You are on page 1of 28

ESAI

APAKAH QURAN MENGANDUNG MUKJIZAT SAINTIFIK? PENDEKATAN BARU MENYELARASKAN DAN MENDISKUSIKAN SAINS DALAM AL-QURAN

Oleh : Hamza Andreas Tzortzis Penerjemah 1 : https://www.facebook.com/irfanhabibie Penerjemah 2 : www.hanifsoul.wordpress.com

@2012

APAKAH QURAN MENGANDUNG MUKJIZAT SAINTIFIK? PENDEKATAN BARU MENYELARASKAN DAN MENDISKUSIKAN SAINS DALAM ALQURAN
Sejak tahun delapan puluhan tumbuh gerakan dari kalangan akademisi dan apologis Muslim yang menggunakan sains untuk meneguhkan karakter kemukjizatan dan kewahyuan pada wacana mengenai AlQuran. Pada tingkat akar rumput, umat Islam di seluruh dunia, terutama di Barat, mereka mencoba mengartikulasikan kebenaran Islam dengan menggunakan ayat-ayat yang mengisyaratkan sains sebagai bukti keilahian sumber al Al-Quran itu. Internet dipenuhi dengan website, esai, video, dan tulisan tentang ayat-ayat saintifik dalam Al-Quran. Sebuah pencarian Google dengan kata kunci "Al-Quran dan sains" menghasilkan lebih dari 40 juta hasil pencarian.[1] Gerakan ini memiliki asal-usul klasik dan modern. Tradisi keilmuan klasik Islam pernah masuk dalam perdebatan mengenai penggunakan sains sebagai alat tafsir ayat-ayat AlQuran. Pada masa modern, yaitu dekade delapan puluhan, ekspresi apologetis gerakan ini lahir. Saya berpendapat ada dua peristiwa utama yang mendorong munculnya gerakan ini. Yang pertama adalah penerbitan buku "Bible, the Qurn and Science" pada tahun 1976 yang ditulis Dr Maurice Bucaille, dan yang kedua adalah video tahun 1980 This is The Truth yang diproduseri Abdul Majid az-Zindani. Dr Bucaille dalam bukunya berpendapat tidak ada kesalahan saintifik dalam Al-Quran , sedang bible penuh ketidakakuratan saintifik. Buku Dr Bucaille menjadi best seller di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Meskipun telah menghadapi kritik akademik[2], buku ini masih populer dibaca dan digunakan sebagai acuan bagi apologetika dan dakwah Islam. Abdul Majid az-Zindani, pendiri Commission on Scientific Signs in the Qurn and Sunnah, memproduksi sebuah video berjudul "This is the Truth". Az-Zindani mengundang akademisi Barat terkemuka untuk menghadiri salah satu konferensi mereka. Pada konferensi tersebut, az-Zindani mengklaim sekelompok saintis non-Muslim terkemuka berbagai bidang membenarkan fakta adanya kemukjizatan saintifik dalam Al-Quran. Namun, komisi ini dikritik karena dianggap telah menyebarkan pernyataan di luar konteks dan menyesatkan demi membenarkan narasinya.[3] Baru-baru ini seorang blogger video dan komentator yang ateis menghubungi secara pribadi beberapa ilmuwan yang menghadiri konferensi dan melakukan wawancara dengan mereka. Wawancara itu direkam dan diunggah di YouTube. Semua ilmuwan yang diwawancarai menyatakan bahwa pernyataan mereka telah diambil di luar konteks, dan bahwa tidak ada mukjizat pada isyarat saintifik yang ada dalam wacana mengenai Al-Quran.[4] Berawal dari sana, jutaan buku dan pamflet yang mengklaim bahwa ada kemukjizatan saintifik dalam AlQuran dicetak, dan tak terhitung non-Muslim telah masuk Islam sebagai buahnya. Gerakan ini pun berkembang mempengaruhi dunia akademik, misalnya buku akademik diterbitkan oleh Curzon yang berjudul "Qurn Translation: Discourse, Texture and Exegesis" menampilkan beberapa halaman untuk topik ini.[5] Tokoh populer yang terkenal seperti Dr Zakir Naik[6] dan Yusuf Estes[7] juga menggunakan narasi kemukjizatan saintifik untuk membenarkan kewahyuan Al-Quran.

Setelah rutin dipopulerkan selama beberapa dekade terakhir, kini berkembang gerakan perlawanan yang mencoba mengungkap apa yang disebut-sebut sebagai isyarat saintifik, dan argumen mereka tampaknya lebih mengena, begitu pula dengan popularitasnya yang terus tumbuh. Sejumlah besar orang yang keluar dari Islam (banyak di antara mereka berkomunikasi secara pribadi dengan saya) mengutip gagasan gerakan perlawanan tersebut sebagai alasan meninggalkan agama ini. Namun demikian, saya percaya bahwa kemurtadan tidak sepenuhnya keputusan intelektual melainkan lebih pada masalah spiritual dan psikologis. Hal ini bisa mencakup pada kurangnya hubungan spiritual dengan Allah dan patah semangat berislam justru karena pengalaman buruk bersama Muslim lain dan masyarakat Muslim. Sayangnya, narasi kemukjizatan saintifik telah mempermalukan para apologis Muslim secara intelektual, termasuk saya sendiri. Beberapa tahun yang lalu saya bersama beberapa aktivis pergi ke Irlandia untuk berinteraksi dengan para peserta dan pembicara World Atheist Convention. Sepanjang konvensi, kami membuka lapak di luar venue dan hasilnya kami berinteraksi secara positif dengan ratusan ateis, termasuk dengan akademisi ateis populer, Profesor PZ Myers dan Profesor Richard Dawkins. Percakapan dadakan kami dengan Profesor Myers berakhir pada pembicaraan mengenai keberadaan Allah dan kewahyuan Al-Quran. Topik embriologi pun tiba, Profesor Myers sebagai ahli pada bidangnya menantang narasi kami. Dia mengklaim bahwa Al-Quran tidak mendahului kesimpulan saintifik modern pada masalah ini. Sebagai hasil dari posting video[8] secara on-line, kami menghadapi kecaman intelektual besar-besaran. Kami menerima email yang tak terhitung dari Muslim dan non-Muslim. Banyak Muslim menjadi bingung dan bimbang, sedang non-Muslim justru geli dengan keseluruhan pendekatan. Karena itu, saya memutuskan untuk mengkompilasi dan menulis mengenai Al-Quran dan embriologi dengan panjang lebar, dengan maksud menanggapi keberatan-keberatan itu, baik yang populer maupun akademis.[9] Selama proses penulisan, saya mengandalkan para mahasiswa dan sarjana pemikiran Islam untuk memverifikasi referensi dan untuk memberikan umpan balik pada hal-hal yang saya harus bergantung pada sumber sekunder dan tersier. Sayangnya, mereka tidak memeriksanya secara teliti dan tampaknya mengandalkan kepercayaan pada apologis Muslim lainnya. Ketika diterbitkan, tulisan tersebut ditempatkan di bawah mikroskop oleh para aktivis ateis .[10] Meskipun ada beberapa poin yang salah mengerti, namun mereka memunculkan beberapa bantahan yang penting. Sejak saat itu, saya telah menghapus tulisan tersebut dari website saya. Dalam perenungan jika hal ini tidak pernah terjadi, saya mungkin tidak akan menulis esai ini sekarang. Ini semua adalah kurva belajar, sebuah bagian penting dari pengembangan integritas intelektual. Dari sisi ini, esai ini bertujuan memberikan perspektif rasional dan Islami tentang bagaimana memahami ayat-ayat saintifik dalam Al-Quran. Sudah saatnya lebih banyak orang dari komunitas Muslim berbicara mengenai pendekatan bermasalah dalam membenarkan kemukjizatan Al-Quran. Hal ini telah membuat

malu para apologis Muslim secara intelektual dan telah terbongkarnya kekurangpaduan cara mereka dalam merumuskan argumen. Secara signifikan, banyak Muslim yang masuk Islam karena narasi mukjizat saintifik, telah meninggalkan agama ini karena menemukan argumen bantahan. Esai ini bermaksud menjelaskan bagaimana narasi kemukjizatan saintifik itu bermasalah dan tidak koheren, dan saya bermaksud memperlihatkan pendekatan baru untuk mendamaikan dan mendiskusikan sains dalam Al-Quran tersebut. Harus dicatat bahwa saya tidak menyatakan Al-Quran itu tidak akurat atau salah, atau bahwa tidak ada yang luar biasa dari ungkapan Al-Quran mengenai fenomena alam. Saya hanya mencoba memperlihatkan bahaya klaim bahwa beberapa ayat Al-Quran menjadi mukjizat karena mengandung pernyataan yang saintifik. Untuk alasan ini, saya menawarkan pendekatan baru untuk topik ini yang lebih mengena serta lulus ujian dan masalah intelektual yang dihadapi narasi kemukjizatan saintifik. Ringkasan klaim mukjizat saintifik Mukjizat saintifik Al-Quran disajikan dengan berbagai cara berbeda tetapi memiliki implikasi filosofis yang sama, yaitu: 1. Nabi Muhammad tidak memiliki akses pengetahuan saintifik yang disebutkan Al-Quran, karena itu pengetahuan tersebut pasti dari Tuhan. 2. Tak seorang pun di saat wahyu turun (pada abad ke-7) memiliki akses teknologi yang diperlukan untuk memahami atau memverifikasi pengetahuan saintifik dalam Al-Quran, karena itu pengetahuan tersebut pasti dari Tuhan. 3. Ayat-ayat Al-Quran turun pada masa sains masih primitif dan tidak ada manusia yang bisa mengungkapkan kebenaran yang ada dalam Al-Quran, karena itu pengetahuan tersebut pasti dari Tuhan. Ada berbagai alasan mengapa ekspresi kemukjizatan saintifik di atas bermasalah dan tidak koheren. Ini termasuk, A. Kesalahan Pertengahan Tak Terdistribusi (The Fallacy of the Undistributed Middle) B. Sejarah yang tak akurat C. Tujuan penciptaan pada ayat-ayat Al-Quran D. Saintisme, Masalah Induksi dan Empirisme E. Ayat yang tidak "Saintifik" F. Mujizat, Kesederhanaan dan Catatan tentang tafsir Al-Quran Masing-masing poin akan dijelaskan secara rinci. A. KESALAHAN PERTENGAHAN TAK TERDISTRIBUSI Klaim (adanya mukjizat) sains dalam Al-Quran memiliki kesalahan logika yang disebut kesalahan pertengahan tak terdistribusi (the fallacy of the undistributed middle). Kesalahan ini terjadi di mana dua

