Professional Documents
Culture Documents
TERAPI OKSIGEN
Anna Uyainah Z.N.
PENDAHULUAN
Sejak penemuan penting mengenai molekul oksigen oleh Joseph Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses pernapasan oleh Lavoisier, oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam perawatan
Agar pemberian oksigen aman dan efektif diperlukan pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek
MEKANISME HIPOKSIA
pemberian oksigen pada pasien dengan penyakit paru membawa dampak meningkahrya jumlah perawatan pasien.
di awal tahun
1960-an
memperlihatkan adanya bukti membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen Therapy ?lal (NOTT), pemberian oksigen selama
12 jam atau24jam sehari selama 6 bulan dapat memperbaiki
Berdasarkan mekanismenya, penyebab hipoksia jaringan dibagi dalam 3 kategori, yaitu: 1). Hipoksemia artei, 2). Berkurangnya aliran oksigen karena adanya kegagalan transport tanpa adanya hipoksemia arleri, dan 3). Penggunaan oksigen yang berlebihan dijaringan.
Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolisme selular terganggu dan
mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular, hematologi, dan resplrasl.
meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi
hipertensi pulmonal, memperbaiki metabolisme otot, dan diperkirakan dapat memperbaiki impotensi. Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur
terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di rumah. Pengembangan oksigen rawat jalan dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit.
Walaupun pada hipoksemia biasanya berhubungan dengan rendahny aP aO ry an1merupakan gangguan fungsi
disebabkan oleh kelainan sistem kardiovaskular ataupun
161
.162
Sistem
Respirasi
Gejala dan Tanda-tanda Sesak napas, sianosis Curah jantung meningkat, palpitasi, takikardia, aritmia, hipotensi, angrna, vasodilatasi, syok Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai, bingung, eforia, delirium, gelisah, edema papil, koma Lemah, tremor, hiperrefleks, incoordination Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat
Kardiovaskular
Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien PPOK dengan konsentrasi oksigen yang tepat dapat mengurangi sesak napas saat aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan beraktivitas dan dapat
memperbaiki kualitas hidup.
SistEm saraf
pusat
Manfaat lain terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas latihan, kor pulmonal,
menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiahik, mengurangi hipertensi pulmonal, memperbaiki metabolisme otot dan diperkirakan dapat memperbaiki impotensi.
Neuromuskular Metabolik
berupa perubahan status mental,lbersikap labil, pusing, dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aitmia. Sianosis
sering dianggap sebagai tanda hipoksia, namun hal ini hanya dapat dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.
pasien benar-benar membutuhkan oksigen , apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek (short-term
o xy g
en
th
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse oxymetty) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang darig0o/o diperkirakan hipoksia, dan
membutuhkan oksigen.
term oxygen therapy). Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan
hipoksemia akut, di arrtaranya pneumonia, PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan dengan adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacattetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus dibenkan dengan FiO, 60- 100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan
digunakan adalah pemeriksaan PaO, arteri atau saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan invasif yaitu analisis gas darah arteri ataupun noninvasif yaitl pulse oximetry (dengan menjepitkan alat oksimetri pada ujung jari atau daun telinga). Pada pemeriksaan analisis gas darah,
PCO2, saturasi oksigen dan parameter lain. Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen melalui oksimetri
ini tidak cukup untuk mendeteksi hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaOr> 60mmH gatauPaOr<60 mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidakbisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigenjangka
panjang, namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk evaluasi kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan memastikan dosis
oksigen bagi pasien yang menggunakan oksigen di rumah.
MANFAATTERAPIOKSIGEN
Tujuan terapi oksigen adaiah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan meminimalkan asidosis respiratorik.
lndikasi yang sudah direkomendasi Hipoksemia akut (PaOz < 60 mmHg; SaO2 < 90%) Henti jantung dan henti napas Hipotensi (Tekanan darah sistolik < 100 mmHg) Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18 mmol/L) Respiratory disfress (frekuensi pernapasan > 24lmin) lndikasi yang masih dipertanyakan lnfark miokard tanpa komplikasi Sesak napas tanpa hipoksemia
TERAPIOKSIIGEN
163
oksigen jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa pemberian oksigen secara kontinyu selama 4 -8 minggu menurunkan hematokrit,
memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar. Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka panjang (long-term oxygen therapy I UIOT) dapat meningkatkan jangka hidup sekitar enam
sampai tujuh tahun. Angka kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila oksigen diberikan lebih
Pemberian oksigen secara kontinyu PaOz istirahat < 55 mmHg atau saturasi oksigen < BB % PaOz istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89 % pada salah satu keadaan Edema yang disebabkan karena CHF P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mm pada lead ll, lll, aVF) Eritrosiiemia (hematokrit > 56 %) PaOz > 59 mmHg atau oksigen saturasi > 89% Pemberian oksigen tidak kontinyu Selama latihan : PaOz < 55 mmHg atau saturasi oksigen < BB% Selama tidur : PaOz < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88 Yo dengan komplikasi seperti hipertensi pulmoner' somnolen, dan aritmia
:
dari l2jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan. Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigenjangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adatya perbaikan dengan terapi oksigen jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasienhipoksemia (PaO, < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88 %) oksigen diberikan secara terus menerus 24 jam dalam sehari. Pasien dengan PaO, 56 -59 mmHg atau
saturasi oksigen 89%o, kor pulmonal atau polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang. Pada keadaan ini , awal pemberian oksigen harus dehgan konsentrasi rendah (PiOr24 - 28 %) dan dapat
lndikasi
PaOz < 55 mmHg or SaOz < 88% 9jYo
Pendapaian terapi
PaOz > 60mmHg atau SaO2 >
pulmonal
PaOz 55-59 mmHg atau SaOz > 89% Adanya P pulmonal pada EKG, hematokrit > 55% dan gagal jantung
kongestif lndikasi khusus Nocturnal hypoxemia Tidak ada hipoksemia saal istirahat, tetapi saturasi menurun selama latihan atau tidur
disesuaikansaat latihan
. .
lebih atau sama dengan 60 mmHg dantidakmempunyai hipoksia kronik. Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang buruk dan dapat meningkatkan risiko
kebakaran. Pasien yang tidak menerima terapi adekuat
40%o
pasiet yang
TEKNIK PEMBERIAN OKSIGEN
Cara pemberian oksigen dlbagi 2jenis yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Alat oksigen arus rendah di antaranya kanul nasal, topeng oksigen, r e s erv o ir m as k, katetet tr atstracheal, dan
mendapat terapi oksigen mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen oksigen.
KONTRAINDIKASI
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada : . Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama dispneu, tetapi dengan PaO,
simple mask. Alat oksigen arus tinggi di antaranya venturi mask dan res ert,oir nebulizer blenders.
764
pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40Ll menit oksigen melalui mask,yangumumnya cukup unfuk total kebutuhan respirasi. Dengan penggunaan mask ini
tidak mempengaruhi FiOr. Dua indikasi klinis untukpenggunaan oksigen dengan
di
mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki efi siensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, di attaranya electronic demand
FiO,
devices, reservoir nasal canulas, dan transtracheal cathethers, dan dibandingkan dengan kanul nasal konvensional, alat- alat tersebut lebih efektif dan efi sien.
Electronic demand devices. Secara komersial dibuat dengan perbedaan dalam hal waktu, frekuensi, dan volume.
ini menunjukkan
penghematan oksigen 50 - 86%. Salah satu kerugiannya adalahbunyi yang gaduh dari alat ini.
Reservoir nasal canulas. Alat ini dapat mengurangi penggunaan oksigen 50- 15%. Namun kerugian
penggunaan alat ini adalah tidak nyaman bagi pasien di antaranya harus bernapas dengan cara bibir dikatup.
dapat mencapai 3-5 L/menit. Concentrators merupakan sistem pemberian oksigen yang paling hemat biaya.
Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara langsung melalui kateter ke dalam fiakea. Oksigen transtrakeal dapat meningkatkan kesetiaan pasien
menggnnakan oksigen secara kontinyu selama 24 jam, dan
Fio, (%)
1Um
24
aa
2Ll
3L/m
4Llm
5L/m 6L/m
Transtrakeal
32 36 40 44
0,5-41lm
Mask Oksigen
24-40
40 50 60 60 70 80 90 >99
60-'100
5-6Um
6-7Um
7-8 L/ m
Mask dengan kantong reservorr
6L/m
7Ll
m
8L/m 9L/m
'10 L/ m
6Um
9 L/m
12Llm
15 Um
40 40 50
TERAPIOKSIGEN
165
KESIMPULAN
Terapi oksigen merupakan sistem pengobatan yang telah dikenal sejak lama, dapat diberikan pada pasien-pasien
perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti
indikasi pemberian oksigen, tehnik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan dan lamanya oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu dievaluasi melalui pemeriksaan analisis gas darah atau dengan oksimetri, sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan mencegah terjadinya retensi COr.
REFERENSI
Bames PJ. Chronic obstructive pulmonary disease. New Eng J Med.
dada
2000:343; 4:269-280.
Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 2003;168:1021 -2. Celli B.R., MacNee W, and Committee members. Standard for the diagnosis and treatment of patients with COPD Eur Respir J. 2OO4:23;932-46. Emtner M, Porszasz J, Burns M, et all. Benefits of supplemental oxygen in exercise training in nonhypoxemic chronic obstructive pulmonary disease patients. Am J Respir Crit Care Med.
substernal, takipnu, dan batuk yang tidak produktif. Karena untuk deteksi toksisitas oksigen tidak mudah, maka perlu dilakukan pencegahan timbulnya toksisitas oksigen dengan cara pemberian oksigen harus dilakukan
Menggunakan suplemen oksigen berisiko terhadap api, oleh karena itu hindari merokok, dan tabung harus diyakinkan aman agar tidakjatuh dan meledak.
- l.
2003;168:1034-42.
Michael F. Beers. Oxygen therapy and pulmonary oxygen toxicity. In: Fishman AP, ed. 3'd ed. Fishman's pulmonary diseases and
23
DUKUNGAN VENTILATOR MEKANIK
Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Amin
PENDAHULUAN Ventilator adalah suatu sistem alat bantuan hidup yang dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang normal. Tujuan utama pemberian
dukungan ventilator mekanik adalah untuk mengembalikan
hendaknya mudah untuk mengontrol konsentrasi oksigen, volume tidal, frekuensi napas serta yang terpenting adalah yang dikuasai oleh operator mesin
ventilator. Ventilator juga sebaiknya diperlengkapi alarm untuk diskoneksi tipe ventilator mendadak' batas pressure, dan volume eksPirasi.
fungsi normal pertukaran udara dan memperbaiki fungsi pemapasan kembali ke keadaan normal. Ventilator mekanik dibagi menjadi dua, yaitu ventilator mekanik invasif dan ventilator mekanik non invasif
akibat tekanan negatif (hisapan) dari dalam paru karena paru dan rongga toraks mengembang. Ventilator tekanan negatif bekerja dengan mengembangkan rongga dada. Ventilator tipe ini saat ini sudah tidak digunakan lagi. Ventilator tekanan positif bekerja dengan menghembuskan udara melalui saluran napas ke dalam paru. Ventilator tipe inilah yang saat ini umum digunakan dan oleh karena itu tulisan ini akan lebih dibahas tentang
. . . . . . . . .
Menurunkan kebutuhan pemakaian oksigen sistemik danmiokard. Menurunkan tekanan intrakranial Menstabilkan dinding dada.
. .
Ventilatortekanan
negatif
Ventilator tekanan
positif
b. c.
Bear 2)
Time cycled devices (Siemens
mengkonsumsi oksigen berlebihan, dengan "positive usaha ini pressure mode" ventilator dapat
9008, e00c)
Ventilatorfrekuensi
tinggi
erpenuhi' dan penyampaian oksigen yang juga untuk digunakan Tekanan positif ventilator dapat
venti lators
c.
Ossilators
menstabilkan dinding dada pada keadaan fungsi bernap as terganggu seperti pada "Jlail chest".
r66
t67
Untuk dapat memahami berbagai modus/metode kerja ventilator harus dipahami dulu istilah-istilah initiation/
trigger, target/limit, dan cycle off (disingkat cycle). Trigger (initiulion) adalah pencetus awal inspirasi. Inisiatif atau pencetus awal inspirasi pada pernapasan dengan ventilator bisa berasal dari mesin (machine triggered / controlled breath) atau dari pasien sendiri Qtatient triggered/assisted breath). Jenis trigger yang dipakai pada suatu modus ventilator seringkali menjadi kata kedua dari nama modus tersebut, misalnya pada modus Volume C ontrolled Ventilation, Volume As sisted Vent ilation, dll. Kebanyakan ventilator dapat diatur untuk menghantarkan udara baik dengan cara terkontrol (mandatory I control
mode) maupun dengan cara bantuan (assist mode).
paru-pam mengembang. Hal ini mengakibatkan distribusi gas ke seluruh paru lebih homogen. Kerugiannya adalah pengantaran volume pada setiap respirasi tergantung pada
tidal dihantarkan dan diikuti pengeluaran udara secara pasif. Dasar daricara ini adalah gas dihantarkan dengan
pola aliran inspirasi yang konstan, mengakibatkan puncak tekanan yang ada dalam jalan napas lebih tinggi dari yang
Limit (larget)
adalah jenis batas pemberian udara inspirasi oleh ventilator. Ada dua jenis limit pada ventilator yang saat ini ada yaitu volume limited dan pressure limited. Padavolume limited, jumlah volume udara yang diberikan saat inspirasi oleh ventilator ditentukan oleh operator mesin,
sedangkan pada pressure targeted, operator menentukan besar tekanan yang diberikan pada saat inspirasi. Jenis target ini sering kali dipakai sebagai kata pertama pada nama
yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru (plateau pressure). Karena volume yang dihantarkan konstan, tekanan jalan napas berubah-ubah sesuai perubahan compliance paru dan resistensi jalan napas. Kerugian utama adalah tekanan jalan napas yang berlebihan akan mengakibatkan barotrauma. Pengawasan ketat dan pembatasan tekanan bermanfaat untuk menghindari masalah ini. Karena volume-cycled menjamin volume yang konstan, cara ini menjadi pilihan awal di unit gawat
darurat.
P ada
modus ventilator, seperti pada Pressure Support Ventilation, Vo lume Controll ed Ventil ation, dll.
