You are on page 1of 25

HIV / AIDS ( Definisi dan Patofisiologi )

Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV tergolong dalam kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk mengkopi-cetak materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel yang ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T-4. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV. Terdapat 2 jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia dan Afrika Tengah, Selatan dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. Perjalanan Alamiah Penyakit

Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya

mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi. Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut periode jendela (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIVtetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif.
Taken from: http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/04/hiv-aids-definisi-dan-patofisiologi.html
PATOGENESIS dan PENATALAKSANAAN AIDS 1. Patogenesis Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human lmmunodeficiency Virus (HIV) .Virus ini pertama kali diisolasi oleh Hontagnier dan kawan-kawan di Francis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi virus yang sama dengan nama Human T. Lymphotropic Virus I (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasioanl pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. Human lmmunodeficiency virus adalah sejenis Retrovirus RNA (gambar. 1). Dalam bentuknya yang asli merupakan partikal yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit karenanya mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel lymfosit virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap , infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat di tularkan selama hidup penderita tersebut. Padahal, genetika orang yang terinfeksi memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal terhadap beberapa galur HIV. Contohnya adalah orang dengan mutasi CCR5-32 (delesi 32 nukleotida pada gen penyandi reseptor chemokine CCR5 yang mempengaruhi fungsi sel T) yang kebal terhadap beberapa galur HIV. HIV bervariasi secara genetik dan memiliki berbagai galur atau bentuk yang berbeda dan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda (Wikipedia,2008). Gambar 1. Human lmmulodeficiency Virus (HIV) (www.e-dukasi.net, 2005 ) Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelope). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic acid). enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus yang sensitif terhadap

pengaruh lingkungan seperti air mendidihkan sinar matahari dan sudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosjt, makrofag,(gambar. 2) dan sel gelia jaringan otak. Gambar 2. HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.(Wikipedia, 2008). Retrovirus lain yang juga menyebabkan sindrome menurunnya sistem kekebalan tubuh seperti yang disebabkan oleh HIV (HIV-I) telah diisolasi dari penderita dengan gejala seperti AIDS di Afrika barat oleh Montagnier dan kawan-kawan yang kemudian dinamakan HIV-2 virus HIV-2 mempunyai perbedaan dengan HIV-I, baik genetik maupun antigenetik. Virus AIDS (HIV) dapat menghindar bahkan mampu melumpuhkan sistem kekebalan tubuh (immune system), yaitu sistem pertahanan tubuh yang selalu timbul bila tubuh dimasuki benda asing. Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus.RNA dari HIV mulai membentuk DNA dalam struktur yang belum sempurna, disebut proviral DNA, yang akan berintegrasi dengan genome sel induk secara laten (lama). Karna DNA dari HIV bergabung/integrasi dengan genome sel induknya (limfosit T helper) maka setiap kali sel induk berkembang biak, genom HIV tersebut selalu. ikut memperbanyak diri dan akan tetap dibawa oleh sel induk ke generasi berikutnya. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa sekali mendapat infeksi virus AIDS maka orang tersebut selama hidupnya akan terus terinfeksi virus, sampai suatu saat (bagian LTR) mampu membuat kode dari messenger RNA (cetakan pembuat gen) dan mulai menjalankan proses pengembangan partikel virus AIDS generasi baru yang mampu ke luar dan sel induk dan mulai menyerang sel tubuh lainnya untuk menimbulkan gejala umum penyakit AIDS (full blown). Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut, dimulai dengan masa induksi (window period), yaitu penderita masih tampak sehat, dan hasil pemeriksaan darah juga masih negatif, Setelah 23 bulan,perjalanan penyakit dilanjutkan dengan masa inkubasi, yaitu penderita masih tampak sehat, tetapi kalau darah penderita kebetulan diperiksa (test ELISA dan Western Blot) maka hasilnya sudah positif. Lama masa inkubasi bisa 510 tahun tergantung umur (bayi lebih cepat) dan cars penularan penyakit (lewat transfusi atau hubungan seks). Kemudian penderita masuk ke masa gejala klinik berupa ARC (AIDS Related Complex) seperti misalnya : penurunan berat badan, diare) dan akhirnya dilanjutkan dengan gejala AIDS dimana mudah mendapat infeksi oportunistik (gambar. 3) (yaitu suatu kondisi di mana tubuh dapat menderita suatu infeksi oleh kuman yang normalnya tidak menyebabkan penyakit, misalnya Pneumocystis carinii, jamur) atau bertambah beratnya suatu penyakit yang semula hanya ringan saja (tbc). Sehingga pada permulaan penyakit penderita AIDS sulit didiagnosis secara Minis, bahkan dapat meninggal tanpa diketahui penyakitnya. (Fazidah agustina siregar, 2004)

