You are on page 1of 5

TINJAUAN PUSTAKA

Tata Laksana Koinfeksi Hepatitis C pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus


Andreas Erick Haurissa1, Darmadi2, Theresia Ilyan3
1

Dokter PTT Puskesmas Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat 2 Dokter Internship RSUD ZA Pagar Alam, Kabupaten Way Kanan, Lampung 3 Dokter Internship RSUD Sanggau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

ABSTRAK Pada pasien HIV (+) sering terjadi koinfeksi HCV karena berbagi rute transmisi yang sama seperti pajanan perkutaneus, hubungan seksual, dan transmisi dari ibu ke anak. Koinfeksi HCV berkaitan dengan progresivitas penyakit yang cepat menuju sirosis serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Manajemen klinis pasien HIV dengan koinfeksi HCV menantang dan kompleks. Artikel ini membahas epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan manajemen koinfeksi HCV/HIV. Kata kunci: koinfeksi HCV/HIV, pegylated interferon, ribavirin, hepatotoksisitas

ABSTRACT HIV-positive patients are commonly co-infected with HCV due to shared routes of transmission: percutaneous exposure to blood, sexual intercourse, and from mother to infant. HCV co-infection is associated with accelerated progression to cirrhosis and increased liver-related morbidity and mortality. Clinical management of co-infection is challenging and complex. This review examines the epidemiology, pathogenesis, clinical manifestations, diagnosis, and management of HCV/HIV coinfection. Andreas Erick Haurissa, Darmadi, Theresia Ilyan. Management of Hepatitis C Coinfection in Human Immunodeficiency Virus Infection. Key words: HCV/HIV coinfection, pegylated interferon, ribavirin, hepatotoxicity

PENDAHULUAN Prevalensi koinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan Hepatitis C Virus (HCV) dipengaruhi oleh faktor risiko infeksi HIV. Prevalensi hepatitis C pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) secara keseluruhan sekitar 40%, terdapat variasi tergantung pada rute infeksi HIV. Beberapa studi menunjukkan prevalensi tinggi terutama ditemukan pada ODHA pecandu narkotika suntik, yaitu sekitar 50-90%.1,2 Koinfeksi HCV pada infeksi HIV akan menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian serius mengingat adanya kecenderungan peningkatan kasus HIV/AIDS yang ditularkan melalui jarum suntik. Replikasi virus Hepatitis C akan meningkat dengan adanya infeksi HIV. Koinfeksi HCV dengan HIV akan menyebabkan peningkatan insidens sirosis hepatis, karsinoma hepatoselular, serta efek hepatotoksik pada pemberian obat antiretroviral (ARV). Selain itu interval antara infeksi sampai terjadinya sirosis akan menjadi lebih singkat.2
Alamat korespondensi email: t1c1l@yahoo.com

PEMBAHASAN Epidemiologi Di dunia terdapat 130 juta infeksi HCV dan 40 juta infeksi HIV. Pada orang yang terinfeksi HIV, 45 juta mengalami koinfeksi HCV. HCV dan HIV berbagi jalur transmisi yang sama. Menurut studi dari Eropa Barat dan Amerika Serikat, di antara penderita HIV-positif ditemukan infeksi HCV sebesar 25-30%, dari jumlah tersebut 72-95% adalah pengguna jarum suntik, 1-12% adalah pria yang berhubungan seks dengan pria (Men Sex with Men - MSM), dan 9-27% heteroseksual.3,4 Dari kelompok pengguna jarum suntik terdapat lebih dari 30% pasien terinfeksi HIV mengalami koinfeksi dengan HCV terutama di negara-negara berkembang.3 Virus hepatitis C (hepatitis C virus, HCV) adalah virus RNA untai tunggal yang sangat menular melalui darah yang telah terkontaminasi secara langsung maupun melalui produk darah. HCV 10 kali lebih infeksius dibandingkan HIV melalui paparan darah perkutaneus.5 Diperkirakan 70% obat diberikan melalui

