You are on page 1of 30

HAMBATAN DALAM SISTEM PEMBANGUNAN PERKOTAAN

Abstrak SYAHRIAR TATO. Dalam makalah ini dipaparkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan, dimana terwujudnya pembangunan berkelanjutan merupakan dambaan tiap kawasan atau kota dalam melaksanakan pembangunannya sebab dengan terwujudnya pembangunan berkelanjutan berarti telah menjamin kesejahteraan kehidupan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang dalam segala dimensi kehidupan. Dengan melihat kondisi seperti sekarang ini, dimana ketersediaan lahan semakin terbatas maka dibutuhkan para perencana kota yang dapat mengatasi masalah kompleks perkotaan yang menghambat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Dalam makalah ini juga dibahas mengenai berbagai macam masalah perkotaan yang menghambat pembangunan yang berkelanjutan yang sangat terlihat jelas yaitu masalah urbanisasi yang tidak terkendali yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan sehingga mempengaruhi secara langsung kondisi lingkungan dan kondisi keamanan perkotaan. Sehinnga dibutuhkan keahlian dari perencana kota yang dapat membuat perencanaan yang disatu pihak dapat memecahkan masalah urbanisai dan dilain pihak memperkaya fungsi kota dengan menata ruang perkotaan yang berdaya guna memenuhi segala macam aktivitas perkotaan. Dalam makalah ini juga terdapat contoh kasus yang meperlihatkan kondisi pembangunan yang tidak berkelanjutan di Kecamatan Tambora kotamadya Jakarta Barat. Contoh kasus ini menunjukkan tingkat kemiskinan yang signifikan yang berakibat pada banyaknya muncul permukiman kumuh yang dapat mengganggu keindahan kota serta mengakibatkan pencemaran lingkungan. BAB I

PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan merupakan proses pengolahan sumber daya alam dan pendayagunaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi. Dalam pola pembangunan tersebut, perlu memperhatikan fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia, agar dapat terus-menerus menunjang kegiatan atau proses pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung padanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Proses pembangunan terutama bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat baik secara spiritual maupun material. Definisi ini menunjukan bahwa adanya suatu pembangunan karena suatu kebutuhan, dan masalah. Adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah suatu harapan. Sedangkan jika harapan tersebut tidak tercapai berarti, hal itu adalah masalah. Dengan demikian pembangunan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah. Karena titik tolak pembangunan dimulai dari tindakan mengurangi masalah tersebut dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan meningkatkan untuk mencapai suatu tingkatan yang layak. Pembangunan yang tidak bertitik tolak dari masalah berarti ada indikasi kesalahan konsep dan model pembangunan tersebut berorientasi pada penyelesaian masalah sebagai penyebab akar masalah bukan akar masalahnya. Hal ini menyebabkan peningkatan laju pembangunan lama untuk mencapai suatu pertumbuhan pembangunan yang merakyat. Model pembangunan yang merakyat berarti berangkat dari masyarakat.

Pembangunan dalam konteks Negara selalu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik yang merata. Pembangunan bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan peningkatan pendapatan perkapita sebagai indeks dari pembangunan saja, akan tetapi pembangunan merupakan suatu proses multi dimensi yang meliputi pola reorganisasi dan pembaharuan seluruh sistem dan aktifitas ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan kehidupan warga masyarakat. Bagi manusia, pembangunan tidak hanya dalam konteks pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi tetapi juga haruslah melihat aspek keadilan terhadap lingkungan. Lingkungan bagi ummat manusia adalah salah satu modal dasar dalam pembangunan. Lingkungan sehat, bersih, lestari, secara tidak langsung akan mempengaruhi keberlanjutan produktifitas manusia di masa yang akan datang. Artinya, dalam konteks tersebut selain keberlanjutan dari sisi ekonomi dan sosial, maka diperlukan juga keberlanjutan pada sisi ekologis. Sinergi tiga aspek tersebut yaitu, ekonomi, sosial dan budaya didalam pembangunan disebut dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah satu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memafaatkannya. Menurut Brundtland Report dari PBB 1987, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris,sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunanekonomi dan keadilan sosial.

( http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan) Ada dua makna gagasan yang terkandung didalam cara pandang pembangunan berkelanjutan yaitu : gagasan kebutuhan, yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan oerganiasi social terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. (http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2007/06/bagaimanakonsep-pembangunan-kota-.) Pembangunan berkelanjutan juga mensyaratkan adanya pemeliharaan keanekaragaman. Pemeliharaan keanekaragaman hayati untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Yang tak kalah pentingnya adalah pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakuan yang merata terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat. Namun, tentunya masih saja ada hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri. Hambatan dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan diantaranya diantaranya masalah internal dan eksternal perkotaan. Dalam pembahasan/makalah ini dibahas mengenai hambatan dalam pembangunan berkelanjutan khususnya masalah internal perkotaan sebagai sistemnya dan sebagai subsistemnya dibatasi pada pada 3 masalah yaitu masalah kemiskinan di perkotaan, masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan dan masalah keamanan dan ketertiban kota. 1. B. Rumusan Masalah Dari pembahasan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah : 1. Apa yang menjadi masalah internal perkotaan. 2 . Bagaimana masalah kemiskinan di perkotaan.

3. Bagaimana masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan. 4. Bagaimana masalah keamanan dan ketertiban kota. 1. C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk mengidentifikasi masalah internal perkotaan 2. Untuk mengidentifikasi kemiskinan di perkotaan 3. Untuk mengidentifikasi kualitas lingkungan hidup perkotaan 4. Untuk mengidentifikasi keamanan dan ketertiban kota 1. Kegunaan Penulisan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. 2. 3. 4. Untuk mengetahui masalah internal perkotaan. Untuk mengetahui kemiskinan di perkotaan. Untuk mengetahui kualitas lingkungan hidup perkotaan. Untuk mengetahui keamanan dan ketertiban kota. BAB II PEMBAHASAN Permasalahan pembangunan berkelanjutan sekarang telah merupakan komitmen setiap orang, sadar atau tidak sadar, yang bergelut di bidang pembangunan. Permasalahan pembangunan berkelanjutan juga tak dapat diabaikan dalam perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan tekonologi, termasuk ilmu perencanaan kota. Perencanaan kota bertujuan menyelesaikan atau mengatasi permasalahan kota melalui penyediaan ruang untuk semua kegiatan masyarakat yang kompleks, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Ini berarti tujuan kegiatan perencanaan kota, yang menghasilkan kebijakan

rencana kota, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman utama pembangunan kota, adalah untuk mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan sebagai hasil debat antara pendukung pembangunan dan pendukung lingkungan. Konsep pembangunan yang berkelanjutan ini terus berkembang. Pada tahun 1987, Edward B. Barbier mengusulkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dilihat sebagai interaksi antara tiga system : sistem biologis dan sumber daya, sistem ekonomi dan sistem sosial. Selain itu, dalam menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan ini, Budimanta membandingkan perkembangan kota Jakarta dengan kota-kota lain di Asia, yaitu Bangkok, Singapura, Tokyo yang memiliki kualitas pembangunan yang berkelanjutan yaitu cara berpikir yang integrative, perspektif jangka panjang mempertimbangkan keanekaragaman dan distribusi keadilan social ekonomi. (Arif Budimanta Dalam Bunga Rampai, 2005: 375-377) Beberapa pemikir dibidang perencanaan dan perancangan kota, serta lingkungan buatan di perkotaan, berpendapat bahwa untuk mencapai proses pembangunan berkelanjutan, perlu perencanaan dan perancangan yang bersifat ekologis dan berlandaskan etika non-antroposentris. Etika lingkungan nonantroposentris memandang manusia sebagai anggota komunitas hidup di dunia, seperti juga mahluk hidup lainnya, seperti juga semua mahluk hidup lainnya. Sejak paruh abad ke-20, berkembang etika lingkungan non-antroposentris sebagai salah satu akibat terjadinya krisis-krisis lingkungan. Etika lingkungan non-antroposentris itu terbagi atas beberapa aliran, seperti biosentris, bioregionalisme, ekofeminisme dan sebagainya Proses pembangunan berkelanjutan di perkotaan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi terhadap kondisi kawasan-kawasan di kota tersebut, proses-proses yang terjadi di dalam masyarakat dan antara masyarakat dan lingkungannya. Evaluasi itu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu cara adalah evaluasi berdasarkan kriteria pembangunan berkelanjutan. kriteria pembangunan berkelanjutan di perkotaan dirumuskan