Gambar 3. Hubungan antara Infeksi oportunistik dengan hitung CD4 (www.majalah-farmacia.com, 2006) 2. PENATALAKSANAAN Pemerintah Indonesia dalam strategi penanggulanagan membagi Area prioritas penanggulangan HIV dan AIDS untuk tahun 2007-2010 adalah sebagai berikut: 1. Pencegahan HIV dan AIDS; 2. Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA; 3. Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi menular Seksual; 4. Penelitian dan riset operasional; 5. Lingkungan Kondusif; 6. Koordinasi dan harmonisasi multipihak; 7. Kesinambungan penanggulangan (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007) Penatalaksanaan penderita sebaik-baiknya, meliputi pengobatan adekuat bagi penderita, mencegah lebih memburuknya keadaan penyakit, serta menjaga agar penderita tidak menjadi sumber penularan bagi lingkungannya/masyarakat. Maka tindakan yang dipilih harus termasuk mengindentifikasi program-program perawatan dan pencegahan yang berhasil guna, mehingkatkan kemampuan dan memperluas penelitian mengenai terapi dan vaksinasi tanpa melakukan berbagai diskriminasi bagi penderita. a. Melindungi penderita dari infeksi Keadaan infeksi akan merangsang proliferasi sel limfosit T4 yang telah terinfeksi oleh HIV, termasuk virus yang telah menginvasi sel tersebut. Aktivitas sistem kekebalan penderita infeksi HIV ini harus diusahakan tidak meningkat supaya replikasi virus tidak berlangsung cepat. Perlu bimbingan dan informasi guna meningkatkan kualitas kesehatan secara fisik dan psikologik. b. Pengobatan penderita Proses infeksi HIV berada pada stadium yang berbeda-beda, sehingga pengobatannyapun dapat dibagi tujuannya : Terhadap virus, guna menghambat proses infeksi dan replikasi HIV. Memperbaiki sistem imunitas tubuh. Pengobatan terhadap keganasan dan infeksi oportunistik. a) Obat-obat anti virus Obat ini ditujukan kepada tahap-tahap infeksi dan replikasi HIV, sehingga harus mempunyai kemampuan menghambat reseptor CD4, menghambat antigen envelope HIV, merubah fluiditas membran plasma sel, menghambat enzim reverse transcriptase, merusak transkripsi proses pasca transkripsi dan translasi virus, merusak tahap akhir pembentukan dan pelepasan virus baru. Sampai saat ini belum ditemukan obat antivirus yang aman dan efektif bagi penderita. Obat antivirus yang ideal oleh karena hams dipakai dalam jangka panjang bahkan seumur hidup, hendaknya memenuhi kriteria: toksisitas rendah, mempunyai spesifisitas tinggi untuk HIV dan sel yang terinfeksi, melindungi sel yang belum terinfeksi, dapat menembus cairan serebrospinal, dapat diabsorpsi pada pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang panjang. Obat-obatan yang banyak digunakan saat ini bersifat menghambat enzim reverse transcriptase. Zidovudine (AZT, Retrovir, Azidotimidin) saat ini banyak dipakai untuk memperlambat perkembangan ke arah full-blown AIDS. Perkembangan infeksi HIV memang diperlambat, tetapi pemberian kepada penderita yang asimtomatik ternyata tidak lebih bermanfaat. Pemberian lebih awal memperlambat penurunan jumlah CD4, tetapi efek samping berupa toksisitas hematologik juga lebih berat. Pedoman saat dimulainya pemberian zidovudine di Indonesia adalah kepada penderita AIDS, atau penderita asimtomatik dengan kadar CD4 kurang dari 500/dl. Dosis bagi penderita dengan berat

badan 40-50 kg adalah 300-400 mg/hari. Golongan nukleosid lainnya yang efektif tetapi cepat menimbulkan resistensi adalah zalcitabine (ddC) dan didanosine (ddI) yang keduanya mempunyai efek samping berupa neuropati perifer sensorik. Maka terapi kombinasi antara zidovudine, ddI dan ddC akan mengatasi cepatnya resistensi dan terjadinya efek samping. Obat non nukleosida yang juga bekerja dengan cara yang sama antara lain nevirapin, suramin, antimoniotungstat, fosfono dan rifabutin. ART dengan kombinasi tiga obat, yang sering disebut terapi antiretroviral yang sangat manjur (highly active antiretroviral therapy/HAART). Terapi ini umumnya mencakup dua jenis obat dari golongan yang disebut NRTI, dan satu dari golongan NNRTI atau satu dari golongan protease inhibitor (PI). NRTI yang paling tersedia di Indonesia adalah AZT, 3TC, ddI dan d4T. Kombinasi dua apa pun dari obat ini dapat dipertimbangkan sebagai dasar ART, kecuali AZT + d4T--kedua obat ini tidak boleh dipakai sekaligus. ddI dan d4T dapat mengakibatkan neuropati perifer (lihat LI 555), jadi mungkin sebaiknya tidak memakai kedua obat ini sekaligus. Dua kombinasi yang sering dipakai adalah AZT + 3TC dan d4T + 3TC. Bila terjadi kegagalan terapi pada waktu tertentu di masa depan akibat munculnya virus yang resistan, kita harus mengganti semua obat dalam kombinasi dengan obat baru. Jadi waktu kita ambil keputusan tentang kombinasi apa yang akan kita pakai pada awal terapi, kita sebaiknya mempertimbangkan pilihan seumpamanya terapi ini gagal. Karena itu, beberapa dokter mengusulkan mulai dengan AZT + ddI (plus satu obat lain), dan mencadangkan d4T + 3TC untuk pilihan berikut atau sebaliknya memulai dengan d4T + 3TC dengan AZT + ddI sebagai cadangan. Saat ini, pilihan utama obat ketiga untuk kombinasi ARV di Indonesia adalah nevirapine atau efavirenz dari golongan NNRTI. NNRTI biasanya lebih mudah dipakai dibandingkan PI. Umumnya NNRTI mengakibatkan lebih sedikit efek samping dan jauh lebih murah. Pilihan lain adalah nelfinavir dari golongan PI, tetapi ini jauh lebih mahal pada saat ini. b) Obat imunomodulator Imunomodulator yang dikombinasikan bersama obat antivirus, diperkirakan memberi basil yang lebih baik, tetapi belum cukup efektif. Obat-obatan yang sedang dalam penelitian efektivitasnya masih diperdebatkan, adalah: limfokin : interferon gama dan alfa, interleukin-2, tumor necrosis factor serta lymphokine inducers human granulocyte colony stimulating facto transplantasi sumsum tulang imunisasi pasif, misalnya dengan antibodi p24 imunisasi aktif dengan HIV hidup yang dijinakkan levamisole, yaitu obat cacing yang mampu merangsang fungsi makrofag dan melepaskan interferon. c) Obat infeksi oportunistik Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita. Pneumonia pneumocystiscarinii saat ini memperoleh obat baru yang efektif dan cukup aman yaitu 566C89. Candida oesophagitis lebih responsif terhadap flukonazol dibandingkan dengan ketokonazo1Wernicke;s encephalopathy dapat diatasi dengan pemberian tiamin secara rutin d) Pengobatan keganasan Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan. Pegobatan baru untuk HIV a. Enzim recombinase hasil rekayasa genetic Enzim hasil rekayasa genetik yang disebut Tre recombinase dapat menghilangkan unsur genetik HIV yang sudah masuk ke dalam genom sel induk. DNA HIV masuk ke dalam kromosom induk dan bertahan sebagai provirus dengan long terminal repeat (LTR). Dalam penelitian laboratorium, para peneliti membentuk enzim recombinase yang disesuaikan dengan susunan asimetrik dalam LTR HIV. Karena recombinase yang terjadi secara alami tidak mengenal

