epiglotis. c. Hipofaring (laringofaring) : faring dibawah epiglotis. Faring berjalan dari dasar tengkorak ke bawah sampai setinggi C6. Batas antara nasofaring dan orofaring adalah bidang horizontal melalui arkus faring. Sedangkan batas antara orofaring dan hipofaring adalah bidang horizontal melalui tepi atas epiglotis atau bidang horizontal melalui os hyoid.6 Fungsi faring adalah sebagai saluran pernafasan, saluran pencernaan, sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk dan sebagai resonator.6 B.2 Tonsil Tonsil atau masyarakat umum menyebutnya sebagai amandel adalah sebutan untuk tonsila palatina. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris pada kanan kiri orofaring. Tonsila palatina bersama tonsila lingualis dan tonsila faringea membentuk lingkaran Waldeyer, yang mempunyai fungsi pertahanan utama terhadap kumankuman yang masuk lewat udara pernafasan, makanan dan minuman.6,7 Batas fossa tonsilaris adalah: 1. Bagian depan : plika anterior yang dibentuk oleh otot palatoglossus. 2. Bagian belakang : plika posterior yang dibentuk oleh otot palatofaringeus. 5,8 Pada permukaan tonsila palatina tampak lekukan-lekukan yang disebut kripte. Kripte ini berjumlah antara 10 sampai 20 buah pada tiap-tiap tonsil, masuk ke dalam tonsil dan bercabang-cabang membuat permukaan tonsil semakin luas. Epitel dibagian kripte tidak mempunyai lapisan subepitel dan pada beberapa tempat hubungan antara sel-selnya yang tidak rapat, sehingga limfosit dan sel-sel lainnya yang dapat migrasi mudah keluar.5,9 Gambaran mikroskopis jaringan tonsil tampak 3 elemen utama yakni jaringan ikat, folikel-folikel germinal dan jaringan interfolikel. Jaringan ikat atau trabekula merupakan kerangka dari tonsil, di dalamnya terdapat pembuluh darah, saraf dan saluran limfe. Folikel germinal merupakan timbunan dari sel-sel limfosit. Jaringan interfolikel terdiri dari sel-sel limfosit dari berbagai stadium pertumbuhan.9 Dibagian luar tonsil diliputi oleh kapsul, bukan merupakan kapsul sesungguhnya, karena jaringan ini adalah bagian dari aponeurosis faring. Kapsul ini meliputi tonsil dan masuk mengikuti kripte, tetapi berhubungan dengan otot-otot faring melalui jaringan ikat longgar. Sehingga tonsil sulit dilepaskan dari kapsulnya, tetapi mudah diangkat dari kedudukannya. Ruang longgar diantara tonsil dan kedudukannya ini disebut ruang peritonsil. Kapsul ini di beberapa tempat masuk ke dalam parenkim tonsil membentuk trabekula.10 Letak dan struktur anatomi yang khas dari tonsil tersebut tentunya memberikan fungsi yang khas pula. Fungsi dari tonsil yang sesungguhnya belum jelas benar diketahui, tetapi ada beberapa teori yang dapat diterima, diantaranya adalah: 12 - Membentuk zat-zat anti di dalam sel plasma pada waktu terjadi reaksi seluler. - Mengadakan limfositosis dan limfositolisis. - Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan hidung. C. Patogenesis Timbulnya penyakit difteri dimulai dengan masuknya basil C. dipheriae ke dalam hidung dan mulut, kemudian berkembang biak pada mukosa saluran nafas atas terutama daerah tonsil dan jarang dapat hidup pada kulit, telinga dan daerah vulva. 2 Kuman tidak masuk pembuluh darah, namun memproduksi eksotoksin yang akan diabsorbsi melewati membran sel mukosa sehingga menimbulkan peradangan dan destruksi epitel diikuti dengan nekrosis. Daerah nekrosis ini terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih. Pada keadaan ini selaput membran yang terbentuk masih bisa dikelupas. Lebih

lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan dalam. Sehingga terbentuklah pseudomembran berwarna abu-abu sampai hitam yang terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit. Membran ini sukar dikelupas, kalau dipaksa dilepas akan menimbulkan perdarahan. 2,4 Pseudomembran dapat meluas sampai trakea dan kadang-kadang ke bronkus, diikuti udema jaringan lunak di bawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat.2,3 Toksin yang terbentuk selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah menyebar ke seluruh tubuh, menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa degenerasi, nekrosis terutama pada jantung, hati, ginjal, kelenjar aderenal dan jaringan saraf.2,3 D. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis (keluhan dan gejala-gejala). Sesudah masa inkubasi 2 sampai 4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39 0C. Nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, disamping itu penderita mengeluh nausea, muntah dan disfagi. Pseudomembran terbentuk dalam waktu 1 sampai 2 hari bergantung pada imunitas penderita. Pada keadaan imunitas yang tinggi membran bisa tak terbentuk sama sekali. Pada permulaan akan terbentuk membran yang tipis berwarna abu-abu, mengenai salah satu atau kedua tonsil, kemudian menebal dan bisa meluas sampai ke pilar, uvula, palatum molle, palatum durum, laring dan trakea. Warnanya berubah menjadi abu-abu kehitaman dan sukar dilepaskan dari dasarnya, apabila terkelupas menimbulkan perdarahan. 2,3,5 Pada pemeriksaan terlihat daerah hiperemis yang dikelilingi oleh membran dengan bau yang khas, ditemukan juga pembesaran kelenjar getah bening leher. Pada keadaan berat terlihat penderita iritabel, pucat, mulut terbuka, tidak mau makan minum, pembesaran kelenjar getah bening leher, periadenitis, pembengkakan jaringan lunak daerah leher yang menyerupai leher sapi jantan (bull neck), nadi cepat, tekanan darah menurun, reflek tendon melemah, paralisis palatum, nafas cepat dan dangkal serta sianosis.2,3 Diagnosis pasti berdasarkan ditemukannya C.diphteriae pada pemeriksaan laboratorium baik dengan pemeriksaan mikroskopik secara langsung ataupun dengan biakan yang menggunakan medium Loeffler dan Tellurit. Bahan diambil dari permukaan bawah pseudomembran yang berasal dari usap hidung, tenggorok atau lesi yang dicurigai lainnya. Penggambilan ini harus dilakukan sebelum pemberian antibiotik.2,4 Kelainan laboratorium yang juga dapat membantu adalah adanya leukositosis hipoglikemi dan albuminuria. 2 Ada atau tidaknya antibodi terhadap toksin difteri dapat diperiksa dengan menggunakan Shick test. Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri sehingga dapat diobati dengan sempurna.2 E. DIAGNOSIS BANDING 1. Tonsilitis folikularis atau lakunaris (terutama bila membran berupa bintik-bintik putih). Pada tonsilitis difteri, penderita lemah tetapi panas tidak terlalu tinggi dan terdapat membran putih kelabu yang mudah berdarah bila diangkat. Sedangkan pada tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi tetapi penderita tidak tampak lemah, nyeri telan lebih hebat, terjadi pembesaran tonsil, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, mudah lepas, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.1,11 2. Angina Plaut Vincent Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman Fusobacterium plaut vincentii dan Borrelia vincentii.1,6 Penyakit ini lebih sering ditemukan kebetulan dalam bentuk terbatas tanpa reaksi sistemik dan mungkin dihubungkan dengan peradangan tenggorokan lain.5 3. Infeksi tenggorok oleh Mononukleosis infeksiosa. Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai limfadenopati generalisata. Kekhasan penyakit ini adalah sembuh sendiri dan berlangsung 2 sampai 4 minggu serta terjadi peningkatan jumlah monosit dalam darah tepi. 1,2,4 F. KOMPLIKASI2,3 Timbulnya komplikasi pada penderita dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sebagai berikut : 1. Virulensi basil difteri. 2. Luas pseudomembran yang terbentuk. 3. Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri. 4. Waktu mulai timbulnya penyakit sampai pemberian antitoksin. Komplikasi-komplikasinya antara lain : 1. Laringitis difteri. Dapat berlangsung cepat dan makin muda penderita, makin cepat timbul komplikasi ini. Pseudomembran menjalar ke laring sehingga menyebabkan gejala sumbatan laring.11 2. Kelainan kardiovaskuler (miokarditis) Terjadi pada sekitar 10%-25% penderita dan menyebabkan 50%-60% kematian. Manifestasi klinisnya berupa takikardi, suara jantung lemah, irama derap presistolik, aritmia (fibrilasi / blok atrium) dan gagal jantung. Pada EKG ditemukan low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbalik dan tanda-tanda blok dimulai dari pemanjangan interval PR sampai blok AV total 2,3 3. Kelainan neurologis Saat timbulnya komplikasi ini bervariasi bergantung pada jumlah toksin yang diproduksi dan cepat / lambatnya pemberian antitoksin. Biasanya kelainan terjadi bilateral dan motorik lebih dominan daripada sensorik, terutama yang terjadi adalah