hal yang berbeda disamakan karena kesamaan basis pertengahan yang disalahgunakan. Di bawah ini adalah contoh yang biasa disajikan: 1. Semua A adalah C 2. Semua B adalah C 3. Karena itu, semua A adalah B Kesalahan di atas ada pada kesimpulan. Walau A dan B berbagi kategori C bersama, tidak berarti bahwa A sama dengan B. Contoh lain yaitu: 1. John membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup 2. Anjing saya membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup 3. Karena itu, John adalah anjing saya Seperti yang bisa dilihat di atas, basis pertengahan yang disalahgunakan adalah oksigen. Walaupun benar pada dua tempat, yaitu baik John dan anjing saya membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup, tidak berarti bahwa John adalah anjing saya. Sebagian besar argumen adanya sains dalam Al-Quran melakukan kesalahan logika jenis ini. Di bawah ini adalah ringkasannya: 1. Deskripsi fakta saintifik mengenai A memiliki sifat C 2. Deskripsi Al-Quran mengenai B memiliki sifat C 3. Karena itu, deskripsi Al-Quran mengenai B sedang menggambarkan A Berikut ini beberapa contoh spesifik: 1. Salah satu fakta saintifik dalam embriologi adalah implantasi blastosis pada dinding uterus (uterine wall). Implantasi tersebut dapat disifatkan sebagai tempat yang aman. 2. Al-Quran menggunakan kata-kata qarrin[11] makn[12], yang dapat berarti tempat yang aman. 3. Karena itu, Al-Quran sedang menggambarkan fakta saintifik implantasi blastosis. Dalam silogisme di atas, tidak berarti bahwa kata-kata qarrin makn (tempat yang aman) menyiratkan proses implantasi hanya karena berbagi penyifatan sebagai suatu tempat yang aman. Argumen ini hanya akan valid jika semua deskripsi qarrin makn menunjukkan dan menjelaskan proses implantasi. Karena qarrin makn juga dapat menunjukkan makna rahim (womb)[13], yang merupakan pemahaman kata qarrin makn abad ke-7, argumen ini jadi tidak valid. Korelasi antara kata dalam Al-Quran dengan suatu proses atau deskripsi saintifik tertentu tidak dapat serta merta memastikan makna yang dituju dari ayat ini. Contoh lain meliputi : 1. Adalah fakta saintifik bahwa atmosfer bumi membantu menghancurkan meteorit ketika mereka mendekati bumi, menyaring sinar cahaya yang merusak, melindungi bumi dari suhu dingin angkasa, dan Van Allen Belt-nya bertindak seperti sebagai perisai melawan radiasi berbahaya. Atmosfer bumi dapat disifatkan sebagai atap pelindung.

2. Al-Quran menggunakan kata-kata saqfan mafan, yang berarti atap pelindung.[14] 3. Karena itu, Al-Quran sedang menjelaskan fungsi atmosfer bumi. Sekali lagi, silogisme di atas tidak valid. Tidak serta merta kata-kata saqfan mafan, yang menunjukkan makna atap pelindung, sedang menjelaskan fungsi atmosfer bumi. Hal ini karena saqfan mafan juga dapat menunjukkan makna atap fisik. Beberapa tafsir Al-Quran menjelaskan bahwa langit itu didirikan dengan pilar-pilar tak terlihat, dan bahwa suatu bagian dari langit atau angkasa dapat jatuh di Bumi, (lihat Al-Quran 13:2 dan 34:9). Tafsir ini menunjukkan makna struktur seperti atap yang kokoh, sebagaimana yang ditegaskan ahli tafsir klasik Ibnu Katsir yang mengutip seorang seorang ulama yang menyebutkan, "langit seperti kubah di atas bumi".[15] Karena itu, kata-kata saqfan mafan dapat juga merujuk atap fisik atau suatu struktur mirip kubah. Untuk alasan ini, argumen di atas hanya akan valid jika semua tafsir dan deskripsi saqfan mafan memang sedang menggambarkan fungsi atmosfer bumi. Dari sini ini, argumen bahwa Al-Quran adalah mukjizat karena deskripsi kata-kata tertentu tampak berhubungan dengan deskripsi yang digunakan dalam fakta-fakta saintifik, secara logis, merupakan kesalahan. Klaim mukjizat saintifik hanya akan valid jika kita dapat menunjukkan tafsir kata-kata yang tampaknya berkorelasi dengan sains merupakan satu-satunya makna yang dituju. Prinsip-prinsip tafsir Al-Quran menyatakan bahwa mustahil mencapai kepastian tersebut. (masalah ini akan dibahas pada bagian akhir). Selain itu, ada segudang pertanyaan yang juga memperlihatkan inkoherensi narasi kemukjizatan saintifik. Misalnya: mengapa penjelasan dan makna ayat-ayat dalam Al-Quran yang lebih sederhana diabaikan? Bagaimana dengan penafsiran alternatif ayat-ayat yang ternyata tidak saintifik atau biasa saja? Karena ambiguitas kata-kata membuat mustahil untuk mengetahui makna pasti yang dituju dari ayat-ayat tersebut, bagaimana bisa ada yang mengklaim bahwa ayat-ayat tersebut adalah mukjizat? Bagaimana dengan peradaban kuno yang memiliki prediksi akurat mengenai fenomena saintifik sebelum ditemukan oleh sains modern? Apakah itu menunjukkan peradaban kuno tersebut mendapat wahyu? B. SEJARAH YANG TAK AKURAT Untuk menguatkan argumennya, mereka yang menganjurkan narasi kemukjizatan saintifik menegaskan bahwa pengetahuan tentang sains yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Quran belum ada pada abad ke-7. Argumen ini biasanya muncul dalam dua bentuk: I. II. Pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Quran belum ada atau ditemukan pada saat turunnya wahyu (abad ke-7). Nabi Muhammad tidak memiliki akses terhadap pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat AlQuran.

I. Pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat Al-Quran belum ada atau ditemukan pada saat turunnya wahyu

Mengenai pernyataan di atas, ketika merujuk pada sejarah, kita akan mengetahui bahwa pernyataan tersebut salah. Berikut ini beberapa contoh ayat yang menyebutkan pengetahuan yang sudah ada dan diketahui pada saat (atau sebelum) wahyu turun: Mukjizat Turunnya Besi: Ambil contoh pernyataan bahwa Al-Quran adalah mukjizat karena fakta Al-Quran menyebutkan besi yang "diturunkan"[16] (). Hal ini dapat merujuk pada kenyataan bahwa besi memang diturunkan dari luar angkasa, sesuatu yang telah terkonfirmasi secara saintifik.[17] Al-Quran menyatakan, "Dan Kami turunkan besi..."[18] Namun, bangsa Mesir Kuno 1400 tahun sebelum kenabian Muhammad telah menyebut besi sebagai ba-en-pet berarti "besi dari surga".[19] Orang Assyria dan Babilonia juga memiliki konsep yang serupa mengenai besi. Mukjizat Bulan Meminjam Cahaya: Contoh lain adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan cahaya bulan. Kata yang digunakan adalah nran[20] ( )yang berarti cahaya dipinjam atau dipantulkan. "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya (nran) dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."[21] Klaim yang dibuat pendukung kemukjizatan saintifik adalah tidak ada satu orang pun pada saat itu, atau bahkan sebelumnya, yang tahu bahwa bulan tidak mengeluarkan cahaya sendiri. Dari sisi sejarah, ini tidak benar. Sekitar 500 SM atau 1200 tahun sebelum wahyu Al-Quran, Thales sudah mengatakan, "Bulan diterangi oleh matahari."[22] Anaxagoras, dalam 400-500 SM menegaskan bahwa, "Bulan tidak memiliki cahaya sendiri, tapi cahaya dari matahari."[23] Mukjizat Gunung Memiliki Akar: Pertimbangkan ayat-ayat berbicara tentang gunung yang memiliki pasak atau akar. Al-Quran menyatakan, "Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?[24] Pengetahuan mengenai hal ini sudah ada pada peradaban Ibrani kuno sebagaimana Perjanjian Lama secara gamblang menyebutkan akar pegunungan: "Untuk akar ( )pegunungan yang aku tenggelamkan, bumi di bawah menahanku selamanya. Tapi kau membawa hidupku keluar dari lubang, ya Tuhanku.[25] Kata kunci pada ayat ini adalah penggunaan kata Ibrani yang berarti ujung. Ini merupakan penggambaran puitis mengenai dasar atau akar pegunungan.[26]

Mukjizat Big Bang: Al-Quran menyebutkan penciptaan alam semesta dengan cara berikut, " Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?"[27] Pengetahuan mengenai hal ini sudah ada pada kebudayaan sebelumnya, misalnya salah satu kisah penciptaan alam dari Mesir kuno yang juga membahas pemisahan langit dari bumi. Alan Alford, peneliti dan penulis independen, menulis tentang pandangan Mesir tentang penciptaan alam semesta, "Inilah mitos pemisahan langit dari bumi. Yang perlu diperhatikan adalah pemisahan tersebut merupakan bentuk bencana."[28] Dalam literatur Sumeria, kita dapat menemukan konsep serupa dalam Epic of Gilgamesh, "Ketika langit dipisahkan dari bumi, ketika bumi dibatasi dari langit, ketika itulah kejayaan umat manusia tegak."[29] Dari sisi ini, mengklaim ayat-ayat tersebut sebagai mukjizat tidak masuk akal dan tidak memperhitungkan kemungkinan Nabi Muhammad mengakses pengetahuan umum budaya lain dan tidak mempertimbangkan fakta bahwa peradaban sebelumnya membuat pernyataan yang sama. Ini tidak berarti saya mengadopsi pandangan konyol bahwa Nabi Muhammad meminjam pengetahuan peradaban lain dan memasukkan pengetahuan tersebut ke dalam Al-Quran, juga saya tidak percaya bahwa Al-Quran merupakan representasi pengetahuan abad ke-7. Saya percaya Al-Quran adalah akurat dan benar. Poin utama saya di sini adalah bahwa klaim kemukjizatan ayat-ayat yang berbicara tentang fenomena alam tidak kebal uji intelektual. Karena itu, diperlukan pendekatan baru sesuatu yang akan saya bahas nanti pada tulisan ini. Keberatan untuk pandangan di atas adalah bahwa penggunaan makna dasar dan pemahaman sederhana dari bahasanya yang digunakan, bukan makna lain yang bisa diselaraskan dengan kesimpulan saintifik modern. Pandangan ini mungkin benar, mungkin ada makna lain yang memang bisa menyelaraskan antara ayat-ayat dengan kesimpulan saintifik. Hanya saja, poin yang ditekankan di atas bukanlah bahwa ayat-ayat ini tidak dapat diselaraskan dengan sains modern, tapi poinnya di sini ingin menunjukkan bahwa makna dasar atau gamblang dari ayat-ayat yang mengisyaratkan pengetahuan meskipun tidak sepenuhnya akurat bisa saja diperoleh atau diketahui pada saat turunnya wahyu. Dari sisi ini, mengklaim ayat-ayat tersebut sebagai mukjizat adalah salah. Dari sudut pandang rasional, jika ada penjelasan natural yang masuk akal, maka penjelasan tersebut akan diutamakan dibanding penjelasan supranatural. Kenyataan penjelasan natural yang masuk akal ternyata mungkin terjadi, menyiratkan tidak adanya mukjizat. Hal ini karena menurut definisi, mukjizat