Cycle/cycle off/cycling to exhalation adalah proses
perpindahan dari inspirasi ke ekspirasi. Proses cyclingbisa
ekspirasi bila mesin mendeteksi bahwa aliranudara inspirasi oleh pasien sudah menurun atau dianggap tidak adalagi
didasarkan atas waktu (time cycled), volume (volume cycled), tekanan (pressure cycled), atau besarnya aliran
oleh mesin. Cycling ini ada pada pasien yang bernapas spontan ata:u assisted-spontaneous breaths. Ambang di mana mesin m ergatggap flow inspirasi telah berhenti bisa didasarkan atas nilai flow yang absolut atau persentase dari peakJlow rate (mtmnya25%). Umumnya ambang ini sudah diset tetap oleh pembuat ventilator tetapi ada juga ventilator yang ambangnya dapat diubah-ubah. Bila ambang ini diturunkan makaberarti memperlama inspirasi
demikian pula sebaliknya.
dan akan terjadi proses ekspirasi. Cara menset waktu lamanya inspirasi adalah dengan menentukan jumlah napas dalam semenit (frekuensi) dan dilanjutkan dengan menentukan rasio inspirasi : ekspirasi (I:E ratio) dalam setiap napasnya. Caru lain menentukan lamanya inspirasi adalah dengan menentukan volume tidal disertai pola aliran(flow) inspirasi dan laju aliran tertinggi(peakflow rate).Yentllator jenis lama atau yang kecil, seperti ventilator unfuk transportasi, dioperasikan dengan cara time cycled.
Pada pressure-cycled, puncak tekanan inspirasi
CONTROLMODES
Padamodes ini inisiatifbemapas seluruhnya dikontrol oleh ventilator, alat menghantarkan volume tidal (volume r4asuk sekali napas) tanpa usaha napas dari pasien. Pada pasien
apnea atau pasien yang'peak airway pressure'rrya melebihi ventilator (asma) atau terbatas usaha napasnya atau yang pernapasannya cepat (>25 kali/menit) cara terkontrol ini adalah pilihan utama. Cara ini menjamin
penghantaran ventilasi yang sesuai setiap menit. Ada dua macam control mode yang bisa diberikan pada pasien, yaiht Volume Controlled Ventilation (VCV) dan Pressure
ditetapkan dan perbedaan tekanan antara ventilator dan paru-paru mengakibatkan pemompaan sampai puncak tekanan tercapai. Apabila puncak tekanan tercapai inspirasi akan berhenti diikuti katup ekspirasi akan terbuka dan pengeluaran udara secara pasifakan terjadi. Keuntungan utama dari pressure-cycled adalah deselerasi pola aliran inspirasi, di mana aliran inspirasi semakin berkurang saat
{68
machine triggered. Modus ini disebut juga controlled mechanical ventilation (CMV). Pada modus ini volume tidal umumnya dihantarkan dengan pola flow yang telah diatur sebelumnya sehingga merupakan volume cycled ata:: /low cycled, namun bisa pula ditambahkan pause setelah akhir inspirasi selama waktu tertentu sehingga merupakan time cycled. Karena volume tidal dan waktu inspirasi ditentukan mesin, maka untuk mencegah barotrauma, tidak boleh terjadi peningkatan tekanan jalan
Volume Assisted Ventilafion (VAV) Modus ifi adalah patient's triggered dan volume limited. Ventilator akan bekerja memb anf.t (as s isting) memberikan udara inspirasi bila mendeteksi usaha napas dari pasien. Modus ini disebut j.uga assisted mechanical ventilation. Besamya volume tidal yang diberikan ditentukan oleh mesin (volume limiteQ. Sama seperti VCV modus ini
memakai volume cycled atau /low cycled. Modus ini
diindikasikan pada pasien yang bemapas spontan namun tidak adekuat (selama masih cukup adekuat untuk terbaca oleh mesin). Berkebalikan dari VCY modus ini tidak boleh
diberikan pada pasien henti napas, dalam sedasi b erat atau
pelemas otot. Modus ini juga berbahaya pada pasien dengan hiperventilasi sentral karena akan meningkatkan volume semenit (VE), menyebabkan hipokarbia, alkalosis respirasi akut, hipokalemia dan aritmia.
P ressu re S u
Pressure Co ntro I led Ve nti I ati o n ( PCV) Pada modus ini mesin bekerja dengan machine
triggered, pressure targeted dan time cyled. Pada saat mesin secara otomatis memberikan napas, tekanan jalan napas segera mencapai peak airway pressure dan
Modus ini sering disingkat PS saja. Modus ini bekerja secara patient's trigerred, pressure targeted, flow cycled. Apabila pasien memicu mesin, mesin akan memberikan udara secara cepat sehingga tekanan jalan napas yang ditargetkan dicapai. Seperti halnya pada
PCV, apabila PEEP digunakan lebih dari 0 mmHg, maka
modus ini dioperasikan dengan PEEP maka titik awal adalah 0 mmHg. Bila modus ini dioperasikan dengan positive end expiratorlt pressure (PEEP) maka titik awal tekanan adalah PEEP itu sendiri. Apabila PEEP digunakan, maka besarnya peak airway pressure adalah PEEP ditambah tekanan yang telah 'ditugaskan' (mandatory) pada mesin untuk diberikan. Karena modus ini didasarkan atas time cycled, ekspirasi hanya akan terjadi
peak airway pressure yang terjadi adalah PEEP ditambah nilai PS (besarnya tekanan maksimal yang dib erikan oleh me s in). S el anj utnya/ ow akarr disesuaikan terus untuk mempertahankan tekanan jalan napas
tersebut, sehingga selama pasien masih menarik napas (berarti pasien membuat tekanan negatif) maka mesin terus memberikan udara/tekanan. Apabila flow inspirasi
bila waktu inspirasi (Ti) habis. Apabila penurunan tekanan saat inspirasi telah mencapai titik awal sebelum Ti maka akan terjadi pause dt mana tekanan
jalan napas akan dipertahankan sampai waktu ekspirasi
tiba.
I nterm ittent M a ndatory Ventil ati on (lMVl Modus ini bukan murti controlled mode karena pasien juga bernapas spontan. Napas dari mesin dihantarkan setiap interval waktu tertentu (machine triggered), dan
pasien dapat melakukan pernapasan spontan di antara bantuan napas ventilator. Lebih tepat bila mode ini disebut sebagai VCV pada pasien bernapas spontan. Agar pasien dapat bernapas spontan, pada mesin harus dibuat memiliki aliran udara yang terus menerus walaupun mesin sedang tidak memberikan inspirasi.
Assisfed-co ntro I I ed
ve
inisiatif
Apabila inspirasi mesin terjadi saat pasien baru ekspirasi dapat muncul risiko barotrauma atau volutrauma. Oleh karena itu cara ini telah digantikan dengan synchronized IMV (SIMV).
inspirasi dari pasien dan menyediakan bantuan tekanan selama inspirasi. Pada mesin juga diset frekuensi napas
t69
PaCOrnya meningkat mendadak dan menimbulkan
asidosis.
e Assi sted -Co ntro I I ed Ve nti I ation (VACV) VACV sering disebut assist-control ventilation atat disingkat A/C saja. Modus ini adalah volume limited dan
Vo I u m
volume
time cycled. Pasien menginisiasi inspirasi seperti pada VAV namun frekuensi minimal sudah diatur di mesin sehingga bila pasien bernapas sangat lambat atau sangat lemah, modus ini akan menjadi VCV' Pada modus
ata:u
Hipoksemia
. .
Adanya 'shunt'(pada atelektasis, edema paru, pneumonia, emboliparu) Adanya ketidakimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) atau percampuran dar ena (pada asma dan PPOK) Adanya hipoventilasi dan peninggian tekanan PaCO2 (pada henti napas, gagal napas akut). Pada FiO, yang rendah, tekanan barometrik yang rendah,
ini setting frelttensi inpirasi terkontrol tidak boleh di bawah kebutuhan minimal pasien.
. .
. .
seperti pada VCV atau IMV. Usaha penyelarasan (synchronis ation) adalah untuk mengurangi barotrauma, yang mungkin timbul dengan cara IMV, ketika napas diantarkan kepada pasien yang sudah dalam keadaan
inspirasi maksimal atau sedang berusaha penuh untuk
ekspirasi.
Hiperkapnia
PaCOr> 55 dengan asidosis atau peningkatan PaCO, dari keadain awal yang disertai asidosis). Hal ini dapat terjadi
pada
Pilihan awal modus ventilasi (misalnya SIMV atauA/ C) tergantung dokter atau institusi yang bersangkutan. Ventilasi CMV, juga NC, adalah cara bantuan penuh di mana ventilator bisa mengambil alih seluruh usaha napas. Kedua cara ini bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan ventilasi semenit (VE) yang tinggi. Dukungan penuh, akan mengurangi kerja otot pernapasan (tvork of breathing) sehingga mengurangi konsumsi O, dan produksi CO, dari otot-otot pernapasan. Suatu kekurangan yang mungkin terdapat pada modus A/C pada pasien dengan penyakit sumbatan jalan napas adalah perburukan dari keadaan udara yang terperangkap (air trapping) dan napas yang berlumpukan (breath stacking). Ketika bantuan napas penuh diberikan pada pasien yang dilumpuhkan dengan blokade neuromuskular, tidak ada perbedaan antara VE pada berbagai cara ventilasi yang ada. Pada pasien apnoe, A/C dengan frekuensi napas 10 dan VT 500 ml mengantarkan VE yang sama dengan SIMV
dengan parameter yang sama. SIMV membutuhkan usaha napas lebih besar daripada A/C karena itu SIMV jarang dipakai sebagai modus awal ventilator.
Peningkatan beban kerja melebihi kapasitas keq'a karena Compliance yatgtertdah(ARDs, luka bakar daerah
. . .
dada, efusi pleura, obesitas, pneumonia) Resistensi yang tinggi (asma, PPOK, tumor atau sumbatan pada saluran naPas)
di otak
pada
overdosis obat dan sindrom hipoventilasi sentral Penyakit neuromuskular (miastenia gravis, sindrom Cuillain-Bane)
Atrofi otot
lama, steroid)
IN
TATA LAKSANA VE NTI LATO R Pada ventilator invasif, pasien mulanya harus diintubasi
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas.
tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK di mana
170
memperpanjang waktu ekspirasi pada penyakit sumbatan jalan napas. Dengan bantuan ventilasi, s ens it ivity diatur pada 1 -2 cm HrO. Bila ada kesulitan dengan oksigenasi, ventilasi atau
terjadi tekanan inspirasi tinggi berlebihan yang tak bisa
dikoreksi dengan berbagiai cara, maka untuk mensinkronkan pasien dengan alat boleh
dipertimbangkan pemakaian sedasi, analgesik atau ubah
pos1s1.
10-l2ml/kgBB, sedangkan beberapa kasus ARDS memerlukan volume tidal 5-8m1/kgBB, lebih baik
menghindari tekanan inspirasi saluran napas yang
tinggi.
Respiratory Rale (RR). Pilih frekuensi pernapasan yang sesuai dengan keadaan klinis pasien. Targetkan ke pH bukan saja PaCOr. Pernapasan yang terlalu cepat
Konsultasi kepada yang lebih berpengalaman untuk kasus/alat bersangkutan bila masih ada kesulitan.
)
ATURANMEMULAI PEEP Mulailah PEEP pada 5 cm HrO dan tingkatkan secara berlahap dengan 2-3 cm HrO. Efek rekruitment penuh mungkin belum muncul untuk beberapa jam. Monitor selalu tekanan darah, denyut jantung, PaO, saat menaikkan PEEP, dan pada interval waktu tertentu.
Ingat selalu efek buruk PEEP yaitu: barotrauma, hipotensi,
perhatikan efek dari intervensi ini. Lihat frekuensi napas pasien, atur laju pernapasan oleh mesin. Pasien yang
tetap takipnea setelah terpasang ventilasi mungkin memerlukan sedatif. Diazepam (2-5 mg iv) tiap 2 jam elektilpada keadaan ini.
Penting memonitor hasil pemeriksaan gas darah secara serial. Hasil ini sebagai dasar untuk mengubah seting ventilator. Mengingat pH normal adalah 7,40, P aCO rnormal
cairan ekstravaskular paru. Umumnya PEEP diatur secara fisiologis pada 3-5 cmHrO untuk mencegah
penumnan fungsi kapasitas residu paru. PEEP 6 - l0 cmH2O dipakai untuk mencegah atelektasis pasca bedah. Alasan peningkatan PEEP pada pasien dengan
40, dan PaO, normal sekitar 100. Maka kita perlu mengetahui data dasar analisis gas darah ini. Hal ini membantu untuk mengetahui nilai dasar, karena pasien dengan penyakit paru kronik mungkin merasa nyaman dengan Pa0, 50. Nilai normal ini merupakan target saat
mengatur seting ventilator.
VE ratio dan RR
Periksalah gas darah arterial 30-60 menit setiap setelah mengubah seting ventilator. Mengubah Pa0r. Pa0, dipengaruhi olehperubahanFI0, dan
PEEP. Berikan FI0, kurang dari 60% untuk menghindari efek
Inspiratory flow rates diatur pada 60 l/menit. Pengaturan ini dapat ditingkatkan sampai 100 l/menit untuk mengantarkan VT secara cepat dan
toksik oksigen.
'
17t
o"f
pengaturan FIOr. Setiap penurunan 1% FI0r, Pa0, akan turun 7. Contoh :jika Pa0r 380 pada FI0, 9}o/o,Dengantarget Pa0, 100, maka adalah aman untuk menurunkan FI0, dari 90% menjadi 50%(40 X 7:280). Jikapasien sudahpadaposisi FI0, rendah, maka bila PaO, tetap tinggi, PEEP dapat diturunkan. Direkomendasikan penurunan PEEP dengan tahapan 2cm Hr0, periksa hasil gas darah tiap saat sesudah pemrmnan tersebut. Turunkan PEEP pada level fisiologis 3-5 cm H20. Karena efek toksik oksigen, pasien dengan
Pa02 tinggi pertama-tama harus diturunkan FIO, nya barulah kemudianPEEP.
bedah faktor yang penting diperhatikan adalah rasa sakit sayatan akibat operasi mempengaruhi lama bantuan ventilator. Akibatnya pasien setelah laparotomi atau torakotomi (keduantr a sakit sayatan lebih lama) akan membutuhkan periode lebih panjang dalam intubasi dan ventilator dibanding yang disebabkan oleh median sternostomy (relatif kurang sakit). Parameter yang harus ada sebelum menyapih pasien adalah sebagai berikut:
1.
Pasien harus memperoleh oksigenasi yang adekuat (ditentukan oleh PaOr), pada PEEP fisiologis dan FI0, tidak lebih besar dari 500/o. Secara obyektif harus ditemukan Pa0, lebih besar dari 70 pada penurunan
secara serial PEEP 3-5 dan FIOr 40-50%.
b). PaO, rendah. Pasien dengan PaO, yang rendah, PEEP pada level hsiologis dapat meningkatkan Pa0, dengan hanya mengatur Fi0, sekitar 50-60%. Kemudian mulailah menaikkan PEEP pada kenaikan 2. Monitor efek tiap-tiap perubahan dengan memeriksa gas darah, apabila diperlukan PEEP >10
cm HrO maka kateter arteri pulmonalis perlu dipasang untuk memonitor efek dari penambahan PEEP, karena PEEP dapat
a.
b. c. 2.
