You are on page 1of 18

Penggunaan musuh alami sebagai 4(1), komponen hama ...

Pengembangan Inovasi Pertanian 2011: pengendalian 29-46

29

PENGGUNAAN MUSUH ALAMI SEBAGAI KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA PADI BERBASIS EKOLOGI1)
Arifin Kartohardjono
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jalan Raya No. 9 Sukamandi, Subang 41172 Telp. (0260) 520157, Faks. (0260) 520158 e-mail: bbpadi@litbang.deptan.go.id Diajukan: 6 September 2010; Disetujui: 9 Februari 2011

ABSTRAK
Upaya peningkatan produksi padi dihadapkan pada kendala dan masalah, antara lain serangan hama. Hama utama pada tanaman padi adalah penggerek batang dan wereng batang coklat. Pada tahun 20002005, luas serangan penggerek batang padi rata-rata mencapai 85.000 ha/tahun, sedangkan wereng batang coklat 20.000 ha/tahun. Untuk mengendalikan hama tersebut, petani umumnya menggunakan insektisida secara berlebihan sehingga berdampak negatif terhadap bioekologi lahan sawah, oleh karena itu, dianjurkan teknik pengendalian secara terintegrasi dengan mengutamakan lingkungan sehat dan meningkatkan peran serangga berguna seperti musuh alami. Pengendalian menggunakan musuh alami atau secara hayati telah diketahui sejak sebelum tahun 1945 dengan menggunakan parasitoid larva Microbracon untuk mengendalikan penggerek batang. Mulai tahun 2000, protein Bacillus thuringiensis yang bersifat toksin ditransformasikan ke dalam tanaman padi untuk mendapatkan varietas yang tahan terhadap penggerek batang. Dasar pengendalian hayati secara ekologi yaitu membuat populasi hama serendah mungkin dan mengoptimalkan peran musuh alami. Musuh alami penggerek batang padi yaitu parasitoid Tetrastichus schoenobii , Telenomus beneficiens, dan Trichogramma japonicum , sedangkan pada wereng batang coklat yaitu predator laba-laba (Lycosa, Tetragnatha, Oxyopes, Callitrichia), Paederus fucipes, Ophionea sp., Cyrtorhinus lividipennis, Coccinella spp. dan Microvelia atrolineata, serta patogen serangga Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae . Mengingat peran musuh alami yang nyata maka keberadaannya perlu ditingkatkan melalui konservasi dan inundasi (diperbanyak lalu dilepas di lapangan). Pengendalian hayati merupakan komponen dari pengendalian hama terpadu (PHT). Pada tahun 2008, PHT menjadi salah satu komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang kemudian diperluas menjadi sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT). Strategi pengendalian dilakukan dengan aplikasi insektisida berdasarkan ambang ekonomi dan penggunaan musuh alami seperti parasitoid dan patogen serangga. Untuk lebih memasyarakatkan penggunaan musuh alami dapat dilaksanakan dengan meningkatkan partisipasi petani/kelompok tani maupun melalui media publikasi. Pengendalian hayati perlu dilakukan secara berkelanjutan dan ditunjang dengan penyediaan agens hayati yang siap dipakai di lapangan. Kata kunci: Padi, pengendalian hayati, musuh alami, penggerek batang padi, wereng coklat, parasitoid, predator

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 1 April 2009 di Bogor.

30

Arifin Kartohardjono

ABSTRACT
Usage of Natural Enemies as a Component of Rice Insect Control on Ecological Bases Increasing rice production faces constraints and problems, among other insect pests. Major insect pests causing significant yield loss are rice stem borer and brown planthopper. In the period of 2000-2005, the average infestation of rice stem borer was 85,000 ha/year, while brown planthopper in average was 20,000 ha/year. To control these insect pests, farmers commonly use insecticide irrationally which causes negative impacts to the bio-ecology of rice field. Therefore, control of the pests was suggested to be conducted integratedly for creating healthy rice field environment and giving opportunity to beneficial insects like natural enemies to control the insect pests. Control by using natural enemies is known as biological control. This method has been known since before 1945 by using parasitoid Microbracon to control rice stem borer. Until 2000 up to now, Bacillus thuringiensis protein was transferred to the rice plants to get rice variety resistant to stem borer. Ecological-based biological control is intended to manage insect pest population as low as possible and to seek for the role of natural enemies as maximum as possible. Natural enemies of rice stem borer are parasitoids Tetrastichus schoenobii, Telenomus beneficiens and Trichogramma japonicum, while for brown planthopper are predators like spiders (Lycosa, Tetragnatha, Oxyopes, Callitrichia), Paederus fucipes, Ophionea sp., Cyrtorhinus lividipennis, Coccinella spp. and Microvelia atrolineata, and for insect pathogens are Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae . Considering the significant role of these natural enemies, increasing their existence and role has been conducted by conservation and inundation (multiplying and releasing to the field). Biological control is a component of insect pest management (IPM). In 2008, IPM has been a component of integrated crop management (ICM) which extended to field school of ICM. Strategy to control stem borer and brown planthopper is conducted by insecticide application based on economic threshold and use of natural enemies like parasitoid and insect pathogen. Socialization on using natural enemies was also needed by increasing farmers or farmers group participation and using mass media. Biological control need to be applied as a sustainable action and supported by provision of ready to use biological agents. Keywords: Rice, biological control, natural enemies, rice stem borer, brown planthopper, parasitoid, predator

PENDAHULUAN Hama merupakan salah satu kendala yang dihadapi petani padi dalam berproduksi. Pada tahun 1912, hama penggerek batang merusak pertanaman padi seluas 38.318 ha di Jawa dengan kehilangan hasil 61.760 t (Dammerman 1915). Pada periode 19881991, luas pertanaman padi yang terserang hama penggerek batang mencapai 108.595 ha dengan kerugian diperkirakan sekitar Rp54,7 miliar (Natanegara dan Sawada 1992). Pada periode 2000-2005, hama ini merusak pertanaman padi rata-rata 85.000

ha/tahun (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan 2006). Pada tahun 1960-1970 terjadi ledakan hama wereng batang coklat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang merusak pertanaman padi seluas 52.000 ha (Soehardjan 1973). Pada tahun 1976-1977, luas pertanaman padi yang diserang wereng batang coklat mencapai 1,5 juta ha dengan kehilangan hasil lebih dari 2,3 juta t (Oka 1995). Pada periode 2000-2005, luas pertanaman padi yang dirusak hama ini rata-rata mencapai 20.000 ha/tahun (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

31

Pangan 2006). Kerusakan tanaman padi akibat hama seakan telah menjadi bagian integral dari sistem produksi padi. Pengendalian hama-hama tersebut dilakukan secara indiskriminatif melalui strategi kuratif menggunakan insektisida secara liberal. Penggunaan insektisida mulai dianjurkan terutama sejak awal 1970 melalui program Bimas dalam upaya mencapai swasembada beras. Pada tahun 1970, pestisida yang digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit mencapai 1.000 t dan pada tahun 1986 meningkat menjadi 18.000 t (Untung 1996). Aplikasi insektisida efektif mengendalikan hama secara parsial, tetapi secara bersamaan juga membunuh predatorparasitoid yang sebenarnya berpotensi sebagai pengendali hama secara hayati. Perbaikan terhadap blanket pesticide application pada tahun 1970-1986 dilakukan dengan aplikasi insektisida secara berjadwal dengan sistem kalender tanpa memerhatikan populasi hama di lapangan. Namun, strategi tersebut menyebabkan ketergantungan petani terhadap penggunaan pestisida semakin tinggi. Dampak langsung penggunaan pestisida terhadap bioekologi lahan sawah adalah: (1) hama sasaran menjadi resisten dan berkembang karena adanya efek resurjensi; (2) musuh alami terbunuh sehingga laju pertumbuhan populasi hama meningkat; (3) timbulnya strain/ biotipe baru yang lebih kuat akibat seleksi penggunaan insektisida; dan (4) biota penyusun habitat ekologi yang bukan sasaran terbunuh sehingga mengurangi keanekaragaman hayati. Selain berdampak negatif terhadap bioekologi, penggunaan pestisida secara liberal juga mencemari lingkungan dan biota air, menimbulkan residu pada hasil panen, merusak lingkungan, dan menyebabkan keracunan.