paralisis. Paralisis terutama terjadi pada palatum molle, laring, otot-otot mata dan ekstremitas, selain itu dapat pula terjadi pada diafragma.2,3,4 4. Infeksi di tempat lain3 C. diphteriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif) dan saluran genital (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinisnya berupa ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan submukosa, yang membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain. G. PENGELOLAAN 1. Umum2 a. Isolasi b. Istirahat di tempat tidur minimal 2-3 minggu c. Makanan lunak atau cair, tergantung pada keadaan penderitanya. d. Kebersihan jalan nafas dan penghisapan lendir e. Kontrol EKG secara serial 2-3 kali seminggu, selama 4-6 minggu untuk mendeteksi miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus istirahat total di tempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara gradual baru boleh dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang. f. Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila keadaan membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi, maka dianjurkan pemberian makanan cair melalui sonde. g. Bila terjadi obstruksi laring secepat mungkin dilakukan trakeostomi. 2. Khusus a. Pemberian antitoksin Bertujuan untuk menetralisasi toksin yang dihasilkan oleh basil difteri, diberikan sedini mungkin begitu diagnosis ditegakkan, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Jumlah dosis tergantung jenis difterinya dan tidak dipengaruhi oleh umur pasien.2,3 Tabel 1. Pemberian antitoksin untuk pengobatan difteri3 Dasar diagnosis Hanya lesi kulit Penyakit faring / laring lamanya 48 jam Lesi nasofaring Penyakit meluas lama 72 jam Pembengkakan leher difus Dosis antitoksin (U) 20.000 40.000 20.000 40.000 40.000 60.000 80.000 100.000 80.000 100.00

Jika uji sensitivitas positif maka diberikan secara desensitisasi dengan interval 20 menit. 3 Tabel 2. Skema desensitisasi intravena3 Pengenceran antitoksin dalam Jumlah dosis Volume injeksi (ml) garam fisiologis 13 46 79 10 11 14 1 : 1000 1 : 100 1 : 10 tidak diencerkan tidak diencerkan 0,1 ; 0,3 ; 0,6 0,1 ; 0,3 ; 0,6 0,1 ; 0,3 ; 0,6 0,1 ; 0,2 ; 0,6 ; 1,0 sisa dari total

b. Pemberian antibiotik Bertujuan untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi yang terlokalisasi dan mencegah penularan organisme pada kontak.3 Diberikan penisilin prokain 600.000 U perhari selama 7 hari secara intramuskuler. Apabila alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari, selama 7-10 hari secara oral maupun parenteral. Dapat diberikan juga Penisilin G kristal aqua secara intramuskuler atau intravena dengan dosis 100.000 150.000 U/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Terapi diberikan selama 14 hari.2,3 Terapi antibiotik bukan pengganti terapi antitoksin. Keberhasilan terapi dapat diketahui dengan pemeriksaan sekurangkurangnya 2 biakan berturut-turut dengan hasil negatif yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin jika hasil biakan positif.3 H. PENCEGAHAN Cara yang paling baik untuk pencegahan adalah pemberian imunisasi aktif. Biasanya pemberian vaksin difteri bersamaan dengan pertusis dan tetanus (DPT). Cara pemberian adalah sebagai berikut : 1. Imunisasi primer2 Berdasarkan umur anak dibagi atas 2 bagian yaitu : a. Anak berumur 6 minggu sampai 6 tahun.

Diberikan 3 dosis toksoid difteri secara intramuskuler atau subkutan dengan interval 4 8 minggu yang dimulai ketika anak berumur 6 minggu sampai 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian keempat selang 1 tahun sesudah pemberian ketiga. Preparat yang digunakan adalah pediatric toxoid diphteri, yang mengandung 7-25 Lf (Limit Floculation Unit). b. Anak berumur 7 tahun atau lebih. Diberikan 3 dosis toksoid difteri dengan pemberian kedua berselang waktu 4- 8 minggu sesudah pemberian pertama. Sedangkan pemberian ketiga berselang waktu 1 tahun sesudah pemberian kedua. Preparat yang digunakan adalah adult toxoid diphteri yang mengandung tidak lebih dari 2 Lf. 2. Imunisasi booster2 a. Anak berumur 6 minggu sampai 6 bulan. Apabila pemberian dosis keempat imunisasi primernya, anak belum berumur 4 tahun, maka diberikan booster ketika anak tersebut mulai masuk taman kanak-kanak. Apabila pada pemberian dosis keempat imunisasi primer anak telah berumur 4 tahun, maka tidak perlu diberikan booster pada waktu mulai masuk sekolah. b. Anak berumur 7 tahun atau lebih diberikan booster setiap 10 tahun. 3. Profilaksis2 Orang yang kontak dengan penderita difteri terutama yang tidak pernah atau tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, diberi booster dengan dosis bergantung pada umurnya. Kemudian diberikan kemoprofilaksis yaitu penisilin prokain 600.000 U/hari selama 4 hari atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Bila tidak mungkin untuk dilakukan pengawasan sebaiknya diberikan antitoksin difteri 10.000U intramuskular. I. PROGNOSIS1 Kematian penderita difteri sebesar 3-5% dan sangat bergantung pada : 1. Umur penderita, karena makin muda umur prognosis makin buruk. 2. Perjalanan penyakit, karena makin lanjut prognosisnya makin buruk 3. Letak lesi difteri 4. Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi kurang 5. Pengobatan, makin lambat pemberian antitoksin, prognosis akan makin buruk. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, frekuensi penyakit tonsilitis difteri cukup tinggi, karena imunisasi yang belum sempurna diberikan pada bayi dan anak. Kini frekuensi penyakit ini turun berkat keberhasilan imunisasi. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun, dan frekuensi tertinggi ditemukan pada umur 2-5 tahun. Walaupun demikian, orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. Difteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan local. Difteri akan berakibat kematian pada penderita yang telah mengalami komplikasi pada saluran pernapasan, ataupun komplikasi pada sistem organ lainnya sehingga terjadi penurunan fungsi organ. Apabila terjadi dekompensasi pada organ tersebut maka dapat terjadi kematian. Kematian penderita difteri sebesar 3-5% dan sangat bergantung kepada : 1. umur penderita, karena makin muda umur anak prognosis makin buruk. 2. perjalanan penyakit, karena makin lanjut makin buruk prognosisnya. 3. letak lesi difteri. 4. keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi kurang. 5. pengobatan, makin lambat pemberian antitoksin, prognosis akan makin buruk. 1.2. PERUMUSAN MASALAH Komplikasi apa yang terjadi akibat tonsilitis difteri sehingga dapat menyebabkan kematian pada penderita? Bagaimanakah pengelolaan penderita sehingga dapat terhindar dari komplikasi tonsilitis difteri? 1.3. TUJUAN Mengetahui komplikasi-komplikasi yang terjadi akibat penyakit tonsilitis difteri dan mengetahui pengelolaan penderita sehingga dapat terhindar dari komplikasi tonsilitis difteri. 1.4. MANFAAT Memberikan tambahan pengetahuan terhadap penulis dan pembaca mengenai komplikasi tonsilitis difteri dan pengelolaan penyakit tersebut. BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL 1. ANATOMI TONSIL Tonsil Palatina merupakan kumpulan jaringan limfoid di kanan kiri jalan rongga mulut ke faring, yang berbentuk oval. Bersama adenoid membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang dikenal sebagai cincin Waldeyer. Bagian-bagian lain cincin ini dibentuk oleh tonsil lidah dan jaringan limfe di mulut tuba Eustachii. Permukaan tonsila palatina dilapisi oleh epitel gepeng berlapis yang juga meliputi kripta tonsil. Di dalam jaringan ikat yang terletak di bawahnya terdapat banyak noduli limfatikus. Jaringan ikat fibroelastik mendasar tonsil dan membentuk

