You are on page 1of 31

Dokter Amin seorang dokter layanan primer yang berpraktek mandiri sebagai dokter keluarga, dikunjungi pasien seorang

anak laki-laki berumur 10 tahun bernama Aman dengan keluhan batuk berdahak yang sudah berlangsung lebih kurang 6 bulan. Pada saat datang diantar oleh ibunya dan ia mengeluh batuknya bertambah sering, berdahak yang disertai darah. Sebelumnya, tidak berobat ke dokter dengan keluhan seperti ini. Pada anamnesis diketahui bahwa di keluarga, didapati neneknya (dari pihak ibu) menderita batuk yang menahun dan sudah mendapat pengobatan OAT tetapi tidak teratur. Dokter Amin menyuruh ibunya Aman untuk membawa dahak anaknya ke Laboratorium Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) untuk pemeriksaan sputum SPS, sementara menunggu hasil pemeriksaan SPS, Aman diberi obat simptomatik. Kerangka Konsep
PDKM Dr.Amin Anamnesis: nenek Anam, OAT tidak teratur Aman

Suspect TB

Rujukan ke PRM

Tidak sesuai standar rujukan

Siapa saja yang bisa memberikan layanan primer? Jawab: Pelayanan primer adalah pelayanan yang menerima keluhan pasien pertama kali. Pada pelayanan primer ini, yang berhak memberikan layanan adalah semua petugas kesehatan, seperti dokter, dokter gigi, dokter spesialis, bidan, perawat, apoteker, dan sarjana kesehatan masyarakat.

Apa saja yang dapat diberikan pada layanan primer? Jawab: Pelayanan yang diberikan dalam layanan tingkat primer, yaitu: Pemberian obat-obat simptomatis Pendidikan kesehatan (edukasi) Konseling Penyuluhan kesehatan

b. Bagaimana cara dokter Amin untuk menegakkan diagnosis pada kasus? Jawab: Anamnesis Pasien, seorang anak laki-laki bernama Aman berumur 10 tahun dengan keluhan batuk berdahak lebih kurang 6 bulan, batuk bertambah sering, dan dahak disertai darah. Pemeriksaan fisik Tidak ada data pada skenario Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan sputum Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)

c. Apa diagnosis banding dari batuk berdahak kronis? Jawab: Bronkitis kronis (TB) Asma bronkiale kronis Karsinoma paru

1.a. Bagaimana kompetensi dokter Amin pada kasus ini? Jawab:

Tingkat Kemampuan 4 Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya : pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga tuntas.

b. Mengapa pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai pengobatan sebelumnya? Jawab: Riwayat pengobatan sebelumnya ditanyakan karena ingin mengetahui apakah pasien telah berobat atau telah mengkonsumsi obat sebelumnya, adakah resisten obat pada pasien, cocok atau tidak obat itu dikonsumsi untuk pasien, dan dosis yang diberikan adekuat atau tidak.

c. Apa diagnosis banding dari batuk berdarah? Jawab: Tuberkulosis paru Keganasan paru Penyakit jantung (mitral stenosis) Jejas pada toraks.

2.a. Mengapa dalam anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit pada keluarga? Jawab: Dalam anamnesis, perlu ditanyakan riwayat penyakit pada keluarga untuk mengetahui apakah ada penyakit genetik.

b. Mengapa nenek Aman yang menderita batuk menahun diberi pengobatan OAT? Jawab: Nenek Aman diberikan pengobatan OAT karena terdapat tanda-tanda gejala penyakit TB, yaitu batuk menahun. Pemberian OAT ini bertujuan untuk pengobatan, penyembuhan,

mencegah kematian, mencegah penyakit kambuh kembali, dan untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB.

c. Apa dasar penegakan diagnosis TB paru pada program? Jawab: Diagnosis TB paru pada dewasa Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu Sewaktu-PagiSewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over diagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru

Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: o Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini, pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif (lihat bagan alur). o Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur). o Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

Diagnosis TB paru pada anak Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional anak perlu kriteria lain dengan

Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberculosis untuk diagnosis TB anak. Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 ( 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT Scan, dan lain lainnya.