adalah peristiwa yang tidak bisa dijelaskan secara natural. Hal ini akan dijelaskan nanti dalam tulisan ini. II. Nabi Muhammad tidak memiliki akses terhadap pengetahuan yang diisyaratkan ayat-ayat AlQuran Di mata seorang skeptik atau pencari kebenaran, pengetahuan tentang sejarah gagasan yang tersedia saat ini membuat pernyataan di atas tidak bisa diterima. Nabi Muhammad bisa memperoleh beberapa bentuk pengetahuan umum pada saat wahyu turun karena beliau sendiri sudah menyebut beberapa kebudayaan dan peradaban lainnya. Misalnya, mengenai izin berhubungan dengan istri yang menyusui, Nabi mempertimbangkan praktek yang terjadi di Romawi dan Persia. Di bawah ini hadits Nabi, "Sungguh, aku ingin melarang kalian menggauli istri yang menyusui. Lalu aku melihat bangsa Romawi dan Persia di mana mereka melakukannya terhadap anak-anak mereka. Ternyata hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka.[30] [Harap dicatat bahwa ini tidak berarti Nabi menggunakan pengetahuan dari peradaban lain sebagai sumber wahyu. Sebaliknya, menurut pandangan teologi Islam hal-hal yang menyangkut urusan medis dan saintifik, disarankan mencari pendapat terbaik dan praktek terbaik, seperti yang dilakukan Nabi sendiri. Akses link berikut mendiskusikan penggunaan penyerbukan silang sebagai contohnya http://en.islamtoday.net/node/1691.] Hadits shahih ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memiliki akses terhadap praktek medis yang lazim di peradaban lain. Karena itu, di mata skeptis, bukan tidak mungkin beliau bisa memperoleh pengetahuan saintifik peradaban lain yang populer pada masa itu. Penting dicatat bahwa kehidupan ekonomi Arab abad ke-7 berpusat seputar perdagangan dan perniagaan. Perjalanan ke Timur Jauh lazim terjadi. Karena itu, bukan tidak mungkin ada pertukaran praktik saintifik dan gagasan-gagasan populer. Sejarawan Ira M. Lapidus dalam bukunya A History of Islamic Societies, jelas menyatakan orang-orang Arab di Mekah adalah pedagang mapan yang biasa bepergian jauh dan ke mana-mana: "Pada pertengahan abad keenam, sebagai pewaris Petra dan Palmyra, Mekkah menjadi salah satu kota kafilah penting di Timur Tengah. Orang Mekah pergi membawa rempah-rempah, kulit, obat-obatan, kain dan budak yang datang dari Afrika atau Timur Jauh ke Suriah, mereka pulang membawa uang, senjata, biji-bijian, dan anggur ke Arab."[31] Karena itu, dalam pandangan skeptis atau pencari kebenaran, pernyataan bahwa Nabi Muhammad tidak bisa memperoleh pengetahuan yang tersirat pada ayat-ayat Al-Quran adalah salah. Hal ini disebabkan fakta bahwa Nabi bertukar gagasan dan kebiasaan dengan budaya lain kemungkinannya lebih tinggi dibanding Nabi tidak mengakses pengetahuan tersebut. Karena itu, pendekatan baru diperlukan untuk mengatasi kendala intelektual ini, sesuatu yang akan saya bahas nanti.

C. TUJUAN PENCIPTAAN PADA AYAT-AYAT AL-QURAN Seluruh narasi kemukjizatan saintifik tampaknya mengabaikan atau melupakan tujuan teologis utama ayat-ayat ini. Ayat-ayat ini diturunkan sebagai arahan untuk merenung dan sampai pada kesimpulan bahwa Allah itu Ahad dan bahwa hanya Dia yang layak disembah. Alasan lain termasuk untuk membangkitkan pemahaman dan penghargaan terhadap Allah yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Mempelajari buku penjelasan akidah yang populer, seperti kitab Aqidah Tahawiyyah, akan menguraikan alasan di atas. Sederhananya, ayat-ayat tersebut tidak bertujuan menyediakan rincian sains. Rincian sains bukan ruang lingkup ayat-ayat tersebut. Pemikir dan ulama anak benua Amn Asan Il dalam bukunya Tadabbur-e-Qurn menguraikan tentang hal ini: "Penyebutan penciptaan langit dan bumi menunjukkan serta memperlihatkan kekuatan dan keperkasaan Penciptanya yang luar biasa. Cara langit dan bumi dibentuk memperlihatkan keunikan karya dan kebijaksanaan-Nya yang menakjubkan. Hal ini juga mengacu pada sifat kemanfatan pada penciptaan serta keharmonisannya dengan kehidupan dan kebutuhan manusia, yaitu manfaat dan keuntungan yang kita peroleh dan sandari darinya. Semua ini merupakan tanda rahim dan rahman Sang Pencipta dan penjagaan-Nya atas hamba-hambaNya. Selain itu, ini juga jelas menunjukkan ada tujuan yang lebih tinggi di balik penciptaan kehidupan dan alam semesta ini. Tentunya, alam semesta begitu luar biasa, harmonis dan penuh dengan perwujudan kearifan, tidak mungkin tanpa tujuan penciptaan, tanpa arah serta tujuan yang lebih tinggi. Memang, alam diciptakan untuk tujuan luhur, kata Al-Quran, dan hari selalu tetap agar tugasnya selalu selesai. Keharmonisan antara langit dan bumi jelas menunjukkan keduanya memiliki Pencipta yang satu dan sama, yang tidak hanya menciptakan mereka, tetapi juga menjalankan dan mengurusnya. Dan hanya ini rencana dan hukum-Nya yang berlaku di dalamnya, tidak ada kekuatan lain yang bisa dengan berbagai cara atau gaya mencampuri keputusan-Nya "[32]. Mirip dengan gagasan di atas, profesor filsafat Shabbir Akhtar dalam bukunya The Qurn and the Secular Mind: A Philosophy of Islam menjelaskan tujuan ayat-ayat Al-Quran menyebut fenomena alam adalah untuk menunjuk ke suatu tatanan non-material yang tersembunyi: "Harmoni alam yang sempurna serta keceriaan dan peran lingkungan sekitar manusia, dengan beragam dan halusnya hubungan, ditanamkan dengan makna keagamaan. Alam ciptaan adalah kriptogram realitas yang mentransendensikannya: alam adalah teks yang harus diuraikan (kode-

kodenya). Bukti terakumulasi dalam dunia material dan sosial serta bukti yang ada di cakrawala secara bersama-sama mengarahkan ke tatanan material yang tersembunyi."[33] Referensi akademik Encyclopedia of the Qurn, pada bab Science and the Qurn menyatakan bahwa sebagian besar tafsir klasik mengenai ayat yang menyebut fenomena alam menyatakan bahwa fenomena alam itu ada untuk mengantar manusia merenungkan hikmah penciptaan, bukan untuk menyatakan fakta saintifik tertentu: "Keajaiban penciptaan adalah tema berulang pada tafsir-tafsir Al-Quran. Ini keajaiban ini dipandang sebagai tanda-tanda Allah dan bukti Allah itu ada, Mahakuat dan Maha Mengetahui, dan merupakan Pencipta semua makhluk. Pada tingkat dasar, perenungan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa ada tatanan dan hikmah dalam penciptaan, yang pada gilirannya berarti bahwa pembuat hikmah itu harus menciptakannya. Puncaknya, ketika manusia merenungkan langit dan bumi, mereka akan menyadari bahwa Pencipta mereka tidak menciptakan mereka dengan sia-sia tetapi untuk hikmah yang agung dan rahasia besar yang akal tidak mampu memahaminya. Ini berarti tujuan akhir dari perenungan adalah untuk menetapkan batasan pengetahuan manusia dan ketidakmampuannya memahami proses penciptaan, bukan untuk menyatakan fakta saintifik dan memperlihatkan hubungannya dengan Al-Quran. Al-Quran, menurut tafsiran ini, mengarahkan orang merenungkan hikmah penciptaan alam, tidak memberikan rincian tentang tatanan alam atau cara menguraikannya. Rincian sains ini, jika dan ketika muncul dalam tafsir Al-Quran klasik, diambil dari pengetahuan saintifik yang berlaku saat itu."[34] Karena itu, ayat-ayat ini harus dijadikan bahan renungan dan digunakan sebagai kesempatan membuka jendela intelektual dan spiritual mencapai pemahaman tentang keesaan, kekuasaan dan transendensi Allah. Tidak mengherankan mengapa ulama abad ke-14 Asy- Syatibi menentang penggunaan sains karena dianggap menjauhkan pembaca dari kewajiban perenungan ini: "Banyak orang melewati batas dan membuat klaim yang tidak semestinya tentang Al-Quran ketika mereka memasukkan ke dalam Al-Qur'an semua jenis pengetahuan masa lalu dan masa kini, seperti ilmu alam, matematika dan logika."[35] Dari perspektif empiris atau saintifik, ayat-ayat ini juga dapat memberikan rangsangan intelektual yang mendorong pendengar atau pembacanya mencari prinsip-prinsip kesalingterkaitan pada alam, dan untuk mengeksplorasi dimensi batin dari realitas. Jadi, ketika Allah berfirman dalam Al-Quran, "Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya... ", para saintis yang beriman terdorong mencari jawaban tentang asal-usul alam semesta dan mencari petunjuk mengenai awal kosmik. Jadi bukannya memberi kita jawaban (atas permasalahan sains), Al-Quran malah mendorong kita mencarinya.

