You are on page 1of 0

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan
nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai
dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu
yang benar (Siregar, 2006).
Kepatuhan merupakan suatu hal yang penting agar dapat
mengembangkan rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu dalam mengikuti
jadwal yang kadang kala rumit dan mengganggu kegiatan sehari-hari.
Kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan dukungan agar menjadi biasa
dengan perubahan. Dengan mengatur, meluangkan waktu dan kesempatan
yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi bila aturan pakai
obat yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar (Tambayong,
2002).
Jenis ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan menebus
resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu
pemberian/konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum waktunya.
Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang.
Dengan demikian, pasien kehilangan manfaat terapi dan kemungkinan
mengakibatkan kondisi secara bertahap memburuk. Ketidakpatuhan juga
dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis
digunakan berlebihan atau apabila obat dikonsumsi lebih sering daripada yang
dimaksudkan, terjadi resiko reaksi merugikan yang meningkat. Masalah ini
dapat berkembang, misalnya seorang pasien mengetahui bahwa ia lupa satu
dosis obat dan menggandakan dosis berikutnya untuk mengisinya (Siregar,
2006).
2. Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan
Menurut Tambayong (2002) dan Siregar (2006), beberapa faktor
ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan, antara lain:
a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan.
Alasan utama untuk tidak patuh adalah kurang mengerti tentang
pentingnya manfaat terapi obat dan akibat yang mungkin jika obat tidak
digunakan sesuai dengan instruksi.
b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan
pengobatan yang ditetapkan.
c. Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit.
d.
Mahalnya harga obat.
Pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang
mahal, biaya dan penghentian penggunaan sebelum waktunya sebagai
alasan untuk tidak menebus resep.
e. Kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga, yang mungkin bertanggung
jawab atas pembelian atau pemberian obat.
f. Penyakit
Keadaan sakit pada pasien akan menimbulkan ketidakpatuhan,
kemampuan untuk bekerjasama dan sikap terhadap pengobatan. Pasien
cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak
menghasilkan kesembuhan kondisi. Bahkan apabila kesembuhan dapat
diantisipasi dengan terapi jangka panjang, masalah masih dapat timbul dan
pasien sering menjadi tidak patuh selama periode pengobatan dilanjutkan.
g. Efek merugikan
Efek samping suatu obat yang tidak menyenangkan misalnya mual
muntah, memungkinkan menghindar dari kepatuhan.
h. Penggunaan/Konsumsi obat
Seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh
pada instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang
salah disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat
ukur yang tidak tepat.
3. Peningkatan kepatuhan
a. Identifikasi faktor resiko
Semua pasien harus dianggap sebagai seseorang yang mungkin
tidak patuh. Langkah pertama dalam upaya maningkatkan kepatuhan
adalah mengenal individu yang paling mungkin tidak patuh.
b. Pengembangan rencana pengobatan
Rencana pengobatan harus didasarkan pada kebutuhan pasien,
apabila mungkin pasien harus menjadi partisipan dalam keputusan
rencana pengobatan. Untuk membantu ketidaknyamanan dan kelalaian,
dosis obat diberikan pada waktu yang sesuai dengan beberapa kegiatan
tetap dalam jadwal harian pasien. apabila resep ditulis harus sespesifik
mungkin untuk menghindari salah interpretasi. Dalam semua kasus, harus
memastikan bahwa pasien mengerti cara menggunakan obatnya.
c.
Alat bantu kepatuhan
1) Pemberian label
Label tempat obat yang mencantumkan informasi berkaitan
dengan penggunaan, perhatian atau penyimpanan obat akan
meningkatkan pencapaian kepatuhan
2) Kalender pengobatan dan kartu pengingat obat
Berbagai bentuk, seperti kalender pengobatan telah
dikembangkan dan didesain untuk membantu pasien dalam
mengkonsumsi obatnya sendiri. Dalam membantu pasien mengerti
obat yang digunakan dan kapan digunakan, disediakan formulir yang
dapat dicek pasien pada kolom yang sesuai untuk tiap dosis obat
yang digunakan.