berdasarkan pemikiran-pemikiran yang berkembang seperti diuraikan diatas, dan pemahaman bahwa kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah ancaman utama pembangunan berkelanjutan. Kemiskinan serta kerusakan lingkungan hidup merupakan ancaman utama bagi proses pembangunan berkelanjutan dengan melihat tujuan dari pembangunan berkelanjutan yaitu mencapai masyarakat sejahtera (masyarakat berkelanjutan) dalam lingkungan hidup yang berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 405) Berikut dibahas mengenai tiga sub sistem masalah internal perkotaan yang merupakan hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yaitu masalah kemiskinan di perkotaan, masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan dan masalah keamanan dan ketertiban perkotaan. 1. A. Masalah Kemiskinan di Perkotaan Kemiskinan merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang dialami suatu kelompok (masyarakat pra sejahtera), dan terdapat di mana-mana, baik di Negara maju maupun di Negara-negara yang sedang berkembang. Ketidakadilan itu terlihat dari tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka untuk bertahan hidup dalam kesehatan yang baik, sulitnya mendapat akses ke pelayanan publik (sanitasi sehat, air bersih, pengelolaan sampah ) rumah sehat, RTH, pelayanan pendidikan dan sebagainya. Ketidakadilan juga terlihat dari tidak adanya akses kepemilikan hak atas tanah yang mereka huni. Sebagai akibat itu semua, sulit bagi mereka untuk mendapat akses ke pekerjaan yang baik dan stabil. Ketidakadilan itu menyebabkan masyarakat miskin tetap miskin dan mengancam proses pembangunan yang berkelanjutan. Kerusakan lingkungan, kondisi permukiman buruk atau kumuh dalam suatu kawasan memperlihatkan bahwa kawasan tersebut sedang dalam proses tidak berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 410) Saat ini masalah kemiskinan perkotaan merupakan masalah mendesak yang banyak dihadapi kota-kota di Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas dari wajah kemiskinan perkotaan

ini adalah kondisi jutaan penduduk yang tinggal di permukiman kumuh dan liar. Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan sosial ekonomi, poltik, dan lingkungan yang bermuara pada kondisi kemiskinan. Pengertian kemiskinan sendiri bermakna multi-dimensi dari mulai rendahnya pendapatan, kekurangan gizi dan nutrisi, tidak layaknya tempat tinggal, ketidakamanan, kurangnya penghargaan social, dan lainlain. Masalah lain yaitu, adanya urbanisasi. Urbanisasi hampir terjadi dimanapun diseluruh dunia disebabkan oleh perkembangan ekonomi dan daya tarik perkotaan yang kadang menjebak bagi mereka yang tidak mampu bersaing sehingga menjadi terpinggirkan. Di Indonesia perkembangan ini cepat sekali sejak tahun 70-an, sebelum itu urbanisasi juga sudah berjalan tapi lebih lambat dan terbatas. Daya tarik kota sebagai pusat mata pencaharian yang membengkak ini sering dibarengi dan diperbesar oleh kemunduran ekonomi diluar kota. menyebabkan mereka para pendatang yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan untuk bersaing di perkotaan memaksa mereka untuk terpinggirkan sehingga menjadi warga miskin di perkotaan, sebagai pengangguran.(Soefaat, 1999: 43) Krisis ekonomi meningkatkan angka kemiskinan absolut di daerah perkotaan. Penduduk perkotaan yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat secara signifikan sejak terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1997. Sebenarnya pemerintah telah berusaha untuk mengentaskan atau mengurangi kemiskinan dengan berbagai programnya. Namun demikian, tampaknya dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang ini, kemiskinan masih tetap merupakan masalah penting sehingga perlu ditangani secara bersama-sama terutama dikawasan perkotaan. (Gita Chandrika Dalam Bunga Rampai, 2005 : 7). Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang tegas dari pemerintah Indonesia dalam melihat masalah ini. Dalam kondisi seperti ini kita dapat belajar pada Negara tetangga kita Malaysia, dalam menetapkan strategi jangka pendeknya. Deputi perdana menteri Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim, telah menginstruksikan kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian untuk

menghentikan import sayur-sayuran dan buah-buahan. Bersamaan dengan itu, beliau menginstruksikan agar masyarakat mau memberdayakan sumber daya lahan yang tersedia untuk menanam sayur-sayuran, paling tidak untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Upaya praktis ini tentu saja tidak dapat secara makro memperbaiki kondisi ekonomi kita, namun paling tidak sejumlah devisa dapat dihemat dan lapangan kerja pertanian dapat digairahkan kembali. Apalagi, seringnya nilai tukar rupiah merosot terhadap nila dollar AS menimbulkan kenaikan harga berbagai jenis barang, termasuk harga-harga kebutuhan pokok yang dampaknya menyentuh segenap lapisan masyarakat. Pada dasarnya hal ini tidak akan terjadi apabila semua kebutuhan pokok tersebut dapat dicukupi oleh kita sendiri. Sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin melakukannya, mengingat bangsa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Hanya saja hingga ssat ini pengelolaan sumberdaya tersebut belum optimal. Kebutuhan bahan pokok sebenarnya mampu kita penuhi, mengingat produkproduk bahan pokok tersebut berasal atau bersumber dari sumber daya hayati. Kebutuhan masyarakat, baik pangan, sandang, maupun papan, semuanya merupakan produk olahan yang menggunakan bahan dasar sumber daya hayati. Kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki hingga saat ini belum dimnafaatkan secara optimal. Seharusnya dengan kekayaan hayati tersebut, kebutuhan kita akan barang-barang, khususnya yang berdasar sumber daya hayati, dapat kita penuhi sendiri. Swasembada bahan pokok seharusnya dapat kita lakukan. Swasembada bahan pangan yang kita lakukan masih mengalami hambatan sebab meskipun Negara kita hidup dalam pola agraris, tetapi ketergantungan terhadap agro-industri, baik hulu maupun hilir dapat dilepaskan. Sebagai contoh, dalam pengadaan beras, melalui pancausaha tani pemerintah mengharuskan petani menggunakan varietas benih unggul padi, yang awalnya yang diperoleh dari IRRI (Iinternasional Rice Research Institut). Padahal, seperti kita ketahui pada jenis tersebut tidak dapat tumbuh tanpa dipupuk dan diberi pestisida. Hal tersebut mengakibatkan petani sangat