Pa0r<60 memerlukan kembali pada level sebelum pemasangan alat bantu pernapasan. Pa0, 60-70 % memerlukan menunggu pada level
yang baru pada alat bantu pernapasan. Pa0, >70 diperkenankanuntukpenyapihan. Pasien harus memperoleh ventilasi adekuat (ditentukan oleh PaC0r) yang harus kurang dari 45 sebelum
ekstubasi. a. Sapihlah sampai frekuensi 2-4. hka gas darah tetap memperlihatkan ventilasi adekuat ( PaCO, rtormal) ubah seting ventilator ke CPAP (Continous Positive Airway Pressure). Perhatikan laju pernapasan
menurunkan aliran balik darah ke jantung dan mengakibatkan efek terbalik terhadap curah jantung.
Besarnya curah jantung bervariasi dari pasien ke pasien. atau pada pasien yang sama pada waktu yang berbeda.
pasien dengan baik. Jika pasien menjadi takipnu pada frekuensi rendah, atau setelah dengan seting
ke CPAP, maka penyapihan j angan diteruskan dulu. Jangan membiarkan pasien pada frekuensi ventila-
a. PaC0, tnggi. PaC0, tinggi menandakan hipoventilasi; jagalah volume tidal pada 10-15 ml,&gBB. Sesudah itu naikkan frekuensi untukmemperbaiki ventilasi semenit (\{E),
periksa efek tiap perubahan dengan analisis gas darah.
tor 2, atau CPAP terlalu lama setelah diputuskan penyapihan tidak diteruskan' Pernapasan melalui pipa endotrakeal tidak seperti pemapasan normal melalui mulut dan tidak tepat membiarkan pasien bernapas terlalu lama melalui tube. Walaupun
kebanyakan orang menggun akkan T-p iece sebelum ekstubasi, jika pasien bisa menerima CPAP pada 5 cm Hr0, maka sebetulnYa MenenfukankemamPuan
b.
PaCO, rendah. Menandakan adarrya ventilasi yang berlebihan dan biasanya diikuti oleh keadaan alkalosis. Jagalah volume tidal tidak lebih dari 15 ml&gBB. Turunkan frekuensi ventilator. Jika pasien takipnu pemberian sedatif atau paralisis mungkin diperlukan untuk mengontrol ventilasi. Perhatikan kemungkinan munculnya takipnu
b.
harus diperoleh parameter respirasi atau disebut juga faktor mekanik pemapasan, meliputi volume tidal (VT), negative inspiratory force (NIF) dan Wtal
Capacity (YC). Agar ekstubasi berjalan lancar maka, NIF harus 25 cm HrO atau lebih besar (lebih negatif). Volume tidal harus 400 pada ukuran dewasa normal.
(rate).Hal ini menunjukkan kelelahan karena kurangnya bantuan ventilasi dan hal ini
setelah penumnan frekuensi
3.
Prinsip umum untuk mengubah seting ventilator. a). Bila pasien memburuk baru lakukan intervensi. b). Mengubah FIO, selalu dibatasi kemungkinan keracunan oksigen. c). Mengubah VE dibatasi oleh kemungkinan penurunan PaC0, dengan akibat alkalosis. d). Mengubah PEEP dibatasi kemungkinan penurunan PaC0, dengan akibat alkalosis.
e). Mengubah PEEP dibatasi oleh kemungkinan penurunan
Mempersiapkan ekstubasi. a. Tentukan tingkat kesadaran, pasien harus sadar (bangun) dan kooperatif. Mintalah pasien untuk mengangkat kepalanya untuk memperlihatkan kekuatan yang adekuat dan kemampuan untuk mengikuti perintah.
b.
curah jantung.
Berikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat, Pa0, dan PaC0, harus mencukupi pada CPAP + 5 cm HrO dan FI0, tidak lebih dati 50o/o. Pernapasan mekanik
172
ml atau lebih
4.
tidak terkontrolnya pemapasan. Prosedur ekstubasi. Sebagai kunci ekstubasi yang sukses dijelaskan kepada pasien prosedur yang akan
c.
Frekuensi pernapasan harus 25 atau kurang. Tanda vital stabil atau tidak ada risiko aspirasi atau
besar.
penyapihan dari ventilator invasif. . Tingkat kesadaran stabil atau membaik . Tanda vital stabil . Frekuensi napas < 25lmenit . gas darah mendekati atau pada :
dilakukan
a.
P0r>7OmmHg
PC0r<5OmmHg
b.
endotrakeal
selang
Persyaratan
Kemungkinan perlu ventilasi mekanik
. .
pH < 7,35.
Kapasitas vital >15 ml/kg
Kapasitas vital
-l<-nik
V!,
K ro
+
Apneu
H
iperkapn
ia
mHg
Teruskan tera pi
Teruskan tera pi Penyakit paru akut PaCO, < 60 mmHg PaCO, > 60 mmHg
Fto,
Fail chest beral
1,0
ringan
mmHg
PaC0, < 4$
I
p16q
mmHg
stabil
PaCO,> 45 mmHg
Hemodinamik
Kesadlran baik
Lanjutkan terapi
[-----------l jelas
r
T.,.r.ki
l\.4
t.,,.pi
Bukan Pascasurgical
Kapasitas vital
>'1 0 ml/kg
By pass
YV
Bukan bypass
kard iopu lm ona ri
I
Sukar menelan
kardiopulmonari
rJi
Kelelahan lelas
+
Prosed ur surgical major
+
Teruskan terapi
Obesitas
Peninggiantekanan Asidosismetabolik
intrakranial
berat
Gambar
1.
173
'
c.
HrO
d. 5.
adalah pada fase ekshalasi yang akan membantu mencegah terhisapnya sekret yang ada di trakea ke paru. Ingat bahwa pipa berbentuk lengkung dan ikutilah lengkungan itu saat melePasnYa.
bantuan pernapasan di samping ventilator biarkanlah dalam waktu lama, dapat jam, waktu setiap karena pasien selama24
jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan menurun, disfungsi ventrikel kanan, dan pembesaran jantung fi.i. P"nr*nan curah jantung akrbat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien
hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan
volume cairan.
Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan penunrnan fungsi ginjal dengan penurunan
volume urin dan ekskresi natrium. Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu' Iskemia mukosa gaster dan perdarahan sekunder mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena lambung.
KOMPLIKASI
jalan napas
Manfaat alat ini adalah: efek samping akibat intubasi jalan napas atau efek samping trakeostomi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus
positive pressure.
untuk istirahat.
NIPPV disebut juga body ventilator (iron lung, pneumo
ventilator.Alat ini bekerja dengan menimbulkan tekanan negatif di sekeliling dada dan perut yang menghasilkan
pengembangan rongga dada sehingga udara terisap ke paru melalui mulut dan hidung. Saat tekanan sudah sama kembali dengan sekitarnya, maka secara pasif akibat elastic recoil parudan dinding dada akan terjadi ekspirasi'
Pada pneumo
Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan napas lebih lanjut. Tekanan jalan napas yang tinggi juga mengakibatkan
ventilator),mekanisme kerja justru sebaliknya; yaitu alat melakukan penekanan pada perut untuk ekspirasi aktif dan inspirasi terjadi secara pasif karena gravitasi. Pada rocking bed ventilator mekanisme kerjanya adalah
774
pengubahan posisi pasien dan akibat gravitasi akan membantu pergerakan pasif diafragma untuk inspirasi dan
ekspirasi.
Keuntungan
Mudah dipasang dan dipindah Lebih nyaman Mengurangi pemakaian sedatif Bisa sambil bicara/menelan /batuk
Keterbatasan
Stres psikis Peningkatan pengawasan perawatan Timbul hipoksemi saat dilepas Timbul iritasi mata Sulit higienis jalan napas Tak ada proteksi jalan napas Tak nyaman di muka Distensi lambung Terbatas kemampuan ventilasinya Tidak ada perlindungan udara
Non invasif positive pressure ventilators, mekanisme kerjanya adalah secara aktif membantu inpirasi dengan mengantarkan suatu volume tidal udara yang sudah diatur tekanannya. Teknik ini memungkinkan kita mengontrol ventilasi menyeluruh atau hanya membantu usaha napas spontan saja. Ekspirasi (ekshalasi) terjadi secara pasif
terhadap PEEP yang sudah diatur tekanannya atau terhadap tekanan atrnosfer.
REFERENSI
Dellinger RP. Mechanical ventilation. In : The ACCP pulmonary board review 1998-1999. Illinois. ACCP: 346-359. Gomella LG, Braen GR, Haist SA, Olding M. Fundamental of ventilator management. In:Clinicians pocket reference 6'h ed. California: Appleton&Lange; 1989.p.226-32. Marini JJ and Wheeler AP. Indications and option on mechanical ventilation. In: Critical care medicine, the essentials. 2'd,ed. Baltimore: Williams&Wilkins; 1997.p.1 16-35.
24
GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Parlindungan Siregar
INTRASEL
sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk' Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Volume cairan intrasel sebesar 60%o dari cairan tubuh total atau sebesar 36Yo dariberatbadan pada orang dewasa. Volume cairan ekstrasel sebesar 40%o dari cairan tubuh total atau sebesar 24o/o dariberat badan pada orang dewasa. Cairan ekstrasel dibagi dalam dua subkomparlemen yaitu cairan interstisium sebesar 30oh dari cairan tubuh total atau 1 80%
Tubuh
EKSTRASEL
intrasel dan langsung berhubungan dengan fungsi sel. Kation dalam cairan ekstrasel adalah natrium (kation utama) dan kalium, kalsium, magnesium. Untuk menj aga netralitas (elektronetral), di dalam cairan ekstrasel terdapat anionanion seperti klorida, bikarbonat dan albumin. Kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium dan sebagai anion utama adalah fosfat.
GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN Gangguan keseimbangan air dalam topik ini adalah ketidakseimbalgal a.ntara air yan'g masuk ke dalam dan air yang ke luar dari tubuh, ketidakseimbangan antara
cairan intra dan ekstrasel serta ketidakseimbangan antara
r75
L76
ini khususnya
antara intra dan ekstrasel atau antara interstisium dan intravaskular, sangat dipengaruhi oleh
osmolalitas atau oleh tekanan osmotik. Osmolalitas adalah perbandingan antara jumlah solut dan air. Solut-solut yang
mempengaruhi osmolalitas dalam tubuh adalah natrium, kalium, glukosa dan urea. Makin tinggi osmalilitas maka
makin tinggi tekanan osmotik. Urea mempengaruhi osmolalitas akan tetapi tidak berpengaruh terhadap
tekanan osmotik oleh karena urea memiliki kemampuan untuk menembus membran sel (lipid-soluble) betpirrdah bebas dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, sehingga
Dehidrasi. Dehidrasi adalah keadaan di mana berkurangnya volume air tanpa elektrolit (natrium) atau berkuran gnya a ir jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel. Akibatnya terjadi peningkatan natrium dalam ekstrasel sehingga cairan intrasel akan masuk ke ekstrasel (volume cairan intrasel berkurang). Dengan kata lain, dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40oh dari cairan yang hilang berasal
dari ekstrasel dan60%o berasal dari intrasel. Pada keadaan dehidrasi, akan terjadi hipernatremia karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang hipotonik. Dehidrasi dapat terjadi pada keadaan keluarnya
air rnelalui keringat, penguapan dari kulit, saluran intestinal, diabetes insipidus (sentral dan nefrogenik),
diuresis osmotik, yang kesemuanya disertai oleh rasa haus dengan gangguan akses cairan. Atau dapat terjadi bila cairan ekstrasel masuk ke intrasel secara berlebihan pada kejang hebat atau setelah melakukan latihan berat. Atau dapat terjadi bila asupan cairan natrium hipertonik yang berlebihan.
Berpindahnya cairat dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, dipengaruhi oleh perbedaan osmolalitas.
Cairan akan berpindah dari daerah yang osmolalitas lebih rendah ke daerah dengan osmolalitas lebih tinggi. Dalam keadaan normal maka osmolalitas cairan intrasel adalah sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel. Kandungan air di intrasel lebih banyak oleh karena jumlah kalium total dalam tubuh lebih besar dari jumlah natrium total dalam tubuh. Natrium, kalium, glukosa bebas berpindah antar interstisium dan intravaskular (plasma), sehingga ketiga osmol ini tidak berpengaruh terhadap perpindahan cairan dari intersisium ke dalam plasma atau sebaliknya. Protein dalam plasma yaitu albumin tidak mudah berpindah dari
pada gangguan fungsi ginjal berat (penyakit ginjal kronik stadium IV dan V atau pada gagal ginjal akut oligurik).
Ada beberapa keadaan yang dapat kita temukan dalam : 1). Hipovolemia, 2). Dehidrasi, 3 ). Hipervolemia, 4). Edema.
Aktivitas saraf simpatis, ADH yang erat kaitannya dengan baroreseptor di sinus-karotikus. d). Osmoreseptor di
hipotalamus.
Pada keadaan volume sirkulasi efektif yang rendah
ginjal akibat peningkatan sistem renin-angiotensinaldosteron. Akibat semua ini terjadi penimbunan air pada interstisium yang akan menimbulkan edema umum.
177
Di samping faktor-faktor penyebab edema diatas, ada faktor lain yang mencegah berlanjutnya penumpukan
cairan dalam jaringan interstisium (edema) yaitu aliran limfatik yang dapat menampung kelebihan cairan dalam
sebanyak duapertiganya ke cairan interstisium. Bila cairan keluar dari saluran intestinal (diare atau muntah), jenis cairan
pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer-laktat. Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh karena potensi terjadinya asidosis metabolik pada diare yang berat.
Dehidrasi
Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intrasel dan
ekstrasel secara bersamaan di mana 40oh dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan 60%o berasal dari intrasel.
Manifestasi klinis edema dapat berupa : edema paru, edema perifer misalnya pada tungkai, asites, bendungan pada vena setempat misalnya pada tungkai yang biasanya unilateral, bendungan vena dalam, edema 'pitting' pada
Hipernatremia pada pasien dengan hipovolemia, merupakan tanda klinis dehidrasi' Defisit cairan tubuh total ini dapat dihitung dengan rumus
:
hipotiroid. DefisitCairan
PENANGGUI-ANGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN
Untuk koreksi cairan, jenis cairan yang diberikan adalah cairan dekstrosa isotonik. Volume cairan yang dibutuhkan sesuai dengan perhitungan rumus di atas ditambah dengan
Hipovolemia
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi
keadaan ini yaitu menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairat yang hilang dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan
'insensible water losses' volume urin24 jam | volume cairan yang keluar melalui saluran cerna. 'Insensible water
yang hilang berasal dari cairan ekstrasel (intravaskular dan interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan yang isotonik. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan
losses' sebanyak + 40 ml/jam. Cairan dapat diberikan intravena atau oral bila pasien sadar. Kecepatan prirberian cairan harus tidak menimbulkan penurunan kadar natrium plasma > 0,5 meq/jam. Sebagai contoh bila kadar Na-plasma diturunkan dari 160 menuju 140, maka kecepatan pernberian cairan adalah selama 40 jam (20 dlbagl 0,5). Bila berat pasien ini adalah 60 kg, maka defisit cairan sebesar 0,4 x 60
- l):3,43 L. Bila insensible /oss sebesar 960 ml dan volume ur in I 500 mll 24j am, maka volume ca iran yang dibutuhkan sebesar 3,43 + 0,96 + 1,5 5,89 Liter. Jumlah cairan ini diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 liter/jam.