susunan genetik virus, para peneliti mengambil enzim Cre recombinase yang dimutasi berturut-turut dari bakteriofag yang mengenal bentuk DNA yang lebih mirip dengan HIV. Kemudian mereka menunjukkan bahwa recombinase hasil rekayasa ini bertindak sebagai gunting molekul secara efisien mampu menghilangkan DNA proviral HIV dari genom sel yang terinfeksi. Walaupun sejauh ini Tre baru diuji coba dalam sel jaringan biakan, temuan ini menjadi dasar teknis terhadap pendekatan terapeutik baru untuk HIV. (Liz Highleyman, 2007) c. Perawatan penderita Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus. Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena bahan/sampah penderita. d. Pencegahan Kegiatan pencegahan bagi kemungkinan penyebarluasan AIDS dapat dilakukan dengan tujuan: a) Mencegah tertular virus dari pengidap HIV b) Mencegah agar virus HIV tidak tertularkan kepada orang lain Mencegah agar tidak tertular virus HIV Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh virus HIV ini adalah : 1) Berperilaku seksual secara wajar Risiko tinggi penularan secara seksual adalah para pelaku homoseksual, biseksual dan heteroseksual yang promiskuitas. Penggunaan kondom pada hubungan seks merupakan usaha yang berhasil untuk mencegah penularan; sedangkan spermisida atau vaginal sponge tidak menghambat penularan HIV 2) Berperilaku mempergunakan peralatan suntik yang suci hama penularan melalui peralatan ini banyak terdapat pada golongan muda pengguna narkotik suntik, sehingga rantai penularan harus diwaspadai. Juga penyaringan yang ketat terhadap calon donor darah dapat mengurangi penyebaran HIV melalui transfusi darah 3) Penularan lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal. Seorang wanita hamil yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada janinnya sebesar 50%. Mencegah kemungkinan menularkan kepada orang lain Cara ini meliputi bimbingan kepada penderita HIV yang berperilaku seksual tidak aman, supaya menjaga diri agar tidak menjadi sumber penularan. Pengguna narkotik suntik yang seropositif agar tidak memberikan peralatan suntiknya kepada orang lain untuk dipakai; donor darah tidak dilakukan lagi oleh penderita seropositif dan wanita yang seropositif lebih aman bila tidak hamil lagi. e. Konseling Konseling adalah proses yang dapat membantu seseorang untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan baik. Cara ini dapat membantu penderita, keluarga, serta orang lain yang berhubungan, untuk mengatur masalah yang ada. Kegiatan konseling biasanya dilakukan oleh seorang psikolog dengan program berbeda-beda tergantung kepada keadaan sebagai berikut : a) Orang yang sehat atau masih sehat, yang berarti belum terinfeksi HIV, tetapi merasa risau oleh

karena menyadari bahwa perilakunya di masa lalu menjurus kepada kemungkinan penularan. b) Telah terinfeksi HIV, dengan kemungkinan telah mengetahui bahwa dia seropositif, atau belum mengetahui keadaan seropositif oleh karena belum memeriksakan darahnya. c) Telah menunjukkan gejala sakit AIDS ringan atau berat, seperti ARC atau full-blown AIDS. (Dr.S.C. Kurniati)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. HIV/AIDS treatment: antiretroviral therapy. [serial on line]. httpwww.euro.who.intdocumentmediacentrefs0603e.pdf Anonim. 2007. Apakah Pengobatan Aids itu. [srial on line]. http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://spiritia.or.id/cst/art/art4.gif Anonim. 2006. Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Indonesia. [serial on line]. httpwww.depkes.go.iddownloadshivaids%202007nasional.pdf Highleyman, Lis. 2007. Enzim recombinase hasil rekayasa genetik menghilangkan DNA HIV dari sel induk. [serial on line]. hivandhepatitis.com Kurniati, S.C. tanpa tahun. Berbagai Aspek Klinis AIDS dan Penatalaksanaannya. [serial on line]. http://www.kalbe.co.idfilescdkfiles05AspekKlinisAIDS98.pdf05AspekKlinisAIDS98.html Komisi Penanggulangan Aids. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 .httpwww.unmul.ac.idassetsfilesMicrosoft%20PowerPoint%20.pdf Laurie K. Doepel. Tanpa tahun. International HIV/AIDS Trial Finds [serial on line]. http://www.niaid.nih.gov/ Lea. IC mendeteksi HIV Dalam Waktu 15 Menit. [Serial On Line]. http://www.technologyindonesia.comuploadsnews_414.jpg Pohan, Herdiman Theodorus. 2006. Infeksi di Balik Ancaman HIV. [serial on line]. httpwww.majalahfarmacia.comrubrikone_news.aspIDNews=81.htm Siregar, fazidah agustina. 2004. AIDS dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia. [serial on linen]. httplibrary.usu.ac.iddownloadfkmfkm-fazidah5.pdf Susiloningsih, Agus. 2007. AIDS : Aspek Klinis, Permasalahan dan Harapan. [serial on line]. httpfkuii.orgtiki-read_article.phparticleId=31.htm Wikipedia. 2008. AIDS. [Serial On Line].http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS Taken from:

http://fiata-medica.blogspot.com/2008/06/patogenesis-dan-penatalaksanaan-aids-1.html

