You are on page 1of 7

Pengantar: Ini adalah tulisan Ustadz Chodjim, penulis buku "Syekh Siti Jenar : Makna Kematian", "Mistik dan

Makrofat Sunan Kalijaga", "Membangun Surga" dan lain lain. Selamat membaca: Carakan harus dibaca sebagaimana kita membaca "Candra Sengkala", yaitu dimulai dari "Maga Bathanga". Maga mbathang = Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi. Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim", atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Dus, maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini. Padha jayanya = kekuatan dalam diri manusia dan di luarnya telah menyatu padu. Dalam bahasa daratan Cina, Yin dan Yang telah jumbuh menjadi satu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya. Dhata sawala = tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam, tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan. Hana caraka = muncullah caraka, atau lahirlah pesan atau kreasi. Dus, lahirnya alam semesta ini ya adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip. Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini ya karena adanya manusia-manusia yang menjalani proses Hanacaraka. Selama kita tidak mau menjalankan proses "mbathang" atau mematikan ego, maka selamanya tak akan ada kreasi. Matur kasuwun, chodjim KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah. Konsepsi secara tradisional.

Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 ) Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka. Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni : 1. Ha-na-ca-ra-ka 2. Da-ta-sa-wa-la 3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VIIDhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut : Dora goroh ture werdineki Dora bohong ucapannya yakin Sembada temen tuhu perentah Sembada jujur patuh perintah Sun kabranang nepsu ture Ku emosi marah ucapannya Cidra si Dora iku Ingkar si Dora itu Nulya Prabu Jaka angganggit Lalu Prabu Jaka Menganggit

Anggit pinurwa warna Anggit dibuat macam Sastra kalih puluh Sastra dua puluh Kinarya warga lelima Dibuat warga lelima Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya Pindho Da-ta-sa-wala Dua Da-ta-sa-wala Yeku sawarga ping tiganeki Yaitu sewarga ketiganya Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya Pa-dha-ja-ya-nya sewargane Ma-ga-ba-tha-nga ping pate Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya Iku sawarganipun itulah sewarganya Anglelima sawarganeki Lima-lima satu warganya Ran sastra sarimbangan Nama sastra sarimbangan Iku milanipun Itulah sebabnya Awit ana sastra Jawa Mulai ada hufur Jawa Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji Mulai diberi harakat satu per satu Weneh-weneh ungelnya Macam-macam lafalnya Pencinta_IF 29-03-2007, 10:36 AM Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka. Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut. Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut : Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung. Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung. Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta. Pencinta_IF 29-03-2007, 10:39 AM Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI - pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit. Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan. Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat

Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 - 6 ) Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis. Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara hana-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 ) Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar. Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal

dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut. Pencinta_IF 29-03-2007, 10:41 AM Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan Yasadipura adalah " Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta Hadiningrat ". Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 - 10 ) bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi, sebagai berikut. Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa Iku guru kang sejati itu guru yang sejati Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa itu sebagai berikut : Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ) Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya. lebih lengkap : http://www.jawapalace.org/honocoroko.html

You might also like