Debach (1973) mengingatkan bahwa penggunaan pestisida secara berlebihan akan mengakibatkan terjadinya biological explosion dan terganggunya keseimbangan alami dengan berbagai konsekuensi negatif lainnya. Oleh karena itu, pengendalian hama dianjurkan secara terintegrasi dengan mengutamakan lingkungan sehat sehingga insektisida hanya berperan sebagai salah satu komponen pengendalian. Cara ini akan memberi kesempatan kepada serangga berguna, seperti musuh alami, untuk lebih berperan dalam mengendalikan hama. Pada saat kondisi lingkungan ekologi seimbang, serangan wereng batang coklat rendah karena musuh alami berperan secara optimal (Kartohardjono 1988). Konsep pengendalian hama berdasarkan prinsip pengelolaan lingkungan ekologis tersebut mendorong penggunaan musuh alami sebagai komponen utama dalam budi daya tanaman. Penggunaan pestisida diposisikan sebagai pelengkap komponen pengendali lainnya.

DINAMIKA PERKEMBANGAN PENGENDALIAN HAMA SECARA HAYATI Pengendalian hama secara hayati pada pertanaman padi dengan menggunakan musuh alami berupa parasitoid, predator, dan patogen dikelompokkan dalam beberapa periode sebagai berikut.

Pra-Republik Sampai Tahun 1945 Pengendalian hama secara hayati telah dilakukan sejak 1925 dengan mengamati tingkat parasitasi musuh alami kelompok telur penggerek batang padi (van der Goot

32

Arifin Kartohardjono

1925). Pada tahun 1930 didatangkan parasitoid larva Microbracon (Hymenoptera: Braconidae) dari China dan dilepas di Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk mengendalikan hama penggerek batang padi (van der Goot 1948). Untuk memasukkan agens hayati harus ada izin dan dilakukan pengujian terbatas. Agens hayati yang bermanfaat, indikasinya bagus dan aman bagi lingkungan, akan direkomendasikan untuk memperoleh izin untuk dikomersialkan.

padi. Musuh alami yang digunakan saat itu adalah Cyrtorhinus lividipennis, Coccinella, dan laba-laba (Wirjosuhardjo et al. 1977). Berbagai cara dilakukan untuk mengatasinya, tetapi yang dominan adalah menggunakan insektisida sehingga berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup musuh alami. Pada tahun 1981, predator dan parasitoid di Indonesia hanya tinggal 230 jenis (Sosromarsono dan Untung 2001).

Pra-Revolusi Hijau, 1945-1970 Pada periode ini yaitu pada tahun 1951 telah diamati pengaruh pestisida DDT, toksafen, dan paration terhadap parasitoid telur penggerek batang padi, Telenomus beneficiens, Tetrastichus schoenobii, dan Trichogramma japonicum (van der Laan 1951). Pada tahun 1950-an, sebelum pestisida digunakan, terdapat 1.060 jenis musuh alami berbagai jenis serangga hama pertanian dan kehutanan. Setelah insektisida digunakan untuk mengendalikan hama, dalam 30 tahun kemudian keberadaan musuh alami berkurang menjadi hanya 300 jenis (Mangoendihardjo 2003).

Pra-Reformasi, 1985-2000 Penggunaan insektisida pada periode 1985-2000 sangat berlebihan dan menimbulkan berbagai dampak negatif. Oleh karena itu, pada tahun 1986 Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 3 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Substansi Inpres tersebut antara lain adalah pelarangan penggunaan 57 jenis insektisida karena telah menimbulkan resurgensi, resistensi, dan dampak lain yang merugikan petani padi. Sejak itu, upaya pemanfaatan musuh alami untuk pengendalian hama secara hayati makin meningkat. Pengendalian hama secara hayati merupakan komponen utama dalam konsep pengendalian hama secara terpadu (PHT). Pengamatan menunjukkan adanya hubungan yang seiring antara populasi wereng batang coklat dan populasi predator. Jika populasi wereng batang coklat meningkat maka populasi predator akan makin tinggi (Kartohardjono 1988). Pada tahun 1990, saat terjadi serangan penggerek batang padi putih yang cukup berat pada pertanaman padi di jalur pantai utara Jawa Barat, dilakukan upaya penanggulangan dengan tanam serentak, penggunaan varietas tahan, konservasi

Revolusi Hijau Hingga Swasembada Pangan,1970-1985 Pada periode 1972-1978, tingkat parasitasi musuh alami terhadap kelompok telur penggerek batang padi pada musim kemarau lebih tinggi daripada di musim hujan (Soehardjan dan Soegiarto 1979). Pada tahun 1974, dilakukan penelitian pengaruh insektisida terhadap parasitoid penggerek padi (Kilin et al. 1974). Pada periode 19761977, terjadi serangan berat hama wereng batang coklat di beberapa sentra produksi

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

33

musuh alami, dan aplikasi insektisida jika diperlukan (Wigenasentana 1990). Dalam kaitan itu dilakukan perbanyakan parasitoid T. schoenobii di laboratorium, kemudian dilepaskan di lapangan untuk mengendalikan penggerek batang padi (Laba et al. 1997; Kartohardjono et al. 1998). Upaya pengendalian hama secara hayati pada tanaman padi dan palawija sampai tahun 1992 baru pada tingkat inventarisasi dan konservasi (PEI 1992).

(Altieri et al. 2005). Hubungan tersebut meliputi interaksinya dengan komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik meliputi tempat hidup/tinggal dan cuaca/ iklim, sedangkan komponen biotik yaitu tanaman dan serangga hama beserta musuh alami dan kompetitor lainnya (Altieri et al. 2005). Strategi pendekatan ini meminimalkan risiko yang merugikan dengan melakukan pengelolaan segala komponen pada lingkungan tersebut.

Era Reformasi, 2000 Sampai Sekarang Penelitian pengendalian hama secara hayati dilakukan sejak tahun 2000 hingga kini. Pada tahun 2003 bakteri Bacillus thuringiensis yang diketahui dapat menghasilkan protein yang bersifat toksin dan efektif terhadap larva Lepidoptera, ditransformasikan dengan penembakan partikel pada varietas padi untuk memperoleh varietas tahan penggerek batang (Soetrisno et al. 2003). Penelitian juga dilakukan terhadap DNA kepik Cyrtorhinus untuk mendapatkan jenis kepik yang berpotensi memangsa wereng coklat (Hidayat et al. 2008). Kepik dipilih yang bugar, ditunjukkan oleh nilai fluktuasi asimetri (FA) yang paling rendah pada tanaman padi varietas Ciherang (Ratna et al. 2008).