injeksi oleh petugas kesehatan di negara berkembang yang sebenarnya tidak perlu atau dapat diberikan dengan cara oral. Transfusi darah sering diberikan tanpa skrining HIV atau HCV terlebih dahulu. Di negara-negara barat transmisi terbanyak melalui penggunaan obat terlarang secara intravena (intravenous drug use, IDU). Pengguna obat terlarang melalui jarum suntik intravena dengan HIV mempunyai prevalensi HCV sebesar 78-97%.4 Infeksi HCV terjadi pada sekitar 2-5% bayi yang lahir dari ibu seropositif. Pada sejumlah studi, insidens transmisi HCV dari ibu ke bayi meningkat jika ibu koinfeksi dengan HIV. Secara keseluruhan transmisi infeksi HCV secara perinatal relatif rendah, namun prevalensi meningkat pada koinfeksi HIV.5 Pengaruh Koinfeksi HCV pada Riwayat Alamiah Infeksi HIV Pada koinfeksi HCV-HIV, progresivitas fibrosis hati makin cepat, menyebabkan tingginya kejadian sirosis dibandingkan pada penderita

92

CDK-201/ vol. 40 no. 2, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
monoinfeksi HCV. Reduksi progresivitas fibrosis pada hepar ditemukan pada penderita HIV yang terkontrol, terutama pada penderita HIV yang menggunakan HAART sebagai terapi inisial. Namun penderita koinfeksi HCV-HIV lebih rentan mengalami toksisitas hepar dan steatosis akibat penggunaan HAART (highly active antiretroviral therapy), terlebih jika menggunakan NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitor).6 Penderita koinfeksi HCV-HIV memiliki kadar HCV RNA serum dan kadar HCV RNA hepar yang lebih tinggi daripada penderita monoinfeksi HCV. Titer virus HCV yang lebih tinggi ditemukan pada penderita koinfeksi HCV-HIV, kemungkinan besar disebabkan oleh peningkatan replikasi virus pada keadaan imunosupresi. Dorrucci et al menemukan bahwa koinfeksi HCV tidak mempengaruhi progresivitas infeksi HIV baik secara klinis maupun virologis dalam kurun waktu 3 tahun. Namun, Sabin et al menemukan bahwa pada pasien hemofilia yang mengalami koinfeksi HCV-HIV, terutama pasien dengan infeksi HCV genotipe 1, mengalami progresivitas penyakit lebih cepat menjadi AIDS dan kematian daripada pasien terinfeksi HCV genotipe lain. Lesens et al juga menemukan hal yang sama, pasien yang menderita koinfeksi HCV-HIV mengalami progresivitas yang cepat menjadi AIDS setelah muncul gejala klinis penyakit hati.8 PATOGENESIS Mekanisme peningkatan replikasi virus HCV dan akselerasi proses fibrosis hati pada koinfeksi HIV/HCV dapat dijelaskan akibat adanya supresi sistem imun karena berkurangnya sel CD4, adanya interaksi antara virus dan produk gennya (pada hepatosit maupun pada sel hepar lainnya), serta efek tidak langsung pada hepar dari infeksi HIV pada organ lain. 3 Faktor utama terjadinya akselerasi HCV adalah supresi sistem imun oleh HIV. Respons sel T berperan penting dalam mencegah progresi infeksi akut HCV menjadi infeksi kronis. Pada penderita HIV yang mengalami infeksi akut HCV, respons sel T terhadap HCV menurun secara signifikan, sehingga lebih sering terjadi infeksi kronis HCV. Pada infeksi HCV kronis, respons