You are on page 1of 38

HAMIL DENGAN SINDROM ANTIFOSFOLIPID, KEMATIAN JANIN DALAM RAHIM, INKOMPATIBILITAS MINOR DAN KEGUGURAN BERULANG (LAPORAN KASUS)

Diajukan Pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Obstetri Ginekologi XIX Di Jakarta, Tanggal 5 Juli 2011

Ign.Dony Setyawan Pembimbing: Dr.Agoes Oerip Poerwoko,SpOG

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I OBSTETRI GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO RSUP. Dr. KARIADI SEMARANG 2011
1

PREGNANCY WITH ANTIPHOSPHOLIPID SYNDROME, INTRA UTERINE FETAL DEATH, MINOR INCOMPATIBILITY AND RECURRENT PREGNANCY LOSS ( CASE REPORT )
Ign Dony Setyawan, Agoes Oerip Poerwoko Obstetry and Gynaecoloy Departement, Faculty of Medicine Diponegoro University Dr. Kariadi Hospital Medical Centre, Semarang Abstract Objective : To report a 31 years old pregnant woman with Antiphospholipid Syndrome, Intra Uterine Fetal Death, Minor Incompatibility and Recurrent Pregnancy Loss Setting : Obstetry and Gynaecology Departement Faculty of Medicine Diponegoro University, Dr. Kariadi Hospital Medical Centre, Semarang Design : Case Report Case : G9P0A8, 31 years old pregnant woman at 25 weeks with Antiphospholipid Syndrome, Intra Uterine Fetal Death, Mild Preeclampsia, Mild Anemia, Trombositopenia, Minor Incompatibility, and Recurrent Pregnancy Loss. Classification of Recurrent Pregnancy Loss based on gestational age to this patient chategorized in advanced pregnancy loss ( 8-20 weeks ). Based on sequence of incidence this patient chategorized as tertiery pregnancy loss. This patient diagnosed as Antiphospholipid Syndrome based on clinical category such as: abortion 8 times and Intra Uterine Fetal Death, and also laboratory criteria: ACA IgG: 123,7 GPL unit/ml ( Moderately positif ) and ACA IgM 47,0. Another examination to find the cause of Recurrent Pregnancy Loss at this patient such as: Serological examination of TORCH, Transvaginal Ultrasonography, Rhesus Factor, ANA test, Anti DS DNA, LE cell and LE test. Pregnancy termination was conducted after ripening the cerviks with tab of misoprostol pervaginam by oxitocyn induction 5 IU until 3 bottle and then stopped for 24 hours, and continued with oxytocin 10 IU until 6 bottle, Boy baby, weighing 500 gram was delivered with maseration grade 3. After that, curretage was conducted for retained product of placenta. Post curretage the patient routinely control to Obstetry Policlinic Dr. Kariadi Hospital Medical Centre for pregnancy program and also she was being given prophylactic of anticoagulant regimen: aspirin 80 mg/day Conclusion : Women with Antiphospholipid Antibody have higher proportion to develop Recurrent Pregnancy Loss especially at 10 week gestational age or more. In addition Recurrent Pregnancy Loss, Antiphospholipid Antibody associated obstetric complication such as trombosis, trombocytopenia, preeclampsia, uteroplasenter insufficiency, premature labor and intra uterine growth restriction can develop. Key word : Pregnancy, Antiphospholipid Syndrme, Recurrent Pregnancy Loss.

HAMIL DENGAN SINDROM ANTIFOSFOLIPID , KEMATIAN JANIN DALAM RAHIM, INKOMPATIBILITAS MINOR DAN KEGUGURAN BERULANG
(Laporan Kasus) Ign Dony Setyawan, Agoes Oerip Poerwoko Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP. Dr. Kariadi Semarang Abstrak Tujuan : Melaporkan seorang wanita, 31 tahun, hamil dengan Sindrom Antifosfolipid, Kematian janin dalam rahim, Inkompatibilitas minor dan Keguguran berulang. Tempat : Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi Semarang. Rancangan : Laporan Kasus. Kasus : G9P0A8, 31 tahun, hamil 25 minggu dengan Sindrom Antifosfolipid, Kematian janin dalam rahim, Preeklampsi ringan, Anemia ringan, Trombositopeni, Inkompatibilitas minor dengan Riwayat reproduksi jelek ( Keguguran Berulang ). Klasifikasi keguguran berulang berdasarkan usia kehamilan pada pasien ini dikategorikan dalam kelompok kegagalan kehamilan lanjut ( 8-20 minggu). Sedangkan berdasarkan urutan kejadian dikelompokkan dalam kejadian keguguran tersier. Diagnosis Sindrom Antifosfolipid didapatkan dari kriteria klinis: Abortus 8x dan kematian janin dalam rahim, sedangkan kriteria laboratoris: IgG ACA 123,7 GPL unit/ml ( Moderately positif ) dan IgM ACA 47,0. Pemeriksaan lainnya untuk mencari penyebab keguguran berulang pada pasien ini diantaranya: Pemeriksaan Serologi TORCH, USG Transvaginal, Rhesus Factor, ANA Tes, Anti DS DNA, LE Sel, dan LE Tes. Dilakukan pengakhiran kehamilan dengan pematangan servik menggunakan misoprostol tab pervaginam dan dilanjutkan dengan induksi oksitosin 5 IU sampai 3 botol habis, diistirahatkan 24 jam, kemudian dilanjutkan kembali dengan tetesan oksitosin 10 IU sampai botol ke-6, lahir bayi , Berat badan: 500 gram, maserasi grade 3. Karena didapatkan plasenta restan, kemudian dilakukan kuretase. Pasca kuretase pasien kontrol rutin di Poliklinik Obstetri RSUP Dr. Kariadi untuk program hamil dan diberikan regimen profilaksis antikoagulan: aspirin 1x80 mg. Kesimpulan : Wanita dengan antibodi antifosfolipid mempunyai proporsi keguguran berulang yang sangat tinggi terutama pada kehamilan 10 minggu atau lebih. Disamping keguguran berulang, komplikasi obstetrik lain yang berhubungan dengan antifosfolipid antibodi diantaranya adalah trombosis, trombositopeni, pre-eklampsi, insufisiensi uteroplasenter, partus prematurus, dan pertumbuhan janin terhambat.
Kata Kunci : Kehamilan, Sindrom Antifosfolipid, Keguguran Berulang.

BAB I PENDAHULUAN
Istilah keguguran umumnya digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian kegagalan kelangsungan suatu kehamilan, yang berakibat pada kematian janin serta ekspulsi dari janin atau embrio tersebut. Keguguran berulang ( recurrent miscarriage ) menurut HIFERI adalah kejadian keguguran paling tidak sebanyak dua kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu dan/atau berat janin kurang dari 500 gram. Apabila angka kejadian keguguran spontan berkisar antara 15-20%, maka berdasarkan perhitungan probabilitas angka kejadian keguguran berulang diperkirakan akan dialami oleh sekitar 0,3-0,4% pasangan 15. Namun faktanya angka kejadian keguguran berulang ternyata ditemukan lebih tinggi, yaitu antara 1-2% pasangan. Terdapat berbagai penyebab keguguran berulang yakni: gangguan hormonal dan nutrisi, kekacauan autoimun, penyakit infeksi, kelainan genetik dan anatomik di uterus, laserasi uterus yang luas serta mioma uteri
14

. Di

samping hal tersebut ada beberapa penyebab keguguran berulang yang belum diketahui penyebabnya. Sekarang ini makin dikenal sindrom antifosfolipid yaitu kekacauan autoimun yang menyebabkan keguguran berulang karena trombosis vaskularisasi plasenta 1,2. Antibodi antifosfolipid adalah keluarga autoantibodi yang mempunyai jangkauan kekhususan dan afiniti yang luas yang meliputi perpaduan berbagai fosfolipid, fosfolipid terikat protein, atau keduanya. Terminologi sindrom antifosfolipid pada tahun 1986, pertama kali ditujukan pada hubungan klinis antara antibodi antifosfolipid dan sindrom hiperkoagulabiliti yang meliputi trombosis arteri, vena, trombositopeni dan komplikasi obstetrik1,2. Lebih dari satu dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1999, diterbitkanlah International consensus statement on preliminary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome. Sampai saat ini, upaya penyempurnaan terhadap kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid masih terus dilakukan. Komplikasi obstetrik pada antifosfolipid sindrom meliputi keguguran spontan berulang ( Abotus habitualis ), kematian janin, dan pertumbuhan janin terhambat.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. KEGUGURAN BERULANG Istilah miscarriage atau abortus digunakan untuk menggambarkan suatu kegagalan perkembangan kehamilan yang berakhir dengan kematian dan keluarnya embrio atau fetus yang pada umumnya dengan berat badan kurang dari 500 gr atau kurang dari 20 minggu usia kehamilan menurut WHO. Recurrent miscarriage didefinisikan sebagai keguran berulang paling sedikit 3 kali secara berturut-turut. Recurrent Pregnancy Loss (RPL) meliputi selain recurrent miscarriage juga kehilangan kehamilan sampai usia 28 minggu. Namun demikian belum ada kesepakatan definisi baik mengenai recurrent miscarriage maupun RPL16. A.2. KLASIFIKASI Mengelompokkan jenis kegagalan kehamilan berdasarkan usia kehamilan dianggap amat penting. Bukan hanya untuk lebih lebih menyeragamkan definisi dari kejadian keguguran saja, namun juga bermanfaat untuk memikirkan kemungkinan faktor-faktor resiko yang berperan pada masing-masing kelompok 15 . Tabel 1. Klasifikasi kejadian keguguran berdasarkan usia kehamilan, hasil temuan USG dan evaluasi kadar Hcg.