Catatan: o Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. o Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dll.

o Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis. o Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname). o Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak . o Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. o Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13). o Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

d. Apa akibat pengobatan OAT yang tidak teratur? Jawab: Resistensi obat Pasien tidak sembuh Rantai penularan tidak putus Pengobatan harus diulang kembali dari awal Biaya pengobatan menjadi lebih mahal

e. Ada berapa macam kasus TB dalam program dan bagaimana manajemen masingmasing kasus TB tersebut? Jawab: Terminologi TB yang berkaitan dengan tipe penderita Kasus baru Penderita TB paru yang sebelumnya tidak pernah mendapat OAT atau yang pernah mendapat OAT kurang dari 1 bulan. Kasus kambuh Penderita TB paru BTA positif yang sebelumnya sudah dinyatakan sembuh, tetapi kini datang lagi dan pada pemeriksaan BTA memberikan hasil positif. Kasus gagal Penderita TB paru BTA positif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA tetap positif pada akhir pengobatan fase awal setelah mendapat terapi sisipan, 1 bulan sebelum

akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Batasan ini juga berlaku untuk penderita TB paru BTA negative ynag sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA justru menjadi positif pada akhir pengobatan fase awal. Kasus pindahan (transfer in) Penderita TB paru di kabupaten/kotamadya lain yang sekarang menetap di kabupaten/kotamadya ini. Kasus berobat setelah lalai Penderita TB paru ynag menghentikan pengobatan (2 bulan atau lebih) dalam keadaan belum dinyatakan sembuh dan kini datang lagi untuk berobat dengan BTA positif. Kasus kronik Penderita TB paru dengan BTA yang tetap positif, walaupun sudah mendapatkan pengobatan ulang yang adekuat dengan pengawasan yang baik.

Terminologi TB yang berkaitan dengan diagnosis TB paru BTA positif Penderita TB paru dengan salah satu kriteria sebagai berikut: o Sputum BTA positif paling sedikit 2 kali berturut-turut. o Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali dengan kultur M. tuberculosis positif. o Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali, klinis/radiologis sesuai dengan TB paru. Pada Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, criteria yang dipakai hanya kriteria pertama. Dalam beberapa kepustakaan dipakai istilah TB aktif. TB paru BTA negatif Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut: o Klinis dan radiologis sesuai dengan TB paru o Sputum BTA negatif o Kultur negatif atau positif Istilah lain yang sering dipakai adalah TB paru tersangka dan TB tak aktif. Bekas TB paru Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut: o Bakteriologis (sputum BTA dan kultur) negatif o Gejala klinis tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru yang ditinggalkan. o Radiologis menunjukkan gambaran lesi TB yang aktif, terlebih bila gambaran serial foto toraks tidak mengalami perubahan.

Terminologi yang berkaitan dengan hasil pengobatan Sembuh Penderita TB paru BTA positif yang telah mendapatkan pengobatan lengkap dan pada pemeriksaan dahak berulang (1 bulan sebelum AP dan pada AP) BTA menjadi negatif. Pengobatan lengkap Penderita TB paru yang telah selesai pengobatannya, tetapi status kesembuhan (perubahan BTA positif menjadi negatif) tidak dapat ditentukan. Pada penderita BTA positif, akibat tidak dilakukan pemeriksaan dahak ulang atau dilakukan satu kali dengan hasil BTA negatif, sedangkan pada penderita BTA negatif, akibat konversinya tidak dapat ditentukan. Gagal Penderita TB paru yang BTA nya tetap positif/menjadi positif pada akhir fase awal pengobatan dengan sisipan 1 bulan sebelum AP atau pada AP. Meninggal Penderita TB paru yang meninggal karena sebab apapun selama pengobatan. Lalai (default) Penderita TB paru yang pindah ke kabupaten/kotamadya lain dengan hasil pengobatan yang tidak diketahui.