Keragaman Ekologi dan Hama Utama Padi Keadaan lingkungan pertanaman padi terdiri atas lahan, air, tanaman, dan organisme lainnya (LATO). Untuk meningkatkan produksi padi diupayakan dengan memperluas areal tanam, mengintensifkan penggunaan lahan pertanian, dan intensifikasi penerapan teknologi maju secara selektif (Manwan 1977). Perluasan areal pertanaman padi dilakukan pada lahan sawah irigasi, lahan kering (padi gogo), dan lahan rawa lebak/ pasang surut. Areal pertanaman yang luas memungkinkan organisme, termasuk serangga hama dan musuh alaminya berkembang dengan baik. Intensitas kerusakan dan komposisi hama di lahan pasang surut cukup kompleks. Penanaman padi tiga kali setahun (IP 300) di Cianjur meningkatkan populasi wereng batang coklat sehingga perlu dikendalikan dengan insektisida (Baehaki et al. 1999).

EKOLOGI SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN HAMA SECARA HAYATI Pengendalian hama secara ekologi merupakan strategi untuk membuat populasi hama serendah mungkin dengan menggunakan pendekatan hubungan antara serangga dan segala aspek lingkungannya

Multifungsi Ekologi Penerapan teknologi maju secara intensif akan memengaruhi keadaan lingkungan pertanaman dan organisme di sekitarnya.

34

Arifin Kartohardjono

Pada awal program intensifikasi padi di Indonesia dianjurkan penanaman varietas berdaya hasil tinggi seperti IR26, IR28, IR30, dan IR34 pada areal yang luas. Adanya tanaman dengan sifat-sifat yang seragam pada hamparan yang luas memungkinkan tersedianya makanan bagi wereng batang coklat sesuai dengan fase perkembangannya. Akibatnya, dalam lima musim tanam, varietas unggul tersebut terserang oleh wereng batang coklat (Oka 1995). Pemupukan akan memengaruhi pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik dan menciptakan kondisi lingkungan mikro yang baik bagi pertumbuhan larva penggerek batang padi kuning dan wereng batang coklat (Soejitno 1982). Penanaman padi dengan tabur benih langsung (tabela) atau tanam pindah (tapin) berpengaruh terhadap serangan penggerek batang padi. Serangan penggerek batang padi pada cara tabela lebih tinggi dibanding cara tapin (Suharto dan Wityanara 1999). Demikian pula dengan tanam padi pada golongan irigasi berpengaruh terhadap serangan hama. Pertanaman pada pengairan golongan III (tanam lebih lambat) berpeluang mendapat serangan penggerek batang padi yang lebih besar dibanding dengan tanaman pada golongan pengairan I atau tanam lebih awal (Baehaki 1999).

dah, populasi wereng batang coklat lebih rendah dibandingkan dengan tabur benih langsung (Suharto dan Wityanara 1999). Di lahan pasang surut, gulma purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat dimanfaatkan sebagai tanaman perangkap bagi penggerek batang padi putih untuk meletakkan telurnya. Kelompok-kelompok telur tersebut terparasit oleh parasitoid Telenomus, Trichogramma, dan Tetrastichus antara 7,5-38% (Asikin et al. 2001). Lahan pinggiran ekosistem persawahan seperti pematang sawah, tepian saluran irigasi, semak, dan tunggul dihuni oleh komunitas musuh alami (predator dan parasitoid) dan serangga pengurai yang kompleks (Herlinda et al. 2001). Cara panen dengan memotong jerami sampai 10 cm di atas tanah dapat mengurangi larva penggerek batang padi putih dan penggerek batang padi kuning sampai 98% karena larva tersebut tinggal dalam batang sampai ketinggian 100 cm (Manwan 1977).

Komponen Pengendalian Hayati Menekan populasi hama agar tidak menimbulkan kerusakan dapat dilakukan dengan mengelola komponen biotik dan lingkungannya. Beberapa komponen biotik yang dapat mengurangi populasi hama adalah varietas padi tahan hama dan musuh alami hama tersebut. Pada persawahan yang ditanami padi varietas tahan hama, indeks keragaman inang, parasitoid dan predator tinggi, berbeda dengan varietas rentan yang rendah (Kartohardjono 1982). Selain itu, pada varietas tahan, periode stadium nimfa wereng batang coklat lebih panjang serta indeks pertumbuhan dan nimfa yang menjadi dewasa lebih kecil daripada varietas rentan (Bahagiawati et al.1987). Jenis

Pengendalian secara Hayati Berbasis Ekologi Pengendalian secara hayati merupakan bagian dari pengendalian alami, yaitu pengelolaan lingkungan untuk membuat populasi hama serendah mungkin. Upaya pengelolaan lingkungan sebagian menyerupai pengendalian secara budi daya. Pada pertanaman padi dengan cara tanam pin-

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

35

musuh alami yang dapat mengurangi populasi hama adalah parasitoid, predator, patogen (jamur, bakteri, virus, rekitzia), nematoda, dan jasad renik lainnya (Debach 1973). Pengendalian hama secara hayati dengan menggunakan musuh alami memiliki beberapa keuntungan, yaitu mencegah pencemaran lingkungan oleh bahan kimia dari insektisida serta bersifat permanen, efisien, berkelanjutan, tidak mengganggu dan merusak keragaman hayati, dan kompatibel dengan cara pengendalian lainnya (Wood 1971; Debach 1973).

MUSUH ALAMI SEBAGAI KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA SECARA HAYATI Peran dan Jenis Musuh Alami Salah satu jenis musuh alami hama utama tanaman padi adalah parasitoid. Parasitoid adalah serangga yang ukuran tubuhnya lebih kecil dibanding serangga inangnya. Parasitoid menyerang inang pada saat stadium larva, sedangkan setelah menjadi imago, parasitoid hidup bebas di alam. Jenis parasitoid dapat dibedakan menurut cara parasitasinya. Parasitoid yang menyerang bagian luar serangga disebut ektoparasitoid, dan jika menyerang bagian dalam serangga disebut endoparasitoid. Parasitoid yang hanya terdapat satu ekor dalam serangga inang disebut parasitoid soliter dan jika ditemui lebih dari seekor pada serangga inang disebut parasitoid gregarius. Jika lebih dari satu jenis parasitoid yang menyerang satu serangga inang disebut multiple parasitism atau parasitasi ganda. Super parasitisme yaitu terdapat lebih dari satu parasitoid yang dapat tumbuh dan berkembang hingga