A.1. DEFINISI

Jenis kegagalan

Usia kehamilan

Aktifitas denyut jantung janin

Temuan USG

Kadar beta hCG

Kegagalan biokimiawi/preembrionik (biochemical loss) Kegagalan kehamilan dini/embrionik (early pregnancy loss)

< 6 ( 0-6 mg)

Tidak pernah

Kehamilan tidak teridentifikasi

Rendah kemudian menurun Awalnya meningkat kemudian menurun

6-8 (4-10 mg)

Tidak pernah

Kantung kehamilan yang kosong atau kantung kehamilan dengan struktur yang minimal tanpa aktifitas djj

Kegagalan kehamilan lanjut ( late pregnancy loss )

8-20 minggu

Hilang

Tampak CRL dan tampak aktifitas djj sebelumnya

Meningkat kemudian menetap atau menurun

Tabel 2. Kejadian keguguran berdasarkan usia kehamilan dikaitkan dengan kemungkinan penyebab dan investigasi

Jenis keguguran Keguguran preembrionik

Kondisi yang mungkin berhubungan Kelainan kromosom Kelainan hormon Kelainan endometrium Kelainan imunologis

Investigasi Pemeriksaan kromosom Pemeriksaan hormon Pengambilan sampel endometrium ACA dan LA ACA dan ALA Pemeriksaan hemostasis dan skrining untuk trombofilia

Keguguran janin

Sindrom antifosfolipid Trombofilia

Keguguran trimester kedua

Kelainan anatomi Kelemahan serviks

Histereskopi, USG USG

Berdasarkan urutan kejadiannya, kejadian keguguran dapat dibagi menjadi 15: Kejadian keguguran primer : dimana terdapat kejadian keguguran sebanyak 2 kali atau lebih secara berturut-turut. Kejadian keguguran sekunder : kejadian keguguran sebanyak 2 kali atau lebih secara berturut-turut, setelah sebelumnya terdapat kehamilan yang berlangsung lebih dari usia kehamilan 20 minggu ( dapat berakhir dengan lahir hidup atau mati ) Kejadian keguguran tersier : terdapat kejadian keguguran sebelumnya yang diikuti dengan kehamilan yang berlangsung lebih dari usia kehamilan 20 minggu dan selanjutnya diikuti lagi dengan kejadian keguguran sebanyak 2 kali atau lebih secara berturut-turut.

A.3. ETIOLOGI Keguguran berulang ( Abortus habitualis ) merupakan salah satu dari gejala klinis yang didapatkan pada penderita dengan Sindrom Antifosfolipid 1. Namun perlu diketahui penyebab keguguran berulang bisa juga disebabkan diantaranya adalah: 14 1. Kelainan zygote: kelainan genetik (kromosomal) pada suami atau istri. Dari hasil penelitian didasarkan pada biopsi khorion disimpulkan bahwa lebih dari setengah keguguran spontan berkaitan dengan kelainan kromosom yang didapat dengan cara kariotiping 2. Gangguan hormonal. Pada wanita dengan keguguran berulang, ditemukan bahwa fungsi glandula tiroidea kurang sempurna. Hipotiroid dilaporkan berhubungan dengan kurangnya kesuburan. Tiroid yang hipoaktif dapat mengakibatkan anovulasi. Hipertiroid dihubungkan 6

dengan kelahiran prematur, solusio plasenta, intra uterine growth restriction (IUGR) dan stillbirth. Sedang hipotiroid dihubungakan dengan defek fase luteal. Namun dugaan terhadap adanya hubungan antara adanya antibodi antitiroid dengan kelainan endokrinologi menurut penelitian tidak terbukti, tetapi antibodi antitiroid meningkatkan kejadian keguguran berulang akibat kelainan imunologi yang diakibatkannya 11,17. Luteal phase deficiency (LPD) adalah gangguan fase luteal. Gangguan ini bisa menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transpor ovum terlalu cepat, mobilitas uterus yang berlebihan, dan kesukaran nidasi karena endometrium tidak dipersiapkan dengan baik. Penderita dengan LPD mempunyai karakteristik siklus haid yang pendek, interval post ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan recurrent early losses
2,3,4

. Peningkatan angka

keguguran berulang juga dihubungkan dengan diabetes mellitus. Peningkatan keguguran berulang ini disebabkan oleh beberapa proses patofisiologi seperti kelainan vaskuler yang berakibat pada defisiensi sirkulasi utero plasenter dan mungkin oleh karena faktor imunologi. Hiperinsulinemia dan insulin resisten dikaitkan dengan PCOS dan kelainan metabolik endokrinologi dan keguguran berulang E2 pada pasien dengan keguguran berulang 3. Gangguan nutrisi. Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit menahun dan lainlain dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga mengganggu persediaan berbagai zat makanan untuk janin yang sedang tumbuh. 4. Penyakit infeksi. Meskipun setiap infeksi akut dan berat dapat menyebabkan abortus namun peran infeksi terhadap terjadinya keguguran berulang masih kontroversial. Perannya sering dihubungkan dengan persalinan kurang bulan akibat sitokin dan pengeluaran prostaglandin 19. Vaginosis Bakterial Mikroorganisme yang menyebabkan vaginosis bakterial adalah Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, Mobiluncus sp, Prevotella, Porphyromonas, Bacterioides dan Peptostreptococcus sp. Selain meningkatkan kejadian persalinan prematur dan ketuban pecah dini, infeksi vaginosis bakterial akan meningkatkan kejadian keguguran terutama pada akhir trimester 1 dan trimester II 19. Tuberkulosis Infeksi tuberkulosis hanya dihubungkan dengan infertilitas akibat oklusi tuba tetapi tidak menyebabkan keguguran berulang 19. 7
17

. Pasien dengan PCOS mempunyai

angka abortus yang tinggi ( > 50% ). Dilaporkan pula bahwa terdapat peningkatan FSH dan

TORCH Infeksi primer oleh Toksoplama gondii pada fase awal kehamilan atau ibu yang sedang terinfeksi Toxoplasma menjadi hamil dapat mengalami abortus spontan. Apabila kehamilan lebih tua, yang terjadi adalah kelainan kongenital yang beratnya berhubungan dengan usia kehamilan saat terinfeksi. Setelah terinfeksi ibu akan mempunyai kekebalan sehingga keguguran berulang tidak dihubungkan dengan infeksi Toksoplasma gondii. RCOG (2003) tidak menyarankan untuk melakukan penapisan infeksi Toxoplasma pada keguguran berulang 19. Rubella yang menginfeksi ibu hamil dapat menyebabkan sindroma rubella kongenital yang dapat berupa abortus, kematian janin atau kelainan kongenital mayor berupa katarak, glaucoma, paten duktus arteriosus, stenosis arteri pulmonalis, retinopati, dan kelainan pendengaran 19. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) dilaporkan dengan menggunakan Polymerase Chain reaction (PCR) terhadap DNA CMV pada ekstrak jaringan kehamilan pada perempuan yang mengalami keguguran berulang ternyata tidak didapatkan satupun infeksi CMV, sehingga disimpulkan bahwa CMV tidak berhubungan dengan keguguran berulang 19 Herpes simpleks primer pada ibu hamil dapat merupakan infeksi serius karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin. Infeksi herpes virus simplex type 1 dan 2 akan meningkatkan kejadian abortus, persalinan premature, IUGR, atau terjadi transmisi virus ke janin saat persalinan. Herpes merupakan penyakit infeksi parasit dan virus yang selalu dicurigai sebagai penyebab keguguran melalui mekanisme terjadinya plasentitis. 5. Kelainan pada serviks dan uterus . Beberapa kelainan anatomi uterus tidak berpengaruh terhadap terjadinya keguguran berulang, antara lain : uterus arkuatus, uterus didelpis, mioma uteri kecuali yang jenis submukosum. Sedang kelainan anatomi uterus yang dikaitkan dengan RPL adalah uterus subseptus, uterus unikornu, uterus bikornu, mioma submukosum, adesi intra uterin dan polip endometrium serta serviks inkompeten 1,2,3. Diagnosis serviks inkompeten dapat ditegakkan apabila sebuah busi no.8 dapat dimasukkan melalui ostium uteri internus non gravidus.

