You are on page 1of 85

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

POLA SPASIAL KASUS MALARIA DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH 2008 A. Arsunan Arsin1, Sarbaini A. Karim 2
1

Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Tengah ABSTRACT

Malaria disease is one of the main health problem in Indonesia. The province of North Maluku was the endemic Malaria Area, the layout and analysis, periodic and the planned observation was very important to know the location of spreading , the development and the decision of risk area. The aim of this research was to know the spatial model of Malaria case in the central Halmahera regency. The type of this research was observational with cross sectional study. This research was carried out from March to June 2009. Data analysis for spatial used Archview GIS. The result showed that there were not relationship between the climate with Malaria occurrence, the distribution of Malaria patient in the Central of Halmahera Regency spread to all the district with the amount 859 points. The most points of case existing at Weda District with the number of points amount 233 case point. The tendency on the distribution of Malaria indicated the tendency on Weda River band with the number 201 cases . the tendency on the river side with the amount of case points amount 674 cases points ( 78.46%) and the tendency on the central of health service with the number of point amount 532 case points ( 61,935). The development of health facility in the remote area and the implementation of routinely entomology survey and the scale lay out necessary conducted in effective and efficient. Keywords : Malaria case, spatial, GIS PENDAHULUAN Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia, yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk, penyakit ini juga mempunyai beberapa nama lain, seperti deman aroma, demam rawa, demam tropik dan demam pantai. Hingga saat ini, penyakit malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Selama periode tahun 1997-2000 angka insiden malaria di tanah air cenderung menunjukan peningkatan. Wilayah Pulau Jawa dan Bali insiden malaria meningkat 0,12 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 0,38 per 1000 pada tahun 2000. Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria selama tahun 1998 dan 1999 telah melanda 10 propinsi dan meliputi 84 desa dengan jumlah penderita 19.688 dan 71 kematian dengan CFR 36%. Propinsi Maluku Utara adalah daerah endemis malaria prevalensi malaria 12 bulan terakhir sebesar 7,2% dan angka prevalensi tertinggi di kabupaten Halmahera Barat 16,2% dan terendah di Kota Tidore Kepulauan yaitu 2,6%, sedangkan Kabupaten Halmahera Tenggah prevalensi malaria sebesar 13,0% (Riskesdas 2007) Situasi kasus malaria di Kabupaten Halmahera Tenggah pada tahun 2005 jumlah kasus sebesar 2653 dengan Annually Malaria Incidence (AMI) 68,90 per 1000 penduduk dan menurun pada tahun 2006 yaitu 2575 kasus dengan AMI 66,88 per 1000 penduduk kemudian meningkat pada tahun 2007 yaitu 3187 dengan AMI 82,77 per 1000 penduduk. Geografis Informasi System (GIS) digunakan untuk mengetahui serta mengontrol kejadian malaria dengan pemetaan insiden maupun prevalen malaria. Pengunaan GIS hanya berfokus pada pemetaan dasar bukan untuk pengembangan model-model risiko kejadian malaria. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengvisualisasikan mengeksplorasi, memilah-milah data dan menganalisis data pola spasial penyakit malaria dengan karakteristik wilayah tertentu sebagai sarana pendukung kebijakan, sehingga kebijakan yang diambil lebih terarah, efisien dan efektif. SIG menyediakan fasilitas untuk (1) mengukur/ inventarisasi, (2) memetakan, (3) memonitor dan (4) modeling Penelitian. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian penelitian yang digunakan adalah observasional dengan desain cross sectional studi (potong lintang) dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG) yang memiliki kemampuan untuk menvisualisasikan, mengeksplorasi, memilah-milah data, dan menganalisis data pola spasial penyakit malaria dengan

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

84

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

karakteristik wilayah tertentu dalam waktu satu tahun. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Halmahera tengah. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah Semua kasus malaria di wilayah Kabupaten Halmahera tengah. Sedangkan sampel pada penelitian ini adalah Semua kasus malaria yang berdasarkan hasil pemeriksaan secara klinis terdapat gejala-gejala yang sesuai kriteria malaria seperti : demam, sakit kepala, pucat, perasaan dingin / menggigil dan berkeringat dan terdaftar di buku register penyakit serta berdasarkan hasil pemeriksaan darah positif malaria dan terdaftar di buku register pemeriksaan laboratorium pada Puskesmas dan Puskesmas pembantu. Penderita malaria di Kabupaten Halmahera tengah pada tahun 2008 sebanyak 1122 penderita namun yang memenuhu kriteria sampel sebanyak 859 penderita. Analisis Data Analisis data spasial dengan aplikasi ArcView GIS. Data titik koordinat yang dikumpulkan oleh GPS, selanjutnya ditransfer ke map sources. Titik koordinat berdasarkan alamat penderita malaria yang harus dikomversikan dalam bentuk derajat. Analisis data selanjutnya dengan arcView dalam memetakan informasi keruangan berdasarkan data yang dikumpulkan. HASIL Hubungan Iklim dengan Kasus Malaria Suhu Berdasarkan Hasil uji Korelasi antara kasus malaria klinis dan suhu(c) pada tabel 14 menunjukan bahwa nilai r = 0,188 dan p = 0,559 yang berarti korelasi antara kasus malaria klinis dan suhu di kabupaten Halmahera Tengah tahun 2008 memiliki kekuatan korelasi moderat (Tabel 1). Tabel 1 Hubungan kasus malaria dengan suhu rata- rata perbulan di Kabupaten Halmahera Tengah 2009 Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Data Primer Kelembaban Tabel 2 Hubungan kasus malaria dengan Kelembaban rata- rata perbulan di Kabupaten Halmahera Tengah 2009. Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Data Primer Malaria klinis 132 137 94 59 75 116 120 66 48 93 82 100 1122 Kelembaban (%) 83 83 85 85 83 81 85 84 83 85 85 85 Malaria klinis 132 137 94 59 75 116 120 66 48 93 82 100 1122 Suhu (c) 27.7 27.3 27.3 27.5 27.6 27.4 27.1 26.8 27.2 27.6 27.6 27.4

r = 0,188 p = 0,559

r = - 0,237 p = 0,458

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

85

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 2 menunjukkan distribusi Kelembaban pada tahun 2008 dan kasus malaria klinis pada tahun 2008 di Kabupaten Halmahera tengah dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut ini: Berdasarkan hasil analisa data antara kelmbaban dan kasus malaria klinis di Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2008 diperoleh nilai r = - 0,237 dapat dikatakan tidak bermakna. Curah Hujan Hasil Analisis tabel 3 korelasi antara curah hujan dengan keadian malaria klinis diperoleh r = 0,143 dan p = 0,685 menunjukan bahwa korelasi antara curah hujan dan kasus klinis kuat hal ini dapat terlihat pada grafik trend linier. Tabel 3 Hubungan kasus malaria dengan Curah Hujan rata- rata perbulan di Kabupaten Halmahera Tengah 2009. Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Data Primer Malaria klinis 132 137 94 59 75 116 120 66 48 93 82 100 1122 Curah Hujan 27 26.7 26.3 26.6 26.9 26.5 26.1 26 26.6 26.7 26.8 26.8

r = 0,143 p = 0,658

Pemetaan distribusi kasus malaria Gambar 1 menunjukan bahwa distribusi penderita malaria di kabupaten Halmahera Tengah tersebar merata di seluruh kecamatan dengan jumlah keseluruhan titik kasus malaria sebanyak 859 titik kasus. Kecamatan yang memiliki jumlah titik kasus terbanyak adalah kecamatan Weda dengan jumlah titik kasus sebanyak 233 titik kasus, sedangkan kecamatan dengan jumlah titik kasus paling sedikit adalah kecamatan Gebe dengan jumlah titik kasus sebanyak 68 titik kasus. Gambar 2 menunjukkan bahwa berdasarkan jarak dari pusat kota, kasus malaria di kabupaten Halmahera Tengah menunjukkan kecenderungan atau tren berada di daerah pusat kota dengan jumlah titik kasus sebanyak 532 titik kasus (61,93%).

Gambar 1 Peta Distribusi Kasus Malaria di Kabupaten Halmahera Tengah

Gambar 2 Peta distribusi kasus malaria berdasarkan jarak dari pusat Pelayanan Kesehatan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 86

JURNAL PEMBAHASAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hubungan Kasus Malaria dengan Iklim Penyakit malaria masih merupakan masalah global terutama di negara-negara tropis yang beriklim hangat, diperkirakan 40 % penduduk dunia tinggal di daerah berisiko tinggi terkena infeksi malaria. Penyakit malaria adalah penyakit akut, dan pada beberapa kasus menjadi kronis, yang disebabkan oleh parasit Plasmodium, yang termasuk famili Plasmodiidae, ordo cocciidae dan sub orde Haemosporiidae. Hanya 4 spesies yang berkembang dalam tubuh manusia yaitu : Plasmodium vivax, plasmodium malariane, plasmodium ovale dan plasmodium falsiparum . Hasil penelitian ini menunjukkan tren atau kecenderungan kasus malaria yang menurun dari bulan januari hingga bulan desember 2008. Hasil penelitian dapat disebabkan oleh kecenderungan curah hujan dan suhu rata-rata pada tahun 2008 yang juga menurun sepanjang tahun. Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan terciptanya daerah-daerah perindukan nyamuk baru sehingga dapat meningkatkan jumlah nyamuk anopheles. Kecenderungan curah hujan yang menurun sepanjang tahun dapat menyebabkan berkurangnya daerah perindukan nyamuk sehingga jumlah nyamuk berkurang. Berkurangnya jumlah nyamuk dapat menyebabkan menurunnya kasus malaria. Faktor suhu juga dapat mempengaruhi peningkatan jumlah nyamuk anopheles. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadinya kenaikan suhu Bumi antara 1,5 sampai 4,5 derajat celcius pada akhir abad 21 membuat suhu bumi lebih hangat sehingga mempercepat perkembangbiakan nyamuk anopheles sekaligus mengurangi periode matang plasmodium yang berada di dalam tubuh nyamuk . Akibatnya, siklus hidup nyamuk menjadi lebih pendek dan populasinya mudah meledak. Ledakan populasi nyamuk anopheles menyebabkan penularan penyakit malaria juga semakin besar, sehingga kasus malaria yang terjadipun semakin meningkat Selain mempengaruhi nyamuk, suhu juga dapat mempengaruhi siklus pertumbuhan plasmodium dalam tubuh nyamuk. Siklus ini membutuhkan 9 - 21 hari pada suhu 25C atau 77F. Suhu lingkungan yang lebih hangat memendekkan jangka waktu dari siklus disebabkan oleh keadaan luar, begitu meningkat kesempatan transmisi. Dan sebaliknya, di bawah suatu suhu lingkungan minimum (15C atau 59F untuk Plasmodium vivax, 20C atau 68F untuk Plasmodium falciparum), siklus yang disebabkan oleh keadaan luar tidak bisa diselesaikan dan malaria tidak bisa transmisikan. Ini menjelaskan pada sebagian mengapa transmisi malaria adalah lebih besar dalam area yang lebih hangat di bumi ( tropis dan semitropical area dan ketinggian yang lebih rendah), terutama untuk Plasmodium falciparum. Saat ini muncul dugaan bahwa kecenderungan naiknya suhu global dapat meningkatkan cakupan malaria secara geografis dan mungkin mengakibatkan wabah malaria. Suhu Udara, makin tinggi suhu makin pendek siklus sporogoni, makin rendah suhu makin panjang siklus sporogoni. Nyamuk adalah binatang berdarah dingin dan karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungannya. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap perubahan-perubahan diluar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25-27C. Kelembaban Udara, kelambaban adalah banyaknya uap air dalam udara. kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk yang dapat mengakibatkan keringnya cairan tubuh nyamuk sehingga dapat memperpendek umur nyamuk. Berdasarkan hasil uji korelasi anatara kejadian malaria klinis dengan kelembaban di kabupaten Halmahera tengah tahun 2008 yang terdapat pada tabel 15 menunjukan bahwa niilai r = - 0,237 dan p = 0,458 yang berarti arah hubungannya negatif. Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemik malaria. Besar kecilnya tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis nyamuk dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk anopheles Ditemukannya malaria sebagian besar tergantung pada faktor Iklim seperti temperatur, kelembaban, dan curah hujan. Transmisi Malaria terjadi dalam area subtropis dan tropis. Faktor temperatur sangat menentukan. Sebagai contoh, pada temperatur di bawah 20C (68F), Plasmodium falciparum (yang menyebabkan malaria berat) tidak bisa melengkapi siklus hidupnya dalam tubuh nyamuk anopeles dengan demikian tidak dapat ditularkan (CDC 2004). Saat nyamuk dewasa sudah muncul, suhu lingkungan, kelembaban, dan hujan akan menentukan kesempatan survival mereka. Untuk mentransmisikan malaria, Nyamuk anopheles betina harus survive cukup panjang setelah terinfeksi (melalui makanan darah pada manusia yang terinfeksi) untuk memberikan kesempatan parasit untuk melengkapi siklus pertumbuhannya(siklus ekstrinsik). Siklus ini membutuhkan 9 21 hari pada suhu 25C atau 77F. Dari hasil uji korelasi antara kejadian malaia klinis dengan curah hujan diperoleh hasil r = 0,143 dan p = 0,658 yang memiliki makna arah hubungn positif dengan kekuatan hubungan korelasi kuat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa faktor iklim tidak berhubungan dengan kejadian malaria di kabupaten halmahera tengah. kejadian malaria menunjukan tren yang menurun sepanjang tahun 2008 sedangkan iklim berupa curah hujan, suhu udara dan kelembaban udara di Kabupaten Halmahera Tengah tidak menunjukan perubahan yang berarti sepanjang tahun 2008 sehingga penurunan kejadian malaria dapat dipengaruhi faktor lain seperti perilaku penduduk serta program-program penanggulangan penyakit malaria yang dilakukan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 87

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

oleh dinas kesehatan kabupaten Halmahera Tengah seperti pembagian kelambu berinsektisida kepada masyarakat. Pemetaan Distribusi Kasus Malaria Peta spasial distribusi kasus malaria merupakan gambaran wilayah/geografis penyebaran kasus malaria di permukaan bumi berdasarkan lokasi/titik koordinat kasus malaria dengan penggunaan alat GPS (Global Positioning System) di Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2008. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa daerah distribusi penderita malaria di kabupaten Halmahera Tengah pada tahun 2008 tersebar merata di seluruh kecamatan. Kecamatan dengan jumlah titik kasus malaria terbanyak adalah kecamatan Weda dengan jumlah titik kasus sebanyak 233 titik kasus, sedangkan kecamatan dengan jumlah titik kasus paling sedikit adalah kecamatan Gebe dengan jumlah titik kasus sebanyak 68 titik kasus. Kecamatan weda menjadi kecamatan dengan jumlah titik kasus paling banyak karena Kecamatan Weda adalah kecamatan yang menjadi ibukota dari Kabupaten Halmahera Tengah dengan jumlah penduduk paling padat sehingga jumlah penduduk yang berpeluang untuk menderita penyakit malaria juga semakin besar. Secara umum pemetaan penyakit malaria memang sudah poluler seperti penyakit lainnya (Sipe dan Dale, 2003 dalam Aprisa 2007). Pada umumnya penelitian malaria dengan Sistem Informasi Geografis hanya meninjau sisi manfaat Sistem Informasi Geografis, faktor keterjangkauan dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan. Pemetaan terhadap penyakit menular termasuk penyakit malaria akan memberikan tiga kontribusi utama yaitu (1) dengan menggunakan peta diharapkan muncul gambaran deskriptif mengenai distribusi serta penyebaran penyakit. Peta yang akurat dalam bentuk sekuens diharapkan dapat menjawan pertanyaan apa yang terjadi dan mengapa. (2) keeradaan peta diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebaran penyakit menular. (3) model interaktif, jika pada tahap dua, pola prediksi hanya sebatas ramalan penyakit, tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif, kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya bagi masa depan (Anis,2007). Distribusi Kasus Malaria Berdasarkan Daerah Pusat Pelayanan Kesehatan Daerah perkotaan merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang padat dengan segala aktifitas dan mobilitas penduduk yang sangat beragam. Keberadaan pusat pelayanan kesehatan di daerah pusat kota menyebabkan masyarakat yang berdomisili di pusat kota lebih mudah untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan sehingga masyarakat yang berdomisili di daerah perkotaan banyak berada dalam daftar register pasien malaria. Hasil penelitian ini menemukan adanya kecenderungan titik kasus penderita malaria berada di pusat kota. Hal ini dapat dikarenakan oleh proporsi penduduk yang lebih banyak berada di pusat kota serta kemudahan masyarakat yang berdomisili di daerah pusat kota untuk mengakses sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas. Jarak dan transportasi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menuju ke suatu unit pelayanan kesehatan kepada masyarakat, bagi puskesmas yang lokasinya strategis, dekat dengan pemukiman penduduk, sarana dan prasarananya lengkap, dan mudah mendapatkan sarana tranportasi maka banyak dikunjungi oleh pasien, akan tetapi bila lokasi pelayanan jauh dari pemukiman penduduk dan jauh dari sarana transportasi maka kunjungan pasiennya akan lebih sedikit Pola Spasial Epidemiologi Kasus Malaria. Epidemiologi spasial adalah ilmu untuk mendeskripsikan dan menganalisis keragaman geografis pada penyakit dengan memperhatikan dimensi geografis, lingkungan,prilaku, sosial ekonomi,genetika, dan faktor risiko penularan. Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit, perbandingan menurut batas-batas alam lebih berguna daripada batas-batas administrasi pemerintahan. Pemanfaatan aplikasi SIG dalam menganalisis pola spasial malaria bertujuan untuk mengetahui batas-batas wilayah dimana terjadi tren/kecenderungan distribusi kasus malaria, serta memprediksikan akses geografis unit pelayanan kesehatan terhadap pemukiman/lokasi kasus malaria Pengetahuan mengenai pola spasial malaria akan memberikan tiga kontribusi utama yaitu : (1) dengan menggunakan peta diharapkan dapat menjawab apa yang terjadi dan mengapa. (2) Keberadaan peta diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebaran penyakit menular. Sebagai penyakit yang menular yang diidentifikasi dengan kontak dengan penderita melalui gigitan nyamuk, keberadaan peta kasus malaria secara individual tentu sangat penting. Jika peta akurat dari masa lalu dapat diidentifikasi polanya, maka dengan asumsi yang sama kita mungkin dapat memprediksi masa depan. Seiring dengan tingkat keakuratan yang semakin tinggi, para ahli mengambil kebijakan diharapkan menggunakan peta prediktif untuk memprediksi masa depan. (3) Model interaktif. Jika pada tahap dua pola prediksi hanya sebatas ramalan penyakit, tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif, kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya bagi masa depan ( Anis, 2006).

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

88

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Berdasarkan hasil analisis SIG dalam mengetahui kekhususan pola spasial distribusi kasus malaria di Kabupaten Halmahera Tengah yaitu berupa pemetaan kasus malaria, dan kecenderungan kasus malaria pada karakteristik geografis tertentu di Kabupaten Halmahera Tengah, maka dapat dilihat adanya kekhususan pola wilayah yang mendukung penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Halmahera tengah. Hasil penelitian ini menemukan adanya kekhususan pola spasial distribusi kasus malaria berupa tren kasus malaria di bantaran sungai dan tepi panatai. Hal ini dikarenakan sebagian besar daerah pemukiman penduduk dibangun mengikuti aliran sungai dan disekitar kawasan pesisir tepi pantai. Kekhususan pola spasial yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah yaitu distribusi kasus malaria yang merata di semua wilayah karena adanya faktor geografis maupun sosial-demografis masyarakat. Peranan migrasi atau mobilitas geografi juga turut memberikan kontribusi didalam mengubah pola penyakit di berbagai daerah menjadi lebih penting dengan makin lancarnya perhubungan darat, udara dan laut. Analisis spasial yang mampu menjadi bahan dalam pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah penyakit menular termasuk malaria yaitu membuat suatu sistem terpadu secara spasial dengan aplikasi Sistim Informasi Geografis (SIG) dalam memetakan, memantau kejadian penyakit menular, menganalisa lokasi rentan, menganalisa faktor-faktor lingkungan, cuaca serta modus bepergian masyarakat. Gambaran akan penyebaran kasus malaria berupa peta diharapkan akan memberikan informasi bagi perencanaan malaria terutama dalam jaminan penyediaan reagen, alat laboratorium, obat serta sarana dan prasarana untuk menjamin kelancaran kegiatan pemberantasan malaria, mengendalikan penderita serta pengebotan. Selain itu perlu dipikirkan pula upaya tambahan seperti penyediaan makanan tambahan pada pasien. Dan kiranya dapat digunakan secara kontinu dalam menilai dan memperbaiki kinerja program, serta dapat memberi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi di bidang malaria. KESIMPULAN Tidak ada hubungan antara iklim dengan kejadian malaria di Kabupaten Halmahera tengah dengan tren kejadian malaria yang menurun. Pemetaan distribusi kasus malaria di Kabupaten Halmahera Tengah dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG), dapat dipetakan berdasarkan titik koordinat (lintangbujur) dengan jumlah titik kasus malaria sebanyak 859 titik kasus. Kasus malaria berdasarkan jarak dari pusat kota memiliki kecenderungan berada di daerah pusat kota. Pola spasial malaria di Kabupaten Halmahera Tengah memiliki ke khususan berupa distribusi kasus malaria yang merata di setiap wilayah Kelurahan serta adanya kecenderungan kasus malaria pada bantaran sungai, tepi pantai dan pusat kota. Disarankan agar Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Tengah perlu melaksanakan survey entomologi rutin dan pemetaan secara berkala untuk mengetahui kondisi vektor penular malaria sehingga upaya-upaya penanggulangan penyakit malaria dapat dilakukan lebih efektif dan efisien DAFTAR PUSTAKA Prabowo Arlan 2004. Malaria. Mencegah dan Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta. Depkes R.I, 2001, Entomologi, buku 3 Malaria, Dirjen PPM dan PLP Depkes RI, Jakarta Dinkes Kab. Halteng, 2008. Profil Dinas Kesehatan. Kab. Halteng Neil. G and Dale. P. 2003. Challenges in Using Geographic and Control Malaria in Indonesia. http/www.malariajournal.com/content/2/1/36. Diakses maret 2009. Harijanto. 2000, Malaria. Epidemiologi, Phatogenesis Manifestasi Klinis dan Penanganan . Kedokteran EGC, Jakarata. Arsunan, A.A., 2004. Analisis Epidemiologi Kejadian Malaria Pada Daerah Kepulauan di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan. Makassar : Program Pascasarjana Unhas.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

89

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

PENGARUH INTERVENSI PROGRAM HIV DAN AIDS TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP BURUH DI PROYEK PEMBANGUNAN TEHNIK UNHAS GOWA 2012 Abdul Gafur1, A. Arsunan Arsin2
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT

One of the issues that are currently affecting the world of work is the increasing HIV and AIDS cases in which more than 90%, where as affecting the productive age between 20-50 years old. The research air is to determine the effect of intervention programs against HIV and AIDS knowledge and attitudes of the construction project technique workers at Unhas Gowa. The method was used is a quasi-experimental pre and post test design with the application of a single subject in which a single subject is given by several different treatments and each treatment were observed. Sample size of this study was 191 people consisting of marble and ceramics workers are 91 respondents, iron workers are 46 respondents and finishing workers are 54 respondents The results of the research indicates that all methods of intervention are given such as approaching Peer Educator (PE) or peer education, KIE media, film, PE with KIE media, KIE media and films and PE with KIE media, KIE with films media has influence on the knowledge and attitudes of the workers, there is a mean difference from all the intervention methods to the knowledge and attitudes of workers. Key words : HIV and AIDS Intervention Programs, Knowledge and Attitudes PENDAHULUAN Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang diderita seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dimana hingga saat ini belum ada obat untuk mencegah HIV atau AIDS (Harahap, 2000). Sejak kasus AIDS dilaporkan yang pertama kali oleh Gottlieb dan rekannya di Los Angeles pada tanggal 5 Juni 1980, pada pertengahan 1980an, kasus-kasus AIDS pun meningkat dengan cepat dan menyebar ke seluruh dunia. Data tahun 2008, UNAIDS (United Nation Programme on HIV dan AIDS ) mengatakan bahwa estimasi orang dewasa dan anak-anak yang menderita HIV didunia sekitar 33,4 juta orang dengan angka kematian sekitar 2 juta orang. Benua Afrika adalah benua dengan penderita HIV dan AIDS terbanyak (25,5 juta kasus) dimana Afrika Utara sebagai negara dengan HIV dan AIDS terbanyak (sekitar 5 juta kasus). Di benua Asia juga menunjukkan prevalensi kasus yang tinggi dimana India menduduki urutan ketiga dengan estimasi 2 juta kasus, (UNAIDS, 2008). Salah satu isu yang saat ini telah mempengaruhi dunia kerja adalah meningkatnya kasus HIV dan AIDS dimana lebih dari 90% dari mereka berusia produktif antara 20-50 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ILO tahun 2001, Population Mobility and HIV in Indonesia, pola dan kecenderungan penyebaran HIV terkait dengan perpindahan pekerja baik secara domestik maupun internasional. Meski belum diperoleh data memadai yang membuktikan adanya korelasi antara perpindahan pekerja dan penyebaran HIV, diasumsikan kelompok penduduk dengan mobilitas tinggi dan berperilaku seks berisiko, termasuk pekerja sektor pertambangan, pembangunan, perkebunan, transportasi, perikanan dan buruh migran rentan terhadap penularan HIV (ILO, 2001 dalam Arlin). Kasus HIV dan AIDS di propinsi Sulawesi Selatan antara tahun 2009-2010 mengalami lonjakan yang signifikan yaitu tahun 2009 sudah dilaporkan sebanyak 2616 orang dengan status HIV 1943 kasus dan yang sudah AIDS 673 orang dan mengalami peningkatan pada akhir tahun 2010 sebanyak 3899 orang dimana yang terinfeksi HIV sebanyak 2878 orang dan AIDS 1021 orang. Angka ini diperoleh hanya pada orang yang mengikuti tes secara sukarela. Tentu kasus yang sebenarnya jauh lebih banyak karena HIV dan AIDS ini termasuk dalam fenomena gunung es (Dinkes Sul-Sel, 2011). Kabupaten Gowa sendiri juga sudah dilaporkan adanya kasus HIV sebanyak 63 kasus. Perlindungan tenaga kerja terhadap penularan HIV dan AIDS sesungguhnya merupakan perlindungan terhadap masyarakat sekitar lokasi. Kontak yang terjadi antara sesama pekerja dan antara pekerja dan masyarakat merupakan relasi sosial yang memungkinkan terjadinya perilaku-perilaku beresiko seperti hubungan seks ganti-ganti pasangan tanpa pemakain kondom, Kontak darah pada kasus kecelakaan kerja, dan berbagai pola interaksi sosial yang dapat menjembatani perpindahan virus HIV dari pengidap ke orang sehat (KPAP Sulsel, 2010). Tingginya jumlah pekerja atau buruh dari luar kota ke Makassar dan Gowa merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya jumlah kunjungan ditempat-tempat hiburan malam, mengingat bahwa buruh/pekerja yang dari luar tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk pergi ke tempat hiburan malam sebab mereka jauh dari keluarga dan memiliki uang, serta tersedianya tempat prostitusi (Retno,

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

90

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

2007). Buruh/pekerja yang jauh dari keluarga dengan mobilitas tinggi merupakan kelompok yang berpotensi menggunakan jasa pekerja seks komersial guna memenuhi kebutuhan biologisnya dimana ini merupakan masalah tersendiri yang memerlukan pertimbangan dalam menerapkan strategi komunikasi yang efektif. Disamping itu, karakteristik individu seperti tingkat pendidikan dan pengetahuan yang relatif rendah memiliki kesulitan dalam menerima dan menerjemahkan berbagai informasi HIV dan AIDS yang lebih banyak dikembangkan untuk masyarakat umum. Situasi yang memungkinkan buruh/pekerja semakin mengalami keterpurukan dan keterpaparan (Akbar, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut maka dianggap penting untuk melakukan program intervensi HIV & AIDS di proyek pembangunan Tehnik Unhas Gowa. METODE PENELITIAN Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian penelitian yang digunakan adalah ekperimen kuasi pre dan post test design dengan penerapan subjek tunggal (single subject) dimana subjek tunggal diberikan dengan beberapa perlakuan berbeda dan diobservasi setiap perlakuan. Penilitian ini dilakukan di Proyek pembangunan Fakultas Tehnik Unhas Gowa. Penelitian ini dilakukan pada saat-saat tertentu seperti melatih peer edukator dilakukan pada hari minggu agar tidak mengganggu aktifitas atau pekerjaan buruh, kemudian distribusi media KIE dilakukan pada saat jam istirahat yaitu pukul 12.00-13.00 atau pada malam hari rumah kontrakan buruh, untuk pemutaran film dilakukan pada malam hari di rumah kost buruh atau pada hari minggu dirumah kontrakan buruh. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua buruh yang bekerja di proyek pembangunan tehnik Unhas Gowa. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian buruh yang bekerja di proyek pembangunan Tekhnik Unhas Kabupaten Gowa yaitu sebanyak 191 buruh. Analisis Data Analisis data ini dilakukan dengan maksud untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan perilaku antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis menggunakan program komputer SPSS 18.0. HASIL Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan dalam penelitian ini yang dimaksud adalah informasi-informasi yang telah diketahui responden tentang HIV dan AIDS baik sebelum intervensi maupun sesudah intervensi. Tabel 1. Analsis perbedaan nilai rata-rata pada masing-masing jenis intervensi terhadap pengetahuan buruh tentang HIV dan AIDS di proyek pembangunan tehnik Unhas Gowa tahun 2012 Jenis intervensi PE Media KIE Film PE + KIE PE + Film Film + KIE Film+ PE + KIE Data Primer n 45 23 27 46 72 23 27 Pengetahuan Pre Post 2,80 6,62 3,30 7,30 3,48 8,56 2,83 7,15 6,28 15,18 3,17 8,43 2,81 10,26 Selisih Pre-Post 3,82 4,00 5,07 4,32 8,90 5,26 7,44 p value (sign)

0,00

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua jenis intervensi memliki pengaruh terhadap perubahan pengetahuan buruh, dimana pada kelompok yang diintervensi Peer Educator (PE) + media KIE + pemutaran film merupakan jenis intervensi yang paling efektif dengan nilai selisih rata-rata pre dan post 7,44. Hasil analisis dengan menggunakan uji Anova berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap pengetahuan buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00 (p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan pengetahuan buruh tentang HIV dan AIDS antara semua jenis intervensi Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus suatu obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 91

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

suatu pola pemberian. Sikap masih merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek dilingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap obyek, (Notoatdmodjo, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua jenis intervensi memliki pengaruh terhadap perubahan sikap buruh, dimana pada kelompok yang diintervensi Peer Educator (PE) + media KIE + pemutaran film merupakan jenis intervensi yang paling efektif dengan nilai selisih rata-rata pre dan post 18,55. Hasil analisis dengan menggunakan uji Anova berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap sikap buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00 (p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan sikap buruh tentang HIV dan AIDS antara semua jenis intervensi. Tabel 2. Analsis perbedaan nilai rata-rata pada masing-masing jenis intervensi terhadap sikap buruh tentang HIV dan AIDS di proyek pembangunan tehnik Unhas Gowa tahun 2012 Jenis intervensi PE Media KIE Film PE + KIE PE + Film Film + KIE Film+ PE + KIE Data Primer PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data primer melalui kuesioner pada responden yang berjumlah 191 orang, setelah dilakukan pengolahan dan analisis data, maka akan dibahas sebagai berikut : Pengetahuan Pengetahuan buruh terhadap HIV dan AIDS bervariasi. Umumnya memahami HIV dan AIDS dalam tingkatan pengertian dasar, namun pada aspek pencegahan dan jenis penularan dan tanda-tanda orang yang tertular HIV kelihatan masih mengalami penyimpangan. Cara pencegahan yang dipahami masih terkesan adanya penghindaran terhadap penderita secara sosial. Hal ini ditafsirkan sebagai akibat dari pemahamannya tentang cara penularan HIV dan AIDS yang dapat terjadi melalui hubungan interaksi sosial biasa seperti jabat tangan, bertukar pakaian, bersin, makan bersama, mandi bersama, dan lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 191 responden sebelum dilakukan intervensi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan buruh tentang HIV dan AIDS masih kurang, namun setelah mendapatkan informasi atau dilakukan intervensi pengetahuan dan sikap secara signifikan mengalami peningkatan. Hasil analisis dengan menggunakan uji Anova berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap pengetahuan buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00 (p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan pengetahuan tentang HIV dan AIDS antara jenis intervensi Peer educator, media KIE, Film, PE+KIE, Film + KIE, serta Film,+ PE + KIE, ini menunjukkan bahwa walaupun masing-masing intervensi memberikan pengaruh terhadap pengetahuan buruh tetapi tingkat perubahan yang diberikan berbeda antara satu intervensi dengan intervensi yang lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Latief, (2010) menunjukkan bahwa rendahnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS serta perilaku seks yang tidak sehat meningkatkan tingginya kejadian penyakit tersebut dari tahun ke tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus HIV positif semakin bertambah dimana yang teridentifikasi 2 kasus AIDS. Salah satu diantaranya telah meninggal tetapi keluarga malu untuk menyatakan bahwa yang bersangkutan mengidap penyakit AIDS. Hal ini akan menyulitkan tenaga kesehatan untuk mendeteksi lebih jauh serta masyarakat yang pernah berhubungan seks dengan penderita tidak akan menyadari kemungkinan mereka telah terinfeksi penyakit tersebut. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus suatu obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu pola pemberian. Sikap masih merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap obyek, (Notoatdmodjo, 2003). Hasil penelitian ini didapatkan informasi bahwa dari 6 jenis intervensi yang dilakukan semua jenis intervensi memberikan pengaruh yang bermakna terhadap perubahan sikap buruh tetapi jenis intervensi yang memiliki selisih rata-rata paling tinggi adalah pada intervensi Film+PE+KIE yaitu 18,5, sedangkan terendah media KIE yaitu 2,3. n 45 23 27 46 72 23 45 Pengetahuan Pre Post 28,2 32,0 28,8 31,0 28,6 42,0 27,2 33,8 56,8 74,0 26,2 42,1 28,2 32,0 Selisih Pre-Post 3,9 2,2 13,4 6,6 17,2 15,9 3,9 p value (sign)

0,00

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

92

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Perbandingan selisih rata-rata sikap responden antara jenis intervensi yang hanya 1 perlakuan saja menunjukkan bahwa pemutaran film memiliki nilai selisih rata-rata tertinggi dibandingkan dengan PE dan media KIE, dimana nilai selisih rata-rata sikap yang diintervensi pemutaran film yaitu 13,5, dan secara statistik film memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik dibandingkan dengan PE dan media KIE, hal ini menunjukkan bahwa pemurtaran film lebih efektif untuk dilakukan untuk melihat perubahan perilaku. Adanya peningkatan terutama sikap buruh setelah menonton film tentang HIV dan AIDS, mengindikasikan bahwa pemutaran film lebih efektif seperti penelitian yang dilakukan oleh (Rahmatullah, 2011) Adanya sinyalemen positif yang terlihat dari peningkatan hasil belajar dan juga meningkatnya motivasi belajar siswa menunjukkan bahwa film animasi memang memiliki kelebihan-kelebihan yang terkait dengan optimalisasi peranan dan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran selain itu film animasi sebagai faktor pemikat dan mampu meningkatkan motivasi dan pendapat Agina (2003) yang menyebutkan bahwa film animasi dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan siswa pada sejumlah aspek. Perbandingan selisih rata-rata sikap antara jenis intervensi yang diberikan 2 perlakuan yaitu antara PE+KIE dengan film + media KIE menunjukkan bahwa pemutaran film + media KIE lebih efektif, dimana nilai selisih rata-ratanya yaitu15,9. Hasil analisis dengan menggunakan uji Anova berdasarkan jenis intervensi yang diberikan terhadap sikap buruh menunjukkan bahwa nilai p = 0,00 (p<0,05) ini berarti terdapat perbedaan sikap buruh tentang HIV dan AIDS antara jenis intervensi Peer educator, media KIE, Film, PE+KIE, Film + KIE, serta Film,+ PE + KIE. Variabel faktor intrinsik dipersepsikan responden berdasarkan pemahaman yang diketahui dari dirinya meliputi pengetahuan, sikap dan pencegahan, pada penelitian yang dilakukan Latief (2010) menunjukkan bahwa persepsi siswa SLTP tentang dirinya masih dirasakan kurang terutama dalam hal pengetahuan, sikap dan pencegahan HIV dan AIDS melalui perilaku berisiko tertular. Hasil ini mengindikasikan bahwa edukasi dan promosi yang dilakukan pemerintah maupun pihak lain masih belum merata. Hasil ini juga menunjukkan bahwa upaya pencegahan HIV dan AIDS melalui perilaku berisiko tertular memerlukan peningkatan pemahaman tentang pengetahuan, sikap dan upaya pencegahan secara terus menerus dan sebaliknya para siswa seyogyanya selalu siap dan sadar untuk mempelajarinya. Hal ini sesuai dengan psikologi pembelajaran yang efektif dimana materi yang diberikan hanya akan memberikan efek positif terhadap perilaku apabila menarik, diberikan secara bertahap, terus menerus, dan penerima pengetahuan siap secara fisik dan mental. 16 Keefektifan belajar akan meningkat bila diberikan melalui peningkatan motivasi berpikir kritis. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, intervensi peer educator (PE) atau pendidik sebaya, distribusi media KIE, pemutaran film, peer educator (PE) + media KIE, pemutaran film + media KIE, Peer Educator (PE) + media KIE + pemutaran film memiliki pengaruh terhadap perubahan pengetahuan dan sikap buruh. Perlunya dilakukan peningkatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dalam memilih dan menentukan alat kontrasepsi yang akan digunakan oleh PUS dan penggunaan alat kontrasepsi yang efektif serta meminimalkan KB tradisional dengan melakukan motivasi pemakaian alat kontrasepsi modern, sosialisasi tentang pentingnya merencanakan jumlah anak dalam pembentukan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) kepada setiap pasangan usia subur maupun calon pasangan usia subur. DAFTAR PUSTAKA Dinas kesehatan Sulawesi Selatan,(2011), Situasi HIV/AIDS di Sulawesi Selatan. Halim Akbar, (2011). Pencegahan HIV/AIDS, PKVHI. Makassar Harahap, Juliandi, Lita Sri Andayani, (2004). Pengaruh PEER Education Terhadap Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa dalam Menanggulangi HIV/AIDS di Universitas Sumatera Utara. Medan. Avaliable from: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juliandi.pdf [Accesed : 14 April 2011] Arlin, Adam. Informasi Dasar HIV/AIDS. Makassar Komisi Penanggulangan AIDS, (2010). Rencana Aksi nasional Penaggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2007-2010. Latief, (2010). Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan Penerimaan Keluarga Penderita HIV&AIDS Terhadap Penderita HIV, http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juliandi.pdf [Accesed : 21 Mei 2012] Notoatmodjo, (2003). Promosi Kesehatan : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta,43-59. Raden, (2011). Data jumlah penderita HIV/AIDS di Sulawesi Selatan Tahun 2011.Makassar. Rahmatullah, (2011). Pengaruh pemanfaatan media pembelajaran film animasi terhadap hasil belajar siswa Tahun 2011. http://projects.edte.utwente.nl/pi/Papers/ AnimationPaper.html [9 Juni 2011] Retno Dwi, (2007). Determinan Perilaku Berisiko Tertular HIV/AIDS pada karyawan Laki-laki di Perusahaan Besar. IU. Depok UNAIDS, (2008). Report on the Global AIDS Epidemic. Switzerland UNAIDS.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

93

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

PENGARUH PEMBERIAN PROPOLIS TERHADAP GANGGUAN GLUKOSA DARAH PUASA DAN GANGGUAN TOLERANSI GLUKOSA PENDERITA PREDIABETES A. Nilawati Usman, A.Zulkifli Abdullah2, Buraerah Abdul Hakim3, A.Ariyandi Asir4
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Biostatistik/ KKB Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 4 Fakultas Kedokteran Universitas hasanuddin ABSTRACK

Prediabetes has been becoming a pandemic that its prevalence higher than diabetes. Prediabetes increases risk for type 2 diabetes, heart disease and stroke. We need evidence the benefit of propolis with research subject are human after evidence by animal research has been proven.The objective of the research was to analyze the effect of propolis on Fasting blood Glucose and Glucose Tolerance Prediabates Patients. The research was a Randomized Clinical Trial (RCT). The intervention done was to give propolis extract 20% with the result of Biofarmaka Laboratory test of Hasanuddin University containing quercetin content 25.29 mg/L and health education with counseling strategy. Fasting blood glucose and glucose tolerance tested by Health Laboratory Great Hall of Makassar with venous Blood specimen. The samples were 64 people consisting of 32 people given propolis and 32 given health education. The result of Wilcoxon with 0.05 significance level proves that the giving of propolis for 20 days, after eat with low doses (50 mg/Kg or 6 dots per day) significantly decreased fasting blood glucose and glucose tolerance test with respectively 14.28 (p=0.000) and -23.16 (p=0.000). Fasting Blood Glucose and glucose tolerance test of Health Education group decreased significantly, with respectively -14.9 (p=0.001) and -13.98 (p=0.000). Giving Propolis and Education are effective for changing of blood glucose and glucose tolerance. Propolis is potential to use as a pharmacology therapy for prediabetes Key words: Propolis, Prediabetes, Fasting Blood Glucose, Glucose Tolerance PENDAHULUAN Prediabetes adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatakan diabetes dan hal ini dapat berkembang menjadi diabetes mellitus (DM) tipe 2, dua kondisi yang berkaitan dengan prediabetes adalah gangguan toleransi glukosa (GTG) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (Garber AJ, dkk., 2009). Glukosa darah puasa terganggu (GDPT) didefenisikan sebagai peningkatan glukosa plasma puasa dengan Bagian 100 mg/dl dan <126 mg/dl. Gangguan toleransi (GTG) glukosa didefenisikan sebagai peningkatan glukosa plasma 2 jam, yaitu 140 and <200 mg/dl setelah pembebanan 75 gram glukosa (Nathan, 2007). Berdasarkan konsensus PERKENI 2011, dikategorikan sebagai GDPT bila bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL dan dikategorikan sebagai GTG bila pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram adalah 140 199 mg/dL Menurut Ford dkk (2010) Glukosa darah puasa terganggu dan gangguan toleransi glukosa meningkatkan risiko kardiovaskuler dan Hardiman (2008) mengemukakan bahwa awal terjadinya penyakit makrovaskuler (kardiovaskuler) adalah pada periode prediabetes. Prediabetes telah menjadi pandemi yang prevalensinya lebih tinggi dari diabetes, di Amerika Serikat prevalensi diabetes adalah 24, 1 juta sementara prediabetes mencapai 57 juta orang (Garber AJ, dkk, 2009), CDC (2012) merilis bahwa diperkirakan 79 juta orang dewasa yang berusia 20 tahun ke atas telah menderita prediabetes. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2007) mendapatkan prevalensi GTG di daerah urban Indonesia adalah 10,5% dan prevalensi diabetes sebesar 5,7%. Salah satu daerah dengan prevalensi gangguan toleransi glukosa tertinggi adalah adalah Sulawesi Selatan 17.6%. Meskipun perubahan gaya hidup adalah langkah yang paling efektif dalam pencegahan diabetes berdasarkan penelitian klinik, implementasinya membutuhkan kedisiplinan yang sangat tinggi, sehingga pengobatan yang efektif dan aman akan menjadi pilihan yang tepat untuk intervensi (Don, Cheng, 2005). Propolis merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari 55% resin, 30% lilin lebah, 10% minyak aromatik dan 5% bee pollen. Propolis mengandung: semua vitamin kecuali vitamin K, semua mineral yang dibutuhkan kecuali sulfur, enam belas asam amino essensial yang dibutuhkan untuk regenerasi sel, bioflavonoid yaitu zat antioksidan sebagai suplemen sel (Hammad, 2009). ). Hasil penelitian yang menggunakan ekstrak propolis sebagai perawatan oral diabetik dengan dosis 200 mg/kg selama periode 5 minggu menunjukkan perubahan yang signifikan pada berat badan, glukosa serum, lipid, lipoprotein, nitrit okside, glutathionin dan katalase. Disimpulkan bahwa ekstrak propolis menawarkan efek hipolipidemik dan antidiabetik yang menjanjikan dan memungkinkan juga menjadi anti oksidan (El-Sayed, 2009). Jika pada obat sintesis dikhawatirkan akan mempengaruhi ginjal, sebaiiknya pada pemberian propolis dapat mencegah

