You are on page 1of 4

Kesimpulan:

Kemandirian masyarakat di Kabupaten Rote Ndao dari sisi knowledge masih rendah menginggat bahwa sebagian besar masyarakat menggangap bahwa penyakit TB paru merupakan penyakit keturunan dan tidak menular. Kemampuan/capacity untuk masyarakat masih sangat kurang, belum ada gerakan masyarakat dan kader karena masyarakat lebih percaya pada petugas kesehatan yang memberikan penyuluhan. Belum ada fasilitasi secara langsung pada peningkatan kemampuan masyarakat sebagai tenaga penyuluh atau kader kesehatan, PMO juga belum terdapat di Kabupaten Ndao karena jarak antar rumah yang jauh. Partisipasi masyarakat dalam berbagai wadah atau kelompok baru terlaksana pada kegiatan LSM, gereja, Muhammadiyah. Beberapa LSM inilah yang telah memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru pada masyarakat. . Masih diperlukan partisipatori dari berbagai LSM yang lainnya, lintas sektor untuk secara terpadu melakukan upaya preventif, promotif penanggulangan penyakit TB paru seperti kementerian perumahan, kementerian sosial dan kementerian pendidikan dengan memberikan sosialisasi pada masyarakat pentingnya perilaku pencegahan penularan. Diskusi:
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Informan: Penderita TB Paru Gambar grafik 1 di bawah ini akan memberikan suatu penjelasan karak teristik informan pada penderita TB paru dari hasil observasi partisipatori dan wawancara mendalam sebagai berikut:
Grafik 1. Persentase Perilaku Hidup Bersih Sehat Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil Observasi Partisipatori Tahun 2011

Grafik 1.

Persentase Kondisi Lingkungan Rumah Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil Observasi Partisipatori Tahun 2011.

Berdasarkan gambar grafik di atas tampak bahwa 52% kondisi lingkungan rumah penderita TB paru berlantai tanah didominasi rumah di kabupaten Rote Ndao. Sedangkan kebiasaan masyarakat dalam membuka jendela di kabupaten Rote Ndao 67% informan. Keluarga penderita TB paru di kabupaten lombok barat dan kota Pariaman mempunyai kebiasaan

membuka jendela prevalensi di bawah 35%, namun tidak ada rumah yang berlantai tanah. Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk), faktor lingkungan yaitu ventilasi, kepadatan hunian, faktor perilaku, kesehatan perumahan, lama kontak dan kosentrasi kuman. (Depkes RI, 2007). Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan penyakit. Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman, karena sinar ultraviolet dapat mematikan kuman dan vent ilasi yang baik menyebabkan pertukaran udara sehingga mengurangi kosentrasi kuman.

Beberapa hasil wawancara mendalam pada keluarga penderita TB paru berdasarkan upaya kemandirian masyarakat dalam upaya pencegahan penularan TB paru dapat digambarkan pada tabel 1. Berdasarkan tabel di atas tampaknya bahwa peran ser ta masyarakat melalui kelompok LSM Asyah telah difasilitasi oleh pemerintah melalui Dinas kesehatan dalam peningkatan capacity building dengan berperan aktif dalam pencarian dahak pada masyarakat yang mempunyai gejala menderita TB paru dengan mengambil dahak pot sputum pada masyarakat, namun permasalahan yang ada masih ditemui kendala kurang tersedianya pot sputum yang tersedia, sehingga tidak dapat menemukan secara aktif penderita TB paru di masyarakat. Dari sisi knowledge masyarakat persepsi penyebab penyakit TB paru yang sebagian besar informan masih mempunyai persepsi bahwa penyebab penyakit TB karena faktor kena santet, keturunan. Hal ini dapat menyebabkan semakin meningkatnya penularan penyakit TB paru di masyarakat. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan konsep Moeljarto Tjokrowinoto dan Pratiwi NL, tahun 2010, juga memberikan deskripsi mengenai indikator kemandirian masyarakat: Pertama, prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri. Masyarakat yang mampu mengambil keputusan tentunya masyarakat yang mempunyai bekal pengetahuan tentang penyakit TB paru dan penyebabnya. Kedua, fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika memang yang diperlukan adalah PMO dari keluarga terdekat yang sesuai struktur sosial yang ada di masyarakat, penunjukan PMO bagi penderita TB paru sangat berperan dalam mensukseskan penyembuhan penderita sekaligus mencegah penularan. Apa yang terjadi pada saat ini, arus dana yang relatif lancar membatasi upaya untuk mengidentifikasi dan menggali sumber itu. Counter fund bantuan desa, dan akhirakhir ini "desa siaga", mungkin menuju ke arah identifikasi dan mobilisasi sumber apabila tidak memungkinkan PMO dari keluarga terdekat PMO dapat ditunjuk kader atau bidan desa terdekat. Akan tetapi hal ini tidak boleh melupakan adhocracy, akan tetapi harus melembaga; Ketiga, pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya flexible menyesuaikan dengan kondisi lokal, dan struktur sosial masyarakat sehingga timbul rasa kepercayaan masyarakat dan petugas kesehatan secara timbal balik. Keempat, di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar, bagaimana masyarakat berpartisipasi aktif dalam pencegahan penularan penyakit TB paru di masyarakat. Kelima, proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal (Friedman, et al., 2008).

You might also like