(160ll4O
Hipervolemia
Hipervolemia (volume overloaQ, volume intravaskular yang meningkat, pada kegagalan otot jantung dan penurunan fungsi ginjal dapat menimbulkan edema paru' Penganggulangan yang dilakukan dalam hal ini adalah
pemberian diuretik kuat, furosemid, serta restriksi asupan air. Asupan air yang dianjurkan hanya sebanyak'insensiblewater losses' yaitu + 40 mVjam. Pasien dengan gagal
volume plasma. Gejala klinis yang timbul adalah penurunan tekanan darah, takikardia, oliguria, agitasi, pikiran kacau. Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6olo dari berat badan pada orang dewasa. Sebagai contoh, deplesi volume rhgan (2Ooh) pada orang dewasa seberat 60 kg, volume cairan yang hilang sebesar 20oh dati 3,6 liter adalah 0,72liter (720 ml). Kecepatan pemberian cairan tergantung pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang berat, kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan tekanan darah. Jenis cairan yang diberikan tergantung dari cairan yang ke luar. Bila pendarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam
ginjal akut atau gagalginjal terminal dengan hipervolemia memerlukan dialisis untuk penanggulangannya' Pasien dengan polidipsia primer, asupan air melebihi kemampuan pengeluaran melalui ginjal dan kulit, akan menimbulkan
gejala akibat hiponatremia. Penanggulangan pada keadaan ini adalah dengan restriksi asupan air serta mengatasi gejala akibat hiponatremia akut bila ada.
178
memperbaiki penyakit dasar bila mungkin, restriksi asupan natrium untuk minimalisasi retensi air, pemberian diuretik.
laju filtrasi
glomerulus dan pada deplesi volume (hipovolemia) serta asupan natrium yang rendah akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus. Perubahan perubahan yang terjadi pada laju filtrasi glomerulus akan mempengaruhi reabsorbsi natrium di tubulus (glomerulotubular balance).
Sebanyak 60% -65o/o
natitmyang
berkurangnya perfusi j aringan. Berkurangnya perfusi jaringan, dalam klinik dapat dinilai dari kenaikan ureum
dan kreatinin.
di tubulus proksimal, 25%-30% di 'loop of Henle',5% di tubulus distal dan 4% di duktus koligentes. Reabsorbsi di tubulus proksimal dan duktus koligentes tergantung pada kebutuhan tubuh yang diatur oleh faktor neurohumoral (angiotensin-Il dan norepinefrin di tubulus proksimal dan aldosteron di duktus koligentes). Reabsorbsi di lengkung-Henle dan tubulus distal tergantung dari
jumlah natrium yang ada dalam filtrat di tubulus atau disebut juga tergantung banyaknya jumlah filtrat.
Reabsorbsi natrium di tingkat sel tubulus proksimal dimulai dari aktivitas pompa NaK-AIPase di membran basolateral
refe
Pada edema umum akibat gagal jantung, sindrom nefrotik, retensi natrium primer, bila dilakukan pemberian diuretik, mobilisasi cairan edema dapat berlangsung cepat sehingga pengeluaran cairan edema sebanyak 2-3 liter dalam 24 jam tidak akan mengurangi perfusi jaringan. Berbeda dengan pengeluaran cairan asites, mobilisasi cairan asites masuk ke intravaskular berlangsung lambat sehingga bila diberikan diuretik kuat untuk mengurangi
sel tubulus sehingga menimbulkan gradien elektrokimia sehingga memudahkan masuknya natrium secara pasif dalam bentuk solut kotranspor dengan glukosa, asamamino, fosfat yang dihantarkan oleh protein pembawa (carrier) masuk menembus membran-sel dan juga melalui antiport Na-H (reabsorbsi natrium dan sekresi ion-H).
GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan natrium yang terjadi dalam
tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu pengatur : . Kadar natrium yang sudah tetap pada batas terlentu (Set-Point) . Keseimbangat arlltara natrium yang masuk dan yang keluar (Steady-State) Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan
Reabsorbsi natrium di lengkung-Henle asending, dilakukan oleh proses elektronetral melalui kontranspor NaK2Cl. Bila Na di reabsorbsi, maka absorbsi Cl akan terhalang sebaliknya bila Cl di reabsorbsi maka reabsorbsi Na terhalang dan bila K diareabsorbsi maka reabsorbsi Na dan Cl terhalang. Kalium yang direabsorbsi akan kembali masuk ke dalam lumen melalui saluran-K yang ada di membran sel bagian lumen, sehingga membuat lumen menjadi elektropositif dan mendorong Na masuk dari lumen ke dalam sel. Natrium yang masuk ke dalam sel akan dikeluarkan dari sel masuk ke dalam sirkulasi dengan bantuan pompa NaK-ATPase di membran basolateral di mana akan ke luar 3 Na dan masuk 2 K. Kalium yang masuk kemudian di keluarkan ke dalam lumen melalui
saluran-K di membran sel. Cl yang direabsorbsi, kemudian
mempengaruhi kadar hormon terkait seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem RAA (renin angiotensin aldosteron), atrial natriuretic peptide (AI\P), brain
ke luar dan masuk dalam sirkulasi melalui saluran Cl di mernbran basolateral. Keluarnya kalium ke dalam lumen dan keluarnya natrium ke dalam sirkulasi membuat sel menjadi elektronegatif dan lumen menjadi elektropositif sehingga memudahkan natrium masuk ke dalam sel dari lumen lengkung-Henle asending. Reabsorbsi natrium di tubulus distal, dilakukan oleh proses elektronetral melalui kotranspor Na-Cl. Di dalam sel, natrium dikeluarkan melalui membran basolateral oleh pompa NaKAIPase ke dalam sirkulasi dan Cl keluar dari sel pada membran basolataeral melalui saluran Cl. Pompa
179
NaK-AIPase juga membuat agar sel menjadi elektronegatif sehingga mendorong Na masuk ke dalam sel melalui kotranspor Na-Cl. Reabsorbsi Na di duktus koligentes, terjadi di bagian korteks duktus koligentes dan di medulla dalam. Pada bagian korteks dilakukan melalui sel-prinsipal. Reabsorbsi natrium di sel-prinsipal bagian korteks duktus koligentes bersifat elektrogenik yang memungkinkan kadar natrium dalam lumen turun sampai kurang dari 5 meq/L pada keadaan hipovolemi. Sifat elektrogenik ini menyebabkan
lebih rendah dibanding dengan asupan cairan yang menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau
tinggi.
muatan dalam lumen menjadi negatif sehingga memungkinkan terjadinya reabsorbsi pasif Cl melalui jalur paraselular dan juga memungkinkan terjadinya sekresi K
ke dalam lumen melalui saluran-K yang peka aldosteron
Pemberian cairan isoosmotik tidak mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma
normal. Pseudohiponatremia, padakeadaanhiperlipidemia
pada membran sel bagian lumen. Aldosteron sangat berperan dalam proses transpor natrium dengan meningkatkan jumlah saluran natrium di bagian apikal membran sel prinsipal duktus koligentes. Lumen yang bermuatan negatif ini dimungkinkan oleh pompa-NaKAIPase di bagian basolateral sel prinsipal, 3 Na keluar
dari sel masuk dalam sirkulasi dan 2 K masuk dalam sel
dan kemudian
1
atau hiperproteinemia di mana menyebabkan volume air plasma berkurang. Jumlah natrium
tetap,osmolalitas normal akan tetapi secara total
berkurang. Padakelompok-I (ADH meningkat) dapat dibagi dalam: Volume sirkulasi efektifturun. - Na keluar berlebihan dari tubuh. l). Melalui ginjal: diuretik aktt, renal salt wasting, muntah akut,
hipoaldosteron.
2).
Prostaglandin E2 dapat menghambat reabsorbsi natrium di sel prinsipal sebaliknya ADH meningkatkan reabsorbsi natrium di sel prinsipal dengan meningkatkan
jumlah saluran natrium.
diuretik lama, muntah lama. - Peningkatan volume air bebas elektrolit. l). Gagal jantung. 2). Sirosis Hati 3). Pendarahan 4). Adrenal insufisiensi 5. Hipotiroidisme 6.Hipoalbuminemia Volume sirkulasi efektiftidakturun. SIADH (Syndrome Inappropriate of ADH secretion)
melebihi kemampuan ekskresi, b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan
melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate ADHsecretion). Berdasarkan prinsip di atas maka hiponatremia dapat dikelompokkan atas : . HiponatremiadenganADHmeningkat - ADH yang meningkat oleh karena deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada : muntah, diare, pendarahan, jumlah urin meningkat, pada gagal
Di
dalam
dengan
masuk dalam kategori akut dan sebaliknya bila tidak dengan gejala berat maka hiponatremia masuk dalam
kategori kronik. Hal ini penting untuk diketahui sehubungan tindakan yang akan dilakukan bila ada
kej adian hiponatremia.
180
Penatalaksanaan
iponatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab terjadinya hiponatremia dengan cara : . Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah, penggunaan diuretis, penggunaan manitol) . Pemeriksaan fisis yang teliti (antara lain apakah ada tanda tanda hipovolemi atau bukan)
. . .
Pemeriksaan gula darah, lipid darah Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi) Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa BJ (berat jenis) urin (interpretasi terhadap adakah ADH yang meningkat atau tidak, gangguan pemekatan) Pemeriksaan natrium, kalium dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin.
sehingga kadamya kurang dai 25 meq,/L. Penambahannatrium yang melebihijumlah cairan dalam tubuh misalnya koreksi bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi deplesi
urin lebih dari 1 00 meq/L. Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya
pada latihan olahragayang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga meningkat dan air dai ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam waktu 5-15 menit
setelah istirahat.
. . .
kronik.
Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu dikenali (deplesi volume, dehidrasi, gagal jantung, gagal ginjal)
Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah mengalami hipematremia, karena respons haus yang timbul akan dijawab dengan asupan airyangmeningkat sehingga
Hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat dengan pemberian larutan natriun, hiperlonik intravena.
Kadar natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar natrium awal dalam wakhr I jam. Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L setiap I jam sampai kadar natrium darah mencapai 130 meq/L. Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam lamtan natrium hiperlonik yang diberikan adalah 0,5 x Berat Badan (kg) x deltaNa. Delta natrium adalah selisih
Dalam kaitan dengan hipernatremia, kita harus membedakan antara deplesi volume dengan dehidrasi. Deplesi volume adalah keluarnya air bersama natrium secara seimbang (isotonik) dari dalam tubuh. Dehidrasi adalah keluarnya air tanpa natrium (cairan hipotonik) dari
dalam tubuh yang mengakibatkan timbulnya hipematremia.
dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai adalah sama dengan di atas. Natrium yang
Gejala Klinis
Timbul pada keadan peningkatan natrium plasma secara akut hingga di atas 158 meqlL. Gejala yang ditimbulkan
akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar dari dalam sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan
HIPERNATREMIA
Respons fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaranADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran-air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes bertambah (osmolalitas urin tinggi). Hipernatremia terjadi bila : . Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit mel alui 'insensible
water loss' ataukeringat; osmotik diare akibatpemberian
pada vena menyebabkan perdarahan lokal di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas, twitching, kejang dan akhimya koma. Kenaikan akut di atas 180 meflL dapat menimbulkan kematian.
Penatalaksanaan Hipernatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia. Sebagian besar penyebab
181
hipernatremi a adalah defisit cairan tanpa elektrolit akibat koreksi airyang tidak cukup akan kehilangan cairan tanpa elektrolit melalui saluran cerna, urin, atau saluran napas.
hipovolemia akibat muntah. Kesemuanya ini akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan teqadi
hipokalemi. Pada saluran cema bawah, kalium keluar bersama bikarbonat (asidosis metabolik). Kalium dalam saluran cema bawah jumlahnya lebih banyak (20-50 meq/L). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat
normal. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin (desmopressin pada
diabetes insipidus sentral atau diuretik tiasid, mengurangi
asupan garam atau protein pada diabetes insipidus nefrogenik). Bila penyebabnya adalah asupan natrium
berlebihan, pemberian natrium dihentikan. Penyebab yang tersering adalah defisit cairan tanpa elektrolit, pengobatan dilakukan dengan koreksi cairan
terjadi pada pemakaian diuretik, kelebihan hormon mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme primer (adenoma kelenjar adrenal). Anion yang tak dapat di
reabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan dalam
berdasarkan penghitungan jumlah defisit cairan (lihat penanggulangan gangguan keseimbangan cairan).
Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin. Untuk menjaga kestabilan kalium di intrasel diperlukan keseimbangan elektrokimia yaitu
keseimbangan antara kemampuan muatan negatif dalam
hiperkalsemia). Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 10 L. Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-
Gejala Klinis
Kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, 'restless legs syndrome'merupakan gejalapada otot yang timbul pada kadar kalium kurang dari 3 meq/L. Penurunan yang
HIPOKALEMIA
Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang
dari 3,5 meq/L. Hipokalemia merupakan kejadian yang sering ditemukan dalam klinik.
Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut :1.
Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium, takikardia ventrikular merupakan efek hipokalemia pada jantung. Hal ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi ventrikel pada keadaan hipokalemi yang menimbulkan peningkatan arus re-entty. Tekanan darah dapat meningkat pada keadaan hipokalemia dengan mekanisme yang takjelas. Hipokalemia dapat menimbulkan gangguan toleransi glukosa dan gangguan metabolisme protein'
Asupan kalium yang kurang. 2. Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat. 3. Kaliummasukke dalam sel. Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cema
ar.tara
selang nasogastrik, pengeluaran kalium bukan melalui saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan lamtung hanya sedikit (5-10 meq/L), akan tetapi kalium banyak ke luar melalui ginjal. Akibat muntah atau selang nasogastrik, terj adi alkalosis metabolik sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang akan mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga
182
40 meq per hari menandakanadanyapembuangan kalium berlebihan melalui ginjal. Ekresi kalium yang rendah melalui ginjal dengan disertai
: l.
Keluamya kalium dari intrasel ke ekstrasel. 2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal. Kalium keluar dari sel dapat
diserlai asidosis metabolik merupakan petanda adanya ketoasidosis diabetik atau adanya P.TA (renal tubular
acidosis) baik yang distal atau proksimal. Ekskresi kalium dalam urin rendah disertai alkalosis metabolik, petanda dari muntah kronik atau pemberian
pengambilan contoh darah di laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada latihan
olahraga.
diuretiklama. Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah yang rendah, petanda dari
Sindrom Bartter.
Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal ter;adi pada keadaan hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin.
Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah tinggi, petanda dari
hiperaldosteronisme primer.
Gejala Klinis
Hiperkalemia dapat meningkatkan kepekaan membran sel
sehingga dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi lebih mudah terjadi. Dalam klinik ditemukan gejala akibat gangguan konduksi listrikjantung, kelemahan otot
Pengobatan
Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam
:
Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan; 1) pasien sedang dalam pengobatan digitalis, 2) pasien dengan ketoasidosis diabetik, 3) pasien dengan kelemahan otot pernapasan, 4) pasien dengan hipokalemia berat ( K < 2 meq/L ).
Pengobatan
Prinsip pengobatan hiperkalemia adalah: . Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel, dengan cara memberikan kalsium intravena. Dalam beberapa menit kalsium langsung melindungi membran
akibat hiperkalemia ini. Pada keadaan hiperkalemia yang
berat sambil menunggu efek insulin atau bikarbonat yang diberikan (baru bekerja setelah 30-60 menit), kalsium dapat diberikan melalui tetesan infus kalsium intravena. Kalsium glukonat l0 ml diberikan intravena dalam waktu 2-3 menit dengan monitor EKG. Bila
Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCI disarankan melalui vena yang besar dengan kecepatan I 020 meqljam. Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau kelumpuhan otot pernapasan, dapat diberikan dengan kecepatan 40-100 meq/jam. KCI dilarutkan sebanyak 20 meq dalam 100 cc NaCl isotonik. Bila melalui vena perifer, KCI maksimal60 meq dilarutkan dalamNaCl isotonik 1000 cc, sebab bila melebihi ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan sklerosis vena.
perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada, pemberian kalsium glukonat dapat diulang setelah 5
merut.
HIPERKALEMIA
Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih
Pemberian Natrium bikarbonat yang akan meningkatkan pH sistemik. Peningkatan pH akan merangsang ion-H ke luar dari dalam sel yang
kemudian menyebabkan ion-K masuk ke dalam sel.
183
Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium bikarbonat diberikan 50 meq i.v selama 10 menit. Bila ada asidosis metabolik, disesuaikan dengan keadaan asidosis metabolik yang ada. - Pemberian cx,2-agonis baik secara inhalasi maupun tetesan intravena. cx, 2-agonis akan merangsang pompa NaK-ATPase, kalium masuk ke dalam sel. Albuterol diberikan 10 mg-20 mg. Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh. - Pemberian diuretik-loop (furosemid) dan tiasid.
Untuk menghitung berapa kalsium yang diabsorbsi dapat dilakukan dengan rumus di bawah sebagai berikut:
Kalsium diet - Kalsium feses
100
Sifatnya hanya sementara. Pemberian resin-penukar. Dapat diberikan per oral maupun suposltofla. Hemodialisis.
Ekskresi kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus (kalsium ultrafiltrable) dan kalsium yang direabsorbsi oleh tubulus (kalsium-ion bebas lebih mudah direabsorbsi dari pada kalsium-kompleks, sehingga kadar kalsium-ion bebas hanya20Yo dari jumlah kalsium yang diekskresi dalam urin). Asupan dan ekskresi natrium dalam urin akan mempengaruhi ekskresi kalsium urin. Ekskresi natrium yang meningkat pada keadaan peningkatan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan ekskresi kalsium win. 97-99%o dari total kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus akan direabsorbsi oleh tubulus. 50-70% dari total kalsium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proks imal,30-40o/o antara akhir tubulus proksimal dan tubulus distal dan lO% di duktus koligentes. Faktor hormonal yang mempengaruhi keseimbangan kalsium diperankan oleh vitamin-D dengan metabolit aktifnya 1'25dihidroksikolekalsiferol (1 ,25 [OH]2Dr) Yang disebut juga kalsitriol dan hormon paratiroid. Sumber vitamin-D di dalam tubuh manusia berasal dari vitamin-D3 endogen.VitaminD3 atau disebut juga kolekalsiferol, dibentuk secara termal isomerisasi dari previtamin-D,. Previtamin-D3 berasal dari provitamin-D3 yang disebut juga 7-dehidrokolesterol' Kolekalsiferol dimetabolisme dalam hati menjadi 25hidroksivitam in-D3 atau 25 (OH)D3. Setelah melalui siklus enterohepatik, 25(OH)D3 dalam bentuk komplek dengan protein difiltrasi melalui glomerulus dan direabsorbsi di tubulus proksimal. Di dalam sel tubulus proksimal, 25 (OH) D, dimetabolisme menjadi 1,25[OH]2D, alau kalsitriol. fitsitriol yang bersirkulasi dalam darah merupakan pengatur utama absorbsi kalsium di usus. Efek vitamin-D pada tulang ada dua yaitu 1) Membantu mineralisasi matriks
tulang organik dan 2) Membantu motilisasi kalsium tulang
juga akan mempengaruhi kadar kalsium yang terikat dengan protein. Peningkatan albumin I gram/dl akan
meningkatkan kalsium terikat protein sebesar 0,8 mg/dl, sedang peningkatan globulin I gram/dl akan meningkatkan kalsium terikat protein 0,16 mg/dl. Kalsium yang tidak
terikat protein I dffisible I ultrafiltrable termasuk di dalamnya kalsium-kompleks dan kalsium-ion bebas.
Kalsium-ion bebas merupakan kalsium yang aktif secara
biologis; kadarnya dalam plasma sebesar 4 mgldl-4,9 mgl dl atau 45o/o dari kadar kalsium total dalam plasma. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kalsium-ion bebas membutuhkan darah segar, diambil secara anaerob, tanpa heparin dan terbebas dari fibrin. Keseimbangan kalsium merupakan hubungan timbal
untuk meningkatkan kadar kalsium plasma yang tidak berhubungan dengan kemampuan absorbsi kalsium di usus. Vitamin-D juga meningkatkan reabsorbsi kalsium
di tubulus ginjal.
bertambah misalnya kehamilan atau adanya deplesi kalsium tubuh total. Beberapa obat dapat menghambat absorbsi kalsium antara lain kolkisin, fluor, teofilin dan
disebut sebagai'calcium-sensing receplor' yang merupakan anggota datt 'G protein-coupled receptor' '
Bila kalsium dalam darah tinggi, melalui jalur fosfolipaseC, kalsium dalam sel kelenjar paratiroid meningkat yang kemudian menghambat sekresi hormon paratiroid oleh sel
menghambat absorbsi kalsium. Pada keadaan malnutrisi ptotein, absorbsi kalsium juga terganggu oleh karena ikatan kalsium-protein di sel mukosa usus mengalami defisiensi.
184
kelenjar paratiroid.' Calcium-sensing receptor, juga terdapat di kelenjar tiroid dan di ginjal. Kalsitriol dan homon paratiroid saling mempengaruhi satu sama lain.
Hormon paratiroid merangsang pembentukan kalsitriol di ginjal, akan tetapi kalsitriol dapat menurunkan sekresi hormon paratiroid dalam w aktu 12-24 jam. Hiperkalsemia atau hipokalsemia akan menghambat atau merangsang terbentuknya kalsitriol melalui perubahan sekresi hormon
Pengobatan
Kadar kalsium-ion normal adalah 4-5,2 mgldl atau l-1,3 mmol/L. Gejala hipokalsemia belum timbul bila kadar kalsium-ion lebih dari 3,2 mg/dl atau lebih dari 0,8 mmol/L atau kalsium-total sebesar lebih dari 8-8,5 mgldl. Pada keadaan asimptomatik, dianjurkan meningkatkan asupan kalsium dalam makanan sebesar 1000 mglhari. Gejala hipokalsemia baru timbul bila kadar kalsium-ion kurang dari 2,8 mgldl ata:u kurang dari 0,7 mmolil atau kadar kalsium-total < 7 mgl dl. Gejala hipokalsemia berupa parestesi, tetani, hipotensi dan kejang. Dapat ditemukan tanda-Chovstek atau tandaTrousseau, bradikardi dan interval-QT yang memanjang. Pengobatan yang diberikan bila timbul gejala adalah pemberian kalsium intravena sebesar 100-200 mg kalsiumelemental ata:uT gram-2 gramkalsium glukonas dalam 1020 menit. Lalu diikuti dengan infus kalsium glukonas dalam larutan dextrosa atau NaCl isotonis dengan dosis 0,5-1,5 mg kalsium-elemental/Kg BB dalam 1jam. Kalsium infus kemudian dapat ditukar dengan kalsium oral dan kalsitriol
Osteoblas kemudian akan menstimulasi peningkatan osteoklas (sel resorbsi kalsium tulang). Hormon paratiroid menghambat reabsorbsi kalsium di tubulus proksimal akan tetapi meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus distal sehingga hasil akhir adalah menurunkan ekskresi kalsium dalam urin. Sehingga efek akhir kerja hormon paratiroid pada tulang dan ginjal adalah meningkatkan kadar kalsium
dalam darah.
0,25-0,5ig/irai. HIPOKALSEMIA
Hipomagnesemia dapatjuga menimbulkan hipokalsemi.
Etiologi
Defisiensi vitamin-D. Keadaan keadaan yang dapat
menyebabkan defi siensi vitamin-D adalah : . Asupan makanan yang tidak mengandung lemak. . Malabsorbsi yang terjadi pada gastrektomi sebagian, pankreatitis kronik, pemberian laksan yang terlalu lama, bedah-pintas usus dengan tujuan mengurangi obesitas. . Metaboiisme vitamin-D yang terganggu pada penyakit riketsia, pemberian obat anti kejang, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan fungsi hati kronik.
Bila ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal, dapat diberikan larutan l0% magnesium sulfat sebesar 2 gram selama l0 menit dan kemudian diikuti dengan I gram
dalam 100 cc cairan per 1 jam. Pada keadaan hipokalsemi
HIPERKALSEMIA
Hipoparatiroidisme. Dapat terjadi pada saat pasca bedah kelenjar tiroid, secara tidak sengaja kelenjar paratiroid ikut terangkat. Dapat juga terjadi secara idiopatik sejak anak
anak. Pengobatan eklampsia dengan memakai magnesiumsulfat, dapat menekan sekresi hormon paratiroid. Efek toksik
hormon
Hiperparatiroidisme tersier ditandai dengan sekresi berlebihan yang sangat bermakna hormon paratiroid dan hiperkalsemi disertai dengan hiperplasi paratiroid akibat respons berlebihan terhadap hipokalsemi. Keadaan ini disebut juga sebagai hiperparatiroidisme refrakter. Tidak
memberi respon terhadap pemberian kalsium dan kalsitriol
dan terjadi pada penyakit ginjal kronik tahap terminal.
paratiroid. Proses keganasan. Karsinoma medular kelenjar tiroid, menyebabkan kalsitonin meningkat sehingga ekskresi
Iliperfosfatemia. Terjadi
Tumor ganas. Sering terjadi pada karsinoma paru, buahdada, ginjal, ovarium dan keganasan hematologi. Faktor penyebab hiperkalsemia disebabkan oleh 1) faktor lokal pada tulang akibat metastasis yang bersifat osteoklastik dan 2) faktor humoral. Faktor humoral disebabkan oleh substansi yang beredar dalam darah dihasilkan oleh sel
tumor dan bersifat osteoklastik. Substansi ini disebut juga sebagai'osleoclast-activating cytokines'.
penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal akut, pemberian sitotoksik pada limfoma atau leukemia.
185
Kelasi kalsium-ion. Kalsium-ion dapat dikelasi dengan mempergunakan Na-EDTA atau fosfat secara intravena.
Penggunaan terbatas oleh karena efek toksik bahan kelasi ini.
Intoksikasi vitamin-A. Pemberian vitamin-A berlebihan dapat menyebabkan hiperkalsemi. Pada percobaan binatang, pemberian vitamin-A berlebihan menyebabkan fraktur tulang dan peningkatan jumlah sel osteoklast serta
ditemukan kalsifi kasi metastatik.
Hipertiroidisme. Terjadi akibat meningkatnya resorbsi tulang. Hormon tiroid dapat memperkuat kerja hormon paratiroid atau secara langsung hormon tiroid dapat
meresorbsi kalsium tulang.
organik dan fosfor inorganik. Semua fosfor organik terdapat dalam fosfolipid yang terikat dengan protein. Fosfor inorganik, 90%o dapat dif,rltrasi oleh glomerulus (ultrafiltrable) dan sisanya terikat dengan protetn. 53%o dari fosfor ultraf,rltrabel berdisosiasi dalam bentuk H2PO4 dan HPO,,2 - dengan perbandingan
I '.4
Sindrom'Milk-Nlkalil.
mengandung kalsium karbonat dengan diserlai pemberian susu yang berlebihan pada pengobatan tukak lambung dapat menyebabkan hiperkalsemia.
Pengobatan Hiperkalsemia
Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal' Dilakukan dengan pemberian larutan NaCl isotonis. Pemberian cairan ini akan meningkatkan volume cairan
ekstraselular yang umumnya rendah akibat pengeluaran
bentuk garam natrium, kalsium dan magnesium. Jumlah fosfortubuhtotal adalah 0,5-0,8 mg,kgBB, 85% disimpan dalam fulang; loh dalamcairan ekstraselular serta sisanya berada dalam sel (intraselular). Kadar fosfor dalam darah orang dewasa adalah2,5-4 mg/dl danpadaanak 2,5-6mgl dl. Terdapat hubungan yang terbalik antara kadar kalsium dan fosfor dalam darah. Hasil perkalian kedua kadar ini adalah tetap. Dalam keadaan akut, peningkatan kadar fosfor darah akan diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah. Peningkatan akut kadar kalsium darah tidak segera diikuti penumnan fosfor darah sebelum ada perubahan fosfor dalam urin. Dalam keadaan alkalosis dan hiperventilasi terjadi penurunan kadar fosfor dan meningkat pada keadaan asidosis. Pemberian insulin dan epinefrin akan menurunkan kadar fosfor darah. Pemberian glukosa akan menurunkan kadar fosfor darah oleh karena masuknya
Sekitar 50-65% fosfor dalam usus diabsorbsi secara aktif bergabung dengan natrium terutama di daerah yeyunum melalui kotransporterNa-P (NaPi2b) yang identik dengan
. .
4IU,&gBB. Bifosfonat-menghambat aktivitas metabolik osteoklas dan juga bersifat sitotoksik terhadap osteoklas.
Mengurangi absorbsi kalsium dari usus. Glukokortikoid (prednison, 20 -40 mglhari) mengurangi produksi kalsitriol oleh paru dan kelenjar limfe yang diaktivasi produksinya
oleh sel mononuklear. Kalsium serum dapat turun dalam 25 hari.
186
kemampuan absorbsi maksimal dalam tubulus (Tm). Tm berbanding lurus dengan LFG. Makin tinggi kadar fosfor inorganik dalam darah, makin tinggi ekskresi melalui urin.