Pengobatan TB paru pada orang dewasa menurut program Depkes/WHO Tabel 1. Dosis OAT menurut WHO Dosis Rekomendasi OAT Cara Kerja Harian 3 (4 6) 10 (8 12) 25 (20 30) 15 (12 18) 15 (15 20) Intermiten 3x/Mg 10 (8 12) 10 (8 12) 35 (30 40) 15 (12 18) 30 (25 35) 2x/Mg 15 (13 17) 10 (8 12) 50 (40 60) 15 (12 18) 45 (40 50)

H R Z S E

Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakteriostatik

Tabel 2. Regimen pengobatan berdasarkan kategori (WHO) Kategori Kriteria Penderita Pilihan Regimen Pengobatan

Fase awal - Kasus baru BTA (+) - Kasus baru BTA (-) Ro (+) yang sakit berat - Kasus baru TB ekstra baru yang berat - BTA (+) Kambuh Gagal Putus berobat - Kasus baru BTA (-) - TB ekstraparu ringan - Kasus kronik

Fase Lanjutan

2 RHZE (RHZS) 2 RHZE (RHZS) 2 RHZE (RHZS)*

6 EH 4 RH 4 R3H3*

II

2 RHZES/ 1 RHZE* 2 RHZES/ 1 RHZE 2 RHZ 2 RHZ 2 RHZ*

5 R3H3E*

III

6 EH 4 RH 4 R3H3*

IV

Rujukan ke spesialis untuk memakai obat sekunder

* yang diterapkan di Indonesia

Kategori I Kategori ini diindikasikan untuk penderita baru BTA positif, penderita baru BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita TB ekstra paru yang berat. Contoh TB ekstra paru berat, antara lain TB ginjal, TB miliar, meningitis TB, peritonitis TB, perikarditis TB, pleural efusi bilateral dan osteomielitis/spondilitis. Pengobatan dibagi atas fase awal dan fase lanjutan. Pada fase awal diberikan RHZE setiap hari selama 2 bulan (2RHZE), sedangkan pada fase lanjutan diberikan RH tiga kali seminggu selama 4 bulan (4R3H3).

Kategori II Kategori ini diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh, dan pengobatan setelah lalai. Kategori ini terdiri dari tiga bulan fase awal dan 5 bulan fase lanjutan, pada fase awal diberikan suntikan streptomisin setiap hari selama 2 bulan pertama dan paduan RHZE setiap hari (2RHZES/1RHZE), pada fase lanjutan diberikan RHE tiga kali seminggu (5R3H3E3).

Kategori III Kategori ini diindikasikan untuk kasus baru TB paru dengan BTA negative dan TB ekstra paru ringan. Contoh TB ekstra paru ringan adalah TB kelenjar, TB kulit, TB tulang

(selain tulang belakang), TB sendi dan pleural efusi unilateral. Pengobatan terdiri dari 2 bulan fase awal dan 4 bulan fase lanjutan, pada fase awal diberikan paduan RHZ setiap hari (2RHZ), pada fase lanjutan diberikan paduan RH tiga kali seminggu (4R3H3). Gambar 1. Skema Pengelolaan Pengobatan Penderita TB

Belum pernah atau 1 bulan pengobatan

Pernah pengobatan > 1 bulan

Kasus baru BTA positif OAT KAT-1

Kasus baru BTA negatif OAT KAT-3

Gagal/ Relaps OAT KAT-2

TB paru BTA negatif OAT KAT-3

Kasus Kronik OAT lapis 2

Pengobatan TB paru pada Anak

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologi tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Kategori Anak (2RHZ/ 4RH) Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Keterangan: Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit Anak dengan BB 15 19 kg dapat diberikan 3 tablet. Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum.

f. Bagaimana peran keluarga pada anggota keluarga yang mendapat pengobatan dengan OAT? Jawab: Peran keluarga dalam hal ini yaitu sebagai PMO (pengawas menelan obat), seharusnya yang menjadi PMO adalah petugas kesehatan tetapi keluarga lebih dekat dengan pasien, sehingga lebih mudah untuk mengawasi pasien dalam menelan obat, karena pasien dengan suspek TB tidak hanya dilakukan pengobatan saja tetapi juga dilakukan pendekatan psikis. Syarat PMO (pengawas menelan obat):

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien Bersedia membantu pasien dengan sukarela Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

Tugas seorang PMO: Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan

3.a. Apa dasar hukum dari sistem rujukan di Indonesia? Jawab: UU RI nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit Bagian keempat tentang Jejaring dan Sistem Rujukan

Pasal 41 (1) Pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan. (2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan tenaga. Pasal 42 (1) Sistem rujukan merupakan penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertical maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. (2) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri

UU No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 51 Kewajiban Dokter ialah merujuk ke dokter atau dokter gigi lain yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. Ketentuan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak 50.000.000,- setiap dokter atau dokter gigi yang sengaja tidak memenuhi kewajiban tersebut.

b. Siapa saja yang bisa melakukan rujukan? Jawab: Petugas kesehatan yang memiliki izin praktik (seperti dokter dan bidan).

c. Dimana saja tempat rujukan? Jawab:

d. Mengapa dokter Amin sebagai dokter keluarga yang seharusnya mempunyai laboratorium sederhana, tetapi merujuk ke PRM? Jawab: karena Puskesmas mempunyai Program Penanggulangan Nasional untuk Tuberkulosis sehingga puskesmas berperan sebagai mitra dokter keluarga dan dokter keluarga dapat

mengendalikan mutu & biaya. Dalam struktur Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, Puskesmas dibagi menjadi tiga kategori menurut fungsi yang berbeda-beda, yaitu: Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) Melatih para staf laboratorium dan melakukan pembacaan sediaan apus dahak untuk beberapa Puskesmas Satelit (PS). Puskesmas Satelit (PS) Tidak memiliki fasilitas laboratorium sendiri, dan hanya membuat sediaan apus dahak dan difiksasi, kemudian dikirim ke PRM untuk dibaca hasilnya. Setelah mendapatkan hasil, Puskesmas Satelit akan menentukan rencana pengobatan. Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) Menyediakan layanan diagnosis dan pengobatan TBC, tanpa bekerja sama dengan Puskesmas Satelit.

e. Apa saja yang bisa dirujuk dalam sistem rujukan oleh dokter keluarga? Jawab: Di Indonesia dikenal beberapa macam rujukan, antara lain adalah: 1) Rujukan Medis merupakan bentuk pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk masalah kedokteran. Tujuannya adalah untuk mengatasi problem kesehatan, khususnya kedokteran serta memulihkan status kesehatan pasien. Jenis-jenis rujukan medis: Rujukan Pasien bPenatalaksanaan pasien dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata yang lebih sempurna atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut. Rujukan Ilmu Pengetahuan Pengiriman dokter atau tenaga kesehatan yang lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu untuk bimbingan dan diskusi atau sebaliknya, untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Rujukan bahan pemeriksaan laboratorium Bahan pengiriman bahan-bahan laboratorium dari strata pelayan kesehatan yang kurang mampu ke strata yang lebih mampu, atau sebaliknya untuk tindak lanjut.

2) Rujukan Kesehatan merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk kesehatan masyarakat dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan dan ataupun mencegah penyakit yang ada di masyarakat.

Jenis-jenis rujukan kesehatan adalah: Rujukan Tenaga Pengiriman dokter/tenaga kesehatan dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan yang ada di masyarakat atau sebaliknya, untuk pendidikan dan latihan. Rujukan Sarana Pengiriman berbagai peralatan medis/non medis dari strata pelayanan kesehatan yg lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan di masyarakat, atau sebaliknya untuk tindak lanjut. Rujukan Operasional Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab penanggulangan masalah kesehatan masyarakat dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.

DOKTER LAYANAN PRIMER Dokter layanan primer adalah dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dimana terjadi kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan perorangan primer yang diberikan sebagai berikut (SKN, 2009). 1. penekanan pada pelayanan pengobatan dan pemulihan; dan 2. tetap melakukan upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style). Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal balik. Berikut lokasi penyelenggaraan pelayanan dokter layanan primer (SKN, 2009). 1. pelayanan yang bergerak (ambulatory) 2. pelayanan yang menetap seperti: a. rumah; b. tempat kerja, seperti klinik perusahaan; c. fasilitas kesehatan perorangan primer baik Puskesmas dan jaringannya; d. fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat, maupun swasta; e. disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra, seperti: kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan wisata); f. pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes); dan g. pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan dan khasiatnya Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan berdasarkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari organisasi profesi dan masyarakat. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk penduduk miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah (SKN, 2009).