D . SAINTISME, MASALAH INDUKSI DAN EMPIRISME Jalees Rehman, seorang teman kardiolog di Indiana University School of Medicine, mengatakan secara tepat dan ringkas masalah besar tentang narasi mukjizat ilmiah. Dia menulis : "Salah satu bahaya dari usaha untuk mengkorelasikan ilmu pengetahuan modern dengan Qur'an adalah bahwa usaha tersebut membuat hubungan antara kebijaksanaan abadi dan kebenaran Qur'an dengan ide-ide sementara ilmu pengetahuan modern." [36] Apa yang ingin dihindari oleh Rehman di sini adalah isu filosofis yang menegaskan kemukjizatan ayatayat Al-Quran. Masalahnya adalah ilmu Sains tidak pernah mengklaim kepastian atau kebenaran 100%, dan menggunakan ilmu Sains sebagai metode untuk menetapkan sifat mutlak kebenaran Al-Qur'an adalah keliru. Ilmu sains sifat dasarnya adalah tidak statis, alias dinamis. Kesimpulan Ilmu Sains berubah seiring waktu, bahkan barangkali yang kita pikir sudah menjadi fakta yang mapan. Sebuah asumsi tersembunyi di balik narasi keajaiban ilmiah adalah bahwa ilmu Sains adalah satu-satunya cara untuk menentukan kepastian kebenaran tentang dunia dan realitas - proposisi tersebut dikenal sebagai Saintisme . Jadi ada 3 hal untuk membahas di sini : a. Sains tidak mengklaim kepastian atau kebenaran 100 % . b. Sains itu dinamis oleh karena itu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. c. Sains bukanlah satu-satunya jalan untuk menemukan kebenaran tentang dunia dan realitas . a. Sains tidak mengklaim kepastian atau kebenaran 100 % Filsafat ilmu sains adalah bidang studi tentang bagaimana kita memperoleh pengetahuan dari eksperimen ilmiah dan data empiris. Masalah utama dalam filsafat ilmu sains meliputi induksi dan empirisme, karena keduanya memiliki keterbatasan dan ruang lingkup terbatas. Memahami masalah utama ini akan memungkinkan kita untuk berkesimpulan bahwa fakta-fakta ilmiah tidak 100 % benar dan selalu ada kemungkinan untuk mempertanyakannya kembali. Induksi: Induksi adalah proses berpikir seseorang untuk membuat kesimpulan dengan cara bergerak dari khusus ke umum. Argumen yang didasarkan pada induksi, probabilitas kebenarannya bisa dari sangat rendah sampai sangat tinggi, tapi selalu kurang dari 100 %. Berikut adalah contoh dari induksi : "Saya telah mengamati bahwa meninju samsak dengan sarung tinju tidak akan menyebabkan cedera. Oleh karena itu tidak ada yang akan terluka meninju samsak dengan sarung tinju." Seperti contoh di atas, induksi menghadapi masalah utama yang merupakan ketidakmampuan untuk menjamin kesimpulan, karena generalisasi tidak dapat dibuat dari sejumlah pengamatan terbatas. kesimpulan terbaik yang dapat dilakukan adalah probabilitas, mulai dari probabilitas rendah sampai

sangat tinggi. dari contoh di atas, pernyataan tersebut tidak bisa dibuktikan secara logis bahwa orang berikutnya yang meninju samsak dengan sarung tinju tidak akan terluka. Oleh karena itu, masalah induksi adalah tidak dapat menghasilkan kepastian. Masalah tersebut mengemuka pada abad ke-18 oleh filsuf Skotlandia David Hume dalam bukunya, An Enquiry Concerning Human Understanding. Hume mengemukakan bahwa penalaran induktif tidak pernah bisa menghasilkan kepastian. Dia menyimpulkan bahwa pindah dari satu pengamatan fenomena terbatas menjadi satu kesimpulan untuk pengamatan fenomena tak terbatas adalah di luar dari panca indera kita, dan di luar pikiran kita.[37] Dari perspektif ilmiah praktis, generalisasi dibuat untuk keseluruhan kelompok atau untuk penelitian selanjutnya dalam kelompok itu, berdasarkan data yang terbatas tidak akan pernah pasti. Ambil contoh berikut, seorang ilmuwan melakukan perjalanan ke Wales dan ingin mengetahui warna domba (dengan asumsi dia tidak tahu warna domba). Dia mulai mengamati domba dan dicatat apa warna mereka. Setelah mengamati 150 Domba ia menemukan semua domba berwarna putih. Ilmuwan menyimpulkan, dengan menggunakan induksi, berkesimpulan bahwa semua domba berwarna putih. Ini salah satu contoh masalah utama dari proses induksi, seperti yang kita tahu domba juga bisa berwarna hitam. Kepastian menggunakan induksi tidak akan tercapai, karena selalu ada kemungkinan pengamatan baru merusak kesimpulan sebelumnya. Profesor Alex Rosenberg dalam buku Philosophy of Science: A Contemporary Introduction menyimpulkan bahwa ini adalah masalah utama yang dihadapi ilmu Sains, ia menulis: "Di sini kita telah menjelajahi masalah lain yang dihadapi empirisme sebagai epistemologi ilmu resmi : permasalahan induksi, yang akan kembali ke Hume, dan ditambahkan ke dalam daftar masalah Sains yaitu empiris dan rasionalis."[38] Empirisme : Empirisme mengklaim bahwa kita tidak memiliki sumber pengetahuan terhadap subjek atau konsep yang kita gunakan dalam sebuah topik selain dari pengalaman panca indra. Filsuf Elliot Sober di esainya : Empiricism menjelaskan tesis empiris ini : "Empiris menyangkal bahwa itu pernah rasional dan wajib untuk percaya bahwa teori menyediakan deskripsi yang benar untuk realitas yang tidak bisa diobeservasi ... Untuk empiris , jika teori secara logis konsisten , pengamatan adalah satu-satunya sumber informasi tentang apakah teori ini secara empiris memadai atau tidak."[39] Empirisme menderita keterbatasan dan masalah logis. Salah satu bentuk empirisisme - yang akan saya sebut empirisme yang kuat - yang terbatas pada hal-hal yang hanya dapat diamati. Bentuk empirisme menghadapi berbagai macam masalah logis. Masalah utama dengan empirisme yang kuat adalah bahwa ia hanya dapat mendasarkan kesimpulannya pada realitas yang diamati dan tidak dapat membuat kesimpulan tentang realitas yang tidak bisa diamati. Elliot Sober menjelaskan masalah ini : "Empiris perlu mengatasi masalah dalam filsafat persepsi. Hantaman pertama yang paling jelas mengatakan, objek yang terlihat merupakan penjelasan jalannya cahaya dari objek yang masuk

ke indra mata, dengan hasil bahwa terjadi adanya pengalaman visual. Namun, tidak terlihatnya kucing putih dalam badai salju dan fakta terlihatnya siluet (seperti gerhana bulan ) menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah cukup dan tidaklah perlu."[40] Dengan menggunakan contoh dari Sober, bayangkan Anda mengamati kucing putih berjalan di luar rumah menuju ke arah badai salju, Anda dapat melihat kucing berjalan ke badai salju dan kemudian Anda tidak bisa lagi melihat kucing. Sebuah account empiris yang kuat akan menyangkal bahwa ada kucing dalam badai salju, atau setidaknya menangguhkan semua klaim pengetahuan. Namun, berdasarkan sarana intelektual lainnya yang bisa anda terima, Anda akan menyimpulkan bahwa ada kucing putih dalam badai salju terlepas dari bisa atau tidak teramatinya kucing tersebut. Masalah yang dihadapi oleh empirisme kuat belumlah terselesaikan oleh empiris. Mereka telah merespon dengan melemahkan definisi mereka untuk empirisme dengan mendefinisikan ulang empirisisme bahwa kita hanya dapat mengetahui sesuatu jika dikonfirmasi atau didukung oleh pengalaman indrawi - saya sebut ini empirisme lemah. Sedangkan yang lainnya telah terdogmatis mempertahankan pandangan bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran melalui observasi langsung dan didukung oleh hasil observasi adalah tidaklah cukup baik. Respon ini telah menciptakan dilema yang belum terselesaikan bagi empiris. Filsuf John Cottingham mengekspos masalah ini dalam buku Rationalism : "Tapi bagaimana dengan 'semua air yang mendidih diberikan tekanan atmosfer pada 100 derajat Celcius' ? Karena pernyataan ini memiliki bentuk generalisasi universal yang tak terbatas, maka tidak ada pengamatan yang terbatas dapat menyimpulkan kebenaran secara meyakinkan. Ditambah lagi dan mungkin bahkan lebih mengkhawatirkan lagi dari masalah yang dihadapi adalah bahwa ketika kita mencapai tingkat yang lebih tinggi dari ilmu Sains... kita cenderung untuk menemukan struktur dan badan yang tidak diamati secara langsung oleh Panca Indera. Atom, molekul, elektron, foton dan sejenisnya merupakan konstruksi teoritis yang sangat kompleks ... di sini tampaknya kita sangat jauh dari dunia 'pengamatan empiris' langsung ... Aliran positivis cenderung untuk menanggapi kesulitan ini dengan melemahkan kriteria makna maknanya ... itu diusulkan bahwa pernyataan itu bermakna jika bisa dikonfirmasi atau didukung oleh pengalaman indrawi . Namun, ini kriteria yang lebih lemah yang membuat tidak nyaman dan kabur ... Laporan tentang adanya Tuhan atau Kebebasan, atau sifat Zat, atau Mutlak, mungkin tidak bisa dikonfirmasi lewat Eksperimen ... Aliran positivis dengan demikian tampaknya harus dihadapi dilema yang fatal : entah ia harus membuat kriteria -nya yang ketat bahwa ia akan mengecualikan generalisasi dan pernyataan teoritis ilmu Sains, atau dia harus melemahkan kriteria nya cukup untuk membuka pintu untuk spekulasi metafisika. Dilema ini tetap belum terselesaikan sampai hari ini ..."[41] Dari pencerahan di atas, karena induksi dan empirisme yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan dari data ilmiah maka, ilmu sains tidak bisa mengklaim suatu kepastian. Ada masalah yang jelas teramati dan ketidakmampuan untuk menjamin bahwa penelitian berikutnya akan sama dengan penelitian sebelumnya. Penelitian kita tidak mencakup semua fenomena, karena ilmu pengetahuan bersifat tentatif. Dengan kata lain dapat berubah berdasarkan pengamatan di masa depan. Jika ilmu