60%o
di reabsorbsi di tubulus
proksimal, 10%-25% di tubulus distal sedang sisanya 5o%20o/o terdapat dalam urin. Reabsorbsi fosfor di tubulus
proksimal melalui kohanspor Na-Pi dengan bantuan energi dari pompa NaK-ATPase di basolateral, fosfor keluar dari sel bersama natrium sebesar 10%o dan tidak tergantung natrium sebesar 30o%. Ada tiga jenis kotranspor Na-Pi yaitu tipe I, II dan III. Kotranspor Na-Pi yang dominan dalam tubulus manusia adalah tipe II Q.{a-Pi2a). Hanya reabsorbsi di bagian luminal tubulus yang dipengaruhi oleh hormon paratiroid dan oleh regulator lain.
..
aluminium atau magneslum Diare kronik, steatorrea Ekskresi melalui urin meningkat
Hiperparatiroidisme primer atau sekunder Defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitaminD Primaty renal phosphate wasting
Sindrom Fanconi
Hambatan ini melibatkan reseptor hormon paratiroid yang memediasi pembentukan cAMP intrasel, inositol trifosfat,
akan menghambat
Ensefalopati metabolik. Timbul gejala parestesi, berlanjut kearah gejala delirium, kejang dan koma. Gejala ini timbul akibat iskemi j aringan.
Gejala gangguan otot skeletal dan otot polos. Hipofosfatenu dapat menimbulkan gejala miopati-proksimal, disfagia dan ileus. Pada keadaan akut dapat terjadi pelepasan fosfor dari otot dan menimbulkan rabdomiolisis.
HIPOFOSFATEMIA
Ada tiga hal yang dapat menyebabkan berkurangnya kadar fosfor dalam darah antara lain: . Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel. - Meningkatnya sekresi insulin khususnya pada realimentasi. Pemberian insulin atau glukosa pada orang dengan keadaan kekurangan fosfor misalnya ketoasidosi s diabetik, hiperglikemi non-ketotik, pada keadaan malnutrisi, pasien dengan realimentasi. - Alkalosis respiratorik:lakut. Pada keadaan ini, CO,
Kerusakan fungsi sel darah merah. Pada keadaan hipofosfatemi terjadi pengurangan kadar ATP
menyebabkan terjadi perubahan regiditas dan timbul hemolisis. Hemolisis terjadi bila kadar fosfor kurang dari
dari dalam sel akan keluar dari sel sehingga menstimulasi aktivitas fosfofruktokinase yang
Gangguan fungsi trombosit. Timbul gangguan retraksi bekuan dan trombositopenia sehingga menimbulkan
perdarahan mukosa.
187
EFF:
[Ufo
x Pcr x 100] :
[Pfo
Ucr)
Ekskresi Fosfor Rendah : Fosfor dalam urin 24 jam kurang dari 100 mg atau FFE kurang dari 5% (normal FFE 5% - 20%). Keadaan ini dapat
disebabkan oleh: l).Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel. 2). Absorbsi melalui usus berkurang.
dapat diberikan infus NaCl isotonis secara cepat yang akan meningkatkan ekskresi fosfor urin. Dapat |oga dilakukan dengan memberikan asetazolamida (inhibitor karbonik anhidrase) l5 mg/kgBB setiap 4 jam. Atau dapat juga dilakukan hemodialisis khususnya hiperfosfatemia pada gangguan fungsi ginjal. Pada hiperfosfatemia kronik, yang biasanya terjadi pada gagal ginjal kronik atau pada familial tumoral
kalsinosis, pengobatan ditujukan untuk menekan absorbsi melalui usus dengan memberikan pengikat
fosfat seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer, Iantanum karbonat.
Ekskresi Fosfor Tinggi : 1). Hiperparatiroidisme primer atau sekunder, 2). Defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitamin-D. 3). Primary renal phosphate wasting
(defek pada tubulus), 4). Sindrom Fanconi.
Pengobatan
Pengobatan terhadap hipokalsemia tidak diberikan bila
of Henle (TAL) bukan di tubulus proksimal. 15%-25% magnesium yang difiltrasi, di reabsorbsi secra pasif di tubulus proksimal dan S'/o-l\oh reabsorbsi di tubulus distal. 3% dari Magnesium yang difiltrasi akan dibuang dalamurin. Sepertiga dari magnesium dalam makanan akan diabsorbsi oleh usus halus secara pasif dan dalam bentuk
sistem transpor. Di dalam tubuh kita magnesium berpengaruh pada reaksi enzim di attaranya transfosforilasi, sintesis protein, metabolisme
hidrat-arang, sintesis dan degradasi DNA, aktivasi AIP. Hanya sebagian kecil magnesium berada dalam cairan ekstrasel. 60oh berada di dalam tulang, 20%o betada di
dalam otot. Kadar magnesium dalam serum berkisar antara I ,4-1 ,l 5 meqlL,20%o terrkat dengan protein.
HIPERFOSFATEMIA
Ekskresi fosfor melalui urin sangat efisien, dengan sedikit saja kenaikan fosfor darah, ekskresi melalui urin akan meningkat. Hiperfosfatemi dis ebabkan oleh terutama diseb abkan oleh ketidakmampuan ginjal dalam ekskresi fosfor : . Jumlah fosfor yang meningkat tinggi dalam darah pada
Peningkatan atau penurunan kadar magnesium dalam darah berturutan akan meningkatkan atau menurunkan ekskresi magnesium melalui ginjal. Penambahan volume cairan ekstrasel yang akut dan
kronik akan meningkatkan ekskresi magnesium melalui ginj al. Pemberian diuretik seperti manitol, asetazolamid, tiasid, furosemid dan asam etakrinik akan meningkatkan ekskresi magnesium dengan menghambat reabsorbsi di tubulus. Tidak ada hormon yang diketahui dapat
mempengaruhi keseimbangan magnesium dalam tubuh
. . .
ketoasidosis, pemberian fosfor berlebihan. Gangguan fungsi ginjal, akut atau kronik. Reabsorbsi fosfor yang meningkat melalui tubulus pada
Pengobatan
Pada keadaan akut dengan disertai gejala hipokalsemia,
pola diurnal. Ekskresi paling rendah terjadi pada waktu sore dan paling tinggi pada waktu
subuh.
188
HIPOMAGNESEMIA
Hipomagnesemia dapat terjadi oleh karena: 1). Gangguan absorbsi di dalam usus misalnya pada diare kronik maupun akut, malabsorbsi, steatorea, operasi pintas usus halus. Kelainan genetik seperti hipomagnesemia intestinal primer yang terjadi pada saat periode
[(0,7
kadar Mg plasma.
Pengobatan
Bila fungsi ginjal baik, kita tidak perlu takut memberikan
magnesium agak berlebihan. Bila ada gangguan fungsi ginjal, pemberian harus berhati hati. Pemberian dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular MgSO4. Pada pasien tetani atau aritmia ventrikel dapat diberikan
50 meq (600 mg) MgSO4 dalam 8-24 jam. Pemberian secara
seperti
aminoglikosida; sisplatin; siklosporin dll, disfungsi loop Henle atau tubulus distal seperti pasca nekrosis tubular akut; pasca cangkok ginjal; sindrom Bartter; sindrom Gitelman, Ekskresi berlebihan Ginjal Primer seperti pada Gitelman; mutasi Paracellin-1; mutasi NaKAIPase; 3). Terlihat juga pada pasca operasi, pasca pemberian foscarret, pada hungry bone syndrome.
HIPERMAGNESEMIA
Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien gagal ginjal terminal, kadar magnesium serum adalah2-3 meq/L(2,4-3,6 mgldl). Pemberian antasid yang mengandung magnesium pada pasien
Gejala KIinis
seau
gangguan fungsi ginjal dapat menimbulkan gejala hipermagnesemia. Pemberian magnesium berlebihan melebihi kemampuan ekskresi ginjal atau pemberian
MgSO4 sebagai laksan dengan cara melalui oral maupun
hipokalsemia.
Hipokalemia terjadi karena pada hipomagnesemia, jumlah dan aktivitas ATP akan berkurang sehingga
terjadi peningkatan saluran -kalilum (K-chann
el diloop
fatal.
. . .
Henle dan di duktus koligentes. Akibatnya ekskresi kaliummeningkat. Hipokalsemia terjadi karena resisten terhadap hormon paratiroid akibat penurunan pembentukan siklik-AMP. Terjadi defisiensi vitamin-D yang sebabnya belum dapat
dijelaskan.
. .
Kadarmagnesiumplasmasebesar lebihdari 12mgldl, menimbulkan gejala kelumpuhan otot, kelumpuhan pemapasan, blok jantung komplit, henti jantung.
Diagnosis
Untuk membedakan apakah hipomagnesemia diakibatkan oleh gangguan renal atau non-renal dapat dilakukan
Seluruh gejala ini ditimbulkan oleh karena gangguan neuromuskular, kardiovaskular dan efek magnesium sebagai penghambat saluran kalsium (calcium-channel
Mg urin 24 jam
atau
pengukuran ekskresi fraksional magnesium dalam urin. Bila magnesium urin 24 jam lebih dari 10-30 mg atau ekskresi fraksional lebih dari 2o/o,hal ini disebabkan oleh penggunaan diuretik, sisplatin atau aminoglikosida. Pada gangguan non-renal, ekskresi fraksional antara 0,5%o 2,1%o atau reralanya 7,4Yo. Pada pengeluran renal
Pengobatan
Langkah pertama adalah antisipasi akan terjadinya hipermagnesemia. Misalnya kehati-hatian pemberian
magnesium padapasien gangguan fungsi ginjal. Bila timbul
berlebihan (renal wasting), ekskresi fraksional 15% (artara 4o/o-48%). Ekskresi fraksional : [UMg x Pcr x 100]:
DAN'I
E'KTROI
IT
189
REFERENSI
Halperin ML, Goldstein MB. Fluid, electrolyte, and acid-base
ed.
Rose
B.D.
Symptoms
UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Rose B.D. Diagnosis of hypokalemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Rose B.D. Causes of hyperkalemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Schrier R.W. (ed). Renal and electrolyte disorders. 6th ed. Lippincolt
Zalman
S.A. Causes and treatment of hlpermagnesemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM.
26
GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA METABOLIK
Parlindungan Siregar
PENDAHULUAN
terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Pengaturan kadar ion-H ini dimungkinkan dengan tiga cara yaitu 1) Penyangga kimiawi di dalam maupun di luar sel' 2) Pengaturan tekanan parsial CO, dengan cara pengaturan kecepatan ventilasi paru. 3) Pengaturan kadar bikarbonat
yang bermuatan negatif sangat kuat dan lebih kuat dibandingkan dengan ikatan ion-Na dan ion-K dengan protein. Meningkat atau berkurangnya ikatan ion-H dengan protein akan merubah muatan protein, bentuk
molekul protein yang akhirrrya menimbulkan kerusakan jaringan akibat perubahan fungsi protein. Konsekuensi dari hal ini tubuh harus menjaga kadar ion-H tetap dalam
batas normal walaupun pembenfukan asam maupun basa
dalam plasma dengan cara pengaturan ekskresi ion-H melalui ginjal (net acid excretion) (Gambar 1). Menurut Bronsted, yang disebut dengan asam adalah zat penyumbang ion-H sedang basa adalah penerima ion-H' Penyangga di luar sel(Extracellular Buffer) sebagian besar dilakukan oleh ion-HCOr. Ion-HCO, bermula dari hidrasi CO, yanB larut dalam cairan ekstra selular membentuk asam karbonat (HrCO3). H2CO3 kemudian berdisosiasi menjadi ion-H dan ion-HCO3. Kadar H2CO3 sangat rendah dibanding COr-terlarut (1:3a0) dan ion-
Penyangaan kimiawi
Ginjal
kstra se lu la r
lntraselular
Eksresi Co,
Sekresi H'
H- + H PO,'
;ifu--;l
Reab srop si
HCO3-
Gambar
1.
190
L9t
Kadar H2CO3 sangat kecil dibanding dengan kadar CO2 ataupun ion-HCO3, sehingga reaksi di atas dapat diperlakukan seperti di bawah ini:
HCO3 (l:6800) sehingga reaksi di atas dapat disederhanakan menjadi CO2 + H2O e H* + HCO3-. Reaksi ke kiri dan ke kanan sama kuatnya sehingga bila ion-H
berlebihan pada keadaan asidosis metabolik, ion-H akan disangga oleh penyangga ion-HCO, membentuk H2CO3.
HCO3-
kiri sehingga:
untuk mengatur tekanan parsial COr. Peningkatan ion-H dalam plasma akan meningkatkan sekresi ion-H dalam tubulus ginjal. Ion-H di dalam tubulus akan berikatan
dengan bikarbonat yang di filtrasi oleh glomerulus sehingga terdisosiasi menjadi HrO dan CO, dengan bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO, dan HrO akan di reabsorbsi masuk ke dalam sel tubulus proksimal yang kemudian bereaksi dengan H2O membentuk ion-HCOr. Ion-HCO, ini kemudian akan masuk ke dalam sirkulasi darah oleh kotranspor Na-3HCO, pada membran basolateral.
Pada keadaan alkalosis metabolik, ion-HCO, berlebih menyebabkan kadar ion-H berkurang, reaksi akan bergeser ke kanan dan terj adi hipoventilasi untuk mempertahankan tekanan parsial COr. Akibat penurunan kadar ion-H, sekresi
K'a = (H.)(HCO3-)/(COr-terlarut)
Dalam plasma pada suhu 37 derajat celcius, K'a adalah sebesar 800 nmol/L sehingga:
(H+)
800
x (CO2-terlarut)/(HCO3-)
24 x (PCO,) /(HCO3-)
(H+)
sebagai berikut:
ion-H di tubulus berkurang, sehingga reabsorbsi bikarbonat menurun. Bikarbonat kemudian di ekskresi
dalam bentuk Na-bikarbonat.
pH
6,10
+ log (HCO3-) /
0,03
PCq
Konversi antara besaran pH dengan kadar ion-H dapat dilakukan sebagai berikut:
Penyangga di dalam sel (intracellular buffer) dan penyanggaan oleh tulang (bone buffer) sebagian besar
dilakukan oleh protein, fosfat organik dan inorganik, hemoglobin dalam sel darah merah serta oleh disolusi
mineral tulang berupa pelepasan CaCO, dan CaHPOo ke
ekstrasel.