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

94

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

kerusakan ginjal karena efek antioksidannya yang bisa menurunkan gangguan metabolik dan stress oksidatif yang sangat berhubungan dengan diabetes. Pada penderita diabetes ketika glukosa darah, lipid, oksidasi LDL dan oksigen radikal bebas meningkat maka bisa memicu glomerolusklerosis dan kerusakan kronik pada tubulus interstisial yang mengantarkan pada kerusakan ginjal (Abo-salem dkk, 2009). Riset Mulyati Sarto, peneliti universitas Gadjah Mada yang dimuat dalam majalah trubus edisi 482 tahun 2010 telah menguji toksisitas propolis dan efeknya jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, hasilnya tidak mempengaruhi darah, ginjal dan hati. Siregar, dkk. (2011) mengemukakan bahwa Beijing Propolis Research Network meriset propolis untuk pengobatan diabetes mellitus. Senyawa terpene vinil pada propolis dapat menurunkan kandungan gula dalam darah.Terpen vinil mendukung penggunaan sumber glukosa eksogen dari peran glikogen. Salah satu kandungan propolis adalah pterostilbene yang menurut peneliti kimia dari Oxford, Rimando R.M. (2002) pterostilbene bisa menurunkan glukosa plasma dan glukosa darah hingga 42%. Kandungan lain dari propolis adalah arignin, menurut Linder (2010). Arginin meransang sekresi insulin dan jenis asam amino ini (arginin dan asam amino rantai panjang) lebih baik dari asam amino lainnya yang mempunyai efek pada sekresi insulin. Kandungan lain propolis adalah quercetin, Piparo, dkk. (2008) mengemukakan bahwa di antara jenis flavonol, subkelas dari flavonoid, quercetin memiliki potensi inhibisi enzim paling kuat. Dengan adanya inhibisi pada enzim ini, proses pemecahan dan absorbsi karbohidrat akan terganggu, sehingga kadar glukosa darah pada hiperglikemia dapat diturunkan Penelitian tentang efek propolis pada manusia masih sangat jarang baik secara global maupun di Indonesia namun ketertarikan masyarakat terhadap propolis mulai Nampak dengan hadirnya distributor propolis di berbagai daerah termasuk Makassar bahkan telah dijual secara resmi di apotek seperti Kimia Farma sehingga perlu penelitian yang bisa menjadi evidence penggunaan propolis sebagai alternatif pengobatan untuk menangani GDPT dan GTG penderita predibetes. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh propolis pada glukosa darah puasa dan toleransi glukosa penderita prediabetes. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental yaitu uji klinik atau Randomized Clinical Trial (RCT) fase III, disain yang digunakan adalah parallel dengan matching jenis kelamin. Pelaksanaan penelitian pada bulan April - Juni 2012 di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Makassar yang pada tahun 2008 telah mendapatkan sertifikat ISO 17205 dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) . Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah masyarakat Makassar yang bersedia datang ke BBLK dan masyarakat yang melakukan medical chek-up sebanyak 125 orang. Sampel yang memenuhi kriteria untuk dilakukan random adalah yang memenuhi kriteria inklusi; Penderita yang baru terdiagnosis prediabetes, bersedia menandatangani inform consent, berdomisili di kota Makassar, umur 25-80 tahun dan tidak mendapatkan pengobatan medis maupun alternatif yang lain. Sampel dicuplik secara random dengan menggunakan tabel random, jumlah keseluruhan sampel 64 orang, terdiri dari 32 orang intervensi propolis dan 32 orang diberikan edukasi dengan strategi konseling. Analisis Data Data diolah dan dianalisis dengan bantuan komputer menggunakan program Excel 2010 dan SPSS versi 20. Untuk menguji perbedaan mean antara kelompok kontrol dan kasus dan antara sebelum dan sesudah intervensi digunakan uji t sampel berpasangan untuk distribusi normal dan uji Wilcoxon untuk yang tidak berdistribusi normal. HASIL Hasil Penelitian Penelitian ini melakukan matching berdasarkan jenis kelamin sehingga jumlah jenis kelamin lakilaki dan perempuan sama pada kelompok perlakuan dan kontrol meskipun subjek lebih banyak perempuan (90.6%) ketimbang laki-laki (9.4%). Suku Toraja adalah minoritas dalam penelitian baik pada kasus maupun kontrol dan suku Bugis adalah mayoritas yang menjadi subjek. Pada aspek pekerjaan, pekerjaan subjek yang diberi perlakuan paling banyak adalah ibu rumah tangga, baik pada kelompok perlakuan,yaitu 53.1% dan kelompok kontrol 62.5%. Tingkat pendidikan yang paling banyak pada kelompok perlakuan dan kontrol adalah SLTA masing-masing 28.1% dan 34.4% dan Strata Satu masing-masing 21.9% dan 25%. Rata-rata umur antara kelompok perlakuan dan kontrol tidak berbeda jauh, yaitu 45.66 dan 44.88 tahun. Mayoritas kelompok perlakuan dan kontrol memiliki riwayat keluarga menderita DM, yakni masing-masing 87.5% dan 75.1%. Secara umum karakteristik kelompok yang diberikan propolis dengan yang diberikan edukasi tidak jauh berbeda. Data ini bisa dilihat pada tabel 1.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

95

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Karakteristik Perlakuan Mean (SD) n (%) 3 (9.4%) 29 (90.6%) 25 (78.1%) 2 (6.3%) 5 (15.6%) 3 (9.4%) 17(53.1%) 2(6.3%) 1(2.1%) 4(12.5%) 5(15.6%) 1 (3.1%) 2(6.3%) 7(21.9%) 3(9.4%) 9(28.1%) 5(15.6%) 5 (15.6%) 45.66(14.86) 28(87.5% 4(12.5%) Kontrol Mean (SD) n (%) 3 (9.4%) 29 (90.6%) 18 (56.3%) 2 (6.3%) 11 (34.4%) 1 (3.1%) 20(62.5%) 4(12.5%) 1(3.1%) 6(18.8%) 1(3.1%) 8 (25%) 1 (3.1%) 11(34.4%) 7(21.9%) 5(15.6%) 44.88(14.16) 35 (78.1%) 7(21.9&)

Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Bugis Jawa Makassar Toraja Dosen IRT Mahasiswa Pensiunan PNS Wiraswasta Petani S3 S2 S1 D3 SLTA SLTP SD

Suku

Pekerjaan

Pendidikan

Umur Riwayat Keluarga DM Data Primer

Ada Tidak Ada

Analisis Bivariat Pre dan Post Intervensi Gula Darah Puasa (GDP) kelompok yang diberikan propolis turun secara signifikan-14.28 (p=0.000<0.05), kelompok edukasi juga tutun secara sihnifikan, yaitu -14.9 (p=0.001<0.05). Tes Toleransi Glukosa (TTGO) kelompok propolis turun secara signifikan -23.16 (p=0.000<0.05) dan kelompok yang diberikan edukasi juga turun secara signifikan meskipun lebih rendah dari pemberian propolis, yaitu -13.98 (p=000<0.05). Rata-rata skor pola makan pada kelompok yang diberi propolis turun sebesar -2.19 (p=0.000< 0.05), pola makan dalam penelitian ini adalah kecenderungan subyek dalam memilih jumlah nasi yang dimakan tiap hari, konsumsi sayuran dan buah serta gula dan garam. Kategori adanya perubahan pola makan adalah jika setelah intervensi terjadi perubahan 50% dari kebiaasaan buruk sebelum intervensi. Kelompok yang diberi edukasi perubahan skornya sedikit lebih tinggi, yaitu -2.65 dan (p=0.02<0.05). Perubahan rata-rata skor aktivitas fisik kelompok yang diberi propolis adalah -0.28 namun tidak signifikan secara statistik (p=0.20>0.05) sementara pada kelompok edukasi perubahan -0.78, bermakna secara statistik (p-0.00<0.05). Aktivitas fisik dalam penelitian ini didefenisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi selama 150 menit setiap pekan atau 25 menit tiap hari baik melalui olahraga maupun kegiatan fisik sehari-hari. Kategori ada perubahan jika subyek melakukan aktivitas fisik 30 menit dalam sehari dan atau berolahraga selama 150 menit dalam sepekan, tidak ada perubahan jika beraktivitas fisik <30 menit dalam sehari dan atau tidak berolaharaga selama 150 menit dalam sepekan, ini diukur dengan perubahan skor berdasarkan skala gutman, perubahan skor 50% dari skor awal menandakan ada perubahan pada aktivitas fisik. Indeks Massa tubuh didefenisikan sebagai Berat badan subyek dalam kilogram yang diukur dengan timbangan camry dibagi dengan tinggi badan dalam meter yang dikudratkan, berat badan. Dengan kriteria perubahan yang bermakna adalah 0.1 kg/m2. IMT pada kelompok yang diberi propolis justru naik rata-rata +0.48 (p=0.021<0.05) sementara IMT pada kelompok edukasi turun rata-rata -0.19 meskipun perubahan ini tidak dianggap bermakna secara statistik (p=0.083>0.05).

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

96

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 2 Analisis Bivariat Kelompok Perlakuan dan Kontrol Perlakuan Mean (SD) Perubahan Awal Akhir Mean 4.50 (1.29) 0.81 (0.69) 23.58 (4.24) 148.19 (14.056) 103.31 2.31 (1.14) 0.53 (0.56) 24.06 (3.76) 125.03 (19.305) 89.03 - 2.19 -0.28 +0.48 -23.16 Kontrol Mean (SD) Awal Akhir 4.96 (1.09) 1.56 (0.66) 26.53 (3.35) 143.28 (17.81) 102.84 (19.672) 2.31 (1.04) 0.78 (0.49) 26.34 (3.48) 129.03 (27.09) 88.75 (14.54)

Variabel

Peruba han Mean -2.65 -0.78 -0.19 -13.98

Pola Makan Aktivitas Fisik IMT TTGO

0.000 0.20 0.021 0.000

0.020 0.000 0.083 0.000

Gula darah (14.972) Puasa (12.79) Data Primer Keterangan SD = Standar Deviasi - = Nilai mean turun + = Nilai Mean Naik

-14.28

0.000

0.001

-14.9

Efek Samping Berdasarkan tabel 3 keluhan yang paling banyak dirasakan setelah konsumsi propolis adalah rasa letih dan mengantuk , total keluhan dari 32 orang yang diberikan adalah 56.25%, selebihnya tidak ada yang melaporkan keluhan selama mengkonsumsi propolis. Tabel 3 Keluhan Subyek Berdasarkan Self Monitoring Jenis Keluhan Rasa letih Diare Ngantuk Nyeri tangan dan kaki Nyeri ulu hati Gatal-gatal Total Data Primer PEMBAHASAN Gula Darah Puasa Patofisiologi GTG dengan GDPT berbeda sekalipun sama-sama mengalami resistensi insulin, pada GTG resistensi insulin dominan terjadi pada otot sementara pada GDPT resistensi insulin hepatik yang lebih dominan. Salah satu kandungan propolis adalah pterostilbene yang menurut peneliti kimia dari Oxford, Rimando A.M (2002) pterostilbene bisa menurunkan glukosa plasma dan glukosa darah hingga 42%, Lidah buaya yang juga memiliki kandungan pterostilbene memiliki efek menurunkan glukosa darah pada penderita diabetes. Salah satu senyawa jenis flavonoid, yaitu quercetin juga merupakan kandungan propolis (Marcucci, 1994). Quercetin merupakan inhibitor enzim -amilase yang berfungsi dalam pemecahan karbohidrat. Diantara jenis flavonol, subkelas dari flavonoid, quercetin memiliki potensi inhibisi enzim paling kuat. Dengan adanya inhibisi pada enzim ini, proses pemecahan dan absorbsi karbohidrat akan terganggu, sehingga kadar glukosa darah pada hiperglikemia dapat diturunkan.(Piparo dkk, 2008). Propolis mengandung flavonoid seperti quercetin, kaemferol, epigenin dan luteolin dalam jumlah yang paling banyak dibandingkan produk lebah lainnya (Siregar, 2011). Quercetin juga menurut Vessal, Hemmati, vasei (2003) menurunkan aktivitas glukokinase hepatik, flavonoid dengan anti oksidannya mampu meregenerasi islet pankreas yang berpeluang meningkatkan pelepasan insulin pada tikus percobaan. Hasil penelitian El-Sayed dkk (2009) yang menggunakan ekstrak propolis sebagai perawatan oral diabetik dengan dosis 200 mg/kg selama periode lima minggu menunjukkan perubahan yang signifikan pada glukosa serum, lipid, lipoprotein, nitrit okside, glutathionin. Disimpulkan bahwa ekstrak propolis menawarkan efek hipolipidemik dan antidiabetik yang menjanjikan dan berpeluang juga menjadi anti oksidan. Abo-Salem dkk (2009) telah meneliti efek pencegahan yang dimiliki oleh propolis terhadap nefropati. Pemberian ekstrak propolis dengan dosis 100, 200 dan 300 mg/kg memberikan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 97 Jumlah keluhan Orang (%) 5 (28%) 3 (16%) 5 (28%) 2 (11%) 1 (6%) 2 (11%) 18 (56.25%) Waktu Keluhan Hari 1 dan ke 2 Hari 1 dan ke 16 Hari 1 dan ke 2 Hari 1 dan ke 2 Setiap kali minum propolis Hari 17 dan 19

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

efek pada perubahan pada berat ginjal dan tubuh tikus diabetes, serum glukose, lipid dan uji fungsi renal. Setelah pemberian 40 hari dosis tertinggi, yaitu 300 mg/kg mampu menormalkan kadar glukosa darah. Disimpulkan bahwa propolis bisa memberikan efek antioksidan kuat yang bisa memperbaiki tekanan oksidatif dan menunda kejadian nefropati pada DM. Yajing li dkk (2011) menemukan bahwa pemberian kapsul propolis secara oral bisa menghambat peningkatan glukosa darah puasa dan kolesterol total pada tikus penderita diabetes tipe 2. Dosis yang diberikan adalah 50 mg/Kg, 100 mg/Kg dan 200 mg/kg untuk 6 hari. Setelah 6 minggu pada dosis sedangrendah pemberian propolis memberikan efek yang signifikan dan efek maksimal diperoleh setelah 8 minggu pada dosis rendah-sedang dan tinggi, pada dosis rendah mean gula darah puasa pada minggu ke-8 turun secara signifikan 7.13 mm/dL(p<0.01). Disimpulkan bahwa penelitian ini mengindikasikan pemberian propolis bisa mengendalikan glukosa darah, metabolismee lipid dan meningkatkan sensitivitas insulin DM tipe 2. Edukasi melaui IMT dan aktivitas fisik juga menurunkan kadar glukosa darah, hal ini bisa dijelaskan dengan hipotesis bahwa yang menyertai obesitas dan berat badan berlebih, postulat bahwa akumulasi asam lemak atau derivasi asam lemak pada otot dan liver menyebabkan resistensi insulin (McGarry, 2002). Pada level sel, dikemukakan bahwa akumulasi diasigliserol bisa mengaktifkan proteinkinase-C (PKC) (Shulman, 2004). Aktivasi PKC mengakibatkan fosforilasi dan aktivasi serin kinase yang lain yang mengantarkan pada fosforilasi site serin pada IRS-1 insulin receptor substrate IRS 1 dan 2 pada site treonin/serin yang akhirnya menumpulkan sinyal insulin. Abnormalitas pada metabolisme lemak dan resistensi insulin mengakibatkan kondisi yang buruk. Hiperinsulinemia yang berasal dari peningkatan kalori atau intake karbohidrat bisa menyebabkan resistensi insulin pada adiposit yang mengantarkan peningkatan asam lemak yang akhirnya menyebabkan resistensi insulin pada otot. Pada saat yang bersamaan resistensi insulin akan lebih memperparah abnormalitas pada metabolisme lemak hepatik (Zammit:2002 dalam Don Cheng:2005). Konsekuensi yang tidak menguntungkan pada metabolisme, akumulasi lemak juga berefek pada produksi insulin sel beta. Peningkatan fatty acyl coA menyebabkan abnormalitas sel beta pada pasien obes non diabetes (Kahn:2000 dalam Don Cheng:2005). Propolis memiliki hubungan kausal dengan gula darah puasa, ini terlihat dari beberapa kriteria yang bisa dipenuhi berdasarkan pengembangan postulat Koch oleh Sir Bradford Hill, yaitu: temporal relationship bahwa pemberian propolis mendahului turunnya glukosa darah puasa, berdasarkan kuatnya asoasiasik perbandingan nilai mean gula darah puasa sebelum dan setelah intervensi -14.28 (p=0.000) pada propolis dan -14.9 pada edukasi (p=0.001), konsistensi dan analogi memang belum bisa dijelaskan dengan perbandingan pada manusia namun penelitian pada hewan percobaan sudah sangat banyak dan menunjukkan hasil yang positif, koherensi dan biological plausibility juga telah dijelaskan sebelumnya.meskipun disayangkan bahwa pada penelitian ini dosis responnya belum bisa didapatkan pada manusia karena pemeriksaan TTGO membutuhkan waktu yang lama dan bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan permasalahan etis namun penelitian pada hewan coba telah menjelaskan dosis respon propolis. Toleransi Glukosa Gangguan toleransi glukosa dominan karena resistensi insulin di otot (Nathan dkk, 2007), Pada kondisi normal, sekresi insulin akan terjadi pada dua fase, yaitu 3-10 menit setelah makan dan fase dua 20 menit setelah stimulasi glukosa, pada GTG terjadi penurunan sekresi insulin pada pada fase pertama (0-10) menit dan juga defisit yang parah pada sekresi insulin fase dua. Gangguan skeresi insulin ini bisa karena gangguan fungsi sel beta atau terjadi gangguan respon metabolik terhadap kerja insulin yang bisa diakibatkan karena gangguan reseptor baik karena reseptornya kurang peka atau karena jumlah reseptor yang kurang. Propolis mengandung kromium yang memiliki fungsi membuat hormon insulin lebih efisien dengan jalan membantu ambilan glukosa dari aliran darah ke dalam sel. Kromium menambah jumlah reseptor insulin pada membran sel sambil memudahkan pengikatan insulin pada sel. Kromium juga mengaktifkan reseptor-insulin kinase yang akhirnya akan meningkatkan kepekaan insulin. Hanya saja jika kromium dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral maka bisa berefek hipoglisemia (Anderson dalam Arisman, 2010). Mekanisme kerja propolis ini mirip dengan ADO golongan biguanid, khususnya metformin yang menurunkan produksi glukosa hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Propolis juga mengandung quercetin yang merupakan flavonol yang sebenarnya juga terdapat pada bawang, kulit buah-buahan dan sayur-sayuran hanya karena diet yang tidak sehat sehingga asupannya menjadi tidak adekuat, sehingga propolis sebetulnya juga bisa menjadi suplemen sekaligus obat bagi penderita prediabetes. Menurut Ahn dkk (2008) quercetin juga bisa mempengaruhi adipogenesis dan apoptosis pada sel 3T3-L1, quercetin melakukan aktivitas antiadipogenesis dengan pengaktivan jalur signal adenosine monophosphate-activated protein kinase (AMPK) pada 3T3-L1 preadipocytes. Apopotosis adalah salah satu penyebab penurunan fungsi sel beta. Sehingga propolis bisa meningkatkan fungsi sel beta dengan kandungan quercetin di dalamnya.Mekanisme ini diasumsikan oleh peneliti adalah efek propolis jika melalui pola makan Vitamin C yang terkandung pada propolis mampu mengikis kandungan sorbitol (gula yang menumpuk serta merusak mata, saraf dan ginjal penderita diabetes) dan memperbaiki toleransi glukosa pada

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

98

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

DM tipe 2. Vitamin D dibutuhkan untuk mempertahankan kadar insulin dalam aliran darah sementara vitamin E mampu menurunkan glikosilasi, yaitu ukuran banyaknya gula yang terikat tidak normal pada protein, suplemen vitamin E mengurangi keterikatan ini. Pada kelompok edukasi perubahan toleransi glukosa bisa melalui perubahan aktivitas fisik. Sensitivitas dan responsivitas insulin mengalami peningkatan minimal dua hari setelah olahraga. Olahraga berefek pada peningkatan uptake glukosa pada jaringan skeletal yang memediasi jalan insulin-independent CaMK (Ca2+/calmodulin-dependent protein kinase), MAPK (mitogen-activated protein kinase) and AMPK (AMP-activated protein kinase) pada peningkatan translokasi GLUT-4 pada permukaan sel yang lain (Zierath:2002, Long: 2004, Hollozy:2005). Tuomilehto (2001) dalam Arisman (2010). Olahraga dapat mengatur gula darah dalam tiga mekanisme, yaitu perangsangan transport glukosa otot, penguatan kerja insulin, dan peninkatan pengaturan jangka panjang jalur pengisyaratan insulin karena latihan fisik yang teratur. Etnis Asia Selatan yang diikutkan dalam program aktivitas fisik selama 24 bulan mengurangi glukosa 2 jam -1.6 mmol/l (-0.4 to -2.7) (Yates, 2011). Propolis memiliki hubungan kausal dengan toleransi glukosa, ini terlihat dari beberapa kriteria yang bisa dipenuhi berdasarkan pengembangan postulat Koch oleh Sir Bradford Hill, yaitu: temporal relationship bahwa pemberian propolis mendahului turunnya tes toleransi glukosa, berdasarkan kuatnya asoasiasi, pada uj bivariat variabel eksogen dan endogen , edukasi memiliki nilai p=0.004 sementara propolis memiliki nilai p=0.001 perbandingan nilai mean TTGO sebelum dan setelah intervensi -23.16 (p=0.000) pada propolis dan -13.98 pada edukasi (p=0.000. Konsistensi dan analogi memang belum bisa dijelaskan dengan perbandingan pada manusia namun penelitian pada hewan percobaan sudah sangat banyak dan menunjukkan hasil yang positif, koherensi dan biological plausibility juga telah dijelaskan sebelumnya.meskipun disayangkan bahwa pada penelitian ini dosis responnya belum bisa didapatkan pada manusia karena pemberian dosis sedang, yaitu 100 mg/kg (10 tetes/hari) dan dosis tinggi, yaitu 200 (20 tetes/hari) dan 300 mg/Kg(30 tetes/hari) hanya sesuai untuk pasien diabetes yang glukosa darahnya sangat tinggi. pemeriksaan pemeriksaan standar di laboratorium berulang kali membutuhkan waktu yang lama dan bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dan permasalahan etis namun penelitian pada hewan coba telah menjelaskan dosis respon propolis. Efek Samping Berdasarkan tabel 3, lebih dari 50% subyek mengalami efek samping berupa rasa lelah, nyeri pada tangan dan kaki, gatal-gatal, ngantuk dan diare. Efek samping yang paling banyak dirasakan adalah rasa lelah dan ngantuk yang terjadi pada pekan pertama konsumsi propolis. Efek samping berupa nyeri pada sendi, rasa lelah dan mengantuk hanya terjadi pada hari pekan pertama, sementara diare terjadi pada pekan-1 dan ke-3, gatal-gatal rata-rata terjadi menjelang propolis habis. Meskipun telah dilakukan tes alergi, namun dua subyek mengalami gatal-gatal pada pekan ke-3 setelah konsumsi propolis. Efek samping yang pernah dilaporkan berdasarkan penelitian Hausen dkk (1987) dalam Marcucci (1994) begitu juga Walgrave, dkk. (2005) adalah dermatitis Dermatitis yang terjadi adalah dermatitis kontak dan mereka mengidentifikasi bahwa 1.1 dimethylallyl caffeic acid adalah zat yang berkaitan dengan kejadian ini. Mekanisme yang melibatkan efek samping pada propolis sangat jarang ditemukan referensinya, namun berdasarkan hasil observasi peneliti dua orang subyek yang mengalami diare memiliki pola makan yang kurang baik, yaitu makan tidak teratur dan juga memiliki kolesterol yang tinggi. Subyek yang merasa lelah dan ngantuk setelah minum propolis adalah subyek dengan waktu istirahat yang tidak memadai dan mengalami tekanan pada aktivitas yang dilakukannya sementara subyek yang mengalami nyeri pada sendi atau kram pada tangan dan kaki memiliki kolesterol yang tinggi. Meski mengalami efek samping, subyek tidak menghentikan konsumsi propolis karena pada sebelum intervensi, saat menjelaskan fact sheet sudah diberitahukan peluang adanya efek samping sehingga secara mental subyek sudah siap dengan berbagai kemungkinan,beberapa subyek yang gatal-gatal menurunkan dosis dari enam tetes per hari menjadi dua tetes per hari. Terdapat satu orang subyek yang menghentikan dan drop out karena gatal-gatal namun lebih dominan karena sibuk dengan acara keluarga (pernikahan). Subyek dengan nyeri ulu hati sekalipun merasa nyeri ulu hati setiap kali mengkonsumsi propolis namun efek positif yang didapatkan, yaitu tidak merasa lelah saat beraktivitas membuatnya tetap termotivasi melanjutkan intervensi. Efek positif propolis bisa dirasakan langsung subyek dalam manifestasi stamina yang tinggi sehingga tidak merasa lelah dalam beraktivitas, namun 80% subyek tidak merasakan hal tersebut manfaat propolis mereka ketahui dari hasil pemeriksaan laboratorium setelah intervensi Hal ini mirip dengan kelompok yang diberikan edukasi. KESIMPULAN DAN SARAN Propolis ekstrak 20% dengan kadar quercetin 25.29 mg/L dosis 50 mg/kg yang diberikan selama 20 hari dan waktu pemberian setelah makan mampu menurunkan kadar glukosa darah puasa dan toleransi glukosa secara signifikan pada penderita prediabetes serta memiliki potensi efek pencegahan terhadap diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Perlu dilakukan penelitian dengan durasi waktu yang

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

99

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

lebih lama agar bisa melihat pengaruh yang lebih baik. Zat-zat yang terkandung di dalam Propolis menjadikan manfaatnya bisa digunakan sebagai suplemen dan terapi farmakologi bagi penderita prediabetes Pemahaman terhadap masyarakat yang mengkonsumsi propolis agar tetap merubah pola makan dan aktivitas fisik Ketertarikan masyarakat yang tinggi pada propolis berpotensi menjadikan propolis sebagai obat alternatif di institusi-institusi kesehatan masyarakat agar penggunaannya bisa di bawah arahan petugas medis namun yang terpenting adalah Edukasi yang tepat mengenai prediabetes perlu diberikan oleh ahli kesehatan masyarakat, dokter dan semua petugas kesehatan agar bisa menurunkan insiden diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskuler dengan mengutamakan tidakan pencegahan. Propolis yang beredar di masyarakat dominan adalah propolis impor, pemerintah perlu mendukung peternak lebah yang menghasilkan propolis, misalnya lebah trigona di kabupaten Luwu, agar menjadi industri propolis yang menghasilkan propolis murah dan juga menjadi aset pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Abo-Salem, O.M., El-Edel R.H., Harisa G.E.,El-Halawany N., Ghonaim M.M. (2009). Experimental Diabetic Nephropathy Can Be Prevented By propolis: Effect On Metabolic Disturbances And Renal Oxidative Parameters. Ak.J.Pharm.Sci :22(2):205-210 American College of Preventive Medicine, (2009). Lifestyle medicine- evidence review Arisman, M.B. (2010). Obesitas, Diabetes Mellitus dan Dislipidemia: Konsep, Teori dan penanganan Aplikatif. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran Badan Penelitian dan Pengembangan DEPKES RI. Riset Kesehatan Dasar. 2008:7-8 Dong, Cheng. (2005) . Prevalence, Predisposition and Prevention of Type 2 Diabetes. Biomed Central;2(29):1-12 El-Sayed M., Abo-Salem, O.M., Aly H.A. Mansour,A.M. (2009). Potential Antidiabetic and Hypolipidemic Effects of propolis Extract In Streptozotocin-In-Induced DiabeticRats. Pak.J.Pharm.Sci. :22(2):168-174 Garber A.J,( 2011) Hypertension and Lipid Management in prediabetic States. The Journal of Clinical Hypertension:270-274 Darmawan I. 2009. Patofisiologi Resistensi Insulin. Resistensi Insulin. Jakarta. PT. Otsuka Indonesia Hammad, S. (2009). 99 Resep SEhat dengan Madu. Solo: PT Aqwam Media Profetika Holloszy J.O.(2005). Exercise-induced increase in muscle insulin sensitivity. Journal of Applied Physiology. 99(1):338-43 Linder, M.C. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Long YC, Widegren U, Zierath JR. 2004 Exercise-induced mitogen-activated protein kinase signalling in skeletal muscle The Proceeding of Nutrition Society. May;63(2):227-32 Yajing, Li, Chen, Minli., Xuan, Hongzhuan dan Hu, Fuliang. (2008). Effects of Encapsulated Propolis on Blood Glycemic Control, Lipid Metabolism, and Insulin Resistance in Type 2 Diabetes Mellitus Rats. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine: 8 Marcucci, MC.(1995) Propolis: Chemicel Composition, Biological Properties and Therapeutic Activity. Apidolgie;26: 83-99 Nathan D.M, (2007) Davidson M.B, De Fronzo R.A et al, Impaired Fasting Glucose and Impaired Glucose Tolerance. Diabetes care, volume 30 number 3. :733-759 Rimando, A.M. Compound Identified in Grapes May Fight cancer and Diabetes. Amrican Chemical Society. 2002 (www.sciencedaily.com, diakses Februari, 2012) Siregar, H.C.H, Fuah, A.M, Octaviany. ( 2011) .Y. Propolis, Madu Multi Khasiat. Penebar Swadaya: Jakarta. Yates T., Khunti K., Bull F., Gorely T., Davies M.J, (2007). The role of physical activity in the management of impaired glucose tolerance: a systematic review. Diabetologia 50:11161126

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

100

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERESEPAN OBAT UNTUK PENYAKIT ISPA NON PNEUMONIA DAN DIARE NON SPESIFIK DI PUSKESMAS KOTA MAKASSAR TAHUN 2012 Fahmiani1, A. Arsunan Arsin2, Nurhaedar Jafar 3
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ,2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT

This study aims to find out the description of medicine and use the medicine factors related to medicine prescribing for Non pneumonia URI and non specific diarrhea in Public Health centres in Makassar city. The research used a cross sectional study design. the samples were of 116 health workers obtained with by exhaustive sampling. The analysis was conducted by using bivariate statistical test with chi-square and multivariate analysis with logistic regression.The Results reveal that medicine prescribing for non pneumonia URI related to health workers (p = 0.000), length of service (p = 0.000), diagnosis result (p = 0.000) and attitude towards treatment guideline (p = 0.000). Medicine prescribing for non specific diarrhea is related to Health workers (p = 0.000), length service (p = 0.000), diagnosis result (p = 0.000) and attitude toward treatment guideline (p = 0.000). The Results of multivariate test with regression logistic reveal that attitude toward treatment guideline is the most influential factor in the medicine prescribing for non pneumonia URI (wald = 21.470, p = 0.000) while the length of service of health workers is the most influential factor in the medicine prescribing for non-specific diarrhea (wald = 14.101, p=0.000). This research is hoped that prescribing patter rationally become one effort in treat of patients and basic treatment guidelines in public health centres become reference therapy for health works.. Keywords : Treatment guidelines, prescribing PENDAHULUAN Penggunaan obat rasional yang didefinisikan oleh WHO (1985) adalah menggunakan obat secara aman dan efektif, dimana obat harus tersedia dengan harga yang wajar dan dengan penyimpanan yang baik. Obat haruslah sesuai dengan penyakit oleh karena itu diagnosis yang ditegakkan harus tepat, patofisiologi penyakit, keterkaitan farmakologi obat dengan patifisiologi penyakit, dosis yang diberikan dan waktu pemberian yang tepat, serta evaluasi terhadap efektifitas dan toksisitas obat tersebut, ada tidaknya kontra indikasi serta biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang disesuaikan dengan kemampuan pasien tersebut. Sejak tahun 1985, WHO berupaya meningkatkan penggunaan obat rasional salah satunya adalah pengembangan indikator penggunaan obat melalui indikator peresepan bahwa rerata jumlah obat dalam tiap resep untuk diagnosa penyakit tunggal adalah 1,6 1,8 item obat (WHO,1993). Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan masalah. Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien rata rata mendapatkan 3,5 obat, lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat untuk setiap lembar resepnya, penggunaan antibiotik yang berlebihan ( 43% ), waktu konsultasi yang singkat dengan rata rata berkisar hanya 3 menit saja serta miskinnya compliance pasien merupakan pola umum yang terjadi pada penggunaan obat tidak rasional di Indonesia (Depkes, 2005). Dari hasil laporan monitoring indikator peresepan di Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 untuk jumlah item obat per resep rata rata 4 item obat dan prosentase peresepan antibiotik pada ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik sebesar 82,73% dan 85.51%. (Dinkes Prov.Sul Sel, 2011). Menurut Standar Pengobatan Dasar di Puskesmas untuk penyakit ISPA Non Pneumonia hanya diperlukan pengobatan simtomatis untuk menghilangkan gejala yang mengganggu, Parasetamol 500 mg 3 x sehari untuk menghilangkan nyeri dan demam, untuk anak dengan dosis parasetamol adalah 10mg/kgBB/kali 3 4 kali sehari serta penggunaan antibiotik hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder. Demikian pula dengan dasar pengobatan untuk penyakit Diare Non Spesifik adalah dengan rehidrasi dan memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Dengan Demikian penatalaksanaan ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik tidak dianjurkan adanya penggunaan antibiotik tetapi lebih dianjurkan pasien istirahat dan banyak minum (Depkes, 2007) Dari kedua hal di atas terlihat bahwa masalah penggunaan obat yang tidak rasional masih cukup menonjol di pusat pelayanan kesehatan primer, Disamping berakibat pada pemborosan biaya, ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan risiko terjadinya efek samping, dampak lainnya berupa ketergantungan pasien terhadap pemberian antibiotik (akibat persepsi yang keliru), yang selanjutnya secara luas akan meningkatkan risiko terjadinya resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada populasi (Depkes, 2006).

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

101

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Bertolak dari uraian tersebut diatas maka sangat penting untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik . BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan menggunakan desain Cross Sectional study. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan yang melaksanakan peresepan obat di poli rawat jalan Puskesmas. Sampel dalam penelitian ini adalah 116 tenaga kesehatan dengan metode penarikan sampel Exhaustive sampling. Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dalam program SPSS. Dilakukan analisis univariat untuk mengetahui karakteristik responden. Analisis Bivariat untuk melihat besar risiko variabel independen terhadap variabel dependen dan menggunakan uji Chi Square. Analisis multivariat untuk mengetahui variabel independen yang paling berpengaruh pada peresepan obat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda. HASIL PENELITIAN Karateristik Responden Tabel 1 menunjukkan bahwa karateristik responden di Puskesmas Kota Makassar yang menjadi sampel pada penelitian, berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 78,4% dari pada laki laki sebanyak 21,6%. Status Kepegawaian lebih banyak pada Pegawai negeri sipil (PNS) yaitu 97,4% dan paling sedikit Pegawai Tidak Tetap (PTT) yaitu 2,6%. Tenaga kesehatan sebagai responden lebih banyak jenis Dokter yaitu 69,0% dan paling sedikit dari perawat yaitu 31,0%. Tenaga kesehatan dengan masa kerja yang lama paling banyak yaitu 55,2% dan paling sedikit tenaga kesehatan dengan masa kerja singkat yaitu 44,8%. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Sampel di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012 Variabel Jenis Kelamin Laki Laki Perempuan Status kepegawaian PNS PTT Tenaga Kesehatan Dokter Perawat Masa kerja Lama Singkat Jumlah Data Primer n 25 91 113 3 80 36 64 52 116 % 21,6 78,4 97,4 2,6 69,0 31,0 55,2 44,8 100.0

Tabel 2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa peresepan obat rasional untuk penyakit ISPA Non Pneumonia yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih rendah yaitu 35,3% kemudian peresepan obat rasional untuk penyakit Diare Non Spesifik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih rendah yaitu 44,8%. Distribusi sampel berdasarkan hasil diagnosa untuk penyakit ISPA Non Pneumonia paling banyak pada diagnosa jelas yaitu 80,2% kemudian untuk hasil diagnosa penyakit Diare Non Spesifik paling banyak untuk diagnosa jelas yaitu 82,8%. Berdasarkan sikap responden terhadap pedoman pengobatan, sikap responden yang positif masih rendah yaitu 33,6%, kemudian sikap responden terhadap penggunaan obat rasional dengan sikap positif lebih tinggi yaitu 80,2% dan sikap yang negatif lebih rendah yaitu 19,8%. Hasil penelitian juga ini menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan ketersediaan obat cukup tersedia paling banyak yaitu 80,2%.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

102

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 2 Distribusi Responden berdasarkan Peresepan Obat, Hasil Diagnosa, Sikap terhadap Pedoman pengobatan dan Sikap terhadap Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012 Variabel Peresepan ISPA Non Pneumonia Rasional Tidak Rasional Peresepan Diare Non Spesifik Rasional Tidak Rasional Hasil Diagnosa ISPA Non Pneumonia Jelas Tidak Jelas Hasil Diagnosa Diare Non Spesifik Jelas Tidak Jelas Sikap terhadap Pedoman Pengobatan Positif Negatif Sikap terhadap POR Positif Negatif Ketersediaan Obat Cukup tersedia Kurang tersedia Jumlah Data Primer Analisis Bivariat Tabel 3 Hubungan variabel dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012 Peresepan obat Rasional Tidak rasional n % n % 40 1 10 31 40 1 50.0 2,8 15,6 59,6 43,0 4,3 40 35 54 21 53 22 50,0 97,2 84,4 40,4 57,0 95,7 Jumlah n 80 36 64 52 93 23 % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0.000 33 8 35 6 30 11 84,6 10,4 37,6 26,1 32,3 47,8 6 69 58 17 63 12 15,4 89,6 62,4 73,9 67,7 52,2 39 77 93 23 93 23 100,0 100,0 0,340 100,0 100,0 0,223 100,0 100,0 0.000 p p 41 75 52 64 93 23 96 20 39 77 93 23 93 23 116 % 35,3 64,7 44,8 55,2 80,2 19,8 82.8 17,2 33,6 66,4 80,2 19,8 80,2 19,8 100,0

Variabel Tenaga kesehatan Dokter Perawat Masa Kerja Lama Singkat Hasil Diagnosa Jelas Tidak Jelas Sikap Terhadap Pedoman Pengobatan Positif Negatif Sikap terhadap POR Positif Negatif Ketersediaan Obat Cukup tersedia Kurang tersedia Data Primer

0.000 0.000

Tabel 3 Berdasarkan hasil analisis hubungan tenaga kesehatan (p=0,000), masa kerja (p=0,000), hasil diagnosa (p=0,000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0,000) dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dalam uji statistic Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna (p<0,05). Hubungan sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,340), ketersediaan obat Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 103

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

(p=0,223) dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dalam uji Chi-Suare (p>0,05). Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil analisis hubungan tenaga kesehatan (p=0,000), masa kerja (p=0,000), hasil diagnosa (p=0,000) dan sikap terhadap pedoman pengobatan (p=0,000) dengan peresepan obat untuk penyakit Diare Non Spesifik dalam uji statistic Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna (p<0,05). Hubungan sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,1000) dan ketersediaan obat (p=0,246) dengan peresepan untuk penyakit Diare Non Spesifik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dalam uji Chi-Square (p>0,05). Tabel 4 Hubungan variabel dengan peresepan obat untuk penyakit Diare Non Spesifik di Puskesmas Kota Makassar Tahun 2012 Peresepan obat Tidak rasional Rasional n % n % 47 5 9 43 47 5 58.8 13,9 14,1 82,7 49,0 25,0 33 31 55 9 49 15 41,3 86,1 85,9 17,3 51,0 75,0 Jumlah n 80 36 64 52 96 20 % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 0.000 39 13 42 10 39 13 100 16,9 45,2 43,5 41,9 56,5 0 64 51 13 54 0 83,1 54,8 56,5 58,1 10 39 77 93 23 93 43,5 100,0 100,0 0.1000 100,0 100,0 0,246 100,0 23 100,0 0.000 P

Variabel Tenaga kesehatan Dokter Perawat Masa Kerja Lama Singkat Hasil Diagnosa Jelas Tidak Jelas Sikap Terhadap Pedoman Pengobatan Positif Negatif Sikap terhadap POR Positif Negatif Ketersediaan Obat Cukup tersedia Kurang tersedia Data Primer Analisis Multivariat Tabel 5

0.000 0.000

Model Regresi Berganda Logistik Faktor Yang Berhubungan Dengan Peresepan Obat Untuk Penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik Di Puskesmas Kota Makassar 2012 Variabel B Nakes MasaKerja DiagIspa SikapPP Constant Nakes MasaKerja Sikap PP Constant Nakes MasaKerja DiagDiare Sikap PP Constant 1,708 -1,289 ,184 2,830 -2,691 1,674 -1,247 2,838 -2,521 -1,979 3,917 18,658 -22,167 -17,724 Wald 4,284 3,795 034 21,294 4,847 4,356 4,051 21,470 10,209 3,797 14,101 ,000 ,000 ,000 Sig. ,038 ,051 ,855 ,000 ,028 ,037 ,044 ,000 ,001 ,051 ,000 ,999 ,997 ,999 Exp(B) 5,518 ,276 1,202 16,947 ,068 5,335 ,288 17,077 ,080 ,138 50,229 1,2688 ,000 ,000
95% C.I.for EXP(B)

Lower 1,095 ,075 ,168 5,094 1,107 ,085 5,142 ,019

Upper 27,808 1,008 1,008 56,383 25,704 ,968 56,717 1,012

ISPA Non Pneumonia Step 1a

Step 2a

Diare Non Spesifik

6,503 387,937 ,000 . ,000 .