sel T secara umum lemah, respons CD4 dan CD8 lebih lemah daripada penderita non-HIV. Respons ini tidak dapat ditingkatkan, bahkan jika jumlah sel CD4 meningkat dengan pemberian HAART. Selain itu, ada studi yang memperlihatkan kemungkinan adanya penurunan diversitas genetik HCV pada koinfeksi HIV/HCV dibandingkan dengan kasus monoinfeksi.3 Namun, reaksi imun ini tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa progresivitas fibrosis hepar meningkat. Kerusakan sel hepar pada koinfeksi juga terjadi karena efek kombinasi infeksi kedua virus pada hepatosit. Kemampuan HIV menginfeksi langsung hepatosit tidak jelas. Hepatosit manusia mengekspresikan CXCR4 dan CCR5 namun tidak mengekspresikan CD4, sehingga kemungkinan infeksi langsung HIV terhadap hepatosit sangat kecil. Beberapa penelitian berhasil mengisolasi HIV yang independen CD4 dari seorang pasien dan secara in vitro berhasil membuat infeksi hepatosit melalui CXCR4 dan mungkin menjelaskan deteksi kadar HIV yang rendah dalam hepatosit. Penelitian lain menunjukkan salah satu sel di hepar manusia, Huh-7,5 yang diinfeksi dengan strain HCV JFH-1, mengekspresikan CD4 dan dapat terinfeksi oleh strain HIV melalui CXCR-4 dan CCR-5. Kadar antigen inti HCV meningkat pada sel yang mengalami koinfeksi, konsisten dengan kadar viremia yang lebih tinggi. Namun, walaupun tidak ada koinfeksi pada hepatosit, sel-sel hepar terpapar dengan efek protein virus yang bereplikasi. Protein kapsul HIV gp120 menginduksi apoptosis hepatosit melalui sinyal CXCR-4 yang dimediasi protein G. Proses ini juga menginduksi ekspresi transforming growth factor 1, yang dikenal sebagai agen profibrotik. 3 Infeksi HIV pada sel-sel hepar selain hepatosit juga memainkan peranan dalam progresivitas penyakit pada kasus koinfeksi. Seperti makrofag lainnya, sel Kupffer dapat diinfeksi dengan HIV, walaupun infeksi tunggal HIV tidak berkaitan dengan kejadian patologis hepar yang signifikan. Pada koinfeksi HIV/HCV, sel Kupffer yang terinfeksi HIV beralih pada respons sitokin Th2, kemudian mengaktifkan sel stelata hepar, mediator utama deposisi kolagen dan fibrogenesis pada hepar. Adanya modulasi fungsi presentasi antigen pada sel Kupffer oleh HIV juga menyebabkan kerusakan hepar lebih progresif. Sel endotel sinusoid hepar mengekspresikan CD4 dan secara in vitro dapat terinfeksi HIV. 3 Penjelasan lain atas progresivitas penyakit berhubungan dengan aksis usus-hepar (gut-liver axis). Selama infeksi primer HIV, ada penurunan sel CD4 jaringan limfe usus yang signifikan, menyebabkan infeksi kronis dan berkaitan dengan peningkatan permeabilitas usus dan translokasi mikroba (ada peningkatan kadar lipopolisakarida/ LPS), yang akhirnya mengaktifkan sistem imun sistemik. Permeabilitas usus dan aktivasi sel Kupffer yang diinduksi LPS berkaitan dengan kerusakan hepar dalam beberapa hal, termasuk penyakit hepar alkoholik, celiac sprue, gut graft-versus-host disease, dan inflammatory bowel disease. Adanya paparan berulang terhadap LPS membuat monosit dan makrofag mengalami toleransi