Pada keadaan asidosis metabolik, penyanggaan terjadi sebanyak 43% di luar sel dar. 5l%o terjadi di dalam sel. Pada keadaan asidosis respiratori, penyanggaan terjadi sebanyak hanya3%o di luar sel dan sebagian besar (97%o)
. . .
pH7
pH7,l0
pH7,20
. pH6,9
: 100 nmol/L : : kadar ion-H 100 x 0,8 nmol/L : kadar ion-H : 100 x 0,8 x 0,8
: kadar ion-H
: kadarion-H:100x 1,25
Berdasarkan rumus perhitungan di atas, maka perubahan menjadi asidemi atau alkalemi adalah dipengaruhi olehrasio antara PCO2 dan ion-HCO3. Bila
rasio meningkat maka kadar ion-H naik (asidemi) dan bila rasio menurun maka kadar ion-H akan tuirrn (alkalemi). Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan rasio tersebut disebut sebagai asidosis atau alkalosis.
RUMUS HENDERSON.HASSELBALCH Sistem penyanggaan di dalam tubuh manusia terutama dilakukan oleh asam lemah yang dapat berdisosiasi sehingga memiliki kemampuan untuk menangkap atau
melepaskan ion-H. Asam karbonat merupakan asam lemah
ASIDOSIS METABOLIK
Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ionHCO3 diikuti dengan penurunan tekanan parsiil CO2 di dalam arteri. Kadar ion-HCO3 normal adalah sebesar 24 meq/L dan kadar normal PCO2 adalah 40 mmHg dengan kadar ion-H sebesar 40 nanomol/L. Penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 meq/L akan diikuti olehpenurunanPCO2 sebesar 1,2 mmHg. Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: I. Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh. II. Berkurangnya kadar ion-HCO3 di dalam tubuh. Itr. Adanya retensi ion-H di dalam tubuh. Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan penurunan tekanan parsiil CO2, dapat
dengan tekanan CO, dalam udara aieveol. Sebagian dari CO, ini yaitu sebanyak 0,03 x PCO, melarut dalam cairan plasma. Tekanan parsil CO, dalam arteri adalah 40 mm Hg, sehingga CO, yang terlarut adalah sebanyak 0,03 x 40 : 1,2 mmoUl. Hidrasi CO2terlarut menghasil asam karbonat.
H2CO3
e II* +
HCO3-
192
bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana pemrnman kadar ion-HCO, sebesar 1 meq/L diikuti penumnan PCO,
sebesar 7,2mmHg.
Tubulus proksimal
I
\a
c)
Asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respirasi, dimana penurunan kadar ion-HCO, sebesar I meq/L diikuti penurunan PCO, sebesarkurang dari 1,2 mmHg.
;
=
L
HCO, +
2K'
Asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis Respirasi, dimana penurunan kadar ion-HCO3 sebesar I
meq/L diikuti penurunan PCO, sebesar lebih dari 1,2 mmHg.
H,CO3
+'
I
+3 l-
H-
cA
C
+
0,+
11
,6
Peran Ginjal
Dalam keadaan asidosis metabolik, kompensasi tubuh melalui ginjal adalah meningkatkan sekresi dan ekskresi ion-H (asidifrkasi urin, pH urin turun) sebanyak 50-100
meq/hari serta reabsorbsi ion-HCO, yang terdapat dalam
cairan fi ltrat glomerulus.
Gambar
l,lembran basolateral 2.
lvlembran
luminal
interkalated duktus koligentes. Sekresi ion-H di tubulus proksimal terjadi melalui penukar (antiporter) Na-H dan pompa H-AIPase pada bagian apikal (lumen) sel tubulus. Sebanyak dua pertiga sekresi ion-H di tubulus proksimal adalah melalui penukar Na-H sedang sisanya melalui
Tubulus proksimal
6
=
L
2K'
di tubulus
t
I
H'Difiltrasi Disekresi
3
HPO,'+
I
H,O
l-1'
proksimal akan bergabung dengan ion-HCO, yang dihltrasi glomerulus membentuk H2CO3, kemudian terdisosiasi menjadi HrO dan CO2 dengan bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO, dan HrO akan di reabsorbsi masuk ke dalam sel tubulus
O,+OH
t
I
H,P O.'
em bran
Membran
basolatera
luminal
lemah ini. Ion-NH4 dalam keadaan nornal dibentuk di tubulus proksimal melalui metabolisme glutamin menjadi
Di tubulus distal khususnya pada duktus koligentes, asidifikasi urin terjadi dengan disekresinya ion-H oleh
pompa H-ATPase dan pompa H-K-ATPase pada bagian apikal. Pompa H-K-AIPase berfungsi sebagai sekresi ion-
H dan reabsorbsi ion-K dimana fungsi utama adalah mencegah hilangnya kalium pada keadaan hipokalemia.
Ada beberapa asam lemah yang difiltrasi oleh
glomerulus antara lain yang bertindak sebagai penyangga ion-H dalam lumen tubulus. Asam lemah yang menonjol sebagai penyangga tersebut adalah adalah HPO, (2-) (Gambar 3). Proses penyanggaan ini disebut sebagai
193
basolateral sel tubulus proksimal awal sehingga terjadi peningkatan sekresi ion-H dan reabsorbsi ion-HCO3.
_E
o
'= o
2K
o =
bagian kortek ginjal pada sel interkalated dan pada medula bagian luar . Aldosteron juga mempengaruhi secara tidak langsung sekresi ion-H oleh sel prinsipal pada duktus koligentes di kortek ginjal melalui efek reabsorbsi ion-Na. Reabsorbsi
3 d
6 Y
4.
Anion-gap Dalam Plasma Untuk mengetahui etiologi dari tiap tiap kelompok
penyebab asidosis metabolik tersebut perlu diketahui
besarnya anion-gap (senjang anion). Dalam keadaan normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalarn tubuh adalah sama besar. Ada anion dan kation yang dapat
dihitung (C1, HCO3 danNa) dan ada anion dan kation yang tak dapat dihitung (anion atau kation lain darizat organik). Selisih antara Na dengan HCO, dan Cl atau selisih dari
NH.
H-
ATP
_q
HI
3 -
=
L
e o
Y
cr'
3HC03+
CA
HrO
t
I
normal sebesar 12 + 3 meq. Pada kelompok pembentukan asam organik yang berlebihan sebagai penyebab asidosis metabolik, besar
penambahan anion lain yang berasal dari asam organik
anion lain dan kation lain disebut sebagai anion-gap. Besarnya anion gap, Na - (HCO, + Cl), dalam keadaan
CO,+OH
l\ilembran
b
asola
te ra
Jumlah ion-H yang diekskresi melalui ginjal (net acid excretion) adalah merupakan penjumlahan dari titratableacid dengan ion-NH4 dan dikurangi dengan jumlah ionHCO3 yang terdapat dalamurin. Jadi dapat diformulasikan
sebagai berikut
:
(RTA-2), pemakaian obat inhibitor enzim karbonik anhidrase atau pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium III -
Asidosis metabolik dengan anion-gap yang normal selalu disertai dengan peningkatan ion-Cl dalam plasma
Ion-H dalam bentuk bebas sangat sedikit di dalam urin final yaitu kurang dari 0,04 meq/L.
asidosis metabolik, besar anion-gap meningkat, misalnya pada penyakit ginjal kronik stadium IV - Y dan besar anion-gap normal misalnya pada renal tubular asidosis
(RTA-I atauMA-4).
t94
Anion-gap Dalam Urin Pada keadaan asidosis metabolik dengan anion-gap normal (hiperkloremik), ion-Cl yang berlebih akan di
sekresikan oleh sel interkalated duktus koligentes bersama dengan sekresi ion-H (ion-Cl melalui saluran-Cl dan ion-H
melalui pompa H-ATPase). Ekskresi ion-Cl dilakukan bersama dengan ion-NH3 dalam bentuk NH4CI. Ion-NH4
dibentuk dari ikatan antara ion-NH3 dalam tubulus dengan
Langkah kedua adalah menetapkan anion-gap atau bila perlu anion-gap urin untuk mengetahui dugaan etiologi asidosis metabolik. Dengan bantuan tanda klinik lain, kita
dengan mudah menetapkan etiologi.
(Na-urin + K-urin) - Cl-urin Bila hasilnya positif, terdapat gangguan ekskresi ion-
NH3 sehingga NH4CI tidak terbentuk akibat adanya gangguan sekresi ion-H di nefron distal (tidak dapat berikatan dengan ion-NH3) misalnya pada RTA-1 dan
RTA4.
Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara penuh hingga mencapai kadar ion-HCO3 20
gangguan tulang (renal osteodistrofi). Pada keto-asidosis diabetik, atau pada asidosis-laktat tipe A, koreksi dilakukan bila kadar ion-HCO, dalam darah sebesar kurang dari atau sama dengan 5 meq/L atau bila terjadi hiperkalemi berat atau setelah koreksi insulin pada DM dan koreksi oksigen pada asidosis
l.
2.
laktat, asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar ion-HCO, sebesar l0 meq/L. Pada asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respiratori, tidak dalam ventilator, koreksi harus dilakukan secara hati hati atas pertimbangan depresi
pernapasan.
Koreksi dilakukan dengan pemberian larutan NaBikarbonat, setelah diketahui kebutuhan bikarbonat pada pasien. Kebutuhan bikarbonat adalah berapa banyak bikarbonat yang akan kita berikan untuk mencapai kadar bikarbonat darah yang kita tuju. Untuk ini kita harus mengetahui 'bicarbonate-space' atau ruang-bikarbonat (Ru-bikar) pasien pada kadar bikarbonat tertentu dari pasien. Ruang-bikarbonat adalah besarnya kapasitas penyanggaan total tubuh, termasuk
bikarbonat ekstraselular, protein intraselular dan bikarbonat
1. GejalapadapH>7.1 2. Efek inotropik negatip, aritmia 3. Konstriksi vena perifer 4. Dilatasi arteri perifer (penurunan resistensi perifer) 5. Penurunan tekanan darah 6. Aliran darah ke hati menurun 7. Konstriksi pembuluh darah paru (pertukaran O,
terganggu)
tulang.
BB (kg)
195
Contoh:
Ru-bikar pada kadar bikarbonat plasma 20 meq/L adalah : {0,4+ (2,6: 20)} x BB atau 0,53 BB atau 53% BB (lihat
Tabet 1)
I.
II.
Terbuangnya ion-H melalui saluran cerna atau melalui ginjal dan berpindahnya (shift) ion-H masuk ke dalam
sel.
Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dari dalam tubuh (contraction alkalosis). III. Pemberian bikarbonat berlebihan.
HCO3
%BB HCO3
300 170
127 9 10
11
BB
HCO3 17 18 19 20 21 22 23 24
%BB
Ru-bikar
55
54
meq/L
105
12 13 14 15
ID
69 66 64 62 60 58 57 56
merangsang ekskresi bikarbonat oleh pankreas dan penyanggaan ini berlangsung adekuat (tidak terjadi
gangguan keseimbangan asam-basa).
54 53 52
52
51 51
Terbuangnya ion-H akibat muntah muntah maupun pemakaian sonde naso-gastrik yang terbuka, ionbikarbonat tidak diekskresi oleh pankreas karena hilangnya stimulus oleh ion-H di duodenum. Akibatnya hilangnya ion-H yang tidak diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat akan menimbulkan alkalosis. Sekresi ion-H melalui ginjal, akan meningkat pada keadaan keadaan hiperaldosteronisme primer, penggunaan
660/oBB
Aldosteron
di
CIJ
pH,l
dilepas
Renin
J-\
duki
I I
kol
Ang ll Meningkal
I I
2}
x 60 x
(20
10)}
357 meq.
Stimulasi
Na H-ATPase
dan ClHC0rexchanger
Ru-bikar
Berat Badan
ks.io
-H
.t
Reabsorbs HC0
ALKALOSIS METABOLIK
Alkalosis metabolik merupakan suatu proses terjadinya peningkatan primer bikarbonat dalam arteri. Akibat
peningkatan ini, rasio PCO, dan kadar HCO, dalam arteri
Sekresi ion-H melalui tubulus juga meningkat pada keadaan asidosis dalam sel akibat masuknya ion-H ke
dalam sel. Keadaan hipokalemi akan merangsang keluamya
berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio ini dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi
(hipoventilasi) sehingga PCO, meningkat dalam arteri. Pada alkalosis metabolik yang simpel, kenaikan kadar HCO3 I meqlL akan menyebabkan kenaikan PCO, sebesar 0,7 mmHg. Penyebab alkalosis metabolik dapat disebabkan oleh:
kalium dalam sel masukke dalamplasma. Untukmenjaga keadaan keseimbangan elektirk, ion-H masuk ke dalam sel
dan mengakibatkan peningkatan reabsorbsi ionbikarbonat. Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dalam jumlah besar misalnya pada pemberian diuretik loop dalam dosis
196
yang tinggi, akan meningkatkan kadar bikarbonat per liter plasma akibat volume plasma yang berkurang. Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan ketoasidosis diabetik atau asidosis laktat dapat mengakibatkan alkalosis metabolik. Pemberian insulin pada keto-asidosis diabetik atau perbaikan oxigenisasi jaringan pada asidosis laktat akan dengan cepat meningkatkan kadar bikarbonat
plasma.
terhambat. Bila dengan antagonis enzim karbonik anhidrase tak berhasil, dapat diberikan HCI dalam larutan isotonis (150 meq/L) selama 8 - 24 jam. Kebutuhan HCI dapat dihitung dengan mengetahui jumlah distribusi bikarbonat pada keadaan alkalosis
tersebut sbb:
Kelebihan bikarbonat: 0,5 xBeratBadanx (HCO3 plasma-24)
mutasi genetik pada transporter Na-K-Cl di bagian asending loop-Henle (Bartter) dan di tubulus distal
(Gitelman). Keadaan ini mirip dengan alkalosis metabolik akibat diuretik loop atau tiazid.
REFERENSI
Batlle DC. Segmental characterization of defects in collecting
tubule acidification. Kidney Int 1986, 30(4):546-54. Garg LC, Narang N. Effects of aldosterone on NEM-sensitive ATPase in rabbit nepkon segments. Kidney Int 1988, 34(l):13-7. Geibel J, Giebisch G, Boron WF. Angiotensin II stimulates both Na(+)-H+ exchange and Na+/HCO3- cotransport in the rabbit proximal tubu1e. Proc Natl Acad Sci U S A 1990, 87(20):791720. Halperin ML, Goldstein
Pengobatan
l.
2. 3.
darahlebihdari 7,7.
Bila ada deplesi volume cairan tubuh, normalkan kembali volume plasma dengan pemberian NaCl isotonis Bila penyebabnya hipokalemi, koreksi kalium dalam
plasma.
4. Bila penyebabnya
5. 6.
hipokloremi, koreksi chlorida dengan pemberian NaCl isotonis. Bila etiologinya adaTah pemberian bikarbonat berlebihan, stop pemberian bikarbonat. Dalam keadaan fungsi ginjal tuiun atau pada keadaan edema akibat gagaljantung, cor-pulmonale atau sirosis hati, koreksi dengan NaCl isotonis tidak dapat dilakukan karena ditakutkan terjadi retensi Na dan kelebihan cafuan (edema bertambah). Dapat diberikan antagonis enzim
MB. Fluid, Electrolyte, and Acid-Base Physiology (A problem-based approach). Third Edition, 1999, W.B.Saunders Company, Philadelphia, p 50-51. Palmer BF, Alpem RJ. Metabolic alkalosis. J Am Soc Nephrol. 1997,
8(9):1462-9.
