You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

Kusta atau lepra atau Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia rata-rata prevalensi masih tinggi. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Lebih dari 5 juta penduduk dunia terinfeksi penyakit lepra, paling banyak terdapat di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Kepulauan Samudra Pasifik. Di Indonesia penyakit lepra tersebar di seluruh provinsi. Daerah tingkat prevalensi tinggi penderita antara lain terdapat di Aceh, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, daerah pantai utara Jawa, Jawa Timur, Madura, dan Papua. Lepra adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer, kulit, saluran nafas bagian atas, otot, tulang dan testis. Kasus penyakit lepra di Indonesia masih tinggi, menduduki peringkat tiga di dunia. Diperkirakan setiap tahun tercatat 17 ribu hingga 20 ribu kasus lepra baru. Penyebab dari penyakit Lepra adalah bakteri Mycrobacterium leprae. Penyakit tersebut menular tetapi tidak mudah ditularkan. Hanya mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah yang mudah tertular. Cara penularan lepra belum diketahui secara pasti, sekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terifeksi. Sumber penularan adalah kuman kusta utuh yang berasal dari pasien kusta tipe Multi Basiler yang belum diobati atau tidak teratur berobat. Bila seseorang terinfeksi Mycobacterium leprae, sebagian besar akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh. Insidensi tinggi pada daerah tropis dan subtropics yang panas dan lembab. Insidensi penyakit kusta di Indonesia pada Maret 1999 sebesar 1,01 per 10.000 penduduk. Penyakit lepra dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 2535 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Anatomi Kulit Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital pada kehidupan manusia. Ada 2 macam kulit, yaitu kulit tipis dan kulit tebal. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu . Pembagian kulit secara garis besar tersusun dari tiga lapisan utama, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis. 1.1 Epidermis Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari empat jenis sel yang penting yaitu, keratinosit, melanosit, sel Langerhans dan sel merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan: 1. Stratum Korneum. Lapisan kulit paling luar, terdiri dari beberapa lapis sel gepeng yang telah mati dan tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin. 2. Stratum Lusidum Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. Protoplasmanya berubah menjadi protein eleidin. 3. Stratum GranulosumDitandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. 4. Stratum Spinosum. Terdiri dari sel polygonal. Protoplasma jernih banyak mengandung glikogen. Terdapat jembatan penghubung antar sel yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril. Fungsi dan jembatan 2

penghubung ini untuk mempertahankan kohesi antar sel sehingga epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak jembatan penghubung antar sel nya. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. 5. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.

Gambar 1.1 Lapisan-lapisan pada epidermis

1.2 Dermis Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai True Skin. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Pada dermis terdapat turunan epidermis, yaitu folikel rabut, glandula sudorifera, dan glandula sebacea. Banyak serabut saraf dan saraf efektor ke kulit adalah serabut pasca ganglionik dari ganglion simpatis rantai paravertebral. Tidak ada persarafan parasimpatis. Ujung saraf aferen membentuk jalinan superficial dermis dengan ujung saraf bebas, jalinan flikel rambut dan persarafan organsensoris berkapsul. 3

Dermis terdiri dari dua lapisan : Pars papiler : bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, mengandung jaringan ikat jarang. Pars retikuler : bagian yang menonjul kea rah hypodermis, terdiri dari serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Ketiga serabut ini berguna untuk memperkuat kulit, memberikan ekstensibilitas dan elastisitas sehingga mampu meregang. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Hubungan antara epidermis dan dermis : 1. Adanya papilla corii 2. Adanya tonjolan-tonjolan dari sel basal ke dermis 3. Terdapat serat-serat kolagen, elastic yang sangat erat berhubungan dengan sel basal.

1.3 Hipodermis Lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel lemak yang bulat, besar, dengan inti mendesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dan dipisahkan oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut dengan panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Lapisan lemak berfungsi juga sebagai bantalan, ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di kelopak mata dan penis lebih tipis, di perut lebih tebal (sampai 3 cm). Vaskularisasi di kulit diatur pleksus superfisialis (terletak di bagian atas dermis) dan pleksus profunda (terletak di subkutis).

2. Fisiologi Kulit Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh. Fungsi kulit adalah : 1. Termoregulasi 2. Reservoir darah 3. Proteksi 4. Persepsi 5. Ekskresi dan absorpsi 6. Sintesis vitamin D 7. Pembentukan pigmen 8. Keratinisasi

3. Morbus Hansen

3.1 Definisi Morbus Hansen atau Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan Mycobacterium leprae yang bersifat interseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 3.2 Etiologi Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk pertama kali ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (sel Schwann) dan sel dari sistem retikuloendotelial. Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol. Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis) dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung).