kapsula tonsil. Kapsula melekat erat tetapi berhubungan dengan muskulus konstriktor faring superior melalui jaringan ikat longgar, sehingga pada tonsilektomi kapsula juga ikut diambil. Tonsila palatina yang terbesar diantara organ penyusun cincin Waldeyer terletak pada suatu area segitiga pada dinding lateral faring, diantara areus pataloglosus yang dibentuk oleh muskulus palatoglosus dan arcus palatofarineus yang dibentuk oleh muskulus palatofaringeus. Tonsil mendapat vaskularisasi dari rami tonsilaris dari cabang-cabang arteri lingualis dorsalis, arteri palatina desenden dan arteri fasialis. Darah dari tonsil keluar melalui vena paratonsiler menuju vena fasialis komunis masuk ke vena jugularis interna. Tonsil mendapat persarafan dari nervis tonsilaris dari nervus glossofaringeus dan nervi palatina minor yang membawa serabut sensibel dari nervus fasialis. 2. FISIOLOGI TONSIL Secara anatomi lokasi tonsil sangat strategis, tonsil merupakan proteksi awal terhadap antigen dan mikroorganisma dari luar yang masuk melalui makanan dan udara pernafasan. Selain sebagai proteksi awal, peranan tonsil terhadap antigen dan mikroorganisme adalah hal peranannya menghasilkan antibodi dan merupakan sumber akumulasi sel-sel infiltrasi graulosit, limfosit, plasma sel dan makrofag. Fungsi tonsil yang lain adalah : 2.1. Membentuk zat-zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma, waktu terjadi reaksi seluler. 2.2. Fungsi limfositosis dan limfositolisis. 2.3. Menangkap dan menghancurkan antigen dan mikroorganisma yang masuk ke dalam tubuh, melalui hidung dan mulut. 2.4. Memproduksi hormon, khususnya hormon pertumbuhan. BAB III TONSILITIS DIFTERI 1. ETIOLOGI DAN IMUNITAS Tonsilitis difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil dapat membentuk : 1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil. 2. Eksotosin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. 1/50 ml toksin dapat membunuh marmot dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji schick. Minimum lethal dose (MLD) dari toksin ini ialah 0,02 ml. Uji schick ialah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permililiter darah dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji schick dapat positif; pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. Pada bayi baru lahir sampai dengan usia 3 bulan terdapat imunitas bawaan walaupun pada uji Schick ditemukan 15% positif, kemudian sampai umur 6 bulan 50% uji Schick positif dan umur sampai 1 tahun 90% uji Schick positif. Mulai umur 1 tahun berangsur-angsur turun lagi sampai umur 17 tahun memberi hasil 15% uji Schick positif. Imunisasi aktif dilakukan dengan menyuntikkan toksoid. Imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakukan 3 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Biasanya diberikan bersama-sama toksoid tetanus dan basil B pertusis yang telah dimatikan sehingga disebut tripel vaksin DTP dan diberikan dengan dosis 0,5ml subkutan dalam atau intramuskular. Vaksinasi ulangan dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira pada umur 1,5-2 tahun dan pada umur 5 tahun. Selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15 tahun hanya diberikan vaksin difteri dan tetanus (vaksin DT) atau bila ada kontak dengan penderita difteri. 2. PATOGENESIS Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan ke seluruh traktus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hyperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstitialis. Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membran pada laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia. 3. KLASIFIKASI

Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach dkk (1950) sebagai berikut : Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya nyeri menelan Infeksi sedang : pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif Infeksi berat : disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralysis atau pun nefritis dapat menyertainya 4. GEJALA DAN TANDA Penyakit ini ditandai dengan adanya membran semu di tonsil dan disekitarnya, serta penglepasan eksotoksin, yang dapat menimbulkan gejala umum atau lokal. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum, seperti penyakit infeksi lainnya, penyakit ini menimbulkan gejala suhu subfebril, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah serta nadi lambat. Gejala lokal berupa keluhan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, dan laring, bahkan dapat juga meluas ke trakea dan bronkus. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini, bila infeksinya tidak terbendung, kelenjar limfe leher membengkak. Bengkaknya kelenjar limfe di leher ini dapat sedemikian rupa, sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals. Gejala akibat eksotoksin pada jaringan tubuh, pada jantung, terjadi miokarditis dan dapat mengakibatkan payah jantung (decompensatio cordis). Akibat eksotoksin juga dapat mengenai saraf kranial, khususnya bagian motorik dam mengenai ginjal, sehingga terjadi albuminuria. 5. DIAGNOSIS Dibuat dengan ditemukannya Corynebacterium diphtheriae pada preparat langsung atau biakan. Untuk pengobatan tidaklah dibenarkan menunggu hasil pemeriksaan preparat langsung atau biakan, tetapi bila secara klinis terdapat persangkaan yang kuat adanya difteri, maka penderita harus diobati sebagai penderita difteri. Preparat langsung biasanya dibuat dari basis eksudat atau membrane yang kemudian diberi pewarnaan biru metilen atau biru toluidin atau pewarnaan dengan cara Ljubinski. Kultur yang negative belum dapat menyingkirkan infeksi difteri (Nelson). Jadi bila membran terlihat dengan cepat menyebar, walaupun biakan atau pun sediaan langsung negatif, maka pengobatan terhadap difteri harus segera diberikan. 6. DIAGNOSIS BANDING Pada difteri nasal perdarahan yang timbul harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka dalam hidung, korpus alienum atau sifilis congenital. Difteri fausial harus dibedakan dengan : Tonsilitis folikularis atau lakunaris : terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membrane putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja. Angina Plaut Vincent : Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif). Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa : terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi. Blood dyscrasia (agranulositosis dan leukemia) : mungkin pula ditemukan ulkus membranosa pada faring dan tonsil. BAB IV PENGELOLAAN DAN KOMPLIKASI TONSILITIS DIFTERI 1. PENGELOLAAN Pengobatan umum Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. Pengobatan spesifik 1. Anti Diphtheria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hr selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desentisasi dengan cara Besredka. 2. Antibiotika. Penisilin prokain 50.000 U/KgBB/hr sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan klorampenikol 75 mg/KgBB/hr, dibagi 4 dosis. 3. Kortikosteroid. Obat ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2 mg/KgBB/hr selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap. Penderita difteri dirawat selama 3-4 minggu. Bila terdapat sumbatan jalan nafas harus dipertimbangkan tindakan trakeostomi, karena tindakan ini pada difteri laring dengan sumbatan jalan nafas akan menyelamatkan jiwa penderita. Perawatan pasca-trakeostomi juga memegang peranan penting seperti pengisapan lender secara hati-hati dan teratur, sebab pengisapan lender secara sembrono dapat menimbulkan refleks vagal yang dapat menyebabkan kematian.

Intubasi trakea juga dapat dipakai untuk menolong penderita yang mengalami sumbatan jalan nafas dan dapat dilakukan oleh dokter umum. Bila ada komplikasi paralisis/ paresis otot, dapat diberikan striknin mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari selama 10 hari berturut-turut. 2. KOMPLIKASI TONSILITIS DIFTERI Saluran pernafasan Terjadinya difteri laring. Lebih sering sebagai penjalaran difteri faring dan tonsil (3 kali lebih banyak) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan jalan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat timbul sesak nafas hebat, sianosis dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck. Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran, sehingga menyumbat laring. Obstruksi jalan nafas bagian atas Penurunan PaO2, secara signifikan dengan peningkatan PaCO2 (biasanya kurang dari 15 mmHg) Peningkatan tekanan arteri pulmonal Hipertrofi jantung kanan (kor pulmonal) Dekompensasi jantung Kardiovaskular Miokarditis difteri timbul pada lebih dari dari penderita difteri, dan hal ini merupakan komplikasi yang paling serius dan penyebab kematian yang paling umum pada difteri. Kerusakan jantung disebabkan karena terlepasnya toksin yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan jantung menjadi dilatasi, lembek dengan perdarahan setempat dan hipokontraktil akibat nekrosis hialin. Keterlibatan jantung biasa timbul setelah minggu pertama. Pada 2 minggu pertama didapatkan foci infiltrasi sel-sel radang tersebar di seluruh miokard disertai degenerasi serabut-serabut miokard yang berdekatan. Bila infeksi bacterial, sel-sel radang ini akan didominasi polimorfonuklear. Pada minggu ketiga serabut-serabut miokard akan mengalami degenerasi yang kemudian akan diganti dengan jaringan ikat. Pada beberapa keadaan akan dapat kita temukan mikro abses yang pada pewarnaan dapat ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Jadi pada dasarnya terjadi spasme sirkulasi mikro yang menyebabkan proses berulang antara obstruksi dan reperfusi yang mengakibatkan latrutnya matriks miokard dan habisnya otot jantung secara fokal. Ini menyebabkan rontoknya serabut otot, dilatasi jantung dan hipertrofi miosit yang tersisa. Akhirnya proses ini mengakibatkan habisnya kompensasi mekanis dan biokimiawi yang berakhir dengan payah jantung. Disini didapatkan kelainan dan elektrokardiografi berupa kelainan segmen ST-T, aritmia, blok berkas His. Pengobatannya harus sesegera mungkin dengan anti toksin disamping pemberian antibiotik. Urogenital Terjadi Nefritis interstisial akut. Pada kondisi ini terdapat gagal ginjal yang akut, sehingga penderita mengalami albuminuria. Sebagai akibat komplikasi ke ginjal. Pada umumnya diketahui patogenesis penyakit glomerular melibatkan mekanisme imunologik yang sama, yang secara normal mempertahankan tubuh dari serangan infeksi. Nefritis kompleks imun terjadi karena kompleks imun terjadi karena kompleks imun dalam sirkulasi akan menyangkut dini dan berakumulasi pada saringan glomerulus. Antigen berasal dari luar, yang akan merangsang pembentukan antibodi, dan akan membentuk kompleks imun yang ikut dalam sirkulasi, sehingga disebut tipe ekstrinsik. Kelainan ini merupakan bagian terbesar glomerulonefritis. Kompleks imun dapat pula terjadi setempat (in situ), jadi tidak ikut dalam sirkulasi darah. Antigen akan melekat pada membrane basal, kemudian diikuti oleh antibodi yang akan menyatu dengan antigen tersebut. Mekanisme ini sulit dideteksi dalam sirkulasi namun dapat dilihat dengan pemeriksaan imunofluoresen atau mikroskop elekton. Kerusakan glomerulus terjadi akibat reaksi radang oleh karena adanya endapan kompleks imun. Peran komplemen terhadap terjadinya kerusakan glomerulus dapat terjadi melalui berbagai cara. Komplemen meningkatkan permeabilitas vascular melalui aktivitas anafilaktosin. Dengan demikian kompleks imun lebih mudah terjadi. Disamping itu, komplemen juga mempunyai aktivitas kemotaktik, sehingga terjadi akumulasi neutrofil dan makrofag. Neutrofil akan mengeluarkan enzim proteolitik dan hidroksi radikal, yang dapat merusak jaringan dan menyebabkan aktivasi mediator lain seperti makrofag dan trombosit. Komplemen dapat pula membentuk membrane attack complex (MAC), sehingga akan merusak mesangium dan masuk ke dalam makrofag. Makrofag yang rusak akan menghasilkan oksigen radikal dan interleukin I. Makrofag juga akan mengeluarkan enzim proteolitik yang akan menambah kerusakan jaringan. Disamping itu, makrofag juga akan merangsang proliferasi sel dan pembentukan fibrin. Trombosit akan mengeluarkan zat vasoaktif seperti serotonin, histamine, yang akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membrane basal. Hal ini akan menimbulkan dilepaskannya faktor pertumbuhan yang akan merangsang proliferasi sel, atu mengaktifkan pembekuan darah. Trombosit juga akan mengeluarkan protein yang bersifat kation yang mempermudah endapan kompleks imun. Skema patogenesis dan gambaran klinis