6. Faktor imunobiologi Pada abortus autoimun perkembangan plasenta dan embrio di pengaruhi oleh autoantibody maternal dan sel-sel autoreaktif dengan target desidua dan sel-sel trofoblast. Pada abortus 8

alloimun system dari imun maternal bereaksi melawan embrio dan menghancurkan trofoblast 13. Abortus Autoimun Dikenal ada 2 type abortus autoimun yang meliputi abortus autoimun yang berkaitan dengan antibodi antifosfolipid dan abortus autoimun yang tidak berkaitan dengan antibodi antifosfolipid 18. Kehamilan juga akan memicu munculnya kofaktor-kofaktor protein yang mengikat fosfolipid dan mengakibatkan diproduksinya aPL. Penyebab kematian fetus oleh aPL adalah hipoksia plasenta karena insufisiensi darah plasenta yang terjadi karena thrombosis intervillus multiple, infark intra villus dan vaskulopati desidua. Selain itu aPL secara langsung merusak sel-sel trofoblast dan mungkin akan mempengaruhi kehamilan dengan menghambat fungsi normal pembelahan sel-sel trofoblast, fusi intertrofoblas, sekresi hormone dan invasi trofoblast 18. Sedangkan abortus autoimun yang tidak berkaitan dengan antibodi antifosfolipid adalah antibody antinuclear (ANA), antibodi terhadap DNA, antibody terhadap histon atau bukan komponen DNA inti dan anti thyroid antibody (ATA) 18. Abortus Alloimun. Janin merupakan semiallogenic graft karena dihasilkan dari konstribusi ayah dan ibu.Meskipun alloantigen fetal yang dikode oleh gen ayah dapat memprovokasi respon maternal sehingga janin dapat ditolak tetapi hal ini tidak terjadi 18. Berbeda dengan pada kehamilan normal, pada abortus spontan terjadi predominasi respon type Th1 atau berkurangnya produksi sitokin type Th2. Sebagai respon terhadap adanya hasil konsepsi atau antigen lainnya, limfosit desidua akan mengeluarkan sitokin type Th1 pro inflamasi seperti IL-1, IFN- dan TNF- yang memiliki efek merugikan terhadap embrio. Berikut ini akan dibahas mengenai laporan kasus seorang wanita hamil dengan sindrom antifosfolipid sebagai etiologi dari keguguran berulang.

B.

SINDROM ANTIFOSFOLIPID

B.1. INSIDENSI 9

Banyak perhatian ditujukan pada sistem imun sebagai faktor penting dalam kematian janin berulang. Dua model patofisiolgis utama yang berkembang adalah teori autoimun dan teori aloimun. Dari berbagai studi dipastikan bahwa sekitar 15 % dari 1000 pasien lebih dengan kematian janin berulang memiliki faktor autoimunitas ( Kuteh dan Pasquarette,1995 ). Laporan penelitian pertama kali tentang hubungan antara antibodi antifosfolipid dan keguguran berulang di Indonesia dilakukan oleh Kusworini dkk, pada tahun 1993. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya prevalensi ACA dan LA yang nyata lebih tinggi pada penderita keguguran berulang dibandingkan dengan orang sehat (berturut-turut 18% : 3,8% dan 4% : 0%, p. 0,05) 9. Prevalensi sindrom antifosfolipid di bidang obstetri umumnya antara 2.7% - 7%. Didapatkannya APA pada kehamilan risiko rendah meningkatkan risiko 3 9 kali terjadinya pregnancy loss, sedangkan pada kehamilan risiko tinggi risiko pregnancy loss bisa mencapai 90%. Wanita dengan riwayat abortus dini dan kadar antibodi yang tinggi memiliki angka kekambuhan keguguran sebesar 70 % ( Dudley dan Branch,1991 ). Dari kumpulan studi yang total melibatkan 1500 wanita dengan kematian janin berulang diperoleh insidensi rata-rata 17 % untuk antibodi antikardiolipin dan 7 % untuk antikoagulan lupus 8 . Sebaliknya, hanya 1 sampai 3 % dari pasien obstetri normal yang diketahui memiliki salah satu dari kedua zat tersebut ( Harris dan Spinato,1991 ). Dalam suatu studi prospektif terhadap 860 wanita yang ditapis untuk antibodi antikardiolipin pada trimester pertama didapatkan 7 % diantaranya positif ( Yasuda,dkk,1995 ) B.2. GEJALA KLINIS Gambaran klinis nyata dari sindrom antifosfolipid sangat bervariasi mulai dari sub akut seperti migrain berulang, gangguan penglihatan, disarthria, trombosis vena dalam, keguguran berulang, sampai yang berat seperti gagal katup jantung yang akut, trombositopenia, stroke mayor dan trombosis tersebar luas 4. Semua pembuluh darah dapat terkena mulai dari aorta, arteri karotis, arteri pulmonalis dan arteri kecil. Akibatnya semua bagian tubuh bisa terkena, termasuk retina dan kulit. Antibodi dapat persisten beberapa tahun dan kemungkinan di sejumlah kecil penderita dapat menetap seumur hidup 7. Sindrom antifosfolipid sendiri dapat dibagi dalam beberapa kategori. Sindrom antifosfolipid primer terjadi pada pasien-pasien tanpa bukti klinis adanya penyakit otoimun yang lain, sedangkan sindrom antifosfolipid sekunder terjadi berkaitan dengan penyakit otoimun atau yang lain 3. Table 1: Other Clinical Manifestation of Antiphospholipid Syndrome 20.

10

Hubungan klinis dengan antibodi-antibodi antifosfolipid Sindrom antifosfolipid primer Dengan manifestasi penyakit tromboembolik vena, penyakit tromboembolik arteri terutama strok, endokarditis steril dengan emboli, kegagalan kehamilan berulang. Sindrom antifosfolipid sekunder dengan kelainan rheumatik dan jaringan ikat Trombosis, keguguran berulang, atau keduanya terjadi berkaitan dengan antibodi-antibodi antifosfolipid dalam LES, AR, sklerosis sistemik, arteritis temporal, sindroma Sjogren, artropati psoriatik, sindrom Behcet, dan lain-lain. Beberapa hubungan yang lain Infeksi-infeksi akut (sembuh sendiri) dan kronik seperti Virus (HIV-1, varicella, hepatitis C) Bakterial (sifilis) Parasit (malaria) Penyakit-penyakit limfoproliferatif Limfoma malignum Paraproteinemia Paparan obat: Fenitoin, kinidin, hidralazin, prokainamid, fenotiazin. Aneka ragam yang lain:

11

Trombositopeni otoimun, Anemia hemolitik otoimun, Penyakit sel bulan sabit (sicklecell), Penyalahgunaan obat intravena, Livedo retikularis, Sindroma Guillain-Barre. B.3. PATOGENESIS 10 Sindrom antifosfolipid mempunyai dua karakteristik manifestasi klinis yaitu trombosis dan insufisiensi uteroplasenter. Dua karakteristik ini menimbulkan dugaan bahwa trombosis dalam sirkulasi uteroplasenter sebagai penyebab infark plasenta yang berdampak pada kematian janin. Hipotesis ini sesuai dengan beberapa temuan pendukung yaitu adanya trombosis, infark dan nekrosis plasenta dari penderita Sindrom antifosfolipid yang mengalami kematian janin. Selain trombosis dan infark, ditemukan juga vaskulopati desidual yang ditandai dengan atherosis, penebalan intima dan nekrosis fibrinoid pada arteria spiralis. Sayangnya temuan histologis ini ternyata tidak spesifik hanya untuk Sindrom antifosfolipid. Demikian juga korelasi dengan luaran kehamilan ternyata juga lemah, sehingga kemungkinan terdapat mekanisme/faktor lain selain trombosis plasental yang menyebabkan pregnancy loss pada Sindrom antifosfolipid 10. Ada 3 mekanisme potensial antibodi antifosfolipid dalam menginduksi trombosis yakni: 1. Sel endotel secara normal mengubah asam arakidonat membran plasma menjadi prostasiklin. Prostasiklin merupakan vasodilator kuat dan inhibitor agregasi trombosit yang kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi dan mencegah agregasi trombosit di dinding pembuluh darah sehingga tidak terjadi trombosis. Antibodi antifosfolipid mungkin cenderung menyebabkan terjadi trombosis melalui penghambatan terhadap sel endotel dalam menghasilkan prostasiklin. 2. Trombosit secara normal merubah asam arakidonat membran plasma menjadi tromboksan. Tromboksan adalah antagonis alami terhadap prostasiklin yang merupakan vasokonstriktor kuat dan pemacu agregasi trombosit di dinding pembuluh darah. Antibodi antifosfolipid diduga meningkatkan trombosis dengan meningkatkan pelepasan tromboksan. 3. Kompleks trombin dan trombomodulin secara enzimatik bersifat aktif dan dapat mengaktifkan protein C dalam sirkulasi. Protein C yang teraktivasi akan terikat dengan protein S pada permukaan sel endotel dan trombosit. Kompleks protein C/protein S akan menghancurkan komponen di dalam sirkulasi clotting cascade, faktor Va dan VIIIa. Jika faktor Va dan VIIIa ini masuk ke sirkulasi, mereka akan meningkatkan aktivitas koagulasi dalam darah. Dilaporkan bahwa pada Sindrom antifosfolipid terjadi

12

hambatan aktivasi protein C untuk berikatan dengan protein S di permukaan sel endotel dan trombosit 4,11,12.