Gambar 1 Mekanisme Interaksi HCV-HIV 10

CDK-201/ vol. 40 no. 2, th. 2013

93

TINJAUAN PUSTAKA
yang akan membatasi aktivasi imun. Pada infeksi HCV kronis, toleransi terhadap LPS di monosit perifer dan sel Kupffer hilang karena efek kombinasi dari interferon gamma, endotoksin, dan protein inti HCV. 3 Beberapa kelainan pada sistem limfatik pada pasien dengan infeksi HCV kronis di antaranya proliferasi poliklonal sel B dengan produksi autoantibodi, yang dapat menyebabkan sindrom klinis kelainan autoimun yang berkaitan dengan HCV, cryoglobulinemia campuran, dan limfoma non-Hodgkin. Mekanisme aktivasi sel B oleh HCV belum jelas, salah satunya mungkin disebabkan oleh interaksi glikoprotein HCV E2 dengan CD81.9 Selain itu HCV dapat menginfeksi dan bereplikasi dalam sel B, sel T, dan monosit. Disfungsi sel dendritik, penghambatan fungsi sel NK sudah dilaporkan pada pasien terinfeksi HCV. Di samping itu, HIV selain menginfeksi sel T, juga mengubah fungsi dan fenotipe sel dendritik dan sel NK yang berperan penting dalam imunitas innate dan adaptif. Hal ini berkontribusi dalam berkurangnya respons imun spesifik HCV pada koinfeksi HIV/HCV. Interaksi antara HCV dan sistem limfatik secara teori dapat memengaruhi, atau dipengaruhi, oleh koinfeksi dengan HIV. 3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Manifestasi koinfeksi HCV pada pasien HIV tidak berbeda jauh dengan monoinfeksi HCV. Yang berbeda hanyalah derajat keparahannya. Baik infeksi HCV akut maupun kronis biasanya simtomatis minimal atau asimtomatis. Kurang dari 20% pasien dengan infeksi akut mengalami gejala khas hepatitis akut seperti flu-like syndrome (demam, anoreksia, mual, muntah, lelah, malaise, artralgia, mialgia, sefalgia, batuk), fotofobia, penurunan berat badan, ikterik. Urinnya juga berwarna gelap dan terjadi acholia feses.5,8 Peningkatan kadar ALT atau AST serum yang tidak dapat dijelaskan dapat merupakan satu-satunya hasil pemeriksaan laboratorium pada saat infeksi akut. Pada fase akut, terapi antiviral memiliki respons lebih baik. Infeksi HCV kronis biasanya asimtomatis, walaupun sering pula ditemukan keluhan lemas. Dengan makin beratnya penyakit hati, pasien dapat mengalami gejala sirosis, seperti hipertensi portal, spider naevi, palmar erythema, splenomegali, caput medusae, asites, ikterus, pruritus, asteriksis, dan ensefalopati.5 Diagnosis diawali dengan anamnesis riwayat penggunaan jarum suntik, pascatransfusi darah, hubungan seksual, riwayat berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan, riwayat tattoo, dan penurunan berat badan drastis akhir-akhir ini. Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan gejala sirosis hati karena pada pasien koinfeksi HCV/HIV sangat sering terjadi perburukan hepatitis C kronis menuju ke sirosis hati. Pemeriksaan penunjang lain antara lain pemeriksaan tes fungsi hati, PCR untuk mendeteksi RNA HCV dalam darah, ELISA, dan RIBA (recombinant immunoblot assay).11,12 Tindakan diagnosis utama untuk menegakkan diagnosis Hepatitis C karena koinfeksi HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), biasanya pada minggu ke-3 sampai minggu ke-15 post infeksi. ELISA digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap virus, baik HCV maupun HIV. Jika hasil tes ELISA negatif, artinya penderita tidak memiliki antibodi terhadap virus tersebut. Nilai negatif palsu agak jarang, bisa terjadi pada orang dengan sistem imun sangat rendah sehingga tidak mampu memproduksi kadar antibodi yang cukup untuk terdeteksi di dalam darah. Jika nilai ELISA positif, diagnosis diyakinkan dengan tes HCV RNA atau HIV RNA untuk menentukan apakah saat ini masih terdapat virus tersebut di dalam darah. Tes lain untuk mendeteksi adanya antibodi dalam darah penderita, yaitu RIBA. RIBA dapat digunakan untuk mengkonfirmasi nilai positif pada ELISA. 12,13 Pemeriksaan Computed Tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan
Tabel 1 Monitoring Infeksi HCV pada Pasien HIV 1 Pasien Untuk HCV Semua pasien Pasien dengan hasil tes antibodi HCV (-) dan CD4 <200, kadar aminotransferase meningkat persisten, atau hepatitis akut Terapi HCV Awal terapi Semua pasien Tes antibodi HCV Tes HCV RNA Rekomendasi Tindakan

ultrasonografi (USG) memiliki peranan terbatas dalam menentukan tingkat keparahan penyakit hepar karena biasanya hepar tampak abnormal hanya pada stadium lanjut. USG direkomendasikan sebagai tes awal evaluasi pasien sirosis hepatis untuk mendeteksi lesi massa hepar yang dicurigai sebagai karsinoma hepar. 5 Biopsi hepar merupakan tes paling akurat untuk menilai keparahan penyakit hepar dan fibrosis hepar secara kuantitatif.5,14 Pada koinfeksi HCV-HIV, tingkat histologis kerusakan hepar merupakan prediktor yang lebih baik daripada peningkatan kadar transaminase serum, genotipe, maupun viral load.1 Pada suatu studi ditemukan 29% pasien koinfeksi HCV-HIV dengan kadar transaminase serum normal mengalami fibrosis hepar yang memerlukan terapi. Biopsi hepar juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu dimulai terapi inisiasi pada penderita koinfeksi HCV-HIV.5,14 TATA LAKSANA Tujuan pengobatan Hepatitis C pada pasien koinfeksi dengan HIV dibagi menjadi dua yaitu tujuan primer dan sekunder. Tujuan primer adalah mengeradikasi virus (kadar HCV RNA tidak terdeteksi setelah 6 bulan pengobatan), tujuan sekunder adalah menurunkan risiko gagal hati dan hepatocellular carcinoma (HCC). Kombinasi pegylated interferon dengan ribavirin penting sebagai terapi pasien koinfeksi. Ribavirin berguna untuk menghambat replikasi virus HCV dan dapat meningkatkan kerja pegylated interferon.15 Pegylated interferon maupun interferon dapat