Antigen dari luar glomerulus Kompleks imun kompleks imun Timbul dalam sirkulasi timbul di glomerulus GLOMERULONEFRITIS Manifestasi klinik Sindrom nefrotik Proteinuria massif >3,5 gr/1,73m2 luas permukaan badan/ hari Hipoalbuminemia <3gr/ml PERMEABILITAS GLOMERULUS MENINGKAT Kenaikan filtrasi plasma protein Kenaikan reabsorbsi plasma protein Katabolisme albumin dalam sel tubulus ALBUMINURIA Hipoproteinemia Lipiduria Hiperkolesterolemia

Susunan saraf Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralisis/ parese dapat berupa : 1. paralisis/paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan. Sifatnya reversible dan terjadi pada minggu kesatu dan kedua 2. paralisis/paresis otot-otot mata, sehingga dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang timbul setelah minggu ketiga 3. paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot penafasan, karena dapat menimbulkan kematian. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Difteri merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Mudah menular dan yang sering di serang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda yang khas yaitu terbentuknya pseudomembran berwarna putih keabuan yang sukar dilepaskan dan mudah berdarah. Ciri khas difteri lainnya adalah kemampuan kuman tersebut dalam memproduksi eksotoksin baik secara in vivo atau in vitro, dimana kemampuan suatu strain untuk memproduksi eksotoksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya diproduksi oleh difteri yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.1,2,3,4,5 Infeksi difteri tersebar di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteri. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. 80% kasus terjadi di bawah 15 tahun. Meskipun dalam suatu wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial, overcrowding, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.1 Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan syarat mutlak menuju pembangunan di segala bidang. Status gizi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kualitas SDM terutama yang terkait dengan kecerdasan, produktifitas, dan kreatifitas. Kekurangan gizi atau malnutrisi masih merupakan permasalahan utama pada balita. Padahal asupan gizi merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap pembentukan otak balita dan menentukan tingkat kecerdasan. Terhambatnya perkembangan otak balita tidak dapat terkejar kembali sampai dengan usia tertentu. Gizi kurang, gizi buruk, dan gangguan akibat kekurangan gizi mikro bisa mengganggu tumbuh kembang anak dan berpotensi menyebabkan lost generation atau generasi yang tidak mampu bersaing di masa depan. 6,7,8

Di masyarakat banyak masalah yang berkaitan yang menyebabkan terjadinya defisiensi nutrisi seperti kemiskinan, lingkungan yang tidak baik, kondisi sosial yang tidak menguntungkan. Sementara itu penderita yang mengeluh dengan anemia sangat jarang, padahal anemia berkaitan dengan biologik seperti pertumbuhan, perkembangan, dan imunnitas.9 Pada anemia mikrositik hipokromik dapat disebabkan karena defisiensi besi dan thalasemia. Dimana terjadinya defisiensi besi oleh karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan jumlah besi yang diserap oleh tubuh. Sedangkan pada thalasemia cenderung terdapat faktor keturunan.5
B. TUJUAN Tujuan laporan kasus besar ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan awal yang tepat berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik pemeriksaan laboratorium dan penunjang, dan pengelolaan penderita difteri, gizi kurang, dan anemia mikrositik hipokromik. C. MANFAAT

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa kedokteran dalam menegakkan diagnosis dan pengelolaan penderita dengan difteri, gizi kurang, dan anemia mikrositik hipokromik. BAB II LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PENDERITA Nama : An. Maulida Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 3 tahun 3 bulan B. DATA DASAR ANAMNESIS Alloanamnesis dengan Ny. Solehah (ibu penderita) Tanggal : 9 April 2004 jam 08.00 Keluhan utama : nyeri menelan Riwayat Penyakit Sekarang 4 hari yang lalu anak panas nglemeng terus menerus, tidak menggigil, tidak kejang, tidak batuk, tidak pilek, tidak mual, tidak muntah, anak tampak lemas. Anak dibawa ke klinik 24 jam dan diberi obat puyer (9 buah) dimakan 3 kali sehari, tetapi tidak ada perbaikan. 1 hari SMRS anak panas nglemeng terus menerus, tidak menggigil, tidak kejang, batuk (+), dahak (+), pilek (+), tidak mual, tidak muntah, tidak sesak, nyeri pada waktu menelan, bila bernafas lewat mulut, bila tidur anak mengorok yang sebelumnya tidak pernah, anak mulai sulit makan, anak terlihat lemas dan lesu, tidak pucat, anak mengeluh sakit kepala. Lalu anak dibawa ke klinik 24 jam dan disarankan untuk rawat inap (dirujuk). Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal. Riwayat Penyakit Dahulu Anak belum pernah sakit seperti ini sebelumnya Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini Riwayat Sosial Ekonomi Ayah seorang buruh ikan, penghasilan perbulan Rp. 300.000,-. Ibu tidak bekerja. Menanggung 2 orang anak. Tinggal di rumah orang tua dari ibu. Biaya pengobatan ditanggung sendiri. Kesan : sosial ekonomi kurang. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Kehamilan dan Persalinan No 1. 2. , aterm, spontan, bidan, BBL : 3630 gr , aterm, spontan, bidan, BBL : 3100 gr Tgl lahir/umur 20 Januari 2001 3 April 2003