Data Primer Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 104

JURNAL PEMBAHASAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Berdasarkan hasil penelitian pada 37 Puskesmas dalam wilayah Kota Makassar dengan 116 responden tenaga kesehatan di peroleh hasil dari buku kunjungan, rekam medik dan buku pedoman pengobatan ditemukan bahwa 35,3% responden tidak meresepkan antibiotik untuk penyakit ISPA Non Pneumonia sehingga peresepan tersebut rasional sedangkan paling banyak yaitu 64,7% responden meresepkan antibiotik sehingga peresepan tersebut tidak rasional untuk penyakit ISPA Non Pneumonia. Demikian juga dengan 44,8% responden tidak meresepkan antibiotik untuk penyakit Diare Non spesifik sehingga peresepan tersebut rasional sedangkan paling banyak yaitu 55,2% responden meresepkan antibiotik sehingga peresepan tersebut tidak rasional untuk Diare Non spesifik. Dari hasil penelitian tersebut, tidak sesuai dalam Standar Pengobatan Dasar di Puskesmas dan Penatalaksanaan ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik karena tidak dianjurkan adanya penggunaan antibiotik tetapi lebih dianjurkan pasien istirahat dan banyak minum (Depkes, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peresepan obat rasional hanya dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dokter sebanyak 50,0% dan peresepan obat tidak rasional lebih banyak dilaksanakan oleh perawat yaitu sebesar 97,2% untuk diagnosa penyakit ISPA Non Pneumonia demikian pula untuk peresepan obat rasional untuk penyakit Diare Non Spesifik dengan tenaga kesehatan dokter sebesar 58.8% dibandingkan dengan peresepan obat tidak rasional yang dilakukan oleh perawat cukup tinggi sebesar 86,1%. Hasil analisis hubungan tenaga kesehatan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik dengan uji statistik Chi-Square di peroleh nilai p sebesar 0,000(P<0,05), hal ini menunjukaan bahwa ada hubungan yang bermakna dan antara tenaga kesehatan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian ini, di dapatkan informasi bahwa pelayanan pengobatan (Kuratif) di Puskesmas umumnya dilakukan oleh tenaga medik (dokter) dan tenaga paramedik (perawat/bidan) padahal yang mempunyai kompetensi untuk menulis resep adalah dokter dan perawat/bidan melakukan pelayanan pengobatan dan penulisan resep kepada pasien dengan asuhan keperawatan. Beberapa alasan bahwa pelayanan pengobatan dapat dilakukan oleh tenaga perawat/bidan karena kunjungan pasien lebih banyak dari tenaga medik yang melayani kemudian dokter puskesmas melakukan tugas tugas lain misalnya tugas manajerial, rapat koordinasi dan mengikuti pelatihan (Maharatu, 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peresepan obat tidak rasional umumnya dilakukan oleh tenaga dokter dan hampir semua perawat/bidan sebagai responden melakukan peresepan tidak rasional untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non spesifik. Dalam pelayanan pengobatan peresepan obat yang tidak rasional umumnya tidak disadari oleh para dokter. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap dokter selalu mengatakan bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang tidak rasional (kemenkes, 2011). Demikian pula dengan pelayanan pengobatan yang dilakukan oleh perawat/bidan cenderung menimbulkan risiko terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional. Hal ini mudah difahami karena perawat/bidan memang tidak memiliki kemampuan atau kompetensi yang diperlukan dalam pelayanan pengobatan karena perawat/bidan tidak di didik untuk mengobati (not to cure) tetapi untuk merawat (To care) dan mereka lebih mengandalkan pengalaman pribadi atau meniru suatu pengobatan dari dokter yang tidak mereka fahami sehingga no drugs needed, over prescribing dan there is pills in every ills terjadi pada pengobatan yang dilakukan oleh perawat/bidan (Quick J, 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk diagnosa penyakit ISPA Non Pneumonia peresepan obat yang tidak rasional dengan masa kerja yang lama lebih tinggi sebesar 84,4% dibandingkan dengan peresepan tidak rasional dengan masa kerja singkat lebih rendah sebesar 40,4%, kemudian untuk diagnosa penyakit Diare Non Spesifik peresepan obat tidak rasional dengan masa kerja lama lebih tinggi sebesar 85,9% kemudian peresepan obat rasional dengan masa kerja singkat lebih tinggi sebesar 82,7%. Hasil analisis hubungan antara masa kerja dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik dengan uji statistic Chi-square diperoleh nilai p sebesar 0.000 (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil yang sangat signifikan bahwa masa kerja mempengaruhi peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non spesifik. Dari gambaran diatas ternyata masa kerja yang lama lebih banyak berpengaruh pada peresepan obat tidak rasional, fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh telah terbiasanya atau pengalaman pribadi yang dimiliki tenaga kesehatan sudah cukup lama dalam pemberian obat pada pelayanan pengobatan dengan pola yang sama tanpa ada keluhan atau peristiwa yang merugikan pasien namun dengan bertambahnya pengalaman klinik dari tenaga kesehatan, maka kemampuan/keterampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi juga meningkat namun disisi lain pada saat yang bersamaan, kemampuan ilmiah akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses serta kinerja klinik akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan menurun secara bermakna (Signifikan). Sedangkan tenaga kesehatan yang memiliki masa kerja singkat masih ada sikap hati hati dalam memberikan

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

105

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

obat serta lebih sering sharing dengan tenaga tehnis kefarmasian di Puskesmas sebagai mitra kerja dalam pelayanan pengobatan terhadap Pasien (Joenes,2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan yang secara statistik bermakna p sebesar 0.000 (p<0,05) antara hasil Diagnosa dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di dapatkan informasi tenaga kesehatan yang menulis resep telah memahami kode diagnosa ISPA Pneumonia namun masih ada yang belum bisa membedakan antara gejala dengan diagnosa suatu penyakit terutama oleh perawat/bidan misalnya keberagaman hasil diagnosa yang merupakan salah satu dari gejala suatu penyakit suatu contoh untuk penyakit ISPA (1302) hanya dituliskan gejala dalam hasil diagnosisnya seperti batuk, pilek, demam/batuk, pusing/batuk sehingga tidak jelas dan tidak sesuai dengan pedoman pengobatan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata diperoleh informasi bahwa hasil diagnosa untuk penyakit Diare Non spesifik lebih mudah diketahui oleh tenaga kesehatan dan berdasarkan ciri khas dari kasus Diare dapat disimpulkan lebih mudah dan cepat oleh tenaga kesehatan yang melaksanakan pengobatan namun belum memahami kode diagnosa Diare Non Spesifik untuk ditulis dalam register pasien. Sikap terhadap pedoman pengobatan dengan hasil penelitian ini menunjukkan dari hasil wawancara terhadap 116 responden bahwa peresepan obat rasional dengan sikap positif terhadap pedoman pengobatan sebesar 84.6% ,kemudian peresepan obat tidak rasional dengan sikap negatif terhadap pedoman pengobatan lebih tinggi sebesar 89,6% untuk penyakit ISPA Non Pneumonia. Kemudian Hasil penelitian ini juga secara signifikan menunjukkan bahwa peresepan obat rasional dengan sikap positif terhadap pedoman pengobatan lebih tinggil sebesar 100% dan peresepan obat tidak rasional dengan sikap negatif terhadap pedoman pengobatan mencapai 83.1% untuk penyakit Diare Non spesifik. Kedua hasil tersebut diatas dianalisis bersama sama dengan uji statistik Chi-Square) nilai p sebesar 0.000 (p<0,05) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap terhadap pedoman pengobatan dengan peresepan obat untuk ISPA Non pneumonia dan Diare Non Spesifik. Dari hasil penelitian ini didapatkan informasi bahwa lebih banyak tenaga kesehatan memiliki sikap negatif terhadap pedoman pengobatan sehingga terjadi peresepan yang tidak rasional. Fenomena ini bisa saja terjadi karena adanya penolakan oleh para dokter terhadap suatu pedoman yang pada penyusunannya mereka tidak dilibatkan (Notoatmojo, 2007) atau berbagai alasan lain karena persepsi yang keliru terhadap pedoman pengobatan dan buku pedoman pengobatan belum pernah dilihat dan diketahui oleh tenaga kesehatan di Puskesmas. Sikap terhadap penggunaan obat rasional dan ketersediaan obat tidak menunjukkan hasil yang signifikan dengan peresepan obat untuk Penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditemukan bahwa tenaga kesehatan, masa kerja, hasil diagnosa, sikap terhadap pedoman pengobatan berhubungan dengan peresepan obat untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Sikap terhadap penggunaan obat rasional dan ketersediaan obat tidak berhubungan dengan peresepan untuk penyakit ISPA Non Pneumonia dan Diare Non Spesifik. Sikap terhadap pedoman pengobatan merupakan variabel yang paling berpengaruh pada peresepan obat ISPA Non Pneumonia dan Masa kerja merupakan variabel yang berpengaruh pada peresepan Diare Non Spesifik. Studi ini diharapkan bahwa pola peresepan yang rasional menjadi salah satu upaya dalam pengobatan kepada pasien dan pedoman pengobatan dasar di Puskesmas menjadi rujukan terapi bagi tenaga kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Depkes, RI,( 2005). Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Jakarta Depkes,RI.(2006). Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional. Jakarta. Depkes. RI.(2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta. Dinkes Prov. Sulsel, (2011). Laporan Pertemuan Pertemuan Pembekalan Penggunaan Obat Rasional, Makassar. Joenoes,Z.N, 2006. Ars Prescribendi Resep yang Rasional Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya. Kemenkes. RI,( 2011). Modul Penggunaan Obat Rasional, Jakarta. Maharatu,C.(2009). Dampak penggunaan antibiotik yang irrasional (Online) (http://cut Maharatu,wordpress.com) diakses pada 15 Januari 2012. Notoatmojo, (2007). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Prilaku Kesehatan, Penerbit FKM Universitas Indonesia. Jakarta. Quick.J.D, et al. (1997). Management Drug Supplay: Management Sciences For Health in Collaboration With The World Health Organization, 2-nd Edition, Reviced and Expanded, Kumarian Prress Inc..USA. WHO,(1993). How to investigate drugs use in health facilities selected drug use indicators, action programme on essential drugs, WHO geneva. (online) (http://apps.WHO.int/ medicine) di akses 4 Februari 2012

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

106

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) TERHADAP KADAR CHOLINESTERASE PETANI SAYUR PENGGUNA PESTISIDA DI LINGKUNGAN BULUBALLEA KABUPATEN GOWA Habibi, A. Arsunan Arsin 2, Anwar Daud 3 Staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT This study aims to find out the influence of the use personal protective equipment (PPE) on the level of cholinesterase enzym in vegetable farmers who use pesticides in Buluballea area, Pattapang village, Tinggimoncong subdistrict, Gowa District. The research used a quasi experimental design with a pre-post test control group design. The population was divide into two groups: the intervention group that was given treatment in the form of Personal Protective Equipment (PPE) while doing the spraying, and the control group. The sampling was conducted by using the purposive sampling technique and qualified inclusion. Measurenments were performed before and after intervention in each study group. The statistical analysis of data used the non-parametric test: Wilcoxon Signed Ranks Test. The study revealed that the mean value of cholinesterase enzym level in the intervention group was 83.25 (SD : 7.19) in the pre-test and 87.53 (SD : 3.98) in the post-test. Meanwhile, the mean value of cholinesterase enzym level in the control group was 83.25 (SD : 7.19) in the pre-test and 74.0 (SD : 6.96) in the post-test. Futhermore, the Wilcoxon Signed Ranks Test reveals that the p-value of the intervention group was 0.034; and the p-value of the control group was 0.001. It can be concluded that the use of Personal Protective Equipment (PPE) has a positive effect on the increase of cholinesterase enzym level. In contrast, if the PPE is not used, there can be a decrease of cholinesterase enzym level as an indicator of toxicity among vegetable farmers who use pesticides in Buluballea area, Pattapang village, Tinggimoncong subdistrict, Gowa District. Keywords: Personal Protective Equipment (PPE), cholinesterase enzym Pesticides PENDAHULUAN Penggunaan pestisida di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang semakin meningkat. Indonesia sebagai suatu negara agraris maka sektor pertanian menjadi sektor andalan, dimana lebih dari 40 juta penduduk Indonesia mempunyai mata pencaharian sebagai petani (Alkadri, 2007). Peranan pestisida dalam sistem pertanian sudah menjadi dilema yang sangat menarik untuk dikaji. Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali seringkali memberikan risiko keracunan pestisida bagi petani. Risiko keracunan pestisida ini terjadi karena penggunaan pestisida pada lahan pertanian khususnya sayuran (Runia, Y.A, 2008). Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat keracunan pestisida pada manusia adalah menurunnya aktivitas cholinesterase darah dalam tubuh setelah terpapar dengan pestisida (Brown, 2006). Salah satu penyebab dari terjadinya keracunan akibat pestisida adalah petani kurang memperhatikan penggunaan alat pelindung diri (APD) dalam melakukan penyemprotan dengan menggunakan pestisida. Berdasarkan hasil penelitian Yahya (2009), diperoleh data bahwa responden dengan penggunaan alat pelindung diri yang buruk memiliki rata-rata aktivitas cholinesterase 63,48%, sementara responden dengan penggunaan alat pelindung diri yang kurang memiliki rata-rata aktivitas cholinesterase 74,50%. Demikian halnya pada responden penggunaan alat pelindung diri baik menunjukkan rata-rata aktivitas cholinesterase yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 91,62%. Data lain menunjukkan bahwa keracunan pestisida pada petani dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan yaitu dari 1.010 petani yang diperiksa aktivitas cholinesterase darah menunjukkan 225 petani mengalami keracunan (22,7%) dengan tingkat keracunan ringan 201 petani (89,33), keracunan sedang 22 petani (9,78%) dan berat 2 petani (0,89%) (Dinkes Sul-Sel, 2007). Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang terkenal sebagai penghasil sayur-sayuran dan buahbuahan. Mata pencaharian masyarakat di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang sebagian besar berprofesi sebagai petani sayur (Profil Kelurahan Pattapang, 2012). Berdasarkan data tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat pelindung diri (APD) terhadap kadar enzim cholinesterase pada petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. level, Vegetable farmers,

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

107

JURNAL METODE PENELITIAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen pre-post test control groups design. Penelitian ini dilaksanakan di Lingkungan Buluballea, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Waktu penelitian dilaksanakan sejak tanggal 25 April 2012 sampai dengan 14 Juni 2012. Pengukuran kadar enzim cholinesterase dilakukan sebelum dan setelah intervensi pada masing-masing kelompok penelitian. Populasi dan Sampel Populasi adalah seluruh petani sayur pengguna pestisida yang ada di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kabupaten Gowa yang terdiri dari 183 orang. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah secara purposive sampling. Subjek penelitian adalah anggota populasi penelitian yang memenuhi syarat inklusi meliputi bersedia menjadi responden, status kesehatan baik, jenis kelamin laki-laki, rentang umur 20-40 tahun, status gizi baik dengan masa kerja 1 s/d 30 tahun. Lokasi Penelitian Sebelum pelaksanaan pre test, responden dianjurkan untuk tidak kontak dengan pestisida selama 1 minggu sebelum pemeriksaan. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan komputer program SPSS versi 16.00 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang yang terbagi dalam 20 orang sebagai kelompok intervensi dan 20 orang sebagai kelompok kontrol. Distribusi responden berdasarkan karakteristik data demografi dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1. Distribusi responden berdasarkan karakteristik data demografi responden di Lingkungan Buluballea, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa, Mei-Juni 2012 50 SMP/ SMA/ Perguruan 0

29 s/d 31

SD/ sederajat

20 s/d 22

23 s/d 25

26 s/d 28

32 s/d 34

35 s/d 37

38 s/d 40

6 s/d 10

11 s/d 15

16 s/d 20

21 s/d 25

Kelompok umur (tahun) Data Primer

Pendidikan

Masa kerja (tahun)

Hasil pengukuran kadar enzim cholinesterase pada kedua kelompok intervensi dan kontrol (pre test dibandingkan terhadap post test) dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 2. Distribusi hasil pengukuran kadar enzim cholinesterase pada kedua kelompok intervensi dan kontrol di Lingkungan Buluballea, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa, Mei-Juni 2012

Kadar Enzim Cholinesterase


88 86 84 82 80 Pre test Post test Kelompok Intervensi Data Primer

85 80 75 70 65

Kadar Enzim Cholinesterase

Pre test

Kelompok Kontrol

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

26 s/d 30 Post test

1 s/d 5

108

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Jenis masalah kesehatan yang sering dialami oleh responden setelah melakukan penyemprotan dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Distribusi responden berdasarkan jenis masalah kesehatan yang sering dialami responden setelah penyemprotan di Lingkungan Buluballea, Kelurahan Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa, MeiJuni 2012

Keringat

Keluar air mata

Badan lemas

Sempoyongan

Sakit kepala

Mata kabur

Jenis Masalah Kesehatan Data Primer Hasil analisis uji statistik pengaruh penggunaan APD terhadap kadar enzim cholinesterase pada petani sayur pengguna pestisida dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh penggunaan APD terhadap kadar enzim cholinesterase pada petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa, Mei-Juni 2012 Pre Test Std. Deviasi 7,19 7,19 Post Test Std. Deviasi 3,98 6,96 Sig. (=0.05) 0.034 0,001

Kelompok Responden Intervensi Kontrol Data Primer PEMBAHASAN

Mean 83,25 83,25

Mean 87,53 74,0

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Penggunaan alat pelindung diri dalam penelitian ini adalah penggunaan alat proteksi diri untuk menghindari kontak dengan pestisida pada saat melaksanakan aplikasi pestisida, yang meliputi: penutup kepala, berupa topi atau helm, pelindung mulut dan lubang hidung (masker), pelindung mata (kacamata, goggles, spray shield), sarung tangan dari bahan yang tidak tembus air, pelindung kaki (sepatu boot) serta baju lengan panjang dan celana panjang. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 40 responden yang terpilih, ditemukan hanya 2 (5,0%) responden yang memiliki kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap, dan selebihnya berjumlah 38 (95,0%) responden memiliki kebiasaan tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian bahwa banyak faktor yang bisa melatarbelakangi rendahnya penggunaan alat pelindung diri (APD) secara lengkap pada petani sayur pengguna pestisida, khususnya faktor intrinsik dari para petani sayur seperti motivasi, pengetahuan dan tingkat sosial ekonomi. Dalam hal ini, motivasi yang dimaksud adalah motivasi para petani sayur pengguna pestisida untuk menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap. Sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden berhubungan dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) termasuk jenis-jenis APD serta manfaatnya jika digunakan secara baik dan terus-menerus selama para petani kontak dengan pestisida. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab rendahnya penggunaan alat pelindung diri (APD) pada petani sayur pengguna pestisida adalah tingkat sosial ekonomi responden yang relatif berada dalam kategori menengah kebawah. Sehingga kebutuhan akan penggunaan alat pelindung diri (APD) tidak menjadi hal prioritas bagi mereka.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

Susah konsentrasi

Sesak napas

Kehilangan

30 25 20 15 10 5 0

Sakit otot

Mual

Sakit perut

Kram

Pusing

Sakit dada

Diare

109

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Gambaran Kadar enzim Cholinesterase Kadar enzim cholinesterase dalam penelitian ini adalah kadar yang menunjukkan tingkat keracunan petani setelah terpapar pestisida. Kadar enzim cholinesterase pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa pada saat pre test diperoleh nilai minimum 62,5, nilai maksimum 87,5, nilai median 87,5 serta nilai rata-rata 83,25 (7,19). Sedangkan pada saat post test diperoleh nilai minimum 75,5, nilai maksimum 100, nilai median 87,5 serta nilai rata-rata 87,53 (3,98). Hasil ini menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi yang diberikan alat pelindung diri (APD) secara lengkap cenderung mengalami peningkatan kadar enzim cholinesterase dan atau minimal mempertahankan kadar enzim cholinesterase. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang lengkap diyakini dapat menghambat atau mencegah masuknya pestisida ke dalam tubuh manusia melalui route apapun. Demikian sebaliknya pada kelompok kontrol, kadar enzim cholinesterase menunjukkan bahwa pada saat pre test diperoleh nilai minimum 62,5, nilai maksimum 87,5, nilai median 87,5 serta nilai rata-rata 83,25 (7,19). Sedangkan pada saat post test diperoleh nilai minimum 62,5, nilai maksimum 87,5, nilai median 75,5 serta nilai rata-rata 74,0 (6,96). Pada kelompok kontrol, tidak ditemukan adanya responden yang mengalami peningkatan kadar enzim cholinesterase, sebanyak 5 (25,0%) responden yang memiliki kadar enzim cholinesterase yang tetap dan sebanyak 15 (75,0%) responden mengalami penurunan kadar enzim cholinesterase. Hasil penelitian ini memberikan makna bahwa pada kelompok petani sayur pengguna pestisida yang melakukan penyemprotan tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) secara lengkap memiliki kecenderungan mengalami penurunan kadar enzim cholinesterase yang merupakan indikator keracunan akibat penggunaan pestisida. Pengaruh penggunaan alat pelindung diri (APD) terhadap kadar enzim cholinesterase Kadar enzim cholinesterase pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa pada saat pre test diperoleh nilai rata-rata 83,25 (7,19) dan pada saat post test diperoleh nilai rata-rata 87,53 (3,98). Sedangkan kadar enzim cholinesterase pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa pada saat pre test diperoleh nilai rata-rata 83,25 (7,19) dan pada saat post test diperoleh nilai rata-rata 74,0 (6,96). Dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test didapatkan nilai p=0,034 pada kelompok intervensi yang berarti bahwa ada pengaruh penggunaan alat pelindung diri (APD) terhadap kadar enzim cholinesterase pada petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kabupaten Gowa. Penggunaan alat pelindung diri memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan kadar enzim cholinesterase. Sedangkan pada kelompok kontrol, berdasarkan uji Wilcoxon Signed Ranks Test didapatkan nilai p=0,001. Hasil ini memberikan makna bahwa tanpa penggunaan alat pelindung diri (APD) memiliki pengaruh negatif terhadap kadar enzim cholinesterase, dalam hal ini dapat menurunkan kadar enzim cholinesterase yang merupakan indikator keracunan pada petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kabupaten Gowa. Alat pelindung diri (APD) dapat menaikkan kadar enzim cholinesterase, karena APD sebagai alat untuk memproteksi racun yang masuk kedalam tubuh, dimana racun masuk dalam tubuh melalui tiga cara yaitu melalui kulit (dermal), melalui hidung (inhalasi), melalui mulut (oral), dengan adanya APD yang lengkap dapat memproteksi racun atau meminimalisir jumlah racun masuk kedalam tubuh sehingga enzim cholinesterase dapat bekerja dengan baik tanpa ikatan dari golongan pestisida organofosfat dan karbamat yang dapat menghambat kerja enzim cholinesterase. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Xiang et al. (2000) dalam Runia Y A (2008) bahwa penggunaan alat pelindung diri (APD) selama aplikasi terhadap pestisida mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian keracunan (p-value = 0,001; OR = 0,8; 95% CI = 0,6-1,07). Penelitian penggunaan alat pelindung diri (APD) secara lengkap mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap cholinesterase darah responden. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yahya (2009), bahwa responden dengan penggunaan alat pelindung diri yang buruk memiliki rata-rata kadar enzim cholinesterase 63,48%, sementara responden dengan penggunaan alat pelindung diri yang kurang memiliki rata-rata kadar enzim cholinesterase 74,50%. Demikian halnya pada responden penggunaan alat pelindung diri baik menunjukkan rata-rata kadar enzim cholinesterase yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 91,62%. Dengan interpretasi akhir menunjukkan ada pengaruh penggunaan alat pelindung diri pada saat mengaplikasikan pestisida golongan organofosfat dan karbamat terhadap tingkat kadar enzim cholinesterase darah petani sayur di Desa Kanreapia, dengan nilai p=0,000. Hasil penelitian lain yang mendukung telah dilakukan oleh Shayegi, et al (2009), menunjukkan bahwa dari 108 petani di Iran yang telah diperiksa kadar cholinesterasenya ditemukan sebanyak 40 (37,0%) responden yang tidak mengalami keluhan setelah melakukan penyemprotan karena menggunakan alat pelindung diri dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakan alat pelindung diri sebanyak 68 (63,0%) responden mengalami keluhan-keluhan kesehatan berupa sakit kepala atau pusing.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

110

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Dampak penurunan kadar enzim cholinesterase terhadap kesehatan Perubahan kadar enzim cholinesterase dalam penelitian ini adalah besarnya nilai perubahan atau selisih kadar cholinesterase setelah dan sebelum pemberian alat pelindung diri (APD) pada petani sayur pengguna pestisida. Pengukuran perubahan kadar enzim cholinesterase dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu meningkat dan menurun. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa jenis masalah kesehatan terbanyak yang sering dialami responden setelah penyemprotan adalah pusing yaitu sebanyak 29 responden, kemudian berturut-turut badan lemas sebanyak 27 responden, sakit kepala dan sakit otot masingmasing sebanyak 25 responden, keringat berlebihan, kram dan mual masing-masing sebanyak 18 responden dan jumlah paling sedikit yang mengalami kehilangan kesadaran yaitu sebanyak 1 responden. Menurut Sarma (2009) bahwa gejala keracunan akibat menurunnya kadar cholinesterase yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang masuk melalui (peroral), hidung (inhalasi), kulit (perkutan) akan ditandai dengan gejala klinis yaitu sakit kepala, pusing dan sesak napas. Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa gejala atau keluhan kesehatan yang dirasakan responden bergantung pada beberapa hal, salah satunya adalah route atau cara pestisida masuk ke dalam tubuh responden. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut atau hidung tentu memberikan efek/ gejala gangguan kesehatan yang berbeda saat pestisida kontak dengan kulit. Selain itu, juga dipengaruhi oleh jenis racun/ pestisida dan daya tahan tubuh responden yang bervariasi. Strategi pengendalian keracunan akibat penurunan kadar enzim cholinesterase. Strategi individu adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas inisiatif sendiri oleh petani sayur pengguna pestisida pada saat mengalami gangguan kesehatan yang diyakininya sebagai suatu gejala keracunan akibat keterpaparan pestisida. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa strategi individu terbanyak dalam pengendalian keracunan adalah mandi yaitu sebanyak 16 (40,0%) responden. Menurut pemahaman responden, diyakininya bahwa mandi dengan menggunakan air bersih dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala-gejala keracunan yang mungkin dialami setelah melakukan penyemprotan. Strategi kultural adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas pertimbangan kebiasaan/ budaya setempat oleh petani sayur pengguna pestisida pada saat mengalami gangguan kesehatan yang diyakini sebagai suatu gejala keracunan akibat keterpaparan pestisida. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa strategi kultural terbanyak dalam pengendalian keracunan adalah minum air kelapa yaitu sebanyak 34 (85,0%) responden. Menurut pendapat beberapa responden, bahwa sebagian besar masyarakat setempat di Lingkungan Buluballea memiliki keyakinan yang sama bahwa air kelapa mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala-gejala keracunan yang mungkin dialami setelah melakukan penyemprotan atau lebih tepatnya dapat berfungsi sebagai penawar racun/ pestisida. Secara kultural petani sayur pengguna pestisida dibuluballea banyak menjadikan air kelapa sebagai penawar racun, menurut para herbalis mengatakan bahwa air kelapa dijadikan sebagai penawar racun karena banyak mengandung unsur makro berupa nitrogen dan karbon, unsur nitrogennya tersusun dari asam amino (alanin, sistin, arginin, alin, dan serin). Sementara unsur karbonnya berupa glukosa, sukrosa, fruktosa, sorbitol, dan beberapa unsur kecil lain. Selain unsur makro berupa mineral yang dapat mengganti ion tubuh. Selain itu air kelapa mengandung vitamin C, beberapa yang dominan adalah asam folat, asam pantotenat, biotin dan juga riboflavin. Air kelapa juga mengandung potassium (kalium), gula (1,7 % - 2,6 %) dan protein (0,07 % - 0,55 % ). Strategi struktur adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas pertimbangan struktur/ organisasi setempat termasuk kelompok tani oleh petani sayur pengguna pestisida pada saat mengalami gangguan kesehatan yang diyakini sebagai suatu gejala keracunan akibat keterpaparan pestisida. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa sebagian responden tidak memiliki strategi struktur dalam pengendalian keracunan yaitu sebanyak 37 (92,5%) responden dan sisanya hanya 3 (7,5%) responden yang memiliki strategi struktur dengan ke puskesmas. Sebagian besar responden beranggapan bahwa di Lingkungan Buluballea belum memiliki strategi struktur dalam pengendalian keracunan. Dalam hal pengendalian keracunan, dominan para petani sayur hanya menggunakan sumber daya individu. Strategi pelayanan kesehatan adalah segala upaya atau tindakan yang dilakukan atas pertimbangan pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan oleh petani sayur pengguna pestisida pada saat mengalami gangguan kesehatan yang diyakini sebagai suatu gejala keracunan akibat keterpaparan pestisida. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap responden, diperoleh data bahwa strategi pelayanan kesehatan terbanyak dalam pengendalian keracunan adalah ke puskesmas yaitu sebanyak 10 (25,0%) responden dan sebanyak 13 (32,5%) responden yang tidak memiliki strategi pelayanan kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih sebagian kecil petani sayur belum memahami strategi dalam pengendalian keracunan akibat penurunan kadar enzim cholinesterase. Hal dimungkinkan oleh karena sebagian besar responden belum mampu membedakan gejala atau gangguan kesehatan yang dikaitkan akibat keracunan dengan yang diakibatkan oleh faktor lain.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

111

JURNAL KESIMPULAN DAN SARAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Penggunaan alat pelindung diri (APD) memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan kadar enzim cholinesterase. Sebaliknya jika tidak menggunakan APD secara lengkap, dapat menurunkan kadar enzim cholinesterase yang merupakan indikator keracunan pada petani sayur pengguna pestisida di Lingkungan Buluballea Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Setelah dilakukan penelitian dan diperoleh suatu kesimpulan, maka peneliti ingin memberikan beberapa saran yaitu, diharapkan para petani sayur pengguna pestisida khususnya seluruh responden kiranya dapat menggunakan APD secara lengkap selama melakukan penyemprotan atau kontak dengan pestisida dan Perlu adanya penyuluhan kesehatan tentang penggunaan alat pelindung diri (APD) dan pengelolaan pestisida sesuai dengan prosedur yang benar. Selain itu perlu adanya pemeriksaan cholinesterase darah secara berkala untuk mendeteksi secara dini tingkat keracunan yang dialami petani, sehingga dapat mencegah terjadinya efek keracunan dalam jangka panjang (keracunan kronik). Perlu adanya kerjasama dinas kesehatan, dinas pertanian dan tenaga kerja untuk memperhatikan kesehatan kerja sektor informal, khususnya pertanian karena mayoritas penduduk bekerja pada sektor pertanian. DAFTAR PUSTAKA Afrianto. (2008). Tesis. Kajian Keracunan Pestisida Pada Petani Penyemprot Cabe Di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Alkadri, Wan. (2007). Pengembangan Kabupaten/ Kota Sehat. Ditjen PP & PL Depkes RI. Jakarta. Brown, A. E. (2006). Cholinesterase Testing. http://pmep.cce.cornell.edu. Departemen Kesehatan RI. (1994). Pemeriksaan Cholinesterase Darah Dengan Tintometer Kit. Jakarta. Fatmawati. (2006). Pengaruh Penggunaan 2,4-D (2,Dichlor phenoxyaceticacid) terhadap Status Kesehatan Petani Penyemprot di Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan. J.Med. Nus Vol. 27 No.1. Makassar. Gallo M.A. (1991), Lawryk N.J. Organic Phosphorus Pesticides. Handbook of Pesticide Toxicology. Kachaiyapum P, et. al. (2010). Serum Cholinesterase Level of Thai Chilli Farm Workers Exposed to Chemical Pesticides :Prevalence Estimates and Associated Factors. Journal of Occupational Health. Faculty of Public Health. Mahidol University. Thailand Johnson, M.P. et.al. (2000). Personal Protective Equipment For Pesticide Applicators. University Of Kentucky. Inggris. Leilani J. (2007). Journal of Occupational Health Medicine and Toxicology. National Institutes of Health. University of the Philippines. Manila. Lu F.C. (1995). Toksikologi Dasar. Edisi 2. UI-Press. Jakarta. Munaf, S. (1997). Keracunan Akut Pestisida; Teknik Diagnosis Pertolongan Pertama Dan Pencegahannya. Widya Medika. Cetakan Pertama. Jakarta. PanAP. (2001). Awas Pestisida Berbahaya Bagi Kesehatan. Pesticide Action Network Asia And Pasifik Prihadi. (2007). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Efek Kronis Keracunan Pestisida Organofosfat pada Petani Sayuran di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang . Tesis Magister Kesehatan Lingkungan UNDIP, Semarang. Runia, Y.A. (2008). Tesis. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Rustia, H.N, dkk. (2010). Pengaruh Lama Pajanan Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Cholinesterase Dalam Darah Petani Sayuran Di Kelurahan Campang Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus, Lampung. Sarma, BR dan Bano S. (2009). Human Acetyl Cholinesterase Inhibition by pesticide Exposure . Journal of Chinese Medicine Vol.4 No.1 Sastroutomo, S.S. (1992). Pestisida; Dasar-Dasar Dan Dampak Penggunaannya. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Shayegi, et. Al. (2009). Cholinesterase Activity Among Spray Workers in Iran . Pakistan Journal of Biology Sciences. Tehran University of Medical Sciences. Iran Sumamur, PK. (1996). Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. PT.Toko Gunung Agung. Jakarta. Wudianto, R. (2007). Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Yuliana. (2006). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Diet Pada Pasien DM Pada Poliklinik BLU RSWS. Universitas Hasanuddin .Makassar Yahya. (2009). Tesis. Pengaruh Penggunaan Pestisida Golongan Organofosfat Dan Karbamat Terhadap Aktivitas Cholinesterase Darah Petani Sayur Di Desa Kanreapia Kecamatan Tombolopao Kabupaten Gowa. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

112

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

PENENTU KADAR GLUKOSA DARAH TERKONTROL PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RS BLUD PROPINSI SULAWESI TENGGARA Ilham Hilal1, A. Zulkifli Abdullah2, Mappeaty Nyorong3
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT

The aim of the research was to analyze the relationship of the determinants of controlled blood glucose level of diabetes mellitus patient type 2 in BLUD Hospital Southeast Sulawesi Province in 2012. The research was an observational study with cross sectional study. the population were all patients having medical treatment in BLUD Hospital of Southeast Sulawesi, the sample consisted of 253 people, the data were processed by using SPSS program and analised by using chi sguare and logistic regression test witw =0.05. The results reveal that obedience on diet has a value of p = 0.000 (p <0.05), physical exercise p = 0.049 (p <0.05), stress level p = 0.004 (p <0.05), obedience to take glycemic medicine p = 0.002 (p <0.05), and the use of traditional / herbal p = 0.000 (p <0.05). It can be conclude that there is a relationship of the determinant of controlled blood glucose level of diabetes mellitus patient type 2. The most variable affecting the determinant of controlled blood glucose level is obedience to take glycemic medicine with the wald value of 28.1. Key words: diabetes mellitus, obedience on diet, glycemic medicine, stress level. PENDAHULUAN Diabetes melitus yang dikenal sebagai non communicable disease adalah salah satu penyakit gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Berdasarkan Laporan (WHO) tahun 1995, prevalensi penyakit diabetes melitus di dunia adalah sebesar 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi 5,4%. Di negara maju, jumlah penyakit diabetes melitus pada tahun 1995 adalah sebesar 51 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat mencapai 72 juta orang. Sementara itu, di negara sedang berkembang jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat dari 84 juta orang menjadi 228 juta orang. Diperkirakan jumlah tersebut akan naik melebihi 250 juta orang pada tahun 2025 (Wiyono, 2004). Jumlah penderita diabetes di daerah perkotaan di Indonesia pada tahun 2003 adalah 8,2 juta orang, sedangkan di daerah pedesaan 5,5 juta orang. Diperkirakan, 1 dari 8 orang di Jakarta mengidap diabetes. Tingginya jumlah penderita di daerah perkotaan, antara lain disebabkan karena perubahan gaya hidup masyarakatnya (Soegondo, 2010). Berdasarkan data 10 penyakit terbesar rawat inap RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara cukup tinggi yaitu pada tahun 2006 berjumlah 925 (3,91%) dari total rujukan 23.685 kasus, tahun 2007 berjumlah 589 (2,36%) dari total rujukan 24.908 kasus,sedangkan tahun 2008 terjadi peningkatan 738 (3,20%) dari total rujukan 22.966 kasus.selain peningkatan rujukan, jumlah pasien rawat jalan pun mengalami peningkatan, yaitu pada bulan November 2009 sekitar 58 orang kemudian pada bulan Desember naik menjadi 112 orang (Medical Record RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengontrol kadar glukosa darah, iantaranya edukasi, kepatuhan diet, latihan jasmani, kendalikan stress, dan minum obat glikemik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa besar hubungan penentu kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012. BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitiandan Lokasi Penelitian dilakukan di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan Cross Sectional. Populasi dan Sampel Populasi adalah adalah semua pasien yang dirawat Di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara. Sampel sebanyak 253 orang, sampel yang dipilih secara non random (non-probality sampling) melalui teknik purposive sampling, yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu penderita diabetes mellitus yang menjalani pengobatan dan perawatan di RS BLUD propinsi Sulawesi Tenggara dan bersedia mengikuti penelitian ini.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

113

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Analisis Data Data diolah dengan menggunakan SPSS. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui seberapa besar hubungan terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol digunakan analisis Chi-Square Test (tabel 2 x 2). Analisis multivariat untuk mengetahui kekuatan hubungan yang bermakna terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol digunakan uji Regresi Logistik. Sedangkan untuk mengetahui adanya confounding digunakan analisis stratifikasi. HASIL Karakteristik Responden Tabel 1 menunjukkan karakteristik penderita diabetes mellitus tipe 2 yang menjadi sampel pada penelitian ini. Distribusi umur yang paling banyak pada penderita dengan umur 50 59 tahun yaitu sebanyak 39,9% dan paling sedikit pada penderita dengan umur 70 - 79 tahun yaitu sebanyak 5,9%, dimana kadar glukosa darah terkontrol paling banyak pada penerita umur 60 69 tahun yaitu sebanyak 20,0 %, dan yang tidak terkontrol pada umur 30 -39 tahun yaitu sebanyak 90,0%. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Diabetes Mellitus Tipe 2 di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Kadar Glukosa Darah Terkontrol Terkontrol Tidak Terkontrol (Normal) (Tinggi) n % n % 1 10 18 15 2 22 24 17 6 9 2 12 32 9 3 2 10,0 19,2 17,8 20,0 13,3 18,2 18,2 19,3 14,3 21,4 13,3 18,2 18,1 15,5 25,0 33,3 9 42 83 60 13 99 108 71 36 33 13 54 145 49 9 4 90,0 80,8 82,2 80,0 86,7 81,8 81,8 80,7 85,7 78,6 86,7 81,8 81,9 84,5 75,0 66,7

Variabel

Total n 10 52 101 75 15 121 132 88 42 42 15 66 177 58 12 6 % 4,0 20,6 39,9 29,6 5,9 47,8 52,2 34,8 16,6 16,6 5,9 26,1 70,0 22,9 4,7 2,4

Umur 30 39 40 49 50 59 60 69 70 79 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jenis Pekerjaan IRT PNS Swasta Petani Pensiunan Lama Menderita 1 -4 59 10 14 15-19 Data Primer

Distribusi jenis kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin responden umumnya perempuan yaitu 132 orang (52,2%), sedangkan laki-laki sebanyak 121 orang (47,8%). Perbedaan jenis kelamin terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol sama banyak, responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) sama banyak antara laki-laki dan perempuan masing-masing 18,2%, begitu juga responden yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) sama banyak antara laki-laki dan perempuan masing-masing 81,8%. Distribusi pada jenis pekerjaan menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi pekerjaan responden adalah IRT yaitu 88 orang (34,8%) sedangkan frekuensi terendah adalah petani sebanyak 15 orang (5,9%). Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak bekerja sebagai pegawai swasta sebanyak 9 orang (21,4%) dan paling sedikit bekerja sebagai petani yaitu 2 orang (13,3%). Responden yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak mempunyai pekerjaan petani sebanyak 13 orang (86,7%) dan paling sedikit yang bekerja sebagai petani yaitu pegawai swasta yaitu 33 orang (86,7%). Distribusi pada lama menderita menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi lama sakit DM responden adalah 1-4 tahun yaitu 177 orang (70,0%) sedangkan frekuensi terendah adalah 15-19 tahun yaitu 6 orang (2,4%). Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak mempunyai lama sakit 1 - 4 tahun yaitu 32 orang (18,1%) dan paling sedikit 15 19 tahun yaitu 2 orang (33,3%). Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 114

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Responden yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak mempunyai lama sakit 1 - 4 tahun yaitu 145 orang (81,9%) dan paling sedikit 15 19 tahun yaitu 4 orang (66,7%). Analisis Pada tabel 2 menunjukkan bahwa kepatuhan diet berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,000 (p<0,05) dan nilai phi=0,275 yang berarti hubungan sedang. Tabel 2. Besar Hubungan Penentu Kadar Glukosa Darah Terkontrol Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di RS BLUD Propinsi Sulawesi TenggaraTahun 2012 Kadar Glukosa Darah Terkontrol Tidak Terkontrol terkontrol (Normal) (Tinggi) n % n % 40 6 26 20 28 18 27,0 5,7 23,6 14,0 26,4 12,2 108 99 84 123 78 129 73,0 94,3 76,4 86,0 73,6 87,8