tergantung pada indutri pupuk dan pestisida, padahal tidak ada satu pun industri yang bahan bakunya tidak tergantung impor. Sehingga begitu dollar AS naik, harganya pun ikut naik, dan dampak sampai kepada sektor pertanian. Yang menjadi kunci permasalahan adalah mengapa pasokan hulu dan hilir tidak dikembangkan secara mandiri di tingkat lokal dan nasional. Ketergantungan petani terhadap bibit tersebut menyebabkan petani tidak menjadi orang bebas. Oleh karena itu, untuk kembali memperdayakan petani, maka kekuasaan atas bibit harus dikembalikan kepada mereka. Mereka diberikan peluang untuk membudidayakan bibit-bibit lokal yang sudah ada. Bila hal ini dilakukan, ketergantungan petani dari jaringan internasional industri bibit akan hilang dan memunculkan kekuatan lokal. Krisis ekonomi yang menyebabkan naiknya harga kebutuhan bahan pokok telah menimbulkan berbagai kerusuhan. Kerusuhan ini bahkan telah menembus sampai kawasan pedesaan atau kawasan pinggiran kota. Hal ini disebabkan desa telah kehilangan daya tahan menghadapi krisis. Kultur agraris yang menjadi basis pertahanan ekonomi desa telah hilang maupun ditinggalkan, diganti dengan pola modern yang tergantung pada industri. Sementara industri yang diharapkan mampu menopang sektor pertanian, kondisinya sangat rentang dan keropos, karena ketergantungannya pada bahan baku impor. Kebijakan tegas untuk meninggalkan kultur agraris, karena ada pandangan bahwa pola pertanian yang ada selama ini tidak memberikan nilai tambah, sangatlah naif. Nilai tambah yang dimaksud dalam konteks tersebut adalah yang bisa memberikan konstribusi devisa, bukan dalam pengertian mampu memberikan daya hidup pada komunitas desa. Bahkan kecenderungannya adalah mengubah kawasan pedesaan yang mampu mandiri berbasis pertanian keanekaragaman hayati, sebagai ajang konversi, menjadi kawasan industri dan kawasan permukiman perkotaan. Ketahanan kita akan kebutuhan bahan pokok sangatlah kurang, karena investasi yang ada selama ini bukan untuk pembangunan

industri yang berbasis sumber daya alam hayati (agroindustry). Tempe, yang merupakan makanan Indonesia sejak dahulu kala, ternyata kita belum mampu menjadi produsen bahan baku kedelainya hingga kini. Kedelai hingga kini masih harus diimpor. Semuanya itu disebabkan kita belum pernah mengadakan penelitian bioteknologi, yang dapat mendukung pola agraris yang kita miliki agar efisien. Penelitian yang ada selama ini bukan membumi, tetapi menuju ke langit. Untuk itu, dalam rangka peningkatan ketahanan akan kebutuhan bahan pokok, diperlukan upaya pembangunan daerah yang berbasis keanekaragaman hayati setempat.(Sugandi, 2007: 46-50) Penelitian penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemiskinan tidaklah statis. Orang miskin bukanlah orang yang pasif. Ia adalah manajer seperangkat asset yang ada di seputar diri dan lingkungannya. Keadaan ini terjadi pada orang yang miskin yang hidup di Negara yang tidak menerapkan sistem Negara kesejahteraan (welfare state). Sistem yang dapat melindungi warganya menghadapi kondisi-kondisi yang memburuk yang mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya. Pendekatan kemiskinan yang berkembang selama ini perlu dilengkapi dengan konsep keberfungsian sosial yang lebih bermatra demorasi-sosial ketimbang neoliberalisme. Rebounding atau pelurusan kembali makna keberfungsian sosial ini akan lebih memperjelas analisis mengenai bagaimana orang miskin mengatasi kemiskinannya, serta bagaimana struktur rumah tangga, keluarga kekerabatan, dan jaringan sosial mempengaruhi kehidupan orang miskin. Paradigma baru lebih menekankan pada apa yang dimiliki si miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki si miskin . (Suharto, 2005 : 148) Pada akhirnya kebijakan pengurangan kemiskinan yang selama ini yaitu pendekatan top-down dalam perencanaan kebijakan

yang sekarang dilakukan, yaitu pemerintah dan para pakar menganggap dirinya yang paling mengetahui tentang prosesproses yang terjadi dimasyarakat, perlu diganti dengan pendekatan bottom-up, yaitu melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog-dialog yang demokratis, menghargai perbedaanperbedaan, keadilan dan kesetaraan jender. Ilmu pengetahuan modern antroposentris sebagai dasar perencanaan kebijakan publik untuk mengelola kehidupan masyarakat dan lingkungan perlu diganti dengan ilmu pengetahuan yang bersifat nonantroposentris, menghargai etika dan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan di lingkungan alam. (Madrim Djody Gondokusumo Dalam Bunga Rampai, 2005 : 418) 1. B. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat lingkungan. Sejak berabad tahun yang lalu nenek moyang kita telah merubah hutan menjadi daerah pemukiman dan pertanian. Perubahan hutan menjadi sawah merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk produksi bahan makanan dibawah kondisi curah hujan yang tinggi dan juga untuk mengurangi resiko erosi di daerah pegunungan. Hingga sekarang pencetakan sawah masih berjalan terus. Dengan perubahan hutan atau tata guna lahan lain menjadi sawah berubahlah pula keseimbangan lingkungan. Jadi jelaslah keserasian bukanlah suatu hal yang kekal, melainkan berubah-ubah menurut umur orang atau golongan, tempat dan waktu. Karena itu melestarikan keserasian bertentangan dengan hakekat hidup yang menginginkan perubahan. Melestarikan keserasian akan berarti meniadakan kebutuhan dasar untuk dapat memilih. Karena itu akan berarti menurunkan mutu lingkungan dan dengan itu mutu hidup. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan pada hakekatnya tidak bisa dilepaskan dari pembangunan manusia itu sendiri. Manusia merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Manusia berada pada posisi sentral sahingga

pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilya tidak boleh mengabaikan dimensi manusianya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan pendekatan pembangunan yang menitikberatkan pada segi manusia. Pembangunan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup manusia. Di lain pihak, pembangunan yang makin meningkat akan memberikan dampak negatif, berupa resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Kerusakan ini pada akhirnya akan menjadi beban yang malah menurunkan mutu hidup manusia, sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan akan sia-sia. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan manusia, sehingga menuntut tanggung jawab dan perannya untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Keberlanjutan pembangunan harus memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, sumber daya manusia, serta pengembangan sumber daya buatan, dan menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan, serta menjadi jaminan bagi kesejahteraan serta mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang. Permasalahan ketersediaan tanah di perkotaan sebagai lahan hijau sangat terbatas. Selain harga tanah yang mahal, juga kurangnya penghargaan bagi pemilik tanah terlantar untuk dimanfaatkan sebagai lahan terbuka hijau. Penggunaan ruang terbuka hijau mulanya diawali dengan tumbuhnya perumahan liar yang semakin luas dan sulit dikendalikan, yang selanjutnya menimbulkan terbentuknya kawasan kumuh. Apalagi para penghuni tersebut dikenakan pajak tidak resmi sehingga mereka merasakan seolah mendapatkan legalitas untuk tinggal di tempat tersebut. Begitu juga, disisi lain factor urbanisasi, khususnya golongan berpendapat rendah dan kurangnya tingkat pendidikan, mendorong mereka untuk menduduki lahan ruang terbuka hijau. Seperti pemanfaatan tepian tepian bantaran sungai dan tepian jalur kereta api sebagai tempat tinggal. (Soemarwoto, 1983 : 6061)