Sains ingin jawaban pasti, maka semua fenomena alam harus telah diamati. Dan Hal tersebut tidak mungkin . Oleh karena itu jika menggunakan metode ilmiah , yang tidak bisa memberikan kepastian , untuk menjustifikasi kebenaran sebuah buku dengan kepastian, jelas bermasalah dan tidak koheren . b. Sains bersifat dinamis dan oleh karena itu mengalami perubahan dari waktu ke waktu Untuk itu, mengklaim bahwa ada keajaiban ilmiah ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an menjadi inkoheren. Hal ini karena ilmu sains dapat berubah seiring dengan pengamatan dan studi baru. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mengklaim adanya mukjizat ilmiah dalam ayat Al-Quran tertentu, berarti orang yang membuat klaim tersebut dapat menjamin bahwa ilmu sains tidak akan pernah berubah. Untuk membuat jaminan seperti itu menyiratkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan akan fakta bahwa ilmu sains berubah dan tentatif karena permasalahan tentang induksi dan empirisme. Masalah induksi dan empirisme (seperti pembahasan sebelumnya) menjelaskan alasan sifat dinamis dalam ilmu Sains. Singkatnya, masalah observasi baru dapat dibuatkan, atau data baru dapat ditemukan. Oleh karena itu, menurut definisi, kita tidak pernah bisa mengklaim bahwa ada sebuah kemukjizatan sains ayat tertentu, karena untuk membuat pernyataan seperti itu berarti ilmu Sains adalah tetap. Ini tidak mungkin bisa dipertahankan terus menerus. Untuk memperjelas point ini, mempertimbangkan, Muslim yang hidup di abad ke-19. Ilmu Sains dan akademisi pada saat itu menegaskan bahwa alam semesta bersifat statis dan tanpa permulaan, dikenal sebagai The Steady State theory. Karena Qur'an berpendapat bahwa alam semesta memiliki permulaan, apakah itu berarti Qur'an harus ditolak oleh Muslim yang tinggal di abad ke-19? Tentu saja tidak, karena semua Muslim percaya Qur'an itu dari Illahi, dan Illahi tidak bisa salah. Ini memperlihatkan asumsi tersembunyi: Qur'an itu dari Tuhan dan ilmu sains di beberapa titik menunjukkan bagaimana ayat-ayat Quran sesuai dengan kenyataan. Asumsi tersembunyi ini menunjukkan adanya narasi mukjizat ilmiah, karena mensyaratkan Al-Qur'an dari Illahi. Namun Asumsi tersembunyi ini tidak bermasalah, karena membawa kita pada pendekatan baru. Pendekatan baru ini akan membantu kita untuk menghindari menggunakan ayat-ayat Quran pada fenomena alam dengan cara yang lebih bernuansa dan seimbang. c. Sains bukanlah satu-satunya cara untuk membuat kebenaran tentang dunia dan realitas Asumsi tersembunyi lainnya di balik narasi mukjizat ilmiah adalah Ilmu sains merupakan satu-satunya cara atau metode untuk menemukan kebenaran tentang dunia dan realitas. Pernyataan ini dikenal sebagai saintisme. Sederhananya, saintisme mengklaim bahwa semua pernyataan tidak benar jika tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Dengan kata lain jika sesuatu yang tidak dapat ditampilkan untuk menjadi kenyataan melalui metode ilmiah, maka itu adalah palsu. Ada beberapa masalah dengan saintisme, misalnya : 1. Saintisme menghancurkan diri sendiri (self-defeating). Saintisme mengklaim bahwa proposisi adalah tidak benar jika tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tapi proposisi saintisme itu sendiri

tidak dapat dibuktikan secara ilmiah! Itu sama dengan mengatakan "tidak ada kalimat dalam bahasa Indonesia lebih dari tiga kata" atau "Saya tidak bisa berbicara satu kata dari bahasa Indonesia".[42] 2. Saintisme tidak dapat membuktikan kebenaran yang diperlukan seperti matematika dan logika. Sebagai contoh , Jika P, maka Q. P. Oleh karena itu, Q [43] dan 3 + 3 = 6 adalah kebenaran yang diperlukan dan bukan hanya untuk generalisasi empiris.[44] 3. Saintisme tidak dapat membuktikan kebenaran moral dan estetika. Misalnya cinta, keindahan, benar dan salah. 4. Sains tidak bisa membuktikan sumber-sumber pengetahuan lainnya. Misalnya keyakinan dibenarkan melalui 'kesaksian otentik' (authentic testimony). Masalah utama dengan saintisme adalah bahwa ada kebenaran bisa dibentuk dari luar paradigma ilmiah saintisme. Seperti disebutkan di atas, kesaksian otentik merupakan sumber pengetahuan yang valid dimana para epistemologists berpendapat panjang lebar menjelaskan bahwa mengatakan apa yang dikatakan orang lain dapat -dalam kriteria tertentu- memberikan dasar untuk kebenaran. Epistemologi Kesaksian merupakan cabang dari teori pengetahuan "berkaitan dengan bagaimana kita memperoleh pengetahuan dan keyakinan yang benar dari perkataan kesaksian orang lain."[45] Oleh karena itu, salah satu pertanyaan kunci yang perlu didapatkan jawabannya adalah "Bagaimana kita berhasil memperoleh keyakinan yang benar atau pengetahuan atas dasar apa yang orang lain katakan kepada kita."[46] Banyak kebenaran yang kita pegang adalah atas dasar kesaksian otentik, karena kita percaya laporan orang lain dan kita tidak memiliki alasan bagus untuk menolak apa yang mereka katakan. Terutama, jika hal ini terjadi ketika kita memiliki banyak orang mengatakan kepada kita informasi yang sama melalui berbagai rantai periwayatan -chains of transmission- informasi yang berbeda-beda (dikenal sebagai laporan tawattur-mutawatir dalam pemikiran Islam). Profesor CAJ Coady menyoroti beberapa kebenaran yang dapat kita terima berdasarkan kesaksian orang lain, ia menulis : "Banyak dari kita belum pernah melihat bayi lahir, juga sebagian besar dari kita tidak mengamati sirkulasi darah..."[47] Asisten Profesor Benjamin McMyler memberikan Kesaksian dalam bukunya, Testimony, Truth and Authority, menjelaskan bahwa beberapa informasi yang dia tahu adalah karena bersumber dari kesaksian: "Berikut ini adalah beberapa informasi yang saya tahu. Saya tahu bahwa Copperhead adalah ular berbisa yang paling umum di daerah Houston yang lebih besar. Saya tahu bahwa Napoleon kalah Pertempuran Waterloo. Aku tahu itu, ketika saya menulis, harga rata-rata untuk bensin di AS adalah $4,10/galon. Dan saya tahu bahwa orang tua saya baru saja kembali pulang dari perjalanan ke Kanada. Semua informasi tersebut di atas, saya tahu berdasarkan apa yang disebut sebagai epistemologists kesaksian, atas dasar informasi yang diberitahukan oleh mereka, orang lain atau sekelompok orang kepada saya."[48]

Meskipun ini adalah topik yang luas, ada konsensus umum bahwa kesaksian otentik merupakan sumber pengetahuan. Namun, ada perbedaan pendapat antara ahli epistemologists pada bagaimana kita memvalidasi transmisi pengetahuan melalui kesaksian. Bahkan para ilmuwan saintis membutuhkan kesaksian sebagai sumber pengetahuan untuk memahami ilmu sains itu sendiri. Misalnya, ada banyak asumsi dalam ilmu yang murni berdasarkan perkataan dari ilmuwan lainnya. Apapun diskusi yang ada di sekitar Kesaksian, titik kunci yang perlu diajukan di sini adalah bahwa itu adalah sumber pengetahuan yang valid. Oleh karena itu, pandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran, adalah palsu. Profesor Keith Lehrer merangkum keabsahan kesaksian sebagai sumber pengetahuan : "Inilah pertanyaan terakhir yang muncul tentang penerimaan kita terhadap kesaksian. Apa yang dapat mengubah penerimaan kita terhadap kesaksian orang lain itu menjadi sebuah pengetahuan? Jawaban pertama adalah bahwa kita harus dapat dipercaya tentang evaluasi kita terhadap orang lain yang kita percayai, dan kita harus menerima bahwa begitulah apa yang dikatakan. Selain itu, kepercayaan kita tentang kebenaran harus berhasil saling terhubung, yaitu, yang lain harus, pada kenyataannya, dapat dipercaya dan kepercayaan mereka harus benar - saling terhubung. Kita harus menerimanya begitu. Singkatnya, penerimaan kita terhadap testimoni orang lain harus dibenarkan dengan cara yang tidak disangkal atau dikalahkan oleh berbagai kesalahan dalam mengevaluasi mereka yang terpercaya dan kesaksian mereka. Penerimaan dibenarkan jika kesaksian orang lain tak terkalahkan atau tak terbantahkan adalah pengetahuan."[49] Hal di atas secara otomatis membuat logis tentang ilmu sains bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai kesimpulan tentang semua hal, maka kita harus menyuguhkan kemungkinan jalan lain untuk mendapatkan pengetahuan. Oleh karena itu, dengan asumsi ilmu sains menjadi satu-satunya tolok ukur untuk menetapkan kebenaran Qur'an adalah palsu. E. AYAT AYAT QURAN YANG TIDAK ILMIAH Di dalam diskursus Quran ada beberapa ayat yang terlihat tidak ilmiah. Namun bukan berarti AlQuran itu salah atau bukan dari Allah SWT (seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya bahwa Sains bukanlah satu satunya jalan untuk menemukan Kebenaran tentang dunia dan realita, dan itulah masalah yang dihadapi untuk mendapatkan kebenaran lewat data empiris), melainkan menunjukkan bahwa Ilmu pengetahuan manusia itu terbatas dan belum mencapai kesimpulan yang benar. Alasan utama mengapa saya membahas Ayat Al-Quran yang tidak ilmiah untuk menekankan tidak konsistennya argumentasi metodologi mukjizat Ilmiah Al-Quran. Tidak konsistennya adalah jika Sains menjadi tolak ukur yang dipakai untuk memverifikasi kebenaran isi Al-Quran dari Allah SWT, maka seluruh ayat ayat Al-Quran juga harus sejalan dengan kesimpulan Ilmu Sains. Mempertimbangkan ada ayat-ayat Quran yang tidak selaras dengan Ilmu Sains, maka apakah Al-Quran salah yang berarti bukan dari Allah SWT, atau apakah Al-Quran benar yang berarti memang dari Allah SWT, dan Ilmu Sains yang akan mengikuti. Dilema ini, khususnya bagi ummat islam, diselesaikan dengan menegaskan bahwa Al-Quran itu dari Allah SWT dan Ilmu Sains secara alamiah sangat terbatas. Kasus

