You are on page 1of 6

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Beberapa tahun terakhir teknologi fluida superkritis (SCF) telah diaplikasikan pada beberapa industri antara lain industri makanan, industri minyak bumi, industri tekstil, industri kosmetik dan industri farmasi. Aplikasi utama dalam dunia farmasi yaitu pada pembuatan mikropartikel obat-obatan (Yasuji dkk., 2005). Performa penghantaran obat (drug delivery) dalam tubuh manusia ditentukan oleh kemampuan menghantarkan therapeutic agents (zat penyembuh) ke bagian tubuh yang diharapkan (selective target). Kemampuan kontrol ukuran, morfologi, dan pelepasan partikel obat merupakan hal fundamental untuk mencapai target tersebut (Ginty dkk., 2005). Salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja suatu therapeutic agents adalah dengan produksi partikel obat dalam skala mikron (Kurniawansyah dan Sumarno, 2008). Secara umum, bioaktif/obat yang telah dimikronisasi mengalami peningkatan kelarutan saat diekspos di media air (aqueous solution) karena naiknya luas permukaan. Ukuran partikel obat yang kecil dapat pula mengurangi jumlah obat yang harus dihantarkan ke tempat sakit (illness location) karena naiknya daya serap tubuh. Naiknya daya serap tubuh dapat menurunkan dosis obat dalam penghantaran, sehingga menurunkan pula kemungkinan timbulnya efek samping. Suatu obat dikatakan mempunyai penghantaran yang unggul jika obat tersebut mempunyai laju pelepasan yang terkontrol (controlled release drug) (Wang dkk., 2006). Controlled release system mampu mengontrol pelepasan obat dalam tubuh pada laju yang diinginkan ke bagian tubuh yang diinginkan. Controlled release system dapat dilakukan dengan memformulasikan active pharmaceutical ingredients (API) dengan polimer sebagai drug excipients, dimana API akan terdistribusi dalam matriks polimer (Yeo - Kiran, 2005 dan Tandya dkk., 2007). Pembuatan mikropartikel dapat dilakukan dengan teknik konvensional seperti teknik penghancuran secara mekanis (crusher, grinder, dll), teknik presipitasi larutan organik (pemisahan fasa polimer, penguapan atau ekstraksi pelarut), dan teknik spray drying. Pada teknik penghancuran secara mekanis mempunyai kelemahan yaitu distribusi ukuran partikel yang luas dan membutuhkan energi yang besar dalam penghalusan. Kelemahan teknik presipitasi larutan yaitu masalah polusi lingkungan karena penggunaan pelarut organik. Sedangkan pada teknik spray drying mensyaratkan penghilangan pelarut organik pada kondisi

suhu tinggi, dimana pelarut dihilangkan dengan cara menyemburkan larutan yang mengandung material terlarut kedalam aliran gas panas. Teknik lain yang sedang

berkembang untuk pembuatan mikropartikel adalah teknologi berdasarkan pemanfaatan SCF. Aplikasi dari teknik ini menguntungkan dalam rekristalisasi beberapa material padat yang tidak mudah dihancurkan dan tidak tahan temperatur tinggi. Salah satu contoh SCF yang sering digunakan yaitu CO2 yang bersifat ramah lingkungan, murah, tidak mudah terbakar dan tidak beracun yang memiliki temperatur kritis (Tc) 31oC dan tekanan kritis (Pc) 73,8 bar. Beberapa metode aplikasi teknologi fluida superkritis antara lain Rapid Expansion of Supercritical Solutions (RESS), Gas anti Solvent (GAS), Supercritical Anti Solvent process (SAS) atau Aerosol Solvent Extraction System (ASES) atau Precipitation with a Compressed Antisolvent (PCA), Solution Enhanced Dispersion by Supercritical Fluids (SEDS), dan