Secara sistem, ruang terbuka hijau kota pada dasarnya adalah bagian dari kota yang tidak terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan, kesejahteraan, penigkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam, umumnya terdiri dari ruang pergerakan linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis (Spreigen 1965). Perencanaan ruang terbuka hijau secara tepat mampu mampu berperan dalam menigkatkan kualitas atmosfer kota, penyegaran udara, menurunkan suhu kota, menyapu debu permukaan kota, menurunkan kadar polusi udara dan meredam kebisingan. Penelitian Embleton (1963) menyatakan bahwa 1 hektar ruang terbuka hijau dapat meredam suara pada 7 db per 30 meter jarak dari sumber suara pada frekuensi kurang dari 1000 CPS , atau penelitian Carpenter (1975) dapat meredam kebisingan 25-80 %. Kualitas udara bersih merupakan factor luar yang sangat berpengaruh. Karena itu, keberadaan ruang terbuka hijau kota merupakan eksternalitas ekonomis, bukan disekonomis. Artinya, ruang terbuka hijau akan menyebabkan seseorang atau beberapa individu menjadi lebih sehat dan baik. Dengan demikian, ada kemauan untuk menerima ruang terbuka hijau dari peningkatan aktivitas lain yang menguntungkan. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka hijau kota merupakan manfaat sosial yang terdiri dari surplus konsumen sekaligus juga merupakan surplus produsen, sehingga umumnya kesejahteraan (kesehatan) penduduk kota meningkat akibat lingkungan yang sehat. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota terdiri atas sebagai berikut : 1. a. Pemerintah Kewajiban pemerintah kota, dalam hal ini instansi/lembaga dinas pertamanan, dan dinas kehutanan adalah mengadakan dan menyelenggrakan pembangunan secara adil untuk meningkatkan kehidupan masyarakat kota, termasuk di dalamnya bidang keamanan, kenyaman, dan keserasian. Apabila hal ini dikaitkan dengan jenis ruang terbuka hijau yang ada maka ruang terbuka hijau yang harus disediakan oleh pemerintah adalah ruang terbuka hijau koridor yang meliputi: jalur hijau kota dan jalur hijau jalan; ruang terbuka hijau produktif yang meliputi kawasan

pertanian kota, perairan/tambak; ruang terbuka hijau konservasi yang meliputi kawasan cagar alam dan hutan kota; ruang terbuka hijau lingkungan yang meliputi kawasan taman lingkungan dan bangunan, serta permakaman, perkantoran dan kebun binatang 1. b. Swasta Peranan swasta sebagai pelaku ekonomi kota, yang bergerak di sektor formal maupun informal, tidak secara mutlak berkewajiban untuk melaksanakan pengadaan ruang terbuka hijau kota. Melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu serta pengkajian dari sudut pandang swasta, dapat disediakan ruang terbuka hijau yag memungkinkan untuk dikelolah oleh swasta, yaitu ruang terbuka hijau untuk keindahan/estetika; ruang terbuka hijau untuk rekreasi; ruang terbuka hijau lainnya yang dapat dikomersialkan. 1. c. Masyarakat Kota Peran serta masyarakat, baik secrara individual maupun kelembagaan terhadap ruang terbuka hijau lebih terbatas pada pemanfaatan dan pemeliharaan. Dari segi perencanaan maupun pengadaannya, peran serta masyarakat sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan keberadaan ruang hijau kota biasanya terbentuk oleh adanya tanah kosong yang belum/tidak dimanfaatkan. Kelangsungan keberadaannya tidak dapat dijamin, sehubungan dengan sifat penguasaan tanahnya yang lebih banyak bersifat individu (bukan tanah negara). 1. d. Media Massa Media massa, baik media elektronik maupun media cetak, ikut berperan sebagai pelaku dalam pengelolaan ruang terbuka hijau, khususnya dalam menciptakan opini publik terhadap pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Disamping hal tersebut, fungsi media massa juga bermanfaat untuk ikut mengawasi perkembangan ruang terbuka hijau. (Sugandy, 2007 : 103-105 )

Indonesia sudah mulai menyadari bahwa untuk mencapai masyarakat perkotaan masyarakat kehidupan perkotaan yang sejahtera, kualitas lingkungan hidupnya harus baik, karena akan beperngaruh pada kualitas hidupnya (Quality Of Life). Masalah yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup dan pada akhirnya kualitas hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik seperti kualitas udara, air, tanah; kondisi lingkungan perumahannya seperti kekumuhan, kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak memadai serta kulaitas dan keselamatan bangunannya; ketersediaan saran dan prasarana serta pelayanan kota lainnya; aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan ketimpangan kondisi antar golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhan-kebutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi dan mengejawantahkan aspirasi-aspirasi sosial budayanya; serta jaminan perlindungan hukum dan keamanan dalam melaksanakan kehidupannya. Kohesi sosial dan kesetaraan (Equity) merupakan faktor penting dalam kualitas hidup di perkotaan. Kekumuhan kota disebabkan karena sumber daya yang ada di kota tidak mampu melayani kebutuhan penduduk kota. Kekumuhan kota bersumber dari kemiskinan kota yang desebabkan karena kemiskinan warganya dan ketidakmampuan pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga disebabkan karena tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup layak, serta akses pada modal dan informasi yang terbatas. Kemiskinan ini akan berdampak pada kemampuan warga untuk membayar pajak yang diperlukan untuk membangun fasilitas dan infrastruktur di kawasannya. Permasalahan utama prasarana dan sarana perkotaan (PSP) termasuk perumahan adalah tidak memadainya suplay dibandingkan dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan terbatasnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayan PSP yang layak. Akibat dari keterbatasan suplay dibandingkan dengan kebutuhan, maka masyarakat yang berpenghasilan

rendah justru harus membayar harga mahal untuk memperoleh pelayanan PSP tersebut. Berkaitan dengan perumahannya, mereka terpaksa menggunakan lahan-lahan secara liar dengan kualitas perumahan yang jauh dibawah standar. (Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 7-8 ) 1. C. Masalah Keamanan dan Ketertiban Perkotaan Beberapa teror bom yang terjadi di beberapa kota di Indonesia akhir-akhir ini, seperti di Bali, Jakarta dan lain-lain telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat perkotaan dan mengganggu jalannya perekonomian kota. Selain itu, beberapa kota di Indonesia juga mengalami penurunan kualitas kehidupan dengan banyaknya terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh konflik antar kelompok masyarakat, seperti di Poso, Palu, Ambon, Banda Aceh dan sebagainya. Permasalahan ini diperberat dengan masalah ketertiban di perkotaan Karena tidak disiplinnya masyarakat perkotaan. Hal ini tercermin dengan jelas antara lain dalam disiplin berlalu lintas. Saat ini juga semakin sering terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, terutama di kota-kota besar. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal seperti tidak adanya sosialisasi dari pemerintah, kurangnya pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, kurangnya pemahaman akan hak-hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pembangunan kota dan lain sebagainya. Semua hal tersebut diatas sangat berpengaruh pada kinerja kotanya.( Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 9-10) Kemampuan untuk membuat perencanaan yang di satu pihak memecahkan masalah urbanisasi dan dilain pihak memperkaya fungsi kota merupakan keahlian yang sangat diharapkan dari para perencana kota pada masa akan datang. Setiap kota, selain berusaha untuk meningkatkan fungsi-fungsi perkotaan yang bersifat standar, sebaiknya juga mengembangkan fungsi-fungsi khusus yang kompetitif secara global. Tetapi kedua hal di atas hanyalah suatu strategi umum dalam menyiasati permasalahan