Manifestasi klinis HIV AIDS

Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditunjukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai Penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut : a. Rasa lelah dan lesu b. Berat badan menurun secara drastis c. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam d. Mencret dan kurang nafsu makan e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut f. Pembengkakan leher dan lipatan paha g. Radang paru h. Kanker kulit Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik : a. Manifestasi tumor diantaranya; 1) Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer. 2) Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi Oportunistik diantaranya

1) Manifestasi pada Paru a) Pneumonia Pneumocystis (PCP) Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam. b) Cytomegalo Virus (CMV) Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS. c) Mycobacterium Avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan. d) Mycobacterium Tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru. 2) Manifestasi pada Gastroitestinal Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan. c. Manifestasi Neurologis Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.

Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas I 1. Asimptomatik Asimptomatik , 2. Limfadenopati generalisata aktifitas normal II 1. 1. Berat badan menurun < 10 % Simptomatik , aktifitas 2. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan normal seperti , dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis ,ulkus oral yang rekuren ,kheilitis angularis 3. Herpes zoster dalam 5 tahun 4. terakhir 5. Infeksi saluran napas bagian atas seperti ,sinusitis bakterialis III 1. Berat badan menurun < 10% Pada umumnya lemah , 2. Diare kronis yang berlangsung aktivitas ditempat tidur 3. lebih dari 1 bulan kurang dari 50% 4. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan 3. Kandidiasis orofaringeal 4. Oral hairy leukoplakia 5. TB paru dalam tahun terakhir 6. Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis IV 1. HIV wasting syndrome seperti yang Pada umumnya sangat didefinisikan oleh CDC lemah , aktivitas 2. Pnemonia Pneumocystis carinii ditempat tidur lebih 3. Toksoplasmosis otak dari 50% 4. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan 5. Kriptokokosis ekstrapulmonal 6. Retinitis virus situmegalo 7. Herpes simpleks mukokutan >1 bulan 8. Leukoensefalopati multifocal progresif 9. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis 10. Kandidiasis di esophagus ,trakea , bronkus , dan paru 11. Mikobakterisosis atipikal diseminata 12. Septisemia salmonelosis non tifoid 13. Tuberkulosis diluar paru 14. Limfoma 15. Sarkoma Kaposi

16. Ensefalopati HIV


Taken from: http://gudangilmugigi.blogspot.com/2012/03/manifestasi-klinis-hiv-aids.html

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik,seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

- Penyakit paru-paru utama


Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi/jamur Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orangorang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L. Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit . Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.

- Penyakit saluran pencernaan utama


Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka. Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab, antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).

Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.

- Penyakit syaraf dan kejiwaan utama


Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. ~ Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. ~ Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. ~ Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.

- Kanker dan tumor ganas (malignan)


Sarkoma Kaposi. Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik,yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV). Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keunguunguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru. Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma

adalah tanda-tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi. Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.

Taken from: http://akukamukitajadidokter.blogspot.com/2011/06/gejala-tanda-tanda-dankomplikasi.html

Diagnosis dan Pemeriksan Laboratorium HIV AIDS


Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. Enam tahun kemudian (1989), AIDS sudah merupakan penyakit yang mengancam kesehatan anak di Amerika. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian pada lebih dari 8,000 orang setiap hari saat ini, yang berarti 1 orang setiap 10 detik. Karena itu infeksi HIV dianggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius. AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein dan Amman pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember 1989 di Amerika telah dilaporkan 1995 anak yang berumur kurang dari 13 tahun yang menderita AIDS dan pada bulan Maret 1993 terdapat 4.480 kasus. Jumlah ini merupakan l,5 % dari seluruh jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai tahun 1988 terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun anak-anak tertinggi di dunia adalah di Afrika terutama negara-negara Afrika Sub-Sahara. Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta orang; lebih dari 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya akibat AIDS. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS; 500,000 diantaranya adalah

anak di bawah umur 15 tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang dan berkembang; 700,000 diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka transmisi sebesar ini maka dari 37.8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2.1 juta anak-anak di bawah 15 tahun. Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

Sistem tahapan infeksi WHO

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang. CD4+ (sel/mm) jumlah RNA HIV per mL plasma jumlah limfosit T

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.bSistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang

Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis. Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

[sunting] Sistem klasifikasi CDC


Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini.bTahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per L darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per L darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.

Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi

antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju. Diagnosis HIV AIDS Pada Anak

Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup. Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.

Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji. Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.

Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASI Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui. Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.

Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibo di maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.

Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya. DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi. Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat ARV.

Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh.

Anak yang berumur lebih dari 18 bulan Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.

Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang mencapai sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan unutk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter membuat algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan menggunakan dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit berat. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi HIV. Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji virologik tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis presumtif ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk menilai apakah diperlukan pemberian ARV segera.

Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan dengan gejala dan tanda sugestif infeksi HIV, dapat digunakan pemeriksaan antibodi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis presumtif pada kondisi ini tidak dianjurkan karena pemeriksaan antibodi saja dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Beberapa kondisi seperti pneumonia pneumositis, kandidiasis esofagus, meningitis kriptokokus jarang terjadi pada anak yang tidak terinfeksi HIV.

Karenanya kondisi klinis seperti ini menjadi faktor penentu untuk pemeriksaan antibodi anti HIV.

Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak Metode Rekomendasi Tingkat rekomendasi/bukti Uji virologik( DNA, RNA, ICD) Untuk mendiagnosis infeksi pada bayi < 18 bulan ; uji inisial direkomendasi mulai umur 6-8 minggu A(I) Uji antibodi anti HIV Untuk mendiagnosis infeksi HIV pada ibu atau identifikasi paparan pada bayi A(I)

Untuk mendiagnosis infeksi pada anak > 18 bulan Untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV positif* * Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi maternal.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti: assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)

Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.

Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan. Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa. Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi

informasi dan membantu dalam penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.

Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun.

Siapa Yang Harus Tes HIV/AIDS Beberapa indikator yang dapat dijadikanseseorang harus menjalani tes HIV/AIDS:

Orang yang sering gonta-ganti pasangan seksual. Telah melakukan hubungan seks tidak aman dengan seseorang yang berisiko terinfeksi HIV. Menggunakan jarum suntik untuk keperluan obat, steroid, atau menggunakan jarum suntik secara bersamaan atau menggunakan alat-alat lain untuk narkoba. Memiliki penyakit menular seksual, penyakit hepatitis, atau tuberkulosis (TBC). Melakukan seks demi mendapatkan narkoba atau uang. Pernah melakukan hubungan seks dengan seseorang yang memiliki salah satu dari indikator di atasatau dengan pasangan dengan sejarah seksual yang tak pernah Anda ketahui sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Prevention. 1994 Revised classification system for human immunodeficiency virus infection in children less than 13 years of age; Official authorized addenda: human immunodeficiency virus infection codes and official guidelines for coding and reporting ICD-9-CM. MMWR 1994;43(No.RR-12):1-10

World Health Organization. Paediatric HIV and treatment of children living with HIV. Available at http://www.who.int/hiv/paediatric/en/index.html. Accessed 2006. World Health Organization. The World Health Report: Global Healthtodays challenges. Available at http://www.who.int/whr/2003/en/Chapter1.pdf.

Epocrates. Drug Information. Epocrates Online. Available athttp://www.epocrates.com/. Kovacs A, Scott GB. Advances in the management and care of HIV-positive newborns and infants. In: Pizzo PA, Wilfert CM. Pediatric AIDS: The Challenge of HIV Infection in Infants,

Children, and Adolescents. 3rd ed. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 1998:567-92.

Laude TA. Manifestations of HIV disease in children. Clin Dermatol. Jul-Aug 2000;18(4):457-67. Layton TL, Davis-McFarland E. Pediatric human immunodeficiency virus and acquired immunodeficiency syndrome: an overview. Semin Speech Lang. 2000;21(1):7-17. Nesheim S, Palumbo P, Sullivan K, Lee F, Vink P, Abrams E, Bulterys M. Quantitative RNA testing for diagnosis of HIV-Infected infants. J Acquir Immune Defic Syndr Wade AM, Ades AE. Age-related reference ranges: significance tests for models and confidence intervals for centiles. Stat Med. 1994 Nov 30;13(22):2359-67. Shearer WT, Rosenblatt HM, Gelman RS, Oyomopito R, Plaeger S, Stiehm ER, et al. Lymphocyte subsets in healthy children from birth through 18 years of age: the Pediatric AIDS Clinical Trials Group P1009 study. J Allergy Clin Immunol. 2003 Nov;112(5):973-80.

Taken from: http://hivaidsclinic.wordpress.com/2012/11/30/diagnosis-dan-pemeriksaan-laboratoriumhiv-aids/

OMBA MENULIS : Komplikasi Ide dalam Penanggulangan HIV/AIDS Di Indonesia


"tulisan ini saya dedikasikan untuk pemerintah dan pihak terkait yang telah bekerja keras dalam hal penggaulangan kasus HIV/AIDS di Indonesia. tulisan ini lebih menekankan ke inovasi ide karena saya ingin ambil ikut bagian dalam memberantas penyakit yang telah sistemik ini"

"dari 74 juta pemuda di Indonesia sebanyak 27 persen generasi muda terlibat dalam narkoba dan 20.9 persen terjerat dalam lingkaran pergaulan seks bebas. Ini bukan angka yang main-main, artinya sekitar 15 juta pemuda di Indonesia terlibat dalam kasus narkoba dan pergaulan seks bebas" (hal inilah yang mengilhami saya untuk membuat tulisan ini) PEKAN KONDOM NASIONAL 2012 "KOMPLIKASI IDE DAN LANGKAH STRATEGIS PENGGULANGAN HIV/AIDS DI INDONESIA"

