You are on page 1of 20

SEJARAH TERORISME

Teror punya sejarah yang cukup panjang. Sudah sejak abad pertama masehi aktor teror sudah dikenal. Saat itu ada kelompok sekte keagamaan Yahudi bernama Zealots yang memerangi pemerintahan pendudukan Romawi di wilayah yang kini menjadi Israel dengan cara teror.

Teror sendiri memiliki definisi umum sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut di kalangan sasaran, biasanya pemerintahan, kelompok etnis, partai politik, dan sebagainya. Kata teror berasal dari kata latin terrere (Perancis, terreur) yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa diartikan sebagai suatu tindakan atau keadaan yang menimbulkan kengerian. Dalam hal ini kengerian pada korbannya. (FORUM, No. 29, 2002).

Lalu pada abad ke-12 juga tercatat penggunaan metoda teror ketika kelompok Assassins Ismailiah (syiah) menekan para pemimpin politik dan ulama Suni. Pada 1794, Robespierre menjadi korban Reign of Terror, saat kaum revolusioner Perancis sedang gencar-gencarnya melakukan aksi kekerasan, teror, terhadap para pembangkang.
Aksi itu adalah untuk mempertahankan rezim. Robespierre, tokoh revolusi Perancis, mati dibawah pisau Guillotin. Penyebabnya, ahli hukum itu berperilaku tidak sesuai dengan ide-idenya. Dia hanya salah satu yang mati karena dianggap musuh negara.

Sejak itulah kata teror masuk dalam khasanah bahasa-bahasa Eropa. Makna teror demikian masih sempit, hanya sebatas sebuah sistem atau pemerintahan yang menjalankan teror. Negara menjalankan teror terhadap rakyatnya sendiri, pemerintahan diktator menggunakan teror kepada oposisi negara.

Perkembangannya bermula dan bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern.

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I dan terjadi hampir di seluruh permukaan bumi. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada PD-I. Pada dekade PD-I, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan idiologi.

Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal " damai ". Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak.

Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hakhak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya terorisme. Fenomena terorisme itu sendiri merupakan gejala yang relatif baru, yaitu sesudah Perang Dunia II dan meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa idiologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, ge-rilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.

Pada awal abad ke-19, teror secara menyolok dilakukan untuk tujuan politik dan revolusioner. Contohnya, kelompok anarkhis di Rusia, Italia, Spanyol dan Perancis. Pada 1878-1881, sebuah kelompok kecil orang-orang Rusia yang menamakan diri sebagai Narodnaya Volya (kehendak rakyat) melakukan aksi teror terhadap kalangan kelas atas Rusia. Tujuannya, dengan melakukan aksi teror tersebut maka revolusi akan mudah terjadi. Tapi, kenyataannya berkata lain, meski Tsar Alexander II tewas di tangan kelompok ini, revolusi tidak terjadi.

Ilusi ini mempunyai basis sejarahnya sendiri. Czarisme terbentuk di bawah tekanan dari negara-negara di Barat yang kebudayaannya lebih maju. Agar supaya bisa bertahan di dalam kompetisi, czarisme haruslah mengeringkan darah rakyat, dan di dalam aksi tersebut dia juga harus memotong basis ekonomi daripada kelaskelas atas yang mempunyai hak istimewa. Dan karena itu, kelas-kelas tersebut tidak mampu mencapai level politik yang tinggi yang sudah dicapai kelas-kelas atas di Barat.

Terhadap ini, di abad ke-19, ditambahkan tekanan kuat dari bursa efek Eropa. Semakin banyak jumlah utang yang dia berikan kepada rezim czar, semakin berkurang ketergantungan czar-isme terhadap relasi ekonomi di dalam negeri. Dengan menggunakan kapital dari Eropa, czar-isme mempersenjatai dirinya sendiri dengan teknologi militer dari Eropa, dan maka dari itu czar-isme berkembang menjadi organisasi yang mandiri (tentu saja secara relatif), menempatkan dirinya diatas semua kelas di dalam masyarakat.