Variabel

Total n 148 105 110 143 106 147 % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Kepatuhan Diet Patuh Tidak Patuh Latihan Jasmani Cukup Kurang Tingkat stress Stres Ringan Stres Berat Kepatuhan Minum Obat Glikemik Teratur Tidak Teratur Penggunaan Obat Tradisional/herbal Minum Tidak Minum Data Primer

0,000 0,272 0,049 0,124 0,004 0,181 0,002 0,196

37 9

24,3 8,9

115 92

75,7 91,1

152 101

100,0 100,0

41 5

26,3 5,2

115 92

73,7 94,8

156 97

100,0 100,0

0,000 0,266

Latihan jasmani berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,049 (p<0,05) dan nilai phi=0,124 yang berarti hubungan lemah. Tingkat stress berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,004 (p<0,05) dan nilai phi=0,181 yang berarti hubungan lemah. Kepatuhan minum obat glikemik berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,002 (p<0,05) dan nilai phi=0,196 yang berarti hubungan lemah. Penggunaan obat tradisional/herbal berhubungan dengan penentu kadar glukosa darah terkontrol di mana nilai p=0,000 (p<0,05) dan nilai phi=0,266 yang berarti hubungan sedang. Tabel 3. Hasil Analisis Stratifikasi Kepatuhan minum obat glikemik dengan Penentu Kadar Glukosa Darah Terkontrol pada Penderita Diabetes Mellitus Berdasarkan Penggunaan Obat Tradisional/Herbal Di RS BLUD Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012 Penggunaan Obat Tradisional/Herbal Minum Tidak Minum RR Crude RR MH Data Primer : 1.20396 : 1.333556 Kadar Glukosa Darah Terkontrol Terkontrol Tidak terkontrol (normal (tinggi) 27 (81,82) 6 (18,18) 17 (34,69) 32 (65,31) 3 (17,65) 14 (82,35) 7 (11,11) 56 (88,89)

RR 1.516174 1.071429

Analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (kontribusi) terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol adalah 77% (P = 0,77 dengan nilai y = 1,19) pada kepatuhan diet, latihan

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

115

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

jasmani, tingkat stress, kepatuhan minum obat glikemik, penggunaan obat tradisional dengan formula P = 1/(1+exp-y) (tabel 3). Penggunaan obat tradisional/herbal mempengaruhi hubungan kepatuhan minum obat glikemik terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol, dimana nilai RR Crude = 1.20396 dan nilai RR MH = 1.333556. Selisih perbedaan yaitu RR Crude RR MH / RR Crude x 100% =-10,76414 = 10 %. Terdapat selisi perbedaan antara RR Crude dengan RR MH mencapai 10% - 20%, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel penggunaan obat tradisional/herbal merupakan variabel pengganggu terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol pada penderita diabetes mellitus. (tabel 4). Tabel 4. Variabel Yang Paling berhubungan dengan kadar glukosa darah terkontrol di RSUD BLUD Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012. B 2,409 1,602 1,793 3,123 3,578 -11,313 Wald 19,557 11,231 13,512 28,110 27,580 37,571 P 0,000 0,001 0,000 0,000 0,000 0,000 Exp (B) 11,125 4,961 6,010 22,710 35,800 11,125

Variabel Kepatuhan Diet Latihan Jasmani Tingkat Stres Kepatuhan Minum Obat Glikemik Penggunaan Obat Tradisional/herbal Constant Data Primer PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel independen (kepatuhan diet, latihan jasmani, tingkat stress, kepatuhan minum obat glikemik dan penggunaan obat tradisional/herbal) berpengaruh secara signifikan dimana nilai p<0,05 yang berarti ada hubungan penentu kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Kepatuhan diet Kepatuhan diet adalah tingkat kesediaan responden untuk mematuhi diet diabetes mellitus yang dianjurkan, berdasarkan 3 (tiga) criteria yaitu 3 J (tepat jumlah kalori, tepat jadwal atau pola makan, dan tepat jenis bahan makanan yang sesuai dengan ketentuan (Slamet, 2011). Responden yang tidak dapat melakukan pengendalian kadar glukosa darah dengan cara kepatuhan diet disebabkan karena responden tidak dapat mengendalikan napsu makan, merasa telah terkontrol normal kadar glukosa darahnya karena pemberian obat diabetes dari dokter, sehingga merasa tidak perlu menjalankan diet dengan baik, selain itu karena adanya komplikasi dengan penyakit lain misalnya TB yang memerlukan kebutuhan kalori yang tinggi, kemudian responden juga belum memahami jumlah, jadwal, serta jenis dari bahan makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sunardi, (2009) yang menyatakan Hubungan yang bermakna antara kepatuhan klien Diabetes Mellitus dalam menjalankan terapi diet dengan kadar gula darah (p=0.031). Latihan jasmanai adalah Aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dan terencana. Latihan jasmani bagi penderita diabetes harus dilakukan secara rutin dan teratur 2 - 3 kali/minggu selama 20 - 30 menit. Dalam melakukan latihan jasmani perlu diperhatikan keadaan penderita diabetes dan jenis latihan jasmani yang akan dijalankan, prinsip latihan jasmani pada diabetes adalah pemilihan jenis latihan , pada diabetes latihan jasmani yang dipilih sebaiknya latihan jasmani disenangi, dan yang mungkin untuk dilakukan oleh diabetesi, disamping itu selain dapat meningkatkan kesehatan juga dapat meningkatkan kebugaran diabetisi (Waspadji, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden melakukan latihan jasmani kurang yaitu 143 orang (56,5%) sedangkan yang melakukan latihan jasmani cukup sebanyak 110 orang (43,5%). Latihan jasmani merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan, mengingat responden mempunyai kesibukan sehingga hampir tidak ada waktu untuk melakukan latihan jasmani secara teratur, selain itu kendala fisik penderita diabetes itu sendiri yang mengalami amputasi, luka dibagian kaki serta komplikasi lainya seperti komplikasi asma, kelemahan dan hepatits, kemudian lagi-lagi kendala kurangnya pengetahuan dan informasi, terutama sebagian penderita diabetes yang aktif PNS ataupun pensiunan tidak mengetahui kalau pihak ASKES mengadakan senam diabetes secara rutin. Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak melakukan latihan jasmani cukup yaitu 26 orang (23,6%) dibandingkan yang kurang yaitu 20 orang (14,0%). Sedangkan yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak melakukan latihan jasmani kurang yaitu 123 orang (86,0%) dibandingkan yang cukup yaitu 84 orang (76,4%). Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,049 (p<0,05) yang berarti ada hubungan latihan jasmani dengan kadar glukosa darah terkontrol. Latihan Jasmani secara langsung dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif, dan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka sehingga lebih banyak tersedia reseptor insulin, dan reseptor insulin menjadi lebih aktif dan

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

116

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

lebih berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes sehingga terjadi perubahan pada kadar glukosa darah (Ermita, 2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Puji Indriyani, et al. (2007) yang menyatakan ada pengaruh latihan fisik: senam aerobik terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga (p=0.0001) dengan penurunan rata rata sebesar 30,14 mg%. Seorang penderita diabetes (diabetisi), apabila mengalami stress berat maka kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) sehingga memperburuk keadaan penderita diabetes. Untuk menguragi stress penderita diabetes dianjurkan melakukan kegiatan yang dapat mereduksi stress seperti sempatkan waktu anda untuk berlibur, membaca buku-buku kesukaan anda, majalah, atau bermain game barang sejenak, yoga, jogging di pagi hari, menonton film kesukaan anda atau hal lain yang menyenangkan anda dan dapat membuat anda rileks. Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,004 (p<0,05) yang berarti ada hubungan tingkat stres dengan kadar glukosa darah terkontrol. Depresi pada penderita diabetes akan sangat memperburuk keadaan mereka khususnya dalam hal pengendalian kadar gula darah, karena terjadinya peningkatan kortisol dan katekolamin pada saat stress. Kortisol akan menyebabkan peningkatan laju metaolisme tubuh sehingga banyak glikogen, protei bahkan lemak yang akan diubah menjadi glukosa oleh tubuh, tetapi fatalnya glukosa tersebut tidak dapat diserap oleh tubuh ditambah dengan adanya katekolamin yang akan menghambat kerja insulin untuk mengikat glukosa untuk dibawa ke sel. Hal ini yang menyebabkan mengapa pada orang depresi sangat susah untuk dapat mengontrol kadar gula darah dalam kisaran normal (Ekowat, 2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fareega Faisal et, al. (2010) yang menyatakan risiko terkena diabetes pada orang yang menderita stress adalah 2.1,kali. Penelitian lainnya oleh Yoshitaka Iwasaki, et al. (2006) menunjukkan bahwa hidup dengan diabetes ditambahkan besar terhadap pengalaman stres antara individu Aborigin. Diagnosa yang tepat, pemilihan serta pemberian obat yang benar dari petugas kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan terapi terutama pada penyakit yang tidak menular seperti diabetes mellitus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden teratur minum obat glikemik yaitu 152 orang (60,1%) sedangkan yang tidak teratur minum obat glikemik sebanyak 101 orang (39,9%). Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak yang teratur minum obat glikemik yaitu 37 orang (24,3%) dibandingkan yang tidak teratur minum obat glikemik yaitu 9 orang (8,9%). Sedangkan yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak yang tidak teratur minum obat glikemik yaitu 92 orang (91,1%) dibandingkan yang teratur minum obat glikemik yaitu 115 orang (75,7%). Ketidakpatuhan mengkonsumsi obat merupakan penyebab utama kegagalan terapi sehingga penderita diabetes perlu diedukasi. Sebaiknya penderita diabetes melakukan konsultasi secara berkala dengan dokter. Selain itu dituntut sikap disiplin dan kepatuhan dalam mengonsumsi obat maupun suntik insulin agar tidak terjadi komplikasi penyakit Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,002 (p<0,05) yang berarti ada hubungan kepatuhan minum obat glikemik dengan kadar glukosa darah terkontrol. Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II jika diet dan oleh raga gagal menurunkan kadar gula darah dengan cukup. Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa penderita memerlukan 2-3 kali pemberian.Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar gula darah dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin, (Carika, 2010). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Melanie davies et, al.(2003) yang menyatakan obat Glargine aman dan efektif dalam meningkatkan kontrol glikemik pada besar, beragam populasi dengan tipe 2 diabetes lama. Sebuah titrasi subjek-dikelola sederhana algoritma yang diberikan secara signifikan meningkatkan kontrol glikemik dengan insiden rendah yang parah. Penelitian Henrik, et al. (2006) juga menyatakan bahwa analisis regresi berganda menunjukkan bahwa penambahan acarbose untuk melakukan kontrol glikemik ditingkatkan. Berbagai jenis obat tradisiobal/herbal yang digunakan penderita diabaetes mellitus dalam mengontrol glikemik baik berupa daun-daunan, biji-bijian, maupun dalam bentuk kemasan siap pakai misalnya propolis, the hijau, bless tea, habbatussauda, xamthone plus, cinnamon(kayu manis), dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden minum obat tradisional /herbal yaitu 156 orang (61,7%) sedangkan yang tidak minum obat tradisional/herbal sebanyak 97 orang (38,3%). Penggunaan obat tardisional/herbal dalam mengendalikan kadar glukosa darah di masyarakat juga mulai berkembang, faktor

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

117

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Responden yang mempunyai kadar glukosa darah terkontrol (normal) lebih banyak minum obat tradisional/herbal yaitu 41 orang (26,3%) dibandingkan yang tidak minum obat tradisional/herbal yaitu 5 orang (5,2%). Sedangkan yang mempunyai kadar glukosa darah tidak terkontrol (tinggi) lebih banyak minum obat tradisional/herbal yaitu 92 orang (94,8%) dibandingkan yang tidak minum obat tradisional/herbal yaitu 115 orang (73,7%). Mekanisme kerja obat tradisional/herbal yang digunakan diabetisi untuk mengontrol kadar glukosa pada dasarnya sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas yang terdapat dalam tubuh seperti superoksida (O2o), hydrogen peroksida (H2O2), dan hidroksil radikal (Oho) dengan sifat yang sangat reaktif dan merupakan molekul yang tidak stabil. Radikal bebas ini dapat mengubah susunan protein, lemak, dan karbohidrat pada sel tubuh, jika perubahan susunan terjadi pada bagian yang penting pada sel tubuh maka sel tersebut tidak lagi dapat menjalankan fungsinya secara normal. Sehingga produk yang mengandung antioksidan (xamthone plus , propolis, N-acetylcysteine/NAC) sering dipakai oleh penderita diabetes mellitus dalam mengontrol kadar glukosa. Selain itu yang mengandung senyawa PTP1B (efek biomokuler) bekerja mengaktifkan senyawa dipangkreas dengan cara mengaktifkan sel beta yang berfungsi menghasilkan insulin. Senyawa PTP1B terdapat pada kayu manis (cinnamon). Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti ada hubungan penggunaan obat tradisiona/herball dengan kadar glukosa darah terkontrol. Penggunaan beberapa obat herbal dapat meningkatkan imunitas tubuh dan mencegah terjadinya komplikasi pada penderita penyakit DM. Salah satu obat yang dipakai adalah propolis. Propolis dapat mengontrol gula darah dan memperbaiki metabolisme glukosa dan lemak darah, serta mengurangi pembentukan radikal bebas. Selain itu, Liu juga mencobanya kepada orang yang mengidap diabetes tipe 2, menemukan bahwa setelah tiga bulan pengobatan, gula darah berkurang pada mereka yang mendapat terapi propolis, selain itu sambiloto mengandung andrografolida yang bersifat antidiabetes. Senyawa ini menurunkan kadar glukosa darah dan memperbaiki kerusakan pada sel-sel beta pulau lengerhans, tempat produksi insulin. Penelitian Ame Suciati,et al. (2011) menyatakan kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) dan Rimpang Kunyit (Curcumma) akan menurunkan kadar glukosa darah puasa rata-rata 9,25 mg/dL, glukosa darah 2 jam postprandial (PP) 22,25 mg/dL, HbA1c 1,30%, serta insulin 12,57 mg/dL bila dibandingkan dengan baseline glibenklamid rata-rata kadar glukosa darah puasa 72,37 mg/dL , glukosa darah 2 jam PP 114,25 mg/dL, dan HbA1c 4,12%, tetapi meningkatkan insulin 3,34 mg/dL Penelitian Ida Siti Nurparida, (2005) menyatakan ada pengaruh pemberian rumput laut merah terhadap kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam postprandial yang dikontrol dengan frekuensi konseling diet dan frekuensi latihan jasmani (p<0,05). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kepatuhan diet, latihan jasmani, tingkat stress, kepatuhan minum obat glikemik dan penggunaan obat tradisional/herbal terhadap penentu kadar glukosa darah terkontrol pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Untuk mencegah terjadinya komplikasi diharapkan penderita diabetes mellitus untuk selalu mengontrol kadar glukosa darah dan screening bagi keluarga dengan riwayat diabetes mellitus. DAFTAR PUSTAKA Ame Suciati,et. Al. Efek Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) dan Rimpang Kunyit (Curcumma) Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, (2011). Henrik,et. Al. Combined Treatment With Exercise Training and Acarbose Improves Metabolic Control and Cardiovascular Risk Factor Profile in Subjects With Mild Type 2 Diabetes. Diabetes Care, (2006), Volume 29. Ida Siti Nurparida. Pengaruh Pemberian Rumput Laut Merah (Euchema Cottonii) Terhadap Kadar Gula Darah Penderita DM Tipe 2. UNDIP Semarang, (2005). Puji Indrayani,et. Al. Pengaruh latihan Fisik; Senam Aerobik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderita DM Tipe 2 Di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga. ( 2007). Soegondo, (2002). Penggunaan Insulin Pada Diabetes Mellitus Type 2, Makalah Pada Penelitian Edukasi Diabetes Mellitus Lanjutan, Yogyakarta Sunardi. Hubungan Antara Kepatuhan Klien Diabetes Mellitus Dalam Menjalankan Terapi Diet Dengan Kadar Gula Darah Di Balai Pengobatan Gading 24 jam Gogyakarta, (2009).

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

118

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR RISIKO KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DI RSKD PROVINSI SULSEL TAHUN 2012 Isymiarni Syarif 1, A. Zulkifli Abdullah2, Syamsiar Russeng3 Alumni Program Megister Epiodemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT Rehospitalisasi common in patients with paranoid schizophrenia, but the family will not know the cause of relapse. The research aimed to analyse the risk factors of the relapse incident on the patient with paranoid schizophrenia in Regional Specific Hospital South Sulawesi Province in 2012. This was an observational analytic research with the case control study design. Samples were as many as 76 cases who underwent relapse during the examination was conducted in the long stay unit and 76 controls who did not experience the relapse during the examination was carried out in the mental clinic. The samples were taken by using the purposive sampling technique. The data were analysed using the odds ratio test and multiple logistic regression method.The results of the research indicates that risk factors of the non-obedience to treatment are: OR = 26.168 (95%CI:10.263-68.355), health insurance OR=6.93 (95%CI:1.44-65.40) and stigma OR = 7.99 (95%CI: 3.65-17.75). Whereas the families support OR=1.23 (95% CI : 0.55-2.73) and the families psychoeducation OR = 0.75 (95% CI :0.37-1.53) are not risk factors. The non obedience on treatment OR = 21.11 (95% CI: 5.69 - 52.92) p = 0.000, represents the most risky factor towards the relapse incident on the patient with paranoid schizophrenia. Recommended patient to increased medication adherence and for families of patients to controlling in treatment and increased support and attention of paranoid schizophrenia and the government regional with Regional Specific Hospital to make regulation about health insurance of mental disorder (paranoid schizophrenia). Key words: Relapse of paranoid schizophrenia, Risk factor PENDAHULUAN Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis/kambuh ditandai dengan penurunan dan kerusakan kognitif, dimana sebagian besar terjadi gangguan memori, perhatian, kepribadian, semuanya dikaitkan pada kemampuan seseorang dalam beradaptasi baik secara individu maupun sosial (Halder, 2009 : Perkins, 2009). Skizofrenia mempunyai beberapa macam jenis, ada skizofrenia hibrefenik, katatonik, afektif, paranoid, dan skizofrenia simplek. Skizofrenia paranoid merupakan jenis skizofrenia terbanyak di seluruh dunia, ini sejalan dengan Durand 2006 yang mengatakan bahwa 50% pasien yang dirawat di Rumah Sakit menderita skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid biasanya terjadi pada usia 16-25 tahun. Puncak serangan pada usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor yang ditandai dengan adanya gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Kondisi penderita seperti ini sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Selain itu, kekambuhan skizofrenia paranoid terjadi akibat adanya riwayat skizofrenia dalam keluarga, stress lingkungan dan status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena dideritanya gangguan ini. Menurut Tomb (2004) Tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat, menyebabkan sebanyak 57,4% penderita kambuh karena tidak memiliki kemampuan ekonomi dalam menanggung biaya. Selain itu, agaknya masih cukup kuat kepercayaan dalam masyarakat bahwa skizofrenia disebabkan oleh kutukan karena dosa, kemasukan roh-roh jahat ataupun disebabkan oleh guna-guna. Hal ini disebabkan oleh stigma, rasa malu dan penyalahan dari lingkungan sosial yang dialami keluarga. sehingga mereka malu mengakui ataupun mencari bantuan yang diperlukan. Bahkan Bagi beberapa keluarga kehadiran skizofrenia menimbulkan aib yang besar. Diperkuat dengan hasil penelitian di Singapura bahwa terdapat 73% responden yang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, 52% mengalami rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia (Irmansyah, 2005). Menurut Sasanto, relaps / kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian antara intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain itu dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan untuk resosialisasi dan pencegahan relaps (Vijay, 2005). Relaps pada penderita skizofrenia setelah remisi (sembuh bebas dari gejala) yang berada ditengah keluarga merupakan suatu tanda bahwa keluarga gagal untuk melakukan koping dengan baik. Penelitian yang sama di Inggris (Vaugh dalam Keliat, 1996) dan di Amerika serikat (Snyder dalam Keliat, 1996) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang
1

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

119

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan. Hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah (Keliat, 1996). Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh Seberapa besar risiko jaminan kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan, dukungan keluarga, stigma dan psikoedukasi keluarga terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitiandan Lokasi Penelitian ini dilakukan di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis penelitian menggunakan desain case control study. Populasi dan Sampel Populasi adalah semua penderita skizofrenia paranoid yang rawat jalan di poli jiwa dan rawat inap RSKD Makassar. Sampel sebanyak 152 yang dipilih secara purpossive sampling yang telah memenuhi kriteria yaitu yaitu diagnosa Skizofrenia paranoid, Umur >15 tahun, Frekuensi kekambuhan 1 kali, Mempunyai keluarga, Bersedia untuk diwawancarai. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner. Data karakteristik (Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan), variabel yang diteliti (jaminan kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan, stigma, dukungan keluarga dan psikoedukasi keluarga). Analisis data Data dianalisis dengan menggunakan odds rasio dan logistic regresi dengan menggunakan program STATA. HASIL Karakteristik sampel Pada penelitian ini dilakukan matching umur, sehingga frekuensi responden antara kasus dan kontrol sama, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menurut kelompok umur lebih didominasi oleh kelompok umur 25-34 tahun sebesar 46,05%, yang terendah yaitu kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 6 orang (7,89%). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan kasus kontrol Kejadian relaps skizofrenia Paranoid Kasus Kontrol n % n % 64 12 10 14 21 23 8 6 35 21 14 84,21 15,79 13.16 18.42 27.63 30.26 10.53 7.89 46,05 27,63 18,42 46 30 11 18 19 24 4 6 35 21 14 60,53 39,47 14.47 23.68 25,00 31,58 5,26 7.89 46,05 27,63 18,42

Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD SLTP/sederajat SLTA/Sederajat Diploma/PT Umur 15-24 25-34 35-44 >45 Data Primer

Jumlah n 110 42 21 32 40 47 12 12 70 42 28 % 72,37 27,63 13.82 21.05 26.32 30.92 7,89 7.89 46,05 27,63 18,42

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis kelamin laki-laki proporsinya jauh lebih besar pada kasus sebesar 84,21% dari pada kontrol sebesar 60,53%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa ternyata SLTA/sederajat proporsinya jauh lebih besar pada kontrol sebesar 31,58% dari pada kasus sebesar 30.26 %. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis bivariat Tabel 2 Analisis risiko variabel independen terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid Di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 menunjukkan bahwa faktor risiko ketidakpatuhan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 120

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

pengobatan OR = 26,168, (CI 95%:10,26368,355), jaminan kesehatan OR= 6,93 (95% CI: 1.44-65.40) dan stigma OR=7.99 (95%CI:3.65-17.75) merupakan faktor risiko. Sedangkan dukungan keluarga OR=1.23 (95% CI:0,55-2,73) dan psikoedukasi keluarga OR=0.75 (95% CI:0,37-1,53) bukan faktor risiko. Tabel 2. Analisis risiko variabel independen terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid Kejadian relaps skizofrenia Paranoid Kasus Kontrol n % n % 12 64 65 11 18 58 59 17 27 49 15.7 84.2 85,5 14,4 23.6 76.3 77.6 22.4 35.5 64.5 2 74 14 62 21 55 23 53 32 44 2.63 97.3 18,4 81,5 27.6 72.3 30.3 69.7 42.1 57.9 OR CI 95%

Variabel Jaminan kesehatan Risiko Tinggi Risiko Rendah Ketidakpatuhan pengobatan Risiko Tinggi Risiko Rendah Dukungan Keluarga Risiko Tinggi Risiko Rendah Stigma keluarga Risiko Tinggi Risiko Rendah Psikoedukasi keluarga Risiko Tinggi Risiko Rendah Data Primer

Jumlah n 14 138 79 73 39 113 82 70 59 93 % 9.2 90.8 51.0 48.0 25.7 74.3 53.9 46.1 38.8 61.2

OR 6.93 1.4-65.4 OR 26,1 10,2-68,3 OR 1.23 0.5-2.7 OR 7.9 3.6-17.7 OR 0.75 0.37-.53

Analisis Multivariat Tabel 3 menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pengobatan OR = 21,11 (CI 95% : 5.69 52.92) p=0,000 merupakan faktor risiko yang paling berisiko terhadap kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid. Tabel 3. Hasil uji regresi logistic yang paling berpengaruh terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid Variabel Ketidakpatuhan pengobatan Stigma keluarga Constanta Data Primer Coefisien 3.04 1.73 -2.5702 Z 6.50 3.71 -5.65 OR 21.11 5.69 95% CI Lower Upper 5.69 2,26 52.92 14,28 0,000 0,000 p

Disarankan keluarga untuk mengawasi klien dalam pengobatan dan lebih meningkatkan dukungan serta perhatian terhadap penderita skizofrenia paranoid serta pemerintah daerah bersama RSKD membuat suatu kebijakan tentang jaminan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa (skizofrenia paranoid). PEMBAHASAN Penelitian ini terlihat beberapa aspek yang berisiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid yaitu jaminan kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan, dan stigma keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaminan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid, dimana hasil uji statistic menunjukkan nilai rasio odds sebesar 6,93 (95% CI: 1.4465.40). Dengan demikian tidak adanya jaminan kesehatan memiliki risiko 6,93 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan yang memiliki jaminan kesehatan. Oleh karena nilai LL dan UL lebih dari nilai satu maka variabel jaminan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid. Penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian, seperti penelitian Simanjuntak, yang mengemukakan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang mengalami relaps mempunyai risiko terpapar oleh problem ekonomi sebesar 10,8 kali dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak relaps (Simanjuntak, 2008). Begitu pula dengan hasil penelitian Corcoran, yang mengemukakan bahwa ada Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 121

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi ayah dengan kejadian relaps skizofrenia paranoid dengan nilai P =0.002 (Corcoran, 2009). Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang (Videbeck,2008). Tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat, dimana Biaya berobat yang harus ditanggung penderita tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya (Tomb, 2004). Akan tetapi dengan menggunakan jaminan kesehatan dalam bentuk surat keterangan tidak mampu / miskin (KTP/KK, Jamkesmas), membuat keluarga merasa aman, tidak terlalu terbebani dengan biaya pengobatan penderita karena sebagaimana kita ketahui bahwa penyakit ini memerlukan perawatan dan pengobatan serta pemulihan yang lama dan mahal sehingga keluarga harus mengeluarkan dana ekstra dalam menangani kasus ini sehingga tidak terjadi relaps. Keluarga tidak memikirkan lagi biaya pengobatan penderita karena semuanya gratis sesuai program pemerintah setempat, tetapi keluarga memikirkan biaya/kebutuhan lainnya seperti akses ke pelayanan kesehatan dan kebutuhan penderita selama perawatan dan pengobatan. Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) ketidakpatuhan pengobatan terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 26,168 (95% CI:10,263 -68,355). Dengan demikian adanya ketidakpatuhan pengobatan memiliki risiko 26,16 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan yang patuh pengobatan. Oleh karena nilai LL dan UL lebih dari nilai satu maka variabel ketidakpatuhan pengobatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid. Berdasarkan hasil analisis multivariat hubungan antara ketidak patuhan pengobatan dan stigma secara bersama terhadap kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid (Tabel 3), menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid dengan nilai Rasio Odds (OR) =21,11, (95% CI:5.6552.92 dan p=0,000). Hal ini menunjukkan bahwa risiko untuk terjadinya relaps pada skizofrenia paranoid yang tidak patuh pengobatan sebesar 21,11 kali dibandingkan dengan penderita skizofrenia paranoid yang patuh pengobatan. Hal ini disebabkan karena variabel status ketidakpatuhan pengobatan mengurangi peranan variabel lain ketika secara bersama-sama diikutkan dalam analisis multivariat. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Seung-Ho Jung, Won Hyung Kim dkk, (2011) yang menemukan bahwa Ketidakpatuhan pengobatan memiliki hubungan yang signifikan dengan rehospitalisasi/relaps (OR 0,405, 95% CI:0.193-0.849, p=0,016 p<0.05). Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2008), yang mengemukakan bahwa beberapa faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pengobatan, seperti faktor sehubungan dengan pasien, pengobatan lingkungan dan dokter yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian relaps. Hal yang dapat memicu kekambuhan penyakit jiwa dan memperpanjang proses perawatan gangguan jiwa yang dialami oleh penderita, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit. Ditemukan beberapa informasi bahwa klien yang kambuh dirawat dan tidak patuh minum obat dapat diketahui melalui adanya obat yang ditemukan di sekitar rumah, dan ditemukan obat disaku baju klien (Purwanto, 2010 : Fleishacker 2003). Ketidakpatuhan pengobatan disebabkan karena penderita kurang paham dan mengerti tentang pentingnya pengobatan dalam membantu memulihkan keadaan dan mencegah kekambuhan, Kurangnya kepedulian dan perhatian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas pemberian obat itu kepada penderita dan Sukarnya memperoleh obat tersebut di luar rumah sakit jiwa serta efek samping yang ditimbulkan akibat meminum obat psikiatri tersebut. Selain itu faktor banyaknya jenis obat yang harus diminum seperti dua sampai tiga jenis bahkan empat jenis obat yang diminum setiap harinya yang membuat penderita bosan dan tidak dapat menelan obat walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan penderita tidak minum obat. Selain itu faktor tidak adanya pengawas minum obat dalam keluarga dan adanya persepsi dari keluarga yang menganggap penderita sudah sembuh tanpa berkonsultasi dan menganggap penderita seperti orang normal serta memaksa penderita melakukan aktifitas seperti pada saat penderita sebelum sakit menjadi pemicu terjadinya relaps. Kepatuhan dalam pengobatan terlihat dari adanya kesadaran diri tentang pentingnya obat, adanya kemandirian, dan kedisiplinan dalam minum obat. Sikap positif ini timbul karena adanya motivasi untuk sembuh, adanya ancaman dirawat kembali, pengalaman yang menyenangkan terhadap pengobatan sebelumnya dan adanya reward yang diberikan dari anggota keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) dukungan keluarga terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 1.23 (95%CI:0,55-2,73). Dengan demikian tidak adanya dukungan keluarga memiliki risiko 1,23 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan adanya dukungan keluarga. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai satu maka variabel dukungan keluarga bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

122

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sirait 2008, mengemukakan bahwa tidak ada pengaruh antara peran/dukungan keluarga dengan kejadian relaps skizofrenia paranoid. Hal ini mungkin disebabkan karena seluruh anggota keluarga berusaha untuk menghilangkan gangguan-gangguan baik yang bersifat fisik atau psikis yang ada pada anggota keluarga yang lain, dan menjaga satu dengan yang lain tidak hanya dalam keadaan sehat. Dalam hal ini penderita skizofrenia paranoid yang memperoleh dukungan sosial keluarga, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan. Kurangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial keluarga dapat menimbulkan konflik atau keguncangan atau kecemasan sehingga mempengaruhi proses penyembuhan penderita dan juga mempengaruhi lamanya pengobatan (Darsana, 2009 dalam sebayang 2011). Dengan adanya dukungan dari keluarga, teman atau petugas kesehatan yang menjadi pengawas pengobatan memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan pasien rawat jalan ataupun rawat inap (Fenton, 1997 dalam Kazadi 2011). Menurut Burgess (1979) dalam Friedman (1998) mengatakan bahwa keluarga ketika menghadapi masalah akan lebih mengandalkan sumber-sumber mereka sendiri, karena mereka menilai dan melihat bahwa kontrol diri dan kemandirian sangat penting selama masa-masa sulit. Selain itu anggota keluarga perlu menjadi kuat dan belajar menyembunyikan perasaan dan menguasai ketegangan dalam diri mereka sendiri. Keluarga berprinsip bahwa ini adalah kewajiban bagi keluarga dalam membantu kesembuhan penderita walau dalam kondisi apapun. Sehingga disimpulkan bahwa keluarga akan memberikan support / dukungan pada anggota keluarga yang mengalami masalah, bagaimanapun caranya dan akan berusaha mencari tahu semua hal yang menyangkut penderita sehingga tidak terjadi relaps. selain itu Petugas kesehatan selalu menganjurkan keluarga penderita untuk mendampingi dan mengunjungi penderita selama pengobatan setidaknya 1 kali seminggu menjenguk atau mendampingi penderita selama pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) stigma keluarga terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 7.99 (95%CI:3.65-17.75). Dengan demikian keluarga penderita tidak menganggap penyakit penderita adalah aib dari keluarga yang patut untuk dikucilkan, dihindari, dirahasiakan dan dijauhi memiliki risiko 7.99 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan keluarga penderita yang menganggap penyakit penderita adalah aib dari keluarga yang patut untuk dikucilkan, dihindari, dirahasiakan dan dijauhi . Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai lebih dari satu maka variabel stigma merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Simanjuntak (2008) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan (stigma) dengan kejadian relaps (p<0,05) dengan nilai OR 13,5 (CI:95%; 5,9-30,7). Begitu pula dengan penelitian Lisa C Felderhof (2007), bahwa pasien skizofrenia paranoid relaps akibat stigma yang negative dari saudara kandung yang diperoleh dari 80 orang yang diinterview selama 50 menit. Hal ini disebabkan karena adanya stigma terhadap penyakit skizofrenia paranoid yang menimbulkan beban, berupa beban subyektif maupun beban obyektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi penderita, anggapan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan akan melekat terus dan menambah stigma pada penderitanya, hal ini juga akan menjadikan halangan baginya untuk mendapat perlakuan yang layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan, juga keluarga sering dikucilkan, mengalami isoloasi sosial dan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya (Fenton, 2005). Bagi keluarga, akan menimbulkan konflik dalam keluarga, dalam hal ini akan menimbulkan aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial (merasa orang lain tidak mau bergaul dengan keluarganya), serta menganggap harga diri serta martabat keluarga mereka rendah akibat penyakit yang diderita anggota keluarganya, Sehingga timbul label dan sikap negative terhadap penderita seperti gila, tidak waras dan sikap bermusuhan serta mengkritik, seolah-olah menyalahkan penderita atas semua kejadian yang terjadi dalam keluarganya. Selain itu adanya stigma akan penyimpangan perilaku yang dilakukan penderita menimbulkan perasaan khawatir, takut dan trauma sehingga membuat ekspresi emosi tinggi dalam keluarga yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita. Keluarga dan masyarakat pada umumnya tidak dapat menerima penyimpangan perilaku, persepsi dan pikiran pada penderita dengan skizofrenia paranoid. Hasil penelitian menunjukkan hasil analisis Odds Ratio (OR) psikoedukasi keluarga terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 0.75 (95% CI:0,37-1,53). Dengan demikian adanya psikoedukasi keluarga memiliki risiko 0.75 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan yang tidak adanya psikoedukasi keluarga. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai satu maka variabel psikoedukasi keluarga bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar. Penelitian ini sejalan yang dilakukan oleh Lisa C. Felderhof (2007), bahwa dengan diberikannya psikoedukasi pada keluarga yang saudara kandungnya terdiagnosa skizofrenia paranoid maka akan menurunkan kejadian relaps. Hal ini didukung oleh Kembaren (2009), bahwa mengkombinasikan antara pengobatan antipsikotik dengan pendekatan psikososial merupakan suatu cara yang efektif dibandingkan hanya dengan obat saja dalam mencegah terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid. Hal ini disebabkan karena anggota keluarga berusaha agar penderita skizofrenia paranoid cepat sembuh dan tidak kembali lagi kerumah sakit atau mengalami kekambuhan sehingga membutuhkan biaya

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

123

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

rumah sakit yang jauh lebih mahal. Ini sejalan dengan hasil pengamatan selama penelitian bahwa keluarga pada prinsipnya yakin bahwa penyakit penderita bisa disembuhkan, jadi keluarga akan mencari tahu sendiri tentang penyakit penderita pada klinisi, seperti apa penyakit penderita dan bagaimana perawatan serta pengobatan penyakitnya, sehingga keluarga dapat memberi perawatan pada klien di rumah setelah pulang dari rumah sakit. Selain itu petugas kesehatan juga memberikan informasi secara lengkap yang menyangkut diagnosis maupun perawatan penyakit penderita. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa jaminan kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan dan stigma keluarga merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid, serta yang paling berisiko adalah ketidakpatuhan pengobatan. Disarankan pada penderita untuk meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan dan bagi keluarga untuk mengawasi klien dalam pengobatan dan lebih meningkatkan dukungan serta perhatian terhadap penderita skizofrenia paranoid serta pemerintah daerah bersama RSKD membuat suatu kebijakan tentang jaminan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa (skizofrenia paranoid), hal ini dikarenakan skizofrenia paranoid memerlukan pengobatan dan perawatan yang lama untuk mencegah terjadinya relaps. DAFTAR PUSTAKA Corcoran,.C, Cheryl , P, Mary. dkk.( 2009). Effect of socioeconomic status and parents education at birth on risk of schizophrenia in offspring. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiology. 44(4): 265271. Durand VM, Barlow DH. (2006). Psikologi Abnormal . Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Felderhof, L.C.(2007). A Support and Psychoeducational Group Manual for Adult Siblings of Individuals Diagnosed with Paranoid Schizophrenia Fenton WS. (2005). Schizophrenia: Integrative Treatment and Functional Outcomes. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock Comprehensive Texbook of Psychiatry. 8th ed, vol 1B. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, p.1498-99. Friedman, M (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek, ed 3, Alih Bahasa: Ina Debora dan Yoakin Asy, Jakarta: EGC. Halder, S. and Mahato, A,K. (2009). Relationship between executive function and problem solving ability of schizophrenia patients. Eastern Journal of Psychiatry Vol.12. Irmansyah. (2005). Faktor Genetika pada Skizofrenia, (Online) diunduh 9 September 2011. Available from URL : HYPERLINK http://www.schizophrenia.web.id Jung, S. Kim, W. dkk. (2011). Factors Affecting Treatment Discontinuation and Treatment Outcome in Patients with Schizophrenia in Korea: 10-Year Follow-Up Study Kazadi. 2011. Schizophrenia. (Online) diunduh 26 Oktober 2011. Available from URL: HIPERLINKhttp://wiredspace.wits.ac.za/bitstreamhandle/10539/4664/Dr%20NJB%20KAZADI_C hapter%201.pdf?sequence=10 Kembaren, L. (2009). Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia. (Online) diunduh 28 September 2011. Available from URL : HYPERLINK http://paranoid%20baru/hubungan-antara-peran-keluargadalam.html. Perkins, D,. Raines, JA,. Tschopp, MK,. and Warner, TC. (2009). Gainful Employment Reduces Stigma Toward People Recovering from Schizophrenia. Community Mental Health J . 45:158162 Purwanto, A. (2010). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta . (Online) diunduh 28 September 2011. Available from URL : HYPERLINK http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/28071 Simanjuntak, YP. (2008). Faktor Resiko Terjadi Relaps pada Pasien Skizofrenia Paranoid di Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara. (Tesis). Sumatera Utara : Universitas Sumatera Utara. Sirait, A. (2008). Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps pada Skizofrenia Remisi Sempurna Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006. (Tesis). Sumatera Utara : Universitas Sumatera Utara. Sebayang, SM. (2011). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan. (Online) diunduh 24 Oktober 2011. Availlable from URL : HIPERLINK http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27073/5/Chapter%20I.pdf Vijay, C. (2005). Cara pencegahan dan pengobatan gangguan jiwa. (Online) diunduh 12 Oktober 2010. Available fromURL: HIPERLINK http://www.balipost.co.id

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

124

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR GULA DARAH PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD DAYA MAKASSAR TAHUN 2012 Jumriani Ansar1, Dian Sidik Arsyad1, Nurul Fatwa Abidin1
1

Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT

Diabetes mellitus is a degenerative disease that has increased every year. Most cases of diabetes mellitus in Indonesia, namely diabetes mellitus type II, the prevalence reaches 90-95% of all cases of diabetes. Approximately 7% of the population of South Sulawesi this disease. Given the DM is a lifelong disease that good management is needed, especially in terms of blood sugar control. It aims to prolong survival and prevent complications. The purpose of this study to determine factors associated with blood glucose levels of type II DM patients in hospitals Power Makassar. This study uses cross sectional study approach with a sample of 149 people. The research was conducted at the International Polyclinic Hospital Resources Makassar, where the retrieval of data using a questionnaire and file patient medical records. The results with the chi square test on 6 variables showed four variables which are related to blood glucose levels are knowledge, attitude, diet and physical activity (p = 0.039, = 0.16, p = 0.000, = 0.340, p = 0.000, = 0.523, p = 0.000, = 0.523). While the other two variables do not have a relationship that is the level of education and family support (p = 0.67, p = 0.26). Expected to health workers in order to further optimize the method of counseling for patients, especially in terms of motivating patients to control the disease and the family should be involved in these outreach activities. Key words: blood glucose, blood glucose control , DM, Complications ENDAHULUAN Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Masih banyak penderita diabetes yang tidak menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya pengetahuan dan informasi di masyarakat tentang diabetes mellitus terutama gejala-gejalanya. Penderita Diabetes Mellitus harus tetap menjaga agar kadar gula darah tetap normal dengan mengatur pola makanan dan melakukan olahraga (aktivitas fisik) serta menggunakan obat-obatan yang dianjurkan. Dengan kadar gula yang terkontrol, kehidupan seorang penderita DM bisa berjalan normal. Faktor lain yang juga menentukan terkendali tidaknya gula darah seorang penderita diabetes adalah sikap dan dukungan keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa kelompok responden yang mempunyai sikap positif dan mendapat dukungan yang cukup dari keluarga, kadar gula darahnya cenderung lebih terkontrol. Jumlah penduduk Sulawesi Selatan menyandang penyakit Diabetes Mellitus Tipe II sebanyak 7% dan Makassar merupakan kota dengan penderita DM Tipe II terbanyak. Pada tahun 2010 terdapat 3827 kasus baru dari 17245 atau sekitar 22,19%. Diabetes Mellitus Tipe II merupakan penyakit yang berada dalam urutan 5 besar penyakit terbanyak di instalasi rawat jalan di RSUD Daya. Dan setiap tahun penyakit ini mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 terdapat 368 penderita dan meningkat menjadi 586 kasus pada tahun 2010 dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2012 (sampai bulan September) sebanyak 692 kasus dengan kasus baru sebanyak 244. Melihat kasus DM tipe II yang selalu mengalami peningkatan maka, sebaiknya diabetesi harus mengontrol kadar gula darahnya untuk mencegah komplikasi dan memperpanjang hidupnya. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Daya Makssar pada tanggal 20 Maret sampai 14 April 2012 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan DM tipe II yang memeriksakan diri di RSUD Daya Makassar tahun 2011 (sampai bulan September) sebanyak 244 dengan besar sampel 149 orang. Penarikan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

