You are on page 1of 3

Pengobatan Tradisional Suku Bajo

Gambaran singkat mengenai Suku Bajo Masyarakat Karang Bajo yang berprofesi sebagai pelaut ulung dan penggarap pertanian. Nah, nama Karang Bajo itu memiliki filosofi sendiri. Karang yang berarti kuat, tegar, tangguh. Dan Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo. Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang ketika itu berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut apabila banyak masyarakat Bajo memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu menggulingkan kekuasaan kerajaan. Masyarakat suku Bajo Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan ikan) dan Tumbuh (diperuntukkan tumbuhtumbuhan). Dalam sistem birokrasi suku Bajo bukanlah merupakan kerajaan, tetapi merupakan sebuah sistem kedatukan. Inilah yang diungkapkan oleh Kiayi Santri yang bernama Kasianom. Jadi setiap orang boleh menjadi Amaq Lokaq ( pemimpin adat) bisa keturunan Amaq Lokaq yang pernah memimpin, jikalau Amaq Lokaq yang sebelumnya tidak memiliki anak laki-laki atau adik laki-laki atau garis keturuanannya berjenis kelamin laki-laki, maka para pemirintah adat melakukan gundem (musyawarah) untuk memilih calon Amaq Lokaq yang baru, begitupula dengan pemerintahan adat yang lainnya Di Wakatobi komunitas bajo tersebar dibeberapa tempat. Ada bajo Mola di WangiWangi, Sampela, Lohoa dan Mantigola di Kaledupa dan Lamanggau di Pulau Tomia. Dalam sejarah masa lampau kehidupan komunitas ini selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain. Sehingga Suku Bajo selalu ditemukan dihampir semua Negara yang memiliki pesisir pantai.

Tradisi Pengobatan pada Suku Bajo Duata merupakan kata saduran dari sebutan Dewata. Dalam keyakinan masyarakat Bajo, Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma pada manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku bajo. Ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis. Dalam prosesi duata yang digelar pada pelakasanaan Festival Budaya Wakatobi, sejumlah tetua adat terlihat berkumpul di satu tempat pengobatan berbentuk satu ruangan dengan ukuran kira-kira 2 m2. Bagian atasnya dihiasi dengan janur kuning dan tanpa pagar. Ada pula Ula-Ula, yaitu bendera yang merupakan lambang kebesaran suku Bajo yang diyakini membawa keberkahan. Tetua adat yang didominasi perempuan lanjut usia meramu berbagai jenis pelengkap ritual. Ada beras berwarna-warni yang dibentuk melingkar di atas daun pisang. Ini melambangkan warna-warni sifat yang dimiliki manusia. Ada pula dupa untuk mengharumkan ruangan dan juga daun sirih, kelapa, serta pisang. Setelah semuanya diracik, orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan, lagu Lilligo tak pernah putus dinyanyikan. Demikian pula dengan tabuhan gendang. Di barisan terdepan, delapan orang gadis cantik berpakaian adat juga tak hentinya-hentinya menari tarian Ngigal. Di atas perahu, semua peserta juga menari Ngigal untuk menyemangati orang yang diobati agar kembali menemukan semangat hidupnya. Sementara itu, tetua adat melakukan prosesi larungan. Ada pisang dan beberapa jenis bahan makanan serta perlengkapan tidur yang berupa bantal dan tikar. Menurut cerita, prosesi larungan dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Masyarakat Bajo mempercayai bahwa setiap kelahiran anak pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut. Sehingga, jika salah satu di antara mereka menderita sakit keras, dipercayai bahwa sebagian semangat hidup orang itu telah diambil oleh saudara kembarnya yang disebut Kakak dan di bawa kelaut, sedangkan sebagian lagi diambil oleh dewa dan dibawa naik ke langit ketujuh. Prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang dibawa ke laut dan ke langit. Usai pelarungan, si sakit dan tetua adat kembali ke tempat semula. Orang yang sakit akan kembali melalui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan bunga pinang(mayah) yang

berguna untuk membersihkan penyakit yang ada dalam tubunya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit. Tetua adat juga akan mengikatkan benang di lengan si sakit sebagai obat. Konon, benang ini berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakit. Dari benang yang sebelumnya tersimpan dalam cangkir tetua adat, dapat diketahui apakah yang sakit ini masih dapat sembuh atau tidak. Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutnya orang sakit tersebut diputari beberapa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang sedang dalam pengobatan. Pengujian kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti si sakit telah sembuh. Selanjutnya, si sakit akan menghabur-hamburkan beras sebagai wujud kegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara, keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si Sakit. Kehidupan masyarakat Bajo pelaksanaan Tradisi Duata tidak terbatas pada prosesi pengobatan tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Tradisi ini juga dilakukan untuk memberikan penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Janggo atau Mbi Gulli.

You might also like