Situasi seperti ini secara lazim akan melahirkan idea untuk menghancurkan super-struktur (institusi politik, legalitas, dan sosial yang merupakan refleksi dari sistem ekonomi di negara tersebut catatan penerjemah) yang tidak relevan ini dengan dinamit.

Kaum intelektual sudah berkembang di bawah tekanan langsung dari Barat; seperti musuh mereka, yaitu sang negara, kaum intelektual mendahului tahap perkembangan ekonomi bangsa sang negara secara teknologi; kaum intelektual secara ideologi.

Sedangkan di masyarakat borjuis yang lebih tua di Eropa, ide revolusioner berkembang kurang lebih bersamaan dengan perkembangan kekuatan revolusioner secara umum, di Rusia kaum intelektual mendapatkan akses ke ide politik dan kebudayaan yang sudah siap-jadi dari Barat dan pemikiran mereka menjadi revolusioner sebelum perkembangan ekonomi bangsa melahirkan kelas revolusioner yang serius darimana kaum intelektual revolusioner tersebut bisa mendapatkan dukungan.

Di bawah kondisi-kondisi tersebut, tidak ada yang tersisa bagi kaum intelektual kecuali melipatgandakan kegairahan revolusioner mereka dengan kekuatan peledak nitro-glycerin (dinamit catatan penerjemah). Maka dari itu, lahirlah terorisme klasik Narodnaya Volya. Teror Sosial Revolusioner (SR, Social Revolutionaries) pada umumnya merupakan hasil dari produk sejarah yang sama: kelaliman negara Rusia yang mandiri, pada satu pihak, dan kemandirian kaum intelektual revolusioner Rusia pada lain pihak.

Periode kapitalisme Sturm und Drung (badai dan stress) pada tahun 1880an dan 1890an menghasilkan dan memperkuat sebuah kelas ploletariat industri yang besar, membuat jalan masuk ke dalam isolasi ekonomi daerah pedalaman dan memhubungkannya lebih dekat dengan pabrik dan kota. Di belakang Narodnaya Volya, benar-benar tidak ada kelas revolusioner. SR semata-mata tidak ingin melihat proletariat revolusioner; setidak-tidaknya, mereka tidak mampu menghargai arti sejarah kelas proletariat secara penuh.

Untuk para teroris, di dalam seluruh medan politik hanya ada dua fokus utama: pemerintah dan Organisasi Kombat. Untuk sementara, pemerintah siap untuk berdamai dengan keberadaan tendensi-tendensi lainnya, Gershuni (pendiri Organisasi Kombat SR) menulis kepada kameradnya pada saat ia berhadapan dengan hukuman matinya tetapi pemerintah memutuskan untuk mengarahkan semua serangannya untuk menghancurkan partai SR.

Saya

sungguh-sungguh percaya, kata Kalayev (teroris SR yang lain) yang menulis pada momen yang serupa, bahwa generasi kita, dipimpin oleh Organisasi Kombat, akan menghapuskan otokrasi.

Semua yang diluar kerangka teror hanyalah merupakan bingkai untuk perjuangan; atau dalam keadaan yang terbaik, hanya merupakan dukungan sekunder. Dalam kilasan cahaya ledakan bom yang membutakan, karakter partai politik dan garis pemisah perjuangan kelas hilang tanpa jejak.

Pada abad ke-20, teror dilakukan lebih canggih dengan memanfaatkan teknologi komunikasi, elektronik, transportasi, serta kemajuan temuan bahan peledak. Kebanyakan teror diwarnai dengan pembunuhan para pemimpin politik dan kepala negara. Contohnya Vladimir Lenin, dengan polisi rahasianya Cheka, melakukan teror terhadap kaum Bolshevik. Gestapo Nazi Jerman pada dekade 1930-1940-an juga melakukan hal yang sama.

You might also like