B.4. DIAGNOSIS Sesuai yang tercantum dalam International Consencus Statement on an Update of the Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Syndrome bahwa diagnosis Sindrom antifosfolipid harus memenuhi sekurang-kurangnya satu dari kriteria klinis dan satu dari kriteria laboratoris seperti yang tercantum pada tabel 1.

13

Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom antifosfolipid 10 Diagnosis harus memenuhi sekurang-kurangnya satu dari kriteria klinis dan satu dari kriteria laboratoris. A. Kriteria klinis 1. Trombosis vaskuler. Satu kali atau lebih episode klinik trombosis pada arteri, vena pada jaringan atau organ yang dikonfirmasi secara obyektif dengan menggunakan kriteria yang valid (pencitraan atau histopatologi) 2. Komplikasi kehamilan : a. Satu kali atau lebih kematian janin dengan morfologi normal yang tidak diketahui penyebabnya setelah umur kehamilan 10 minggu (kriteria janin dengan morfologi normal adalah ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi atau pemeriksaan langsung), atau b. Satu kali atau lebih kejadian persalinan prematur, janin morfologi normal, pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu akibat eklampsia atau preeklampsia berat atau akibat dari insufisiensi uteroplasenter, atau c. Tiga kali atau lebih kejadian abortus spontan pada umur kehamilan kurang dari 10 minggu dan telah disingkirkan faktor-faktor lain sebagai penyebabnya yaitu kelainan anatomik dan hormonal ibu serta kelainan kromosom dari pasangan tersebut. B. Kriteria laboratoris 1. Lupus anticoagulant (LA) plasma yang (+) dalam dua kali pemeriksaan atau lebih dengan selang waktu sekurang-kurangnya 12 minggu. Dideteksi sesuai pedoman dari ISTH Scientific Committe on Lupus Anticoagulants / Phospholipid-Dependent Antibodies 2. IgG dan atau IgM Anticardiolipin antibody serum atau plasma yang (+) dalam titer medium atau tinggi (>40 GPL atau MPL, atau > persentil 99) dalam dua kali atau lebih pemeriksaan dengan selang waktu sekurangkurangnya 12 minggu menggunakan metode ELISA 3. IgG dan atau IgM Anti2-glycoprotein-1 antibody serum atau plasma yang (+) (titer > persentil 99) dalam dua kali atau lebih pemeriksaan dengan selang waktu sekurang-kurangnya 12 minggu menggunakan metode ELISA

B.5. RISIKO SINDROM ANTIFOSFOLIPID DAN KEHAMILAN B.5.1.Komplikasi Trombosis Sebagian besar kejadian trombosis adalah pada vena (65% - 70%) , walaupun trombosis arterial dan strok juga umum ditemukan. Lokasi tersering trombosis vena ( venous thromboembolism = VTE) adalah pada ekstremitas infrerior. Trombosis yang terjadi pada tempat yang tidak lazim (unusual locations) mengarahkan pada kecurigaan diagnosis Sindrom antifosfolipid 10. 14

B.5.2.Komplikasi Obstetrik 3,10 Preeklampsia merupakan komplikasi obstetrik yang sering ditemukan. 50% penderita Sindrom antifosfolipid mengalami pre eklampsia dan 25% mengalami pre eklampsia berat sehingga APA merupakan faktor risiko yang prospektif untuk terjadinya preeklampsia. Kasus preeklampsia yang terjadi pada usia kehamilan aterm dibuktikan tidak berhubungan dengan APA. Oleh sebab itu pemeriksaan APA hanya direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat yang early-onset (< 34 minggu). Pertumbuhan janin terhambat ( intrauterine growth restriction = IUGR) juga umum dijumpai pada Sindrom antifosfolipid yaitu berkisar antara 15% - 30%. Sebaliknya pada wanita yang melahirkan bayi IUGR, 25% didapatkan positif APA. Insufisiensi uteroplasenter merupakan komplikasi obstetrik yang juga dapat terjadi pada kehamilan dengan Sindrom antifosfolipid. Bahkan disebutkan mencapai 50%. Insufisiensi uteroplasenter ini ditandai dengan adanya abnormalitas denyut jantung janin (deselerasi) yang dapat terjadi mulai trimester kedua. Preeklampsia, IUGR dan insufisiensi uteroplasenter kesemuanya meningkatkan risiko latrogenik persalinan prematur pada kehamilan dengan Sindrom antifosfolipid Kurang lebih sepertiga (12% - 35%) kehamilan dengan Sindrom antifosfolipid akan melahirkan bayi prematur sebelum usia kehamilan 34 minggu. Kriteria diagnosis komplikasi kehamilan pada Sindrom antifosfolipid mulanya hanya mencakup fetal loss yaitu umur kehamilan 10 minggu. Kurang lebih 40% pregnancy losses pada individu dengan APA terjadi pada periode fetal ini tetapi sekarang pregnancy loss yang berkaitan dengan Sindrom antifosfolipid diperluas sehingga mencakup recurrent pregnancy loss yang terjadi pada periode preembryonik (umur kehamilan < 6 minggu) dan periode embryonik (umur kehamilan 6 9 minggu). Hal ini berdasarkan evaluasi serologis dari wanita yang mengalami recurrent pregnancy loss, 10% - 20% ditemukan APA. Wanita dengan Sindrom antifosfolipid yang didiagnosis berdasarkan kejadian fetal loss dan atau tromboemboli sebelumnya sering akan mengalami komplikasi yang lebih serius pada kehamilan berikutnya dibanding dengan mereka yang hanya mengalami recurrent pregnancy loss.

B.6. MANAJEMEN

15

Terapi ideal Sindrom antifosfolipid dalam kehamilan haruslah mampu untuk : (1) meningkatkan outcome maternal dan fetal-neonatal dengan mencegah pregnancy loss, preeklampsia, insufisiensi uteroplasenter dan persalinan prematur, dan (2) mengurangi atau menghilangkan risiko tromboemboli. Saat ini heparin merupakan terapi terpilih dan biasanya segera mulai diberikan setelah dipastikan didapatkan embryo yang hidup dengan pemeriksaan ultrasonografi (tabel 2) Tabel 2. Terapi heparin pada Sindrom antifosfolipid selama kehamilan
Subcutaneus Heparin Regimen Used for APS during pregnancy Prophylactic Regimens Recommended in women with no hystory of thrombotic events diagnosis of recurrent preembryonic and embryonic loss or prior fetal death or early delivery because of severe preeclampsia or severe placental insufficiency. Standard Heparin 7.500 10.000 U q12h in the first trimester. 10.000 U q12h in the second and third trimesters Low Molecular Weight Heparin (LMWH) 1) Enoxaparin 40 mg once daily or Dalteparine 5000 U once daily or 2) Enoxaparin 30 mg q12h or Dalteparine 5000 U q12h Anticoagulation regimens Recommended in women with history of thrombotic events

Standard Heparin Every 8 12 hours, adjusted to maintain the midinterval heparin levels in the therapeutic range Low Molecular Weight Heparin (LMWH) 1) Weight-adjusted (Enoxaparin 1/mg/kg q12h or Dalteparin 200 U/kg q12h) 2) Intermediate dose (Enoxaparin 40 mg once daily or Dalteparine 5000 U once daily until 16 weeks of gestation and q12h from 16 weeks on)

