You are on page 1of 5

KOLABORASI DALAM RANGKA PENGUATAN KEBERLANJUTAN BISNIS KAKAO

Ditulis oleh: Ir. H. Zulhefi Sikumbang Pada 7-8 Juli 2011 ASKINDO (Asosiasi Kakao Indonesia) menyelenggarakan International Cocoa Conference & Dinner 2011 untuk yang kelima kalinya. Untuk konferensi dan cocoa dinner yang diselenggarakan di Hotel Westin Nusa-Dua, Bali Indonesia tersebut dihadiri oleh 273 peserta untuk konferensi dan 740 orang peserta untuk cocoa dinner. Sebagai hasilnya hampir semua stakeholder sepakat bahwa perlu adanya upaya riil serta kolaborasi yang tidak semata lintas sektor usaha namun juga terlepas dari sekat-sekat batas kewilayahannya.

Guna mendapatkan gambaran umum kondisi perkakaoan untuk kemudian bisa ditemukan sebuah kerangka kolaborasi, dalam konferensi ini sejumlah tema yang diangkat adalah: Kondisi industri kakao dunia terkini, masa depan kakao dunia: harapan dan tantangan, Sustainibility dan sertifikasi untuk perbaikan profabilitas, social dan kondisi lingkungan, kolaborasi untuk kakao dan cokelat yang berkelanjutan, serta interaktif diskusi atas isu-isu bisnis kakao terpanas.

Menurut Dr. Bayu Krisna Murti selaku Wakil Menteri Pertanian Republik Indonesia yang disampaikan ketika memberikan pidato kunci pada sesi pembukaan, bahwa masa depan kakao (dunia) ada ditangan para generasi muda konsumen cokelat. Dalam konteks ini, masing-masing negara konsumen dan negara produsen memiliki sudut pandang yang berbeda. Untuk itu perlu didorong satu kolaborasi untuk membangun kesepahaman antar stakeholder tersebut. Dengan demikian The 5th Indonesian International Cocoa Conference yang mengusung tema Working Together For A Better Future, telah merefleksikan dengan baik atas permasalahan global yang terjadi saat ini.

Menurutnya dalam membangun sebuah kolaborasi yang efektif tidak bisa dipandang sebagai program jangka pendek belaka, namun harus dilihat sebagai refleksi dari keberlanjutan kakao. Kolaborasi tersebut juga harus dibangun dalam kerangka yang saling menguntungkan (simbiosis mutualism) antar para pihak (stakeholder). Dalam konteks kakao di Indonesia maupun di dunia stakeholder dengan kontribusi yang paling besar adalah petani yang diantaranya adalah petani

kecil. Bagi petani keberlanjutan kakao adalah sebuah keharusan dan segalanya buat mereka, karena itu berarti keberlanjutan atas penghasilan serta harkat martabat mereka.

Pada kesempatan tersebut Noel Janetski President Direktur PT. Mars Symbioscience Indonesia menyatakan bahwa kolaborasi adalah kunci untuk menuju sukses. Noel melanjutkan bahwa Darwin pernah menyatakan bahwa bukan mahkluk yang paling kuat dan pandai yang mampu untuk bertahan, tetapi mereka yang mampu merespon dan beradaptasi dengan cepat dalam menghadapi perubahan. Sedangkan kolaborasi sendiri dianggapnya sebagai kunci sukses dalam mengendalikan perubahan.

Kemudian Indonesianis asal Australia ini mencontohkan sejumlah aktifitas kolaborasi stakeholder kakao yang telah dijalankan dan berhasil di Indonesia. Diantaranya adalah kolaborasi dimana PT. Mars Symbioscience Indonesia ikut terlibat aktif didalamnya. Langkah-langkah awal dalam penyusunan kolaborasi dan tahapan-tahapan kerja yang dibangun dijelaskan sera apik dalam sesi ke empat konferensi.

Sementara itu Dr. Jean-Marc Anga Direktur Eksekutif ICCO (International Cocoa Organization) mengingatkan kita akan pentingnya kolaborasi dalam perencanaan penyusunan program dalam mengatasi permasalahan kakao di dunia. Tanpa adanya kolaborasi antar stakeholder akan dapat memperparah siklus boom & bust ekonomi kakao yang terjadi saat ini.

Untuk melihat kondisi perekonomian kakao dunia yang terjadi saat ini, menurutnya dapat direfleksikan melalui produksi kakao, produk olahan setengah jadi, konsumsi dan tren harga. Manis Cokelat sebagai produk makanan atau minuman telah mengalami perjalanan yang panjang, hingga pada konteks kekinian kakao telah menjadi salah satu komoditi dunia. Namun demikian sangat disayangkan bahwa dalam hal penanganan terhadap permasalahan budiaya tanaman kakao misalnya terkait dengan perawatannya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Artinya perlu adanya upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan prakti baik bertanam kakao.

Selain itu, apabila kita membicarakan kakao sebagai komoditi yang akan tetap diperdagangkan pada rentang waktu yang cukup lama (jangka panjang), maka kata kuncinya adalah pada konteks keberlanjutan kakao. Untuk itu salah satu aspek penting dalam hal ini adalah regenerasi baik dalam hak konsumsinya mapun produksinya. Saat ini telah terjadi penurunan yang signifikan bahwa generasi muda mulai tidak berminat terhadap permasalahan seputar kebun kakao.