3.3 Patogenesis Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag yang berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear dan histiosit untuk memfagositosisnya. Kemampuan untuk memfagositosis tergantung pada sistem imunitas tubuh.. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular seseorang. Bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae. Bila terjadi gangguan imunitas tubuh didalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang, terjadi kerusakan saraf yg progressif Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. 3.4 Klasifikasi Berdasarkan Madrid pada tahun 1953, lepra dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: intermediate (I) tuberkuloid (T) borderline (B), dan lepromatose (L)

Ada juga klasifikasi dari Ridley-Jopling berdasarkan spektrum pada penyakit kusta, yaitu : TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil Ti : Tuberkuloid indefinite BT : Borderline tuberculoid BB : Mid borderline BI : Borderline Lepromatous Li : Lepromatosa indefinite LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. Menurut WHO (1987), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Joping. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif , maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif. Tabel 3.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi Klasifikasi Ridley Jopling Madrid WHO Puskesmas Tuberkuloid Pausibasilar (PB) PB Borderline Lepromatosa & TT Zona Spektrum Kusta BT BB BL LL

Multibasilar (MB) MB

3.5 Gambaran Klinik 1. Tipe tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak 7

adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

Gambar 3.1 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

2.Tipe borderline tuberculoid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

Gambar 3.2 Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan papul satelit

3.Tipe mid borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung

simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4.Tipe borderline lepromatous (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan macula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam infiltrate lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.

Gambar 3.3 Lesi Kulit pada Borderline Lepromatous

5.Tipe lepromatosa (LL) Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritamatosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedang di badan mengenai badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonine yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai 9

pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan stocking and glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul macula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Gambar 3.4 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy

Tabel 3.2. Gambaran Klinis Kusta Multibasilar (MB) Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL) Lesi Bentuk Makula Infiltrat difus Papul Nodus Jumlah Tidak praktis terhitung, Sukar tidak ada masih sehat Hampir simetris Halus berkilat dihitung, Dapat ada dihitung, Makula Plakat Papul Plakat Dome-shaped Punched-out Mid (BB) Borderline

kulit kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat

kulit sehat Distribusi Permukaan Simetris Halus berkilat

10

Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes lepromin

Tidak jelas Biasanya tak jelas

Agak jelas Tak jelas

Agak jelas Lebih jelas

Banyak (globus) Banyak (globus) Negatif

Banyak Biasanya negatif Negatif

Agak banyak Negatif Biasanya negatif

Tabel 3.3 Gambaran Klinis Kusta Pausibasilar (PB) Sifat Tuberkuloid (TT) Lesi Bentuk Makula makula infiltrat Jumlah Satu, beberapa Distribusi Permukaan Asimetris Kering bersisik saja, Makula dibatasi infiltrat, saja dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa dengan satelit Masih asimetris Kering bersisik Variasi Halus berkilat Batas Jelas Jelas Daapat jelas atau tidak jelas Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas BTA Lesi kulit Hampir negatif Tes lepromin Positif kuat (+3) selalu Negatif atau hanya Biasanya negatif +1 Positif lemah Dapat positif agak dibatasi Hanya infiltrat infiltrat Borderline Tuberculoid (BT) Indeterminate (I)

lemah atau negatif

11

3.6 Diagnosis Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling sederhana. Untuk menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut yaitu : 2,3 a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi). b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat peradangan saraf (neuritis perifer) , bisa berupa : i. ii. iii. c. Gangguan fungsi sensoris (mati rasa) Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, kelumpuhan Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak

Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA positif).

3.7Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1+ 2+ Bila 1 10 BTA dalam 100 LP Bila 1 10 BTA dalam 10 LP 12

3+ 4+ 5+ 6+

Bila 1 10 BTA rata-rata dalam 1 LP Bila 11 100 BTA rata-rata dalam 1 LP Bila 101 1000BTA rata-rata dalam 1 LP Bila> 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan

jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkeloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR. Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkulosis

13

3.7 Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Diklasifikasikan menjadi 2 macam: 1. ENL ( Eritema nodusum leprosum) ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar. ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antifen M. Leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen = kompleks imun. Gejala klinisnya pada kulit timbul nodus eritema dan nyeri pada lengan dan tungkai. 2. Reaksi Reversal Reaksi Reversal hanya terjadi pada tipe borderline. Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gejalanya ialah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas 3.8 Penatalaksanaan Tujuan utama: 1. memutuskan mata rantai penularan. Untuk menurunkan insiden penyakit 2. mengobati dan menyembuhkan penderita 3. mencegah timbulnya penyakit Program MDT Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.1 14