Jenis pelayanan yang diberikan oleh dokter layanan primer :


1. Penilaian status kesehatan pribadi (well checkup); 2. program proaktif pengendalian penyakit atau kondisi khusus; 3. pendidikan kesehatan; 4. imunisasi; 5. pemeliharaan kesehatan bayi dan anak balita; 6. pemeliharaan kesehatan anak usia sekolah; 7. pemeliharaan kesehatan wanita dan kesehatan reproduksi; 8. pemeliharaan kesehatan lansia; 9. pemeriksaan ante dan postnatal; 10. konsultasi dan pengobatan; 11. peresepan obat; 12. tindakan medis; 13. konseling; 14. penunjang diagnostik; 15. layanan kesehatan gigi dan mulut; 16. rehabilitasi medik; 17. kunjungan rumah; 18. perawatan di rumah; 19. kunjungan ke rumah sakit; 20. layanan mendesak atau gawat darurat; dan 21. ambulans. Seorang DK dituntut untuk menjalankan fungsinya sebagai seorang The Five-

star Doctor yang meliputi :


1. Pemberi layanan ( care provider ) Sebagai pemberi layanan DK mempertimbangkan kebutuhan pasien secara total dengan komitmen yang kuat terhadap mutu 2. Pengambil keputusan ( decision maker ) Dalam sistem pelayanan DK bertindak sebagai mitra pasien dalam mengambil keputusan medis 3. Komunikator ( communicator )

Dalam menjalankan perannya DK dituntut mampu berkomunikasi penuh empati dan dapat menyampaikan pesan kesehatan dengan keteladanan dan penjelasan yang rasional 4. Pemimpin kelompok ( community leader ) DK merupakan orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat di wilayah kerjanya sehingga mampu menggalang peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan 5. Manajer Sebagai koordinator dalam pemeliharaan kesehatan bagi pasien dan keluarganya, DK seyogjanya dapat bekerja sama secara harmonis dengan setiap individu dan institusi, baik di dalam maupun di luar system pelayanan kesehatan

CASE :

a. Apa kemungkinan penyakit yang dialami oleh Aman? Aman datang dengan keluhan batu berdahak yang sudah berlangsung lebih kurang 6 bulan, batuknya bertambah sering, berdahak yang disertai darah. Berdasarkan anamnesis tersebut gejala pasien mengarah ke TB paru. Bedasarkan Buku Pedoman TB Nasional Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

b. Mengapa batuknya bertambah sering, berdahak disertai darah dan sebelumnya Aman tidak berobat kedokter dengan keluhan seperti ini? Memburuknya suatu penyakit bisa dibabkan oleh kurang telitinya dokter dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang menyebabkan kesalahan diagnosis dan pengobatan. Atau dokter sudah melakukan

diagnosis yang tepat namun edukasi pengobatan kepada pasien kurang sehingga terget pengobatan yang diharapkan tidak tercapai.

2. Pada anamnesis deketahui bahwa keluarga, didapati neneknya (dari pihak ibu) menderita batuk yang menahun dan sudah mendapat pengobatan OAT tetapi tidak teratur. a. Bagaimana pola pengobatan OAT yang sesuai standar? Standar pengobatan TB berdasarkan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) sebagai berikut 1. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai. 2. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan panduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas khususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin ,yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat. Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing-masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh Pengawas Minum Obat

(PMO) (untuk TB dan jika memungkinkan untuk HIV) yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan. 3. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan kelima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan kelima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat. 4. Penilai respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis.Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading). 5. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien. Uji sensiviti obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji

sensitiviti/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimilkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengenalian infeksi yang memadai seharusnya dilakukan sesuai tempat pelayanan. 6. Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan panduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Panduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setalah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan 7. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT sebagai berikut (Depkes, 2002). 1. Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3, diberikan untuk : Penderita baru TBC Paru BTA Positif; Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat ; dan Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Tabel 1. Panduan OAT Kategori 1 Keterangan : - dosis tersebut diatas untuk penderita dengan B antara 33-50 kg. - satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk tahap intensif dan 54 blister HRH untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

2. Kategori 2 :

2HRZES / HRZE / 5H3R3E3, diberikan untuk :

Penderita kambuh (relaps) Penderita Gagal (failure) Penderita dengan Pengobatan setelah lalai (after default)

Tabel 2. Panduan OAT Kategori 2 Keterangan : - dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg. - satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan masing-masing

dikemas dalam dos kecil dan disatukan d alam 1 dos besar disamping itu disediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan (60 spuit dan aquabidest untuk tahap intensif.