Dalam catatannya selama satu dekade terakhir, suplai kakao dunia telah tumbuh sebesar dua persen pertahun, sementara permintaan mengalami peningkatan mencapai 2,5% pertahunnya. Tidak seimbangnya antara perkembangan produksi dengan perkembangan permintaan dapat berakibat yang cukup serius pada masa depan perekonomian kakao dunia.

Ada dua hal yang mungkin bisa dianggap menjadi keberlanjutan dalam siklus ekonomi (boom & bust) yang merupakan perta munculnya pergantian periode, yaitu: pertama ketidak stabilan harga, dan kedua adalah adanya perubahan perekonomian secara radikal (Burning Platform). Dalam hal ini sector kakao akan memasuki era deficit produksi secara terstruktur dan lonjakan harga yang tinggi. akhirnya. Kedua hal tersebutakan akan mempengaruhi industry dan konsumen

Secara umum terkait dengan sejumlah permasalahan tersebut, hampir semua stakeholder sepaham bahwa perlunya pengembangan bisnis kakao secara berkelanjutan. Dimana adanya ketersediaan bahan baku (supply & demand) yang terjaga, disisi lain pekebun juga membudidayakan tanaman kakao dengan lebih memperhatikan aspek keberlanjutan bisnis kakao.

Public-Private Partnership Salah satu model kolaborasi antar stakeholder yang bisa diadopsi adalah public-private partnership. Model ini merupakan bentuk kolaborasi yang cukup idial, dalam konteks ini diperlukan sebuah lembaga yang terdiri dari dari dua unsur utama yaitu pemerintah dan swasta. Dalam konteks pengembangan kakao sektor swasta harus lebih intensif terlibat dalam public private partnerships (PPP) untuk dekade berikutnya guna mencapai hasil yang berarti di seluruh wilayah dan sisiplin yang berbeda.

Kemitraan yang beragam dapat dilaksanakan, di mana di sektor swasta menggunakan pendekatan Market-Base Solution dalam jangka panjang untuk hasil yang berkelanjutan. Sementara itu, peran pemerintah harus memungkinkan lingkungan dalam hal infrastruktur, kebijakan, Deseminasi dan penelitian bagi petani; dan peran organisasi non-pemerintah akan membantu kegiatan-kegiatan percontohan untuk menguji di tingkat masyarakat.

Pendekatan yang berbeda harus dilakukan dan harus pula dihormati dalam implementasinya. Dalam kemitraan komponan paling penting adalah untuk mengimplementasikan program bukan hanya sekedar menyusun program. Multi-stakeholder forum tidak selalu dapat diterjemahkan sebagai bentuk kesuksesan dalam implementasi PPP. Bukti keberhasilan harus diukur dengan tingkat adopsi petani dan perbaikan ditingat pertanian.

Fokus Public Private Partnerships yang sebenarnya dalam rangka untuk memenuhi tujuan yang mana banyak diantara kita mengklaim berkeinginan untuk melakukannya, tetapi pada kenyataanya dukungan sektor publik tampaknya masih kurang dalam dimensi pasar kakao yang komplek. Dukungan seperti hal tersebut harus digali dan ditawarkan. Sebuah platform yang kuat untuk inisitif keberlanjutan perlu dibentuk dalam rangka mengaktifkan sektor kakao supaya dapat berkembang guna mendukung kebutuhan masyarakat yang bergantung pada kakao.

Bea Keluar Kakao Salah satu isu nasional yang dibahas dalam konferensi kali ini adalah terkait dengan pengenaan bea keluar kakao atas setiap aktifitas ekspor kakao dari Indonesia yang ditetapkan sejak April 2010. Adakalanya perdebatan bea keluar yang mengusung kepentingan kelompok dan pribadi menjadi absurt, karena perdebatan menjadi tidak fokus pada inti permasalahannya dan justru melebar pada aspek yang sebenarnya tidak perlu.

Dalam hal ini adalah manakala perdebatan mengenai penetapan BK Kakao dikaitkan dengan nasionalisme ke Indonesiaan. Sangat disayangkan bahwa semangat nasionalisme ini dikobarkan pada sebuah ivent dalam skala internasional. Seolah-olah terkesan bahwa kebijakan BK diterbitkan sebagai efek ketidak adilan oleh industri asing atas industri nasional.

Sebenarnya apabila dikembalikan pada inti masalah BK maka, perdebatan yang terjadi seharusnya dibatasi pada hal daya saing industri nasional, keadilan bagi stakeholde lainnya (petani dan eksportir) dan bagaimana menciptakan suasana yang kondusif guna mendorong perkakaoan nasional.

Dalam hal ini pernyataan Noel bisa menjadi renungan bersama bahwa penguatan industri kakao nasional memang telah menjadi pilahan kebijakan pemerintah, namun terlepas dari capaian dan manfaat kebijakan ini pada kelompok tertentu, perlu kita perhatikan pula kemana dan bagaimana dampak kebijakan ini bagi semua stakholder nasional.***

You might also like