125

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Analisis Data Data yang diperoleh diolah secara komputerisasi dengan menggunakan program analisis melalui tahapan editing, coding, entry data dan analisis data. Analisis data dilakukan dengan mengguanakan uji statistik Chi Square (X2) dan koefisien Phi ( ). Selanjutnya data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden Tabel 1 merupakan gabungan dari 4 karakteristik responden yaitu jenis kelamin, kelompok umur, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok Umur 35-44 45-54 55-64 65 Pekerjaan PNS IRT Kary swasta Wiraswasta Pedagang Pensiunan Tidak Bekerja Tingkat Pendidikan tidak sekolah SD SMP SMA Diploma Sarjana Data Primer n 48 101 n 10 27 75 37 n 11 50 3 16 20 41 8 n 13 31 22 15 14 54 % 32.2 67.8 % 6.7 18.1 50.3 24.8 % 7.4 33.6 2.0 10.7 13.4 27.5 5.4 % 8.7 20.8 14.8 10.1 9.4 36.2

Distribusi menurut jenis kelamin, menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 yang di rawat jalan di RSUD Daya Makassar sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 101 responden (67,8%). Untuk kelompok umur menunjukkan bahwa setengah dari jumlah responden berada pada kelompok umur 55-64 tahun sebanyak 75 responden (50,3%) dan yang paling sedikit pada kelompok umur 35-44 tahun yaitu 10 responden (6,7%). Distribusi menurut pekerjaan menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 yang berobat di RSUD Daya Makassar paling banyak bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 50 responden (33,6%) dan yang paling sedikit berpfofesi sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 3 responden responden (2,0%). Untuk tingkat pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh responden terbanyak adalah sarjana yaitu sebanyak 54 responden (36,2%) dan paling sedikit responden yang tidak sekolah yaitu 13 responden (8,7%). Kadar Gula Darah Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan kadar gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 No. Kadar gula darah Baik n 51 48 % 34,2 32,2 n 98 101 Buruk % 65,8 67,8 Total n % 149 100,0 149 100,0

1 Kadar gula darah puasa 2 Kadar gula darah 2 jam post prandial Data Primer

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

126

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa lebih dari setengah responden mempunyai kadar gula darah buruk, baik gula darah puasa maupun gula darag 2 jam post prandial. Untuk gula darah darah puasa sebanyak 98 (65,8%) responden memiliki kadar gula darah yang tergolong tinggi/buruk. Dan sebanyak 101 (67,8%) responden mempunyai kadar gula darah 2 jam post prandial yang masih tergolong buruk/tinggi. Berdasarkan tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa bahwa sebagian besar responden tidak terkontrol gula darahnya. Angka ini cukup tinggi, yaitu 77,9% atau 116 dari total 149 responden. Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan kadar gula di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 Kadar gula darah Terkontrol Tidak terkontrol Jumlah Data Primer Analisis Antarvariabel Tabel 4 Hubungan variabel independen dengan kadar gula darah di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 No Variabel independen Tingkat Pendidikan Tinggi Rendah Jumlah 2. Pengetahuan Cukup Kurang Jumlah 3. Sikap Positif Negatif Jumlah 4. Dukungan Keluarga Cukup Kurang Jumlah 5. Pola Makan Baik Buruk Jumlah 6. Aktivitas Fisik Ringan Sedang Jumlah Data Primer 1. Kadar Gula Darah Terkontrol Tidak terkontrol n 23 10 33 24 9 33 28 5 33 21 12 33 33 0 33 7 26 33 % 27,7 15,2 22 28,2 14,1 22 35,4 7,1 22 25,6 17,9 22 43,4 0 22 5,9 83,9 22 n 60 56 116 61 55 116 51 65 116 61 55 116 43 73 116 111 5 116 % 72,3 84,8 80 71,8 85,9 80 64,6 92,9 80 74,4 82,1 80 56,6 100,0 80 94,1 16,1 80 n 60 66 149 85 64 149 79 70 149 82 67 149 76 73 149 118 31 149 Total % 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Uji statistic p value X2 phi ( ) 0,067 Frekuensi n 33 116 149 % 22,1 77,9 100,0

3,363

0,039 4,253 0,169 0,000 17,239 0,34

1,268

0,260

0,000 40,715 0,523 0,000 0,762

86,490

Pada tabel 4 diketahui bahwa bahwa responden dengan pendidikan tinggi dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 23 responden (27,7%). Sedangkan responden dengan pendidikan rendah dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 10 responden (15,2%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,067 artinya p > (0,05), dengan demikian Ho diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan cukup dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 24 responden (28,2%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 9 responden (14,1%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,039 artinya p < (0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat besar hubungan diperoleh koefisien phi = 0,169 artinya keduanya memiliki hubungan yang lemah. Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 127

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 4 menunjukkan bahwa bahwa responden yang memiliki sikap positif dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 28 responden (35,4%). Sedangkan responden yang memiliki sikap negatif dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 5 responden (7,1%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,000 artinya p < (0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat besar hubungan diperoleh koefisien phi = 0,340 artinya keduanya memiliki hubungan yang sedang. Tabel 4 menunjukkan bahwa responden yang memperoleh dukungan keluarga cukup dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 12 responden (17,9%). Sedangkan responden yang memperoleh dukungan keluarga kurang dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 21 responden (25,6%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,260 artinya p > (0,05), dengan demikian Ho diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa bahwa responden yang memiliki pola makan baik dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 33 responden (43,4%). Dan tidak ada responden yang memiliki pola makan tidak baik dan kadar gula darah terkontrol. Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,000 artinya p < (0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola makan dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat besar hubungan diperoleh koefisien phi = 0,523 artinya keduanya memiliki hubungan yang kuat. Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki aktivitas sedang dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 26 responden (83,9%). Dan responden yang memiliki aktivitas ringan dan kadar gula darah terkontrol sebanyak 7 responden (5,9%). Berdasarkan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,000 artinya p < (0,05), dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dan kadar gula darah penderita DM Tipe II. Untuk melihat besar hubungan diperoleh koefisien phi = 0,762 artinya keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat. PEMBAHASAN Tingkat Pendidikan Secara teori, tingkat pendidikan berpengaruh pada penerimaan seseorang pada sutu hal, misalnya saja perilaku mengontrol gula darah. Karena tingkat pendidikan merupakan faktor predisposisi dari perubahan perilaku seseorang. Namun penerimaan seseorang belum bisa menjamin tindakan positif yang dilakukan oleh seseorang. Perubahan perilaku justru terjadi karena adanya kesadaran dan niat dari dalam diri seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mihardja, menunjukkan bahwa responden yang berpendidikan rendah kadar gula darahnya juga tidak terkontrol. Hal ini sesuai pula dengan penelitian yang dilakukan Aliasgharzadeh et al. menunjukkan meningkatnya tingkat pendidikan seiring dengan meningkatnya kepatuhan dalam berdiet, berolahraga dan obat-obatan sehingga kadar gula darah lebih terkontrol. Meskipun tingkat pendidikan tidak berhubungan langsung dengan kadar gula darah, tetapi tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi terbentuknya perilaku seseorang misalnya dalam mengontrol kadar gula darahnya. Jadi secara teoritis, jika seseorang berpendidikan tinggi, maka seharusnya kadar gula darahnya juga terkontrol. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa, sebagian besar responden yang tidak mengontrol gula darahnya justru mereka yang berpendidikan tinggi (minimal tamat SMA). Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran dari penderita DM tipe II, walaupun mereka memiliki pengetahuan yang baik mengenai DM. Pendidikan yang tinggi belum menjamin perilaku yang baik bagi seseorang. Salah satu penyebabnya karena kurangnya motivasi pasien untuk mengontrol gula darahnya dan bisa juga disebabkan karena stess yang dialami oleh pasien. Pengetahuan Pengetahuan menrupakan hasil tahu , ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tersebut, melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar dimiliki pengetahuan oleh seseorang terhadap sesuatu objek melalui indera penglihatan dan pendengaran. Hasil penelitian oleh Rahmadiliyani yang menyatakan bahwa jika pengetahuan tentang penyakit diabetes melitus baik diharapkan akan mempengaruhi tindakan penderita dalam mengontrol kadar gula darahnya. Pengetahuan merupakan faktor predisposisi atau faktor penentu dari perilaku seseorang, akan tetapi perubahan perilaku juga dipengaruhi oleh niat dan motivasi seseorang, misalnya motivasi untuk sembuh. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah mengetahui tentang penyakit DM dan bagaimana cara mengendalikan penyakit tersebut agar kadar gula darahnya terkontrol. Akan tetapi, masih banyak responden yang menunjukkan perilaku yang kurang baik terutama dalam hal kontrol gula darah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol gula darah yaitu dengan menjaga berat badan ideal, dan sebagian besar responden dalam penelitian ini belum mengetahui cara menentukan berat badan ideal.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

128

JURNAL Sikap

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Sikap merupakan reaksi atau respon seeorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Allport, sikap merupakan keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan. Penelitian Jazilah (2003) sejalan dengan hasil temuan ini, yang menyatakan bahwa kelompok responden yang mempunyai sikap positif kadar gula darahnya cenderung lebih terkendali dibanding dengan kelompok responden yang mempunyai sikap negatif terhadap pengelolaan DM. Hasil ini sejalan dengan pendapat Azwar, yaitu sikap merupakan suatu kecendrungan untuk memberikan respon terhadap suatu objek dalam bentuk perasaan memihak atau tidak memihak melalui proses interaksi komponen-komponen sikap yang yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan) dan konatif (kecenrungan bertindak). Anggapananggapan yang negatif terhadap pengelolaan DM cenderung untuk bertindak yang kurang tepat dalam mengelola DM, sehingga dapat mengakibatkan tidak terkontrolnya kadar gula darah. Dukungan Keluarga Keluarga sebagai salah satu lingkungan sosial terdekat dengan penderita DM merupakan satu faktor yang potensial untuk mempengaruhi dan membentuk motivasi yang sehat bagi penderita DM dalam menjalankan penatalaksanaan DM untuk pengendalian kadar gula darah penderita, sehingga faktor sikap perilaku dan partisipasi keluarga penderita DM merupakan faktor penting untuk menentukan keberhasilan penatalaksanaan DM. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dukungan dari pihak keluarga kepada pasien tidak memiliki hubungan dengan kadar gula darah. Hal ini disebabkan meskipun responden telah dimotivasi dan didukung oleh keluarga, namun itu belum menjamin mereka akan merubah pola hidup dan kebiasaan mereka. Sebagian besar responden masih belum memiliki kesadaran dalam hal pengendalian terhadap penyakit yang dideritanya. Banyak orang memandang diabetes hanya dari segi klinisnya saja, sehingga perlu membantu mengenal perasaan pasien, sebagai penderita diabetes agar dapat mengendalikan lebih baik. Segi emosional ini meliputi marah dan takut, akan menyebabkan kesalahan dan kekecewaan dan merasa bahwa telah membatasi segala segi kehidupan. Segi emosional harus dijaga karena stress atau depresi dapat meningkatkan kadar gula darah. Pola Makan Menjadi diabetesi sering dikaitkan dengan tidak boleh makan gula, hal ini memang benar bahwa gula dapat menaikkan kadar gula darah. namun yang perlu diketahui bahwa semua makanan juga dapat menaikkan glukosa darah. oleh karena itu yang perlu dilakukan oleh penyandang diabetes adalah makan sesuai kebutuhan kalori, teratur dalam jumlah, jenis dan waktu makan. Penderita diabetes pada umumnya tidak perlu mengonsumsi jenis makanan tertentu. Karena yang terpenting dalam pola diet diabetes adalah membatasi jumlah dan memperhatikan jadwal makan. Dengan kata lain, tujuan yang ingin dicapai adalah mengonsumsi makanan yang memiliki kandungan lemak dan kalori yang rendah, serta lebih banyak mengonsumsi sayur, dan buah. Penelitian oleh Arysh, menyatakan bahwa ada hubungan antara pola makan dan kadar gula darah penderita DM Tipe II di wilayah Puskesmas Wonokromo Surabaya (p = 0,006) 12. Serta penelitian dari Fibriana (2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus dengan p<0,05 (p=0,023). Aktivitas Fisik Aktivitas fisik pada DM tipe 2 berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. Otot yang terkontraksi atau aktif tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel karena pada otot yang aktif sensitivitas reseptor insulin meningkat. Oleh karena itu aktivitas fisik pada DM tipe II akan menyebabkan berkurangnya kebutuhan insulin eksogen. Namun menurut Zinman keuntungan ini tidak bertahan lama, oleh karena itu dibutuhkan aktivitas fisik yang teratur dan kontinu. Selain bermanfaat dalam mengontrol kadar gula darah, aktivitas fisik pada DM tipe II diharapkan dapat menurunkan berat badan dan ini merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai, bahkan sebagian ahli menganggap bahwa manfaat aktivitas fisik bagi DM tipe II akan lebih jelas bila disertai dengan penurunan berat badan atau berkurangnya aktivitas lemak tubuh. Selain dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh, aktivitas fisik juga terbukti menurunkan konsentrasi HbA1c, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan risiko komplikasi diabetes dan kematian. Selain mengurangi risiko, aktivitas fisik akan memberikan pengaruh yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteri, sensitivitas barorefleks, vasodilatasi pembuluh yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit, hipertrigliseridemi, dan fibrinolisis. Angka kesakitan dan kematian diabetisi yang aktif, 50 % lebih rendah dibanding mereka yang santai (Guthrie dalam Winawan, 2011). Jadi jelaslah bahwa aktivitas fisik sangat penting dilaksanakan dalam kehidupan penderita Diabetes Melitus.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

129

JURNAL KESIMPULAN DAN SARAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan nilai p=0,67. Ada hubungan pengetahuan dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,039 dan =0,16 yang berarti pengetahuan memiliki hubungan lemah dengan kadar gula darah. Ada hubungan sikap dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,000 dan =0,340 yang berarti sikap memiliki hubungan sedang dengan kadar gula darah. Tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan nilai p=0,26. Ada hubungan pola makan dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,000 dan =0,523 yang berarti pola makan memiliki hubungan kuat dengan kadar gula darah. Ada hubungan aktifitas fisik dengan kadar gula darah penderita DM Tipe II di RSUD Daya Makassar Tahun 2012 dengan p=0,000 dan =0,762 yang berarti aktivitas fisik memiliki hubungan sangat kuat dengan kadar gula darah. Diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk mengoptimalkan penyuluhan mengenai pentingnya mengontrol gula darah dan memotivasi pasien untuk lebih memperhatikan pola makan dan aktivitas fisiknya. Pada saat melakukan kontrol atau pemeriksaan diharapkan bagi petugas kesehatan yaitu dokter dan ahli gizi untuk memotivasi pasien agar lebih memperhatikan pola makan dan aktivitas fisiknya. Kepada peneliti lain agar memperhatikan variabel komplikasi dan konsumsi obat dan lama menderita. DAFTAR PUSTAKA Perkeni. 2010. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006 . Jakarta: Perkeni. Imbran, Friska Fifi Firyani. 2009. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus di RSUD Datuk Binangkang Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009. Skripsi. Gorontalo: Universitas Gorontalo. Suharyanto, M Hery. 2009. Pemicu Diabetes, Pola Hidup Tidak Sehat. http://www.depkes.go.id diakses tanggal 3 Januari 2011. Jazilah., Wijono, Paulus., dan Toto Sudargo. 2003. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Praktik (PSP) Penderita Diabetes Mellitus Mengenai Pengelolaan Diabetes Mellitus dengan Kendali Kadar Glukosa Darah. Artikel Ilmiah. SAINS KESEHATAN 16 (3), September 2003. DINKES PROVINSI SULAWESI SELATAN. 2010. Rekapan Kasus DM PKM dan RS PPTM. Makassar: Bagian PTM Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan. Mihardja, Laurentia. 2009. Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Gula Darah pada Penderita Diabetes Mellitus di Perkotaan Indonesia. Artikel Penelitian: Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59, Nomor: 9, September 2009. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta. Rahmadiliyani, Nina., dan Abi Muhlisin. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit dan Komplikasi pada Penderita Diabetes Melitus dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah di Wilayah Kerja Puskesmas I Gatak Sukoharjo. Artikel Ilmiah: Berita Ilmu Keperawatan ISSN 19792697, Vol. I, No. 2 , Juni 2008, 63-68. Bintoro, Wahyu. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Perencanaan Diit pada Pasien Diabetes Mellitus di Unit Rawat Jalan RSU Pandanarang Kabupaten Boyolali. Tesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Arsyh, Indry (2011). Hubungan Antara Pola Makan Dengan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus di Puskesmas Wonokromo Surabaya. Karya Tulis Ilmiah: JBPTITBPP Fibriana, Dian. 2005. Hubungan Pola Makan Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Deabetes Melitus. Tesis. Ilyas, Ernita I. 2011. Manfaat Latihan Jasmani Bagi Penyandang Diabetes. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Winawan, Anastasia Rini. 2011. Hubungan Asupan Makanan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Pasien Rawat Jalan HIV/AIDS di Puskesmas Jumpandang Baru Makassar Tahun 2011. Skripsi FKM UNHAS

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

130

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI RETINOPATY DIABETIKA PADA KLINIK DIABETES CENTER KOTA TERNATE TAHUN 2009 2012 Jusnainy Wadjir1, Ridwan Amiruddin1, Leo Prawirodihardjo2
2

Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ABSTRACT

The aim of the research is to find out to what extend the risk factors on the occurrence of diabetes mellitus with retinopathy diabetic complications in Diabetes Center of Ternate city from 2009 to 2012. The research was an observational study with Case Control Study design. The case group consisted of diabetes mellitus patients with retinopaty diabetic complication in Diabetes Center of Ternate City from 2009 to 2012. The control group consisted of dibetes mellitus patients without retinopaty diabetic complication in Diabetes Center of Ternate City from 2009 to 2012. The data were processed by using Stata program with Odds ratio ( = 0.05), stratification with Mantel Hanzsel test, and multivariate with logistic regression analysis. The resultsof the research reveal the risk variables on the occurrence of diabetes mellitus with retinopaty diabetic complication are obesity (OR = 4.94; CI 95%; 2.02 - 12.70), hypertension (OR = 3.47 CI 95%;: 1.49 - 8.10), cholesterol (OR = 6.4 CI 95%; 2.57 - 16.55), and gender (OR = 3.41,CI 95%; 1.42 8.49). Variables of physical activity (OR = 1.87, CI 95%; 0.65 - 6.21), and smoking (OR = 1.66, CI 95%; 0.31 - 8.18) are risky but they are insignificant statistically. The result of multivariate analysis indicates that cholesterol has the greatest risk on the occurrence of diabetes mellitus with retinopaty diabetic complication. Keywords : diabetes mellitus with retinopaty diabetic complication. PENDAHULUAN Penyakit Diabetes (DM) dikalangan masyarakat dikenal dengan nama penyakit kencing manis juga dijuluki the mother of diseases. Diabetes Melitus juga disebut penyakit metabolik yang ditandai hyperglikemia kronik, dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan terjadinya kelainan sekresi insulin dan kerja insulin. Hal ini tentu sangat berpengaruh dan dapat menyebar ke sistem tubuh yang lain, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Penatalaksanaan DM terpadu FK-UI, 2009). Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita diabetes di seluruh dunia, disusul katarak. Bila kerusakan retina sangat berat, seorang penderita diabetes dapat menjadi buta permanen sekalipun dilakukan usaha pengobatan. Kadar gula darah yang tinggi secara terus-menerus selama bertahuntahun dapat menimbulkan komplikasi, terutama pada mata, jantung, dan ginjal. Komplikasi diabetes pada mata dapat menimbulkan kebutaan, yang sebenarnya dapat dihindari (avoidable blindness) dengan manajemen diabetes yang baik, meliputi diet ketat, olahraga, obat-obatan, mengontrol penyakit penyerta seperti hipertensi dan kadar kolesterol tinggi, serta menghentikan kebiasaan merokok. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit penyebab kematian nomor 6 di Indonesia dengan jumlah proporsi kematian sebesar 5,8% setelah stroke, TB, Hipertensi, cedera dan Perinatal (Hasil Riskesdas tahun 2007). DM disebabkan karena adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya di dalam tubuh manusia. Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya keainan tersebut ada yang tidak diketahui (idiopatik) da nada yang disebabkan oleh gaya hidup atau lifestyle, seperti pola makan tidak sehat (kurang mengkonsumsi sayur dan buah) serta kurangnya aktivitas fisik dan kegemukan (Depkes, 2010). Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang Depkes yang hasilnya baru saja dikeluarkan bulan Desember 2008, menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5 % terdiri dari pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes saat penelitian). Angka ini diambil dari hasil penelitian di seluruh provinsi, yang kemudian diketahui bahwa Kalimantan Barat dan Maluku Utara menduduki peringkat prevalensi diabetes tertinggi tingkat provinsi. Dengan melihat banyak faktor penyebab terjadinya Diabetes Melitus dengan komplikasi Retinopati Diabetika, maka perlu untuk dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui besaran Faktor risiko terhadap kejadian Diabetes Melitus dengan komplikasi Retinopati Diabetika pada Diabetes Center, Kota Ternate, Tahun 2009 2012.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

131

JURNAL BAHAN DAN METODE

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Rancangan Penelitian dan Lokasi Penelitian dilakukan di Diabetes Center Kota Ternate. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (case control study). Populasi dan Sampel Populasi adalah adalah semua pasien Diabetes Melitus (DM) yang berobat pada Diabetes Center, tahun 2009 - 2012. Sampel sebanyak 126 orang, dimana jumlah kasus adalah 42 sampel dan kontrol adalah 84 sampel yang dipilih secara random sampling melalui teknik purposive sampling, yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu Laki-laki dan perempuan,Berdomisili di wilayah Kota Ternate,Bersedia menjadi responden,Penderita harus kooperatif. Kasus adalah penderita penyakit Diabetes Melitus dengan komplikasi Retinopaty Diabetika, pada Klinik Diabetes Center, tahun 2009 2012 dan Kontrol adalah pasien yang menderita penyakit DM tanpa komplikasi Retinopaty Diabetika, pada Klinik Diabetes Center, tahun 2009 2012. Analisis Data Data diolah dengan menggunakan STATA. Dilakukan analisis deskriptif untuk melihat perbandingan kelompok terpajan dengan insidensi kelompok tidak terpajan menggunakan analisis Risk Ratio dan Risk Difference untuk menghitung selisih angka insidensi kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan. Analisis bivariat untuk mengetahui besar risiko terhadap kejadian DM dengan komplikasi retinopaty diabetika digunakan analisis Odds Ratio (OR). Analisis multivariat untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian DM dengan komplikasi retinopaty diabetika digunakan uji Regresi Logistik. Sedangkan untuk mengetahui adanya confounding digunakan analisis stratifikasi. HASIL Karakteristik Responden Tabel 1 Penelitian ini menggunakan umur sebagai variabel yang dijadikan matching antara kelompok kasus dan kontrol. Menunjukkan bahwa distribusi umur yang paling banyak pada responden dengan umur 60 69 tahun yaitu sebanyak 33,33% dan paling sedikit terdapat pada ibu dengan umur 30 39 tahun yaitu sebanyak 2,38%. Distribusi pada jenis pekerjaan menunjukkan bahwa proporsi yang paling banyak menurut pekerjaan adalah pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada pekerjaan sebagai PNS 28,57 % dan pada kelompok kontrol paling banyak pada PNS yaitu 13,10%. Distribusi pada kadar glukosa darah menunjukkan bahwa proporsi yang paling banyak menurut kadar GDS kategori sedang terdapat pada kelompok kontrol 52,38 % dan GDS paling tinggi banyak terdapat pada kelompok kasus yaitu 80,95%. Tabel 1. Variabel Umur 30 39 40 - 49 50 59 60 69 70 79 Jenis Pekerjaan PNS Pegawai Swasta Tani Wiraswasta Pensiunan IRT Kadar GDS 200 249 240 299 300 349 >=350 Data Primer Distribusi Karakteristik Responden di Diabetes Center Kota Ternate Kasus n 1 13 12 14 2 12 1 2 11 2 14 0 0 8 34 % 2,38 30,95 28,57 33,33 4,76 28,57 2,38 4,76 26,19 4,76 33,33 0,00 0,00 19,05 80,95 n 2 26 24 28 4 11 7 3 17 5 41 44 23 14 3 Kontrol % 2,38 30,95 28,57 33,33 4,76 13,10 8,33 3,57 20,24 5,95 48,81 52,38 27,38 16,67 3,57 n 3 39 36 42 6 23 8 5 28 7 55 44 23 22 37 Jumlah % 2,38 30,95 28,57 33,33 4,76 18,25 6,35 3,97 22,22 5,56 43,65 34,92 18,25 17,46 29,37

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

132

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Analisis Pada tabel 2 Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR), faktor obesitas terhadap kejadian DM dengan komplikasi RD adalah 4,95 (95% CI : 2,02-12,70). Dengan demikian responden obesitas yang berisiko dengan risiko 4,94 kali menderita DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang tidak Obesitas. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 4,94 dianggap bermakna secara statistik atau obesitas merupakan faktor risiko kejadian DM dengan komplikasi RD. Tabel 2. Besar Risiko Kejadian DM dengan komplikasi RD di Diabetes Center Kota Ternate DM dengan Komplikasi RD Kasus Kontrol n % n % 32 10 25 17 32 10 31 11 36 6 4 38 76,19 23,81 59,52 40,48 76,19 23,81 73,81 26,19 85,71 14,29 9,52 90,48 33 51 25 59 28 56 38 46 64 20 5 79 39,29 60,71 29,76 70,24 33,33 66,67 45,24 54,76 76,19 23,81 5,95 94,05

Variabel Obesitas Risiko Tinggi Risiko Rendah Hipertensi Risiko Tinggi Risiko Rendah Kolesterol Risiko Tinggi Risiko Rendah Jenis Kelamin Risiko Tinggi Risiko Rendah Aktivitas Fisik Risiko Tinggi Risiko Rendah Riwayat Merokok Risiko Tinggi Risiko Rendah Data Primer

OR

95% CI

4,95

2,02-12,70

0,00 01 0,00 13 0,00 00 0,00 24 0,21 30 0,46 31

3,47

1,49-8,10

6,4

2,57-16,55

3,41

1,42-8,49

1,87

0,65-6,21

1,66

0,31-8,18

Responden dengan hipertensi berisiko dengan risiko 3,47 kali menderita DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang tidak hipertensi. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 3,47 dianggap bermakna secara statistik atau hipertensi merupakan faktor risiko kejadian DM dengan komplikasi RD. Hasil analisis Odds Ratio (OR), kolesterol terhadap kejadian DM dengan komplikasi RD adalah 6,4 (95% CI : 2,58-16,55). responden yang memiliki kolesterol tinggi berisiko dengan risiko 6,4 kali menderita DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang kolesterol rendah. Responden berjenis kelamin perempuan berisiko dengan risiko 3,41 kali mengalami DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang jenis kelamin laki - laki. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 3,41 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,42 8,49. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka jenis kelamin perempuan berisiko 3,41 kali lebih besar dibandingkan responden yang jenis kelamin laki laki dan bermakna secara statistik. Responden dengan aktivitas fisik rendah memiliki risiko 1,87 (95% CI : 0,65-6,21). terjadinya Diabetes Melitus dengan komplikasi Retinopati Diabetik dibandingkan yang aktifitas fisik teratur. Nilai LL dan UL mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 1,87 dianggap tidak bermakna secara statistik atau aktivitas Fisik bukan merupakan faktor risiko kejadian DM dengan Komplikasi RD. Responden dengan riwayat merokok atau merokok lebih dari 1 bungkus sehari memiliki risiko 1,66 kali menderita DM dengan Komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang tidak mempunyai Riwayat Merokok atau merokok kurang dari 1 bungkus per hari. Nilai LL dan UL (95% CI :0,31-8,18) mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 1,66 dianggap tidak bermakna secara statistik atau Riwayat merokok bukan merupakan faktor risiko kejadian DM dengan Komplikasi RD. Analisis Stratifikasi Dari tabel 3, Analisis stratifikasi variabel Kolesterol mempengaruhi hubungan Obesitas terhadap kejadian DM dengan komplikasi RD, dimana terjadi peningkatan nilai OR adjust dibandingkan dengan nilai OR crude. Sehingga variabel kolesterol bermakna sebagai variabel confounding (beda ORa dan M-H combined > 10%) dan tidak ada interaksi (test of homogeneity dengan p > 0,05).

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

133

JURNAL Tabel 3.

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hasil Analisis Faktor Confounding Kolesterol Terhadap Hubungan Obesitas Dengan Kejadian DM dengan komplikasi RD pada Diabetes Center Kota Ternate M-H combined 3,96 Koef. Confounding (>10%) 20% Homogeneity test (p>0,05) 0,69

Variabel yang Diduga Confounding Kolesterol Data Primer

Orc 4,95

95% CI 1,672-9,373

Analisis Multivariat Analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (risiko) kejadian DM dengan komplikasi retinopati diabetika adalah 80,57% (P = 0,8057 dengan nilai y = 1,422) pada kondisi ibu yang obesitas, hipertensi dan responden dengan kolesterol tinggi dengan formula P = 1/(1+exp -y) (tabel 4). Tabel 4. Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian DM dengan komplikasi RD pada Diabetes Center Kota Ternate Coef. 1,47 1,32 1,73 -3,10 Z 3,10 2,88 3,69 OR 4,36 3,76 5,65 95% Conf. Interval 1,72-11,06 1,53-9,27 2,25-14,16 p 0,002 0,004 0,000

Variabel Obesitas Hipertensi Kolesterol _cons y = 1,422 p= 0,8057 Data Primer

PEMBAHASAN Dalam peneltian ini menunjukkan bahwa ada beberapa variabel yang signifikan mempengaruhi kejadian Diabetes Melitus dengan komplikasi retinopati diabetika yaitu obesitas, hipertensi, dan kolesterol tinggi Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa nilai odd ratio (OR) 4,95 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 2,02 12,70, oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka responden mempunyai berat badan lebih atau obesitas berisiko 4,95 kali lebih besar untuk menderita DM dengan Komplikasi RD dibandingkan yang tidak obesitas. Proses penyakit retinopati diabetik terjadi akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada pembuluh darah retina, yaitu suatu membran tipis yang terbentuk dari sel-sel saraf yang berjejer di belakang 2/3 bola mata. Sel-sel saraf pada retina akan menerima cahaya dan mengirimkan sinyal ke otak tentang apa yang dilihat oleh mata. Hu FB, dkk (2001) melaporkan hasil penelitian yang merupakan bagian dari penelitian kohort The Nurse Health Study. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor predictor utama terjadinya DM ialah berat badan lebih atau gemuk. Orang gemuk, terdapat kalori yang berlebihan karena konsumsi makanan yang banyak menyebabkan penimbunan jaringan lemak di bawah kulit. Insulin resistance atau resisten insulin akan timbul, dimana jaringan lemak menumpuk akan menghambat kerja insulin dijaringan tubuh dan otot sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menimbun di dalam pembuluh darah, dan glukosa akan meningkat. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 3,47 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,49 8,10. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka variabel hipertensi merupakan faktor risiko untuk responden yang menderita DM dengan komplikasi RD. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sidasi (2010) yang menyatakan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya diabetes melitus dengan OR = 3.03, CI 95% (1,34 6,81). Hipertensi atau sering disebut penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana pembuluh darah kehilangan elastisitas (yang disebabkan salah satunya adalah oleh kondisi pembuluh darah yang sudah tua, kaku dan rapuh), sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah pada pembuluh nadi atau arteri melebihi nilai normal. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi erat kaitannya dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer (Pratiwi, 2008). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rusman Shiddiq, dkk (2011). Hipertensi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian retinopati diabetik dengan nilai p=0,008. Hipertensi bisa memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi. Antara 3537 % komplikasi diabetes disebabkan oleh hipertensi. Hipertensi lebih banyak terjadi pada penderita diabetes tipe 2 daripada tipe 1 (Tandra, 2007). Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 134

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Kolesterol merupakan zat yang berlemak yang ditemukan disetiap tubuh kita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan kolesterol tinggi lebih banyak pada responden yang menderita DM dengan komplikasi RD yaitu 76,19%, dibandingkan responden yang menderita DM tanpa Komplikasi RD yaitu 33,33%. Hasil Uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 6,4 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 2,57 16,55. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka responden yang kolesterolnya tinggi berisiko 6,4 kali lebih besar menderita DM dengan komplikasi RD dibandingkan dengan responden yang kolesterolnya normal. Dan bermakna secara statistik. Perubahan komposisi asam lemak dalam fosfolipid membrane sangat mempengaruhi keaktifan insulin. Sejumlah peneliti telah memperlihatkan fakta tersebut. Gangguan yang terjadi berupa gangguan peningkatan insulin pada reseptor dan peristiwa sesudah peningkatan dengan reseptor. Secara umum makin jenuh asam lemak lipid membrane makin kurang sensitivitas insulin. Pada suatu penelitian lain, ditemukan bahwa asam lemak dalam diet berperan besar pada resistensi insulin. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ramlah (2009) yang menyatakan kolesterol tinggi merupakan faktor risiko terhadap kejadian DM tipe 2 dengan OR = 1.579, CI 95 % (0,820-3,039). Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan terhadap suatu penyakit memegang peranan tersendiri. Rasio jenis kelamin harus selalu dipertimbangkan pada peristiwa penyakit tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam banyak hal, termasuk kebiasaan hubungan social, keterpaparan oleh pengaruh lingkungan dan segi segi lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 3,41 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,42-8,49. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka jenis kelamin perempuan berisiko 3,41 kali lebih besar dibandingkan responden yang jenis kelamin laki-laki dan bermakna secara statistik. Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terkena DM seperti pada komplikasi nefropati diabetic dan retinopati diabetic. Setelah usia 30 tahun, perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki LDL atau kolesterol buruk tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dari laki-laki, dan terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi terjadinya penyakit diabetes mellitus. Wanita diharapkan dapat lebih peduli terhadap kesehatan dengan meningkatkan pola hidup sehat. Penelitian yang dilakukan di Meksiko mendapatkan 70 % penderita Retinopati merupakan wanita dengan usia rata rata 51 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa RD pada wanita lebih banyak ditemukan daripada laki-laki. Dengan uji proporsi terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin wanita dan laki-laki terhadap timbulnya RD (p=0,0416) (Damayanti, dkk). Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan mengeluarkan tenaga dan energy, yang biasa dilakukan atau rutinitas sehari hari sesuai profesi atau pekerjaan. Olahraga adalah aktifitas fisik yang terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk mencapai kebugaran. Dengan olahraga membuat insulin bekerja lebih efektif, membantu menurunkan berat badan, memperkuat jantung, serta mengurangi stress. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 1,87 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,65- 6,21. Nilai LL dan UL mencakup nilai satu, maka yang mepunyai kebiasaan aktivitas rendah berisiko menderita DM dengan komplikasi RD tetapi tidak bermakna secara statistik. Pada saat berolah raga, otot berkontraksi dan mengalami relaksasi. Glukosa akan dipakai atau dibakar untuk energi. Untuk kebutuhan energi, glukosa darah akan dipindahkan dari darah ke otot selama dan setelah berolahraga. Dengan demikian glukosa darah akan menurun. Disamping itu, olahraga membuat insulin menjadi lebih sensitive. Insulin akan bekerja dengan lebih baik untuk membuka pintu masuk bagi glukosa ke dalam sel. Penelitian Arif (2008) menyatakan aktivitas fisik yang kurang memiliki risiko terkena DM dengan OR = 3.27. Penelitian ini juga sejalan dengan Indriyani, dkk yang menyatakan ada pengaruh latihan fisik : Senam aerobic terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2 (p=0001). Frekuensi olahraga yang dianjurkan adalah 3-5 kali perminggu dengan intensitas 60-70 % dari denyut nadi maksimal (DNM). Prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah, setiap berolahraga harus terdiri dari 3 tahapan berturut-turut, pemanasan (5-10 menit), latihan inti (20-40 menit) dan pendinginan (5-10 menit). Durasi dan intensitas ditentukan berdasarkan kondisi tubuh dan tingkat penyakit DM pasien, usia, tingkat kebugaran, penyakit yang menyertai dan lain-lain. Rokok merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian dini di Negara berkembang yang dapat dicegah. Nikotin merupakan zat adiksi tinggi yang akan menaikkan kadar dopamine di otak. Perubahan otak selama putus obat nikotin sama dengan keadaan yang terjadi pada putus obat yang lain. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai odss ratio (OR) 1,66 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,31-8,18. Nilai LL dan UL mencakup nilai satu, maka responden dengan riwayat merokok atau merokok lebih dari 1 bungkus per hari berisiko 1,66 kali lebih besar menderita DM dengan Komplikasi RD dibandingkan dengan yang tidak memiliki Riwayat merokok atau merokok kurang dari 1 bungkus per hari tetapi tidak bermakna secara statistik.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

135

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Nikotin dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas insulin dan meningkatkan terjadinya resistensi insulin. Pada kondisi hiperglikemi, nikotin dan karbon monoksida mempercepat terjadinya penggumpalan darah. Diabetisi yang merokok cenderung mengalami penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah sehingga lebih banyak mengalami komplikasi seperti kebutaan, impotensi, gagal ginjal dan tindakan amputasi (Direktorat PTM). Semakin lama seseorang merokok semakin lama pula orang terpapar oleh asap rokok yang selanjutnya akan mempengaruhi organ-organ tubuh yang terpapar (Sadari, 2007). Pasien DM yang merokok mempunyai risiko 8 kali besar. Merokok mempengaruhi/memperburuk terjadinya retinopati diabetic dan nefropati diabetic (Komplikasi pada mata dan ginjal). Penelitian Carole,at.al (2005) menyatakan risiko Diabetes lebih besar 20 batang rokok perhari daripada perokok ringan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa obesitas, hipertensi dan kolesterol berisiko terhadap kejadian DM dengan komplikasi retinopati diabetika, serta kolesterol merupakan variabel confounding hubungan antara obesitas dengan kejadian DM dengan komplikasi retinopati diabetika. Bagi bagi penderita DM agar melakukan diet seimbang, olah raga teratur dan meningkatkan derajat hidup sehat sehingga komplikasi akibat DM dapat dicegah. DAFTAR PUSTAKA Arief, M.I. (2009). Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Unhas Makassar. Damayanti D.K, dkk, (1992). Prevalensi dan factor-faktor risiko retinopaty diabetika pada penderita diabetes mellitus di RS dr. Hasan Sadikin, 1992. www.googlescholar.com. diakses tanggal, 10 Mei 2012. Direktorat PPTM, 2008, Petunjuk Tekhnis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus , Departemen Kesehatan RI. FK-UI, (2009),Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. Hu FB, et al. (2001). Diet, Lifestyle, and the risk of type 2 diabetes mellitus in women. N Engl J Med.2001;345:790-97. Indriyani Puji, dkk, (2007).Pengaruh Latihan Fisik;Senam Aerobik Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderita DM Tipe 2 Di Wilayah Puskesmas Bukateja Purbalingga.www.google.com . Diakses tanggal, 10 Mei 2012 Pratiwi, Dyah. (2007). Epidemiologi DM dan Isu Mutakhirnya . Http://www.Epidemiologic.org. Diakses tanggal, 01 Januari 2012. Ramlah, (2009). Beberapa Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Tenriawaru Kabupaten Bone Tahun 2009. Tesis Pasca Sarjana UNHAS Makassar, 2009. Shiddiq Rusman, dkk, (2011). Hubungan Hipertensi dan Glycohemoglobin (HbA1c) dengan Kejadian Retinopati Diabetik Pada Penderita DM di RSUD Margono Soekarja Purwokerto. www.googlescholar.com. Diakses tanggal, 11 Mei 2012. Sadari, (2007). Faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada usia lanjut di RS Banua Mamase Kab. Mamasa Prov. Sulbar. Makassar. Tandra, Hans. (2007). Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang Diabetes, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007. Willi carole,at.al, (2007). Active smoking and the risk of Type 2 Diabetes. www.jama.com. diakses tanggal 10 April 2012. _______, (2011). Aktivitas Fisik dan Diet Seimbang Mencegah Kanker. www.Depkes.go.id. Diakses tanggal, 17 November 2011. _______, (2011). Hindari Hipertensi, Konsumsi Garam 1 Sendok the per Hari. www.Depkes.go.id. Diakses tanggal, 17 November 2011. _______, (2010). Tahun 2030 Prevalensi Diabetes mellitus Di Indonesia Mencapai 21,3 Juta Orang . www.Depkes.go.id. Diakses tanggal, 17 November 2011.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

136

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR PERILAKU DAN LINGKUNGAN TERHADAP TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOMBA OPU KABUPATEN GOWA TAHUN 2012 Khaerani Erniyanti1, Ridwan Amiruddin2, Citrakesumasari3
1

Alumni Program Megister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infectious disease remains a public health problem in the world, including Indonesia. This study aims to present the distribution of pulmonary TB cases and analyzing behavioral and environmental risk factors for pulmonary tuberculosis in the working area Puskesmas Somba Opu Gowa 2012.This research was conducted in the work area Puskesmas Somba Opu Gowa. The study design is a case-control study. Sample size of 150 with a comparison between cases and controls 1: 1. TB cases are pulmonary TB patients and controls, not the lungs. The data was collected using questionnaires and interviews capture the coordinates of the patients with GPS. Spatial analysis of the distribution made to the distribution of cases of pulmonary tuberculosis. Bivariate statistical tests using odds ratios with = 0. 05, stratified using Hanszel Mantel test and multivariate analysis using logistic regression. The results showed that the distribution of pulmonary TB cases are in the village most Tombolo of 25.3% of the 75 cases. Significant factors of pulmonary tuberculosis is the behavior of smoking (p = 0.0015, OR 2.979, CI 95%:1.427-6.270), TB preventive measures (p = 0.0005, OR 3.613, CI 95%:1.635-8.178), and ventilation (p = 0.004, OR 2.72, CI 95%:1.294-5.773). The factors are not significant is the type of building (p = 0.638, OR 1.181, CI 95%:0.491-2.866), floor type (p = 0.467, OR 1.303, CI 95%:0.6-2.8), floor area of the home (p = 0.1798, OR 1.571, CI 95%:0.769-3.218), and the use of biomass fuels for cooking (p = 0.5472, OR 0.693, CI 95%: 0.165-2.687). Smoking behavior is the most influential variable on the pulmonary TB (p = 0.002, OR 3.293, CI 95%:1.573-6.895). Promotion and prevention efforts need to break the chain of pulmonary tuberculosis. Keywords: pulmonary tuberculosis, behavioral, environmental PENDAHULUAN Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 22 negara yang dikategorikan sebagai High Burden Countries (HBSc) terhadap TB. Lebih dari 75% kasus TB di dunia terdapat di 22 negara HBCs (Aditama, 2006). Jumlah penderita TB di Indonesia tahun 2010 meningkat ke posisi keempat di dunia. Lima negara dengan jumlah kasus terbesar adalah India (2.300.000 kasus), Cina (1.000.000 kasus), Afrika Selatan (490.000 kasus), Indonesia (450.000 kasus), dan Pakistan (400.000 kasus) (WHO, 2011). Penyakit TB paru di Indonesia merupakan penyebab kematian utama ketiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan kejadian TB paru adalah adanya sumber penularan, riwayat kontak penderita, tingkat sosial ekonomi, tingkat paparan, virulensi basil, daya tahan tubuh rendah berkaitan dengan genetik, keadaan gizi, usia, nutrisi, imunisasi, keadaan perumahan meliputi (suhu dalam rumah, ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan penghuni, dan lingkungan sekitar rumah), dan pekerjaan (Rusnoto, 2008). Kebiasaan merokok, maupun perokok pasif telah terbukti berhubungan secara signifikan terhadap risiko penyakit infeksi dan kematian akibat TB (Lin, 2007). Tindakan pencegahan yang mempengaruhi seseorang untuk mudah tertular kuman TB diantaranya tidak meludah sembarangan, kebiasaan membuka jendela kamar tidur setiap hari, menjemur kasur dan atau bantal dan atau guling kapuk secara teratur satu kali seminggu, serta tidak makan dan/atau minum sepiring/segelas dengan orang lain. Hasil studi sebelumnya memperlihatkan hubungan yang signifikan antara tindakan pencegahan dengan penyakit TB (Handoko 2010). Jenis bangunan rumah akan berpengaruh terhadap kelembaban dan mata rantai penularan TB paru (Fatimah, 2008). Luas lantai rumah harus cukup untuk penghuni didalamnya supaya tidak menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan mencegah tertularnya penyakit TB bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi (Notoatmodjo, 2003). Ventilasi sangat mempengaruhi proses dilusi udara, mengencerkan konsentrasi kuman TB dan kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar matahari (Supriyani, 2010). Penggunaan bahan bakar biomassa dalam ruangan, terutama sebagai sumber pemanasan, terkait dengan kejadian TB pada wanita. Paparan pembakaran bahan bakar biomassa dalam ruangan merupakan faktor risiko untuk TB (Pokhrel, 2010).