d. Pemantauan terapi
Jika dokter atau pelayanan kesehatan lain mengetahui bahwa pasien
tidak menggunakan obat sebagaimana dimaksudkan, ia harus berupaya
memberikan solusi pada setiap masalah.
e. Komunikasi efektif
Keefektifan komunikasi akan menjadi penentu utama kepatuhan
pasien. pasien harus didorong untuk berpartisipasi dalam diskusi dan
apabila mungkin, pasien diikutsertakan dalam proses pembuatan
keputusan. Komunikasi antara dokter atau tenaga kesehatan dan pasien
tentang penggunaan obat, dapat dilakukan baik verbal maupun tertulis,
dan diperkuat oleh instruksi tertulis. Oleh karena itu, libatkan secara
langsung pasien dalam komunikasi dua arah serta memberikan
kesempatan bagi pasien mengajukan pertanyaan.
Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku patuh
dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang meliputi faktor predisposisi
(predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor
pendorong (reinforcing factor).
a. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, kepercayaan, nilai, keyakinan, dan sebagainya. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam perilaku
kesehatan.
b. Faktor pendukung (enabling factor)
Faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku. Faktor ini meliputi
lingkungan fisik, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan.
c.
Faktor pendorong (reinforcing factor)
Faktor yang memperkuat terjadinya perubahan perilaku. Faktor ini
meliputi sikap dan praktik petugas kesehatan maupun tokoh masyarakat
(Notoatmodjo, 2003).
Model teori ini dapat digambarkan sebagai berikut:
B = f (PF, EF, RF)
Dimana:
B = Behavior
PF = Predisposing factors
EF = Enabling factors
RF = Reinforcing factors
F = fungsi
B. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tau, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba. Tahapan tingkat pengetahuan mencakup tahu (know), memahami
(comprehantion), aplikasi (aplication), analisa (analysis), sintesis (synthesis),
dan evaluasi (evaluation) (Notoatmodjo, 2003).
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahasan yang dipelajari
atau rangsangan yang diterima.
2. Memahami (comprehantion)
Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan mengarahkan materi yang sudah
dipelajari pada situasi dan kondisi.
4. Analisa (analysis)
Analisa diartikan sebagai kemampuan manjabarkan materi yang ada
didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk yang baru atau
kemampuan untuk menyusun formula yang ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu tindakan atau objek.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengukuran pengetahuan
dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi
materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo,
2003).
C. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu
menerima (receiving) yang diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek), merespon (responding) yang
merupakan memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan, menghargai (valuing) dalam hal ini adalah mengajak orang
lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu
masalah, dan bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan
responden terhadap suatu objek dan secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan pernyataan-pernyataan hipotesa, kemudian ditanyakan pendapat
responden (Notoatmodjo, 2003).
D. Tablet Zat Besi
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat didalam tubuh
manusia. Besi mempunyai beberapa fungsi essensial didalam tubuh: sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru kejaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron
didalam sel, dan sebagai reaksi enzim didalam jaringan tubuh (Wirakusumah,
1999).
Keseimbangan zat besi dalam tubuh harus dipertahankan agar tubuh tidak
menderita anemia. Artinya jumlah zat besi yang dikeluarkan harus sama dengan
jumlah zat besi yang diperoleh tubuh lewat makanan. Saat kehamilan zat besi yang
dibutuhkan tubuh lebih banyak dibandingkan saat tidak hamil
(Wirakusumah,1999). Zat besi pada wanita hamil penting bagi pembentukan
hemoglobin, yaitu pembentukan sel-sel darah merah yang bertanggung jawab
terhadap transportasi oksigen dari paru-paru ke jaringan-jaringan tubuh bagi sang
ibu maupun janin (Hall, 2000).
Kebutuhan zat besi pada tiap trimester kehamilan, pada trimester pertama,
kebutuhan besi justru lebih rendah dari masa sebelum hamil. Ini disebabkan
wanita hamil tidak mengalami menstruasi dan janin yang dikandung belum
membutuhkan banyak zat besi. Menjelang trimester kedua, kebutuhan zat besi
mulai meningkat. Pada saat ini terjadi pertambahan jumlah sel-sel darah merah.