menjadi dewasa pada lingkungan satu jenis inangnya. Pada areal pertanaman padi terdapat beberapa jenis parasitoid telur dan larva penggerek batang padi. Di antara jenis parasitoid tersebut terdapat tiga parasitoid telur, yaitu Tetrastichus schoenobii , Telenomus beneficiens, dan Trichogramma japonicum. Parasitoid yang lebih berperan adalah T. schoenobii. Ketiga jenis parasitoid tersebut memarasit kelompok telur penggerek batang padi kuning dan penggerek batang padi putih, baik pada pertanaman padi di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Parasitoid ini menyebar di pantai utara Jawa Barat (Karawang, Subang, Indramayu), Bogor, Cianjur, Sleman, Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan (Agus dan Melina 1999; Kartohardjono et al. 2001). Parasitoid T. schoenobii bersifat gregarius, endo- dan ektoparasitoid. Parasitoid Telenomus bersifat superparasitisme karena memarasit telur inang bersama dengan parasitoid Trichogramma. Seekor larva T. schoenobii memangsa 3-4 telur inang (Kartohardjono 1992). Pada areal pertanaman padi juga ditemukan beberapa musuh alami wereng batang coklat, antara lain parasitoid Anagrus sp. dan Oligosita sp. Kemampuan parasitasi Anagrus sp. terhadap wereng batang coklat lebih tinggi pada saat tanaman padi berumur 5 minggu setelah tanam (MST) dibanding 3 dan 7 MST. Anagrus sp. lebih memilih inang wereng batang coklat daripada wereng punggung putih dan wereng hijau (Atmadja dan Kartohardjono 1990). Kerapatan Oligosita dipengaruhi oleh populasi kelompok telur wereng batang coklat, tetapi tidak demikian dengan Anagrus. Namun, penyebaran kedua parasitoid ini bersifat mengelompok (Atmaja dan Kartohardjono 1996).

36

Arifin Kartohardjono

Predator memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari serangga inangnya. Predator bersifat monofagus atau oligofagus jika hanya memangsa satu atau dua jenis inang, tetapi lebih banyak bersifat polifagus, yaitu memangsa berbagai jenis inang. Predator yang bersifat polifag tidak seefektif predator monofag (Santoso dan Baehaki 2005). Musuh alami wereng batang coklat yang berupa predator yaitu laba-laba (Lycosa sp., Tetragnatha spp., Oxyopes sp., Callitrichia sp.), Paederus fucipes, Cyrtorhinus lividipennis, Coccinella spp., Ophionea sp., dan Microvelia atrolineata. Penelitian menunjukkan, kemampuan predator tersebut memangsa serangga dewasa wereng batang coklat berkisar antara 1-5 ekor (Kartohardjono 1988; Kartohardjono et al. 1988; Kartohardjono dan Atmaja 1989). Cyrtorhinus akan memangsa inang alternatifnya, yaitu wereng Inazuma dorsalis jika inang utama tidak ada di pertanaman padi (Kartohardjono 1990). Cyrtorhinus memangsa lebih banyak nimfa instar pertama daripada instar keempat (Kartohardjono dan Heinrichs 1983). Predator Paederus lebih menyukai inang dengan urutan wereng batang coklat, wereng punggung putih, wereng zigzag, dan wereng hijau (Kartohardjono 1992). Paederus memangsa berbagai stadia wereng, kecuali stadia telur (Kartohardjono dan Soejitno 1987). Beberapa predator juga ditemui pada penggerek batang padi, tetapi perannya kurang nyata. Patogen serangga adalah jenis jasad renik (jamur, bakteri, dan virus) yang menginfeksi serangga inang sehingga menyebabkan kematian inangnya. Jamur yang menginfeksi serangga disebut jamur entomopatogenik, yaitu menginfeksi inang melalui kulit atau masuk ke dalam alat pencernaan melalui makanan. Inang yang

terjangkiti berubah warna menjadi merah muda atau kemerahan. Serangga yang terinfeksi bakteri menjadi sakit, tidak mau makan, lemah, dan tidak aktif. Larva yang tertular virus juga menjadi lemah, warnanya pucat dan mengering, kemudian larva menuju pucuk tanaman dan akan mati menggantung. Jamur patogen serangga, Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae dapat menekan populasi wereng batang coklat masing-masing 40% dan 23% (Baehaki et al. 2003; Kartohardjono dan Baehaki 2005). Mengingat peran dan manfaat parasitoid, predator, dan patogen serangga yang sangat nyata maka keberadaannya perlu dipertahankan dengan merencanakan pola tanam dan waktu tanam yang tepat, menggunakan varietas yang sesuai, dan cara budi daya (cara tanam, pemupukan, pengairan, dan penyiangan) berdasarkan anjuran sehingga memungkinkan musuh alami mengendalikan inangnya. Penggunaan pestisida (insektisida, fungisida, dan herbisida) agar dilakukan secara selektif, bijaksana, dan seminim mungkin agar tidak mengontaminasi musuh alami. Untuk mengembangkan musuh alami dapat dilakukan dengan membiakkannya secara massal kemudian dilepas di daerah endemis serangan hama tersebut. Untuk patogen serangga, pengembangannya dilakukan dengan mengaplikasikan patogen siap pakai saat populasi inang sedang tinggi. Beberapa cara meningkatkan manfaat musuh alami adalah secara inundasiaugmentasi dan konservasi. Inundasi adalah memperbanyak agens hayati kemudian melepaskannya dalam jumlah banyak di lapangan untuk mengendalikan hama. Cara ini telah diterapkan pada parasitoid Trichogramma yang dibiakkan di laboratorium pada telur Corcyra. Hasil perbanyakan kemudian

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

37

dilepas di lapangan untuk mengendalikan penggerek batang padi (Agus dan Melina 1999; Susetyohari et al. 2003). Konservasi agens hayati dilakukan dengan cara melestarikan keberadaan dan memberdayakan peran musuh alami pada pertanaman padi. Pada cara ini, predator Cyrtorhinus akan memangsa inang yang berada pada gulma Cynodon dactylon, Leersia hexandra, Paspalum vaginalis, Digitaria sp., dan Echinocloa gruscalli jika wereng batang coklat tidak ada di pertanaman padi. Gulma-gulma tersebut juga menjadi tempat berkembang biak Cyrtorhinus (Kartohardjono 1990). Untuk parasitoid Anagrus sp., gulma yang menjadi habitatnya adalah Panicum repens, Paspalum paspoledes, Leersia hexandra, Digitaria sp., dan Drymoria villosa (Atmadja dan Kartohardjono 1990). Keberadaan predator dan parasitoid pada vegetasi rerumputan berperan penting dari segi ekologi, terutama dalam pengendalian hama secara hayati.