Obat dalam rejimen MDT-WHO a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita. d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifampisin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik). Regimen Pengobatan Kusta (WHO/DEPKES RI), PBdean lesi tunggal diberikan ROM (Rifampisin Ofloksasin Minosiklin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak dan ibu hamil tidak diberikan ROM. Bila obat belum tersedia di Puskesmas, dapat diobati dengan pengobatan PB lesi (2-5). Rifampisin Dewasa 70kg) Anak (5-14 thn) 300 mg 200 mg 50 mg (50- 600 mg Ofloksasin 400 mg Minosiklin 100 mg

Lesi PB 2-5, lama pengobatan adalah 6-9 bulan. Setelah minum 6 dosis maka dinyakatan Release From Treatment (RFT).

15

Rifampisin Dewasa Anak-anak (10-14 tahun) 600 mg/bulan 300 mg/bulan

Dapson 100 mg/hari 50 mg/hari

Untuk MB, pengobatan 12 dosis yang diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT. Pemantauan selama2 tahun untuk PB dan 5 tahun untuk MB.1

Pengobatan Kusta dengan Penyulit Jika MDT-WHO tidak dapat dilakkan karena suatu alasan, WHO mempunyai regiment untuk situasi khusus, yaitu: a. Jika tidak dapat diobati dengan rifampisin Lama Pengobatan 6 bulan pertama Obat Klofazimin Ofloksasin Minosiklin 8 bulan berikutnya Klofazimin Ofloksasin atau Minosiklin b. Jika pasien MB menolak klofazimin Diberikan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari slama 12 bulan. Alternatif lain adalah rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan, ofloksasin 400 mg.bulan selama 24 bula dan minosiklin 10 mg/bulan selama 24 bulan. c. Jika pasien tidak dapat diobat dengan DDS Diberikan regimen pengganti selama 6 bulan: Rifampisin Dewasa 600 mg/bulan Klofamizin 50 mg/hari dan 300 mg/bulan Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari dan 150 100 mg tiap hari Dosis 50 mg tiap hari 400 mg tiap hari 100 mg tiap hari 50 mg tiap hari 400 mg tiap hari

16

mg/bulan

Pengobatan ENL ENL diobati dengan tablet kotikosteroid. Pilihn yang sering digunakan ialah prednison dengan dosis 15-30 mg/hari lalu diturunkan bertahap. Dapat juga menggunakan kofazimin 200-300 mg/hari naun khasiatnya lebih lambat dari pada kortikosteroid.

Pengobatan Reversal Hanya diobati jika menyebabkan neuritis akut. Obat yang digunakan biasanya kortikosteroid dengan pilihan prednison dengan dosis 40-60 mg/hari lalu diturunkan bertahap. Dapat di berikan analgesik dan sedatif. 3.8 Komplikasi Kecacatan ( terutama pada ekstremitas bagian distal) Kerusakan syaraf 3.9 Prognosis Prognosis sangant bergantung pada stadium penyakit serta kepatuhan pasien dalam berobat.

BAB III KESIMPULAN Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Insidensi puncak pada umur 10-12 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 25-35 tahun. Kusta banyak terdapat di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Kepulauan Samudra Pasifik. Di Indonesia penyakit lepra tersebar di seluruh provinsi. Daerah tingkat prevalensi tinggi penderita antara lain terdapat di Aceh, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, daerah pantai utara Jawa, Jawa Timur, Madura, dan Papua. Berdasarkan Ridley dan Jopling, kusta diklasifikasikan menjadi tipe TT, BT, BB, BL, dan LL, sedangkan WHO dan Depkes mengklasifikasikan sebagai Pause Basiler dan Multi Basiler. Diagnosis kusta berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan histopatologis.

17

DAFTAR PUSTAKA 1. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat http://data.menkokesra.go.id/content/penyakit-lepra diakses Maret 2013 2. Djuanda, adi, Hamzah Mochtar, Aizah siti, 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi 4. FK UI.Jakarta 3. Junqueira LC. Histology dasar. Ed 10. Jakarta : EGC ; 2007. 4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC 5. Mansjoer. A, Suprohaita, Wardhani. W.I, Setiowulan. W, 2009. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Media Aesculapius FK UI. Jakarta 6. Sudigdo .Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi .2000. Bandung. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

18

You might also like