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

137

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Sistem Informasi Geografis merupakan sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, mengolah, memanipulasi, dan menampilkan informasi spasial (keruangan). Melalui sistem ini, dapat dilakukan analisis sebaran kasus TB paru di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu. Melihat tingginya kasus TB paru maka diperlukan penelitian lebih jauh mengenai sebaran kasus TB paru dan faktor risiko TB paru, terutama dalam menganalisis besarnya risiko antara perilaku merokok, tindakan pencegahan TB, jenis bangunan rumah, jenis lantai rumah, luas lantai rumah, ventilasi rumah, dan penggunaan bahan bakar biomassa sehingga dapat diambil langkah pencegahan guna meminimalisir faktor tersebut supaya angka morbiditas dan mortalitas TB paru dapat ditekan. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (case control study) (Sudigdo, 2002). Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani pengobatan di Puskesmas Somba Opu Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa tahun 2012. Jumlah sampel sebanyak 150 orang dengan perbandingan antara kasus dan kontrol 1 : 1 (Lameshow, et al.,1997). Kasus adalah pasien yang menderita TB paru sedangkan kontrol adalah masyarakat yang tidak menderita TB paru dan menjalani pengobatan di Puskesmas Somba Opu. Analisis Data Sebaran kasus TB paru dianalisis dengan aplikasi Arc GIS. Data diolah dengan menggunakan program STATA. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui besar risiko terhadap TB paru digunakan Odds Ratio (OR). Analisis multivariat untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap TB paru digunakan uji regresi logistik sedangkan untuk mengetahui adanya confounding digunakan analisis stratifikasi. HASIL Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2012
Variabel Kelompok Umur 15 24 25 34 35 44 43-50 51-58 59-66 67 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD SMP/sederajat SMA/sederajat Diploma/PT Pekerjaan IRT PNS Wiraswasta Pensiunan Pelaut Pedagang Buruh Harian Karyawan Swasta Pelajar Tidak bekerja 8 10 11 14 18 12 2 44 31 5 6 31 12 15 6 25 2 3 5 2 5 12 6 5 10 10,7 13,3 14,7 18,7 24,0 16,0 2,7 58,7 41,3 6,7 8,0 41,3 16,0 20,0 8,0 33,3 2,7 4,0 6,7 2,7 6,7 16,0 8,0 6,7 13,3 8 10 11 14 18 12 2 33 42 2 3 23 17 21 9 32 3 10 10 1 4 3 3 4 5 10,7 13,3 14,7 18,7 24,0 16,0 2,7 44,0 56,0 2,7 4,0 30,7 22,7 28,0 12,0 42,7 4,0 13,3 13,3 1,3 5,3 4,0 4,0 5,3 6,7 16 20 22 28 36 24 4 77 73 7 9 54 29 36 15 57 5 13 15 3 9 15 9 9 15 10,7 13,3 14,7 18,7 24,0 16,0 2,7 51,3 48,7 4,7 6,0 36,0 19,3 24,0 10,0 38,0 3,3 8,7 10,0 2,0 6,0 10,0 6,0 6,0 10,0 Kasus n % n Kontrol % n Jumlah %

Data Primer Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 138

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden yang menjadi sampel pada penelitian ini. Distribusi kejadian TB paru berdasarkan umur, terbanyak ditemukan pada kelompok umur 55 64 tahun sebesar 24%, sedangkan paling sedikit ditemukan pada kelompok umur 75 tahun sebesar 2,7%. Distribusi yang menderita TB paru BTA positif berdasarkan jenis kelamin terbanyak ditemukan pada responden laki-laki yakni 58,7% dan terendah pada responden dengan jenis kelamin perempuan yakni 41,3%. Berdasarkan tingkat pendidikan, yang tidak sekolah hingga SD lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus yaitu tidak sekolah 6,7%, tidak tamat SD 8%, dan SD 41,3%. Sedangkan responden yang memiliki tingkat pendidikan SMP/sederajat hingga Diploma/PT lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol yaitu SMP/sederajat 22,7%, SMA/sederajat 28% dan Diploma/PT 12%. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan, tertinggi pada kelompok kasus dan kontrol adalah ibu rumah tangga sebesar 33,3% pada kasus dan sebesar 42,7% pada kelompok kontrol, sedangkan yang terendah pada kelompok kasus adalah PNS dan pelaut yaitu masing-masing 2,7% dan pada kelompok kontrol adalah pelaut sebesar 1,3%. Hasil Analisis Tabel 2. Besar Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2012 Kejadian TB Paru Kasus Kontrol n % n %

Variabel

OR

95% CI

Perilaku Merokok Risiko Tinggi 39 52,0 20 26,7 Risiko Rendah 36 48,0 55 73,3 Tindakan Pencegahan TB Risiko Tinggi 61 81,3 41 54,7 Risiko Rendah 14 18,7 34 45,3 Jenis Bangunan Rumah Risiko Tinggi 16 21,3 14 18,7 Risiko Rendah 59 78,7 61 81,3 Jenis Lantai Rumah Risiko Tinggi 23 30,7 19 25,3 Risiko Rendah 52 69,3 56 74,7 Luas Lantai Rumah Risiko Tinggi 33 44,0 25 33,3 Risiko Rendah 42 56,0 50 66,7 Ventilasi Rumah Risiko Tinggi 56 74,7 39 52,0 Risiko Rendah 19 25,3 36 48,0 Penggunaan Bahan Bakar Biomassa untuk Memasak Risiko Tinggi 5 6,7 7 9,3 Risiko Rendah 70 93,3 68 90,7 Data Primer

2,979

1,427 6,270 1,635 8,178 0,491 2,866 0,6 2,8 0,769 9,218 1,294 5,773 0,165 2,687

0,0015

3,613

0,0005

1,181

0,683

1,303

0,467

1,571

0,179

2,72

0,004

0,693

0,547

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang merokok lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (52%) dibandingkan pada kelompok kontrol (25,3%), nilai OR 2,979 (1,42 6,775) dengan p value 0,0008 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku merokok dengan TB paru. Responden yang memiliki tindakan pencegahan kurang banyak ditemukan pada kelompok kasus (81,3%) dibandingkan pada kelompok kontrol (54,7%), nilai OR 3,613(1,635-8,178) dengan p value 0,0005 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara tindakan pencegahan dengan TB paru. Responden yang memiliki jenis bangunan yang tidak memenuhi syarat lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (21,3%) dibandingkan pada kelompok kontrol (18,7%), nilai OR 1,181 (0,491-2,866) dengan p value 0,683 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis bangunan rumah dengan TB paru. Responden yang memiliki jenis lantai yang tidak memenuhi persyaratan lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (30,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol (25,3%), nilai OR 1,303 (0,6-2,8) dengan p value 0,467 (p>0,05). Secara statistik, terdapat tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis lantai rumah dengan TB paru. Responden yang memiliki luas lantai rumah < 9 m2 lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (44,0%) dibandingkan pada kelompok kontrol (33,3%), nilai OR 1,571 (0,769-3218) dengan p value 0,1798 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara luas lantai rumah dengan TB paru. Responden yang memiliki ventilasi < 10% dari luas lantai rumah lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (74,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol (52,0%), nilai OR 2,72 (1,294-5,773) dengan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 139

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

p value 0,004 (p < 0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan TB paru. Responden yang menggunakan bahan bakar biomassa lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol (9,3%) dibandingkan pada kelompok kasus (6,7%), nilai OR 0,693 (0,165-2,687) dengan p value 0,5472 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar biomassa untuk memasak dengan TB paru. Tabel 3. Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2012 Variabel Penelitian Perilaku Merokok Tindakan Pencegahan TB Ventilasi Rumah Constant Y = 1,441 P = 0,808 Data Primer Coef 1,191 1,154 0,977 -1,882 z 3,16 2,89 2,55 OR 3,293 3,172 2,656 95% CI LL UL 1,573 6,895 1,448 6,949 1,252 5,633 p 0,002 0,004 0,011

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (risiko) TB paru adalah 80,8% (P = 0,808 dengan nilai y = 1,441) pada mereka yang menggunakan perilaku merokok, tindakan pencegahan TB yang kurang, dan ventilasi < 10% dari luas rumah dengan formula P = 1/(1+exp -y) (Tabel 3). Hasil analisis stratifikasi menunjukkan variabel ventilasi rumah tidak mempengaruhi hubungan tindakan pencegahan TB dengan TB paru, dimana terjadi penurunan nilai OR adjust dibandingkan dengan nilai OR crude. Sehingga variabel ventilasi rumah bukan variabel confounding (beda ORc dan M-H combined < 10%) (Tabel 4). Tabel 4. Hasil Analisis Stratifikasi Berdasarkan Variabel Ventilasi Rumah M-H combined 3,275 Koef. Confounding (>10%) 9,34% Homogeneity test (p<0,05) 0,741

Variabel Tindakan Pencegahan TB Data Primer

ORc 3,613

95% CI 1,544 6,948

PEMBAHASAN Sebaran kasus TB paru di wilayah kerja Puskesmas Somba Opu tidak merata pada semua kelurahan, sebaran cenderung mengumpul pada wilayah dengan kepadatan penduduk lebih padat daripada kelurahan yang lain. Walaupun bukan merupakan kelurahan yang tertinggi tingkat kepadatannya, namun Kelurahan Tombolo termasuk wilayah padat penduduk dengan tingkat kepadatan 5.551,5 penduduk/km 2. Tingginya kepadatan penduduk memicu lebih mudahnya penduduk terserang agent TB paru. Perilaku merokok merupakan faktor risiko TB paru, dimana responden yang merokok memiliki risiko 2,979 kali lebih besar untuk menderita TB paru bila dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa responden yang merokok berisiko 4,034 kali menderita TB paru (Amiluddin, 2009). Merokok menyebabkan penurunan daya tahan tubuh terhadap TB dan meningkatkan kemungkinan penularan lewat batuk yang lebih sering, karena kuman mycrobacterium tuberkulosis memasuki tubuh manusia sebagai kuman hidup yang ada di dalam droplet. Tindakan pencegahan TB secara umum meliputi perilaku tidak meludah sembarangan, kebiasaan membuka jendela kamar tidur setiap hari, menjemur kasur dan atau bantal dan atau guling kapuk secara teratur satu kali seminggu, serta tidak makan dan/atau minum sepiring/segelas dengan orang lain. Responden dengan tindakan pencegahan TB paru yang kurang memiliki risiko 3,613 kali lebih besar untuk menderita TB bila dibandingkan dengan responden dengan tindakan pencegahan TB yang cukup. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Handoko (2010) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap pencegahan dengan penyakit TB. TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang dapat ditularkan melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang ditularkan dapat mempengaruhi penyebaran TB salah satunya berawal dari kondisi tempat tinggal, dimana tempat tinggal identik dengan jenis bangunan rumah yang ditempati. Namun, hasil penelitian menemukan bahwa jenis bangunan rumah tidak bermakna sebagai faktor risiko terjadinya penyakit TB paru. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Fatimah (2008) menemukan bahwa rumah yang terbuat dari tembok, pasangan bata/batu yang diplester, papan kedap air (permanen) berisiko 2,692 kali terhadap kejadian TB paru.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

140

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Setiap rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Hasil penelitian menemukan bahwa jenis lantai rumah tidak bermakna secara statistik sebagai faktor risiko TB paru, padahal lantai rumah berupa semen plesteran retak atau tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan udara ruangan menjadi lembab yang dapat mendukung perkembangan kuman TB paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa jenis lantai rumah bukan merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru atau tidak ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian tuberkulosis paru. Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan. Salah satu syarat konstruksi yang harus diperhatikan sehubungan dengan penyakit TB paru adalah luas lantai rumah. Luas lantai rumah dikategorikan berisiko tinggi jika luas lantai rumah responden < 9 m 2 per orang dan risiko rendah jika luas lantai rumah responden 9 m2 per orang. Hasil analisis statistik dalam penelitian menunjukkan bahwa luas lantai rumah tidak bermakna sebagai faktor risiko kejadian tuberkulosis paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa kepadatan hunian rumah tidak berhubungan dengan TB paru. Keberadaan ventilasi rumah berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru. Hasil penelitian menemukan bahwa ventilasi rumah < 10% dari luas lantai memiliki risiko 2,72 kali lebih besar untuk menderita TB paru bila dibandingkan dengan responden dengan ventilasi rumah 10% dari luas lantai. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Halada (2011) yang menemukan bahwa responden dengan luas ventilasi rumah < 10% dari luas lantai berisiko 9,75 kali menderita TB paru. Ventilasi rumah < 10% dari luas lantai akan menyebabkan peningkatan kelembaban sehingga menjadi media untuk berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman TB. Ventilasi rumah mempengaruhi hubungan tindakan pencegahan TB terhadap TB paru. Dengan ventilasi 10% dari luas lantai rumah dan tidak melakukan tindakan pencegahan TB seperti kebiasaan meludah sembarangan dan tidak membuka jendela kamar tidur tiap hari, akan membantu pertukaran aliran udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah sehingga dapat membunuh kuman TB. Akan tetapi, hasil analisis stratifikasi dengan uji Mantel Hanszel diperoleh selisih perbedaan OR Crude dan OR MH hanya mencapai 9,34%. Selisih perbedaan ini tidak mencapai 10%-20% sehingga variabel ventilasi rumah bukan merupakan variabel confounding terhadap hubungan tindakan pencegahan TB dengan TB paru. Penggunaan bahan bakar biomassa untuk memasak didapur seperti kayu, arang, dan jerami yang tidak efisien dapat menyebabkan masalah kesehatan khususnya saluran pernafasan. Hasil penelitian menemukan bahwa penggunaan bahan bakar untuk memasak tidak bermakna sebagai faktor risiko kejadian tuberkulosis paru. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pokhrel, et.al (2010), bahwa penggunaan bahan bakar biomassa dalam ruangan, terutama sebagai sumber pemanasan berisiko 3,45 kali menderita TB paru pada wanita. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebaran kasus TB paru paling banyak berada di Kelurahan Tombolo. Perilaku merokok, tindakan pencegahan TB dan ventilasi rumah berisiko terhadap TB paru. Perilaku merokok merupakan variabel paling berpengaruh terhadap TB paru. Responden mereka yang menggunakan perilaku merokok, tindakan pencegahan TB yang kurang, dan ventilasi rumah < 10% dari luas rumah memiliki peluang untuk menderita TB paru 80,8%. Perlu upaya promotif melalui penyuluhan pada mereka yang berisiko baik pada para perokok maupun pada masyarakat umum, selain itu perlu dilakukan penyuluhan tentang kondisi rumah yang memenuhi syarat kesehatan sebagai upaya preventif untuk memutuskan mata rantai penyebaran TB paru. DAFTAR PUSTAKA Amiluddin. (2009). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Tamalate Kabupaten Jeneponto Tahun 2006 2008. Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Fatimah, Siti. (2008). Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008, (online). (http://eprints.undip.ac.id/24695/1/SITI_FATIMAH.pdf, diunduh 21 Mei 2012). Handoko, Nugroho Priyo. (2010). Hubungan Tingkat Penghasilan, Pendidikan, Pengetahuan, Sikap Pencegahan Dan Pencarian Pengobatan, Praktek Pencegahan Dan Pencarian Pengobatan Dengan Penyakit TB di BBKPM Surakarta. Jurnal Keperawatan, Vol. No.1:1-7. Halada, Yusri R. (2011). Analisis Faktor Risiko Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA (+) di Wilayah Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009 . Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Rusnoto; Rahmatullah, Pasihan; dan Udiono, Ari. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati), (online). (http://eprints.undip.ac.id/5283/1/ Rusnoto.pdf, diunduh 21 Mei 2012). Supriyani. (2010). Analisis Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru BTA (+) di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009. Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

141

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR DETERMINAN KEGAGALAN KONVERSI PADA PENGOBATAN TB PARU DI KABUPATEN MUNA La Ode Rajab Gade1, Ridwan Amiruddin1, Muh. Syafar2 Dinas Kesehata Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, 3 Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
2 1

ABSTRACT The objective of the research to investigate the risk factors that could affect the conversion of TB treatment failure in Muna in 2011. This type of observational analytic study is a case control study design. Groups of cases are patients who otherwise failed conversion (smear positive) after treatment was run for two months and controls were patients who expressed negative smear setelh two months of treatment. Sample of 138 people. The analysis used the odds ratio test and logistic regression. The results showed that the variable is a risk factor is the level of knowledge conversion failure patients (OR = 4.02 95% CI: 1.86 to 8.72), nutritional status (OR = 4.35 95% CI: 2.00 - 9.53), regularity of treatment (OR = 10.85 95% CI: 4.54 to 26.57), PMO support (OR = 4,00 CI 95% :1,97 8,13), and health services (OR = 4.35, CI 95 %: 2.00 to 9.53). regularity of treatment is the most influential risk factor for conversion of TB treatment failure. Keywords: Conversion of TB, the regularity of treatment, and support the PMO PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis Compleks dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan Tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapar 8,8 juta kasus baru Tuberkulosis. Tiga koma sembilan juta merupakan kasus BTA (Basil Tahan Asam) Positif. Menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terdapat di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di Dunia (Depkes, 2006) Peningkatan TB paru di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan terhadapat program pengobatan, diagnosis, dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Di Indonesia sebagian besar kasus TB paru tidak ditemukan secara keseluruhan dan dari kasus yang ditemukan tersebut, hanya sebagian kasus TB paru dengan basil tahan asam. Hasil BTA sputum positif yang tidak dapat disembuhkan, pengobatan yang tidak teratur, penggunaan obat antituberkulosis (OAT) tidak adekuat ataupun pengobatan terputus yang menimbulkan kuman yang resisten terhadap OAT (Aditama, 2004). Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti melakukan penelitian dengan judul Analisis Determinan Kegagalan Konversi pada Pengobatan TB Paru di Kabupaten Muna Tahun 2011. BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kabupaten Muna. Jenis penelitian menggunakan desain case control study. Populasi dan Sampel Populasi yang menjadi target dalam penelitian ini adalah pasien TB paru BTA Positif yang menjalani pengobatan selama 2 bulan di Puskesmas se Kabupaten Muna.. Sampel sebanyak 138 orang yang dipilih secara purpossive sampling yang telah memenuhi kriteria yaitu pasien gagal konversi untuk sampel kasus dan pasien yang berhasil dalam konversi untuk sampel kontrol. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner. Data karakteristik (Umur, Jenis Kelamin, pekerjaan), variabel yang diteliti (tingkat pengetahuan, status gizi, keteraturan berobat, dukungan PMO, kepadatan hunian dan pelanan kesehatan). Analisis data Data dianalisis dengan menggunakan odds rasio dan logistic regresi dengan menggunakan program STATA. HASIL Karakteristik sampel Pada penelitian ini dilakukan matching umur dan jenis kelamin, sehingga frekuensi responden antara kasus dan kontrol sama, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menurut golongan umur lebih

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

142

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

didominasi oleh golongan umur 31-39 tahun sebesar 36 orang (26,1%), yang terendah yaitu golongan umur 58-66 tahun yaitu sebanyak 12 orang (8,9%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis kelamin laki-laki proporsinya lebih besar dibandingkan perempuan yakni 63,8 %. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa jenis pekerjaan sebagai petani mempunyai proporsi konversi TB tertinggi yakni 90,6 % Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan kasus kontrol Konversi TB Paru Kasus Kontrol n % n % 44 25 10 18 9 14 6 12 68 0 0 1 63,8 36,2 14,5 26,1 13,0 20,1 8,9 17,4 98,6 0,0 0,0 1,4 44 25 10 18 9 14 6 12 57 1 3 8 63,8 36,2 14,5 26,1 13,0 20,1 8,9 17,4 82,6 1,4 4,4 11,6 Jumlah n 88 50 20 36 18 28 12 24 125 1 3 9 % 63,8 36,2 14,5 26,1 13,0 20,1 8,9 17,4 90,6 0,7 2,2 6,5

Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur (Tahun) 22-30 31-39 40-48 49-57 58-66 67 Jenis Pekerjaan Petani PNS Pedagang Supir Data Primer Analisis bivariat

Tabel 2. Analisis Risiko Terhadap Kegagalan Konversi pada Pengobatan TB Paru di Kabupten Muna Tahun 2011 Kegagalan Konversi Kasus Kontrol n % n % 48 21 50 19 57 12 47 22 49 20 50 19 69,6 30,4 72,5 27,5 82,6 17,4 68,1 31,9 71,0 29,0 72,5 27,5 25 44 26 43 21 48 24 45 38 31 26 43 36,2 63,8 37,7 62,3 30,4 69,6 34,8 65,2 55,1 44,9 37,7 62,3 Jumlah n 73 65 76 62 78 60 71 67 78 60 76 62 % 52,9 47,1 55,1 44,9 5,5 43,5 51,4 48,6 63,0 37,0 55,1 44,9 OR=4,35 2,12-8,92 OR=1,99 0,98-4,04 OR =4,03 1,97-8,18 OR= 4,35 2,12-8,92 OR=10,85 4,84-24,3 OR4,00 1,97-8,13 OR CI 95%

Variabel Tingkat Pengetahuan Risiko kurang Risiko cukup Status Gizi Risiko Tinggi Risiko Rendah Keteraturan berobat Tidak teratur Teratur Dukungan PMO Kurang mendukung Mendukung Kepadatan Hunian Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat Pelayanan kesehatan Kurang baik Baik Sumber: Data Primer

Tabel 2 Analisis risiko variabel independen terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru di Kabupaten Muna Tahun 2011 menunjukkan bahwa faktor risiko tingkat pengetahuan (OR = 4,03, CI 95%

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

143

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

: 1,97 8,18), status gizi (OR = 4,35, CI 95% : 2,12 8,92), keteraturan berobat (OR = 10,85, CI 95% : 4,84 24,30), dukungan PMO (OR = 4,00, CI 95% : 1,97 8,13), dan pelayanan kesehatan (OR = 4,35, CI 95% : 2,12 8,92) merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pengobatan TB paru. Kepadatan hunian (OR=1,99, CI 95% : 0,98-4,04) bukan merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pengobatan TB paru. Analisis Multivariat Tabel 3 menunjukkan bahwa keteraturan berobat OR = 7,33 (CI 95% p=0,000) merupakan faktor risiko yang paling berisiko terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru di Kabupaten Muna Tahun 2011. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Muna untuk meningkat pelayanan kesehatan dalam rangka upaya pencegahan dan pengobatan TB paru di Kabupaten Muna Tabel 3. Hasil uji regresi logistik yang paling berpengaruh terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru di Kabupaten Muna Tahun 2011 Variabel Independen Tingkat pengetahuan Status gizi Keteraturan berobat Dukungan PMO Kepadatan hunian Pelayanan kesehatan Data Primer Odds Ratio 2,33 5,42 7,33 2,11 1,10 2,64 95% CI LL 0,93 2,10 2,75 0,79 0,41 1,07 UL 5,83 13,95 19,53 5,63 2,91 6,52 p 0,071 0,000 0,000 0,133 0,847 0,035

PEMBAHASAN Dalam penelitian ini terdapat beberapa aspek yang berisiko terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru yaitu tingkat pengetahuan, status gizi, keteraturan berobat, dukungan PMO, kepadatan hunian, dan pelayanan kesehatan . Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan merupakan faktor risiko terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB dimana hasil uji statistik menunjukkan nilai rasio odds sebesar OR = 4,03, CI 95% : 1,97 8,18). Dengan demikian pasien dengan tingkat pengetahuan kurang mempunyai risiko 4,04 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB paru dibanding dengan pasien dengan tingkat pengetahuan cukup. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup satu maka variabel tingkat pengetahuan bermakna. Sehingga tingkat pengetahuan merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011. Fajarwati (2005) meneliti tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap penderita tuberkulosis paru di balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4) Surakarta. Hasil penelitian hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap penderita tuberkulosis paru menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan odd ratio dimana tingkat pengetahuan memiliki nilai OR = 4,032 (CI 95%, 1,96-8,18). Penderita agar mau minum obat dengan teratur maka perlu komunikasi, informasi dan edukasi yang berkesinambungan oleh petugas kesehatan. Sehingga termotivasi untuk meminum obat dengan teratur. Kegagalan konversi pada pengobatan TB terutama diakibatkan oleh ketidak patuhannya dalam meminum obat, dan salah satu ketidakpatuhan dalam minum obat dikarenakan kurangnya pengetahuan dan edukasi yang harus diberikan kepada pasien Tb paru yang sedang melakukan pengobatan. Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) status gizi terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB diperoleh nilai OR = 4,35, (CI 95% : 2,12 8,92). Dengan demikian pasien dengan status gizi risiko tinggi mempunyai risiko 4,35 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB paru dibanding dengan pasien dengan status gizi risiko rendah. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup satu maka variabel status gizi bermakna. Sehingga status gizi merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011. Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain akan mempengaruhi daya tahan tibuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang dapat berpengaruh di negara miskin baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Berat badan kurang dapat meningkat risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkat risiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu mempertahankan berat badan normal, memungkinkan seseorang cepat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Depkes, 2002). Suplai protein dan kalori konsumsi makanan mempengaruhi pada mortalitas dan morbiditas TB. Adanya tambahan protein terutama protein hewani akan meningkatkan gizi penderita TB. Kebutuhan kalori pada penderita TB meningkat, kebutuhan kalori yang direkomendasikan 35-40 kkal/kkbb ideal. Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) keteraturan berobat kegagalan konversi pada pengobatan TB diperoleh nilai OR = 10,85, (CI 95% : 4,84 24,30). Dengan demikian pasien dengan tidak teratur meminum obat mempunyai risiko 10,85 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 144

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

paru dibanding pasien teratur meminum obat. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup satu maka variabel keteraturan berobat bermakna. Sehingga keteraturan berobat merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011. Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Sarafino (Bart, 1994), kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dpan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain. Menurut Sarafino (Bart, 1994), secara umum ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan. Penderita yang rutin mimun obat TB secara beransur-ansur kuman TB yang terdapat dalam tubuh akan dimatikan oleh obat tersebut. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak, karena banyak faktor lain yang dapat mempercepat atau memperlambat penyembuhan, da salah satunya adalah ketidak teraturan meminum obat. Obat TB dapat resisten apabila tidak diminum sesuai anjuran sehingga pasien tersebut harus melakukan pengobatan dari awal. Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) dukungan PMO terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru diperoleh nilai OR = 4,00, (CI 95% : 1,97 8,13). Dengan demikian pasien dengan kurangnya dukungan PMO mempunyai risiko 4,00 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB paru dibanding dengan pasien dengan dukungan PMO. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup satu maka variabel dukungan PMO bermakna. Sehingga dukungan PMO merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011. .Penilitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukamto (2002), bahwa kinerja PMO mempengaruhi proses penyembuhan penyakit TB pada pasien TB paru dengan nilai OR = 3,7 (CI 95%). Hal yang sama juga terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Fadlul (2000), dimana dukungan PMO mempengaruhi tingkat keberhasilan penyembuhan TB paru dengan OR = 2,5 (CI 95%). Pengawasan dalam pengobatan, dokter atau petugas kesehatan sebaiknya mengukutsertakan keluarga sebagai PMO, agar penderita dapat berobat secara kontunu. Tujuan diadakan PMO adalah untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan, agar penderita dapat berobat sesuai dengan jadwal, menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya, serta mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan yang resisten terhadap OAT. Dukungan keluarga dan masyarakat dalam pengawasan dan pemberian semangat mempunyai andil yang besar dalam peningkatan kepatuhan. Dukungan PMO juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesembuhan penyakit TB pari pada pasien TB paru. Ketraturan berobat yang dilakukan oleh pasien TB paru salah satunya adalah dipengaruhi oleh adanya dukungan PMO yang siap membantu dalam mengawasi menelan obat pasien. Selai itu pula kehadiran PMO disini berfungsi sebagai motivator dan pemberi edukasi dan informasi yang benar kepada pasien TB paru bahwa penyakit tersebut dapat sembuh dengan menjalankan pengobatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) kepadatan hunian terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru diperoleh nilai OR= 1,99 (95% CI: 0,98 4,04). Dengan demikian pasien dengan kepadatan huni yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 1,99 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB paru dibanding dengan pasien yang mempunyai kepadatan hunian memenuhi syarat. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit mencakup satu maka variabel kepadatan hunian tidak bermakna. Sehingga kepadatan hunian bukan merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011 Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) pelayanan kesehatan terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru diperoleh nilai OR = 4,35, (CI 95% : 2,12 8,92). Dengan demikian pasien yang mendapatan pelayanan kesehatan kurang baik mempunyai risiko 4,35 kali mengalami kegagalan konversi pada pengobatan TB paru dibanding dengan pasien mendapatkan pelayanan kesehatan baik. Karena nilai OR lebih dari satu dan nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup satu maka variabel status gizi bermakna. Sehingga pelayanan kesehatan merupakan faktor risiko kegagalan konversi pada pasien TB paru di Kabupaten Muna tahun 2011. Pelayanan kesehatan yang baik merupakan hal pokok yang harus diberikan kepada setiap pasien TB paru yang ingin melakukan pengobatan. Puskesmas yang merupakan basis pertama pelayanan kesehatan utama di masyarakat memegang peranan penting. Sehingga keberadaan Puskesmas di setiap wilayah Kecamatan mutlak adanya. Sisi lemah dari pelayanan kesehatan saat ini adalah jarak Puskesmas yang sulit dijangkau bagi beberapa masyarakat yang tinggal di daerah pelosok. Tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya juga masih sangat kurang khususnya di daerahdaerah terbelakang. Sehingga penderita TB banyak kita jumpai terdapat pada masyarakat golongan ekonomi rendah khususnya dipedesaan. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan daerah perkotaan yang nobene fasilatas kesehatan berada dimana-mana. Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru di Kabupaten Muna adalah keteraturan berobat dengan nilai (Exp B : 7,33 Sig. 0,000).

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

145

JURNAL KESIMPULAN DAN SARAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan, status gizi, keteraturan berobat, dukungan PMO dan pelayanan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap kegagalan konversi pada pengobatan TB paru. Disarankan kepada dinas kesehatan dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada penderita TB paru sehingga keberhasilan pengobatan dapat ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA Aditama, (2004). Penilaian Direcly Observed Therapy (DOTS) pada Pengobatan TB Paru di Rumas Sakit Persahabatan. Jakarta Bart, (1994). Faktor Risiko Keberhasilan Pengobatan TB Paru di Kota Medan (Tesis) . Medan: USU Depkes RI, (2006). Pedoman Nasional Penaggulangan Tuberkulosis Edisi Kedua . Jakarta. Depkes RI, (2010). EpidemiologiTuberkulosis di Indonesia. Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Muna, (2009). Profil Dinas Kesehatan Muna Tahun 2009 . Raha, Sulawesi Tenggara. Ester, (2000). Pencegahan dan Pemberantasan TB. Jakarta: Rineka Cipta. Fadhul, (2000). Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Keberhasilan Pengobatan TB Paru di Madiun (Tesis) . Malang: Unibraw. Fajrawati, (2005). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sikab Penderita TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Surakarta. (Tesis). Malang: Unibraw Irawati, (2005), Kesehatan Lingkungan Rumah dan Kejadian Penyakit TB Paru di Kabupaten Agam Sumatera Barat, Yogyakarta : Jurnal Sains Kesehatan UGM. Lammeshow, S, (1997). Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Murtantiningsih, (2008). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesembuhan Penderita TB Paru Kabupaten Grobogan (Tesis). Medan: Universitas Sumatra Utara. Nurhidayah, (2007). Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak Di Kecamatan Paseh Kabupaten Subang (Tesis), Bandung: Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Padjadjaran. Permatasari, (2005). Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. Medan: Bagian Paru, Fakultas Kedokteran USU. . Sugiharto, (2004). Faktor risiko kejadian TB paru di Kabupaten Pekalongan Tahun 2004 (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Sukamto, (2002). Hubungan Kinerja PMO Dengan Hasil Pengobatan Penderita Tb Paru Tahap Intensif Dengan Strategi Dots Di Kota Banjarmasin Tahun 2002 (Tesis) . Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Suswani, (2007). Hubungan Keteraturan Berobat Dengan Konversi Dahak Penderita TB Paru Kasus Setelah Pengobatan Fase Intensif (Tesis) . Makassar: Universitas Hasanuddin. WHO, (2002). Operational Guide for National Tuberculosis Control Programmes on The Introduction and Use of Fixed Dose Combination Drugs. Genewa Wulandari, (2001). Keteraturan Berobat dan Risiko Kegagalan Konversi pada Penderita TB Paru BTA Positif di Kab. Bogor tahun 1999-2001(Tesis) Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

146

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEGAGALAN KONVERSI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2011 Moh. Sohibul Kirom1, Ridwan A2, Mappeaty Nyorong3 Puskesmas Ahuhu Kab. Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSRACT Pulmonary tuberculosis (TB) is remains be the important global health problem. In Konawe 2010, there are 72 TB patients (14%) which have conversion failure of 518 TB patients cured. Purpose of this study is to analyse factors which can influence the happening of conversion failure of TB patient with positive sputum smear. This study use Case Control design. Population is all of TB patients with positive sputum smear. Sample is TB patient with positive positif sputum smear which has got therapy of intensive phase. Sampling in purposif sampling. Number of samples 136 responders. Test applied is test OR continued with test multivariat.( 5%) Result of this study indicates that irregularity in having drug is the most important risk factor to the sputum conversion failure ( OR=49471, 95%CI=13.518-181.039), while some other variables also haves a significanly of statistical to the happening of failure of sputum conversion patient pulmonary TB, that is: knowledge ( OR=4111, 95%CI=1.777-9.499), nutritional status ( OR=6102, 95%CI=2.771-13.427), had another disease( OR=9121, 95%CI=3.468-23.986), side efect of therapy( OR=2636, 95%CI=1.268-5.481), and the role of supervisor (OR=2419, 95%CI=1.056-5.543). The importance thing is strightening in DOTS strategy to reduced failure of conversion rate. The adequate treatment of disease and incresing nutritional status is also important to support success of therapy. Key word : Conversion failure, Pulmonary TB , Irregularity in having drug.

PENDAHULUAN Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia serta muncul ke permukaan sebagai penyebab utama kematian. Jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang di kelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO) mencanangkan TB Paru sebagai global emergency atau kedaruratan dunia (Depkes RI, 2008). Pada tahun 2009, perkiraan insidensi TB Paru semua tipe di Indonesia adalah 189 kasus per 100.000 penduduk per tahun dengan penemuan kasus TB Paru baru dan kambuh adalah 127 per 100.000 penduduk per tahun dan angka prevalensi sebesar 285 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena TB diperkirakan sebesar 27 per 100.000 penduduk pertahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta, angka ini didukung dengan penemuan 660.000 total kasus; penemuan kasus baru semua tipe 430.000 dengan 169.213 kasus baru BTA positif dan jumlah kematian 61.000. Angka penemuan penderita TB Paru di Kabupaten Konawe selama 2010 adalah sebesar 518 kasus atau 200 penderita per 100.000 penduduk. Menurut laporan Depkes RI (2010), untuk hasil angka konversi kasus baru TB Paru BTA positif tahun 2000-2009 menunjukkan bahwa rata-rata nasional angka konversi dari tahun 2000-2009 telah diatas 80% atau telah mencapai target nasional. Berdasarkan laporan Sub Dinas Pencegahan Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005, cakupan angka konversi mencapai 73% dan pada tahun 2006 angka konversi meningkat menjadi 75%. Sedangkan pada tahun 2009 angka konversi BTA penderita TB Paru di Provinsi Sulawesi Tenggara sudah mencapai angka 87%, angka ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Kabupaten Konawe, dimana angka konversi mencapai 86% dari 518 penderita TB Paru BTA positif selama tahun 2010. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain Case Control Study atau Retrospektif Study. Variabel penelitian adalah pendidikan, pengetahuan, status gizi, keteraturan minum obat, penyakit penyerta, kondisi ekonomi, kondisi perumahan, efek samping obat, peran petugas dan peran PMO. Lokasi penelitian dilaksanakan di beberapa Puskesmas di Kabupaten Konawe.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

147

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Populasi dan Sampel Populasi adalah semua penderita TB Paru BTA positif baru yang menjalani pengobatan jangka pendek dengan strategi DOTS. Kasus adalah semua penderita TB Paru BTA positif baru yang gagal konversi pada akhir pengobatan fase intensif (BTA tetap positif). Kontrol adalah penderita TB positif baru yang berhasil konversi pada akhir fase intensif. Analisis Data Analisis bivariat berupa uji Odds Ratio untuk mengetahui besar risiko variabel bebas terhadap variabel terikat dan untuk analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh satu atau lebih dari variabel bebas terhadap variabel terikat. HASIL Terdapat 46 orang (33.8%) yang gagal konversi dan 90 orang (66.2%) yang berhasil konversi setelah pengobatan fase intensif. Sebagian besar responden berasal dari tingkat pendidikan yang rendah, yaitu 74 orang (54.4%) sedangkan yang memiliki pendidikan lebih tinggi yaitu 62 orang (45.6%). Tingkat pengetahuan responden sebagian besar kurang yaitu 82 orang (60.3%) dan pengetahuan cukup 54 orang (39.7%). Status gizi sebagian besar responden cukup yaitu 92 orang (67.6%) dan responden dengan status gizi kurang 44 orang (32.4%). Keteraturan minum obat sebagian besar responden cukup baik yaitu 100 orang (73.5%) dibandingkan dengan yang tidak teratur minum obat yaitu 36 orang (26.5%). Terdapat 27 responden (19.9%) yang memiliki penyakit penyerta dibangdinkan 109 responden (81.1%) yang tidak memiliki penyakit penyerta. Sebagan besar responden berasal dari kondisi ekonomi yang kurang yaitu 77 orang (56.6%) dibandingkan dengan yang berasal dari kondisi ekonomi kuat yaitu 59 orang (43.4%). Kondisi perumahan sebagian besar responden sehat yaitu 117 orang (86%) dibandingkan dengan 19 orang (14%) yang memiliki rumah tidak sehat. Sebagian besar responden tidak mengalami efek samping pengobatan yaitu 83 orang (61%) sedangkan 53 orang (39%) mengalami efek samping pengobatan OAT. Peran petugas cukup baik menurut 124 orang (91.2%) sedangkan 12 orang (8.8%) menilai peran petugas kurang. Peran PMO menurut sebagian besar responden cukup baik yaitu 106 orang (77.9%) dan 30 orang (22%) menilai peran PMO masih kurang (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan variabel penelitian Variabel Konversi gagal konversi konversi Jumlah Pendidikan Rendah Tinggi Jumlah Pengetahuan Kurang Baik Jumlah Status gizi Kurang Baik Jumlah Keteraturan minum obat Tidak teratur Teratur Jumlah Penyakit penyerta Ada Tidak ada Jumlah Data Primer n 46 90 136 74 62 136 82 54 136 44 92 136 % 33.8 66.2 100 54.4 45.6 100 60.3 39.7 100 32.4 67.6 100 Variabel Kondisi Ekonomi Kurang Cukup Jumlah Kondisi Perumahan Tidak sehat Sehat Jumlah Efek samping obat Ada Tidak ada Jumlah Peran petuagas Kurang Cukup Jumlah Peran PMO Kurang Cukup Jumlah n 77 59 136 19 177 136 53 83 136 12 124 136 30 106 136 % 56.6 43.4 100 14 86 100 39 61 100 8.8 91.2 100 22 77.9 100

36 100 136 27 109 136

26.5 73.5 100 19.9 80.1 100

(Tabel 2) Responden yang gagal konversi dengan pendidikan rendah yaitu 30 orang (65.2%) dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi yaitu 16 orang (34.8%). Responden dengan pengtahuan yang kurang maupun yang cukup yaitu sama-sama berjumlah 45 orang (50%). Responden yang gagal konversi dengan status gizi yang kurang yaitu 27 orang (58.7%) dibandingkan dengan responden dengan gizi Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 148