Riwayat Prenatal dan Antenatal Prenatal : Periksa di bidan > 5x, TT 2x Penyakit kehamilan disangkal Obat obatan selama kehamilan : vitamin dan tablet besi Antenatal : Periksa di bidan Keadaan anak sehat Riwayat Vaksinasi 1.BCG : 1x (0 bulan) scar (+) 2.DPT : 3x (2, 3, 4 bulan) 3.Polio : 4x (1, 2, 3, 4 bulan) 4.Campak : 1x (9 bulan) 5.Hepatitis : 3x (0, 1, 6 bulan) Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur, imunisasi ulangan belum dilakukan. Riwayat Pemberian Makan ASI : sejak lahir sampai umur 15 bulan dihentikan karena ibu hamil lagi Susu sapi/buatan : umur 15 bulan, SGM II 4x/hari @ 3 sendok dalam 60cc air, kadang tidak habis. Buah/sayuran : umur 4 bulan, pisang 2x/sehari tidak habis. Makanan padat dan lauknya : umur 4 bulan, bubur susu 3x/hari @ 8 sendok teh. Umur 6 bulan nasi tim + sayur (bayem, wortel) + lauk (telur, hati ayam, Ikan) 3x sehari @ mangkuk kecil tidak habis. Umur 12 bulan, nasi + sayur (bayem, wortel) + telur, ikan (digoreng) 3x sehari @ piring kecil (1 centong) habis. Kesan : Kualitas kurang dan kuantitas kurang. Riwayat Perkembangan Tersenyum 2 bulan gigi keluar 7 bulan

miring tengkurap duduk

3 bulan 4 bulan 6 bulan

merangkak berdiri 9 bulan berjalan

8 bulan 13 bulan

Anak belum sekolah Kesan : perkembangan sesuai umur Riwayat Keluarga Berencana Ibu memakai KB suntik sejak anak kedua lahir C. PEMERIKSAAN FISIK Tanggal : 9 April 2004 jam 08.30 Keadaan umum : sadar, kurang aktif, sesak (-), sianosis (-) Tanda vital : N : 124x/menit isi dan tegangan cukup RR : 30 x/menit t : 37,6oC Status internus Kepala : mesosefal, ubun-ubun besar sudah menutup. Rambut : hitam, tidak mudah dicabut. Mata : konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-) Kulit : turgor kembali cepat Telinga : discharge (-) Hidung : nafas cuping (-), pseudomembran (-) Mulut : sianosis (-), kering (-) Tenggorok : T3-3 hiperemis, pseudomembran (+) Leher : simetris, (bull neck), pembesaran nnll (+) Pulmo - Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi (-) - Palpasi - Perkusi : stem fremitus kanan = kiri. : sonor seluruh lapangan paru. suara tambahan : hantaran -/-, ronkhi -/-, wheezing -/ Jantung - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi Abdomen - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi Genitalia Ekstremitas Oedema Sianosis Akral dingin Capillary refill : Iktus kordis tidak tampak : Iktus kordis teraba di linea medioclavicularis sinistra SIC V, tidak kuat angkat, tidak melebar. : Konfigurasi jantung sulit dinilai. : Bunyi Jantung I - II normal, M1> M2, A1<A2, P1< P2, gallop (-), bising (-). : datar, venektasi tidak ada : lemas, turgor kembali cepat, hepar tak teraba, lien = So : timpani, pekak sisi normal, pekak alih : bising usus normal : perempuan, dalam batas normal : superior -/-/-/<2 inferior -/-/-/<2

- Auskultasi : suara dasar vesikuler normal

D. PEMERIKSAAN ANTROPOMETRI , BB 10,3 Kg, PB 90 cm, Umur 3 tahun 3 bulan = 39 bulan Z score E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG

Hb : 10.7 g / dl Ht : 33.3 % Lekosit : 24.400 /mm3 Trombosit : 88.000 /mm3 Eritrosit : 4.210.000 /mm3 MCV : 79,0 femtoliter MCH : 25,3 picograms MCHC : 32 g/dl Kesan lab darah : leukositosis, trombositopenia, anemia mikrositik hipokromik EKG : tidak ada blok sebagai tanda miokarditis F. DIAGNOSIS BANDING 1. Observasi Tonsilitis Difteri DD : Tonsilitis lakunaris Angina Plaut Vincent 2. Anemia mikrositik hipokromik DD : Thalasemia Defiseiensi Fe 3. Gizi kurang G. DIAGNOSIS SEMENTARA 1. Observasi Tonsilitis Difteri 2. Anemia mikrositik hipokromik 3. Gizi kurang H. PENGELOLAAN Medikamentosa O2 28% 2 l/mnt Infus D5% 480/5/5 + NaCl 5% 25 cc + KCl 21 cc Injeksi DAT 120.000 IU iv (tes) Injeksi PP 500.000 IU iv (tes) PO : Luminal 3 x 10 mg Prednison 3 x 5 mg Paracetamol syrup 3 x 1 cth (prn) Vitamin B komplek 3 x 1 tab Vitamin C 3 x 1 tab Diet : 3 x unak lauk saring (LLS) 3 x 200 cc susu Kebutuhan 24 jam Cairan (cc) 1000 Infus D5% 3 x LLS 3 x 200 cc susu Total AKG I. PERAWATAN Penderita di rawat ruang isolasi bangsal CILII J. USUL Swab tenggorok, kultur swab tenggorokan, Serum besi, TIBC, SGPT, SGOT, CKMB K. DAFTAR MASALAH No Masalah Aktif Tanggal No Masalah Pasif Tanggal 530 150 600 1280 128 %

Kalori (kkal) 1000 100 588,5 366 975,5 97,5 %

Protein (gram) 40 22,73 18,6 41,33 103 %

1 2 3

Observasi Tonsilitis Difteri Anemia Mikrositik Hipokromik Gizi Kurang

09/04/04 09/04/04 09/04/04

4 5

Imunisasi dilakukan

ulangan

belum

09/04/04 09/04/04

Sosial ekonomi kurang

L. INITIAL PLAN 1. Assesment : Observasi Tonsilitis Difteri Ip Dx : S : O : swab tenggorok, kultur swab tenggorok Ip Tx : Rawat isolasi Infus D5% 480/5/5 Inj DAT 120.000 iu IV (tes) Inj PP 500.000 iu IM (tes) PO : Luminal 3 x 10 mg Prednison 3 x 5 mg Parasetamol syr 3 x 1(prn) IP Mx : tanda tanda obstruksi jalan nafas EKG, SGOT, SGPT, CKMB Swab tenggorok IP Ex : - menjelaskan keadaan anak pada keluarga dan pengelolaan yang dilakukan - imunisasi difteri 3 bulan setelah sembuh 2. Assesment : Gizi Kurang Ip Dx : S : O : Ip Tx : Diet : 3 x lunak lauk saring 3 x 200 cc susu IP Mx : acceptabilitas makan, berat badan IP Ex : - menjelaskan keadaan anak pada keluarga dan pengelolaan yang dilakukan - motivasi agar menghabiskan diet yang diberikan 3. Assesment : Anemia Mikrositik Hipokromik Ip Dx : S : O : serum besi dan TIBC Ip Tx : vitamin B komplek 3 x 1 tab vitamin C 3 x 1 tab IP Mx : Hb, Ht, leukosit, trombosit, MCV, MCH, MCHC IP Ex : menjelaskan keadaan anak pada keluarga dan pengelolaan yang dilakukan M. PERJALANAN PENYAKIT Tanggal Keadaan Klinis Program 10 April Keluhan : batuk (+), nyeri menelan (+) R/ 2004 KU : sadar, kurang aktif, sesak (-), sianosis, tampak Infus D5% 480/5/5 jam 07.30 pembesaran leher + NaCl 5% 25 cc TV : N : 120 x/mnt isi dan tegangan cukup + KCl 21 cc RR : 26 x/menit Injeksi PP 500.000 IU im (tes) T : 37,2oC PO : Luminal 3 x 10 mg Mata : konjungtiva palp anemis (-), sklera ikterik (-) Prednison 3 x 5 mg Hidung : nafas cuping (-), pseudomembran (-) Diet : 3 x (LLS) Mulut : sianosis (-), mukosa basah kemerahan, 3 x 200 cc susu pseudomembran (-) Tenggorok : T3-3 hiperemis, pseudomembran putih keabuan (+) Leher : simetris, pemb nnll (+) (bull neck) Dada : simetris, retraksi (-) Paru : dbn Cor : dbn Abdomen : lemas, BU (+) N, H/L tak teraba Extremitas : dbn Hasil swab tenggorok Diplococcus (streptococcus)(+)/positif C.diphtheriae (+)/positif Candida sp (+)/positif