3. Kategori 3 :

2 HRZ / 4H3R3, diberikan untuk :

Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan; Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar aderenal.

Tabel 3. Panduan OAT Kategori 3 Keterangan: - Dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg. - satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk tahap intensif dan 54 bliter HR untuk tahap lanjutan masing masing di kemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu (1) penderita dalam satu (1) masa pengobatan. Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Tabel 4. Panduan OAT Sisipan Keterangan: - dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33 50 kg.

- satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.

b.

Mengapa pengobatan OAT tidak teratur? Berbagai faktor yang menyebabkan pengobatan tidak teratur baik dari segi pasien maupun

dari segi dokter sebagai berikut (Depkes, 2002). 1. Pasien belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan; 2. pendidikan kesehatan tidak dilakukan oleh dokter keluarga dan petugas kesehatan lainnya; 3. konsultasi dan konseling tidak dilakukan oleh dokter keluarga dan petugas kesehatan lainnya; 4. petugas kesehatan, baik dokter maupun petugas paramedis lainnya tidak melakukan pemantauan berkala terhadap kemajuan pengobatan dengan cara kunjungan rumah atau menghubungi keluarga pasien; dan tidak ada orang pengawasan menelan obat (PMO), atau petugas PMO telah lalai dalam melakukan tugasnya (Depkes, 2002).

c. Apa akibat dari pengobatan OAT yang tidak teratur? Masalah yang muncul dengan pengobatan OAT yang tidak teratur sebagai berikut (Depkes, 2002). 1. Pengobatan harus diulang dari awal; 2. pengobatan gagal, terkadang perlu pengobatan seumur hidup; 3. cenderung berpotensi hasil BTA kembali positif dan menularkan kepada orang sekitar terutama keluarga satu rumah; dan 4. petugas kesehatan harus mengusahakan penderita untuk kembali ke unit pelayanan kesehatan;

3. Dr. Amin menyuruh ibunya Aman untuk membawa dahak anaknya ke laboratorium puskesmas rujukan mikroskopis (PRM) untuk pemeriksaan sputum SPS, sementara menunggu hasil pemeriksaan SPS, Aman diberi obat simptomatik a. Bagaimana prosedur pengambilan sampel sputum dan pengiriman sampel pada sputum SPS? Cara pengambilan sputum secara umum sebagai berikut. 1. Pengambilan sputum sebaiknya dilakukan pada pagi hari, dimana kemungkinan untuk mendapat sputum bagian dalam lebih besar. Atau juga bisa diambil sputum sewaktu. Pengambilan sputum juga harus dilakukan sebelum pasien menyikat gigi. 2. Agar sputum mudah dikeluarkan, dianjurkan pasien mengonsumsi air yang banyak pada malam sebelum pengambilan sputum. 3. Jelaskan pada pasien apa yang dimaksud dengan sputum agar yangdibatukkan benar-benar merupakan sputum, bukan air liur/saliva ataupun campuran antara sputum dan saliva. Selanjutnya, jelaskan cara mengeluarkan sputum. 4. Sebelum mengeluarkan sputum, pasien disuruh untuk berkumur-kumurdengan air dan pasien harus melepas gigi palsu (bila ada). 5. Sputum diambil dari batukkan pertama (first cough).

Cara membatukkan sputum sebagai berikut. 1. Tarik nafas dalam dan kuat (dengan pernafasan dada); 2. batukkan kuat sputum dari bronkus ke trakea ke mulut ke wadah penampung; wadah penampung berupa pot steril bermulut besar dan berpenutup (screw cap medium); 3. periksa sputum yang dibatukkan, bila ternyata yang dibatukkan adalah air liur/saliva, maka pasien harus mengulangi membatukkan sputum. 4. sebaiknya, pilih sputum yang mengandung unsur-unsur khusus, seperti, butir keju, darah dan unsur-unsur lain; 5. bila sputum susah keluar maka lakukan perawatan mulut; perawatan mulut dilakukan dengan obat glyseryl guaiacolate (expectorant) 200 mg atau dengan mengonsumsi air teh manis saat malam sebelum pengambilan sputum; dan 6. bila sputum juga tidak bisa didahakkan, sputum dapat diambil secara: - aspirasi transtracheal;

- bronchial lavage;dan - lung biopsy.