Keputusan untuk memilih rejimen antikoagulan yang direkomendasikan haruslah berdasar pada karakteristik klinis dan laboratoris sebagaimana tercantum di atas. Penderita Sindrom antifosfolipid dengan riwayat tromboemboli haruslah mendapat antikoagulan heparin selama kehamilannya karena risiko terulangnya tromboemboli. Pada keadaan ini direkomendasikan full, adjusted- dose anticoagulation. Penderita Sindrom antifosfolipid yang mengalami early recurrent pregnancy loss saja tanpa riwayat tromboemboli dapat diberikan low-dose prophylaxis dan adjusted-dose anticoagulation regimens. Penelitian pada 100 penderita Sindrom antifosfolipid dengan dua16

pertiga kasus pernah mengalami preembryonic atau embryonic loss dan tidak pernah mengalami tromboemboli, dengan diberikan heparin 5000 U dua kali sehari memberikan hasil 71% live-birth rate. Pada penelitian lain, dengan karakteristik klinis subjek yang hampir sama, diberikan heparin dua kali sehari dan aPTT dipertahankan kurang lebih 1.5 kali ratarata kontrol, didapatkan angka 80% live- birth rate. Kedua penelitian ini menambahkan aspirin dosis rendah setiap harinya. Penderita Sindrom antifosfolipid dengan riwayat kematian janin atau kematian neonatal (umur kehamilan < 34 minggu, karena preeklampsia berat atau insufisiensi uteroplasenter) tanpa riwayat tromboemboli, selama kehamilannya perlu diberikan tromboprofilaksis yang cukup kuat (sebagai contoh 15.000 20.000 U unfractioned heparin atau 60 mg Enoxaparin dalam dosis terbagi setiap hari) dikarenakan risiko tinggi terjadinya tromboemboli. Pre-kehamilan Penderita Sindrom antifosfolipid umumnya akan memerlukan konseling pre-konsepsi. Pada saat ini perlu diukur kadar APA dan didiskusikan tentang risiko maternal serta komplikasi obstetrik yang mungkin terjadi. Beberapa cara rejimen profilaksis antikoagulan perlu disampaikan dengan segala risikonya. Beberapa pendapat merekomendasikan low-dose aspirin (81 mg) setiap hari. Prenatal Penderita Sindrom antifosfolipid yang diduga hamil harus segera dievaluasi keadaan kehamilannya dengan USG transvaginal, disamping untuk memastikan kehamilan intrauterin dan kondisi janinnya, juga penting untuk menentukan dating. Rejimen profilaksis antikoagulan segera mulai diberikan setelah memberikan informasi yang jelas tentang keuntungan dan kerugiannya. Penderita dianjurkan untuk mengkonsumsi suplemen kalsium demikian juga melakukan axial skeletonweight-bearing exercise. Perawatan antenatal dilakukan tiap 2-4 minggu sampai umur kehamilan 20 minggu dan kemudian setelah itu tiap 1-2 minggu. Tiap pemeriksaan antenatal haruslah memonitor kemungkinan timbulnya preeklampsia dan trombosis serta evaluasi kesejahteraan janin. Dikarenakan risiko terjadinya IUGR dan oligohidramnion akibat insufisiensi uteroplasenter, maka pemeriksaan USG serial perlu dilakukan tiap 3-4 minggu mulai usia kehamilan 17-18 minggu.

BAB III LAPORAN KASUS

17

A. IDENTITAS PASIEN: Nama Umur Pekerjaan :Ny.Daryanti :31 Th :Ibu Rumah Tangga

Nama suami : Tn. Abdul Umur Pekerjaan Alamat No Cm : 33 Th : Sopir :Tersono, Garung Lor, Kecamatan Kaliwungu,Kudus :6485362

B. ANAMNESIS: Keluhan Utama: Tanggal 07/12/2010 Pasien datang ke UGD RS Dr. Kariadi atas rujukan dari RSI Kudus dengan hamil 5 bulan,IUFD, Incompatibilitas minor + 3 Riwayat Penyakit Sekarang: Sebelumnya pasien adalah rujukan RSI Kudus datang dengan keluhan terlambat haid dan merasa hamil sekitar 6 bulan. Penderita merasa gerak janin berkurang sejak 1 hari sebelum masuk RS. Keluhan keluar lendir darah disangkal, kenceng-kenceng tidak dirasakan penderita, keluar air dari jalan lahir disangkal penderita. Karena keluhan tersebut penderita ke RSI Kudus dan didiagnosis dengan DIC kemudian dirujuk ke RS Dr. Kariadi, Semarang. Tanggal 10 Mei 2007, penderita pernah melakukan pemeriksaan TORCH di Kudus karena didapatkan riwayat keguguran berulang dan dikatakan hasilnya negative. Riwayat Haid Riwayat Nikah : HPHT: 12-06-2010 :1 kali dgn suami sekarang selama 11 tahun

POHON KELUARGA

18

Ny.D

Keterangan : Orang tua dari suami Ny.D belum bisa terlacak Bapak dari suami Ny D anak kedua dari sebelas bersaudara Ibu dari suami Ny D anak kelima dari sepuluh bersaudara Riwayat Obstetrik : G9P0A8

1. Abortus, usia kehamilan 3 bulan, kuretase di RSI (1999) 2. Abortus, usia kehamilan 2 bulan, kuretase di RSI (2000) 3. Abortus, usia kehamilan 4 bulan, kuretase di RSI (2001) 4. Abortus, usia kehamilan 3 bulan, kuretase di RSI (2003) 5. Abortus, usia kehamilan 4 bulan, kuretase di RSI (2004) 6. Abortus, usia kehamilan 5 bulan, kuretase di RSI (2005) 7. Abortus, usia kehamilan 3 bulan, kuretase di RSI (2007) 8. Abortus, usia kehamilan 3 bulan, kuretase di RSI (2008) 9. hamil ini Riwayat KB Riwayat ANC :: 3 x di SpOG

Riwayat penyakit dahulu : Asma (-), penyakit jantung (-), DM (-), hipertensi (-), riwayat operasi (-)

C. STATUS INTERNUS KU Tanda vital Mata Thoraks : Baik, kesadaran composmentis : TD : 150/100 RR : 20x/menit : 36,7C N : 88 x/menit T

: Konjungtiva palpebra anemis -/: Cor : SJ I-II Normal, Bising (-), Gallop (-)

19

Pulmo: SD vesikuler, ST (-)/(-) Abdomen Ekstremitas : membuncit : Edema -/-/D. STATUS OBSTETRI TFU LI-IV HIS DJJ PPV : Setinggi pusat : Janin I intra uterin Letak mobile : : _ : +

E. HASIL PEMERIKSAAN USG Tampak Janin 1 intra uterin, presentasi bokong punggung kiri, FM (-), FHM (-), FHR(-) Biometri janin BPD:2,82 AC :14,5 AVG:17w3d FL :2,78 EFW:(s) 189 gr (h) 280gr Plasenta implantasi di fundus meluas ke corpus lateral kiri sampai SBR tak menutupi OUI grade 0 Liquor amnii jernih,ICA : jumlah cukup , spalding sign (+)

20

F. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

21

Hasil Laboratorium RSI Kudus Hasil Pemeriksaan Crossmatching Laboratorium 7/12/10 Hb 9,4 gr% Pasien Sel Grouping Serum Grouping Leukosit Trombosit Hematokrit Eritrosit MCV MCH MCHC GDS CT/BT 12.800/mmk 109.00/mmk 29,1% 3,45jt/mm3 84 um3 27,1 pg 32,2% 117mg/l 930/410

Rhesus

Anti A Anti B Anti AB Sel A Sel B Sel O Anti D B.A


Dariyant i Z 3438983 Z 3438958 Z 3439086 Z 3438960

+ + + + +

+ + + + +

+ + + + +

Hasil Pemeriksaaan Crossmatching Metode Diamed Gel Mayor I Mayor II Negative Negative Mayor III Negative Mayor IV Positive 3

Berhubung Positive dilanjutkan dengan Pemeriksaan DCT (Direct Coomb Test) Pasien DCT

Dariyanti Positive

Hasil Laboratorium RS Dr. Kariadi Laboratorium 7/12/10 Hb 8,9 gr%

8/12/10

9/12/10 8,80 mg/dl

13/12/10

22

Leukosit Trombosit GDS Ureum Kreatinin Natrium Kalium Chlorida SGOT SGPT PPT/Kontrol APTT/Kontrol Tes Comb Direk Tes Comb Indirek Bilirubin Total Bilirubin Direct

14.000/mmk 91.000/mmk 102 gr/dl 36 mg/dl 1,11 mg/dl 138 mmol/L 4,8 mmol/L 109 mmol/L 18 U/L 30 U/L 12,9/13,5 dtk 42,9/32,2 dtk +4 /pos 4 +/pos

16.800/mmk 99.000/mmk

12,9/13,6 dtk 25,9/31,9 dtk

0,34 mg/dl 0,03 mg/dl

Pemeriksaan *Hematologi * Basofil Batang Segmen

Hasil

Satuan % % % %

Nilai Normal 1-3 0-2 2-5 47-80

Keterangan

Hitung Jenis Darah Tepi Eosinofil 1

0 0 82

L H 23

Limfosit Monosit Lain-lain Eritrosit Trombosit Leukosit

14 % 20-45 3 % 2-10 LPB : 1/100 Leukosit Anisositosis ringan ( mikrosit ) Poikilositosis ringan ( ovalosit ), Tear drop cell Jumlah menurun Bentuk normal Jumlah tampak meningkat Limfosit teraktifasi +