pengembangan kota, dan sebenarnya baru bisa terlaksana bila beberapa permaslahan pokok dari kota-kota di Indonesia telah diperbaiki secara substansial. (Santoso, 2006 : 61) 1. D. Contoh Kasus Contoh dari hambatan pembangunan yang berkelanjutan akibat kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup, yaitu yang terjadi di Kecamatan Tambora, kotamadya Jakarta Barat (melalui penelitian yang dilakukan pada tahun 2002-2003). Kecamatan Tambora adalah kecamatan yang berkepadatan penduduk tertinggi di DKI Jakarta, yaitu lebih dari 500 orang per hektar, memiliki permukiman kumuh atau buruk yang sangat luas dan kemiskinan yang sangat signifikan. Evaluasi yang dilakukan berdasarkan Perhitungan kriteria pembangunan yang berkelanjutan di perkotaan (3 PRO) terhadap kecamatan itu memperlihatkan bahwa proses tidak berkelanjutan sedang berlangsung. Hal itu tentunya juga mengancam subsistemsubsistem lain dalam system kota Jakarta, karena komponenkomponen pembentukan yang membentuk jaringan, subsistem Kecamatan Tambora tersebut diatas, dapat dikelompokkan dalam tiga dimensi yang saling berinteraksi terus menerus, yaitu dimensi social ekonomi dan lingkungan. Kerusakan lingkungan, yang merupakan faktor ekologis sebuah kota, dalam kasus Kecamatan Tambora, dapat dilihat pada kondisi air, tanah, dan udara yang telah tercemar. Pencemaran itu disebabkan oleh berbagai sumber didalam dan luar Kota Jakarta, serta sebagai akibat tidak berfungsinya pengelolaan sampah dan limbah cair kota. Tumpukan sampah di TPS juga merupakan sumber berkembangnya vektor-vektor penyakit, seperti kecoa, lalat, nyamuk, tikus, dll. Kondisi lingkungan pemukiman buruk atau kumuh seperti diuraikan diatas memperlihatkan bahwa kawasan itu sedang dalam proses yang tidak berkelanjutan. Kemiskinan dan fungsifungsi lingkungan hidup yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu merupakan ancaman terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman itu tidak hanya terjadi di dalam kawasan

atau subsistem Kecamatan Tambora saja, tetapi juga akan mempengaruhi subsistem-subsistem lain yang membentuk kota Jakarta.

STRATEGI DAN HAMBATAN STRUKTURAL DAN MORAL DALAM PEMBANGUNAN DESA


Oleh Prof. Dr. H. Arkanudin, M.Si Guru Besar Antropologi FISIP dan Dosen Magister Ilmu Sosial Untan dan Tutor Program S-2 MAP UT Pontianak Pendahuluan
Pembangunan nasional adalah proses perubahan yang terus menerus yang merupakan kemajuan dan pembaharuan menuju kearah tercapainya tujuan nasional. Khakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya, atau kepuasan bathiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggungjawab, rasa keadilan dan sebagainya, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Pembangunan desa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional mempunyai arti dan peranan yang strategis, karena desa berserta masyarakatnya merupakan landasan dari kekuatan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Pembangunan desa dapat pula diartikan sebagai titik sentral dari pembangunan nasional sebab segala sesuatu yang menyangkut masalah pembangunan bermuara dan berakhir di pedesaan dan sebagian terbesar dari penduduk Indonesia tinggal di pedesaan termasuk jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (Kompas, 6 Nompember 1991). Sehingga adalah wajar dalam setiap kebijaksanaan pembangunan nasional, pembangunan desa mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah (Arkanudin, 2001). Kebijaksanaan dan strategi pembangunan nasional pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya lapisan bawah yang umumnya mereka lebih banyak dan berasal dari pedesaan. Model dan strategi pembangunan desa di Indonesia pada dasarnya adalah untuk mengoptimalkan sumber daya alam dan manusia baik lewat pendayaangunaan sumber-sumber maupun alokasinya. Dalam pembangunan desa ada hal yang tidak bisa dihindarkan yaitu akses pembangunan lebih banyak dinikmati oleh para elit desa lapisan atas. Hal ni tidak hanya disebabkan oleh kegiatan pembangunan tidak bisa menyentuh semua lapisan masyarakat dalam waktu yang bersamaan karena terbatasnya sumber-sumber pembangunan sehingga mengharuskan ditentukan skala perioritas tetapi juga karena adanya beberapa hambatan struktural dan moral yang menghalangi hubungan the out siders dengan masyarakat lapisan bawah.

Konsep Pembangunan Desa

Pembangunan masyarakat desa mengandung makna pendekatan kemasyaraatan, partisipasi masyrakat dan pengorganisasian dan pelasanaannya berorientasi pada inisiatif dan daya kreasi masyarakat (Swalem,1997). Pembangunan desa mempunyai pengertian yang lebih luas di dalamnya pengertian pembangunan masyarakat desa, di mana terintegrasinya berbagai usaha pemerintah dan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang mencakup beraspek (Amrullah, 1983). Berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 1969, bahwa pembangunan desa adalah usaha pembangunan dari masyarakat pada unit pemerintah yang terendah yang harus dilaksanakan dan dibina terus menerus, sistematis dan terarah sebagai bagian yang terpenting dalam usaha pembangunan negara yang menyeluruh. Sedangkan Kantor Pembangunan Desa Purwakarta Jawa Barat (1992), mendefinisikan bahwa pembangunan desa adalah seluruh kegiatan pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong royong. Penegrtian terpadu disini adalah dalam ham perencanaannya dipadukan. Sedangkan sasarannya adalah menjadikan tingkat perkembangan desa di seluruh Indonesia menjadi desa swasembada. Lokasi kegiatan terpadu yaitu mengutamakan desa-desa yang terkebelakang, kritis, rawan serta padat penduduknya. Pengertian pembangunan desa juga dapat dilihat dari berbagai segi (Zein, 1983; Suwignyo, 1985; Sarmato, 1985; Arkanudin,1995), yaitu: (1) Pembangunan desa sebagai suatu Proses, yaitu merupakan suatu perubahan dari cara hidup tradisional masyarakat pedesaan menuju cara hidup yang lebih maju. Dalam pada ini pembangunan desa lebih di tekankan pada aspek perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik yang menyangkt segi-segi sosial, ekonomi maupun psykologis; (2) Pembangunan desa sebagai suatu Metode, yaiyu mengusahakan agar masyarakat berkemampuan dalam membangun diri mereka sendiri sesuai dengan kemampuan dari sumber-sumber yang mereka miliki. Jadi pembangunan desa di sini lebih ditekan pada cara-cara untuk mencapai atau mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan; (3) Pembangunan desa sebagai suatu Program, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, lahir dan bathin. Pembangunan desa di sini lebih ditekankan kepada bidang kegiatan pemerintah dalam pelayanan terhadap masyarakat, seperti di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, industri, koperasi, keluaga berencana dan transmigrasi dan lain-lain; (4) Pembangunan desa sebagai suatu Gerakan, yaitu yang tekanannya lebih diarahkan untuk menunjukkan masyarakat secara terkoordinir dan terarah sesuai dengan citacita nasional kita, yaitu terwujudnya masyarakat Pancasila yang kita inginkan bersama. Jadi penekanan pembangunan desa di sini adalah dalam kerangka ideologis yang mendasar yang mengarahkan proses, metoda dan program pembangunan desa. Senada dengan itu, Islamy, (1992) juga menyatakan bahwa pembangunan desa pada khakekatnya merupakan kegiatan terencana mengandung tiga unsur pokok, yakni metode, proses dan tujuan. Metode pembangunan desa yang baik harus melibatkan seluruh anggota masyarakat dan menyangkut kegiatan yang berkaitan langsung dengan kepentingan sosioekonomis mereka. Sebagai proses, pembangunan desa merupakan proses transformasi budaya yang diawali dengan kehidupan tradisional yang mengandalkan kebiasaan-kebioasaan turun temurun untuk diubah menjadi masyarakat modern yang mendasarkan kemajuan hidup pada kesediaan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta sebagai tujuan, pembangunan desa bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup, menciptakan kesempatan yang lebih baik bagi pengembangan mata pencaharian, serta mengusahakan terciptanya prasarana fisik dan pelayanan social yang sama dengan daerah perkotaan.