Cara pengiriman spesimen sebagai berikut. 1. Baik spesimen yang dikirim dalam pot maupun wadah harus disertai dengan data/keterangan, baik mengenai kriteria spesimen maupun pasien. Ada 2 data yang harus disertakan sebagai berikut: a. Data 1: Pot/wadah dilabel dengan menempelkan label pada dinding luar pot. Proses direct labelling yang berisi data: nama, umur, jenis kelamin, jenis spesimen, jenis tes yang diminta dan tanggal pengambilan. b. Data 2: Formulir/kertas/buku yang berisi data keterangan klinis: dokter yang mengirim, riwayat anamnesis, riwayat pemberian antibiotik terakhir (minimal 3 hari harus dihentikan sebelum pengambilan spesimen), waktu pengambilan spesimen, dan keterangan lebih lanjut mengenai biodata pasien. Jadi, data mengenai spesimen harus jelas: label dan formulir. 2. Spesimen tidak akan diterima apabila: a. tidak dilengkapi dengan data yang sesuai; b. jumlah yang dibutuhkan untuk pemeriksaan kurang; dan c. cara pengambilan tidak sesuai dengan prosedur yang ada.

Untuk prosedur yang dilakukan praktik dokter keluarga tanpa laboratorium lengkap dengan memanfaatkan fasilitas yang ada sebagai berikut. 1. Pengambilan dahak dapat dilakukan di praktik dokter keluarga dengan prosedur yang dijelaskan kepada pasien atau dokter keluarga mengeluarkan surat rujukan untuk melakukan pengambilan dahak di Puskesmas Satelit yang terkait; 2. jika pengambilan sputum dilakukan di praktik dokter keluarga, sputum yang diambil dikirim ke Puskesmas Satelit untuk membuat sediaan apus dan memfiksasi. 3. setelah proses fiksasi selesai, Puskesmas Satelit (PS) mengirimkan sediaan apus yang telah dibuat ke Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) untuk dilakukan pembacaan; 4. setelah dilakukan pembacaan di PRM, hasil dikirimkan kembali PS; 5. setelah mendapatkan hasil, PS merancang rencana pengobatan dan melakukan rujuk balik ke dokter keluarga untuk menindak lanjuti pengobatan terhadap pasiennya.

b. Bagimana mekanisme rujukan ke laboratorum pada kasus TB?

Laboratorium tuberkulosis tersebar luas dan berada disetiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan, Kab/Kota, Propinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium

pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium yang memberikan pelayanan pemeriksaan tuberkulosis mulai dari yang paling sederhana, yaitu pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar. Oleh karena itu diperlukan jejaring laboratorium tuberkulosis untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar. Dengan demikian setiap pasien tuberkulosis akan mendapatkan pelayanan yang prima. Tanggung jawab yang saling berkaitan, mencakup standard mutu pelayanan dan Quality Assurance (QA). Sistem jejaring laboratorium dalam Program Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia memakai sistem pendekatan fungsi. Sistem jejaring laboratorium TB adalah sebagai berikut:

a.

Laboratorium mikroskopis TB UPK 1. UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium hanya pembuatan sediaan apusan dahak dan fiksasi. Misalnya: Puskesmas Satelit (PS). 2. UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium mikroskopis deteksi Basil Tahan Asam (BTA), dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan pembacaan skala IUATLD. Contoh: Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), Rumah Sakit, BP4, RSP dll. 3. Mutu pemeriksaan laboratorium ini akan ditera oleh laboratorium rujukan uji silang, dapat dilaksanakan oleh laboratoium kesehatan daerah, laboratorium di salah satu Rumah Sakit, BP4 ataupun Rumah Sakit Paru (RSP), dll.

b.

Laboratorium rujukan uji silang mikroskopis 1. Laboratorium ini melaksanakan pemeriksaan mikroskopis BTA seperti pada laboratorium UPK ditambah dengan melakukan uji silang mikroskopis dari laboratorium UPK binaan dalam sistem jejaring. 2. Laboratorium rujukan uji silang mempunyai sarana, pelaksana dan kemampuan yang memenuhi kriteria laboratorium rujukan uji silang mikroskopis.

c.