Urine Lengkap BJ pH Protein Reduksi Urobilinogen Bilirubin Aseton Nitrit Sedimen : Epitel Leukosit 1,015 7,50 100 mg/dl Negative 0,2 mg/dl Negative Negative Negative 5-10 LPK 0-2 LPB 70-80 LPB Eritrosit +/pos Bakteri

Pemeriksaan Serologi TORCH Pemeriksaan Anti Toxoplasma IgM & Anti Toxoplasma Ig G Rubella IgG & Rubella IgM HSV IgG & HSV Ig M CMV IgG & CMV IgM G. DIAGNOSIS

Hasil Negative Negative Negative Negative

Tgl 7/12/2010; Pasien mulai dirawat di kamar bersalin dengan: Dx/ G9P0A8,31 thn,hamil 25 minggu 3 hari Janin 1 mati intra uterin Letak mobile

24

Intrauterin Fetal Death Preeklampsia ringan Incompatibilitas minor Suspect Autoimun Desease, DD: Sindrom antifosfolipid Anemia ringan (8,9) Trombositopeni (91.000) Riwayat Reproduksi jelek (Abortus 8 x) Sx/ - Akhiri kehamilan dengan priming misoprostol tab pervaginam, dilanjutkan induksi dengan oxytosin drips 5 IU dalam RL 500 cc dimulai 8 tts/mnt dinaikkan 4 tts/30 mnt sampai his adequat atau maximal 20 tts/mnt. - Konsul Interna untuk rawat bersama Jawaban Interna: Belum ada penatalaksanaan dibidang penyakit Dalam Saran Interna : 1. Pemeriksaan Lupus Anti Coagulan (LA)+ ACA (Anti cardiolipin Antibodi) 2. Coomb Test 3. ANA test Anti DS DNA Tgl 8/12/2010 Pasien dikonsulkan kembali ke bagian Interna dengan hasil laboratorium: Hb:8,9 Trombosit: 91.000 dan hasil comb test: +4. Jawaban Konsul:tgl 8/12 /2010: Pasien belum disarankan untuk transfusi. Masih di differensial diagnosa sebagai: 1.A P S (Anti Phospholipid Sindrom) 2.S L E (Sistemic Lupus Eritematosus)AIHA

Diagnosa belum dapat ditegakkan dan disarankan untuk pemeriksaan: 1. Bilirubin Direct / Indirect 2. Gambaran darah tepi dan Hitung Jenis 3. ACA / ANA tes 4. Anti DS DNA

25

Tanggal 10/12/2010 jam 11.15: Setelah dilakukan induksi oksitosin 5 IU sampai 3 botol habis,dan diistirahatkan 24 jam, kemudian dilanjutkan kembali dengan tetesan oksitosin 10 IU sampai botol ke-6: Lahir bayi perempuan, BB: 500gr, Maserasi grade III,dengan plasenta restan, rencana akan dilakukan kuretase hari ke 3 setelah dilakukan KIR metergin 2x1 amp tiap pagi dan sore. Diambil jaringan untuk Patologi Anatomi Hasil Laboratorium Patologi Anatomi:18/12/2010: 1. Sediaan Plasenta Microskopik menunjukan perdarahan vili chorialis yang sebagian fibrosis, proliferasi fokal sitotrophoblast dengan jaringan decidua sebagian schlerotik dan nekrotik Tak tampak tanda keganasan 2. Tali Pusat Microscopik menunjukan 1 vena yang sebagian dinding menebal dalam substansia gelatinosa Tak tampak tanda keganasan

H. FOLLOW UP DI BANGSAL POST PARTUM Tgl Tanda Vital Pemeriksaan Fisik Sikap

26

11/12/ TD: 120/90 Keluhan : 2010 mmhg KU:baik,compos mentis N : 88x/mnt Mata : konjungtiva RR : 21 x/mnt palpebra anemis +/+ T : 36,8C Sklera ikterik +/+ Thorax : cor/pulmo dbn Abdomen : TFU 2 jari bawah pusat ,kontraksi kuat. Ekstremitas : Edema -/ PPV(+) BAB : ( - ) ASI (+) BAK :( + ) D/P1A8,31 tahun Post Partum Spontan IUFD Plasenta Restan Preeklampsia Ringan Suspect Autoimmune Disease dd SLE,APS Anemia ringan (8,9) Trombositopenia (99.000)

Inf RL 20 tpm Kir oksitosin 2 x 1 amp pagi --sore Inj Metronidazole 3 x 500 mg Inj Cefazolin 2 x 1 gr Inj Gentamisin 2 x 80 mg Asam mnefenamat 3x 500 mg Paracetamol 3x 500 mg jika t>38 Vit Bc/C/SF 2 x 1 tab Diet biasa Pengawasan KU,VS,PPV,TFU,BAB,BAK Rencana Kuretase hari ketiga.

Tgl

Tanda Vital

Pemeriksaan Fisik

Sikap

12/12/ TD: 150/100 Keluhan : Inf RL 20 tpm 2010 mmhg KU:baik,compos mentis Kir oksitosin 2 x 1 amp pagi N : 80x/mnt Mata : konjungtiva --sore RR : 20 x/mnt palpebra anemis +/+ Inj Metronidazole 3 x 500 mg T : 36,5C Sklera ikterik +/+ Inj Cefazolin 2 x 1 gr Thorax : cor/pulmo dbn Inj Gentamisin 2 x 80 mg Abdomen : TFU 2 jari bawah Asam mnefenamat 3x 500 mg pusat ,kontraksi kuat. Paracetamol 3x 500 mg jika t>38 Ekstremitas : Edema -/ Vit Bc/C/SF 2 x 1 tab PPV(+) lokia BAB : ( - ) Diet biasa ASI (+) BAK :( + ) Pengawasan D/P1A8,31 tahun KU,VS,PPV,TFU,BAB,BAK Post Partum Spontan IUFD Rencana Kuretase hari ketiga. Plasenta Restan Preeklampsia Ringan Suspect Autoimmune Disease dd SLE,APS Anemia ringan (8,9) Trombositopenia (99.000)

Tgl

Tanda Vital

Pemeriksaan Fisik

Sikap

27

13/12/ TD: 2010 110/80mmhg N : 80x/mnt RR : 20 x/mnt T : 36,5C

Keluhan : KU:baik,compos mentis Mata : konjungtiva palpebra anemis +/+ Sklera ikterik +/+ Thorax : cor/pulmo dbn Abdomen : TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi kuat. Ekstremitas : Edema -/ PPV(+) lokia BAB : ( - ) ASI (+) BAK : ( + ) D/P1A8,31 tahun Post Partum Spontan IUFD Plasenta Restan Preeklampsia Ringan Suspect Autoimmune Disease, DD: SLE,APS Anemia ringan (8,9) Trombositopenia (99.000)

Inf RL 20 tpm Kir oksitosin 2 x 1 amp pagi --sore Inj Metronidazole 3 x 500 mg Inj Cefazolin 2 x 1 gr Inj Gentamisin 2 x 80 mg Asam mnefenamat 3x 500 mg Paracetamol 3x 500 mg (k/p) Vit Bc/C/SF 2 x 1 tab Diet biasa Pengawasan KU,VS,PPV,TFU,BAB,BAK Rencana Kuretase hari ini Hasil kuretase didapatkan jaringan kotiledon sebanyak 25 cc .

Tgl

Tanda Vital

Pemeriksaan Fisik

Sikap
Cefadroxil 3x 500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg Linoral 2x 1 tab Vit Bc/C/SF 2 x 1 tab Aspilet 1x 80 mg Pasien boleh pulang.

14/12/ TD: 140/80mmhg Keluhan : 2010 N : 100x/mnt KU:baik,compos mentis RR : 24x/mnt Mata : konjungtiva T : 36,3C palpebra anemis +/+ Sklera ikterik +/+ Thorax : cor/pulmo dbn Abdomen : TFU 2 jari bawah pusat ,kontraksi kuat. Ekstremitas : Edema -/ PPV(+) lokia BAB : ( - ) ASI (+) BAK :( + ) Dx /P1A8,31 tahun Pasca kuretase ai plasenta restan Post Partum Spontan IUFD Preeklampsia Ringan Suspect Autoimmune Disease et causa: DD: SLE APS Anemia ringan (8,9) Trombositopenia (99.000)

Pasien kontrol tgl 23 Desember 2010 ke Poli 145 Kebidanan RS Dr. Kariadi 28

Disarankan Pemeriksaan: 1. Rhesus Faktor 2. LE Test 3. ANA 4. ACA 5. DS DNA Jenis Pemeriksaan 1.LE Sel 2.Golongan Darah 3.Rhesus Faktor 4.L E Test 5. ANA Hasil Negative B Positive Pos 15,6 Negative Negative : < 20 Equivocal : 20-60 Positive : > 60 Negative : < 20 Equivocal : 20-80 Positive : > 80 Negative : < 20 Equivocal : 20-80 Positive : > 80 Unit Nilai Rujukan Negative Satuan