Pengendalian secara Hayati Ramah Lingkungan Pengendalian hama secara hayati dengan menggunakan musuh alami dilakukan dengan memanfaatkan sifat-sifat musuh alami tersebut. Parasitoid telur penggerek batang padi, T. schoenobii yang berasal dari inang kelompok telur penggerek batang padi kuning memiliki sifat biologi sama dengan yang berasal dari inang kelompok telur penggerek batang padi putih (Kartohardjono 1995). Demikian pula T. beneficiens yang memarasit kelompok telur penggerek batang padi juga memarasit kelompok telur penggerek pucuk tebu. Jenis-jenis parasitoid tersebut efisien digunakan karena jika inang utama tidak

tersedia, parasitoid dapat hidup dan bertahan pada inang alternatifnya (Kartohardjono et al. 1999). Untuk meningkatkan kerapatan dan peran predator wereng batang coklat, Cyrtorhinus, Ophionea, laba-laba, dan Coccinella dapat dilakukan dengan mengaplikasikan ekstrak inangnya (wereng) pada pertanaman padi (Kartohardjono dan Marzuki 1997). Agar efisien, penggunaan predator Cyrtorhinus untuk memangsa wereng batang coklat dipilih yang bugar, terindikasi dari nilai fluktuasi asimetrinya (Ratna et al. 2008). Cara pengendalian hayati dapat mengurangi pencemaran akibat penggunaan insektisida. Selain itu, pengaturan pola tanam juga dapat menyelamatkan dan melestarikan musuh alami dari ancaman insektisida yang diaplikasikan (Sosromarsono dan Untung 2001). Penggunaan insektisida secara bijaksana adalah meminimalkan penggunaannya atau menggunakan insektisida secara selektif pada saat diperlukan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa insektisida buprofezin dan BPMC efektif mengendalikan wereng batang coklat tanpa mengancam kehidupan predatornya, yaitu laba-laba, Lycosa , Cyrtorhinus , dan Coccinella (Kartohardjono dan Panuju 1989).

Pengendalian secara Hayati sebagai Komponen PHT PHT adalah suatu sistem pengelolaan populasi hama dengan menggunakan semua teknik yang sesuai dan kompatibel untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya di bawah tingkat kerusakan ekonomis (Watson et al. 1975). Untuk melaksanakan PHT perlu diketahui elemen-elemennya, yaitu pengendalian alami, sifat bioekologi serangga, penga-

38

Arifin Kartohardjono

matan berkala, dan penurunan hasil (Untung 1996). Pengetahuan tentang sifat bioekologi musuh alami penting artinya dalam pemanfaatan jenis serangga yang digunakan. Ada tiga jenis parasitoid penggerek batang padi, yaitu T. schoenobii, T. beneficiens, dan T. japonicum. Sifat bioekologi ketiganya adalah laju pertumbuhan intrinsik (r) setiap individu parasitoid Tetrastichus, Telenomus, dan Trichogramma berturut-turut 0,30; 0,41; dan 0,40 kali, sedangkan laju reproduksi bersihnya (Ro) masing-masing 42,5; 28,7; dan 19,7 kali. Masa regenerasi (T) parasitoid Tetrastichus, Telenomus, dan Trichogramma berturut-turut adalah 12,5; 8,11; dan 7,42 hari, yang berarti dalam satu generasi, parasitoid Tetrastichus lebih banyak yang hidup dan jumlah keturunannya juga lebih banyak, serta masa siklus generasinya lebih lambat dibanding Telenomus dan Trichogramma (Laba et al. 1997). Dalam menurunkan populasi penggerek batang padi, parasitoid Tetrastichus lebih efektif dibanding Telenomus dan Trichogramma. Namun, T. japonicum lebih sering ditemui di lapangan, meskipun parasitasinya tidak sebesar kedua parasitoid lainnya (Kartohardjono et al. 1995). Hubungan antara komponen PHT varietas tahan dan pemangsaan predator bersifat saling menunjang. Pada pengendalian menggunakan varietas tahan wereng batang coklat, tingkat pemangsaan predator (laba-laba, Lycosa, dan Callitrichia) lebih tinggi dibanding pada varietas rentan (Kartohardjono dan Heinrichs 1983). Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen PHT. Sampai tahun 1997, PHT telah dilaksanakan di 12 provinsi di Indonesia (Sastrosiswojo dan Oka 1997). PHT juga merupakan salah satu teknologi anjuran pada pengelolaan tanaman ter-

padu (PTT). Di antara 10 anjuran teknologi PTT, jika pada pertanaman padi saat pemantauan ditemukan populasi wereng batang coklat di bawah ambang dianjurkan diaplikasi jamur entomopatogenik (Metarhizium atau Beauveria). PTT telah dilaksanakan di 18 provinsi dan telah diperluas menjadi sekolah lapang PTT untuk meningkatkan produksi beras nasional melalui program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) (Departemen Pertanian 2008).

STRATEGI PENGEMBANGAN PENGENDALIAN HAMA SECARA HAYATI Pengelolaan Ekosistem Pada ekosistem sawah di Pemalang, Jawa Tengah, dengan pola tanam padipadi padi tanpa perlakuan insektisida ditemui 16 jenis hama, 29 jenis musuh alami, dan 11 jenis serangga lain. Pada persawahan di Ciranjang, Jawa Barat, ditemukan 46 jenis laba-laba predator (Arifin et al. 1997; Sosromarsono dan Untung 2001). Di antara musuh alami tersebut, T. schoenobii mampu memarasit kelompok telur penggerek batang padi hingga 80% (Kartohardjono 1992). Penggunaan varietas tahan yang dikombinasikan dengan predator nyata mengurangi populasi wereng batang coklat dibanding hanya menggunakan varietas tahan atau predator (Kartohardjono dan Heinrichs 1983). Hasil penelitian menunjukkan, Cyrtorhinus meningkat kemampuannya memangsa wereng batang coklat pada varietas tahan (Kartohardjono dan Heinrichs 1984). Agar tidak mencemari lingkungan, insektisida diaplikasikan pada saat dan waktu yang tepat, yaitu jika telah terjadi

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

39

ambang kerusakan atau ambang kendali. Untuk penggerek batang padi pada fase anakan maksimum, jika ditemukan ratarata lebih dari satu kelompok telur tiap rumpun tanaman atau intensitas serangan rata-rata 15% disarankan dilakukan pengendalian dengan insektisida (Soehardjan 1976). Untuk wereng batang coklat, jika ditemukan musuh alami dan wereng punggung putih, ambang kendalinya adalah lebih dari 5 ekor per rumpun pada tanaman padi berumur kurang dari 40 hari setelah tanam (HST) dan lebih dari 20 ekor per rumpun pada tanaman berumur lebih dari 40 HST dikendalikan dengan insektisida (Baehaki et al. 1999). Insektisida yang digunakan adalah yang bersifat selektif, efektif, dan diizinkan penggunaannya.

Pemanfaatan Musuh Alami Pengendalian secara hayati dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) pemanfaatan musuh alami tanpa campur tangan manusia, dan (2) pemanfaatan musuh alami secara terapan dengan campur tangan manusia (Sosromarsono dan Untung 2001). Jenis agens pengendali hayati juga digolongkan menjadi dua, yaitu (1) musuh alami yang mampu menyebar sendiri dan (2) insektisida hayati (Mangoendihardjo 2003). Dalam pengendalian hayati terapan, musuh alami dari suatu wilayah diperbanyak kemudian disebarkan di wilayah itu sendiri (in-situ). Jenis musuh alami yang telah dicobakan yaitu parasitoid Trichogramma sp. untuk mengendalikan penggerek batang padi. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Jawa Timur dengan melepas 100 pias atau sekitar 250.000 ekor parasitoid/ha di Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Mojokerto. Di