Latar Belakang

Saat ini sex bebas dan narkoba menjadi gaya hidup bagi sebagian pemuda di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Tidak heran jika virus HIV dan AIDS di Indonesia merajalela. Dari total kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan pada semester pertama 2012 tercatat sebanyak 9.883 kasus HIV dan 2.224 kasus AIDS, 45 persen di antaranya diidap oleh generasi muda (Antaranews, 2012). Tentu hal ini menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi bangsa Indonesia sendiri. Selain untuk menanggulangi para pemuda yang sudah terinfeksi HIV dan AIDS bangsa Indonesia juga dihantui oleh buruknya kualitas sumber daya manusia (SDM) terutama kalangan pemuda. Bagaimana tidak dikatakan mempunyai kualitas yang buruk jika (BPS, 2010) menyebutkan bahwa dari 74 juta pemuda di Indonesia sebanyak 27 persen generasi muda terlibat dalam narkoba dan 20.9 persen terjerat dalam lingkaran pergaulan seks bebas. Ini bukan angka yang main-main, artinya sekitar 15 juta pemuda di Indonesia terlibat dalam kasus narkoba dan pergaulan seks bebas. Tentu ini menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia, terlebih lagi bahwa pemuda adalah sumber investasi yang berharga untuk estafet pembangunan negeri ini. Jika kita melihat secara keseluruhan berdasarkan laporan (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012) mengatakan bahwa hingga September 2012 jumlah pengidap HIV dan AIDS mencapai 33.136 jiwa, dimana 22.147 jiwa adalah laki-laki, 10.904 jiwa adalah perempuan sedangkan sisanya belum diketahui (85 jiwa). Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2011 lalu, dimana kasus HIV dan AIDS berjumlah 28.757 jiwa. Latar belakang kemajuan suatu daerah tidak menjamin daerah tersebut terhindar dari penyakit yang mematikan tersebut, justru daerah yang maju lebih rentan untuk terjangkit kasus ini. Hal ini sudah dapat dicerna, karena daerah maju tidak lepas dari hiruk pikuk globalisasi sehingga kecenderungan seks bebas dan narkotika akan lebih mudah diakses. Saat ini kasus HIV dan AIDS sudah menyebar di 33 provinsi di Indonesia, dimana kasus tertinggi periode September 2012 berada pada provinsi Papua dimana HIV 9,447 jiwa dan AIDS sebanyak 7,572 jiwa. Posisi kedua ternyata ditempati oleh ibu kota negara Jakarta dimana kasus HIV sebanyak 21,775 jiwa dan positif AIDS sebanyak 6,299 jiwa, yang kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Timur dengan HIV 11,994 jiwa dan AIDS sebanyak 5,257jiwa. Sedangkan posisi terendah (urutan 33) adalah Provinsi Sulawesi Barat yang hanya terdapat 30 jiwa pengidap HIV tanpa AIDS. Melihat kondisi dimana pemuda yang paling dominan dalam terinfeksi virus HIV/AIDS, belum lagi pergaulan pemuda yang tak kenal batas membuat saya sedikit terbersit untuk memberikan beberapa inovasi ide dalam penanggulangan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dampak Kemajuan dan Ketertinggalan Suatu Daerah Tidak dapat dipungkuri kemajuan dan ketertinggalan suatu daerah akan berdampak pada kondisi masyarakatnya. Kemajuan suatu daerah pada dasarnya mempunyai dampak pada kualitas pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, sarana dan prasarana yang lengkap, aksses informasi yang relatif mudah, begitu juga dengan akses penunjang sarana sosial lainnya seperti halnya kesehatan dan pendidikan yang begitu mudah. Namun daerah maju juga telah terkontaminasi dengan arus globalisasi. Jika suatu daerah dalam lingkup kecil, dan bangsa dalam lingkup yang lebih besar tidaak mempunyai filter yang baik maka daerah maju tersebut akan terkena berbagaai ancaman. Seks bebas dan pergaulan yang berlebihan hingga narkoba akan menjadi hal yang paling lumrah ditemui di daerah maju. Salah satu contoh daerah maju ini dapat dilihat dari kasus pengidap HIV dan AIDS di kota Jakarta. Dimana Jakarta merupakan provinsi tertinggi kedua dalam kasus HIV dan AIDS di

Indonesia disusul oleh daerah maju lainnya Jawa Timur, Jawa Barat, Bali dan Jawa Tengah. Berdasarkan analisis saya pribadi hal ini disebaabkan oleh : Arus globalisasi yang sangat terasa, karena pulau Jawa bisa dikatakan akses yang dominan dalam memajukan negara Indonesia. Sehingga secara sisi negatif kebanyakaan masyaraakatnya terutama pemuda akan muda terpengaruh akan budaya asing yang masuk tanpa filter. Bagaimana tidak seks bebas sangat mudah ditemui di Pulau Jawa dimana baru-baru ini ditemukan kasus arisan seks pelajar di pulau Jawa. Belum lagi kasus narkoba yang tak tinggi di daerah maju ini Kebanyakan yang terlibat dikasus pergaulan seks bebas dan narkoba di daerah maju berasal dari keluarga yang ekonomi minim. Sehingga memaksa dirinya untuk menjadi PSK, wanita penghibur di diskotik, dsb. Tidak hanya itu, seks bebas dan narkoba juga kerap kali terjadi dari keluarga yang broken home sehingga memaksa anggota keluarga untuk mencari kesenangan lain, sayangnya kesenangan tersebut berakhir pada diskotik, klub malam dan tempat prostitusi yang identik dengan narkoba dan seks bebas. Tidak heran jika kasus HIV dan AIDS di pulau jawa tinggi Bagaimana dengan Bali, menurut saya Bali adalah manifestasi dari Indonesia karena Bali terkenal dengan pariwisata alam dan budayanya. Sehingga banyak para wisatwan asing yang singgah ke Bali, oleh sebab itu budaya asing sangat mudah masuk kesini, terlebih orang asing terutama barat menganut hokum seks bebas yang dilegalkan. Sehingga tidak heran jika bali berada diurutan ke emppat untuk angka HIV dan AIDS tertinggi di Indonesia. Lantas apa hubungan daerah tertinggal dengan peningkatan kasus HIV dan AIDS di Indonesia, Papua contohnya. Berdasarkan data dari data (BPS, 2010) Papua adalah provinsi dengan penduduk termiskin di Indonesia. Tidak hanya miskin Papua juga merupakan provinsi yang masih terjaga keraifan lokal masyarakatnya, mulai dari berburu, cara berpakaian, hingga cara berhubungan seksual. Berikut analisis saya mengapa Papua menempati urutan pertama kasus HIV dan AIDS di Indonesia : Papua adalah daerah yang minim informasi dan pengetahuan serta pendidikan, terlebih dalam hal seks edukasi, terutama masyarakat asli. Sehingga banyak masyarakat yang tak mengetahui akibat dari hubungan seksual yang tidak pada tempatnya. Barganti-ganti pasangan lazim terjadi, tanpa kondom dan hukum adat yang dianut tidak menujtun cara/teknik berhubungan intim yang baik agar tidak terjangkit virus yang mematikan ini. Penanggulangan HIV/AIDS oleh Pemerintah Indonesia (PP & PL KEMENKES RI, 2012) melaporkan bahwa dibeberapa kota besar pencegahan dan pengobatan dalam penanggulangan HIV/AIDS pada umumnya masih jauh dari harapan penanggulangan HIV/AIDS, sehingga berdampak pada meningkatnya orang terinfeksi dari tahun ke tahun, hal ini dapat kita ambil contoh Pada Tahun 1990 jumlah kumulatif secara nasional kasus aids terjadi 17 kasus, dan meningkat sampai dengan bulan Juni 2011 secara kumulatif terjadi 26.483 kasus. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi berada pada kelompok umur 20-29 (46,3%) diikuti dengan kelompok umur 30-39 tahun (31,4%) dan kelompok umur 40-49 tahun (9,7%), (laporan dari 300 kabupaten/kota dan 33 provinsi). Hal yang paling banyak ditemui dalam penanggulangan kasus HIV/AIDS di Indonesia adalah : Melakukan penyuluhan atau sosialisasi kepada remaja/pelajar terkait bahaya HIV dan AIDS Membuat seminar-seminar tentang sex education bagi kalangan pelajar dan remaja Meskipun sempat menuai kontroversi, yaitu pembagian kondom gratis di tempat-tempat lokalisasi, jalan raya, dsb.