Ass : Tonsilitis Difteri Program : Pengawasan KU & TV Tanda obstruksi jalan nafas Swab tenggorok 11 April 2004 07.00 Keluhan : (-) KU : sadar, kurang aktif, sesak (-) TV : N : 110 x/mnt isi dan tegangan cukup RR : 26 x/mnt t : 37oC Pemeriksaan fisik : tetap Ass : tetap Keluhan : (-) TV : N : 110 x/mnt isi dan tegangan cukup RR : 22 x/mnt t : 37oC Mata : konjungtiva palp pucat (-), sklera ikterik (-) Hidung : nafas cuping (-), pseudomembran (-) Mulut : sianosis (-), mukosa basah kemerahan, pseudomembran keputihan (-) Tenggorok : T3-3 hiperemis, pseudomembran putih keabuan (-) Leher : simetris, pemb nnll (+) (bull neck (-) Dada : simetris, retraksi (-) Paru : dbn Cor : dbn Abdomen : dbn Extremitas : dbn Hasil swab tenggorok C.diphtheriae (-)/negatif 13 April 2004 07.20 Ass : Tonsilitis Difteri Keluhan : (-) TV : N : 110 x/mnt isi dan tegangan cukup RR : 22 x/mnt t : 37oC Mata : konjungtiva palp pucat (-), sklera ikterik (-) Hidung : nafas cuping (-), mukosa keputihan (-) Mulut : sianosis (-), mukosa basah kemerahan, pseudomembran keputihan (-) Tenggorok : T2-2 hiperemis, pseudomembran putih keabuan (-) Leher : pemb nnll (+) submandibula , bull neck (-) Dada : simetris, retraksi (-) Paru : dbn Cor : dbn Abdomen : dbn Extremitas : dbn Hasil swab tenggorok C.diphtheriae (-)/negatif Diplococcus (+)/positif Kuman batang gram (+) : (+)/positif Ass : Tonsilitis difteri N. HASIL KUNJUNGAN RUMAH Kunjungan rumah tanggal 25 April 2004 pukul 17.00 WIB. Keadaan Rumah Status Ukuran : rumah milik nenek (Ny. Fatimah) : 5 m x 13 m R/ Infus D5% 480/5/5 + NaCl 5% 25 cc + KCl 21 cc Injeksi PP 500.000 IU im (tes) Diet : 3 x (LLS) 3 x 200 cc susu Program Keluar dari rawat isolasi R/ Tetap Program : tetap

12 April 2004 07.15

R/ Infus D5% 480/5/5 + NaCl 5% 25 cc + KCl 21 cc Injeksi PP 500.000 IU im (tes) PO : Luminal 3 x 10 mg Prednison 3 x 5 mg Diet : 3 x (LLS) 3 x 200 cc susu

Halaman rumah Teras rumah Dinding rumah Lantai rumah Ruangan

: tidak memiliki halaman rumah : ada di depan rumah ukuran 5 m x 1 m : tembok : ubin : 2 ruang tidur ukuran 2,5m x 2,5m (dipisahkan oleh triplek), 1 ruang tamu ukuran 3m x 5m, 1 ruang untuk berjualan ukuran 2m x 5m, dan dapur 2m x 3m, memiliki 1 kamar mandi dan WC yang menjadi satu di dalam rumah ukuran 1m x 2m. : tidak memiliki : pencahayaan kurang, karena sinar matahari yang masuk rumah sedikit. Memiliki 4 buah genting kaca (2 buah di ruang tamu dan 2 buah di kamar). : kurang : air sumur, jumlah air cukup, kualitas air cukup. : cukup memadai, jumlah 1 dan tak ada tutupnya, di ambil oleh tukang sampah bila sudah penuh.

Ventilasi Pencahayaan Kebersihan Sumber Tempat sampah

Kebiasaan sehari-hari Ayah bekerja sebagai buruh ikan, ibu tidak bekerja, mengasuh 2 orang anak yang belum mandiri. Makanan dan minuman dimasak sebelum dimakan. Sumber air minum dari sumur (memakai sanyo). Alat makan dicuci dengan air sumur dan sabun cuci piring. Mandi dua kali sehari menggunakan air sumur dan sabun. Pakaian kotor dicuci 2 hari sekali dan dijemur di lantai atas (4m x 3m). Rumah disapu 1 kali sehari, sampah dibuang di tempat sampah. Jika ada keluarga yang sakit dibawa ke puskesmas atau dokter. Lingkungan Rumah penderita terletak di Kelurahan Tambak Rejo. Rumah berdekatan dengan tetangga, memiliki teras, keadaan sekitar agak kotor. Rumah penderita berdinding tembok. Tidak memiliki jendela dan ventilasi kurang sehingga pencahayaan kurang. Memiliki 1 kamar mandi dan WC yang menjadi satu berada di dalam rumah. Penghuni rumah ada 6 orang : nenek, adik dari ibu, ayah, ibu, dan 2 orang anak. Pemeriksaan Fisik Saat Kunjungan Rumah Tanggal : 25 April 2004 jam 17.30 Keadaan umum : sadar, aktif, sesak (-), sianosis (-) Tanda vital : N : 124x/menit isi dan tegangan cukup RR : 28 x/menit t : 37oC Status internus Kepala : mesosefal, ubun-ubun besar sudah menutup. Rambut : hitam, tidak mudah dicabut. Mata : konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-) Kulit : turgor kembali cepat Telinga : discharge (-) Hidung : nafas cuping (-), pseudomembran (-) Mulut : sianosis (-), kering (-) Tenggorok : T1-1 hiperemis (-), faring hiperemis (-), pseudomembran (-) Leher : simetris, pembesaran nnll (-) (bull neck -) Dada - Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi (-) - Palpasi - Perkusi : stem fremitus kanan = kiri. : sonor seluruh lapangan paru. suara tambahan : hantaran -/-, ronkhi -/-, wheezing -/ Jantung - Inspeksi - Palpasi - Perkusi

- Auskultasi : suara dasar vesikuler normal

: Iktus kordis tidak tampak : Iktus kordis teraba di linea medioclavicularis sinistra SIC V, tidak kuat angkat, tidak melebar. : Konfigurasi jantung dalam batas normal.

- Auskultasi Abdomen - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi Genitalia Ekstremitas Oedema Sianosis Akral dingin

: Bunyi Jantung I - II normal, M1> M2, A1<A2, P1< P2, gallop (-), bising (-). : datar, venektasi tidak ada : lemas, turgor kembali sepat, hepar tak teraba, lien = So : timpani, pekak sisi normal, pekak alih : bising usus normal : : perempuan, dalam batas normal superior -/-/-/<2 inferior -/-/-/<2

Capillary refill Kesan : anak sehat Denah Rumah 5m

Toko Ruang tamu Kamar tidur Kamar tidur


Kamar mandi WC

10 m

Dap ur
O. BAGAN PERMASALAHAN

Agent

Lingkungan - perumahan - higiene sanitasi Tonsilitis difteri Gizi Kurang

Perilaku Pendidikan Diagnosis Kuratif

daya tahan

Intervensi : - Promotif - Preventif

Asuh Asih Asah Tumbuh Kembang Optimal


BAB III PEMBAHASAN

A. DIAGNOSIS 1. Tonsilitis Difteri Difteri merupakan infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, yang sering diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran pada kulit dan/ mukosa dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.1,2,3,4,5 Difteri merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan Neisser kuman (dapat dilihat dengan preparat langsung dari usapan pseudomembran) tampak dalam susunan palisade, bentuk V atau L atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa tumbuh dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media loeffler.1,2,3 Terdapat 3 jenis utama C. Diphteriae yaitu gravis, mitis, dan intermedia. Ketiga jenis ini dapat menghasilkan eksotoksin yang merupakan penyebab timbulnya gejala umum maupun lokal. Dari ketiga jenis ini yang mempunyai virulensi tinggi yaitu jenis gravis dan intermedia.1,2,3,4,5 Pseudomembran yang dihasilkan sukar diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil. Eksotoksin yang dihasilkan sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan yang khas pada jaringan terutama otot jantung, ginjal (nekrosis tubular akut), dan jaringan syaraf. Difteri ditularkan melalui kontak dengan pasien atau carier dengan cara droplet melalui batuk, bersin dan berbicara. Muntah dan debu bisa merupakan wahana penularan. Kuman setelah masuk melalui mukosa/kulit, melekat dan berkembang biak pada permukaan mukosa saluran pernafasan bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta melanjutkannya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.1,3,4,5 Klasifikasi berdasarkan berat-ringannya penyakit (Beach dkk 1950), yaitu : 1. Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau faucial dengan gejala hanya nyeri telan. 2. Infeksi sedang : pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif. 3. Infeksi berat : disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat yang hanya dapat diatasi oleh trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis, ataupun nefritis, faucial yang disertai bull neck. 1,5 Gejala klinis : Tonsilitis difteri paling sering dijumpai ( 75%). Masa tunas 2 7 hari, gejalanya anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri telan. Dalam 1 2 hari kemudian timbul membran yang melekat , berwarna putih keabuan dapat menutupi tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke laring dan trakea. Usaha untuk melepaskan membran hanya akan menimbulkan perdarahan karena pecahnya kapiler. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bull neck. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. 1,3,4,5,10 Diagnosis Harus ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan klinis, oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Breneman dan Mc Quarrie (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan di luar tonsil dapat dianggap sebagai difteri, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membran yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dianggap sebagai difteri. Preparat langsung biasanya dibuat dari basis eksudat atau membran yang kemudian diberi pewarnaan biru metilen atau biru toluidin. Kultur yang negatif belum menyingkirkan infeksi difteri (Nelson). 5 Bila membran tampak cepat menyebar walaupun biakan atau sediaan langsung negatif, maka pengobatan harus segera diberikan. 1,5 Pada kasus yang berat dapat dijumpai tanda tanda sumbatan jalan nafas. Tingkat keparahan sumbatan jalan nafas ditentukan dengan dengan derajat Jackson Jackson I : ditandai dengan gejala sesak nafas, stridor inspirasi, retraksi suprasternal, dan keadaan umum masih baik. Jackson II : jackson I dengan retraksi epigastrium dan penderita mulai gelisah. Jackson III : jackson II dengan retraksi interkostal. Penderita berusaha semaksimal mungkin untuk menghisap udara (air hunger). Biasanya penderita dalam keadaan syok.5