Jawa Barat, pelepasan dilakukan di Kabupaten Subang pada areal 348 ha, di Sumatera Barat di Pematang dan Kerasaan serta di Sulawesi Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa pelepasan Trichogramma sp. dapat menekan serangan penggerek batang padi (Agus dan Melina 1999; Susetyohari et al. 2003; Gultom 2006; Nugroho dan Dewayani 2006). Jenis musuh alami yang dapat dikomersialisasikan dalam bentuk insektisida biologi dari patogen serangga adalah Metarhizium dan Beauveria untuk mengendalikan wereng batang coklat. Cara aplikasinya sama dengan insektisida kimia. Perbanyakan jamur Beauveria dan Metarhizium di laboratorium pada media jagung pecah masing-masing menghasilkan 5,0 x 1012 dan 1,5 x 1013 spora (Baehaki et al. 2003; Kartohardjono dan Baehaki 2005). Metarhizium dapat diformulasikan dalam bentuk tepung dengan kaolin dan dikemas dalam plastik. Setelah disimpan selama 7 bulan pada suhu kamar atau lemari es, efektivitasnya masih 90% (Baehaki dan Kartohardjono 2007). Pada tahun 2001 telah dilakukan pengendalian wereng batang coklat dan penggerek batang padi di 90 Pusat Pelayanan Agens Hayati (PPAH) di Jawa Timur dengan menggunakan Metarhizium dan Beauveria (Susetyohari et al. 2003). Di Kabupaten Subang, Jawa Barat, Beauveria digunakan untuk mengendalikan walang sangit. Kedua jenis jamur patogen tersebut dapat menekan populasi inangnya dengan baik (Rohayati 2006).

Peningkatan Partisipasi Pengguna Penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama padi memerlukan pengetahuan dasar tentang identifikasi jenis

40

Arifin Kartohardjono

hama dan musuh alami serta bioekologinya (Reksosusilo 1985; Sosromarsono dan Untung 2001). Jenis serangga hama dan musuh alami dapat dipelajari dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasikannya berdasarkan studi sistematika. Salah satu kendala dalam pengendalian secara hayati adalah masih banyak petani yang belum menyadari manfaat musuh alami. Oleh karena itu, petani perlu didorong untuk mengetahui bagian dari agroekosistem yang memengaruhi keanekaragaman hayati di lingkungannya (Ooi 1997). Pengetahuan tentang pengendalian hama secara hayati bagi petani dapat disampaikan secara langsung melalui pertemuan dengan individu petani atau kelompok tani, atau secara tidak langsung melalui media publikasi. Pengalaman menunjukkan bahwa Sekolah Lapang Pengendalian Hama secara Terpadu (SLPHT) merupakan media yang bermanfaat cukup besar bagi petani untuk meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman secara terpadu. Semula, program SLPHT dilaksanakan di enam provinsi, kemudian diperluas menjadi 12 provinsi hingga tahun 1998 (Oka 1995; Sastrosiswojo dan Oka 1997).

terdapat pada tunggul tanaman. Keragaman makin rendah berturut-turut pada rerumputan, tanggul, dan pematang (Widiarta et al. 2000). Suksesi komunitas akan meningkat pada keragaman tanaman dan hewan sesuai dengan berjalannya waktu. Pada ekosistem pertanian yang seimbang, pengendalian hayati terjadi secara terusmenerus (Price dan Waldbauer 1975). Pengendalian secara hayati akan diterapkan oleh petani jika mereka merasakan manfaat berupa berkurangnya aplikasi insektisida. Pengendalian secara hayati sebagai komponen PHT memberikan pengaruh positif pada pendidikan SLPHT, yang tampak dari berkurangnya penggunaan pestisida di persawahan (Dermawan dan Yusdji 1993). Musuh alami yang dilepas di lapangan akan aktif mencari mangsa dan petani perlu memantau keadaan hama dan musuh alaminya. Selain itu, perlu disediakan musuh alami atau agens hayati siap pakai agar petani mudah memperoleh dan mengaplikasikannya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Musuh alami berperan penting dalam menekan populasi hama padi. Peran musuh alami dalam mengendalikan hama padi perlu dipantau dan diidentifikasi di lapangan. Penggunaan pestisida secara bijaksana merupakan alternatif terakhir dalam upaya pengendalian hama. Pendayagunaan musuh alami penting untuk menekan populasi hama dan melestarikan lingkungan. Peran musuh alami dapat ditingkatkan dengan memaksimalkan penggunaannya melalui perbanyakan lalu melepaskannya ke lapangan secara

Indikator Keberlanjutan Pengendalian secara Hayati Dalam pengendalian secara hayati, musuh alami berperan memangsa inang. Pada pertanaman padi, setelah panen tidak ada lagi tanaman padi sehingga hama dan musuh alami akan berkurang atau berpindah. Oleh karena itu, keberadaan musuh alami perlu diperhatikan dengan memfasilitasi adanya inang alternatif. Pada saat bera, keragaman arthropoda tertinggi

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

41

massal. Petani yang merasakan manfaat pengendalian secara hayati akan melakukan cara ini secara berkelanjutan.

Implikasi Kebijakan Pengendalian hama padi secara hayati yang merupakan komponen pengendalian dalam PHT padi memerlukan implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Perlu perubahan pola pikir petani, petugas pertanian, pemangku kepentingan, dan penentu kebijakan akan pentingnya pengendalian hama secara hayati dalam upaya mewujudkan sistem pertanian ramah lingkungan. 2. Keberhasilan pengendalian hama secara hayati ditentukan oleh kebijakan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, penelitian yang komprehensif, dan sarana yang memadai. 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pengendalian hama secara hayati perlu disebarluaskan dan disosialisasikan, terutama kepada petani. 4. Pelatihan bagi kelompok tani untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi pengendalian hama secara hayati perlu dilakukan. 5. Agar pengendalian hama secara hayati dapat berkelanjutan perlu disediakan musuh alami siap pakai.

DAFTAR PUSTAKA Agus, N. dan Melina. 1999. Pelepasan parasitoid telur Trichogramma sp. (Hymenoptera: Trichogrammatidae) sebagai agensia pengendalian hayati penggerek batang padi di Sulawesi Selatan. hlm. 175-178. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indo-

nesia dan Simposium Entomologi, Bandung, 24-26 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Altieri, M.A., C.I. Nicholls, and M.A. Fritz. 2005. Manage Insects on Your Farm. Sustainable Agric. Network, Belsville, MD. 130 pp. Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Prayitno, dan A. Alwi. 1997. Diversitas arthropoda pada berbagai teknik budi daya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 15(2): 5-12. Asikin, S., M. Thamrin, dan B. Prayudi. 2001. Peranan parasitoid dalam menekan populasi penggerek batang padi putih pada purun tikus (Eleocharis dulces) di lahan rawa pasang surut. hlm. 95-98. Prosiding Seminar Pengendalian Hayati Serangga, Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Atmadja, W.R. dan A. Kartohardjono . 1990. Parasitasi Anagrus sp. dan Gonatocerus sp. terhadap beberapa jenis serangga inang (wereng coklat, wereng hijau, dan wereng punggung putih) pada pertanaman padi. hlm. 427-431. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Atmadja, W.R. dan A. Kartohardjono. 1996. Peran parasitoid Anagrus sp. dan Oligosita sp. terhadap telur wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal. Makalah Seminar Nasional Pengendalian Hayati. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 25-26 Nopember 1996. 10 hlm. Baehaki, S.E. 1999. Reaksi varietas tahan wereng coklat dan penggerek pada daerah berbeda golongan pengairan. hlm. 192-195. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V