Jika kita lehat ketiga langkah diatas disasarkan kepada usia remaja terutama kalangan pelajar, karena usia remajalah yang rentan akan terjerumus ke dunia pergaulan seks bebas dan narkoba yang akan berdampak pada terkena virus HIV/AIDS. Ketiga langkah tersebut adalah hal yang paling sering ditemui dalam penanggulangan kasus HIV/AIDS di Indonesia meskipun ada langkah lain misalnya, pendataan kasus HIV/AIDS, rehalibitasi orang yang positif HIV/AIDS dan pembinaan-pembinaan kepada penderita HIV/AIDS. Cukup kreatif langkah-langkah penggulangan HIV/AIDS yang dilakukan oleh pemerintah, namun sayang penderita HIV/AIDS dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Untuk itulah diperlukannya beberapa ide segar dari siapa saja yang diharapkan idenya mampu diadopsi oleh pemerintah sehingga dapat menyelamatkan asset bangsa yang paling berharga yaitu pemuda. Inovasi Ide Komplikasi Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Ide ini saya dedikasikan kepada pemerintah, pihak yang terkait dalam hal penaggulangan HIV/AIDS di Indonesia, masyarakat luas, remaja dan pemuda di seluruh negeri, karena pada dasarnya tanggungjawab prihal HIV/AIDS bukan tanggungjawab pemerintah saja melainkan kita semua. Inspirasi ide saya dapatkan dari ide-ide yang sudah ada namun ada sedikit inovasi, selebihnya memang ada terobosan terbaru. Ide muncul ketika saya mencermati bahwa orang yang terjangkit HIV/AIDS kebanyakan dari kalangan pemuda dan tidak memandang daerah tersebut maju atau tertinggal, miskin atau kaya. Oleh sebab itu perlu adanya ide yang tersistem dengan baik yang tersusun dalam program yang kompleks. Berikut komplikasi ide yang akan saya berikan : 1.Kemenkes Bina Remaja-Pemuda Ide ini muncul karena melihat langkah penggulangan HIV/AIDS melalui penyuluhan dan sosialisasi maupun seks edukasi yang kurang efektif. Mengapa demikian, menurut saya hal ini hanya bersifat sementara, selesai sosialisasi maka para remaja dan pemuda akan liar kembali. Karena dampak dari penyuluhan dan sosialisasi tidak berkelanjutan alias hanya sementara. Oleh sebab itu Kemenkes harus mempunyai simpul-simpul pembinaan remaja-pemuda di setiap daerah di Indonesia, baik daerah maju maupun tertinggal, baik di desa maupun di kota, dimana ada remaja dan pemuda di sana akan dibentuk simpul-simpul pembinaan remaja dan pemuda oleh kemenkes. Bentuk pembinaan bisa berbentuk monitoring (pengawasan), pertemuan rutin, pemberian project sosial kepada para pemuda dan remaja, sosial entrepreneurship, dsb. Dimana setiap bentuk pembinaan yang diberikan harus sampai pada tahap evaluasi. Yang pasti kegiatan pembinaan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para remaja dan pemuda tentang bahayanya seks bebas dan narkoba, yang pada akhirnya diharapkan program pembinaan ini akan memberikan kesibukan tersendiri yang positif bagi remaja dan pemuda di seluruh negeri. Tentunya untuk mewujudkan program ini, kemenkes tidak bisa berdiri sendiri, kemenkes perlu bekerjasama dengan berbagai pihak. Karang taruna hingga kemenpora saya fikir perlu dilibatkan dalam program Kemenkes Bina Remaja-Pemuda. 2.Program Wajib Tes Darah Sebelum Nikah Ide ini muncul ketika saya melihat data bahwa pade periode September 2012 jumlah penderita AIDS yang berumur dibawah 1 tahun (< 1 Tahun) sebanyak 160 jiwa dan umur 1 4 tahun sebanyak 687 jiwa dan ini belum termasuk wilayah DKI Jakarta yang notabane-nya