tersebut mengecilkan tujuan klaim dari metodologi Mukjizat Ilmiah di dalam Al-Quran, dan pernyataannya tereduksi menjadi : Al-Quran itu dari Allah SWT dan Jika Ilmu Sains sejalan dengan Quran, maka Sains benar, Jika Ilmu Sains tidak sejalan dengan Al-Quran maka Ilmu Sains salah. Oleh karena itu Klaim Keajaiban Al-Quran berkurang menjadi : Al-Quran tidak akan pernah salah. Sebagai Contoh Ayat Al-Quran yang terlihat tidak ilmiah . Al-Quran mengatakan : Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".[50] Ayat di atas berkisah tentang Nabi Adam dan Hawa (alayhi salam). Hal ini menegaskan bahwa mereka dikirim dari Surga turun ke Bumi dan menunjukkan bahwa mereka sepenuhnya sudah terbentuk dan tercipta sempurna sebelum datang ke bumi. Tafsir Literal dan Klasik ayat ini secara langsung konflik dengan klaim Ilmu Sains. Teori evolusi menyatakan bahwa manusia terbentuk dari seleksi salam dan mutasi acak di bumi selama jangka waktu yang panjang. Teori evolusi juga berpendapat bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama dengan spesies bukan manusia. salah satu cara usaha untuk mendamaikan konflik antara tafsir klasik dan teori evolusi adalah dengan menerima teori evolusi untuk bukan manusia dan mengklaim bahwa penciptaan Adam A.S dan Hawa A.S adalah suatu pengecualian yang bersifat mukjizat. Masalah dengan pernyataan damai ini adalah bahwa bukti bukti untuk evolusi spesies bukan manusia adalah sama atau mirip dengan bukti bukti yang digunakan untuk evolusi spesies manusia, hal ini akan membingungkan untuk menyebutnya sebuah mukjizat, karena kalau menerima bukti bukti ilmiah untuk suatu hal namun menolak bukti bukti tersebut untuk hal yang lain, maka hal itu sama saja dengan menolak semua Ilmu Sains.[51]

F. MUKJIZAT, KESEDERHANAAN, DAN SEBUAH CATATAN TENTANG TAFSIR AL-QURAN Ketika mengklaim sesuatu terdapat mukjizat, itu berarti bahwa tidak ada penjelasan yang masuk akal yang bersifat alamiah tentang sesuatu itu. Dalam kasus ini, agar sebuah ayat Al-Quran yang ilmiah dianggap sebagai mukjizat maka syaratnya adalah tidak adanya hubungan sebab akibat secara fisik antara ayat Al-Quran dengan sifat alamiah ilmu sains pada saat waktu tertentu, dan tidak terdapat penjelasan alternatif lainnya secara linguistik yang bisa menjelaskan ayat tersebut. Definisi Mukjizat tersebut yang diaplikasikan pada Ayat Al-Quran ini, justru menampakkan metodologi yang inkoheren yang sering digunakan banyak orang untuk mencoba dan menemukan suatu mukjizat ilmiah Al-Quran. Dari perspektif linguistik, ayat Al-Quran bisa dikatakan mukjizat jika hanya memiliki makna tunggal. Jika ada makna lain yang memang terdapat pada ayat tersebut, maka lebih rasional mengambil makna yang bersifat ilmiah dibandingkan makna yang masih mengira-ngira yang menyiratkan kemukjizatan. Untuk mengatakan ayat Al-Quran ilmiah itu mukjizat, maka artinya tidak ada hubungan sebab akibat antara ayat tersebut dengan ilmu pengetahuan bahasa, atau ilmu sains yang ada dan dapat diakses pada saat itu.

Namun, karena diskursus Al-Quran memungkinkan adanya beberapa makna di dalam ayat Quran (dalam lingkup tertentu), berdasarkan definisi mukjizat di atas, maka klaim kemukjizatan itu tidak berdasar dan tidak koheren. Fakta bahwa bahasa yang digunakan Al-Quran dalam ayat-ayat yang menghindarkan diri dari fenomena alam namun tidak tegas dan definitif, itu memperlihatkan sifat bahaya dari klaim mukjizat ilmiah Al-Quran. Sederhananya, ada makna alternatif lebih mudah yang diperbolehkan untuk menjelaskan ayat Quran secara alamiah, dan ilmu sains tersebut sudah ada dan dapat diakses pada saat itu untuk menjelaskan pernyataan tersebut. Dengan demikian, sejak ada hubungan sebab akibat yang dapat ditemukan untuk menjelaskan ayat tersebut, maka hal itu dapat membuat klaim mukjizat ilmiah Al-Quran batal demi hukum dan diabaikan. Catatan tentang Tafsir Al-Quran Agar sebuah ayat Quran menjadi sebuah mukjizat ilmiah, maka syaratnya adalah makna yang terkandung di dalam ayat atau kata tersebut harus definitif dan mutlak. Namun hal ini tidak dapat dipertahankan dalam Ilmu Tafsir Al-Quran. Di dalam Ilmu Tafsir Al-Quran (Arab: Ushul Ul-Tafsir) ketika sebuah ayat atau kata belum pernah dijelaskan dalam sebuah hadist nabi SAW dan perkataan para sahabat Rasul SAW dan murid-murid dari para sahabat R.A tersebut, maka makna secara linguistik dapat ditawarkan sebagai sebuah penjelasan. ketika menggunakan penjelasan dengan metode linguistik maka seseorang harus berkonsultasi dengan ahli bahasa Arab Quran klasik dan Kamus bahasa Arab Klasik. Konsekuensi dengan menggunakan metode ini kita menemukan berbagai arti makna untuk kata kata tertentu. Aturan umum dari metode linguistik adalah tidak ada yang bisa mengklaim bahwa makna yang sudah ditentukan orang, itu berarti makna yang dimaksudkan, seseorang tidak bisa mengatakan bahwa Allah SWT bermaksud kata X bermakna Y. Sebaliknya, pendekatan yang harus diambil untuk menjadi klaim adalah : Kata tertentu memiliki berbagai makna dan kata X mungkin bermakna Y. Sifat tak terbatas sebuah kata tersebut dengan jelas menekankan bahwa untuk mengklaim mukjizat ilmiah Al-Quran gagal untuk dipertahankan, seperti disebutkan di atas, ini menunjukkan bahwa makna yang dimaksudkan pada kata kata tertentu adalah makna yang dimaksudkan oleh si Penulisnya, dalam hal AlQuran, yaitu Allah SWT. SEBUAH PENDEKATAN BARU Jadi sekarang apa?, bagaimana kita mengubah arah gelombang pasang surut Ilmu Sains di dalam AlQuran yang melanda Muslim Apologetis (Lebih dikenal sebagai Dai di kalangan muslim)? Bagaimana kita mengubah narasinya? Jawaban mudah dari pertanyaan tersebut adalah kita membutuhkan sebuah pendekatan baru. Pendekatan baru yang Profesor Fisika dan Astronomi Nidhal Guessoum sebut sebagai Multiple, Multi-Level Approach[52] Pendekatan baru ini berdasarkan pada aksioma dan Prinsip berikut ini yaitu : 1. 2. 3. 4. Al-Quran memungkinkan adanya beberapa/multiple makna Pemahaman kita tentang Fenomena Alam dan Ilmu Sains berubah seiring dengan waktu Al-Quran tidaklah tidak akurat atau salah Dalam kasus tidak terekonsiliasinya perbedaan antara Pernyataan Al-Quran dengan Pernyataan Ilmu Sains, maka yang harus dilakukan adalah :

Cari makna dari kata yang ada di dalam Al-Quran yang berkorelasi dengan Ilmu Sains Jika tidak ada kata-kata yang bisa pas maknanya dengan Ilmu Sains, maka Ilmu Sains harus melakukan pembaharuan. Temukan makna yang tidak bersifat Ilmu Sains. Ayat tersebut mungkin berkaitan dengan hal hal yang bersifat non-fisik, seperti Ghaib (tak terlihat), Spiritualitas, atau realitas eksistensi.

Mustanir Mir, Profesor Studi Islam di Universitas Youngstown State, berpendapat untuk melakukan pendekatan baru yang sama. Dia menulis : Dari sudut pandang Linguistik, sangat mungkin untuk sebuah kata, frase atau statemen memiliki lebih dari satu lapisan makna, sehingga satu lapisan makna akan masuk akal untuk orang pada zaman dahulu dan lapisan makna lainnya, tanpa menegasikan zaman sebelumnya, akan masuk akal untuk orang di zaman berikutnya. Kata yashabun (swim or float|berenang atau mengambang) di dalam ayat Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.(QS:21:33), menjadi masuk akal untuk orang di zaman abad Tujuh Masehi dengan cara observasi Fenomena Alam menggunakan mata telanjang oleh Peradaban Arab; makna yashabun lainnya juga sangat pas maknanya dengan penemuan Ilmu Sains zaman sekarang (contoh: Celestial Mechanic).[53] Mari kita gunakan contoh lain untuk menekankan poin Profesor Mir di atas dan menerapkannya pada aksioma dan prinsip prinsip yang disebutkan di atas. Dalam surat Al Muminun (23:14) Al-Quran menggunakan kata Alaqah ( )yang dapat berarti : substansi yang menempel, hewan lintah atau cacing, gumpalan darah beku, atau darah dalam pengertian umum[54] Kata ini digunakan untuk menggambarkan tahap perkembangan embrio manusia. Analisis Multi-Level dan analisis berlapis-lapis dapat diterapkan : 1. Sesuai dengan zaman ayat tersebut terungkap : Maknanya sesuai dengan Embrio sebagai zat yang menempel dan gumpalan darah beku yang bisa dilihat dengan mata telanjang, seperti yang disebutkan oleh Dokter Yunani dan Ibrani klasik yang mendahului wahyu Al-Quran juga menggambarkan Embrio sebagai zat yang menempel dan gumpalan darah beku.[55] Dari perspektif tersebut maka Al-Quran setuju dengan pandangan Ilmu Sains yang dominan pada zaman itu. 2. Sesuai dengan zaman kita : Kata Alaqah ( )juga mengacu pada makna cacing atau lintah. Hal ini dapat berkorelasi dengan penampilan luar dan dalam hewan lintah.[56] Pandangan Embrio hanya bisa ditemukan setelah abad ke-15. Meskipun embrio pada tahap 22 sampai dengan 25 hari bisa dilihat dengan mata telanjang, ini adalah tentang ukuran inti bibit dan sejenisnya yang tidak bisa dilihat tanpa dengan bantuan alat Mikroskop[57], yang ditemukan pada abad ke 15.[58] Lihatlah beberapa gambar di bawah ini yang diambil dari essay karya Elias Kareem, embriologi dalam AlQuran : Tahapan Alaqah ( [)59] Gambar 1 : struktur luar hewan lintah dibandingankan dengan Struktur Embrio