6.Ig G ACA ke 1

123,7

GPL

IgG ACA ke 2 119,5 ( ulang setelah 12 mgg ) 7.Ig M ACA ke 1 47,0 Ig M ACA ke 2 53,8 ( ulang setelah 12 mgg ) 8.Anti DS DNA 148,5

MPL

Negative : 0 - 200 IU/mL Equivocal : 201-300 Moderate Positive : 301800 Strong Positive :>801

DIAGNOSIS P1A8, 31 th Post partum IUFD hr ke 23 Anti phospholipid sindrom

29

SIKAP Aspilet 1x 80 mg Vit Bc/C/SF 2x 1 tablet Cek kariotyping Cek USG transvaginal serviks incompetent

Pasien kontrol tgl 15 Januari 2011 ke Poli 145 Kebidanan RS Dr. Kariadi Sx/ Dilakukan Pemeriksaan Bouginasi: Bougie No: 8: ada tahanan Bougie No: 7: masuk sejauh 7 cm, tidak ada tahanan Bougie No: 6: masuk sejauh 8 cm, tidak ada tahanan

Kesan: Cerviks competent

BAB IV PEMBAHASAN Dari literatur yang ada disebutkan bahwa terdapat banyak kemungkinan penyebab dasar keguguran berulang, dimana kurang lebih 40% penyebabnya tidak diketahui. Penelitian 30

yang dilakukan pada 400 penderita keguguran berulang yang dilakukan di Universitas Utah didapatkan 68% penyebabnya tidak diketahui. Pada pasien ini ditemukan riwayat keguguran berulang sebanyak 8 kali, dan dilakukan kuretase di RS. Islam, Kudus oleh Dokter Kandungan. Berdasarkan klasifikasi keguguran berulang dari HIFERI, maka dapat dikatakan tipe keguguran berulang pada pasien ini merupakan kegagalan kehamilan lanjut ( late pregnancy loss ) dan berdasarkan urutan kejadian keguguran berulang dimasukkan dalam kategori: kejadian keguguran tersier 15. Meskipun dari riwayat keluarga pasien atau suaminya tidak ada yang memiliki anak lahir cacat akan tetapi kelainan genetik (kromosom) sebagai salah satu penyebab keguguran berulang harus dipikirkan. Kelainan hormonal pada pasien ini sedikit dikesampingkan karena dari riwayat haid baik menarche dan siklus tiap bulan diketahui tidak ada kelainan, tetapi untuk memastikan keadaan ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid, endometrial biopsi dan pemeriksaan kadar progesteron serum pada fase luteal, serta dibuat kurva harian glukosa darah ibu. Dari hasil pemeriksaan fisik secara umum dan dengan memperhatikan status gizi pada pasien ini, maka keguguran berulang yang diakibatkan oleh gangguan nutrisi dapat disingkirkan. Untuk menyingkirkan infeksi sebagai penyebab keguguran berulang pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologi TORCH yang meliputi:, Ig G dan IgM antitoxoplasma, Rubella,CMV, dan HSV dengan hasil pemeriksaan negatif. Pada pasien ini dipikirkan pula adanya kemungkinan penyakit SLE, akan tetapi dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang pada pasien ini tidak memenuhi kriteria ARA (American Rheumatism Association) yaitu untuk kriteria diagnostik SLE, sehingga diagnosis SLE dapat disingkirkan. Hasil pemeriksaan USG Obstetri transabdominal dan transvaginal tidak menunjukkan adanya abnormalitas anatomik uterus, serviks ataupun adanya tumor uterus, hal tersebut menyingkirkan kemungkinan keguguran berulang yang diakibatkan karena kelainan anatomi pada uterus dan serviks. Sedangkan hasil pemeriksaan rhesus faktor tidak menunjukkan adanya suatu kelainan rhesus yang dapat menyebabkan keguguran berulang. Berdasarkan riwayat keguguran berulang dan setelah mempertimbangkan beberapa kemungkinan penyebab keguguran berulang yang masih belum jelas pada pasien ini, maka kami mencurigai adanya hubungan sindrom antifosfolipid dengan kejadian keguguran berulang. Sindrom antifosfolipid adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai oleh trombosis pembuluh darah vena dan atau arteri, keguguran berulang yang berhubungan dengan trombosis di vaskularisasi plasenta, trombositopeni, kelainan neurologi, livido retikularis dan adanya antibodi antifosfolipid di dalam darah. Pada pasien ini dijumpai adanya preeklamsi ringan, anemia, dan trombositopeni yang merupakan manifestasi klinis dari sindrom 31

antifosfolipid. Pada penderita sindrom antifosfolipid sebanyak 40 50 % mengalami trombositopenia dan Preeklampsia merupakan komplikasi obstetrik yang sering ditemukan 20. 50% penderita Sindrom antifosfolipid mengalami pre eklampsia dan 25% mengalami pre eklampsia berat sehingga antifosfolipid antibody merupakan faktor risiko yang prospektif untuk terjadinya preeklampsia Pasien ini juga telah dikonsulkan ke bagian interna sub hematologi onkologi untuk menegakkan diagnosis, rawat bersama dan pengelolaan lebih lanjut. Untuk kondisi anemia ringan dan trombositopenia pada pasien ini, tidak diberikan tranfusi darah karena dijumpai adanya inkompatibilitas minor. Mekanisme yang mendasari antibodi-antibodi antifosfolipid dengan trombositopeni belum jelas diketahui. Penyingkiran platelet yang dilapisi antibodi sistem retikuloendotelial mungkin relevan pada penyakit ini. Mekanisme alternatif pada trombositopeni yang berhubungan dengan sindrom antibodi antifosfolipid dihasilkan dari pengikatan antigen platelet daripada glikoprotein IIb-IIIa atau Ib-IX. Aktifasi atau injuri platelet dapat mengakibatkan ekspresi residu fosfatidilserin pada membran. Residu-residu fosfolipid ini selanjutnya dapat dikenal dan terikat oleh antibodi antikardiolipin menghasilkan trombositopeni dipantau. Berkaitan dengan adanya kematian janin dalam rahim pada pasien ini, maka sikap obstetrik yang diambil adalah pengakhiran kehamilan dengan pematangan serviks menggunakan misoprostol tab pervaginam, dilanjutkan induksi dengan tetes oksitosin 5 IU dalam RL 500 cc dimulai 8 tts/mnt dinaikkan 4 tts/30 mnt sampai his adequat atau maksimal 20 tts/mnt. Setelah dilakukan induksi dengan tetes oksitosin 5 IU sampai 3 botol habis,dan diistirahatkan 24 jam, kemudian dilanjutkan kembali dengan tetesan oksitosin 10 IU sampai botol ke-6, lahir bayi perempuan, BB: 500gr, maserasi grade III,dengan plasenta restan, rencana akan dilakukan kuretase hari ke 3 setelah dilakukan KIR metergin 2x1 amp tiap pagi dan sore. Dari hasil pemeriksaan patologi anatomi terhadap plasenta dan tali pusat bayi, didapatkan gambaran adanya perdarahan vili chorialis yang sebagian fibrosis,proliferasi fokal sitotrophoblast, jaringan decidua sebagian schlerotik, dan nekrotik. Gambaran ini menunjukkan adanya insufisiensi uteroplasenter yang dapat terjadi pada sindrom antifosfolipid, bahkan disebutkan di literatur mencapai 50%. Insufisiensi uteroplasenter ini ditandai dengan adanya abnormalitas denyut jantung janin (deselerasi) yang dapat terjadi
17

. Pada beberapa pasien sindrom antifosfolipid dengan trombositopeni

(platelet < 80.000/ul), terapi antikoagulasi menambah risiko perdarahan sehingga perlu

32

mulai trimester kedua manifestasi klinis yaitu

10

. Sindrom antifosfolipid sendiri mempunyai dua karakteristik trombosis dan insufisiensi uteroplasenter. Dua karakteristik ini

menimbulkan dugaan bahwa trombosis dalam sirkulasi uteroplasenter sebagai penyebab infark plasenta yang berdampak pada kematian janin. Hipotesis ini sesuai dengan beberapa temuan pendukung yaitu adanya trombosis, infark dan nekrosis plasenta dari penderita Sindrom antifosfolipid yang mengalami kematian janin. Selain trombosis dan infark, ditemukan juga vaskulopati desidual yang ditandai dengan atherosis, penebalan intima dan nekrosis fibrinoid pada arteria spiralis
2,13