Pada trimester ketiga, jumlah sel darah merah bertambah mencapai 35 %, seiring
dengan meningkatnya kebutuhan zat besi sebanyak 450 mg. Pertambahan sel
darah merah disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dari janin
(Wirakusumah, 1999).
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi besi
Menurut Almatsier (2002), absorbsi terjadi di bagian atas usus halus
(duodenum) dengan bantuan alat angkut protein khusus. Ada dua jenis alat
angkut protein didalam sel mukosa usus halus yang membantu penyerapan
besi, yaitu transferin dan feritin. Tranferin yaitu protein yang disintesis
didalam hati. Diperkirakan hanya 5-15 % besi makanan diabsobsi oleh orang
dewasa yang berada dalam status besi baik. Dalam keadaan defisiensi besi
absorbsi dapat mencapai 50 %.
Banyak faktor berpengaruh terhadap absorbsi besi, antara lain:
1) Bentuk besi
Bentuk besi didalam makanan berpengaruh terhadap
penyerapannya. Besi hem yang merupakan bagian dari hemoglobin dan
mioglobin yang terdapat didapat daging hewan yang dapat diserap dua
kali lipat daripada besi non hem. Besi non hem terdapat didalam telur,
sereal, kacang-kacangan, sayuran hijau dan buah-buahan.
2) Asam organik
Vitamin C sangat membantu penyerapan besi non hem dengan
merubah bentuk Feri menjadi Fero.
3) Asam fitat dan asam oksalat didalam sayuran
Faktor-faktor ini mengikat besi sehingga menghambat penyerapan
besi. Vitamin C dalam jumlah cukup dapat melawan sebagian pengaruh
faktor-faktor yang menghambat penyerapan besi.
4) Tanin
Tanin terdapat didalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran dan
buah yang menghambat absorbsi besi dengan cara mengikatnya.
5) Tingkat keasaman lambung
Tingkat keasaman lambung meningkatkan daya larut besi.
Penggunaan obat-obatan yang bersifat basa seperti antasid menghalangi
absorbsi besi.
6) Faktor intrinsik
Faktor intrinsik didalam lambung membantu penyerapan besi,
diduga karena hem mempunyai struktur yang sama dengan vitamin B12.
7) Kebutuhan tubuh
Kebutuhan tubuh akan besi sangat berpengaruh besar terhadap
absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat pada
masa pertumbuhan, absorpsi besi non hem dapat meningkat sampai
sepuluh kali, sedangkan besi hem dua kali.
b. Fungsi besi
Besi menggabungkan protein untuk membentuk hemoglobin yang
mengangkut oksigen keseluruh tubuh sehingga membantu dalam kontraksi
otot untuk mencegah kelelahan dan sulit bernafas (Thorn, 2004).
Zat besi yang masuk kedalam tubuh serta cadangan makanan yang ada
pada tubuh wanita hamil, akan sangat berguna untuk aktifitas dan
metabolisme ibu, proses pembentukan ASI dan menentukan kualitas ASI
(Masum, 2007).
c. Konsumsi Tablet Zat Besi
Tablet Fe adalah tablet tambah darah untuk menanggulangi Anemia
Gizi Besi yang diberikan kepada ibu hamil. Ikatan Profesi Kedokteran
menganjurkan asupan suplemen setiap hari antara 30-60 miligram besi selama
hamil guna menjamin penyerapan besi yang dibutuhkan setiap hari (Brock,
2007). Preparat Fe biasanya diberikan dalam bentuk garam (seperti ferrous
sulfat, glukonat atau fumarat) atau dalam bentuk gabungan dengan gula
(sacharat) diberikan peroral (Yatim, 2003).
Besi dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (protein pembawa
oksigen) dalam darah. Selama volume darah meningkat sekitar 45 persen
selama kehamilan, maka hemoglobin dan unsur-unsur utama dalam darah
harus meningkat (Wheeler, 2004). Setiap hari, ibu hamil membutuhkan
tambahan 700-800 mg zat besi. Jika kekurangan, buruk akibatnya, dapat
terganggu proses persalinannya, terjadi perdarahan sehabis melahirkan dan
mungkin juga terjadi infeksi (Nadesul, 2007).