Periksa kadar AST, ALT, albumin, INR, trombosit Tes HCV RNA Nilai genotipe (untuk terapi) Nilai tingkat fibrosis

Selama terapi Semua pasien

Pasien dengan kadar hemoglobin atau neutrofil rendah Pasien depresi sebelum atau selama terapi

Periksa darah lengkap dan trombosit tiap minggu selama 4 minggu, lalu periksa darah lengkap, trombosit, AST, ALT, dan asam urat setiap bulan Kurangi dosis terapi atau beri eritropoietin selama terapi Beri antidepresan jika perlu Periksa HCV RNA setelah 12 minggu dan hentikan terapi bila terjadi penurunan >2log10

94

CDK-201/ vol. 40 no. 2, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
menekan CD4 dan leukosit, sehingga pada penderita HIV/AIDS dengan CD4 rendah, sebaiknya memprioritaskan pengobatan HIV/AIDS. Untuk ODHA dengan CD4 > 200, pengobatan sebaiknya dimulai dengan pegylated interferon-ribavirin. Namun, jika CD4 kurang dari 200, pengobatan dimulai dengan ARV, baru dipertimbangkan pegylated interferon-ribavirin setelah CD4 naik.16 Terapi pasien koinfeksi HCV genotipe 1, 4, 5, 6 direkomendasikan menggunakan pegIFN alfa-2a (180 mcg) atau pegIFN alfa-2b (1, 5 mcg/kg) injeksi subkutan per minggu plus RBV per oral dua kali per hari ( berat badan <75 kg, 600 mg tiap pagi dan 400 mg tiap malam hari; berat badan >75 kg, 600 mg dua kali per hari) selama 48 minggu. Untuk pasien dengan HCV genotipe 2 atau 3, direkomendasikan pegIFN alfa-2a (180 mcg) atau pegIFN alfa-2b (1.5 mg/ kg) injeksi subkutan per minggu plus RBV per oral dalam dosis tetap 400 mg dua kali per hari selama 48 atau 24 minggu.5 Regimen terapi dan durasi pengobatan untuk pasien koinfeksi belum dibakukan. Durasi terapi untuk pasien koinfeksi sebaiknya >24 minggu. Namun, berdasarkan rekomendasi para ahli HCV akut maupun kronis pada pasien koinfeksi HIV sebaiknya diterapi dengan total durasi 48 minggu. Konsensus Paris 2005 juga menganjurkan pemberian pegylated interferon-ribavirin selama 48 minggu.16 Perlu pemantauan keberhasilan terapi dengan memeriksa HCV RNA. Early virologic response (EVR) adalah tidak terdeteksinya HCV RNA atau level HCV RNA menurun >2log10 pada pemeriksaan HCV RNA kuantitatif minggu ke-12 saat menjalani terapi. Pasien yang tidak mencapai EVR dalam minggu ke-12, peluangnya kecil (<3%) untuk mencapai SVR (Sustained Viral Response) dan direkomendasikan untuk tidak melanjutkan terapi setelah 12 minggu. Adapun SVR didefinisikan sebagai tidak terdeteksinya HCV RNA atau level HCV RNA <50 IU/mL 24 minggu setelah pengobatan lengkap. Jika EVR tercapai, terapi sebaiknya dilanjutkan dan pemeriksaan HCV RNA dilakukan pada akhir minggu ke-24 terapi. Jika ternyata HCV RNA masih terdeteksi sebaiknya terapi distop. Jika HCV RNA tidak terdeteksi dalam minggu ke-24 terapi, terapi sebaiknya dilanjutkan dengan total durasi 48 minggu. Pemeriksaan HCV RNA diulang setelah minggu ke 48 terapi dan 24 minggu setelah pengobatan lengkap. Relaps berarti pada akhir terapi HCV RNA tidak terdeteksi tetapi level HCV RNA kembali meningkat setelah terapi dihentikan. Dikatakan gagal terapi jika selama menjalani terapi, level HCV RNA tidak berhasil disupresi. Beberapa ahli merekomendasikan untuk tetap melanjutkan terapi walaupun terjadi kegagalan terapi pada pasien fibrosis hati lanjut karena berdasarkan observasi sekitar 1/3 pasien koinfeksi mengalami perbaikan histologis, walaupun tanpa perbaikan virologis. Namun, data terbaru menyatakan rekomendasi ini kurang efektif dan tidak dianjurkan.17,18 Efek samping utama IFN (pegylated atau standar) meliputi flu like symptoms (seperti demam, mialgia, nyeri kepala, dan lemas), gangguan neuropsikiatrik (depresi, iritabel, disfungsi kognitif ), sitopenia (trombositopenia dan neutropenia, termasuk penurunan CD4+ reversibel), retinopati, neuropati, dan eksaserbasi penyakit autoimun. Sementara itu, efek samping utama RBV adalah anemia hemolitik bergantung dosis (dose dependent), batuk, dan dispepsia. Beberapa peneliti menyarankan pemakaian eritropoietin untuk mengatasi anemia selama terapi HCV. Status mental perlu dipantau selama terapi infeksi HCV. Efek neuropsikiatrik dapat diatasi dengan pemberian antidepresan.5 Pasien yang memiliki kontraindikasi RBV (misalnya, penyakit kardiopulmonal tidak stabil, anemia tidak responsif terhadap terapi, gagal ginjal, atau hemoglobinopati) dapat diobati dengan monoterapi pegIFNalfa (2a atau 2b). Pasien koinfeksi perlu di-follow-up dengan memeriksa HCV RNA serial setiap 6-12 bulan selama 1-5 tahun untuk menghindari risiko reinfeksi.19 Pada pasien koinfeksi, pemberian ARV berisiko meningkatkan kadar serum aminotransferase dalam 6-12 minggu pertama setelah terapi ARV dimulai. Karena itu, perlu pantauan ketat selama 3-6 bulan pertama dan perlu follow-up setiap 3 bulan. Namun, pada 8090% kasus tidak terjadi hepatotoksik selama pemberian ARV, dan serum aminotransferase akan segera menurun pada mayoritas kasus, meskipun terapi masih diteruskan. Karena itu, terapi ARV masih diteruskan walaupun terjadi peningkatan serum aminotransferase. Terapi ARV segera distop bila terjadi reaksi hipersensitivitas (demam, limfadenopati, rash), peningkatan gejala hepatitis secara signifikan, seperti mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, atau peningkatan serum aminotransferase >10 kali.20 Belum ada rekomendasi baku untuk memberikan pengobatan pada pasien koinfeksi yang gagal terapi. Beberapa pasien berhasil diterapi setelah pemberian regimen ulang. Pemberian terapi pemeliharaan pegIFN tidak direkomendasikan karena tidak terbukti manfaatnya dalam menurunkan kelainan hati maupun perburukan fibrosis hati, bahkan lebih berisiko muncul efek samping.21 Obat HIV yang perlu dihindari karena interaksinya dengan ribavirin adalah didanosin dan stavudin karena meningkatkan toksisitas mitokondria yang berakibat pankreatitis, peningkatan enzim lipase, asidosis laktat, peningkatan tes fungsi hati, steatohepatitis, peningkatan kreatinin, neuropati, dan gagal multiorgan. Selain itu, zidovudin juga perlu dihindari karena meningkatkan risiko anemia, padahal peginterferon dan ribavirin sendiri juga memiliki efek samping anemia walau mekanismenya berbeda. Peginterferon dapat menyebabkan supresi hemopoesis, sementara ribavirin dapat menyebabkan hemolisis. Karena itu, penting memeriksa kadar Hb dan pemberian eritropoietin.20,22 Penelitian RCT oleh Carrat dkk. membandingkan efektivitas pegylated interferon alfa-2b plus ribavirin dengan standard interferon alfa-2b plus ribavirin. Sebanyak 207 pasien menerima 1,5 mcg/kg peginterferon alfa-2b satu kali per minggu plus ribavirin 800 mg per hari selama 48 minggu (kelompok A); sebanyak 205 pasien menerima 3 juta unit standard interferon alfa-2b plus ribavirin 800 mg per hari selama 48 minggu (kelompok B). Dua tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah SVR (sustained viral response) dan perbaikan histologis. Pada minggu ke-24, HCV RNA tidak terdeteksi pada 28% pasien kelompok B dan 40% pasien kelompok A (p=0,004). Hasil penelitian sejenis oleh Crespo dkk. mendukung penelitian di atas, bahwa kombinasi pegylated interferon alfa-2b plus ribavirin lebih efektif daripada kombinasi standard interferon alfa-2b plus ribavirin. Ada perbedaan efek samping antara kelompok peginterferon dan kelompok interferon, yaitu neutropenia (p=0,04) dan penurunan berat badan (p=0,03) secara signifikan