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

cukup yaitu 19 orang (41.3%). Responden gagal konversi yang tidak teratur minum OAT yaitu 27 orang (58.7%) dibandingkan dengan responden yang teratur berobat yaitu 19 orang (41.3%). Responden yang gagal konversi sebagaian besar mengalami efek samping OAT yaitu 25 orang (54.3%) dibandingkan dengan yang tidak mengalami efek samping pengobatan yaitu 21 orang (45.7%). Sedangkan pada responden yang berhasil konversi sebagian besar tidak mengalami efek samping OAT yaitu 62 orang (68.9%)dibandingkan dengan yang mengalami efek samping OAT yaitu 28 orang (31.1%). Responden gagal konversi yang menyatakan peran petugas cukup baik yaitu 41 orang (89.1%) dibandingkan dengan yang menyatakan peran petugas kurang yaitu 5 orang (10.9%). Sedangkan pada responden yang berhasil konversi sebagian besar juga dengan peran petugas yang cukup baik yaitu 83 orang (92.2%) dibandingkan dengan peran petugas yang kurang yaitu 7 orang (7.8%). Responden gagal konversi yang menilai bahwa peran PMO cukup yaitu 31 orang (67.4%) dibandingkan dengan responden yang menilai kurangnya peran PMO yaitu 15 orang (16.7%). Tabel 2. Analisis variabel penelitian dengan kejadian kegagalan konversi penderita TB di Kabupaten Konawe tahun 2011 Status Responden Gagal Konversi Konversi n % n % 30 16 46 37 9 46 27 19 46 27 19 46 20 26 46 29 17 46 10 36 46 25 21 46 5 41 46 15 31 46 65.2 34.8 100 80.4 19.6 100 58.7 41.3 100 58.7 41.3 100 43.5 56.5 100 63 37 100 21.7 78.3 100 54.3 45.7 100 10.9 89.1 100 32.6 67.4 100 44 46 90 45 45 90 17 73 90 17 73 90 7 83 90 48 42 90 9 81 90 28 62 90 7 83 90 15 75 90 48.9 51.1 100 50 50 100 18.9 81,1 100 18.9 81.1 100 7.8 92.2 100 53.3 46.7 100 10 90 100 31.1 68.9 100 7.8 92.2 100 16.7 83.3 100 Jumlah n 74 62 136 82 54 136 44 92 136 44 92 136 27 109 136 77 59 136 19 117 136 53 83 136 12 124 136 30 106 136 % 54.4 45.6 100 60.3 39.7 100 32.4 67.6 100 32.4 67.6 100 19.9 80.1 100 56.6 43.4 100 14 86 100 39 61 100 8.8 91.2 100 22.1 77.9 100 OR 95%CI 1.96 0.94-4.08

Variabel Pendidikan Rendah Tinggi Jumlah Pengetahuan Kurang Baik Jumlah Status gizi Kurang Baik Jumlah Keteraturan minum obat Tidak teratur Teratur Jumlah Penyakit penyerta Ada Tidak ada Jumlah Kondisi Ekonomi Kurang Cukup Jumlah Kondisi Perumahan Tidak sehat Sehat Jumlah Efek samping obat Ada Tidak ada Jumlah Peran petuagas Kurang Cukup Jumlah Peran PMO Kurang Cukup Jumlah Data Primer

4.11 1.77-9.50

6.10 2.7713.43 12.78 5.1731.61 9.12 3.4623.98 1.49 0.71-3.09

2.50 0.93-6.67

2.63 1.26-5.48

1.44 0.43-4.83

2.41 1.05-5.54

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

149

JURNAL PEMBAHASAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Pendidikan merupakan faktor risiko tetapi tidak signifikan terhadap terjadinya kegagalan konversi TB paru dengan OR = 1.96 (95% CI 0.94 - 4.08). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtantiningsih (2010), Dahniar (2007), Buton (2003) serta Bambang dkk (2003), yang juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan ketaatan berobat serta kegagalan konversi. Hal ini berbeda dengan pernyataan Umar (2005) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat kegagalan dalam pengobatan, yakni makin rendah tingkat pendidikan penderita akan menyebabkan kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya, sehingga mempengaruhi kepatuhan penderita untuk berobat. Dengan ketidak-patuhan penderita dalam pengobatan maka akan berpengaruh pula terhadap terhadap terjadinya kegagalan konversi pada akhir fase intensif pengobatan TB paru. Hal ini didukung oleh Erawatyningsih (2009) yang juga menyatakan bahwa faktor yang paling dominan menyebabkan ketidakpatuhan pada penderita TB adalah pendidikan dan pengatahuan. Faktor pendidikan tidak serta merta dapat menjamin bahwa penderita TB dengan pendidikan yang tinggi akan berhasil dalam pengobatan daripada penderita TB dengan pendidikan yang lebih rendah. Karena pada penderita TB dengan pendidikan yang lebih rendah, sekalipun pengetahuannya akan penyakit TB rendah, biasanya lebih patuh kepada arahan petugas dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pengetahuan yang kurang tentang TB paru berisiko 4 kali lebih besar untuk terjadinya gagal konversi dibandingkan dengan penderita TB yang memiliki pengetahuan yang baik tentang TB (OR 4.11; 95%CI 1.77-9.49). Faktor pengetahuan tentang pencegahan dan pengobatan TB paru merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan penderita TB untuk taat berobat dan taat minum obat secara teratur dan tuntas, seperti halnya yang dinyatakan oleh Bambang dkk (2003) bahwa peningkatan pengetahuan penderita tentang TB paru ternyata berpengaruh terhadap ketaatan penderita minum obat. Selain itu penderita juga akan berusaha menanggulangi penyakitnya dan meminimalisir risiko penularan kepada orang-orang disekitarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rifqatussaadah (2008) bahwa adanya pengetahuan yang baik akan mempengaruhi responden untuk dapat melakukan sesuatu dengan teratur sehingga dapat mempengaruhi perilakunya. Semakin baik pengetahuan maka penderita TB akan semakin meningkatkan perilaku minum obat secara teratur. Hal yang sama ditunjukkan oleh Bambang dkk (2003) yang menyatakan bahwa tingkat ketaatan minum obat dan keteraturan berobat menunjukkan hasil yang bermakna setelah dilakukan penyuluhan. Status gizi penderita TB yang kurang berisiko 6 kali lebih besar untuk mengalami kegagalan konversi dibandingkan dengan penderita TB dengan status gizi yang baik (OR = 6.10; 95%CI 2.77-13.43). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Murtantiningsih (2010) dan Syamilatul (2006) yang menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan kegagalan konversi penderita TB paru setelah menjalani pengobatan fase intensif. Hasil penelitian yang berbeda dikemukakan oleh Suwarno (2008) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan gambaran konversi BTA yang signifikan antara penderita TB berat badan rendah dengan berat badan yang normal dengan catatan adanya pengawasan dan kontrol yang baik. Hal itu didukung oleh pernyataan Eka (2009) bahwa pemberian makanan tambahan tidak berpengaruh terhadap konversi dahak akhir tahap intensif. Status gizi yang kurang dapat mempersulit penyembuhan dan memudahkan kambuhnya kembali TB yang sudah reda (Indan, 2000). Adanya penyakit penyerta serta efek samping pengobatan dapat menggangu asupan makan serta keteraturan berobat penderita TB, sehingga dapat memperparah status gizi penderita TB yang akhirnya dapat bersama-sama mempengaruhi kegagalan konversi BTA pada akhir fase intensif pengobatan. Syamilatul (2006) menambahkan bahwa peningkatan dan perbaikan status gizi dengan memberikan asupan makanan yang seimbang pada penderita TB paru yang sedang menjalani pengobatan dengan stratesi DOTS merupakan faktor penentu keberhasilan konversi sputum BTA penderita TB paru. Penderita TB yang tidak teratur minum obat berisiko 12 kali lebih besar untuk mengalami kegagalan dalam konversi BTA-nya (OR = 12.78; 95%CI 5.17-31.60). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang telah dilakukan sebelumnya antara lain oleh Ridwan A. dan Tahitu (2006) yang menyatakan bahwa gagal atau tidaknya konversi BTA sangat ditentukan oleh pengobatan, sedangkan pengobatan dapat berhasil dipengaruhi oleh kepatuhan. Eulis Wulantari (2001) juga menyatakan bahwa keteraturan berobat dan lama batuk darah juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal. Hal yang sama juga dipaparkan oleh G. Sujayanto yang (2000) yang menyatakan bahwa pengobatan yang teratur bukan hanya tidak menyembuhkan penderita tetapi juga menyebabkan kekebalan terhadap obat. Pernyataan ini dipertegas oleh Rahmaniar (2009) yang menyatakan bahwa pengobatan yang tidak sesuai aturan akan menyebabkan terjadinya Multidrug Resisten Micobacterium TB (MDR TB). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Halim Danusantoso (2000) yang dikutip oleh Murtantiningsih (2010) menyatakan bahwa saat ini semua penderita secara teoritis harus dapat disembuhkan, asal saja yang bersangkutan rajin berobat sampai dinyatakan selesai, terkecuali bila dari awal basil TBC yang dihadapi sudah resisten terhadap berbagai tuberkulostika yang lazim dipakai. Hal ini dapat kita pahami karena apabila penderita tidak teratur dalam menjalani pengobatan OAT, nantinya akan menyebabkan

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

150

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

terjadinya kegagalan penyembuhan ditambah dengan timbulnya basil TB multiresisten, sehingga membuat penderita kebal terhadap pengobatan dan memudahkan penularan basil yang sudah resisten kepada orang lain (Crofton, 2000). Adanya penyakit penyerta merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kegagalan konversi penderita TB paru (OR = 9.12; 95% CI 3.46-23.98. Hal ini berarti penderita TB yang memiliki penyakit penyerta memiliki risiko 9 kali lebih besar untuk gagal konversi dibandingkan dengan penderita TB yang tidak memiliki penyakit penyerta. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajana (2008) yang menyatakan bahwa variabel yang bermakna secara statistik dan merupakan faktor risiko gagal konversi BTA dahak adalah penyakit penyerta dengan OR = 5.860. Syamilatul (2006) juga menyatakan bahwa penderita TB paru dengan penyakit penyerta (DM, Asma, Typhoid) akan berisiko terjadi gagal konversi 5.866 kali lebih besar dari pada penderita TB paru tanpa penyakit penyerta. Pernyataan berbeda dikemukakan oleh Rekha dkk (2007) yang menyatakan bahwa pengobatan kategori I untuk TB paru tanpa atau dengan penyakit penyerta cukup memberikan hasil yang memuaskan dalam hal konversi, dimana antara penderita TB BTA positif baru, TB dengan DM dan TB dengan HIV memberikan hasil yang hampir sama pada pemeriksaan akhir fase intensif. Disamping itu, Janis (2008) mendapatkan bahwa kegagalan konversi lebih banyak terjadi pada DM yang tidak terkontrol daripada penderita TB paru dengan DM yang terkontrol. Pengobatan TB kategori 1 sebenarnya sudah cukup untuk pengobatan pada penderita TB paru tanpa atau dengan penyakit penyerta, yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan lebih karena terkontrol atau tidaknya penyakit penyerta yang di alami oleh penderita TB yang bersangkutan. Kondisi ekonomi merupakan faktor risiko tetapi tidak signifikan terhadap terjadinya kegagalan konversi penderita TB paru (OR = 1.49; 0.71 3.09) Hal yang sama dikemukakan oleh Teddy dkk (2008) yang menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap kejadian TB. Hasil penelitian yang berbeda dikemukakan oleh Murtantiningsih (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pendapatan dengan kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten Grobagan. Sedangkan Mishra dkk (2005) yang melakukan penelitian di Nepal, menyatakan bahwa risiko ketidakpatuhan berobat berhubungan secara signifikan dengan status sosial-ekonomi yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Mishra (2005) dilaksanakan di nepal dengan latar belakang negara miskin dan trasportasi yang sulit, sehingga kondisi ekonomi sangat vital dalam usaha mencapai fasilitas kesehatan. Kondisi kesehatan rumah bukan merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya kegagalan konversi (OR = 2.50; 95%CI 0.93 6.67). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2010) yang menyatakan bahwa keterjangkauan dan kondisi rumah tinggal tidak berhubungan dengan kejadian gagal konversi pada penderita baru TB paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif. Hasil pada penelitian ini dapat dijelaskan bahwa kondisi rumah lebih dominan berperan pada saat penularan penyakit TB paru, seperti halnya yang dinyatakan oleh Ikeu dkk (2007) bahwa rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan menimbulkan risiko untuk terjadinya tuberkulosis pada anak sebesar 18.57 kali jika dibandingkan dengan rumah yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan dengan pengobatan yang teratur diharapkan dapat dicapai hasil konversi yang memuaskan. Penderita TB yang mengalami efek samping obat berisiko 2 lebih besar untuk mengalami gagal konversi apabila dibandingkan dengan penderita TB yang tidak mengalami efek samping pengobatan dengan OAT (OR = 2.63; 95%CI 1.27-5.48). Hasil pada penelitian ini menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ridwan A dkk (2006) yang manyatakan adanya hubungan antara efek samping dengan kegagalan konversi BTA penderita TB paru dengan OR = 9.37. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Mangunnegoro dan Satyatenggara (1994) yang dikutip oleh Ridwan A. dkk (2006) bahwa dengan adanya gejala efek samping OAT akan merupakan salah satu penyebab kegagalan dalam pengobatan. Sedangkan hasil berbeda ditunjukkan oleh Rifqatussaadah (2008) yang mendapatkan hubungan tidak bermakna antara efek samping obat dengan perilaku minum obat. Dalam hal ini, efek samping terhadap OAT dapat memberikan dampak langsung terhadap keteraturan berobat, selain itu dapat pula mempengaruhi status gizi penderita TB oleh karena adanya mual dan gangguan seputar perut yang mengakibatkan terjadinya gangguan pada asupan nutrisinya. sehingga dapat disimpulkan bahwa selain menjadi faktor risiko secara langsung, efek samping OAT juga dapat mempengaruhi keteraturan berobat serta asupan gizi penderita TB, yang dapat bersama-sama berisiko terhadap terjadinya kegagalan konversi. Peran petugas yang kurang merupakan faktor risiko tetapi tidak signifikan terhadap terjadinya kegagalan konversi BTA (OR = 1.446 dengan 95% CI = 0.432-4.835). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtantiningsih (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara penyuluhan oleh petugas kesehatan dengan kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten Grobogan. Hasil yang berbeda dinyatakan oleh Ridwan A, dkk (2006) bahwa kahadiran petugas pada saat pengambilan obat berperan besar dalam keteraturan pengambilan obat di puskesmas, baik oleh PMO ataupun oleh penderitanya sendiri. Hasil penelitian ini mungkin lebih dikarenakan pada penderita TB yang gagal konversi BTA, pengetahuan dan responnya terhadap petugas menjadi lebih baik karena petugas menjadi lebih intensif dalam menjalin hubungan dengan penderita TB paru yang gagal konversi. Peranan PMO yang kurang merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya kegagalan kenversi penderita TB paru (OR = 2.41; 95% CI 1.05 5.54). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Amiruddin R. dan Tahitu R. (2006) di Kota Ambon yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

151

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

pengawas minum obat dengan kegagalan konversi dengan OR = 48.00. Hasil yang berbeda dikemukakan oleh Murtantiningsih (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan PMO dengan kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten Grobogan. Peranan PMO erat kaitannya dengan keteraturan berobat penderita TB paru, karena adanya dorongan orang sekitar terhadap penderita TB paru berdampak terhadap perilaku minum obat secara teratur. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rifqaatussaadah (2008) bahwa peran keluarga yang baik me rupakan motivasi yang ampuh dalam mendorong responden untuk berobat teratur sesuai anjuran. Dari delapan variabel yang diikutkan dalam analisis regressi ganda, variabel yang masih bermakna berturut-turut adalah keteraturan minum obat (OR 29.46, 95%CI 7.51-115,58), penyakit penyerta (OR 23.8, 95%CI 5.0-113.19) dan pengetahuan (OR 8.16, 95%CI 1.68-39.46). KESIMPULAN Perlu penguatan strategi DOTS khususnya peningkatan komitmen semua pemegang kebijakan untuk meningkatkan keberhasilan program penanggulangan TB. Tatalaksana yang menyeluruh terhadap permasalahan yang dihadapi oleh penderita TB sangat penting guna mendukung kesembuhan penderita TB. DAFTAR PUSTAKA Amiruddin R., Rasmaniar, Purimahua SL. 2006. Faktor Keberhasilan Konversi Pada Penderita TB Paru di Puskesmas Jongaya Tahun 2006. http://ridwanamiruddin.wodrpress.com// diakses 30 Juni 2011 Bambang A. Hadiansyah. 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gagal Konversi pada Penderita TB Baru BTA Positif Baru Akhir Pengobatan Fase Intensif di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BPKM) Kabupaten Garut Tahun 2009-2010. Crofton, J., dkk. 2002. Tuberkulosis Klinik. Alih Bahasa dan Editor: Trastotenojo MS, Dachyanto DW, Susanto R. PT. Widya Medika. Jakarta. Depkes RI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB Anak Depkes IDAI.Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, Cetakan kedua. Jakarta. Eka Hateyaningsih. 2009. Pengaruh Makanan Tambahan Terhadap Konversi Dahak pada Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Jagakarsa, Jakarta Selatan Tahun 2008-2009. Universitas Indonesia. Erawatyningsih E., dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita TB Paru. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, hal 117-125. Indan Entjang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Citra Aditya Bakti. Bandung. Murtantiningsih dan Bambang W. 2010. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kesembuhan Penderita TB Paru (Studi Kasus di Puskesmas Purwodadi I Kabupaten Grobogan). KEMAS Vol 6 No. 1. Rahmaniar Mulyani. 2009. Insersi Adenin-231 pada Gen pncA Mycobacterium Tuberculosis Isolat R7 Berkaitan Dengan Resistensi Pirazinamid. Institut Teknologi Bandung. Rekha, et al. 2007. Sputum Conversion at The End Of Intensive Phase of Category-1 Regimen in The Treatment of Pulmonary Tuberculosis Patients with Diabetes Mellitus or HIV Infection : an Analysis of Risk Factors(Clinical report). Indian Journal of Medical Research. Rifqatussaadah. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Minum Obat Secara Teratur Pada Penderita TB Paru Dewasa. Jakarta. Sujayanto G. 2000. Kepatuhan Berobat Bagi Penderita Tuberkulosis. Syamilatul khariroh. 2006. Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kegagalan Konversi Penderita TB Paru Setelah Pengobatan DOTS Fase Intensif di RSU DR Soetomo dan BP4 Karang Tembok Surabaya. Universitas Airlangga. Surabaya. Tahitu R., Amiruddin R. 2006. Faktor Risiko Kegagalan Konversi Pada Penderita TB Paru BTA Positif Baru di Kota Ambon Provinsi Maluku. Teddy BS, Desy AA, Suprapto. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kasus Tuberculosis Paru. Jurnal Ilmiah PANNMED Vol. 2 :13-19. Umar. A. 2005. Analisis Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Rappokalling Kota Makassar. Universitas Hasanuddin, Makassar. Wulantari E. 2001. Keteraturan Berobat dan Risiko Kegagalan Konversi pada Penderita TB Paru BTA Positif di Kabupaten Bogor.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

152

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR RISIKO KEJADIAN HIPERTENSI DERAJAT 2 PADA KARYAWAN DI RUMAH SAKIT TENTARA TK.III AMBON Ridwan Masi1, Ridwan Amiruddin2, Syamsiar S. Russeng3 Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Bagian Epedemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT The aim of the research is to analyze the risk factors related to the occurrece of hypertension grade 2 of employees in military Hospital Tk. III, Ambon. This research was an observational analytic study with is a case control study design. The sample were 204 people consisting of 68 case group and 136 control group. The data were analyzed by using Odds Ratio (OR) and multivariate logistic regression. The results of the research reveal that risk factors on the occurrence of hypertension grade 2 are sex (OR = 2.68, CI 95%; 1.37- 5.23), smoking habit (OR =2.81, CI 95%;0.99-7.91), family history hypertension (OR =2.58,CI 95%; 1.37-4.87), body mass index (OR = 3.06, CI 95%; 1.65-5.69), work stres (OR=2.24, CI 95%; 1.23 4.05). The greatest risk factor on the occurrence of hypertension grade 2 is sex (OR = 2,670). To reduce work stress needs individual strategies (time management, physical exercise, relaxation training, and social support) and management stress needs organization (to reduce conflict, to clarify the role of organization and career plan and development, and to provide counseling). Key words: hypertension grade 2, risk factors, work stress PENDAHULUAN Hipertensi atau tekanan darah tinggi di seluruh dunia, merupakan penyebab kematian dan kesakitan yang tinggi, sering diberi gelar The Silent Killer karena hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi, disamping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak, sehingga kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat membebani perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang panjang, bahkan seumur hidup (Sembiring, 2010). Data epidemiologi dari beberapa negara menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi. Di Yunani, Psaltopoulou (2004) mendapatkan prevalensi hipertensi sebesar 40,2% pada laki-laki dan 38,9% pada wanita. Prevalensi hipertensi meningkat berdasarkan umur, dan lebih tinggi pada daerah pedesaan dan pada individu dengan pendidikan rendah. Di Jerman, Laaser (2005) mendapatkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 19,6% pada tahun 1984 menjadi 24% pada tahun 1998. Hal ini diiringi dengan meningkatnya cakupan pengobatan hipertensi pada periode yang sama (45,4%-63,0%), namun efektifitas pengobatannya justru mengalami penurunan (51,7%-41,3%). Penelitian ini dilakukan pada populasi dengan rentang usia 3069 tahun. Dari suatu penelitian hipertensi multicenter di Bangladesh terhadap orang yang berusia tua (60 tahun), diperoleh prevalensi hipertensi yang cukup besar, yaitu 65% dan tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Hipertensi adalah faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Stroke, hipertensi dan penyakit jantung meliputi lebih dari sepertiga penyebab kematian, dimana stroke menjadi penyebab kematian terbanyak 15,4%, kedua hipertensi 6,8%, penyakit jantung iskemik 5,1%, dan penyakit jantung 4,6%, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 32,2%, dan prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan (39,6%), terendah di Papua Barat (20,1%), Cakupan tenaga kesehatan terhadap kasus hipertensi di masyarakat masih rendah, yaitu hanya 24,2% (Rahajeng, 2009). Di Propinsi Maluku, saat ini belum ada data yang komprehensif tentang prevalensi hipertensi yang terjadi. Yang tersedia barulah data proporsi penyakit tidak menular yang dirawat di rumah sakit dan di puskesmas. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi Maluku tahun 2010, hipertensi menempati tempat pertama proporsi penyakit tidak menular pada pasien, baik yang rawat jalan maupun rawat inap masing-masing sebesar 13.612 penderita dan 713 penderita (Dinkes Maluku, 2010). Rumah Sakit tidak bisa dipisahkan dari peran para karyawannya. Kini rumah sakit lebih menyerupai suatu industri kesehatan dengan segala tuntutan maupun dampaknya, antara lain stres kerja yang berinteraksi dengan faktor-faktor sosio demografi, kardiovaskuler, dan lingkungan dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya hipertensi. Hipertensi yang perlangsungannya lama, sesungguhnya bisa dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari terjadinya komplikasi yang memperberat keadaan penderitanya. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi derajat 2 pada karyawan di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon tahun 2012. Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 153

JURNAL BAHAN DAN METODE

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Rancangan dan Lokasi Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan mengunakan rancangan kasus kontrol. Populasi dan Sampel Populasi adalah semua karyawan di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon. Sampel sebanyak 204 orang yang dipilih secara simple random sampling yang telah memenuhi Kriteria Inklusi masa kerja minimal 6 bulan, bersedia ikut serta dalam penelitian, dengan menandatangani informed consent. Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS for windows 15. Untuk mengetahui besar risiko variabel terhadap hipertensi derajat 2 digunakan penilaian Odds Ratio (OR). Analisis multivariat dilakukan untuk melihat variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian hipertensi derajat 2 digunakan regresi logistik ganda. HASIL Karakteristik sampel Tabel 1 memperlihatkan karakteristik karyawan yang menjadi sampel penelitian ini. Sebagian besar responden adalah perempuan (77,0%), tingkat pendidikan lebih banyak tamat perguruan tinggi (63,7%), status kepegawaian terbanyak dari PNS (68,6%) dibanding militer (137%), dan sebagian besar sudah menikah (91,2%). Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian di Rumah Sakit Tentara Tk.III Ambon Hipertensi derajat 2 (n=68) n % 24 44 9 24 35 13 45 10 5 60 3 35,3 64,7 13,2 35,3 51,5 19,1 66,2 14,7 7,4 88,2 4,4 Normotensi (n=136) n 23 113 9 32 95 15 95 26 9 126 1 % 16,9 83,1 6,6 23,5 69,9 11,0 69,9 19,1 6,6 92,6 0,7

Variabel Jenis Kelamin - Laki-Laki - Perempuan Pendidikan - SLTP - SLTA - Perguruan Tinggi Status kepegawaian - Militer - PNS - Honorer Status perkawinan - Belum Menikah - Sudah Menikah - Cerai/Janda/Duda Data Primer

Analisis Faktor risiko Terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Tabel 2 menunjukkan analisis faktor risiko terhadap kejadian hipertensi derajat 2 antara lain : proporsi penderita Hipertensi Derajat 2 lebih banyak pada kelompok risiko tinggi (laki-laki) sebanyak 24 orang (35,3%) dan kontrol 16,9%. Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,68 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,375,23. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka jenis kelamin merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden laki-laki adalah 2,68 kali lebih besar dibanding dengan perempuan. Diantara 68 kasus Hipertensi Derajat 2 hanya 11 orang (29,7%) yang menggunakan kontrasepsi hormonal. Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) =0,65 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,291,46. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai<1, maka penggunaan kontrasepsi hormonal bukan merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Pada 68 orang penderita hipertensi hanya ada 9 orang (13,2%) yang mempunyai kebiasaan merokok dalam hal ini dikategorikan sebagai kelompok risiko tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol 94,9 % responden tidak menderita hipertensi derajat 2 adalah mereka yang tidak pernah merokok. Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,81 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,99 7,91. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai kebiasaan merokok adalah 2,81 kali lebih besar dibanding dengan responden yang tidak pernah merokok. Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 154

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Diantara 68 kasus penderita Hipertensi Derajat 2 hanya 10 orang (14,7%) yang mempunyai kebiasaan minum alkohol. Sedangkan responden yang tidak mempunyai kebiasaan minum alkohol lebih banyak tidak menderita Hipertensi Derajat 2 sebanyak 126 orang (92,6%) dibanding kasus yaitu 85,3%. Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) =2,17 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,86 5,51. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai>1, maka kebiasaan minum alkohol merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai kebiasaan minum alkohol adalah 2,17 kali lebih besar dibanding dengan responden yang tidak pernah minum alkohol. Tabel 2. Faktor risiko kejadian hipertensi derajat 2 pada karyawan Rumah sakit Tk.II Ambon Hipertensi derajat 2 (n=68) n % 24 44 35,3 64,7 Normotensi (n=136) n % 23 113 16,9 83,1 CI 95% 1,375,23

Variabel Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Pemakaian kontrasepsi Hormonal - Ya - Tidak Kebiasaan Merokok - Ya - Tidak Kebiasaan Minum Alkohol - Ya - Tidak Kebiasaan Olahraga - Ya - Tidak Riwayat Hipertensi Keluarga - Ada - Tidak Indeks Massa Tubuh - IMT 25 kg/m2 - IMT<25 kg/m2 Stress Kerja - Sedang tinggi - Rendah Data Primer

OR

2,68

0,003

11 26 9 59 10 58

29,7 70,3 13,2 86,8 14,7 85,3

41 63 7 129 10 126

39,4 60,0 5,1 94,9 7,4 92,6

0,65

0,291,46 0,997,91 0,865,51

0,294

2,81

0,043

2,17

0,096

46 22 28 40

67,6 32,4 41,2 85,8

103 33 29 107

75,7 24,3 21.3 78,7

0,67

0,351,27 1,374,87

0,220

2,58

0,003

33 35 41 27

48,5 51,5 60,3 39,7

32 104 55 81

23,5 76,5 40,4 59,6

3,06

1,655,69 1,234,05

0,000

2,24

0,007

Sebanyak 46 orang (67,6%) responden tidak mempunyai kebiasaan olah raga mengalami hipertensi, sedangkan mereka yang sering berolah raga, hanya 22 orang (32,4%) yang menderita hipertensi. Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) =0,67 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,35 1,27. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai <1, maka kebiasaan olah raga bukan merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Pada penderita Hipertensi Derajat 2 ada 28 orang (41,2%) mempunyai riwayat anggota keluarga (orang tua, kakek/nenek atau paman/bibi) yang menderita Hipertensi Derajat 2, Hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,58 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,37 4,87. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka riwayat Hipertensi dalam keluarga merupakan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Besarnya risiko terjadinya hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai riwayat keluarga yang menderita Hipertensi adalah 2,58 kali lebih besar dibanding dengan responden yang tidak mempunyai riwayat keluarga menderita Hipertensi. Pada 68 penderita Hipertensi Derajat 2, 48,5% responden yang mengalami obesitas atau mempunyai indeks massa tubuh IMT25 kg/m2, lebih tinggi jika dibanding dengan kelompok kontrol (23,5%), hasil uji Statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 3,06 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,655,69. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka obesitas merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi derajat 2. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai indeks massa tubuh 25kg adalah 3,06 kali lebih besar dibanding dengan responden yang memiliki IMT <25kg.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

155

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Secara keseluruhan 52,9% responden mengalami stres kerja yang ringan. Pada kelompok kasus penderita hipertensi derajat 2, terdapat 41 orang (60,3%) mengalami stres kerja sedang-tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan bahwa 81 orang (59,6%) mengalami stres kerja ringan. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR)=2,24 pada dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,23 4,05. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai stressor kerja tinggi adalah 2,24 kali lebih besar dibanding dengan responden yang mempunyai stressor rendah. Analisis Multivariat Tabel 3 memperlihatkan bahwa semua variabel memenuhi syarat untuk diikutkan di dalam analisis regresi logistik dengan metode Enter kecuali pemakaian kontrasepsi hormonal, hanya ada 3 (tiga) variabel yang memberi kontribusi secara bermakna terhadap kejadian hipertensi derajat 2 yaitu jenis kelamin, riwayat hipertensi dalam keluarga dan indeks massa tubuh. (p<0,05). Diantara ketiga variabel ini yang paling kuat pengaruhnya adalah jenis kelamin dengan nilai OR = 2,670. Tabel 3. Analisis faktor risiko yang mempengaruhi kejadian hipertensi derajat 2 pada karyawan Rumah Sakit Tentara Ambon 95 % CI for Exp (B) Lower Upper 1,093 6,519 0,261 3,848 0,242 2,638 0,346 1,619 1,268 5,140 1,173 4,655 0,837 3,196

Variabel Jenis Kelamin Kebiasaan Merokok Kebiasaan Minum Alkohol Kebiasaan olah raga Riwayat keluarga Indeks masa tubuh Stres kerja Konstanta Data Primer

B 0,928 0,002 -0,224 -0,290 0,937 0,849 0,492 -3,949

Wald 4,646 0,000 0,135 0,543 6,887 5,832 2,073 6,400

Sig 0,031 0,998 0,713 0,461 0,009 0,016 0,150 0,011

Exp (B) 2,670 1,002 0,799 0,748 2,553 2,337 1,636 0,019

Apabila fungsi regresi dimasukkan kedalam persamaan pada hipotesis yang berisiko yaitu jenis kelamin laki-laki berisiko tinggi (1) ada riwayat keluarga (1) dan IMT berisiko tinggi (1) maka probabilitasnya terkena hipertensi derajat 2 pada seseorang adalah 19,88%. Apabila fungsi regresi dimasukkan kedalam persamaan pada hipotesis yang berisiko rendah yaitu yaitu jenis kelamin perempuan berisiko rendah (0) tidak ada riwayat keluarga (0) dan IMT berisiko rendah (0) maka probabilitas terkena hipertensi derajat 2 pada seseorang adalah 1,24%. PEMBAHASAN Faktor Risiko Jenis Kelamin terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Jenis kelamin merupakan karakteristik dari seseorang yang dapat mempengaruhi kesehatannya. Dalam studi epidemiologi sering dikemukakan bahwa ada penyakit tertentu yang hanya terdapat pada lakilaki dan ada pula penyakit yang hanya diderita oleh wainta saja. Selain itu ada prevalensinya lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki demikian pula sebaliknya. Berbagai penyakit ternyata sangat erat risikonya dengan jenis kelamin dengan berbagai sifat tertentu antara lain penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berisiko erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelamin, karena terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara wanita dan pria dan terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat antara wanita & pria (Noor, 2008). Hasil penelitian ini menemukan adanya risiko yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian Hipertensi Derajat 2 dengan nilai p=0,003. Responden laki-laki lebih banyak menderita Hipertensi Derajat 2 yaitu 24 orang (35,3%) dibanding tidak mengalami Hipertensi Derajat 2 (16,9%). Besarnya risiko laki-laki menderita Hipertensi Derajat 2 adalah 2,68 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Faktor Risiko Kontrasepsi Hormonal terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bahan bakunya mengandung hormon estrogen dan progestin baik yang sintetis maupun yang alami, kadar hormon dalam kontrasepsi tersebut tidak sama untuk setiap jenis. Termasuk dalam kategori alat kontrasepsi hormonal adalah pil, suntikan dan implat. Pemakaian hormon estrogen dan hormon progesteron dapat menganggu fertilitas dengan berbagai cara dan jelas bahwa keduanya menghambat ovulasi. Berbagai efek hormon-hormon ovarium terhadap fungsi gonadoptropik dan hipofisis yang menonjol antara lain dari estrogen adalah inhibisi sekresi FSH dan dari progesteron inhibisi pelepasan LH. Pengukuran FSH dan LH dalam sirkulasi menunjukkan bahwa kombinasi estrogen dan progesteron menekan kedua hormon. Sehingga terjadi ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh yang akan memicu terjadinya gangguan pada tingkat pembuluh darah dan kondisi Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 156

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

pembuluh darah yang dimanifestasikan dengan kenaikan tekanan darah. Efek ini mungkin terjadi karena baik estrogen maupun progesteron memiliki kemampuan untuk mempermudah retensi ion natrium dan sekresi air akibat kenaikan aktivitas renin plasma dan pembentukan angiotensin yang menyertainya (Herman, 1996). Hasil penelitian ini menemukan dari 37 penderita hipertensi derajat 2 yang mengunakan kontrasepsi hormonal sebanyak 11 orang (29,7%). Tidak terdapat risiko yang bermakna antara pemakaian kontrasepsi hormonal (Pil, Suntik, Implant) dengan kejadian hipertensi derajat 2 dengan nilai p=0.198. Pemakaian kontrasepsi hormonal bukan merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi derajat 2. Faktor Risiko Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Menurut Kaplan (2002), efek kenaikan tekanan darah oleh nikotin pada rokok berlangsung akut, pada pecandu rokok sekalipun. Selama masih merokok maka tekanan darah akan meningkat, dan tidak ada batas toleransinya. Peningkatan tekanan darah akibat merokok diduga berisiko dengan resistensi insulin, melemahnya relaksasi bergantung endothelium dan peningkatan level endotelin. Hasil penelitian menunjukan dari 68 responden yang menderita hipertensi derajat 2 terdapat 9 responden (13,2%) yang mempunyai kebiasaan merokok sedangkan yang tidak mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 59 responden (86,8%). Besarnya risiko terjadinya hipertensi derajat 2 pada responden yang mempunyai kebiasaan merokok adalah 2,81 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak pernah merokok. Faktor Risiko Kebiasan Minum Alkohol terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Peranan alkohol terhadap hipertensi masih belum pasti. Mereka yang kadang-kadang saja mengonsumsi alkohol dalam sehari dan yang mengonsumsi ringan (hingga 2 kali sehari), cenderung mengalami penurunan tekanan darah sistol pada subjek hipertensif derajat 2. Namun seiring makin meningkatnya konsumsi alkohol (>3 kali sehari secara rutin), tekanan darah baik sistol maupun diastol cenderung akan meningkat pula. Dan bila pengonsumsi alkohol berat (>6 kali sehari) mengurangi atau bahkan berhenti, biasanya tekanan darah akan berangsur menurun. Mekanisme yang mungkin menyebabkan peningkatan tekanan darah akibat konsumsi alkohol adalah perubahan membran sel yang mungkin oleh inhibisi transpor sodium, stimulasi aktifitas SSP, hiperinsulinemia atau peningkatan sekresi kortisol. (Kaplan NM, 2002) Hasil penelitian ini menunjukkan dari 68 kasus penderita hipertensi derajat 2 hanya 10 responden (14,7%) yang mempunyai kebiasaan minum alkohol. Tidak terdapat risiko yang bermakna antara kebiasaan minum alkohol dengan kejadianHipertensi Derajat 2 karena nilai p=0.081. Kebiasaan minum (alkohol) bukan faktor risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2. Pada penelitian ini 90,2% responden menyatakan tidak pernah minum alkohol. Hal itu mungkin disebabkan kebiasaan minum alkohol bukan merupakan suatu budaya. Hal lain yang mendukung minum alkohol bukan merupakan suatu budaya adalah faktor agama. Sebagai contoh alkohol merupakan minuman yang haram untuk dikonsumsi oleh penganut agama Islam. Faktor Risiko Kebiasaan Olah Raga terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Aktivitas fisik atau olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Olah raga secara teratur dan terukur dapat menyerap atau menghilangkan endapan kolesterol pada pembuluh darah (Basuki, 2001). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,145 berarti tidak bermakna. Nilai odds Ratio (OR)=0,67. Kebiasaan olah raga bukan merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi derajat 2. Faktor Risiko Riwayat Hipertensi dalam Keluarga terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (esensial). Faktor genetik juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seseorang hipertensi (Undari, 2007). Hasil penelitian menunjukan dari 68 responden yang menderita hipertensi derajat 2 terdapat 41,2% yang mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga dibandingkan mereka yang tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarag (58,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,003 berarti bermakna. Nilai odds Ratio (OR)=2,58. Besarnya risiko riwayat keluarga hipertensi dengan kejadian hipertensi derajat 2 adalah 2,58 kali dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat keluarga hipertensi. Faktor Risiko Indeks Massa Tubuh terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Sekitar 1/3 pasien dengan hipertensi mempunyai berat badan lebih dari normal.Orang dewasa yang mengalami obesitas mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi.Penyelidikan epidemiologi membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi.Belum diketahui mekanisme pasti yang dapat menjelaskan Risiko antara obesitas dan hipertensi primer.Diduga melalui mekanisme resistensi insulin perifer yang menyebabkan hiperinsulinemia, sehingga terjadi hipertensi akibat meningkatnya aktifitas saraf simpatis, terjadinya retensi natrium dan hipertrofi vaskuler (Kaplan, 2002). Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 157

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hasil penelitian menunjukan dari 68 responden yang menderita hipertensi derajat 2 terdapat 48,5% yang obesitas (IMT25 kg/m2) sedangkan yang mempunyai IMT<25 kg/m2 sebanyak 51,5%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 berarti bermakna. Besarnya risiko obesitas dalam hal ini memiliki indeks massa tubuh 25 kg/m2 menderita hipertensi derajat 2 adalah 3,06 kali dibanding dengan mereka yang memiliki IMT <25 k kg/m2g. Faktor Risiko Stres Kerja terhadap Kejadian Hipertensi Derajat 2 Stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila seseorang setelah mengalami stres, mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distres. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhankeluhan somatik (fisik), tetapi dapat pula disertai keluhankeluhan psikis.Tidak semua bentuk stres mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat positif, hal tersebut dikatakan eustres (J. Karnadi, 1999). Hasil penelitian ini menunjukkan pada 60,3% penderita hipertensi derajat 2 mengalami stres kerja sedang-tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan 59,6% mengalami stres kerja ringan. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR)=2,24. Besarnya risiko terjadinya Hipertensi Derajat 2 pada responden yang mempunyai stressor tinggi adalah 2,24 kali lebih besar dibanding dengan responden yang mempunyai stressor kerja ringan. Perawat atau karyawan di rumah sakit militer yang menjadi subjek studi kami, mempunyai tugas jaga malam selain tugas dinas pada pagi hari. Terutama pada jaga malam, dimana petugas yang ada terbatas Totalnya, sehingga beberapa jenis pekerjaan menjadi tanggung jawab seorang perawat.Kerja Gilir (shift) justru dapat menimbulkan stress karena terjadinya perubahan ritme sirkadian atau siklus kerja, pola suhu tubuh dan pelepasan adrenalin. Beban kerja kuantitatif akan dirasakan bila tugas yang diberikan terlalu banyak atau terlalu sedikit untuk diselesaikan. KESIMPULAN DAN SARAN Risiko kejadian hipertensi derajat 2 pada laki-laki 2,68 kali lebih besar dibanding pada perempuan, pada orang yang mempunyai kebiasaan merokok 2,81 kali lebih besar dibanding dengan orang yang tidak pernah merokok, pada orang yang mempunyai kebiasaan minum alkohol 2,17 kali lebih besar dibanding dengan orang yang tidak mempunyai kebiasaan minum alkohol, pada responden yang mempunyai riwayat keluarga yang menderita hipertensi adalah 2,58 kali lebih besar dibanding yang tanpa riwayat keluarga hipertensi, pada orang yang mempunyai indeks massa tubuh (IMT) 25 kg/m2 adalah 3,06 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami obesitas (IMT<25 kg/m 2), pada orang yang mempunyai tingkat stres sedang-tinggi adalah 2,24 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang mempunyai tingkat stres ringan. Untuk mencegah terjadinya hipertensi derajat 2 disarankan untuk lebih giat melakukan aktifitas fisik, dalam hal ini olah raga, secara teratur sebagai upaya untuk mengelola berat badan dan dapat mengurangi risiko menderita hipertensi. Untuk mengurangi stres kerja perlu strategi yang bersifat individual yang efektif seperti : pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. DAFTAR PUSTAKA Basuki B, Soemarko DS, (2001). Past antihypertensive drugs, obesity, daily light working load and risk of hypertension: An Indonesian rural study. Med J Indones. 10:224-9. Dinas Kesehatan Maluku, (2011). Profil Kesehatan Propinsi Maluku Tahun 2010. Herman, Max Joseph. (1996). Pemanfaatan Hormon dalam Kontrasepsi. Cermin Dunia Kedokteran No. 112 J. Karnadi, (1999). Stres dalam Kehidupan Sehari-Hari. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta. Kaplan NM, Liebermann E, Neal W, editors, (2002). Kaplan s clinical hypertension. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Laaser U, Breckenkamp J, (2005). Trends in risk factor control in Germany 1984-1998: High blood pressure and total cholesterol. Eur J Public Health. Noor, Nur Nasry, (2008). Epidemiologi. Rineka Cipta Psaltopoulou, Theodora, et al, (2004). Prevalence, Awarness, Treatment anda cotrol of Hypertension in a general population sample of 26913 adults in the Greek EPIC stud. International Journal of Epidemiology; 33:345-352. Rahajeng, Ekowati, (2009). Masalah Hipertensi di Indonesia, Puslitbang Biomedis dan Farmasi Depkes RI . Sembiring, (2010). Perilaku Penderita Hipertensi Terhadap Upaya Pencegahan Komplikasi di Wilayah Kerja Puskesmas Berastagi tahun 2010. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Undari, (2007). Stres dan masa kerja serta faktor-faktor risiko lain berkaitan dengan hipertensi di antara karyawan rumah sakit militer [tesis]. Jakarta: FK UI.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