Selanjutnya secara fungsional pembangunan desa sesuai dengan peraturan perundang-undang yang ada menjadi tanggung jawab pihak Deparemen Dalam Negeri yang sekarang telah berubah menjadi Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan secara operasional adalah tanggung jawab Departemen/Lembaga non Departemen di bidangnya masing-masing. Sedangkan tujuan pembangunan desa (Amrullah, 1983), adalah sebagai berikut: 1. Menjangkau kelompok masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan 2. Menangani dan mengatasi secara cepat masalah-masalah yang mendesak, ketimpangan dan kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan 3. Mengatasi masalah lapangan kerja 4. Melembagakan secara mendasar missi pemerintah pada seluruh masyarakat 5. Menjaga kesinambungan pembangunan

Strategi Pembangunan Pedesaan Strategi pembangunan pedesaan perlu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat desa. Pembangunan yang dipandang sebagai proses transformasi pada dasarnya akan membawa perubahan dalam masyarakat. Menurut Juoro (1992), bahwa ada dua konsep strategi pembangunan yaitu: pertama adalah konsep loncatan penguasaan teknologi canggih dan yang kedua konsep industri yang berorientasi pada eksport berdasarkan pada addes value dalam proses industriliassai sehingga proteksi dan subsidi pemerintah pada industri perioritas dalam jangka waktu tertentu tetap diperlukan demi memungkinkan terjadinya alih teknologi dan perkembangan industri. Lebih lanjut Juoro, mengatakan bahwa konsep pertama strategi pembangunan tersebut dimotori oleh B.J. Habibie. Sementara itu konsep kedua menekankan pada pengembangan industri pada karya karena masih melimpahnya tenaga kerja yang tidak berketrampilan, sekalipun nilai tambahnya rendah dan juga konsep ini menentang proteksi industri karena pemborosan biaya dan distorsi pasar yang di motori oleh teknorat ekonomi. Thin dan Van Urff (1982 yang dikutip oleh Neskuhn (1988), menggolongkan bahwa strategi pembangunan pedesaan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1. Strategi yang berorientasi pada produksi 2. Strategi yang berorientasi pada mobilisasi sosial 3. Strategi pembangunan desa terpadu. Strategi yang pertama menekankan pada peningkatan produksi melalui berbagai pokok teknologi dan yang kedua menekankan pada pengembangan sumber daya manusia dan yang ketiga adalah merupakan perpaduan antara strategi yang dan kedua. Berbeda dengan pendapat Thin dan Van Urff, Inayatullah (1979) yang dikutip oleh Winarno (1993), yang menyatakan bahwa ada tiga model pembangunan desa yaitu model intervensi rendah, intervensi menengah dan intervensi tinggi. Demikian pula Mubyarto (1984),

yang mengemukakan bahwa ada dua model pembangunan desa yaitu yang berorientasi pada produksi dan yang beroriantasi pada penggunaan sumber daya manusia secara optimal. Untuk yang terakhir ini ada lima unsur pembangunan yang kait mengkait satu sama lain yang mencakup komponen fisik maupun non fisik seperti: kualitas kehidupan fisik mata pencaharian individualitas dan kebebasan memilih pengembangan diri pemekaran kehidupan politik. Kemudian untuk dapat menetapkan strategi pembangunan desa yang tepat, sehingga pembangunan desa mencapai hasil yang diharapkan, menurut Hasan (1993) yang dikutip oleh Arkanudin (1995), bahwa terlebih dahulu harus dilakukan identifikasi terhadap keadaan dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap desa. Keadaan dan permasalahan tersebut dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: a. Keadaan masyarakatnya dimana : Masih ada daerah-daerah pedesaan yang mengalami kekurangan pangan, gizi khususnya pada anak-anak balita. Masih terdapatnya desa yang berpenduduk jarang, dan terpencar serta terisolir. Masih besarnya jumlah pemuda putus sekolah dan kelompok penganggur yang kemudian meninggalkan desa untuk mencari nafkah ke kota. Fasilitas umum seperti air, penerangan yang belum layak. Dilihat dari geografisnya : Desa-desa di pulau Jawa dan Bali umumnya berpenduduk padat, struktur pemerintahannya relatif mantap, keadaan prasarananya relatif lebih baik, ada gejala kemorosotan lingkungan hidup disebabkan pertambahan penduduk. Desa-desa di luar pulau Jawa dan Bali umumnya kebalikan dari kondisi di Jawa dan Bali. Desa-desa di daerah pantai umumnya relatif lebih rendah keadaan lingkungan hidupnya baik dilihat dari prasarana perumahan, kesehatan dan pendidikan. Desa-desa di wilayah perkotaan umumnya relatif lebih berkembang tanpa terkendali sebagai akibat dari arus urbanisasi dan berbagai masalah yang timbul seperti pemukiman kumuh, pembuangan limbah dan lain-lain. c. Dilihat dari segi penyelenggaraannya :

b. -

Struktur serta aparatur pemerintahan desa beserta lembaga-lembaga penyalur pendapat ada yang sudah dan ada yang belum. Penyediaan modal untuk kegiatan usaha masyarakat golongan ekonomi lemah belum memadai. Belum mantapnya koordinasi antar aparatur vertikal dan daerah dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.

Selanjutnya dari hasil identifikasi terhadap keadaan dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap desa, maka kebijaksanaan pokok pembangunan desa adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan desa dilaksanakan dalam hubungan tanggungjawab yang serasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga dalam membangunan desa keikutsertaan masyarakat perlu digerakkan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penguasaan dan pemanfaatan hasilnya. 2. Pembangunan desa meliputi berbagai aspek kehidupan yang saling berkaitan yang terdiri atas berbagai sektor dan program untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat desa. 3. Pembangunan desa di kaitkan dengan perluasan kesempatan kerja dengan meningkatkan produksi baik di sektor pertanian maupun di sektor lainnya seperti industri kecil dan kerajinan rakyat, meningkatkan ketrampilan dan mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan, meningkatkan pemasaran yang didukung oleh sistem kredit yang sudah dan disesuaikan program pembangunan Kuperasi Unit Desa (KUD). 4. Pembangunan desa dikaitkan dengan pengembangan kota kecil dan sedang yang dapat mempengaruhi daerah sekitarnya sebagai pengumpul hasil produksi dan penyalur kebutuhan pokok. 5. Penyusunan program pembangunan desa perlu di sesuaikan dengan kebutuhan setempat dengan menggerakkan dan memanfaatkan sumber daya yang ada. 6. Pembangunan desa juga dikaitkan dengan masalah peningkatan peranan wanita dalam pembangunan (Hasan, 1993).