. Selain itu anti fosfolipid secara langsung merusak

sel-sel trofoblast dan mungkin akan mempengaruhi kehamilan dengan menghambat fungsi normal pembelahan sel-sel trofoblast, fusi intertrofoblas, sekresi hormone dan invasi trofoblast 18. Teori yang sederhana sebagai penyebab keguguran berulang pada sindrom antifosfolipid adalah darah kental tidak mampu melewati pembuluh darah paling kecil di plasenta. Plasenta mengkerut dan embrio/fetus tidak dapat hidup dan terjadilah keguguran. Penderita ini mengalami 8 kali keguguran berurutan yang tidak diketahui penyebabnya. Dari hasil pemeriksaan laboratorik pada tanggal 23 Desember 2010 di dapatkan hasil IgG ACA: 123,7 GPL unit/mL (moderate positive) dan Ig M ACA 47,0 GPL unit/Ml sedangkan hasil pemeriksaan IgG ACA ulangan 12 minggu kemudian didapatkan nilai IgG ACA 119,5 GPL units/mL. Hasil pemeriksaan laboratorik lupus antikoagulan dalam batas normal. Sesuai yang tercantum dalam International Consencus Statement on an Update of the Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Syndrome bahwa diagnosis Sindrom antifosfolipid harus memenuhi sekurang-kurangnya satu dari kriteria klinis dan satu dari kriteria laboratoris. Pada pasien ini didapatkan 1 kriteria klinis: 8 kali kegugran berulang dan 1 kriteria laboratoris: Ig G ACA(123,7) dan Ig M ACA(47,0) yang melebihi nilai normal 40 GPL dalam 2 kali pemeriksaan selang waktu sekurang-kurangnya 12 mg. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini maka diagnosis Sindrom antifosfolipid dapat ditegakkan dan keguguran berulang merupakan gejala dari sindrom ini. Akan tetapi apakah sindrom antifosfolipid sebagai penyebab tunggal dari keguguran berulang pada pasien ini, masih memerlukan pemeriksaan penunjang yang lain,misalnya: pemeriksaan analisa kromosom, hormonal, dan agen infeksius lainnya. Karena tidak menutup kemungkinan adanya kombinasi penyakit lainnya yang dapat menyebabkan keguguran berulang. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan lengkap untuk mengetahui ataupun menyingkirkan penyebab keguguran berulang yang lain seperti pemeriksaan kromosom, 33

hormonal, dan agen infeksius lainnya karena keterbatasan dana. Selanjutnya pasien kontrol rutin di Poliklinik Obstetri RSUP Dr. Kariadi untuk program hamil dan diberikan regimen profilaksis antikoagulan berupa aspirin 1x80 mg dan asam folat 2x400 ug.

34

BAB V KESIMPULAN Seorang wanita 31 tahun datang ke UGD RS Dr. Kariadi atas rujukan dari RSI Kudus dengan hamil 5 bulan, IUFD, Incompatibilitas minor + 3, dan Suspect DIC. Saat datang di UGD RS Dr. Kariadi didiagnosis dengan G9P0A8,31 thn,hamil 25 minggu 3 hari, Intrauterin Fetal Death, Preeklampsia ringan, Incompatibilitas minor, Suspect Autoimun Desease, DD: Sindrom antifosfolipid, Anemia ringan (8,9), Trombositopeni (91.000), Riwayat Reproduksi jelek (Abortus 8 x). Pasien ini dikonsulkan ke penyakit dalam sub hematologi onkologi dengan dugaan Sindrom antifosfolipid untuk rawat bersama dan pengelolaan lebih lanjut. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pasien ini memenuhi kriteria Konsensus Internasional untuk kriteria awal klasifikasi Sindrom antifosfolipid (International Workshop 1999) yakni 1 kriteria klinis (keguguran berulang) dan 1 kriteria laboratorium (IgG ACA moderate positive pada dua kali pemeriksaan interval 12 minggu). Berdasarkan hal tersebut diagnosis Sindrom antifosfolipid dapat ditegakkan dan keguguran berulang merupakan gejala dari sindrom ini. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya kombinasi dengan penyebab lain. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan yang lengkap untuk mengetahui ataupun menyingkirkan penyebab keguguran berulang yang lain, karena keterbatasan dana. Selanjutnya pasien kontrol rutin di Poliklinik Obstetri RSUP Dr. Kariadi untuk program hamil dan diberikan regimen profilaksis antikoagulan: aspirin 1x80 mg dan asam folat 2x 400 ug Wanita dengan antibodi-antibodi antifosfolipid atau dengan antikoagulan lupus mempunyai proporsi keguguran yang sangat tinggi terutama pada kehamilan 10 minggu atau lebih. Komplikasi kehamilan dapat berupa persalinan prematur akibat hipertensi dan insufisiensi uteroplasenta. Keluaran kehamilan yang tidak diharapkan dapat disebabkan oleh perfusi plasenta yang buruk yang disebabkan oleh trombosis lokal oleh aneksin-V yang diperantarai antibodi-antibodi antifosfolipid. Antibodi-antibodi antifosfolipid dapat merusak invasi trofoblas dan produksi hormon sehingga tidak hanya menyebabkan keguguran preembrionik dan embrionik tetapi juga keguguran fetal dan insufisiensi uteroplasenta. (1,11) Kemungkinan yang lain adalah kerusakan platelet dengan peningkatan sifat adesif, interferensi dengan aktifitas antitrombin III, dan penghambatan prekalikrein. Beberapa penemuan

35

menunjukkan plasma atau fraksi plasma yang mengandung antikoagulan lupus menghambat produksi prostasiklin oleh jaringan vaskuler, sedangkan prostasiklin merupakan vasodilator poten dan penghambat agregasi platelet.

36

DAFTAR PUSTAKA 1. Levine JS, Branch W, Raunch J. The antiphospholipid syndrome. N Engl J Med 2002; 346: 752-63. 2. Galli M, Barbui T. Antiprotrombin antibodies: Detection and clinical significance in the antiphospholipid syndrom. Blood 1999; 93:2149-57. 3. Greaves M.Antipospholipid antibodies and thrombosis. Lancet 1999;353: 1348-53. 4. Branch DW, Kamashta MA. Antiphospholipid syndrome: obstetric diagnosis, management, and controversies. Obstet Gynecol 2003;101: 1333-44. 5. Decherney A, Polan ML. Abortus habitualis. Dalam: Seri skema diagnosis dan penatalaksanaan infertilitas (Terjemahan), Jakarta, Binarupa Aksara, 1997, 72. 6. Prawiroharjo S. Abortus habitualis. Dalam: Wiknjosastro,Saifuddin AB, eds. Ilmu Kebidanan 3rd. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999, 309 10. 7. Hughes GRV. The antiphospholipid syndrome: ten years on. Lancet 1993; 342: 341-4. 8. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams Obstetrics. 22th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. 9. Kalim H, Handono K, Antibodi antifosfolipid. Dalam: Nasution A, Sidabutar RP, eds. Simposium Nasional I, Systemic Lupus Erythematosus dan pembentukan perhimpunan SLE Indonesia. Panitia PKB Bagian Penyakit Dalam FKUI / RSCM, Jakarta, 1995, 1359. 10. Kristanto, H. Makalah Fetomaternal FK UNDIP. Dalam: Diagnosis dan manajemen obstetrik sindroma antifofsfolipid, Semarang, 2010, 54-9. 11. Lubbe WF, Beutler WS, Aquired defects of coagulationthe lupus anticoagulan. In: Haemostasis and thrombosis in obstetric and gynecology, 1th ed. London, Chapman dan Medical, 1992, 388405. 12. Rand JH, Xiao-Xuan, Harry, AM Andree, Charles JL, Sent G, Jonathan S, and Peter CH, Pregnancy loss in the antiphospholipid antibody syndrome: A possible thrombogenic mechanism. The New England Journal of medicine, 1997; 17: 32-7. 13. Rand JH. Molecular pathogenesis of the antiphospholipid syndrome. Circulation Research, 2002; 90:2937. 14. Handono B, FW Firman, Mose J. Abortus Berulang. Sub Bagian Kedokteran Fetomaternal Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD, Bandung, 2006, 8-12. 37

15. Baziad A, Sumapraja K, Santoso B. Panduan tatalaksana keguguran berulang. Hasil Lokakarya HIFERI-POGI, Yogyakarta, 2010, 1-9. 16. Christiansen OB. Epidemiology of recurrent pregnancy loss. In Recurrent pregnancy loss, causes controversies and treatment.Informa Healthcare, United Kingdom 2007: pp 112. 17. Luisi S, Lazzeri L, Gennazani AR. Endocrinology of pregnancy loss. Recurrent pregnancy loss, causes controversies and treatment.Informa Healthcare United, Kingdom 2007: pp 79-86. 18. Leftherioti MV.Immunobiology of recurrent miscarriage. In Recurrent pregnancy loss, causes controversies and treatment.Informa Healthcare, United Kingdom 2007: pp 165-78 19. Viniker DA. Infections and recurrent pregnancy loss. In Recurrent pregnancy loss, causes controversies and treatment.Informa Healthcare, United Kingdom 2007: pp 193206 20. Cervera R, and Asherson RA. Clinical and epidemiological aspects in the antiphospholipid syndrome. Imunobiology 2003; 5:5-11.

38

You might also like