Gambar 1A, menunjukkan pandangan lateral embrio (ukuran 2.5-3.0mm) pada hari 24-25. (Dimodifikasi dari Moore & Persaud: The Developing Human 8th Edition); 1B, Hirudo medicinalis, lintah obat (Dimodifikasi dari Tubuh Manusia. The Incredible Journey from Birth to Death, BBC Worldwide Ltd, 1998); 1C, Scanning mikrograf elektron dari embrio di Minggu 4, 26 - 30 hari. (Profesor Kathy Sulik, The University of North Carolina). Perhatikan penampilan embrio manusia pada tahap ini seperti lintah. Gambar 2 : Struktur dalam dari hewan lintah dibandingkan dengan Embrio

Gambar 2A, diseksi Ventral menunjukkan struktur anatomi internal lintah. (Dari JG Nicholls dan D. Van Essen. The nervous system of the leech, 1974, Scientific American 230:38-48.) 2B, melihat punggung dari embrio 13-somite pada sekitar 24 hari, ukuran 3.0mm yang sebenarnya. (Dari Profesor Hideo Nishimura, Kyoto University, Kyoto, Jepang). Perhatikan kesamaan yang luar biasa dalam penampilan antara embrio manusia dan struktur internal lintah. Namun demikian tidak berarti hal itu adalah sebuah mukjizat ilmiah, karena makna dari sebuah kata Alaqah

tidaklah pasti, dan para skeptis pasti berargumen hal itu bisa saja hanya sebuah

tebakan.[Ada juga masalah dari menginterprtasikan makna literal dari sebuah kata sebagai makna metaforis. Hal tersebut di luar pembahasan dari essay ini, namun saya mengadopsi sebuah pandangan pemahaman komprehensif tentang Gaya bahasa Arab dan Al-Quran yang membolehkan kata tersebut dapat dimaknai Mirip Lintah atau Mirip Cacing dan tidak bermaksud sama seperti Lintah atau Cacing secara harafiah]. Poin yang ingin ditekankan adalah bukan tentang Mukjizat Ilmiah Al-Quran namun lebih kepada mengartikulasi pandangan bahwa Al-Quran itu MajemukMultiLayered, dengan demikian bisa menimbulkan perspektif dan interpretasi yang variatif. 3. Perspektif abadi di luar Ilmu Sains : Lintah bersifat parasit, Lintah menempel pada inangnya kemudian menghisap darahnya. Embrio juga bisa disamakan dengan parasit yang menguras sumber energi dari Induknya. Oleh karena itu, kita harus merendahkan hati dan rahmat kasih sayang kepada Orang Tua kita, terutama Ibu kita, karena mereka rela berkorban agar kita bisa hidup seperti sekarang ini. Peristiwa ini memunculkan persepektif bahwa kita tidaklah benar benar makhluk Independen, mandiri atau bebas, seperti perkembangan kita di dalam rahim Ibu kita, bergantung pada Ibu kita. Perspektif ini juga harus menanamkan rasa kerendahan hati dan pemahaman bahwa

kita semua sama sama bergantung satu dengan lainnya dalam beberapa cara, dan akhirnya bergantung kepada Allah SWT. Menariknya, perbandingan antara Lintah dan Embrio juga dibuat oleh Lord Robert Winston, Profesor Ilmu Sains dan Sosial dan Emeritus Profesor Ilmu Kesuburan di Imperial College : [Lintah] mengambil apa yang dibutuhkan untuk hidup dengan menghisap darah apapun yang dapat menempel padanya; Seperti Saya. Seperti menghisap darah saya, Lintah mengambil apapun yg dibutuhkan untuk hidup, Lintah benar benar menggantungkan hidupnya dari saya, dan seluruh peristiwa Kehamilan itu mirip bentuknya seperti hubungan parasit. Tidak seperti Lintah, perkembangan Embrio tidaklah menghisap darah Induknya, namun mencari darah induknya untuk dijadikan bahan dasar embrio untuk tumbuh. Dengan kata lain baik Lintah maupun Embrio mereka menghisap untuk kepentingan diri sendiri.[60] 4. Petunjuk Untuk Penemuan Ilmu Pengetahuan di masa depan : Jika tidak adanya hubungan makna makna yang dikandung di dalam Ayat Quran dengan Kesimpulan Ilmu Sains, maka Makna kata tersebut bisa digunakan sebagai petunjuk untuk memotivasi menemukan data baru dan mengembangkan inovasi solusi Ilmu sains. Jika analisis multi-level atau multyilayered belum menghasilkan sesuatu yang bermakna, maka penelitian dan kesimpulan Ilmiah masa depan harus membuka jendela kesempatan untuk memberikan analisis bermakna. Ini memperlihatkan aksioma bahwa Al-Quran tidaklah tidak akurat atau salah. Ini bukanlah pembenaran asumsi, karena ada banyak sekali atau ada argumentasi yang menunjukkan bahwa Al-Quran adalah sebuah tanda tanda supernatural, dengan kata lain dari Illahi. Meskipun tidak dibahas dalam ruang lingkup essay ini untuk didiskusikan secara mendetail, salah satu contoh fakta bahwa Al-Quran dari Allah SWT adalah bahasa lingusitik-Nya yang tidak bisa di tiru makhluk.[61] Bagaimana mengartikulasikan hal ini dengan cara sederhana Bagi yang berminat tentang bagaimana mengartikulasikan hal ini dengan mudah, saya sarankan proses sederhana : 1. Ketika membahas tentang wahyu Illahi, maka pembahasannya tentang : Fakta bahwa ada statemen sejarah di dalam Al-Quran yang belum diketahui pada saat itu Mukjizat Linguistik dan Sastra Literal Al-Quran Fakta bahwa Al-Quran terpelihara Makna dan Pesan di dalam Al-Quran Konsep Teologi Ketuhanan di dalam Al-Quran Fitur luar biasa lainnya yang diketemukan di dalam Al-Quran 2. Setelah membangun pembahasan yang masuk akal bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah SWT, kita bisa melanjutkan pembahasan dengan pendekatan baru Multi-level atau Multilayered Al-Quran yang telah kita bahas di atas. Contoh tersebut meliputi :

Kau tahu apa yang menarik tentang Al-Quran? Nah. Al-Quran tampaknya ingin mengatasi berbagai tingkat kecerdasan dan tingkat pemahaman pada periode yang berbeda dalam sejarah manusia. Misalnya dalam QS Mukmin 23:14, menyebutkan kata alaqah untuk menggambarkan tahapan perkembangan embrio manusia. Kata ini dapat bermakna gumpalan darah beku, sesuatu yang menempel, hewan lintah atau cacing. Pengetahuan yang ada di abad ke-7 masehi menyatakan bahwa embrio itu seperti gumpalan darah beku dan sesuatu yang menempel. Menariknya di abad ke-21 embrio pada tingkat mikrokospis tampak mirip seperti Lintah, bahkan struktur dalam Lintah terlihat seperti embrio sekitar 4 minggu dalam perkembangannya. Kata Lintah juga dapat berarti ketika kita masih menjadi Embrio, kita menguras sumber energi dari Ibu kita, seperti yang dilakukan Lintah terhadap Inangnya, jadi kita harus rendah hati dan mengasihi lebih banyak kepada Ibu kita, karena mereka rela berkorban untuk kita. Ini adalah aspek yang sangat menarik dalam Al-Quran, yang tampaknya dapat mengatasi pemahaman di berbagai waktu dan berbagai tingkatannya. Jika ada beberapa pemahaman yang tidak sejalan dengan Ilmu Pengetahuan, maka ilmu Pengetahuan akan menyusul. Saya telah menunjukkan bagaimana Al-Quran bisa berasal dari Allah SWT tanpa menggunakan Ilmu Sains, dan karena itu kita dapat menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan Allah SWT itu benar. Juga, seperti yang anda ketahui, Ilmu Sains tidaklah mutlak, dapat berubah seiring dengan waktu dan bahwa ada selalu terbuka kemungkinan pengamatan baru dan temuan data baru. Bagaimana membangun Mukjizat Ilmiah Al-Quran? Dari penjelasan di atas, Muslim yang mengadopsi narasi Ilmu Sains di dalam Al-Quran mungkin berpendapat bahwa apa yang saya presentasikan bersifat pesimis. Beberapa muslim juga menegaskan bahwa saya belum memberikan metode atau kriteria tentang cara untuk menilai apakah suatu ayat dapat digambarkan sebagai Mukjizat Ilmiah. Alasan primer mengapa saya menemukan metode narasi mukjizat ilmiah di dalam Al-Quran membingungkan atau tidak koheren karena alasan Filsafat Ilmu Sains. Namun, hal itu dapat dikatakan bahwa ayat Al-Quran bisa dianggap tidak berasal dari abad ke-7 Arab, jika berpegang pada kriteria ketat sebagai berikut: Ayat ini harus memiliki makna/tafsiran yang berhubungan dengan fakta Ilmiah Makna/tafsiran interpretasi harus jelas dan tidak ambigu [dimungkinkan secara sengaja tidak membuat makna njlimet rumit, sehingga para penonton langsung bisa menghargai Al-Quran] Fakta Ilmu Sains harus berada dalam ruang lingkup makna-makna/interpretasi ayat Al-Quran Hubungan Fakta Ilmu Sains dan makna-makna/interpretasi ayat Al-Quran haruslah memiliki hubungan yang kuat. Dengan kata lain, hal itu tidak boleh ada hubungan yang lemah. Sains yang ada di dalam ayat Al-Quran sebisa mungkin harus dekat dengan fakta-fakta sains sebanyak mungkin, dengan kata lain terhindar dan tidak bekerja dalam Teori Sains yang baru berkembang. Fakta ilmiah harus ditetapkan sebagai konklusif atau faktual di dalam komunitas Ilmiah. Harus dapat dipertunjukan bahwa tidak ada penjelasan alamiah lainnya (kesempatan lainnya) yang dapat menjelaskan hubungan antara makna/interpretasi ayat Al-Quran dan dengan kesimpulan Ilmu Sains. Dengan kata lain, harus ada studi penelitian menyeluruh dan melelahkan dari sejarah ilmu sains untuk menetapkan bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak mungkin dapat diteliti dan