menduduki peringkat ke-2 nasional kategori penderita HIV/AIDS (Ditjen PP dan PL Kemenkes, 2012). Umur yang sedemikian muda (tergolong bayi dan balita) sudah terinfeksi AIDS, bukan karena mereka sudah menggunakan narkoba atau melakukan seks bebas. Itu terjadi karena orang tua mereka mengidap penyakit atau virus HIV/AIDS, sehingga secara tak langsung tertular (lebiih tepatnya menurun) kepada anknya. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan keduabelah pihak siapa yang membawa virus mematikan tersebut, apakah suami atau isteri. Oleh karena itu pemerintah terutama Kemenkes harus berani mengambil kebijakan mewajibkan tes darah sebelum melakukan perkawinan, hal ini bertujuan untuk mencegah semakin tingginya angka penderita HIV/AIDS, terutama dikalangan bayi dan balita yang tak tahu apa-apa. 3.Program Seks Edukasi sejak SD Seks edukasi menurut saya tidak hanya ditujukan kepada remaja dan pemuda namun juga kepada pelajar SD, hal ini karena sudah banyaknya anak SD yang terlibat kasus pelecehan seksual, merokok dan narkoba. Sudah saatnya anak SD turut menjadi perhatian kita semua. Hanya saja bentuk seks edukasi yang dikemas sedimikian rileks, dalam artian tidak mengandung unsure porno. Misalnya digunakan dengan menggunakan ular tangga. Dimana setiap gambar ular tangga diubah menjadi pengetahuan tentang seks, HIV/AIDS, dsb. Sehingga anak SD disamping belajar juga mendapat pengetahuan tentang seks yang benar dan HIV/AIDS. 4.Program Iklan HIV/AIDS yang Menakutkan dan Berkelanjutan Maksudnya adalah pihak terkait yang pasti pemerintah membuat iklan layanan masyarakat tentang bahayanya HIV/AIDS, yang tidak hanya sekedar slogan, namun juga dalam bentuk visualisasi yang mengerikan. Misalnya dengan gambar atau tayangan orang yang terserang HIV/AIDS dengan penuh borok/koreng, menjijikan dan mematikan. Sehingga ketika masyarakat melihat tayangan iklan tersebut maka measyarakat secara tidak langsung takut terjangkit penyakit tersebut, sehingga enggan untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit tersebut. Tentunya hal ini harus dilakukan secara berkelanjutan, tidak hanya sebatas iklan bulanan. Iklan ini harus berkelanjutan, misalnya harian selama tahuanan. Jika ide yang satu ini merasa menyindir penderita HIV/AIDS karena iklan yang memvisualisasikan tayangan yang menjijikan dan mematikan, saya fikir ini tak masalah. Karena ada 240 juta jiwa lagi yang harus kita selamatkan agar tak tertular virus mematikan tersebut. 5. Bagi-Bagi Kondom Pada Tempatnya Ini program lama dari pemerintah, hanya saja yang saya inginkan adalah tidak membagikan kondom pada sembarang orang (jalan raya, dsb) namun bagikanlah kondom pada tempatnya, misalnya ditempat lokalisasi, bila perlu sediakan ATM Kondom ditempat lokalisasi tersebut. 6. Satu Lokalisasi Satu Pemuka Agama Mungkin dari sekian banyak ide yang saya tawarkan ide ini yang paling kontroversi. Namun hal ini yang paling efektif, asalkan ada nyali dan mental dari pemuka agama tersebut. Bagaimana caranya, mudah saja pemerintah harus mewajibkan bagi seluruh lokalisasi di Indonesia untuk melakukan kegiatan mingguan (rutin) misalnya dalam bentuk pengajian, ceramah mingguan, dll bagi seluruh pekerjanya. Siapa tahu dalam kegiatan pengkajian tersebut ada PSK yang diberi hidayah dan taubat, Insya Allah.

Langkah Strategis Perealisasian Ide Dalam pencapaian perealisasian ide tentu harus ada langkah strategis yang ditawarkan, menurut saya langkah strategis yang harus dilakukan adalah : Program Kemenkes Bina Remaja-Pemuda harus bekerja sama dengan pihak terkait misalnya LSM, karang taruna hingga kemenpora. Selain itu program ini harus mempunyai kegiatan yang jelas, adanya evaluasi bulanan atau triwulan. Kegiatan yang saya tawarkan berupa monitoring (pengawasan), pertemuan rutin, pemberian project sosial kepada para pemuda dan remaja dan sosial entrepreneurship. Tambahan dana dalam program Kemenkes Bina Remaja-Pemuda bisa diambil dari dana CSR perusahan yang berada di daerah masing-masing program pembinaan. Program wajib tes darah sebelum nikah sebaikan di kongkritkan dalam bentuk UU, intinya harus ada paying hukum yang menaungi ini bisa bekerja sama dengan legeslatif alias DPR. Program seks edukasi sejak SD harus bekerja sama dengan pihak SD, dimana pihak pemerintah melakukan penyuluhan seks edukasi dan pihak sekolah memonitoring anak didik mereka. Iklan layanan masyarakat dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan produser yang handal, artis yang talenta, dsb. Iklan juga bisa bekerja sama denngan stasiun TV swasta maupun nasional. Tidak hanya iklan para stasiun TV dapat melakukan liputan berupa program kemenkes bina remaja-pemuda. Program bagi-bagi kondom sebaiknya tidak hanya sebatas ceremony belaka, atau acara tahuanan saja. Bila perlu kemenkes menggarkan kondom gratis untuk dibagikan ketempat lokalisasi setiap minggu atau setiap bulannya. Satu lokalisasi satu pemuka agama dapat dilakukan dengan cara perekrutan. Bila perlu dikemas secara entertain. Misalnya dengan Kemenkes Mencari Ustad, di mana ajang tersebut sama seperti ajang-ajang pencarian bakat lainnya. Jika dianggap terlalu berat, kemenkes hanya perlu membuat peraturan saja berupa mewajibkan setiap tempat lokalisasi melakukan kegiatan pengkajian mingguan bagi pekerjanya. Yang jika tidak dilakukan maka akan dikenakan sanksi. Penutup Pada akhirnya peran untuk menyelamatkan bangsa bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tugas kita semua. Tulisan yang lebih bersifat ke ide ini saya harap dapat memberikan sedikit masukan untuk pemerintah dan pihakl terkait dalam menanggulangi kasus HIV/AIDS di Indonesia. Untuk para pemuda saya harap untuk lebih meluangkan waktunya dalam hal yang lebih positif, berkarya, berprestasi. Penulis Ahmad Daud Alamsyah
Taken from: http://kangizi.blogspot.com/2013/01/komplikasi-ide-dalam-penanggulangan.html

You might also like