Program-Program Pembangunan Desa Program pembangunan desa baik yang sudah dilaksanakan sejak zaman orde baru maupun yang sedang dilaksanakan pada saat ini adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan, yaitu: 1. Program Bantuan Pembangunan Desa. Bantuan ini akan diarahkan dan digunakan untuk membantu proyek-proyek swakarya dan swadaya masyarakat desa. Dana bantuan pembangunan desa setiap tahun diusahakan meningkat begitupula proses atau prosedur penyaluran dana, prosedur perencanaan, pengembangan serta pelaporan bantuan agar tercapai keserasian dan percepatan laju pembangunan antar desa yang mempunyai dampak dalam mempercepat pencapaian desa swasembada serta peningkatannya melalui desa pelopor P-4 menuju desa Pancasila.

2. Program Unit Daerah Kerja Permanen (UDKP) Sistem UDKP merupakan sistem manajemen pembangunan desa terpadu di tingkat Kecamatan. Dengan program ini PDT akan lebih ditingkatkan sehingga pelaksanaan PDT mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan eveluasinya dalam koordinasi dari bawah ke atas akan lebih mantap. Melalui sistem UDKP akan ikut dikembangkan teknologi pedesaan yang dapat meningkatkan produksi serta pemasarannya, penataan desa dengan pemugaran perumahan dan lingkungan desa agar desa berkembang lebih maju dengan pemukiman yang tertata, teratur,

nyaman dan tentram. Peningkatan ini juga akan meningkatkan sistem dan mekanisme perlombaan desa.

3. Program Peningkatan Prakarsa dan Swadaya Masyarakat Keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah untuk membiayai berbagai proyek pembangunan yang sangat banyak di yang diperuntukan untuk daerah pedesaan menyebabkan dalam pelaksanaan pembangunan desa di samping belum menjangkau seluruh daerah pedesaan juga kadang-kadang program pembangunan yang di bangunan tersebut tidak sesuai dengan kehendak masyarakat atau dengan kata lain program pembangunan tersebut tidak dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat banyak. Oleh karena itu agar berbagai program pembangunan yang di peruntukan untuk masyarakat benar-benar dapat menyentuh keinginan masyarakat maka perlu peningkatan partisipasi masyarakat baik mulai dari perencanaan hingga sampai pada pelaksanaan pembangunan.

4. Program Pengembangan Sumber Daya Manusia Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di pedesaan agar mampu melaksanakan pembangunan secara mandiri. Program ini lebih menekankan pada pelaksanaan bimbingan, pembinaan, pengarahan dan bantuan dari aparatur pemerintah sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

5. Program Peningkatan Kemampuan Masyarakat untuk berproduksi, berusaha dan berkarya di desa Program ini mendorong serta membantu masyarakat pedesaan dalam usahanya untuk meningkatkan produksi dan diversifikasi produksi baik di bidang pertanian, seperti industri, perdagangan dan jasa. Semua itu nantinya diharapkan juga akan memperlancar, memperluas dan menciptakan lapangan kerja.

6. Program Peningkatan penghasilan golongan masyarakat berpenghasilan rendah Dalam program ini, golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah di tingkatkan kesejahteraannya agar dapat sejajar dengan golongan masyarakat lainnya melalui peningkatan usaha ekonomi desa, usaha peningkatan pendapatan keluarga dengan meningkatkan ketrampilan, meningkatkan desain dan mutu produksi. Di samping itu program ini juga berusaha untuk mendorong dan meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga perkeriditan pedesaan yang ada dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat untuk bisa hidup mandiri.

7. Program Penataan lingkungan dan Pemukiman desa Untuk menciptakan lingkungan desa yang sehat asri dan lestari, agar penduduknya kerasan tinggal di desanya. Maka program meliputi usaha-usaha pemugaran perumahan dan lingkungan desa serta meningkatkan penyuluhan bimbingan dan bantuan di bidang teknik perumahan dan pengaturan lingkungan, perlistrikan desa, air bersih dan pengangan limbah.

8. Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) Program ini dilakukan seperti halnya program-program di atas adalah setelah dilakukan idemtifikasi keadaan dan masalah yang melahirkan kebijaksanaan, khususnya dari aspek geografis, dimana pengembangan desa menghadapi masalah khusus seperti desa terpencil, desa perbatasan, desa di kawasan kritis, desa miskin, desa yang sangat padat penduduknya. Dalam program ini penanganan khusus akan di sesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi masing-masing desa dalam rangka pencapaian keserasian pembangunan daerah. Pembangunan khususnya terhadap desa-desa seperti tadi dalam menghadapi masalahnya ditempuh melalui program ini.

D. Hambatan Struktural dan Moral dalam Pembangunan Desa Tujuan yang paling mendasar dalam pembangunan desa adalah menanggulangi kemiskinan, keterbelakangan, namun dalam mencapai tujuan tersebut banyak sekali hambatan baik struktural maupun moral yang merintangi. Menurut Chamber (1988), adapun hambatanhambatan tersebut adalah berupa prasangka-prasangka yaitu: 1. Prasangka Keruangan Persepsi dan pengetahuan tentang daerah pedesaan di peroleh dari pengamatan yang kurang mencapai sasaran dari kondisi pedesaan yang sebenarnya. Kegiatan dan proses pengamatan bermula dan berakhir di pusat kota. Kekhawatiran jalan yang rusak dan bertebu, akomodasi dan kehabisan bahan bakar sehingga semuanya cenderung untuk memilih lokasi jalan-jalan yang mulus dan tidak jauh dari pusat kota misalnya daerah pinggiran kota atau daerah-daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan. Sebaliknya rakyat miskin sering tergusur dari daerah yang pelayanan transportasinya lebih baik. Setiap pembangunan jalan yang mulus dan licin segera mendatangkan pelayanan lainnya seperti angkutan bis, listrik, telpon, PAM dan akses yang lebih baik terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan. Akibatnya harga lahan mendadak naik dan hanya orang kaya atau berkuasa yang dapat mengambil keuntungan dari perkembangan itu. Penduduk miskin menghilang dan tergusur atau tersembunyi di balik jalan utama. Untuk dapat melihat rumah tangga miskin harus menyimak jauh dari jalan, tidak banyak orang suka melakukan itu.

2. Prasangka Proyek Orang-orang yang mengurus masalah pembangunan desa para peneliti pedesaan terkait pada hubungan kota-desa. Mereka biasanya digiring ke desadesa di mana sejumlah staf diperkerjakan. Beberapa Departemen sampai petugas Kecamatan dan Badan-Badan Sosial semuanya menunjukkan perhatian khusus dan menyalurkan kunjungannya ke tempat itu. Gejala ini jelas kita lihat pada proyek percontohan atau desa binaan yang di dukung oleh dana dan tenaga akhli yang lebih dari cukup, diikuti oleh peserta yang sudah diajari dan tahu apa yang harus dikatakan. Ketenaran dan nama harum, menjerumuskan pimpinan proyek ke dalam masalah hubungan masyarakat. Sebagian besar waktunya habis mendampingi pengunjung atau bila sehari ada dua

atau tiga kunjungan maka perlu di siapkan pemandu yang membawa ke tempat dan ruangan yang sudah di siapkan dan diatur dengan sebaik-baiknya. Proyek inipun tinggal landas dalam selimut mitos yang dihidup-hidupkan. Namun justru dalam mitos itu tertanam tragedi karena proyek tersebut setapak di dorong ke arah kepalsuan diri. Dari pengamatan dan penjelasan merekalah data informasi diperoleh pengunjung.