tidak ada seorang di masa lalu berteori sains atau berkesimpulan diskusi ilmiah yang berkaitan dengan makna/interpertrasi ayat Al-Quran tersebut. Jika Ilmu Sains sudah tersedia dan dapat diakses, maka studi dan penelitian yang melelahkan tentang sejarah Rasul SAW dan Arab harus dilakukan untuk membangun ketidakmungkinan Nabi Muhammad SAW atau siapapun orang yang dapat mengakses informasi tersebut di abad ke-7. Jika ayat Al-Quran yang dibahas mempunyai alternatif interpretasi yang mudah dan valid namun belum bersifat Ilmiah. Maka analisis probabilitas kemungkinan terhadap ayat tersebut harus dilakukan. Untuk menyatakan bahwa kemukjizatan ayat Al-Quran mendahului Ilmu Sains, Analisis kemungkinan harus dapat menunjukkan bahwa interpretasi alternatif tersebut tidak bersumber dari informasi dari orang-orang yang hidup di abad ke-7 Masehi (dalam konteks sejarah, kultur, dan bahasa). Analisis probabilitas kemungkinan dapat mempertimbangkan bahwa hal itu sesuatu yang lua biasa karena beberapa makna/interpretasi alternatif yang masuk akal sesuai dengan fakta ilmu sains.

Walaupun kriteria ketat yang dipaparkan di atas untuk menyelamatkan Ilmu sains di dalam narasi AlQuran masih dalam tahap pengembangan, saya pribadi menemukan hampir mustahil untuk menerapkan seluruh kriteria di atas. Para Ulama, Cendikiawan, Pemikir dan Dai harus mengembangkan ini lebih lanjut. KESIMPULAN Esai ini mengungkapkan bahwa narasi Mukjizat Ilmiah Al-Quran tidak koheren, dan mengartikulasikan pendekatan baru untuk merekonsiliasi dan mendiskusikan Ilmu sains dan Al-Quran. Dengan harapan para pembaca esai ini bisa mengadopsi pendekatan baru ini sehingga muncul perubahan narasi baru di ranah Publik. Narasi baru ini akan mampu menahan kritik ilmiah sambil membawa cahaya sifat abadi diskursus Al-Quran. Saya menghormati bahwa esai ini akan menggelisahkan beberapa pembaca, terutama mereka yang telah mengadopsi Mukjizat Ilmiah di dalam Narasi Al-Quran. Tujuannya bukan untuk membangkitkan emosi, melainkan untuk memfasilitasi diskursus baru yang koheren di kalangan Muslim Dai dan dakwah Islam. Saya berdoa hal ini dapat mengantarkan kebutuhan lebih banyak diskusi dan dialog, saling berbicara satu dengan lainnya, bertukar ide dan meneliti pendekatan yang kita gunakan untuk menemukan solusi dai masalah kontemporer. Sumber esai : http://www.hamzatzortzis.com/essays-articles/exploring-the-quran/does-the-qurancontain-scientific-miracles-a-new-approach/
References [1] https://www.google.co.uk/search?q=quran+science&oq=quran+science&aqs=chrome.0.69i57j0l3j69i61j 69i62.6621j0&sourceid=chrome&ie=UTF-8 [2] Bigliardi, S. (2011), Snakes from Staves? Science, Scriptures, and the Supernatural in Maurice Bucaille. Zygon, 46: 793805. doi: 10.1111/j.1467-9744.2011.01218.x

[3] Strange Bedfellows: Western Scholars Play Key Role in Touting `Science of the Quran by Daniel Golden Wall Street Journal, January 23, 2002. pg. A.1, posted on the website of California State University, Fullerton by Dr. James Santucci. [4] Here is an example: Alfred Krner Quote mined scientist denounces Quran miracle claims http://www.youtube.com/watch?v=ClHuG880pqU, accessed 9:20AM, 26 June 2013 [5] Written by the academic linguist Hussein Abdul-Raof. Refer to pages 166 169. [6] Dr. Zakir Naik Quran & Modern Science: http://www.youtube.com/watch?v=r5h6CNhtVls. [7] Yusuf Estes Science in Islam: http://www.youtube.com/watch?v=G6ehcirhZ-g. [8] See http://www.youtube.com/watch?v=3T5Pm7qLH50. [9] You can download a copy here http://www.iera.org.uk/downloads/Embryology_in_the_Quran_v2.pdf. [10] You can download a copy here http://www.scribd.com/doc/110224187/2-101612-Embryology-inthe-Quran-Much-Ado-About-Nothing. [11] http://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=qrr#(23:13:5) [12] http://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=mkn#(23:13:6) [13] The classical exegete Ibn Kathr mentions that these words mean the womb. See here http://www.qtafsir.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2481&Itemid=78. [14] http://corpus.quran.com/wordbyword.jsp?chapter=21&verse=33 [15] http://www.qtafsir.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2321&Itemid=68 [16] http://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=nzl#(57:25:12) [17] See here http://mineralsciences.si.edu/collections/meteorites.htm#3 [18] Qurn 57:25 [19] See The Story of Chemistry. N. C. Datta, p. 22; The Spirit of Ancient Egypt. Ana Ruiz. Algora Publishing, p. 72; Origins and Development of Applied Chemistry. James Riddick Partington, p87. Ayer Company Pub, 1975; http://www.digitalegypt.ucl.ac.uk/metal/metalinegypt.html. [20] http://corpus.quran.com/qurandictionary.jsp?q=nwr#(10:5:7) [21] Qurn 10:5 [22] Doxographi on Thales, Aet. ii. 1 ; Dox. 327. See online reference here http://history.hanover.edu/texts/presoc/thales.html. [23] The Doxographists on Anaxagoras, Hipp. Phil, 8 ; Dox. 561 260-1.

[24] Qurn 78:6-7 [25] Bible Jonah 2:6, http://biblehub.com/jonah/2-6.htm [26] Reading Jonah in Hebrew. Duane L. Christensen. Bibal Corporation. 2005, p. 16. See online link here http://www.bibal.net/04/proso/psalms-ii/pdf/dlc_reading-jonah-b.pdf. [27] Qurn 21:30 [28] http://www.eridu.co.uk/Author/myth_religion/egyptian.html [29] http://etcsl.orinst.ox.ac.uk/cgi-bin/etcsl.cgi?text=t.1.8.1.4# [30] Sahih Muslim Book 8 adth 3392 [also repeated in adth 3394 and Maliks Muwatta Book 30, adth 16]. [31] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge, p.14. [32] Amn Asan Il. Tadabbur-e-Qurn. Pondering over the Qurn. Vol 1. Translated by Mohammad Slaeem Kayani. Islamic Book Trust. 2007, p 410. [33] Shabbir Akhtar. The Qurn and the Secular Mind: A Philosophy of Islam. Routledge. 2008, page 217. [34] Dallal, Ahmad. Science and the Qurn. Encyclopaedia of the Qurn. General Editor: Jane Dammen McAuliffe, Georgetown University, Washington DC. Brill Online, 2013. Reference. Andreas Tzortzis. 19 July 2013 <http://referenceworks.brillonline.com/entries/encyclopaedia-of-thequran/science-and-the-quran-SIM_00375> [35] Al-Shatibi, Ibrahim. Al-Muwafaqat, ed. Muhammad al-Khidr Husayn al-Tunisi. 4 Vols., Cairo: alMatbaa al-Salafiya, 1922. Vol. 2, pp. 80-1. [36] Jalees Rehman Searching for Scientific Facts in the Quran: Islamization of Knowledge or a New Form of Scientism? Islam & science, 2003. [37] David Hume. An Enquiry Concerning Human Understanding, p. 108. [38] Professor Alex Rosenberg. Philosophy of Science: A Contemporary Introduction. 2012, p. 198. [39] Elliot Sober Empiricism in The Routledge Companion to Philosophy of Science. Edited by Stathis Psillos and Martin Curd. 2010, p. 129. [40] Ibid, p. 131. [41] John Cottingham. Rationalism. Paladin. 1984, pp. 109 -110. [42] Taken and adapted from an online lecture by Professor J. P. Moreland. [43] Access the following link to understand what this means http://www.philosophyindex.com/logic/forms/modus-ponens.php.

[44] See here http://www.reasonablefaith.org/is-scientism-self-refuting. [45] Benjamin McMyler. Testimony, Truth and Authority. Oxford University Press. 2011. p. 3. [46] The Epistemology of Testimony. Edited by Jennifer Lackey and Ernest Sosa. Clarendon Press: Oxford. 2006, p. 2. [47] C. A. J. Coady. Testimony: A Philosophical Study. Oxford University Press. 1992, p. 82. [48] Benjamin McMyler. Testimony, Truth and Authority. Oxford University Press. 2011. p 10. [49] Keith Lehrer cited in The Epistemology of Testimony. Oxford University Press. 2006, p. 158. [50] Qurn 2:38 [51] I take an epistemic approach to evolution which doesnt require one to reject the science or the Qurn. Read my essay here http://www.hamzatzortzis.com/essays-articles/philosophy-theology/hasevolution-been-misunderstood-revelation-science-and-certainty/. [52] See Nidhal Guessoum. Islams Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. I. B. Tauris. 2011. Chapter 5. [53] Cited from Nidhal Guessoum. Islams Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. 2011, p. 152. [54] Embryology in the Qurn: The Alaqah Stage. Elias Kareem. Accessed here http://islampapers.files.wordpress.com/2012/02/thealaqah.pdf. [55] Corpus Medicorum Graecorum: Galeni de Semine (Galen: On Semen) pages 92 95. [56] Embryology in the Qurn: The Alaqah Stage. Elias Kareem. Accessed here http://islampapers.files.wordpress.com/2012/02/thealaqah.pdf. [57] For more information read here http://islampapers.com/2012/07/01/can-alaqah-be-seen/. [58] http://en.wikipedia.org/wiki/Microscope#History [59] Ibid. [60] See the video here http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=pwwP_dgriLI. [61] See here for more information http://www.hamzatzortzis.com/essays-essays/exploring-thequran/.

You might also like