DIAGNOSIS BANDING 1. Tonsilitis folikularis atau lakunaris Terutama bila membran masih berupa bintik binik putih. Biasanya panas yang tinggi, tidak terlalu lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh, dan lembek, tidak mudah berdarah, dan hanya terdapat pada tonsil saja. 2. Angina Plaut Vincent Membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau, dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif). 3. Infeksi oleh mononukleosis Kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat pengingkatan monosit dalam darah tepi.1,2,3,4,5,10 Pada pasien ini diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan dari anamnesis yaitu didapatkan data anak panas terus menerus, batuk, dahak, bila nafas dari mulut, anak tidurnya ngorok yang sebelumnya tidak pernah, nyeri waktu menelan, dan suara menjadi serak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada leher terdapat pembesaran nnll +/+ submandibular dan bull neck, tenggorok didapatkan T3-3, hiperemis, pseudomembran putih keabuan, membran sukar dilepas dan mudah berdarah bila dilepas (di UGD dilakukan penglepasan membran dan berdarah), pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukositosis, hasil EKG didapatkan kesan tidak terdapat blok sebagai tanda miokarditis. Hasil pemeriksaan swab tenggorok I didapatkan C.diphtheriae (+)/positif. Dari hasil keseluruhan pemeriksaan yang telah dilakukan diagnosis tonsilitis difteri dapat ditegakkan. Dari hasil pemeriksaan swab tenggorok II dan III, tidak didapatkan adanya kuman C.diphtheriae, penderita dapat keluar dari ruang rawat isolasi setelah didapatkan hasil negatif dari swab tenggorok dua kali berturut turut (seharusnya keluar dari rawat isolasi dilakukan bila hasil swab tenggorok 3 kali berturut turut negatif). Hal ini menunjukkan adanya perbaikan secara laboratoris. Secara klinis keadaan umum anak aktif, sudah tidak didapatkan keluhan nyeri telan, anak tidur sudah tidak mengorok, panas menurun dan menjadi normal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran nnll. submandibula sudah mengecil (bull neck), tenggorokan T 2 2, pseudomembran putih keabuan sudah hilang. 2. Gizi Kurang Tingginya angka kurang gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi perekonomian yang tidak memungkinkan orangtua untuk memberikan makanan bergizi tinggi kepada anak anaknya, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan mengenai pentingnya asupan gizi memadai selama anak masih dalam proses tumbuh kembang. Dampak dari kekurangan asupan gizi pada anak adalah terjadinya penurunan daya tahan tubuh pada anak yang terutama yang disebabkan oleh kekurangan protein. Akibatnya anak akan mudah terkena infeksi, anak yang kurang gizi akan kesulitan untuk mengikuti aktivitas rekan sebayanya atau menjadi kurang lincah. Dampak lain menyebabkan kerusakan indra penglihatan, kurang semangat, kelambanan pertumbuhan badan. 6,11,12 Penilaian status gizi dilakukan dengan cara : a. Anamnesis untuk menilai kualitas dan kuantitas makanan. b. Klinis dengan melihat tanda-tanda gizi kurang (rambut tipis, kemerahan, mudah dicabut, atropi otot dan oedem). c. Penilaian antropometri dengan parameter baku Z score, NCHS / WHO d. Pemeriksaan penunjang laboratorium berupa kadar Hb, jumlah protein (albumin) dan kolesterol, hormon tiroid, dan transferin.8,12 Dalam menilai kondisi kurangnya asupan gizi pada anak, dapat dilihat dari tidak proporsionalnya perbandingan antara berat badan anak dengan usia dan tinggi badannya. Pada pasien ini status gizi digunakan ketentuan Z score yaitu menilai dari WAZ (berat badan menurut umur), HAZ, (tinggi badan menurut umur), dan WHZ (berat badan menurut tinggi badan). Adapaun cara menghitung status gizi dengan cara Z score : 1). Bila nilai riel hasil pengukuran nilai median BB/U, TB/U, atau BB/TB maka rumusnya : Z Score =

nilai riel - nilai median SD UPPER nilai riel - nilai median SD LOWER
< -3SD Gizi buruk Sangat pendek Sangat kurus

2). Bila nilai riel hasil pengukuran < nilai median BB/U, TB/U, atau BB/TB maka rumusnya : Z Score =

Penilaian status gizi pada anak dengan cara Z - score Simpangan Dasar (SD) > +2 SD -2 s/d +2 SD -3 s/d < -2 SD WAZ Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang HAZ Jangkung Normal Pendek WHZ Gemuk Normal Kurus

Pada pasien ini setelah dilakukan pengukuran BB dan PB dibandingkan umur kemudian dinilai status gizi anak dengan cara Z score didapatkan nilai 10,3 14,6 WAZ = = -2,86 1,5

90 96 = -1,58 3,9 10,3 12,9 WAZ = = -2,36 1,1 Dari penghitungan dengan Z score didapatkan kesan status gizi anak saat ini gizi kurang. Pengelolaan kurang gizi pada intinya adalah: terapi diet dengan protein dan energi tinggi, memberikan perhatian penuh terhadap koreksi cairan dan keseimbangan elektrolit, penyuluhan kesehatan, gizi,dan higiene sanitasi. Syarat diet penderita kurang gizi antara lain: nilai gizi sesuai dengan pasien, mudah dicerna dan tidak merangsang lambung, porsi kecil tapi sering, dapat diterima pasien dan disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dengan tetap memperhatikan kandungan gizi.
HAZ = 3. Anemia Mikrositik Hipokromik Anemia adalah suatu keadaan yang menggambarkan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit kurang dari normal sesuai umur dan jenis kelamin. WHO 1972 menetapkan kriteria anemia untuk anak umur 6 bulan sampai 6 tahun adalah kadar Hb < 11 gr%.5 Keluhan anemia pada umumnya yaitu pucat, pusing, palpitasi, mudah lelah, mudah tersinggung dan kreativitas kurang, lesu. Pemeriksaan fisik didapatkan dari keadaan umum, konjungtiva palpebra, bibir, lidah, mulut, jantung, paru, hati, limpa dan ekstremitas. 5 Bentuk sel darah merah Makrositik Normositik Ringan Mikrositik hipokrom MCV >94 80-90 <80 <80 MCHC >30 >30 <30 >30

Yang termasuk anemia mikrositik hipokromik adalah anemia defisiensi besi dan thalasemia. Pada umumnya penyebab defisiensi besi sebagai akibat dari keseimbangan negatif antara masukan besi, kebutuhan, dan pengeluaran. Pada masa pertumbuhan cepat seperti pada masa bayi, balita, dan remaja keseimbangan besi yang positif sulit dipertahankan. Volume darah yang meningkat, sesuai dengan pertumbuhan yang cepat berhubungan dengan peningkatan kebutuhan besi. Sebagian besar defisiensi besi terjadi karena sebab langsung rendahnya kandungan besi dalam diet terutama rendahnya bioavailabitias besi. Diet yang kaya besi bukan satu satunya indikator kecukupan besi, karena jumlah besi yang diserap dipengaruhi oleh substansi yang memacu dan menghambat absorbsi besi. Bahan makanan yang menghambat absorbsi seperti teh, kopi, kedelai, kacang, kuning telur, bayam, sedangkan yang meningkatkan absorbsi besi seperti vitamin C, daging, ikan, makanan yang telah difermentasikan. 9,14 Kekurangan besi ada tiga tahap, yaitu stadium prelaten (hanya terdapat cadangan besi yang kosong), stadium laten (cadangan besi kosong, serum besi turun, TIBC meningkat, hematokrit masih baik), dan stadium anemia (cadangan besi kosong, serum besi turun, TIBC meningkat, hematokrit menurun).14 Thalasemia merupakan sindrom dari penyakit yang diturunkan secara herediter menurut hukum Mendle dengan karakteristik adanya hambatan sintesa satu atu lebih rantai polipeptida dari hemoglobin disertai perubahan bentuk eritrosit (khas terdapat sel target). Cenderung dicurigai bila dijumpai kasus anemia mikrositik hipokromik yang telah diberi pengobatan besi tidak memberikan respon. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai wajah mongoloid, ikterus, pcat menyeluruh, nyeri sendi, nyeri perut akibat pembesaran limpa, perubahan tulang wajah mirip binatang pengerat (rodent like facies), dapat terjadi fraktur patologis karena penipisan kortek, gambaran hair end appereance atau brush appereance.9,14 Pada pasien ini dari anamnesis hanya didapatkan anak terlihat lemas, lesu, dan sakit kepala sedangkan dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan tanda tanda anemia. Diagnosis anemia mikrositik hipokromik ditegakkan dari pemeriksaan laboratorium darah, yaitu nilai MCV : 79,0 fl, MCH : 25,3 pg, MCHC : 32 g/dl. B. PENGELOLAAN 1. Tonsilitis Difteri a. Aspek Keperawatan Anak di rawat dalam kamar isolasi untuk menghindari penularan terhadap orang lain dan istirahat untuk mencegah komplikasi. Ruang isolasi yang harus selalu terjaga kebersihannya, upaya pencegahan penularan harus diperhatikan dengan baik. Perlu memakai jas anti penularan (jas harus selalu berada di ruang isolasi) dan masker. b. Aspek Dietetik Dietetik berupa makanan cukup kalori dan protein disesuaikan dengan umur dan status gizi penderita, berupa makanan lunak/cair dan banyak minum. Makanan yang merangsang seperti makanan pedas, panas atau dingin dilarang. c. Aspek Medikamentosa Antitoksin (DAT)