CDK-201/ vol. 40 no. 2, th. 2013

95

TINJAUAN PUSTAKA
lebih dominan di kelompok peginterferon, sementara insomnia secara signifikan lebih dominan di kelompok interferon (p=0,02).23,24 Selain itu, penelitian Torriani dkk., Cheng dkk., dan Kim dkk. menunjukkan bahwa kombinasi pegylated interferon alfa-2a plus ribavirin lebih efektif daripada peginterferon alfa-2a monoterapi. Sementara itu, peginterferon alfa-2a monoterapi lebih efektif daripada kombinasi interferon alfa-2a plus ribavirin. Lessen mendapatkan kelompok peginterferon plus ribavirin (57%) memberikan respons histologis lebih baik daripada kelompok interferon plus ribavirin (41%) (p=0,04).20,21,25 Selain medikamentosa, modifikasi perilaku merupakan bagian dari pengelolaan pasien koinfeksi. Semua pasien koinfeksi HCV/
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Koziel MJ, Peters MG. Viral hepatitis in HIV infection. N Engl J Med. 2007;356(14):1445-54. Djoerban Z. Infeksi hepatitis C-HIV: Permasalahan dan penatalaksanaan. [Internet]. 2011 [cited 2011 Mar]. Available from: http://www.ypi.or.id/informasi/kesehatan/6-infeksi-hepatitis-chiv-permasalahan-dan-penatalaksanaan.html. 3. 4. 5. Klein MB, Saeed S, Yang H. Cohort profile: The Canadian HIVhepatitis C coinfection cohort study. Int J Epidemiol. 2010;39(5):1162-9. Thomson EC, Main J. Epidemiology of hepatitis C virus infection in HIV-infected individuals. J Viral Hepat. 2008;15(11):773-81. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention, National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. Guidelines for prevention and treatment of opportunistic infections in hiv-infected adults and adolescents. MMWR Recomm Rep. 2009;58:RR-4. 6. 7. Singal AK, Anand BS. Management of hepatitis C virus infection in HIV/HCV co-infected patients: Clinical review. World J Gastroenterol. 2009;15(30):3713-24. Bonacini M, Puoti M. Hepatitis C in patients with human immunodeficiency virus infection: Diagnosis, natural history, meta-analysis of sexual and vertical transmission, and therapeutic issues. Arch Intern Med. 2000;160(22):3365-73. 8. 9. Lesens O, Deschenes M, Steben M. Hepatitis C virus is related to proressive liver disease in HIV. J Infect Dis. 1999;179(5):1254-8. Kovacs A, Al-Harthi L, Christensen S. CD8+ T cell activation in women coinfected with human immunodeficiency virus type 1 and hepatitis C virus. J Infect Dis. 2008;197(10):1402-7.

HIV diharapkan menghindari konsumsi alkohol karena konsumsi alkohol, terutama >20-50 gram per hari, dapat mempercepat perburukan penyakit hati. Overload besi dapat memperburuk penyakit hati sehingga pasien perlu menghindari suplementasi besi (dengan syarat tidak ada defisiensi besi). Selain itu, pasien juga perlu membatasi konsumsi obatobat hepatotoksik (asetaminofen >2 gram/ hari).5 SIMPULAN Infeksi hepatitis C virus (HCV) sering terdapat pada pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) karena rute transmisi virus yang sama. Koinfeksi HCV/HIV menyebabkan peningkatan abnormalitas fungsi hati, peningkatan replikasi virus HCV, akselerasi proses fibrosis hati, dan mortalitas