Particle from Gas saturated Solutions (PGSS). Metode SAS menggunakan prinsip efek kontak antara larutan polimer dan fluida SCF sebagai antisolvent yang menyebabkan presipitasi. Metode PGSS menggunakan efek plasticizing dari CO2 superkritis pada polimer untuk membentuk partikel. Karbondioksida superkritis merupakan plasticizer yang efektif dan dapat menurunkan titik lebur dari polimer. Pada tekanan tinggi, tetapi mendekati temperatur kamar, polimer dapat dilelehkan dan memiliki viskositas yang rendah. Jika polimer yang telah dilelehkan diekspansikan melalui nozzle secara cepat, akan terbentuk droplet kecil dari polimer yang kemudian akan menjadi mikropartikel. Maka dari itu, dengan PGSS partikel dapat dibentuk pada temperatur rendah tanpa solvent, dan hal ini menjadi daya tarik untuk memproses resin atau polimer yang rentan atau labil terhadap panas (Hao dkk., 2005). Hwang dkk., meneliti pengaruh tekanan, suhu, konsentrasi larutan obat, jenis pelarut dan rasio laju CO2/larutan obat terhadap ukuran dan distribusi partikel pada mikronisasi cilostazol dengan metode SAS. Pada penelitian ini menggunakan CO2 sebagai anti solvent dengan pelarut etanol, metanol, diklorometana dan asam asetat. Variasi tekanan 8 15 MPa, variasi temperatur 40 60oC, variasi konsentrasi larutan 2, 50, 100, 150 mg/ml. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa tekanan dan temperatur mempengaruhi densitas CO2 yang berperan penting dalam transfer massa antara pelarut organik dan CO2 selama pembentukan partikel. Ukuran partikel meningkat dengan meningkatnya konsentrasi. Laju kelarutan obat hasil mikronisasi dengan menggunakan pelarut diklorometana dan asam asetat glasial meningkat dibandingkan dengan dengan obat tanpa proses mikronisasi. Akan tetapi cilostazol hasil mikronisasi dengan menggunakan keempat pelarut tersebut tidak mengalami perubahan bentuk kristal (Hwang dkk., 2006).

Li dkk., melakukan mikronisasi pada acetaminophen dengan metode ASES. Solvent yang digunakan dalam penelitian ini antara lain etanol, metanol, aseton dan etil asetat, dilakukan pada range tekanan 100 200 bar dan range temperatur 35 45oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelarut etil asetat menghasilkan ukuran partikel terkecil dibandingkan ketiga pelarut yang lain. Ketika temperatur dinaikkan kelarutan acetaminophen meningkat sehingga menurunkan efek CO2 sebagai anti solvent dan mengakibatkan waktu nukleasi makin lama. Waktu nukleasi merupakan faktor utama dalam penentuan ukuran partikel. Waktu nukleasi yang pendek menghasilkan partikel yang lebih kecil. Partikel yang diperoleh dari penelitian ini berukuran 3-4 m. (Li dkk., 2006). Chu dkk., melakukan mikronisasi pada cefpodoxime proxetil (CPD) dengan metode ASES menggunakan pelarut metilen klorida, aseton dan etil asetat. Penelitian ini dilakukan pada range tekanan 100 - 150 bar dan range suhu 35 - 40 oC dengan konsentrasi 0.3 1% berat. Konsentrasi tinggi menyebabkan partikel yang satu kontak dengan partikel yang lain sehingga terjadi aglomerasi dan partikel yang dihasilkan partikel yang berukuran lebih besar. Aglomerasi diminimalisasi dengan menggunakan pelarut etil asetat dan dengan meningkatkan ratio CO2/larutan CPD. Meningkatnya tekanan presipitator menghasilkan partikel yang makin kecil (Chu dkk., 2006). Wendt dkk., melakukan mikronisasi pada PEG 6000 menggunakan metode PGSS pada range tekanan saturation 80 120 bar dan range temperatur 2040oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan saturation dan temperatur pada spray tower mempengaruhi distribusi ukuran partikel. Dengan meningkatnya temperatur pada spray tower, proses