Pemberian difteri antitoksin ini harus segera diberikan sebelum ada hasil laboratorium karena antitoksin ini dapat mengikat toksin yang beredar dalam darah. Sebelum diberikan harus dilakukan tes kulit atau mata, karena pemberian DAT dapat terjadi reaksi anafilaktik sehingga harus disediakan adrenalin. Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml DAT dalam larutan fisiologis 1 : 1000 intrakutan, hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Tes mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam larutan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Pada pasien ini termasuk difteri derajat berat karena dari pemeriksaan fisik didapatkan bull neck sehingga diberikan DAT dengan dosis 120.000 IU diberikan dalam 1 kali pemberian secara intravena. Antibiotik Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk eradikasi kuman difteri supaya tidak menghasilkan eksotoksin lagi. Pada pasien ini diberikan Prokain Penisilin (PP) dengan dosis 500.000 IU secara intramuskuler. Pada pasien ini diberikan PP selama 6 hari 1 kali setiap harinya. Obat simtomatis Diberikan parasetamol syrup 3 x 1 cth selama anak panas tinggi. Untuk mengistirahatkan pasien diberikan obat sedative yaitu luminal 3 x 10 mg/hari. Pemberian prednison 3 x 5 mg/hari ditujukan untuk mengurangi mencegah terjadinya miokarditis dan mengurangi inflamasi dari bull neck. d. Aspek Edukatif Memberikan penjelasan bahwa penyakit difteri ini sangat menular sehingga harus menjaga kontak langsung dengan penderita. Menjaga kebersihan dan higienitas supaya tidak menular kepada orang lain. 2. Gizi Kurang Diet yang diberikan pada anak ini disesuaikan dengan berat badan anak dan keadaan anak dimana anak nyeri menelan. Maka pada anak ini diberikan diet 3 x lunak lauk saring (LLS) dan 3 x 200 cc susu. Kebutuhan 24 jam Iin Infus D5% 3 x LLS 3 x 200 cc susu Total AKG Cairan (cc) 1000 530 150 600 1280 128 % Kalori (kkal) 1000 100 588,5 366 975,5 97,5 % Protein (gram) 40 22,73 18,6 41,33 103 %

3. Anemia Mikrositik Hipokromik Pada anak ini perlu diberikan suplemen besi 6 mg/KgBB/hari, tetapi karena masih terdapat infeksi pada anak ini sehingga pemberian suplemen besi ditunda. Diberikan roboransia Vitamin B komplek 3 x 1 tab dan Vitamin C 3 x 1 tab. C. PROGNOSIS Prognosis pada pasien ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah baik (ad bonam) oleh karena tidak ada komplikasi miokarditis dan tidak ada penyulit lain. Pasien segera mendapatkan pengelolaan yang cepat sebelum terjadinya komplikasi miokarditis. Prognosis untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah baik (ad bonam) yang tampak dari keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan swab tenggorok yang berturut turut 2x negatif menunjukkan adanya perbaikan. Prognosis membaiknya fungsi tubuh (quo ad fungsionum) adalah baik (ad bonam) karena pada penderita ini tidak ditemukan tanda-tanda adanya sekuele. BAB IV RINGKASAN Telah dilaporkan kasus seorang anak perempuan umur 3 tahun 3 bulan dengan tonsilitis difteri yang dirawat di bangsal C1LII ruang isolasi bagian anak RSDK, dirawat selama 6 hari sejak tanggal 9 April 2004. Dari anamnesis didapatkan 4 hari yang lalu anak panas nglemeng terus menerus, lemah, lalu dibawa ke klinik 24 jam dan diberi obat puyer (9 buah) dimakan 3 kali sehari, tetapi tidak ada perbaikan. 1 hari SMRS anak panas nglemeng terus menerus, batuk (+), dahak (+), pilek (+), nyeri menelan, anak sulit makan, lemas dan lesu, sakit kepala (+), bila bernafas lewat mulut, bila tidur anak mengorok yang sebelumnya tidak pernah,. Lalu anak dibawa ke klinik 24 jam dan disarankan untuk rawat inap (dirujuk). Anak belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini. Kesan : sosial ekonomi kurang Penyakit yang pernah diderita

Batuk, pilek, dan diare Riwayat imunisasi Imunisasi dasar sudah lengkap Imunisasi ulangan belum diberikan Perkembangan dan pertumbuhan Sesuai umur Makanan dan minuman Kualitas cukup dan kuantitas cukup Pemeliharaan prenatal dan posnatal Prenatal : periksa di bidan > 5x, TT 2x, obat yang diminum vitamin & penambah darah. Postnatal : periksa di bidan dan keadaan anak sehat. Pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum : sadar, kurang aktif Leher : simetris, pembesaran nnll (+), bull neck Tenggorok : T3-3, hiperemis, pseudomembran putih keabuan (+) Pemeriksaan laboratorium dan penunjang Kesan : leukositosis, anemia mikrositik hipokromik, dan trombositopenia, Hasil EKG : tidak terdapat blok sebagai tanda miokarditis Pemeriksaan antropometri WAZ = -2,86, HAZ = -1,58, WAZ = -2,36 Kesan gizi kurang Pada penderita ini di diagnosis tonsilitis difteri, gizi kurang, dan anemia mikrositik hipokromik. Kemudian dilakukan pengelolaan terhadap penyakitnya, meliputi : rawat di ruang isolasi, O 2 28% l/mnt, Infus D5% 480/5/5 (+ NaCl 5% 25 cc dan + KCl otsuka 21 cc), Injeksi DAT 120.000 IU iv (tes), Injeksi PP 500.000 IU iv (tes), PO : Luminal 3 x 10 mg, Prednison 3 x 5 mg, Paracetamol syrup 3 x 1 cth (prn), Vitamin B komplek 3 x 1 tab, Vitamin C 3 x 1 tab, Diet : 3 x unak lauk saring (LLS) dan 3 x 200 cc susu. DAFTAR PUSTAKA 1. Basuki PS, Dipteri. Dalam : Soedarmo SSP, Garno H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi Pertama. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2002 : h. 331 343. 2. Mansjoer A, Suprohaita, Wardheni WA, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. Bag. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius FKUI, 2000 : h. 430 432. 3. Nelson WE, Kliegman RM, Arvin Amfoterisin B. Editor edisi bahasa Indonesia Wahab AS. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2. Jakarta : EGC, 1999 : h. 954 959. 4. Hasan R, Alatas H. Buku Klinik Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta : FKUI, 1985 : h. 550 556. 5. Hartantyo I, Susanto R, Tamam M, dkk. Pedoman Pelayanan Medik Anak. Edisi kedua. Semarang : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP, 1992 : hal 10 13. 6. Malnutrisi Masih Merupakan Masalah Kesehatan Balita. http://english.koalisi.org/kampanye/kampanyeview.php? seq=66. 7. Gizi Buruk Mengancam Anak Indonesia. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210. 8. Pudjiadi S. Ilmu gizi klinis pada anak. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1997. 9. Susanto JC. Anemia Defisiensi Besi. Semarang : Sub Bagian Gizi FK UNDIP/RS Dr. Kariadi 10. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002 ; hal 181 182. 11. Fakta fakta Mengenai Kelaparan. http://www.languages-on-the-web.com/hunger/hung-ind-eng.htm. 12. Malnutrisi. http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=10&iddtl=628#penyebab.

You might also like