yang lebih tinggi dibandingkan monoinfeksi HCV maupun monoinfeksi HIV. Mekanisme peningkatan replikasi virus HCV dan akselerasi proses fibrosis hati pada koinfeksi HIV/HCV dapat dijelaskan dengan adanya supresi sistem imun karena berkurangnya sel CD4, adanya interaksi antara virus dan produk gennya (pada hepatosit maupun pada sel hepar lainnya), serta efek tidak langsung pada hepar sekunder dari infeksi HIV pada organ lain. Tujuan pengobatan Hepatitis C pada pasien koinfeksi HIV meliputi tujuan primer dan sekunder. Tujuan primer adalah mengeradikasi virus (level HCV RNA tidak terdeteksi setelah 6 bulan pengobatan), tujuan sekunder adalah menurunkan risiko gagal hati dan hepatocellular carcinoma (HCC). Terapi koinfeksi HCV/HIV adalah kombinasi pegylated interferon dengan ribavirin.

10. Rotman Y, Liang TJ. Coinfection with hepatitis C virus and human immunodeficiency virus: Virological, immunological, and clinical outcomes. J Virol. 2009;7366-74. 11. Sherman K, Rouster SD, Chung RT. Hepatitis C virus prevalence among patients infected with human immunodeficiency virus. Clin Infect Dis. 2002;34(6):831-7. 12. Franciscus A. HIV/HCV coinfection. Hepatitis C Fact Sheets. 2007;1. 13. Miller MF, Haley C, Koziel MJ. An impact of hepatitis C virus on immune restoration in HIV-infected patients who start highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis. 2005;41(5):713-20. 14. Mofenson LM, Brady MT, Daner SP, et al. Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections among HIV-exposed and HIV-infected children: Recommendations from CDC, the National Institutes of Health, the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America, the Pediatric Infectious Diseases Society, and the American Academy of Pediatrics. MMWR Recomm Rep. 2009;58(RR-11):1. 15. Arends JE, Mudrikova T, Wensing A. High percentage of non-response with peginterferon-alfa-2a monotherapy for the treatment of acute hepatitis C in HIV-infected patients. The 49th Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2009; San Francisco, California. Washington, DC. American Society for Microbiology. 2009;222. 16. Anonym. Pilihan terapi untuk koinfeksi hepatitis C-HIV/AIDS. Farmacia. 2007;6(10):45. 17. Chung RT, Anderson J, Volberding P. Peginterferon alfa-2a plus ribavirin versus interferon alfa-2a plus ribavirin for chronic hepatitis C in HIV-coinfected persons. N Engl J Med. 2004;351:451-9. 18. Rodriguez TM, Rodrguez JF, Ros CF. Effect of hepatitis C virus treatment in fibrosis progression rate (FPR) and time to cirrhosis (TTC) in patients co-infected with human immunodeficiency virus: a paired liver biopsy study. J Hepatol. 2007;46:613-9. 19. Soriano V, Maida I, Nez M. Long-term follow-up of HIV-infected patients with chronic hepatitis C virus infection treated with interferon-based therapies. Antivir Ther. 2004;9:987-92. 20. Sherman KE, Shire NJ, Cernohous P. Liver injury and changes in hepatitis C Virus (HCV) RNA load associated with protease inhibitor-based antiretroviral therapy for treatment-naive HCVHIV-coinfected patients: lopinavir-ritonavir versus nelfinavir. Clin Infect Dis. 2005;41:1186-95. 21. Sherman KE, Andersen JW, Butt AA. Sustained long term antiviral maintenance with pegylated interferon in HCV/HIV coinfected (SLAM-C): Early virologic response and effect on fibrosis in treated and control subjects (Abstract). 15th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections. Boston, MA, 2008. 22. Stern JO, Robinson PA, Love J. A comprehensive hepatic safety analysis of nevirapine in different populations of HIV infected patients. J Acquir Immune Defic Syndr. 2003;34(Suppl 1):1-33. 23. Crippin J. Patient with HCV/HIV coinfection: Rising to the challenge. Washington: Washington University School of Medicine/ Barnes Jewish Hospital; 2009. p. 21-35. 24. Mohsen AH, Easterbrook P, Taylor C. Hepatitis C and HIV infection. Gut. 2002;51:601-8. 25. Carrat F, Bani-Sadr F, Stanislas P. Pegylated interferon alfa-2b vs standard interferon alfa-2b, plus ribavirin, for chronic hepatitis C in HIV-infected patients. JAMA. 2004;292:2839-47.

96

CDK-201/ vol. 40 no. 2, th. 2013

You might also like