158

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SIFILIS PADA AWAK KAPAL PERIKANAN DI WILAYAH KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS II KENDARI TAHUN 2011 Wahyuni H Thamrin, A. Arsunan Arsin, Mappeaty Nyorong3 Kantor Kesehatan Pelabuhan Kendari Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT This study aims to determine the risk of the risk factors of education, knowledge, attitudes, and years of drug use on the incidence of syphilis in the crew of a fishing vessel in the Port Health Office of Class II Kendari in 2011. Methods This was an observational study with case control study design. Sampling was done by purposive random sampling, sample cases numbered 68 people were infected with syphilis and control as many as 68 people who do not terinfksi syphilis. Data were analyzed with the test adds ratio test, bivariate, and multivariate logistic regression to test the limit of significance ( 5%). Bivariate test results in the study show a great level of risk with OR = 1.536 (95% CI 0.771 to 3.060), knowledge of the OR = 5.9111 (95% CI 2.693 to 12.973), the attitude with OR = 10, 563 (95% CI 4 , 78 to 23.330), drug use with OR = 13.233 (95% CI 5.270 to 33.229), years of work with OR = 1.199 (95% CI 0.606 to 2.371) are risk factors for the incidence of syphilis in the region of Port Health Office Class II Kendari year, 2011. Multivariate test results showed the greatest risk factor effects on the incidence of syphilis is drug use with OR = 12.606. Suggestions, should be maximized providing information on STIs and drug use, create the atmosphere of fun and joy that is not saturated in the workplace, it should be cross-sectoral coordination, and increase screening activities Keywords: Genesis syphilis, knowledge, attitudes, drug use PENDAHULUAN Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum, menular melalui hubungan seksual atau secara transmisi vertikal, bersifat kronik, sistemik dan menyerang hampir ke semua alat tubuh (D. Adhi, 200). Kasus sifilis di seluruh dunia dilaporkan berkisar antara 0,04-0,52% sedangkam kasus di Indonesia sebesar 0,61% dengan penderita terbanyak berada pada stadium laten. Propabilitas terjadinya infeksi Sifilis dan individu karier Sifilis kepada orang sehat adalah 30% wanita dan 20% adalah lelaki. Di Cina laporan menunjukkan jumlah kasus sifilis meningkat dari 0,2 per 100.000 jiwa tahun 1993 menjadi 5,7 per 100.000 jiwa tahun 2005. Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis tiap tahunnya dan 3 per 5 kasus terjadi dikalangan lelaki (http://www.sifilis .com.20007). Data STBP (Surveilens Terpadu Biologi Perilaku), tahun 2007 diperoleh jumlah anak buah kapal / awak kapal adalah kelompok pria berisiko melakukan hubungan dengan WPS setahun terakhir (46%) ini diluar Papua, prevalensi sifilis ABK 5,3%, pekerja pelabuhan di Papua dan 84% di Provinsi lain. Hasil penelitian prevalensi sifilis pada PSK di lokalisasi kecamatan kedungwaru kabupaten Tulungagung periode 2004 2005 menunjukkan 21,5% terdapat hubungan antara kejadian sifilis dengan umur responden. Sifilis merupakan kelompok IMS (Infeksi menular Seksual) kebanyakan hampir terdapat pada semua kelompok umur. METODE PENELITIAN Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian ini adalah bersifat observasional analitik dengan rancangan case control study, dilaksanakan dari tanggal 3 September sampai 30 November 2011 di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari (Pelabuhan Perikanan Samudera) Sulawesi. Populasi dan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik random purposive sampling. Sampel penelitian dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok kasus terdiri dari 68 responden yang menderita sifilis dan 68 kontrol yang tidak menderita sifilis. Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) dan analisis multivariat dengan uji logistik regresi.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

159

JURNAL HASIL PENELITIAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 1. Analisis faktor risiko kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011. Kejadian Sifilis Faktor Risiko Kategori Risiko Tinggi Pengetahuan Risiko Rendah Total Risiko tinggi Risiko rendah Total Risiko Tinggi Risiko rendah Total Risiko tinggi Risiko rendah Total Risiko tinggi Risiko rendah Total Kasus n % 38 55.9 30 68 31 37 68 52 16 68 61 7 68 41 27 68 44.1 100 45.6 54.4 100 76.5 23.5 100 89.7 10.3 100 60.3 39.7 100 Kontrol n % 12 17.6 56 68 24 44 68 16 52 68 27 41 68 38 30 68 82.4 100 35.3 64.7 100 23.5 76.5 100 39.7 60.3 100 55.9 44.1 100 n 50 86 136 55 81 136 68 68 136 88 48 136 79 57 136 % 36.8 63.2 100 40.5 59.5 100 50 50 100 64.7 35.3 100 58.1 41.9 100

OR CI = 95 % 5.911 (2,693 -12,973) 1.536 (0,771 3,060) 10.563 (4,782 - 23,330) 13.233 (5,270 33,229) 1.199 (0,606 2,371)

Pendidikan

Sikap Penggunaan Napza Masa Kerja (Masa Melaut) Data Primer

Faktor Risiko Pengetahuan dengan Kejadian Sifilis Faktor Risiko Pengetahuan terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa responden yang terinfeksi sifilis dengan tingkat pengetahuan kurang (risiko tinggi) yaitu sebanyak 38 orang(55.9%) dan responden dengan tingkat pengetahuan baik (risiko rendah) sebanyak 30 orang(44.1%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis memiliki pengetahuan kurang (risiko tinggi) sebanyak 12 orang (17.6%) dan pengetahuan baik (risiko rendah) sebanyak 56 orang (82.4%). Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 5.911 dengan nilai lower limit 2.693 dan upper limit 12.973 sehingga tidak mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value = 0.000 (0.000 < 0.05) maka dikatakan signifkan atau berhubungan, sehingga H0 di tolak dan H1 diterima, artinya pengetahuan merupakan faktor risiko sifilis. Interpretasi hasil analisis adalah responden dengan pengetahuan rendah berisiko terinfeksi sifilis 5.9 kali lebih besar dibandingkan responden yang berpengetahuan baik. Faktor Risiko Pendidkan dengan KEJADIAN SIFILIS Faktor Risiko Pendidikan terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa responden yang terinfeksi sifilis dengan tingkat pendidikan rendah (risiko tinggi) yaitu sebanyak 31 orang (45.6%) dan responden dengan tingkat pendidikan tinggi (risiko rendah) sebanyak 37 orang (54.4%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis memiliki pendidikan rendah (risiko tinggi) sebanyak 24 orang (35.3%) dan pendidikan tinggi (risiko rendah) sebanyak 44 orang (64.7%). Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 1.536 dengan nilai lower limit 0.771 dan upper limit 3.060 sehingga mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value = 0.221 (0.221 > 0.05) maka dikatakan tidak signifkan, sehingga H0 di terima dan H1 ditolak, artinya pendidikan bukan merupakan faktor risiko sifilis. Interpretasi hasil analisis adalah responden dengan pendidikan tinggi berisiko terinfeksi sifilis 1.5 kali lebih besar dibandingkan responden yang berpendidikan rendah. Faktor Risiko Sikap dengan Kejadian Sifilis Faktor Risiko Sikap terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 ternyata dengan sikap responden yang kurang baik (risiko tinggi) dapat menyebabkan terjadinya infeksi sifilis yaitu sebanyak 52 orang (76.5%) dan sikap responden yang baik ( risiko rendah) terdapat infeksi sifilis sebanyak 16 orang (23.5%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis memiliki sikap kurang baik (risiko tinggi) sebanyak 16 orang (23.5%) dan sikap baik (risiko rendah) sebanyak 52 orang (76.5%). Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 160

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 10.563 dengan nilai lower limit 4.782 dan upper limit 23.330 sehingga tidak mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value = 0.000 (0.000 < 0.05) maka dikatakan signifkan atau berhubungan, sehingga H0 di tolak dan H1 diterima, artinya sikap merupakan faktor risiko kejadian sifilis. Interpretasi hasil analisis bahwa sikap responden yang kurang baik (risiko tinggi) berisiko terinfeksi sifilis 10.5 kali lebih besar untuk terinfeksi sifilis dibandingkan responden dengan sikap baik (risiko rendah). Faktor Risiko NAPZA dengan Kejadian Sifilis Faktor Risiko penggunaan NAPZA terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa responden yang terinfeksi sifilis dengan penggunaan NAPZA (risiko tinggi) yaitu sebanyak 61 orang(89.7%) dan responden dengan tidak mengkonsumsi NAPZA (risiko rendah) sebanyak 7 orang (10.3%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis dengan penggunaan NAPZA (risiko tinggi) sebanyak 27 orang (39.7%) dan yang tidak mengkosumsi NAPZA (risiko rendah) sebanyak 41 orang (60.3%). Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 13.233 dengan nilai lower limit 5.270 dan upper limit 33.229 sehingga tidak mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value = 0.000 (0.000 < 0.05) maka dikatakan signifkan atau berhubungan, sehingga H0 di tolak dan H1 diterima, artinya penggunaan NAPZA merupakan faktor risiko kejadian penyakit sifilis. Interpretasi hasil analisis adalah kelompok responden yang mengkosumsi NAPZA berisiko terinfeksi sifilis 13.2 kali lebih besar dibandingkan kelompok responden yang tidak mengkonsumsi NAPZA. Faktor Risiko Masa Kerja dengan Kejadian Sifilis Faktor Risiko Masa kerja terhadap kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1 bahwa masa kerja responden lebih dari 1 bulan sebagai risiko tinggi terinfeksi sifilis dengan yaitu sebanyak 41 orang (60.3%) dan lama kerja kurang atau sama dengan 1 bulan sebagai risiko rendah sebanyak 27 orang (39.7%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis memiliki masa kerja lebih dari1 bulan (risiko tinggi) sebanyak 38 orang (55.9%) dan masa kerja kurang atau sama dengan 1 bulan (risiko rendah) sebanyak 30 orang (44.1%). Hasil uji statistik odds ratio diperoleh nilai OR = 1.199 dengan nilai lower limit 0.606 dan upper limit 2.371 sehingga mencakup nilai 1 dengan tingkat kepercayaan CI = 95% dan nilai p-value = 0.602 (0.602 > 0.05) maka dikatakan signifkan, sehingga H0 di terima dan H1 ditolak, artinya masa kerja bukan merupakan faktor risiko kejadian sifilis. Interpretasi hasil analisis adalah responden dengan masa kerja lebih dari 1 bulan berisiko terinfeksi sifilis 1.1 kali lebih besar dibandingkan responden yang memilki masa kerja kurang atau sama dengan 1 bulan. Analisis Hasil Uji Multivariate Analisis multivariat ini dipakai untuk melihat semua faktor risiko yang sangat dominan dalam menentukan kejadian sifilis, dimana semua faktor risiko sebagai variabel independen dimasukkan secara bersama-sama kemudian di uji dengan metode enter. Tabel 2. Hasil analisis multivariat faktor risiko kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011. CI = 95% Lower 1.359 3.761 4.081 Upper 10.432 27.878 38.937

Variabel Pengetahuan Sikap NAPZA Constant Data Primer

B 1.326 2.326 2.534 -3.366

S.E. 0.520 0.511 0.575 0.742

Wald 6.502 20.720 19.397 20.575

df 1 1 1 1

Sig. 0.011 0.000 0.000 0.000

Exp(B)OR 3.765 10.239 12.606 0.035

Tabel 2 analisis hasil memperlihatkan bahwa dari semua variabel setelah di uji regresi logistic yang paling berpengaruh terhadap kejadian sifilis adalah NAPZA dengan niai Odds Ratio 12.606. Berdasarkan analisis tersebut dapat dibangun model kejadian sifilis sebagai berikut: Logit sifilis = -3.366 + 1.326 (Pengetahuan) + 2.326 (Sikap) + 2.534 (NAPZA). artinya responden yang memiliki pengetahuan rendah, sikap yang tidak baik dan pengguna NAPZA memiliki probabilitas berisiko terhadap kejadian sifilis pada awak kapal perikanan sebesar 94 %.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

161

JURNAL PEMBAHASAN

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Pendidikan Hasil penelitian didapatkan pendidikan awak kapal yang setara pendidikan rendah sebagai kelompok risiko tinggi lebih sedikit (45.%) terinfeksi sifilis sedangkan pendidikan awak kapal yang setara pendidikan tinggi sebagai kelompok risiko rendah lebih banyak (54.4 %) yang terinfeksi sifilis. Kondisi ini tidak sesuai dengan hasil penelitian pada PSK Resosialisasi Argorejo, bahwa rata-rata menderita sifilis adalah mereka dengan tingkat pendidikan rendah (SD/MI) yaitu 87.5 % (n = 16). sedangkan PSK yang menyelesaikan ketingkat SMU tidak ada yang menderita sifilis ( 0% n = 16), (Farida.A.2002). Peneliti lain juga menemukan bahwa didapatkan pendidikan awak kapal yang setara pendidikan rendah sebagai kelompok risiko tinggi lebih banyak (54.2 %) terinfeksi sifilis sedangkan pendidikan awak kapal yang setara npendidikan tinggi sebagai kelompokn risiko rendah hanya sedikti (45.8 %) yang terinfeksi sifilis (H M Pical, 2009). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kasus sifilis PSK dengan tingkat pendidikan rendah ada pengaruh signifikan dengan sifilis. Kejadian sifilis saat ini sudah menyebar disemua tempat, baik dikota maupun di pedesaan. seperti yang dituliskan oleh Notoatmodjo, 2007 bahwa tingkat pendidikan kesehatan tidak dapat segera membawa manfaat bagi mayarakat dan mudah dilihat dan diukur. Karena pendidikan adalah behavior investment jangka panjang dan bias dilihat awak kapal meskipun yang lebih banyak adalah pendidikan tinggi tetapi kembali kepada pribadi masing-masing. Karena pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku dilingkungan tempat kerja. Oleh T.Sahdo, 200 menyebutkan bahwa terjadi fenomena insiden sifilis di kalangan pekerja pabrik akibat adanya intervensi pendidikan dan konseling dengan besar kasus 28.9 %. Pengetahuan Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan rendah pada awak kapal ternyata lebih banyak (38 %) yang terinfeksi sifilis, sedangkan tingkat pengetahuan awak kapal yang dianggap cukup hanya sedikit (30 %) terinfeksi sifilis. Banyak kasus sifilis pada awak kapal dengan pengetahuan rendah akibat dari kurangnya pengetahuan mereka tentang penyebab sifilis, gejala dan cara pencegahan sifilis. Kondisi ini mirip dengan survey epidemiologi di Singapuran melalui diagnosis sifilis ditemukan ada perbedaan jumlah kasus yang terdeteksi melalui serilogi ternyata pasien tidak menyadari karena tidak mengetahui gejala akibat kurangnya pengetahuan. Uji statistik dan analisisnya bahwa anak kapal dengan pengetahuan rendah, berisiko terinfeksi sifilis 5,9 kali lebih besar dibanding dengan awak kapal yang memiliki pengetahuan cukup. Hal ini sangat sesuai dengan penelitian oleh Tarmadi (2002) tentang kasus PMS dapat meningkat karena perilaku kesehatan remaja yang berisiko PMS berumur 15.19 tahun mempunyai hubungan dengan sikap pengetahuan dan perilaku. Pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang sesuatu hal akan dapat mempengaruhi sikap dan selanjutnya mempengaruhi niat untuk melakukan tindakan atau perilaku (Farisa, dkk, 2002). Juga dibenarkan oleh Kennedy, 2006 bahwa 98 % siswa SMA Tanzania kurang memiliki pengetahuan tentang gejala PMS sehingga terdapat 23 % siswa tidak tahu cara penularan IMS selama melakukan hubungan seksual. Sikap Hasil penelitian ternyata dengan sikap awak kapal yang kurang baik sebagai kelompok risiko tinggi menyebabkan mereka lebih banyak terinfeksi sifilis(52%) sikap yang kurang baik akibat dari tidak melakukan upaya-upaya pencegahan, untuk melindungi diri terhadap penyebaran bakteri Treponema pallidum dalam berbagai bentuk. Stephen, P.dkk, (2008) berpendapat bahwa sikap memiliki hubungan kausal dengan perilaku yakni jika sikap yang dimiliki seseorang dapat menentukan apa yang dilakukan. Ternyata penularan sifilis bisa terjadi dengan cara kontak langsung saat melakukan hubungan seksual dengan penderita sifilis atau bisa melalui tindakan pencorengan dibawah kulit penderita (responden) atau tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks diluar nikah. Hasil penelitian Horald (2009) pada awak kapal perikanan ambon ternyata dengan sikap awak kapal yang kurang baik sebagai kelompok risiko tinggi menyebabkan mereka lebih banyak terinfeksi sifilis (65.1 %) sikap yang kurang baik akibat dari tidak melakukan upaya-upaya pencegahan, untuk melindungi diri terhadap penyebaran bakteri Treponema pallidum dalam berbgai bentuk. dengan uji statistik OR 3.290 dengan lower limit dan upper limit tidak mencakup 1 berarti sikap merupakan faktor risiko terhadap kejadian sifilis. Masa Kerja Hasil penelitian ditemukan bahwa masa kerja awak kapal lebih dari 1 bulan sebagai kelompok risiko tinggi lebih banyak terinfeksi sifilis (60.3 %) sedangkan awak kapal dengan masa kerja kurang dari 1 bulan hanya sedikit yang terinfeksi sifilis. Masa kerja yang dimaksud pada penelitian ini adalah lama melaut dimana lamanya awak kapal melakukan perjalanan pada saat dilakukan penelitian yang diikat dalam kontrak kerja.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

162

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Kemungkinan yang terinfeksi akibat dari kejenuhan atau stress ditempat kerja. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lelaki yang berumah tangga dengan stress ditempat kerja dapat berakibat terhadap kehidupan seksual. Hal ini didukung oleh peneliti dan mengatakan bahwa stress justru dapat memberi gairah seks meningkat ( Lubis, 2004). Semakin lama masa melaut awak kapal dalam pelayaran dapat menimbulkan kejenuhan sehingga mencari tempat hiburan setiap menyinggahi pelabuhan. Semakin lama masa melaut semakin bertambah upah atau gaji dan merupakan faktor dan dorongan untuk melakukan hubungan diluar nikah/seks bebas. Ada beberapa penulis lain juga menyebutkan bahwa sebagai pelaku hubungan seksual adalah mereka yang memiliki upah atau gaji yang tinggi diperusahaan. Awak kapal yang terinfeksi bakteri Treponema pallidum, jika berlayar ditengah laut semakin lama sangat berpotensi menular kepada orang lain lewat jarum suntik, tato dan kemungkinan lainnya. Kondisi ini juga dapat diperburuk karena sesuai dengan laporan penelitian di banyuwangi (2003), prevalensi kasus IMS seperti sifilis ternyata tinggi dan sebagian besar (39 %) tidak menunjukkan tanda atau gejala dan secara umum periode masa inkubasi adalah 10 hari sampai 21 hari (3 minggu). Penggunaan Napza Menjelaskan bahwa responden yang terinfeksi sifilis dengan penggunaan NAPZA (risiko tinggi) yaitu sebanyak 61 orang(89.7%) dan responden dengan tidak mengkonsumsi NAPZA (risiko rendah) sebanyak 7 orang (10.3%). Sedangkan yang tidak terinfeksi sifilis dengan penggunaan NAPZA (risiko tinggi) sebanyak 27 orang (39.7%) dan yang tidak mengkosumsi NAPZA (risiko rendah) sebanyak 41 orang (60.3%). Penggunaan alkohol dapat meningkatkan kemungkinan untuk mempunyai beberapa pasangan seks dan dan berisikoterkena Penyakit Menular seksual (PMS). Dipimpin oleh Senteli (2000) dari Center for Diseasse Control and prevention, AS, para peneliti mewawancarai 8400 peserta untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berkaitan dengan kaum muda yang mempunyai beberapa pasangan seks. Penelitian ini menemukan, 65% pria yg dilaporkan suka mengkonsumsi alkohol mempunyai bebarapa pasangan seks. Penggunaan alkohol merupakan salah satu factor risiko yang paling penting terhadap jumlah pasangan seks serta risiko terkena HIV dan PMS lainnya. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Urip PJ (2002) mengenai Prilaku Seks bebas Pada Seorang Alkoholik, dalam penelitian ini diketahui bahwa setelah mengkonsumsi alkohol, subyek di bawah pengaruh alkohol subjek merasa susah mengendalikan hawa nafsunya. Hal ini sesuai dengan teori menurut Freud (dalam Danarto, 2003), bahwa kimiawi dan libido terdapat eksperimen pengangkatan kelenjar seks(kelenjar gonad, testis pada pria dan ovarium pada wanita), dalam jaringan antara gonad, zat-zat kimia khusus telah diproduksi, yang pada saat dibawah aliran darah akan mengisi bagian-bagian tertentu dari system syaraf pusat dengan ketegangan seksual. Transformasi stimulus kimiawi menjadi stimulus organis lewat produk-produk kimiawi lain yang dimasukkan ke dalam tubuh. Kompleksitas unsur kimiawi murni dan stimulus fisiologis yang muncul dalam proses seksual. Apabila ketiga faktor risiko kejadian sifilis, yaitu pengetahuan responden yg rendah , sikap yang tidak baik dan penggunaan NAPZA maka akan memiliki probabilitas terhadap kejadian sifilis pada awak kapal perikanan sebesar 94 %. KESIMPULAN Pengetahuan (OR = 5,9111), sikap (OR = 10, 563), penggunaan NAPZA (OR = 13,233), merupakan faktor risiko kejadian sifilis di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011. Penggunaan NAPZA merupakan factor risiko terhadap kejadian sifilis pada awak kapal perikanan di Wilayah Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Kendari tahun 2011. DAFTAR PUSTAKA AIDS Control and Prevention (AIDSCAP) 1996. Control of Sexually Transmitted Diseases: Handbook for the design and management of programs, Project Family Health International, U.S.A. Akhtar, S., Luby, S.P., Rahbar, M.H., Azam, I. 2001. HIV/AIDS Knowledge, Attitudes and Beliefs Base Prediction Models For Practices in Prison, Inmates, Sindh, Pakistan , Southeast Asian Journals Trop Med Public Health, 32 (2), 351-361. Aral, S.O. dan Holmes, K.K. 1999. Social and Behavioral Determinants of the Epidemiology of STDs: Industrialized and Developing Countries , in K. Holmes (ed.) Sexually Transmitted Diseases, McGraw-Hill, New York, 3, 39-72. Hovell, M.F., Hillman, E.R., Blumberg, E., Sipan, C., Atkins, C., Hofstetter, C.R., Myers, C.A. 1994. A Behavioral-Ecological Model of Adolescent Sexual Development: A Template for AIDS Prevention , The Journal of Sex Research, 31 (4), 267-281 Stephen P. Robbiens. 2008. Perilaku Organisasi. Salemba Empat. Jakarta.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

163

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOGNITIF ANAK SEKOLAH DASAR PADA DESA ENDEMIS MALARIA DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR Wirawati Rasjid1, A.Arsunan Arsin2, Hasanuddin Ishak3 Dinas Kesehatan Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2 1

ABSTRACT The potential impact of malaria on the cognitive development of school children who have been recognized for over 20 years. Hemolytic process that occurs periodically in children with malaria caused the child's general condition declined (due to fever) and can also cause anemia which can affect short-term memory of children. This study aims to determine the relationship nutritional status, anemia status, history of recurrent malaria attacks, and the attendance of students on the cognitive abilities of primary school children in the Village District Lantibongan. Bontosikuyu Selayar Islands Districtin 2012. This is an observational study with cross-sectional study design (cross sectional study). Sampling is done by means of '"Exhaustive Sampling"' to all primary school children Class II-VI in the Village District Lantibongan Bontosikuyu Selayar Islands District. Large sample of 101 people. The data was collected through observation and documentation. Data were analyzed with SPSS statistical analysis, chi square test statistic for testing through bivariate, multiple logistic regression test for multivariate logistic test with <0.05. The results showed that the status of anemia status p (0.000) associated with the child's cognitive contribution of 48.8%, recurrent attacks of malaria associated with children's cognitive p (.001) with a contribution of 33.7%, student absenteeism related to child cognitive p ( 0.000) with a contribution of 45.7%. Unrelated variables is the nutritional status of p (0.381). The most pertinent variables through multivariate logistic test is variable anemia (0.000 <0.05). Keywords: Cognitive Status Anemia, Malaria attacks Again, the student attendance PENDAHULUAN Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia terutama di luar Jawa dan Bali. Hingga saat ini malaria masih termasuk dalam sepuluh kelompok besar penyakit utama. Sebanyak 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria klinis di atas angka nasional, sebagian besar berada di indonesia Timur. Provinsi jawa Bali merupakan daerah dengan prevalensi malaria klinis terendah yaitu 0,5% (Mulawarman, 2011). Data yang ada menunjukkan bahwa Kabupaten Kepulauan Selayar adalah salah satu daerah endemis malaria di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada Tahun 2010, Kabupaten Kepulauan Selayar berada pada urutan kedua (setelah Kabupaten Bulukumba) API tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan API 2,9 (Dinkes SulSel, 2011). Adapun kejadian Malaria pada anak sekolah dasar di Kabupaten Kepulauan Selayar diperoleh data bahwa, jumlah kasus malaria klinis yang ditemukan pada tahun 2008 malaria klinis sebanyak 3006 anak, yang diperiksa 1180, dan yang positif 377. Untuk tahun 2009 kasus malaria Klinis pada anak SD sebanyak 3235, yang diperiksa 1140 anak, dan yang positif sebanyak 207 anak. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah kasus malaria Klinis sebanyak 3817, diperiksa sebanyak 2236 anak, dan yang positif sebanyak 431 anak. (Dinkes Selayar, 2011) Dampak potensial penyakit malaria terhadap perkembangan kognitif anak sekolah juga telah diakui selama lebih dari 20 tahun. Proses hemolitik yang terjadi secara periodik pada anak penderita malaria menyebabkan kondisi umum anak menurun (akibat demam) dan juga dapat menyebabkan anemia yang dapat mempengaruhi memori jangka pendek anak. Plasmodium berpengaruh pada kemampuan kognitif, dimana infeksi telah lama dihubungkan dengan gangguan pertumbuhan fisik anak anak. Malaria menyebabkan gangguan status nutrisi anak (malnutrisi), dan sebaliknya malnutrisi ini menyebabkan anak menjadi lebih rentan terhadap infeksi malaria. Gejala klinis malaria yang sering didapat pada anak di daerah endemis malaria akan menyebabkan nafsu makan menurun sehingga asupan gizi berkurang dan akan mengganggu pertumbuhan anak (Kusumadi, 2003). Kurang gizi menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan daya tahan, meningkatkan kesakitan dan kematian (Achmad, 2000). Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2000) disebutkan bahwa pada anak usia sekolah kekurangan gizi akan mengakibatkan anak menjadi lemah, cepat lelah dan sakit-sakitan sehingga anak seringkali absen mengalami kesulitan mengikuti dan memahami pelajaran. Keadaan gizi juga mempengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan akan mempengaruhi prestasi belajar. Masalah gizi lainnya yaitu menyangkut defisiensi besi yang berpengaruh terhadap kognitif anak sekolah, prevalensi defisiensi besi (anemia) yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

164

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan demikian konsekuensi fungsional dari anemia menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia (Scrimihow,1984 dalam Hadzmawati,2011). Defesiensi zat besi terutama berpengaruh pada kondisi gangguan fungsi hemoglobin yang merupakan alat transport oksigen. Oksigen diperlukan pada banyak reaksi metabolik tubuh. Pada anak-anak sekolah telah ditunjukkan adanya korelasi antara kadar hemoglobin dan kesanggupan anak untuk belajar. Dikatakan bahwa pada kondisi anemia daya Bagian dalam belajar tampak menurun (Wijayanti,2005). Pertemuan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi melaporkan prevalensi Anemia pada bayi dan anak yang dikaji oleh Survei Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT ) tahun 2001 pada kelompok umur < 6 bulan 61,3%, bayi 6 sampai 11 bulan 64,8%, anak usia 12 sampai 23 bulan 58%, anak usia 0 sampai 4 tahun 48,1 % dan anak usia 5 sampai 14 tahun berkisar 48% sampai 57% ( Zulaicha, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Buana (YKB) pada 3.160 anak di 13 sekolah dasar di Jakarta, menemukan prevalensi anemia besi berkisar antara 5,7 71,6% atau secara keseluruhan 49,5%. Delapan sekolah dengan prevalensi anemia besi di atas 50% (antara 51,9% hingga 71,6%) dan tiga sekolah dengan prevalensi di atas 40% (antara 42,1% hingga 49,5%). Penelitian lain yang dilakukan pada murid SD Pisangan baru 05 Jakarta Timur pada tahun 2000, juga ditemukan prevalensi anemia besi cukup tinggi di antara siswanya, yaitu 69,1% ( Sinaga, 2005 dalam Hadzmawati, 2011). Penduduk yang terancam malaria pada umumnya adalah penduduk yang bertempat tinggal didaerah endemis malaria baik daerah yang kategori endemis tinggi maupun daerah endemis malaria sedang dan yang paling beresiko terkena malaria adalah anak balita, wanita hamil dan penduduk non-imun yang mengunjungi daerah endemik malaria. Salah satu Kecamatan endemis Malaria (API di atas 5) di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah Kecamatan Bontosikuyu dengan rata-rata API sebesar 9,14. Kecamatan ini berada pada urutan ketiga API tertinggi dari 11 Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Selayar. Adapun Desa paling endemis di Kecamatan Bontosikuyu adalah Desa Lantibongan dengan API 21,77. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kognitif anak sekolah dasar. BAHAN DAN METODE Rancangan dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Lantibongan Kec.Bontosikuyu Kab.Kepulauan Selayar. Jenis penelitian yang digunakan adalah observational dengan menggunakan desain cross sectional study. Populasi dan Sampel Populasi adalah semua anak usia sekolah dasar yang duduk di kelas II sampai kelas VI di Desa Lantibongan Kecamatan Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar yang bersedia untuk menjadi objek penelitian. Jumlah sampel sebanyak 101 orang yang diambil secara exhaustive sampling yang telah memenuhi kriteria inklusi. Analisis data Data karakteristik responden dan data faktor-faktor yang berhubungan dengan kognitif anak sekolah dasar diolah menggunakan SPSS for windows 7. Untuk menilai hubungan faktor status gizi, status anemia, riwayat serangan malaria, dan absensi siswa uji chi square dan regersi logistic. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang paling berhubungan dengan kognitif anak sekolah dasar dan untuk mengetahui interaksi antar variabel bebas dalam memberikan kontribusi terhadap kognitif anak sekolah dasar. HASIL Karakteristik sampel Tabel 1 memperlihatkan sampel penelitian berdasarkan umur dan jenis kelamin. Sampel paling banyak adalah pada kelompok umur 10-12 tahun yaitu sebanyak 49 orang, dan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 53 orang, tingkat pendidikan orang tua anak, tingkat pendidikan sedang merupakan tingkat pendidikan terbanyak yaitu 78 orang, pekerjaan orangtua anak terbanyak adalah sebagai nelayan/petani/buruh yaitu sebanyak 92 orang, status gizi dan kadar HB anak sekolah, status gizi kurus adalah status gizi terbanyak yaitu sebanyak 67 anak, kadar HB terbanyak pada kadar tinggi yaitu sebanyak 52 orang. Setelah melalui proses analisis krosstab dengan kognitif maka kognitif tinggi ditemukan pada kelompok umur 9 yaitu 73, 2%, dan pada karakteristik jenis kelamin ditemukan kognitif tinggi pada perempuan yaitu sebanyak 62,3%, Untuk pekerjaan orangtua kognitif tertinggi pada anak orangtuanya tidak bekerja hanya 1 orang, anak yang pekerjaan orangtuanya sebagai TNI/POLRI/PNS mempunyai kognitif lebih tinggi dari pada anak dengan pekerjaan orang tua sebagai Petani/Nelayan/Buruh,status gizi kurang mempunyai kognitif lebih tinggi dibanding anak dengan status gizi normal dan anak dengan kadar HB tinggi mempunyai kognitif yang juga tinggi sebesar 82,7%.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

165

JURNAL Tabel 1.

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Distribusi Karakteristik Anak Sekolah Dasar di Desa Lantibongan Kecamatan Bontosikuyu Kab. Kepulauan Selayar tahun 2012. Kognitif Variabel n Tinggi % 73,2 49,0 6 56,2 62,3 61,52 50 66,7 100 62,5 58,7 59,7 57,6 100 37,2 16,7 82,7 72 100 44,2 0 0 78,5 81,8 50 32,5 n 11 25 5 21 20 30 10 1 0 3 38 27 14 0 27 5 9 14 0 24 1 2 9 4 1 27 Rendah % 26,8 51 45,5 43,8 37,7 38,5 50 33,3 0 37,5 41,3 40,3 42,4 0 62,8 83,3 17,3 28 0 55,8 100 100 24,3 18,2 50 67,5 Jumlah n % 41 49 11 48 53 78 20 3 1 8 92 67 33 1 43 6 52 50 5 43 1 2 37 22 2 40 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Kelompok Umur (tahun) 9 10 12 >12 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Orangtua Sedang Rendah Tinggi Pekerjaan Orang tua Tidak Bekerja TNI/POLRI/PNS Petani/Nelayan/Buruh Status Gizi Kurus Normal Gemuk Hasil Pemeriksaan HB Rendah Normal Tinggi Jumlah Serangan Malaria Tidak Pernah 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali Absensi Siswa <5 hari 5 10 hari 11 15 hari >15 hari Data Primer

30 24 6 27 33 48 10 2 1 5 60 40 19 1 16 1 43 36 5 19 0 0 28 18 50 13

Analisis bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel independen dengan dependen penelitian (Kognitif anak sekolah). Uji chi square menunjukkan bahwa faktor faktor yang berhubungan dengan kognitif, Status Anemia(p = 0,000); Riwayat serangan berulang malaria( p = 0,001); dan Absensi siswa (p = 0,000) sedangkan faktor status gizi tidak berhubungan dengan kognitif p = 0,381. Analisis multivariate Untuk mengetahui variabel yang paling berhubungan dengan kognitif anak sekolah dilakukan analisis multivariat melalui uji regresi logistic. Variabel yang memenuhi syarat untuk ikut di uji adalah variabel yang mempunyai nilai p < 0,25, dengan demikian maka variabel yang diuji adalah status anemia, riwayat serangan malaria berulang, dan absensi siswa. Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam uji multivariat, maka variabel yang berhubungan dengan kognitif anak sekolah adalah status anemia (p = 0,000) dan absensi siswa (p = 0,002). Dari kedua variabel ini yang paling berhubungan dengan kognitif adalah status anemia dengan nilai p = 0,000 dan nilai Wald 13.519.

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

166

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

Tabel 2. Model Regresi Berganda Logistik Analisis Kognitif Responde Di Desa Lantibongan Kecamatan Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2012 Variabel Jumlah serangan Absensi Anemia Constant Data Primer PEMBAHASAN Dalam penelitian ini terlihat bahwa ada beberapa factor yang signifikan dengan kognitif yaitu, status anemia, serangan berulang malaria, dan absensi siswa. Anemia memiliki dampak yang bisa menjadi gangguan serius, mulai dari kecerdasan anak menurun, mudah infeksi, hingga gangguan mental. Anak yang menderita anemia akan mengalami gangguan Bagian, daya ingat rendah, kemampuan memecahkan masalah rendah, gangguan perilaku, dan tingkat Intelegence Quotient (IQ) yang lebih rendah. Akibatnya adalah penurunan prestasi belajar dan kemampuan fisik anak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan Kartikasari tahun 2007 menunjukan bahwa siswa dengan anemia memiliki prestasi yang cukup saja atau bahkan kurang dan penelitian Hadzmawati Hamzah tahun 2011 yang menemukan bahwa responden yang kognitifnya tinggi dengan nilai Hb normal (tidak anemia) ada 77,8%, dan yang kognitifnya rendah dengan Hb normal (22,2) sedangkan yang dinyatakan kognitifnya tinggi dengan Hb rendah (17%) dan kognitifnya rendah dengan Hb rendah ada 56,4%.. Secara teoritis, zat besi juga berperan dalam kemampuan belajar anak. Hubungan defisiensi besi dengan fungsi otak telah banyak diteliti. Beberapa bagian dari otak mempunyai kadar besi yang tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. Defesiensi besi berpengaruh terhadap fungsi neurotransmitter, akibatnya kepekaan reseptor saraf dopamine berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Hal ini akan menurunkan daya Bagian, daya ingat dan kemampuan belajar. Juga terjadi peningkatan ambang rasa sakit dan penurunan fungsi kelenjar tiroid serta kemampuan mengatur suhu tubuh (Agustian,2008). Prevalensi Anemia Gizi yang tinggi pada anak sekolah membawa akibat rendahnya kekebalan tubuh sehingga menyebabkan tingginya angka kesakitan. Dengan demikian maka konsekuensi fungsional dari anemia gizi menyebabkan menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia (Scrimihow, 1984 dalam Wahyuni, 2004). Beberapa hasil penelitian yang menjelaskan bahwa anemia kurang nyata hubungannya dengan kemunduran intelektual, namun banyak yang telah membuktikan bahwa defisiensi zat besi (anemia) mempengaruhi pemusnahan (atensi), kecerdasan (IQ), dan prestasi belajar di Sekolah. Anemia defisiensi besi yang menimpa anak sekolah, mengakibatkan siswa tersebut sulit menerima pelajaran di kelas. Gangguan Bagian berhubungan dengan kemampuan anak untuk memperhatikan dan berBagian, kemampuan yang berkembang seiring dengan perkembangan anak. Searah dengan penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya maka pada penelitian ini juga didapatkan kesimpulan yang sama bahwa status anemia berhubungan dengan kognitif pada anak sekolah dasar di Desa Lantibongan Kec.Bontosikuyu nilai p = 0,000. Riwayat serangan malaria berulang mempunyai hubungan dengan kognitif anak dimana diperoleh nilai p=0,001. Pada penelitian ini serangan berulang malaria mempunyai peluang sebesar 33,7% terhadap kognitif anak. Secara teoritis dampak potensial penyakit malaria terhadap perkembangan kognitif, kemampuan dan motivasi pada seorang anak secara sederhana dapat dibagi 2 : kelemahan otak akibat episode malaria akut yang berat atau malaria dengan komplikasi dan yang kedua adalah pengaruh potensial terhadap kemampuan kognisi yang disebabkan oleh infeksi malaria yang kronis, diikuti dengan keadaan anemia dan gizi kurang. Para ahli teori prestasi belajar menyatakan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari siswa. Faktor internal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa yang berasal dari dalam siswa. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa yang berasal dari luar siswa. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah kehadiran siswa di sekolah (Astuti, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara absensi siswa dengan kognitif anak, dimana diperoleh nilai p=0,000. Sedangkan berdasarkan hasil uji kekuatan hubungan dengan uji phi diperoleh nilai =0,457, ini berarti ada hubungan antara absensi siswa dengan kognitif anak, dimana absensi siswa berkontribusi sebesar 45,7% terhadap kognitif anak. Hasil uji statistik multivariat terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kognitif anak diperoleh hasil bahwa status anemia merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kognitif anak. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun anak jarang absen, tidak atau jarang terkena serangan Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012 167 B 1.18 2.254 2.214 -8.832 Wald 2.395 10.071 13.519 10.531 Sig, 0.122 0.002 0,000 0.001 Exp(B) 3.253 9.523 9.148 0,000 95% CI Lower Upper 0.73 14.494 2.367 38.305 2.811 29.772

JURNAL

MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI I N D O N E S I A

malaria tapi jika pasien terkena anemia maka akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kognitif anak. KESIMPULAN DAN SARAN Kami menyimpulkan bahwa kognitif seorang anak sangat ditentukan oleh faktor status anemia, absensi, dan riwayat serangan berulang malaria, serta pelaksanakan pemeriksaan plasmodium darah harus dijadikan program wajib bagi setiap anak, pemberian makanan bergizi yang dapat meningkatkan kadar HB anak, serta meningkatkan status kesehatan anak yang pada akhirnya mengurangi absensi anak ke sekolah. DAFTAR PUSTAKA Astuti.E (2007). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Mata Pelajaran Pengetahuan SosialEkonomi Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Padamara Kabupaten Purbalingga Tahun Pelajaran 2005/2006. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Achmad, (2000). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian Rakyat, Jakarta. Achmadi,Umar,(2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, seri Desentralisasi kesehatan masyarakat. Penerbit : Universitas indonesia,Jakarta. (Agustian, (2008). Penilaian Status Gizi setelah Terapi Besi Pada Anak sekolah Dasar Yang Menderita Anemia Defesiensi Besi, Program Magister Klinis-Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Sumatera Utara Medan Tahun 2008 Depkes RI.(1999). Modul Parasitologi Malaria. Direktorat Jenderal Jenderal Pemberantasan penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan pemukiman, Departemen Kesehtan Republik Indonesia .Jakarta Dinkes Selayar, (2011). Laporan Eliminasi Malaria di Kabupaten Kepulauan Selayar , Dinas kesehatan kabupaten Kepulauan Selayar. Hadzmawaty. (2011). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kognitif Anak Usia Sekolah Di Pulau Kapoposang Tahun 2011. Indrawati. Veni. (2004). Pengaruh Anemia Terhadap Bagian Belajar Anak Sekolah Dasar . Jurnal Pendidikan Dasar, vol.5.No.1,2004: 43 50. Kartikasari, Rani. (2007) . Hubungan Antara Status Gizi Anak.Tingkat Pendidikan Terakhir Ibu dengan Hasil Belajar Siswa Kelas 4, 5, Dan 6 SDN Plosorejo 1 Desa Plosorejo Randublatung Kabupaten Blora. Skripsi Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang. Kusumadi, Adi. (2003). Status Gizi Dan Perkembangan Kognitif Anak Sekolah Dasar Di Daerah Endemis Malaria. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I. Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Mulawarman, (2011)Analisis Model Pencegahan Penyakit Malaria di Pulau Kapoposang Tahun 2001 Wijayanti, A (2005). Hubungan Antara Kadar Hemoglobin Dengan Prestasi Belajar Siswi SMP Negeri 25 Semarang. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang Wahyuni.S (2004). Anemia Defisien Besi Pada Balita. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara . Zulaicha, Tengku Mirda.(2009) . Pengaruh Suplementasi Besi Sekali Seminggu Dan sekali sehari Terhadap Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar. Tesis Fakultas kedokteran Jurusan Ilmu Kesehatan Anak Universitas Sumatera Utara

Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2012

168

You might also like