Laboratorium rujukan Provinsi

1. Laboratorium ini melakukan pemeriksaan seperti laboratorium uji silang mikroskopis dan memberikan pelayanan pemeriksaan isolasi, identifikasi, uji kepekaan M. tb dari spesimen dahak. 2. Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang hasil pemeriksaan mikroskopis Lab ujukan uji silang 3. Laboratorium rujukan propinsi melakukan uji silang ke II jika terdapat kesenjangan antara hasil pemeriksaan mikroskopis Lab UPK dan laboratorium rujukan uji silang

d.

Laboratorium rujukan Regional. 1. Laboratorium rujukan tingkat regional adalah laboratorium yang melakukan emeriksaan kultur, identifikasi dan DST M.tb dan MOTT dari dahak dan bahan lain dan menjadi laboratorium rujukan untuk kultur dan DST M.tb bagi laboratorium rujukan tingkat provinsi. 2. Laboratorium rujukan regional secara rutin mengirim tes uji profisiensi kepada laboratorium rujukan provinsi.

e.

Laboratorium rujukan Nasional. Laboratorium rujukan nasional melakukan pemeriksaan dan penelitian

biomolekuler dan mampu melakukan pemeriksaan non konvensional lainnya, serta melakukan uji silang ke dua untuk pemeriksaan biakan.

Gambar 2.1: Mekanisme Rujukan laboratorium TB

f. Apakah tindakan Dr. Amin untuk menyuruh ibu Aman membawa dahak anaknya ke PRM? Tidak benar, selayaknya dr. Amin melakukan pengambilan dahak di PDKM kemudian mengirimkannya ke Puskesmas Satelit untuk dibuat sediaan kemudian dilakukan pembacaan di Puskesmas Rujukan Mikroskopis. Dapat juga dengan membuat surat rujukan untuk melakukan pengambilan dahak langsung ke Puskesmas

Satelit kemudian ditindaklanjut, bukan dengan menyuruh ibu Aman mengantarkan dahak Aman sendiri ke PRM karena seharusnya di melalui PS dahulu baru ke PRM.

g. Bagaimana sistem rujukan dalam praktek dokter keluarga? Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan suatu kasus penyakit dan ataupun masalah kesehatan secara timbal balik yang dapat dilakukan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani) atau secara horizontal (antar unit-unit yang setingkat kemampuannya).

h. Apakah prosedur penatalaksanaan dengan memberikan obat simptomatik yang dilakukan dr. Amin sudah benar? tindakan dokter amin memberikan obat simptomatik sementara hasil lab belum keluar sudah benar. Dokter dapat memberikan obat simptomatik guna membuat pasien lebih nyaman.

i. Dalam keadaan apa saja dokter keluarga boleh melakukan rujukan? Doker keluarga boleh dan wajib melakukan rujukan jika suatu masalah kesehatan sudah diluar kompetensi dokter keluarga sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan KKI. Hal ini diatur dalam UU No. 29 tahun 2004.

j. Apa manfaat sistem rujukan dalam dokter keluarga? 1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (bila sistemnya berjalan sesuai dengan seharusnya); 2. kebutuhan dan tututan kesehatan pasien akan terpenuhi; dan 3. terbentuk team work.

k. Apa yang harus dilakuakan dokter keluarga jika mendapatkan kasus seperti ini? 1. Mencatat identitas pasien dengan lengkap 2. Melakukan anamesis secara lengkap 3. Pemeriksaan fisik 4. Pemeriksaan BTA 5. Pemberian obat simptomatik

6. Pemberian obat yang dibutuhkan 7. Edukasi menelan obat untuk pasien 8. Melakukan kunjungan rumah 9. Melakukan edukasi ke keluarga tentang TB, cara penularan, dan usaha preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan.

KESIMPULAN

Dokter Amin, seorang dokter layanan primer melakukan rujukan pemeriksaaan sputum Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) ke Puskesmas Rujukan Mandiri (PRM) untuk menegakkan diagnosis pasti agar Aman mendapatkan pengobatan OAT yang adekuat dan Aman dapat sembuh.

You might also like