42

Arifin Kartohardjono

dan Simposium Entomologi, Bandung, 24-26 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Baehaki, S.E., A. Kartohardjono, dan A. Rifki. 1999. Efektivitas penerapan keputusan pengendalian wereng coklat menggunakan ambang kendali berdasar musuh alami pada IP padi 300. Seminar Hasil Penelitian Superimpose IP Padi 300, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta, 12 Mei 1999. 34 hlm. Baehaki, S.E., K. Arifin, dan Nurhayati. 2003. Teknik perbanyakan entomopatogenik Beauveria bassiana pada media padat dan efektivitas umur biakan terhadap wereng coklat. hlm. 146-150. Prosiding Seminar Pengendalian Hayati Serangga, Sukamandi, 1415 Maret 2001. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Baehaki, S.E. dan A. Kartohardjono. 2007. Daya simpan formulasi dan efikasi Metarhizium anisopliae RRCC1 terhadap wereng coklat (belum dipublikasi). Bahagiawati, A.H., A.A.N.B. Kamandalu, dan I.B. Swastika. 1987. Pengaruh tingkat ketahanan varietas padi terhadap biologi wereng coklat biotipe 2. Penelitian Pertanian 7(1): 4-6. Dammerman, K.W. 1915. De rystboorderplaartg op Java. Med. Lab. Plantens. Buitenzorg 16.70 pp. Debach, P. 1973. Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London. 844 pp. Departemen Petanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi. Departemen Pertanian, Jakarta. 38 hlm. Dermawan, D. dan Y. Yusdji. 1993. Efisiensi penggunaan pestisida pada tanaman

padi dengan program pengendalian hama terpadu. hlm. 1007-1022. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Bogor, 23-25 Agustus 1993. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Pangan. 2006. http://www.ditlin.deptan. go.id. (diakses Agustus 2006). Gultom, R. 2006. Penerapan PHT dengan teknologi pengembangan dan pemanfaatan parasitoid Trichogramma spp. untuk mengendalikan hama penggerek batang. Laporan Pertemuan Sosialisasi Pemasyarakatan Teknologi PHT, Padang, 6-9 Juni 2006. Direktorat Perlindungan Tanaman, Jakarta. 8 hlm. Herlinda, S., D.S. Kandowangko, I.W. Winasa, dan A. Rauf. 2001. Fauna arthropoda penghuni habitat pinggiran di ekosistem persawahan. hlm. 163174. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung, 16-18 Oktober 2000. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Hidayat, P., E.S. Ratna, dan A. Kartohardjono. 2008. Variasi sekuen DNA sitokrom-b kepik predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter bugar (Hemiptera: Miridae) dari pertanaman padi di Bogor, Karawang dan Subang. Abstrak makalah Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor, LIPI Cibinong, 18-19 Maret 2008. Kartohardjono, A. 1982. Integration of Some Arthropod Predators and Varietal Resistance for the Control of the Brown Planthopper Nilapravata lugens Stal. M.Sc Thesis, University of the Philippines, Los Banos, the Philippines. 132 pp.

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

43

Kartohardjono, A. dan E.A. Heinrichs.1983. Pengaruh predator terhadap wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) pada beberapa varitas padi di rumah kaca. Penelitian Pertanian 3(2): 66-71. Kartohardjono, A. and E.A. Heinrichs. 1984. Population of the brown planthopper Nilaparvata lugens Stal. (Homoptera: Delphacidae) and its predator on rice varieties with different levels of resistance. Env. Entomol. 13(2): 359365. Kartohardjono, A. dan J. Soejitno.1987. Musuh alami wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal) pada pertanaman padi. Dalam J. Soejitno, Z. Harahap, dan H.S. Suprapto (Eds.). Wereng Coklat. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Pangan (1): 43-45. Kartohardjono, A. 1988. Kemampuan beberapa predator (laba-laba, Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus sp., dan Coccinella spp.) dalam mengurangi kepadatan wereng coklat ( Nilaparvata lugens Stal) pada tanaman padi. Penelitian Pertanian 8(1): 25-31. Kartohardjono, A., T. Tersyana, W.R. Atmaja, dan Nursasongko. 1988. Peranan predator Cyrtorhinus sp. dalam memangsa wereng coklat pada tanaman padi. Penelitian Wereng Coklat 1987/88. Edisi khusus 2: 54-63. Kartohardjono, A. dan W.R. Atmaja. 1989. Pemangsaan Paederus terhadap wereng coklat serta pengaruh predator terhadap wereng coklat pada varietas padi dengan ketahanan berbeda. Makalah Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 3 Juni 1989. 13 hlm. Kartohardjono, A. dan Panuju. 1989. Peranan predator (Cyrtorhinus sp. dan Lycosa sp.) dan pengaruh insektisida

dalam mengelola wereng coklat pada tanaman padi. hlm. 806-824. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Kartohardjono, A. 1990. Pelestarian predator Cyrtorhinus sp. pada beberapa tanaman inang dan serangga inang. Makalah Seminar Pengelolaan Serangga Hama dan Tungau dengan Sumber Hayati, Bandung, 22 Mei 1990. 9 hlm. Kartohardjono, A. 1992. Preferensi predator Paederus sp. terhadap beberapa jenis wereng pada tanaman padi. hlm. 728-732. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Kartohardjono, A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Tetrastichus schoenobii Ferr (Hymenoptera: Eulophidae), Parasitoid Penggerek Batang Padi, Scirpophaga spp. (Lepidoptera: Pyralidae). Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 68 hlm. Kartohardjono, A., S. Sosromarsono, S. Wardojo, S. Manuwoto, S. Musa, dan A. Rauf. 1995. Pemanfaatan parasitoid Tetrastichus schoenobii Ferr. Hymenoptera, Eulophidae) dalam pengendalian penggerek batang padi, Scirpophaga spp. (Lepidoptera: Pyralidae). Prosiding Panel Diskusi dan Poster Ilmiah Pekan Iptek, Serpong, 28-29 November 1995. Puspitek Serpong 2: 150-161. Kartohardjono, A. dan A.R. Marzuki.1997. Pelestarian predator pada wereng coklat ( Nilaparvata lugens Stal.) dengan menyemprotkan ekstrak inang dan gula. Makalah Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Simposium Entomologi, Bandung, 2426 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi

44

Arifin Kartohardjono

Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bandung. 10 hlm. Kartohardjono, A., I W. Laba, dan K. Djatnika. 1998. Pembiakan massal penggerek batang padi Scirpophaga incertulas Wlk. dan Scirpophaga innotata Wlk. serta parasitoid Tetratichus schonoebii Ferr. Jurnal Penelitian Pertanian AGRIN 3(5): 15-24. Kartohardjono, A., S.S. Siwi, dan D. Pramono. 1999. Parasitasi Telenomus beneficiens pada kelompok telur penggerek pucuk tebu dan penggerek batang padi kuning. hlm. 71-76. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor, 16 Februari 1999. Kartohardjono, A., S.S. Siwi, Trsinaningsih, dan M. Amir. 2001. Parasitisasi Tetrastichus schoenobii dan Telenomus rowani pada kelompok telur penggerek batang padi genus Scirpophaga (Lepidoptera: Pyralidae) dari beberapa lokasi. Prosiding Seminar Nasional Vol. I, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 26-27 Juni 2001. Kartohardjono, A. dan Baehaki S.E. 2005. Teknik perbanyakan agens hayati Metarhizium anisopliae pada media padat dan efektivitas umur biakan terhadap wereng coklat. hlm. 405-409. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII dalam rangka Lustrum X Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 16-17 September 2005. Kilin, D., M. Iman, and G.V. Vreden. 1974. Insecticidal research in the laboratory. Agricultural Cooperation of Indonesia and the Netherlands Research Report 1968-1974. Tech. Contrib. II: 95-111 Laba, I W., A. Kartohardjono, dan D. Kilin. 1997. Pemanfaatan parasitoid Tetrastichus schoenobii Ferr. untuk

mengendalikan penggerek batang padi putih, Scirpophaga innotata Walker. Laporan Hasil Penelitian pada Temu Teknologi dan Persiapan Pemanfaatan PHT, Subang, 16-19 Juni 1997. 19 hlm. Mangoendihardjo, S. 2003. Peluang dan tantangan dalam produksi massal serta pemasaran agens pengendalian hayati serangga hama. hlm. 27-38. Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga, Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Manwan, I. 1977. Status pengelolaan hama tanaman padi di Indonesia. hlm. 33-57. Himpunan Makalah Simposium I Peranan Hasil Penelitian Padi dan Palawija dalam Pembangunan Pertanian, Maros, 26-29 September 1977. Natanegara, F. dan H. Sawada. 1992. Pengamatan, peramalan dan pengendalian hama penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata Wlk.) di jalur pantura. hlm. 50-61. Laporan Akhir Kerjasama Teknis Indonesia-Jepang Bidang Perlindungan Tanaman Pangan (ATA 162). Nugroho, H. dan S. Dewayani. 2006. Evaluasi pemanfaatan Trichogramma japonicum sebagai pengendali PBP di instalasi PPOPT Subang. Makalah Pertemuan Pemasyarakatan PHT Berbasis Akrab Lingkungan, Bandung, 25-28 April 2006. 5 hlm. Ooi, A.A.C. 1997. Understanding insect biodiversity: a prerequisite for effective IPM. hlm. 7-12. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Simposium Entomologi, Bandung, 24-26 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Oka, I N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indo-

Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama ...

45

nesia. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. 255 hlm. PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia). 1992. Konsepsi pengendalian hama terpadu. Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. 4 hlm. Price, P.W. and Waldbauer.1975. Ecological aspect of pest management. p. 37-74. In P.L. Metcalf and W.H.Luckman (Eds.). Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, New York. Ratna, E.S., A. Kartohardjono, dan P. Hidayat. 2008. Asimetri sayap dan adaptasi feral kepik predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter (Hemiptera: Miridae). Abstrak Makalah Seminar Nasional V Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor, LIPI Cibinong, Bogor, 18-19 Maret 2008. Reksosusilo, E.S. 1985. Biologi Tiga Parasit Penting Hama Ganjur, Orseolia oryza (Wod-Mason) (Diptera: Cecidomyiidae) sebagai Dasar Pengelolaan Hama Tersebut. Disertasi, Institut Pertanian Bogor. 154 hlm Rohayati, T. 2006. Evaluasi efektivitas Beauveria bassiana terhadap walang sangit (Leptocoryza oratorius F) di Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang. Makalah Pertemuan Pemasyarakatan PHT Berbasis Akrab Lingkungan, Bandung, 25-28 April 2006. 8 hlm. Santoso, E. dan Baehaki S.E. 2005. Optimalisasi pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama terpadu pada budi daya padi intensif untuk sistem pertanian berkelanjutan. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 247 hlm.

Sastrosiswojo, S. dan I.N. Oka. 1997. Implementasi pengelolaan serangga secara berkelanjutan. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Simposium Entomologi, Bandung, 24-26 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bndung. 12 hlm. Soejitno, J. 1982. Pengaruh pupuk nitrogen terhadap pertumbuhan larva penggerek padi Tryporyza incertulas Walker. Jurnal Penelitian Pertanian 2(1): 10-12. Soetrisno, K. Mulya, B. Soegiarto, E. Herawati, I.S. Dewi, M. Yunus, dan I.N. Orbani. 2003. Laporan Tahunan. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 182 hlm. Soehardjan, M. 1973. Observation on leaf and planthoppers on rice in West Java. Contrib. Cent. Res. Inst. Agric. (3): 10. Soehardjan, M. 1976. Dinamika Populasi Penggerek Kuning Padi Tryporyza incertulas (Walker). Disertasi, Institut Teknologi Bandung. Soehardjan, M. dan Soegiarto.1979. Status parasit telur Tryporyza incertulas di pantai utara Jawa Barat, 1972-1978. Makalah Kongres Entomologi I, Jakarta, 9-11 Januari 1979. 9 hlm. Sosromarsono, S. dan K. Untung. 2001. Keanekaragaman hayati arthropoda predator dan parasitoid di Indonesia serta pemanfaatannya. hlm. 33-46. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung, 16-18 Oktober 2000. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Suharto, H. dan S. Wityanara. 1999. Pengaruh cara tanam dan pengairan terhadap perkembangan hama padi. hlm. 353-357. Prosiding Kongres Perhimpunan Ento-

46

Arifin Kartohardjono

mologi Indonesia V dan Simposium Entomologi, Bandung, 24 -26 Juni 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Susetyohari, B.H. Susetyo, R.R. Yuliani, dan Juliastuti. 2003. Pengalaman lapang pengendalian serangga menggunakan agens hayati di Jawa Timur. hlm. 45-49. Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga, Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. 273 hlm. Van der Goot, P. 1925. Levenswijze en bestrijding van de witte rijstboorder op Java. Med. Van het Inst. voor Plantenzichten (66). 306 pp. Van der Goot, P. 1948. Twaalf jaren rijstboorder bestrijding door zaaitijdsregeling in West Brebes (Res. Pekalongan). Landbouw 20(11/12): 465-494. Van der Laan, P.A. 1951. De mogelijkheden van bestrijding der rijstboorders. Landbouw 23: 295-356. Watson, T.F., L. Moore, and G.W. Ware. 1975. Practical insect pest management. W.H. Freeman and Co., San Francisco. 196 pp. Widiarta, I N., T. Surjana, dan D. Kusdiaman. 2000. Jenis anggota komunitas

pada berbagai habitat lahan sawah bera dan usaha konservasi musuh alami pada padi tanam serentak. hlm.185-192. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung, 16-18 Oktober. 2001. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Wigenasentana, M.S. 1990. Keadaan serangan penggerek padi dan usaha penanggulangannya. Makalah Seminar PHT Penggerek Padi dalam rangka Mempertahankan Swasembada Beras. Institut Pertanian Bogor, April 1990. 13 hlm. Wirjosuhardjo, S., A. Mukidjo, dan S. Sudjono. 1977. Pengamatan musuh alami wereng coklat, penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa di Yogyakarta. hlm. 583-590. Prosiding Peranan Hasil Penelitian Padi dan Palawija dalam Pembangunan Pertanian, Buku III. Maros, 26-29 September 1977. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Wood, B.J. 1971. Development of integrated control programs for pests of tropical perrenial crops in Malaysia. p. 422-457. In C.B. Huffaker (Ed.). Biological Control. Plenum Press, New York.

You might also like