Meskipun dibutuhkan gizi yang baik, suplemen besi mengganggu saluran
pencernaan pada sebagian besar orang. Efek samping, misalnya mual-mual,
rasa panas pada perut, diare atau sembelit. Untuk memulihkan efek samping
yang tidak menyenangkan, dianjurkan untuk mengurangi setiap dosis besi atau
mengkonsumsi makanan bersama dengan tablet besi. Makanan yang kaya
akan vitamin C memperbanyak serapan besi (Brock, 2007).
Kesadaran ibu-ibu hamil agar memeriksakan kehamilannya
ketempat-tempat pelayanan kesehatan yang tersedia harus ditingkatkan
dengan cara memberikan motivasi dan penerangan yang terus menerus pula.
Dengan demikian kehamilan diluar kurun reproduksi sehat dan kehamilan
resiko tinggi lainnya dapat dikurangi (Mochtar, 1998).
d. Dampak ibu hamil kekurangan zat besi
Adapun dampak dari ibu hamil kekurangan zat besi antara lain:
1) Anemia Gizi
Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan
dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau
karena gangguan absorbsi. Zat besi yang bersangkutan adalah besi,
protein, piridoksin (vitamin B6) yang berperan sebagai katalisator dalam
sintesis hem di dalam molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi
absorpsi dan pelepasan besi dari transferin kedalam jaringan tubuh, dan
vitamin E yang mempengaruhi stabilitas membran sel darah merah.
Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia.
Sebagian besar anemia gizi adalah anemia gizi besi. Penyebab anemia gizi
besi terutama karena makanan yang dimakan kurang mengandung besi,
pada wanita karena kehilangan darah karena haid dan persalinan
(Almatsier, 2002)
2) Anemia Defisiensi Zat Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kurangnya zat besi dalam tubuh. Banyak faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi
dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus, perdarahan
akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada
wanita hamil masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit
(Djauzi, 2005).
Pada ibu hamil, beberapa faktor risiko yang berperan dalam
meningkatkan prevalensi anemia defisiensi zat besi, antara lain :
a) Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun.
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun, mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan
membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun
janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat menyebabkan
ibu mengalami anemia. Usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya
anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah
kadar hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin tua umur ibu
hamil maka presentasi anemia semakin besar.
b) Pendarahan akut.
c) Pendidikan rendah
d) Pekerja berat.
e) Konsumsi tablet tambah darah < 90 butir.
f) Makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi (Amiruddin, 2007).
D. Hipotesa Penelitian
Ha: Ada hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang tablet zat
besi dengan kepatuhan ibu hamil dalam konsumsi tablet zat besi.
Ho: Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang tablet
zat besi dengan kepatuhan ibu hamil dalam konsumsi tablet zat besi.
E. Kerangka Teori
Faktor Predisposisi
Pengetahuan
Sikap
Kepercayaan
Nilai
Motivasi.
Faktor Pendukung Kepatuhan dalam mengkonsumsi
Ketersediaan fasilitas tablet zat besi
kesehatan
Akses informasi
Lingkungan
Faktor Pendorong
Petugas kesehatan
Tokoh masyarakat
Gambar: Kerangka teori penelitian model Lawrence W. Green (1980) dalam
Notoatmodjo (2003), Tambayong (2002) dan Siregar (2006)
Kurang informasi
Sukarnya memperoleh obat
diluar rumah sakit
Mahalnya harga obat
Kurangnya perhatian dan
kepedulian keluarga
Penyakit
Efek merugikan
Penggunaan/konsumsi
F. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
- Pengetahuan Kepatuhan ibu hamil dalam
- Sikap mengkonsumsi tablet zat besi
Gambar: Skema Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kajian terhadap kerangka teori maka dapat disusun kerangka
konsep, sebagai berikut:
1. Variabel independen (bebas)
Variabel independen meliputi pengetahuan dan sikap
2. Variabel dependen (terikat)
Variabel dependennya kepatuhan ibu hamil konsumsi tablet zat besi.

You might also like