You are on page 1of 6

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Luka bakar merupakan salah satu kasus yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh American Burn Association terhadap rumah sakit, pusat pelayanan swasta, dan tempat praktek dokter pada tahun 2000-2004 didapatkan rata-rata jumlah penderita luka bakar yang dirawat di instalasi kesehatan mencapai angka 500.000 orang per tahun (Wibisono, 2008). Kasus luka bakar juga merupakan penyabab kematian ketiga akibat kecelakaan setelah

kecelakaan kendaraan bermotor di Amerika (Azhari, 2012). Data lain dari WHO Global Burden of Disease pada tahun 2004 menyatakan bahwa lebih dari 310.000 orang meninggal akibat luka bakar, di antaranya 30% berada di bawah usia 20 tahun (World Report On Child Injury Prevention, 2008). Dampak yang ditimbulkan dari luka bakar dapat merusak berbagai lapisan kulit, dari epidermis, dermis, jaringan subkutan bahkan sampai jaringan yang lebih dalam. Peningkatan kerusakan jaringan akan diikuti dengan meningkatkatnya produksi Reaktif Oksigen Spesies (ROS) dalam jaringan (Kusmaningtyas, 2008). Pembentukan radikal bebas

mengimplikasikan adanya penyakit seperti inflamasi atau gangguan sistem imun. Radikal bebas yang diproduksi dalam jumlah normal sesungguhnya penting untuk menjaga fungsi biologis, namun jika jumlahnya berlebihan ia akan mencari pasangan elektronnya dengan merampas secara radikal dari molekul lain yang mengakibatkan kerusakan oksidatif jaringan yang sering dikenal sebagai stres oksidatif (Kusmaningtyas, 2008). Pembentukan ROS

dalam sistem biologis dapat menimbulkan kerusakan seperti peroksidasi lipid membran, kerusakan oksidatif pada asam nukleat dan karbohidrat, oksidasi sulfidril dan 2008). kelompok Peningkatan protein jumlah lainnya radikal yang bebas rentan akan

(Kusmaningtyas,

menyebabkan antioksidan endogen tidak akan mampu lagi melumpuhkan secara efektif sehingga harus ada tambahan antioksidan dari luar (eksogen) yang berasal dari bahan makanan. Penggunaan bahan-bahan alami semakin digemari oleh

masyarakat dengan adanya trend back to nature. Masyarakat menengah ke bawah banyak menggunakan bahan-bahan dari alam terutama dalam dalam upaya preventif, promotif, dan rehabilitatif untuk menanggulangi berbagai penyakit (Maulida, 2010). Kedelai adalah salah satu bahan alam yang mudah didapat di sekitar kita dan telah banyak diolah oleh masyarakat dalam berbagai bentuk seperti susu, tahu, kecap dan tempe, selain itu kedelai juga memiliki manfaat yang sangat besar dalam penyembuhan luka bakar. Riset pendahuluan yang telah dilakukan menunjukkan adanya penurunan tanda inflamasi eritematous luka bakar derajat II pada hari ketiga dan kelima pengamatan (Kusumawati, 2010). Komponen penting kedelai yang berperan penting dalam

penyembuhan luka bakar adalah Isoflavon.

Isoflavon adalah sejenis

phytonutrient yang merupakan komponen bioaktif pada kedelai yang banyak terdapat dalam kacang kedelai dan produk kacang kedelai itu sendiri (Darma et al, 2008). Isoflavon terdiri dari 2 jenis, yaitu Daidzein dan Genistein (Darma et al, 2008), sebagai salah satu golongan flavonoid, isoflavon diketahui juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan

mencegah peroksidasi lipid dengan cara menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kusumaingtyas, 2008). Kerusakan jaringan yang terus berlanjut juga dapat menyebabkan nyeri sehingga kadar endorfin yang disekresi kelenjar pituitari meningkat dan mensupresi makrofag (Triyono, 2005), dimana makrofag di sini berperan penting dalam fagositosis serta pelepasan faktor pertumbuhan dan substansi lain yang mengawali dan mempercepat proses penyembuhan luka. Isoflavon dapat mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut akibat adanya ROS sehingga dapat memaksimalkan penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka bakar pada umumnya dibagi atas beberapa fase yang masing-masing saling berkaitan yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi dimana ketiganya melibatkan komponen selular, humoral dan unsur jaringan ikat (Prabakti, 2005). Makrofag merupakan komponen kunci dalam proses penyembuhan luka bakar. Pada fase inflamasi makrofag memiliki peran utama dalam pembersihan luka yakni mampu memfagositosis sampai 100 bakteri dibandingkan dengan polimorfonuklear yang lain seperti netrofil yang hanya dapat

memfagositosis 5 sampai 20 bakteri sebelum sel netrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati, selain itu makrofag juga memiliki kemampuan untuk memfagositosis partikel yang memiliki ukuran jauh lebih besar dari dirinya (Guyton dan Hall, 1997). Makrofag memiliki umur yang panjang dalam jaringan dibandingkan dengan komponen sel yang lain yaitu berbulanbulan bahkan bertahun-tahun (Guyton dan Hall, 1997). Pemanjangan fase inflamasi akan meningkatkan aktifitas fibroblas yang berakibat pada pembentukan parut yang lebih besar (Resha, 2012). Selanjutnya makrofag

akan melepas faktor pertumbuhan dan substansi lain yang mengawali dan mempercepat pembentukan formasi jaringan granulasi pada tahap proliferasi seperti EGF, TGF-, TGF-, PDGF, FGF, IGF-1, TNF- , IL 1, IL 6 dan IL 8 (Robbins dan Cotran, 2008). Berdasarkan studi terdahulu tentang potensi kedelai (Glycin max) untuk penyembuhan luka bakar serta mengingat akan keutamaan peran makrofag dalam penyembuhan luka bakar, maka akan sangat bermanfaat jika dilakukan penelitian eksperimental mengenai pengaruh kedelai terhadap makrofag, terutama pada penurunan jumlah makrofag pada luka bakar derajat 2.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ekstrak etanol kedelai (Glycine Max) berpengaruh terhadap penurunan jumlah makrofag pada perawatan luka bakar derajat II pada pada Tikus (Rattus novergicus) Galur Wistar

1.3

Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak etanol kedelai glycin max terhadap penurunan jumlah makrofag pada luka bakar derajat II

1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi pengaruh ekstrak etanol kedelai (Glycine Max) terhadap penurunan jumlah makrofag pada perawatan luka bakar derajat II pada Tikus (Rattus novergicus) Galur Wistar pada konsentrasi 40%, 60% dan 80%. 2. Mengidentifikasi perawatan luka bakar derajat II pada Tikus (Rattus novergicus) Galur Wistar menggunakan Normal Salin 0,9% terhadap penurunan jumlah makrofag. 3. Membandingkan perawatan luka bakar derajat II pada Tikus (Rattus novergicus) Galur Wistar menggunakan ekstrak etanol kedelai (Glycine Max) pada konsentrasi 40%, 60%, 80% dan Normal Salin 0,9% terhadap penurunan jumlah makrofag.

1.4

Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi masyarakat Memberi penjelasan ilmiah mengenai penggunaan ekstrak etanol kedelai dalam merawat luka bakar, khususnya luka bakar derajat II. 1.4.2 Bagi profesi keperawatan Mengembangkan asuhan keperawatan dan mendorong dalam mengembangkan berbagai sistem pendukung yang dapat membantu perawat dalam melakukan intervensi keperawatan. 1.4.3 Bagi pendidikan 1. Sebagai pengembangan keilmuan dalam asuhan kepearawatan luka bakar.

2. Sebagai dasar riset lebih lanjut dalam pengembangan balutan dan perawatan luka

You might also like