solidification partikel lebih lama dibandingkan pada temperatur rendah. Pada temperatur tinggi terjadi aglomerasi partikel. Pada tekanan saturation tinggi, partikel yang terbentuk lebih kecil dan tidak terjadi aglomerasi (Wendt dkk., 2007). Tandya dkk., melakukan mikronisasi cyclosporine dengan metode PGSS pada range tekanan 160 200 bar dan suhu 25o - 45oC. Pada semua kondisi, cyclosporine diendapkan sebagai microsphere berukuran 150 nm dengan agregat yang tinggi. Tidak ada perubahan yang signifikan pada morfologi dan ukuran partikel akibat perubahan suhu dan tekanan. Cyclosporine-CO2 jenuh sangat viskus pada tekanan kurang dari 160 bar, hal ini dapat menyebabkan kebuntuan pada nozzle selama proses. Meningkatnya diameter nozzle menghasilkan partikel dengan diameter lebih besar akibat berkurangnya tekanan dan densitas fluida pada keluaran nozzle. Hasil analisa XRD menunjukkan kristanilitas cyclosporine setelah proses berkurang dibandingkan dengan cyclosporine sebelum proses (Tandya, 2006)

Sencar dkk., menggunakan teknik PGSS dalam mikronisasi komposit nifedipine dengan Polietilen Glikol (PEG) 4000. Mikronisasi komposit nifedipine dengan PEG 4000 dengan komposisi (20% nifedipine dan 80% PEG) dilakukan pada 120 dan 190 bar dan pada temperatur 50 dan 70o C. Pada Differential scanning calorimetry (DSC) scan hanya terdapat puncak titik leleh yang menunjukkan tidak adanya degradasi pada nifedipine akibat proses mikronisasi dengan PGSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju kelarutan nifedipinePEG 4000 sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur saturation chamber. Tekanan 120 bar merupakan tekanan yang cukup untuk melarutkan CO2 dalam droplet sehingga dapat terjadi presipitasi. Penurunan laju kelarutan terjadi pada nifedipine hasil mikronisasi pada suhu 70oC (Sencar dkk., 1997), hal ini menunjukkan bahwa kelarutan CO2 dalam droplet menurun pada temperatur tinggi (Prausnitz dkk., 1986). Beberapa faktor yang mempengaruhi laju kelarutan dalam padatan terdispersi antara lain pengurangan ukuran partikel, interaksi antara nifedipine dan PEG 4000, dan kemungkinan efek adanya gugus hidrofobik (Sencar dkk., 1997). Dari beberapa penelitian dapat memberikan petunjuk bahwa mikronisasi obat dengan pemanfaatan SCF dapat memperbaiki properti obat sehingga obat dapat dikontrol oleh struktur dan daya serap dalam tubuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan obat yang berkarakteristik unggul sehingga dapat dimanfaatkan dalam penghantaran obat yaitu dengan pembuatan mikropartikel komposit obat-polimer dengan teknologi berbasis fluida superkritis. Pada penelitian ini menggunakan obat berupa ketoprofen dan polietilen glikol sebagai polimer. Ketoprofen memiliki kelarutan yang rendah dalam air, sehingga perlu ditingkatkan laju kelarutannya dalam cairan tubuh yaitu dengan pembuatan mikropartikel komposit ketoprofen-PEG.

1.2 Perumusan Masalah Beberapa parameter operasi dalam metode SAS yaitu tekanan, temperatur, dan konsentrasi larutan dapat mempengaruhi ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Gas CO2 superkritis digunakan sebagai antisolvent. Mula-mula CO2 mendifusi kedalam droplet, kemudian CO2 dan pelarut (solvent) saling melarut dan mendifusi keluar droplet melalui batas fasa, sehingga terjadi peningkatan derajat supersaturasi. Peningkatan derajat supersaturasi mempercepat nukleasi dan pertumbuhan partikel sehingga partikel yang dihasilkan lebih kecil. Kekuatan pelarutan CO2 superkritis dipengaruhi oleh densitas yang ditentukan oleh tekanan dan suhu. Tekanan yang tinggi mengakibatkan densitas CO2 meningkat sehingga