3. Prasangka Kelompok Sasaran Para elit desa yang umumnya terdiri dari tokoh masyarakat, Pamong desa, Petani progresif. Mereka inilah sebagai sumber informasi pejabat pemerintah, petugas lapangan dan peneliti masalah-masalah pedesaan. Mereka adalah informan-informan yang pasih. Orang-orang inilah yang berbicara dan menjelaskan kepada pengunjung. Mereka inilah yang mengemukakan kepentingan dan keinginan masyarakat desa, sampai akhirnya terumuskan dalam kebijaksanaan pembangunan desa. Mereka pulalah yang menjamu tamu yang akhirnya para elit desalah yang mendapat perhatian terbesar, pelayanan dan di lahan mereka lakukan demontrasi teknologi yang di perkenalkan. Para pemakai jasa dan penerima gagasan baru yang lebih banyak terlihat dan mereka ini adalah orang-orang yang lebih mampu atau kaya dan segera memanfaatkan pelayanan atau menerapkan gagasan baru. Anak-anak sekolah dan orang-orang yang sedang berobat di klinik lebih mudah di wawancarai dari pada orang yang sakit parah tidak punya duit untuk berobat atau terlalu jauh untuk datang ke klinik, atau anggota koperasi dari pada orang yang karena kemiskinannya dan kelemahannya tidak mampu menjadi anggota koperasi. 4. Prasangka Musim Bagi orang-orang yang hidup dari bercocok tanam musim paceklik yang parah terjadi pada musim hujan menjelang panen pertama. Atau pada musim hujan kehabisan bahan pangan, pekerjaan semakin sulit, penyakit mulai terjangkit. Orang-orang yang nekat mulai terjerat hutang. Musim ini juga musim terlilit kemelaratan, karena harus menjual atau menggadaikan harta yang masih bisa di jual atau di gadai. Bila musim hujan behenti, pekerjaan dapat diperoleh sehingga mendatangkan penghasilan untuk membeli bahan makanan dan berobat sehingga penyakit mereka, timbangan badan mulai meningkat, penduduk kelihatan tidak menderita dan kunjungan dari pejabat dan peneliti semakin banyak. Jadi dari gambaran ini karena faktor musim, menyebabkan rakyat kecil dan miskin mendapat perhatian orang luar, bukan pada saat mereka tidak begitu sengsara dan lepas perhatian pada saat mereka menjalani hal-hal yang terjelek.

5. Prasangka Diplomatis Orang kota sering dihinggapi rasa rikuh dalam menghadapi rakyat desa yang miskin, karena di hambat rasa sopan santun, mereka segan menedakati, menemui, mendengarkan dan belajar dari rakyat desa, kemiskinan di dalam suatu desa sebagai hal yang lebih baik ditutupi. Jika dihadapi dengan segala kejujuran ia dapat mencemaskan. Orang yang tanpa pamrih bersungguh-sungguh menangani kimiskinan di suatu desa mungkin tanpa sengaja menyinggung perasaan para tokoh masyarakat dan pamong desa.

Sopan santun dan sikap hati-hati yang berlebihan merupakan pemisah antara oang luar dengan rakyat miskin.

6. Prasangka Profesional Kaum profesional mempunyai nilai dan minat yang membunuh pada masalah sendiri. Mereka tahu apa yang ingin diketahuinya. Sedangkan waktu mereka terbatas oleh karena itu perlu dipersempit perhatiannya. Mereka mencari dan menemukan hal-hal yang sesuai dengan pemikirannya. Profesionalisme yang kurang luas mengarah pada penelaahan dan cara penanggulangan yang tidak tuntas, karena hanya memperhatikan dan menyentuh salah satu aspek saja. Spesialisasi juga cenderung meninjau kehidupan orang miskin dari segi pandangan orang miskin itu sendiri. Misalnya seorang akhli gizi mungkin dapat melihat keadaan kurang gizi, namun tidak melihat bagaimana mereka terjerat utang setiap musim, tingginya biaya pengobatan yang terpaksa menjual lahannya dan bagaimana struktur kekuasaan di desa membiarkan keadaan tersebut.

PENUTUP
Pembangunan desa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional adalah merupakan titik sentral dari pembangunan nasional. Pemerintah pusat pada dasarnya tidak mempunyai wilayah sehingga wilayah pembangunan daerah atau desa identik dengan pembangunan nasional. Pembangunan yang sedang giat-giatnya kita laksanakan mulai dari daerah perkotaan hingga ke daerah pedesaan, tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah belaka, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya atau kepuasan bathiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggungjawab, rasa keadilan dan sebagainya, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Dalam pelaksanaan pembangunan berbagai strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang digunakan pada dasarnya adalah di samping bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di daerah pedesaan, juga untuk mengoptimalkan sumber daya alam dan manusia baik lewat pendayaangunaan sumber-sumber maupun alokasinya. Untuk mencapai tujuan tersebut dalam pelaksanaan pembangunan desa tidak jarang menjumpai berbagai hambatan baik struktural maupun moral, untuk itu agar hambatan tersebut dapat di atasi maka sebelum menetapkan strategi dan kebijaksanaan pembangunan desa terlebih dahulu perlu dilakukan identifikasi terhadap keadaan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa, sehingga dalam menyusun kebijaksanaan pokok dalam pembangunan desa benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat..

DAFTAR PUSTAKA

Arkanudin. 1995. Kebijaksanaan dan Strategi Pembangunan Desa, Pontianak: Dalam Proyek, Publikasi Ilmiah Fisipol Universitas Tanjungpura Nomor 1 Tahun V, edisi Pebruari.

------------. 2001. Perubahan Sosial Peladang Berpindah Dayak Ribun di Kecamatan Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Bandung: Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Biro Pusat Statistik. 1991. Penduduk dibawah Garis Kemiskinan Turun dari 30 menjadi 27,2 juta, Jakarta: Kompas 6 Nopember.

Budiman, Arief. 1989. Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Chamber, Robert. 1988. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang (Rural) Development Outhingth Last Fist), Terjemahan Pepep Sudradjad dan M. Dawam Rahardjko (ed), Jakarta: LP3ES.

C. Korten, David. 1987. Coomunity Management, West Hatford, Kumarian: Ct.

Hasan, Hasbullah. 1993. Masalah Kebijaksanaan Pembangunan Desa, Yogyakarta: PAU-Studi Sosial UGM.

Islamy, M. Irfan. 1992. Penelitain Komunikasi dan Pembangunan Desa dalam Administrasi Pembangunan, Malang: FIA Unibraw

Johan, Neskhun. 1988. Oganisasi Koperasi Untuk Pembangunan Pedesaan (Cooperative Organization for Rural Development), Terjemahan Andang K. et, al dan Prasetyo Budi Saksono (ed), Bandung: Ikopin.

Jouro, Umar. 1992. Pembangunan Ekonomi Bagi Penguasaan Teknologi Canggih, Yogyakarta: Kanisius.

Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan, Yogyakarta: P3PK UGM.

Sawlem, I. Gusti Ketut. 1987. Pembangunan Desa, Bali: Kantor Pembangunan Desa Kabupaten Buleleng.

Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amrullah, Wali Zainal. 1983. Pokok-Pokok Pembangunan Desa, Yogyakarta : APMD.

Winarno, Budi. 1993. Pembangunan Desa di Dunia Ketiga, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 8 Januari.

You might also like