menghasilkan gaya eksternal yang besar untuk melakukan pemecahan droplet sehingga partikel yang dihasilkan menjadi semakin kecil. Kenaikan tekanan juga akan menurunkan transfer massa (difusi) solvent dan CO2 melewati batas fase (cair-gas) dari droplet. Karena kemampuan CO2 dalam mendifusi balik solvent berkurang maka masih ada sisa pelarut yang tertinggal di dalam matriks droplet sehingga mengakibatkan memungkinkan terjadinya aglomerasi antar partikel. Larutan dengan konsentrasi tinggi memiliki viskositas yang tinggi pula sehingga saat diekspansikan melalui nozzle tidak teratomisasi dengan cepat. Hal ini menyebabkan supersaturasi sulit tercapai, laju nukleasi dan pertumbuhan partikel menjadi lambat dan partikel yang dihasilkan berukuran besar. Selain itu, pada konsentrasi yang tinggi cenderung terjadi teraglomerasi sehingga diperoleh partikel yang lebih besar. Proses presipitasi juga dipengaruhi oleh temperatur. Pelarutan CO2 ke dalam droplet merupakan proses eksotermis dan evaporasi solvent dari droplet merupakan proses endotermis. Semakin tinggi temperatur presipitator maka akan semakin banyak solvent yang teruapkan dari droplet, sehingga partikel yang dihasilkan makin kecil. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh tekanan, temperatur dan konsentrasi larutan pada mikronisasi obat-polimer dengan metode SAS. Penggunaan pelarut organik memungkinkan terjadinya aglomerasi akibat pelarut organik tidak terevaporasi seluruhnya dari droplet. Karena itu, perlu ditinjau alternatif lain yang dapat mengatasi permasalahan tersebut, yaitu menggunakan teknik lain tanpa penggunaan pelarut organik yang dikenal dengan teknik PGSS. Teknik PGSS dipengaruhi oleh beberapa kondisi proses supaya dapat terbentuk partikel komposit obat-polimer yang diinginkan antara lain tekanan saturation chamber dan temperatur saturation chamber. Tekanan saturation chamber mempengaruhi kelarutan gas pada sistem dan pembentukan droplet pada saat ekspansi. Tekanan gas yang tinggi akan menyebabkan kelarutan gas yang tinggi dalam sistem sehingga menurunkan viskositas larutan dan menghasilkan droplet yang kecil saat larutan diekspansikan melalui nozzle. Meningkatnya temperatur menyebabkan viskositas larutan hasil liquidifikasi semakin rendah. Larutan yang memiliki viskositas rendah akan menghasilkan droplet yang kecil saat diekspansikan dari saturation chamber. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian untuk mengetahui pengaruh tekanan saturation chamber, temperatur saturation chamber, dan komposisi obat-polimer terhadap pembentukan komposit obat-polimer dengan teknik PGSS (Mishima, 2008).

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah 1. Mempelajari pengaruh tekanan presipitator, konsentrasi awal larutan Active Pharmaceutical Ingredients (API)-polimer, dan temperatur kontak dalam

pembentukan struktur mikropartikel komposit Active Pharmaceutical Ingredients (API)-polimer menggunakan metode SAS. 2. Mempelajari pengaruh tekanan saturation chamber, temperatur saturation chamber dan komposisi Active Pharmaceutical Ingredients (API)-polimer dalam pembentukan struktur mikropartikel komposit Active Pharmaceutical Ingredients (API)-polimer menggunakan metode PGSS. 3. Untuk mendapatkan mikropartikel komposit Active Pharmaceutical Ingredients (API)polimer yang berkarakteristik unggul dalam sistem penghantaran obat (drug delivery system).

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain : 1. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam upaya mengembangkan pemrosesan komposit Active Pharmaceutical Ingredients (API)-polimer dengan aplikasi teknologi berbasis fluida superkritis. 2. Mendapatkan produk komposit Active Pharmaceutical Ingredients (API) - polimer berukuran mikron dengan karakteristik unggul sehingga dapat dimanfaatkan dalam penghantaran obat (drug delivery).

You might also like