Rose BD, Post TW. Acids and Bases. UpToDate 13.1,2005, CDRom. Rose BD, Post TW. Buffers UpToDate 13.1, 2005, CD-Rom. Ruiz OS, Qiu Y! Wang LJ, Arruda JA. Regulation of the renal Na-HCO3 cotransporter: Y mechanism of the inhibitory effect of parathyroid hormone. Kidney Int 1996, 49(2):396-402.
Sasaki S, Marumo F. Mechanisms of inhibition of proximal acidification by PTH. Am J Physiol 1991,260(6 Pt 2): F8338
26
REHIDRASI
Rizka
Hu
ma rdewaya
nti Asdie, Don i Pria mbodo Witja ksono, Soeba gjo Loehoeri
PENDAHULUAN
Rehidrasi adalah usaha mengembalikan ke keaadan hidrasi
yang normal dari keadaan dehidrasi. Dehidrasi dalam pengertian klinis adalah tubuh kekurangan air beserta elektrolit-elektrolitnya. Tujuan utama rehidrasi ini adalah
pengembalian cairanbadan ke volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi yang tepat untuk keseimbangan
asam basa. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan tergantung pada analisis keadaan dehidrasinya. Analisis harus dilakukan setiap saat untuk mengevaluasi keadaan pasien. Seperti halnya penatalaksanaan keadaan klinis yang lain, pada dehidrasi pun dibutuhkan kombinasi data, logika dan empirisme dengan tujuan juga menghilangkan komplikasi-komplikasi yang disebabkan oleh gangguan
keseimbangan asam basa. Pada keadaan tertentu kadangkadang dituntut pemberian obat-obat lain yang dibutuhkan,
misalnya pada pasien asidosis diabetik harus diberikan insulin segera setelah pemberian glukosa dan kalium, pada insufisiensi adrenokortikal harus diberikan kortison atau hidrokortison lain (alfa fluorohidrokortison). Bila keadaan hidrasi ini sudah tercapai, barulah diteruskan dengan
foodborne.
diteliti betul kasus per kasus, apakah seseorang pasien kekurangan air saja ataukah kekurangan air beserta elektrolit di dalamnya ataukah sudah ada gangguan
keseimbangan asam basa. Gangguan asam basa sangat tergantung pada fungsi ginjal dan paru. Masalahnya menjadi lebih kompleks lagi bila ternyata pasien juga mengalami gangguan ginjal dan paru.
I ,5
kali
197
198
Angka kematian diare akut di negara berkembang telah menurun dari 4,5 juta kematian pada tahun 1979 menjadi 1,6 juta pada tahtn2002 namun angka kejadian diare akut masih masuk urutan 5 besar dari penyakit yang sering
penyumbatan sebagian saluran kemih, hipokalemi, aldosteronisme primer, paska transplantasi ginjal, efek toksik litium karbonat, dtau anestesia yang mengandung penthrane (methoxyflurane).
c.
pengeluaran air berlebihan seperti melalui paru, orang-orang yang kontak dengan sinar matahari dalam waktu yang lama tanpa minum, pada hiperventilasi dan demam; pengeluaran air yang
i-
luar biasa (KLB). Departemen Kesehatan RI melalui Keputusan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
2.
form diaruhea
& PL)
telah
mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan dan Pemantauan Program Pemberantasan Diare dengan tujuan khusus menurunkan angka kematian pada semua umur dari 54 per 100.000 penduduk menjadi 28 per 100.000 penduduk, menurunkan angka kematian balita dari 2,5 per 1.000 balita menjadi 1,25 per 1.000 balita dan menurunkan angka fatalitas kasus (CFR) diare pada KLB dari 1-3,8 persen menjadi 1,5 persen.
Kehilangan cairan karena kelebihan elektrolit (solute loading hypertonicity). Kehilangan cairan karena ekskresi urin yang mengandung banyak elektrolit seperti natrium, klorida, kalium dan anion serta kation lain-lain, atau bahan-bahanyatg bukan ion seperti dekstrosa, fruktosa atau urea, asam amino dan bendabenda nitrogen lainnya. Kehilangan cairan ini bisa karena: a. Pemberian makanan yang mengandung banyak garam dekstrosa, protein dan substansi lain dengan
air yang tidak mencukupi pada pasien dengan koma.
b.
ETIOLOGI
Secara garis besar dikenal 3 macam kehilangan cairan badan:
Pemberian makanan yang mengandung susu dan krim tanpa air pada pasien dengan perdarahan
lambung.
Pemberian makanan dengan karbohidrat tinggi pada orang-orang yang baru sembuh dari luka b akar y ang
c.
berat.
1. Kehilangan cairan
at
d. Pasien
diobati.
darl
badan baik karena kekurangan pemasukan air atau kehilangan air berlebih melalui paru, kulit, ginjal, atau saluran makanan. Keadaan ini sering disebut dengan
e. 3.
pure dehydration atao dehydration hypertonic ata,u water deficit atau water deficiency ata,u pure water
depletion. Kehilangan cairan tipe ini biasa terjadi karena:
hiperosmolaritas Kehilangan cairan karena hiperosmolaritas. Hal ini terjadi jika cairan ekstraselular karena suatu sebab menjadi
a.
dapat meningkatkan osmolaritas darah; koma hiperglikemik hiperosmolar dapat juga terj adi pada
dialisis peritoneal. Hiperosmolar dapat ju ga teqadi pada angiografi dengan kontras, sesudah pemberian natrium sulfat intravena pada hiperkalsemia, sesudah pemberian makanan hipertonik pada mega colon dan pada pasien yang baru sembuh dari luka bakar yang berat.
b.
otak lainnya. Kehilangan cairan karena pengeluran melalui ginjal berlebihan: pada ginjal yang normal, misalnya pada diabetes insipidus, karena kelebihan elektrolit atau
hiperosmoler dan pada pemasukan air yang berlebihan; pada gangguan fungsi ginjal yang
disebut nephrogenic diab etes ins ipidus, misalnya pada pyelonefritis kronik, glumerulonefritis, ginj al polikistik, fase diuresis pada kegagalan ginjal akut,
REHIDRASI
199
52o/o berat
badannya. Pada bayi yang baru lahir, mungkin mencapai I5%o dariberat badan, kemudian menurun secara progresif dari lahir sampai umur tua. Kebanyakan penurunan terjadi dalam waktu 10 tahun awal kehidupan. Juga kegemukan menurun presentase air dalam fubuh, kadang mencapai
4s%.
pernapasan yang terjadi pada cuaca dingin. Sedangkan dalam cuaca yang sangat panas, air yang hilang dalam keringat ditingkatkan mencapai 1,5 -2 liter I jam, sehingga mengurangi cairan tubuh dengan cepat.
dua pertiga dalam bentuk air murni atau dalam bentuk minuman lain dan sisanya dari makanan yang dimakan. Sejumlah kecil juga disintesis dalam tubuh sebagai hasil
oksidasi dari makanan. Jumlah sekitar 150 dan 250 mVhari, tergantung dari derajat metabolismenya. Tabel I menunjukkan rute air yang hilang dari tubuh
trilyun sel tubuh, disebut cairan intraselular. Masingmasing sel berisi cairan yang berisi campuran beberapa unsur yang berbeda, namun konsentrasi unsur-unsur ini serupa antara safu sel dengan yang lainnya. Semua cairatyang berada di luar sel disebut cairan
ekstraselular, merupakan cairan yang konstan, rata-rata I 5 liter pada orang dewasa dengan berat b adan'l} kg. Cairan ekstraselular ini terbagi menjadi cairan interstisial, plasma,
merupakan bagian dari cairan ekstraselular dan berhubungan dengan cairan intertisial melalui lubanglubang dalam kapiler secara terus menerus. Volume plasma rata-rata 3 liter pada dewasa normal. Darah berisi cairan ekstraselular (plasma) dan cairan intraselular (dalam darah sendiri). Rata-rata volume darah dewasa normal mendekati 5000 ml, sekitar 3000 ml berupa
molekul air secara difus menembus sel-sel kulit, yang dilapisi oleh jaringan tanduk kulit, yang terisi oleh kolesterol, bertindak sebagai pelindung terhadap
hilangnya air oleh proses difusi.
Suhu normal
lnsensible loss:
Cuaca panas
350
Kulit
Saluran
350
napas
250
1200
1400 100
plasma dan 2000 ml berupa sel darah. Nilai ini sangat bergantung dengan jenis kelamin, beratbadan, dan faktorfaktor yang mempengaruhi volume darah. Secara fisiologis, jumlah cairan tubuh pada orang dewasa berkisar 45-10 o/o berat badan (BB), rata- ruta 57o/o, dan bergantung dengan gemuk dan kurusnya seseorang, sedangkan pada anakanak cairan tubuh berkisar 70-80% berat badan, tata-rata
75%.
5000
100
2300
3300
6500
. .
Cairanintraselular(CIS) :4}YoBB
Cairan ekstraselular (CES) : plasma (5% BB) dan cairan
.
Semua udara yang melalui alat pemapasan mencapai kelembaban yang jenuh, sampai tekanan uap hampir 47
Cairantransselular(CTS)
mmHg, sebelum dikeluarkan. Tekananuap udara luaryang terhisap melalui paru-paru biasanya jauh di bawah 47 mmHg, sehingga mengakibatkan rata-rata air yartg hilang melalui paru berkisar 300-400mltrari. Karena tekanan udara luar menurun dengan menurunnya temperatur, hilangnya
air yang melewati paru terbanyak dalam cuaca yang sangat dingin dan hanya sedikit dalam cuaca yang sangat panas'
Hal ini
200
dan hampir sama sekali tidak terdapat ion Catt, tetapi mengandung sejumlah besar K* dan PO4, dan sejumlah kecil Mg* dan ion SO4 . Sel- sel berisi sejumlah besar protein, hampir mencapai 4 kali lipat dibandingkan di plasma.
akhir menurunkan absorbsi NaCl. Kenaikan elektrolit dan air mengisi usus sehingga timbul diare. Na*K*AIPase dan Naiglukosa cotransporter tak terpengaruh, sehingga reabsorbsi glukosa dan Na* tetap terjadi. Air bergerak keluar masuk usus sampai tekanan osmotik
Absorpsi Air dan Elektrolit Sejumlah kecil cairan hanya terserap dalam mukosa
lambung, tetapi air terserap baik melalui mukosa usus halus dan mukosa usus besar unfuk mengatur naik turunnya nilai osmotik. Na* berdifusi ke dalam dan keluar usus halus
duodenum
tergantung dengan naik turunnya konsentrasi. Karena membran lumen usus halus dan usus besar permeabel terhadap Na*, dan membran basolateral mengandung Na* Kt AIPase, sehingga Na* aktif diserap. Dalam usus halus, transportasi Nat, penting untuk menyerap glukosa, asam amino dan bahan lainnya. Adanya glukosa dalam dalam lumen usus membantu reabsorbsi Na*. Hal ini merupakan fisiologi dasar pengobatan hilangnyaNa* dan airpada diare denganpemberian larutan yang berisi glukosa dan NaCl. Begitu juga gandum
berguna untuk pengobatan diare.
Ion Cl secara nonnal disekresi ke dalam lumen usus halus oleh saluran Cl- yang diaktivasi oleh siklik AMP. Enterosit juga menyerap Na, K, Cl dengan banfuan suatu
cotransporter INa* - IK* - 2Cl dalam membran basolateral.
Masukan
1500 ml
2500 ml 500 ml
1500 ml 1000 ml
8800 ml 5500 ml
1300 ml
b. Kelenjar
200 ml
8800 ml
Balans di tinja Sumber: (Ganong, 1993)
c.
d.
mempengaruhi tekanan darah anak ginjal, dengan mekanisme aldosteron akan mempengaruhi retensi Na Kelenjar hipofisis, dengan mekanisme ADH, akan mempengaruhi resorpsi air Paru-paru, dengan mekanisme asidosis-alkalosis untuk menjaga asam basa
Pada penyakit kolera yang disebabkan oleh vibrio kholera yang tinggal di lumen usus, menghasilkan suatu toksin yang mengikat adenosin difosfat ribosilase subunit
KLASIFIKASI DEHIDRASI DENGAN MANIFESTASI KLINIS Derajat dehidrasi seseorang berdasarkan defisit berat badan, dapat digolongkan sebagai berikut : . Dehidrasi ringan ( defisit < 5%BB) Keadaan umum sadar baik, rasa haus +, sirkulasi darah nadi normal, pernapasan biasa, mata agak cekung,
REHIDRASI
201
turgor biasa, kencing biasa. Dehidrasi sedang ( defisit 5-10% BB) Keadaan umum gelisah, rasa haus ++, sirkulasi darah nadi cepat (120-140), pernapasan agak cepat, mata cekung, turgor agak berkurang, kencing sedikit. Dehidrasi berat ( defisit > 10% BB) Keadaan umum apatis/koma, rasa haus +++, sirkulasi darah nadi cepat (>140), pernapasan Kussmaul (cepat dan dalam), mata cekung sekali, turgor kurang sekali, kencing tidak ada.
Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas. Didapatinya proses
perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan
vili
permukaan absorbsi dan aktivitas disakaridase. Enteroaggregative E.coli (EASCEC) Bakteri ini melekat
1.
2. 3. 4. 5. 6. Fosfatase
7. Natrium
Hematokrit, biasanya meningkat akibat hemokonsentrasi Peningkatan berat jenis plasma Peningkatan protein tota Kelainan pada analisis gas darah (asidosis metabolik) Sel darah putih meningkat (karena hemokonsentrasi)
Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan Shigella. Seperti Shigella,ElBC
melakukanpenetrasi danmultiplikasi di dalam sel epitel kolon. E n t er o h em o n h agic E. c o I i (EIIEC). EIIEC memproduksi
verocytotoxir (VT) 1 dar. 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan eddma dan
perdarahan difuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menj adi hemolytic-uremic syndrome.
DIAGNOSIS
Di
negara yang sedang berkembang dengan fasilitas laboratorium yang terbatas tidak semua diagnosis etiologi bisa ditegakkan, sehingga sering kali diagnosis klinis yang dapat digunakan. Media kultur yang tidak lengkap, hasil kultur yang tidak tumbuh, sehingga diagnosis klinis lah
Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk
kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk'. smooth
1.
Virus
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 - S0%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut : . Rotavirus serotype l, 2, 8, dan 9 : pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, danT didapali hanya pada hewan. . Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akrbatfood borne atatwater borne transmisi, dan dapat juga terjadi perr,tlaran person to person. . Astroviru.s, didapati pada anak dan dewasa
. . '
lipopolysaccharide cell-wall antigenyang mempunyai aktivitas endotoksin serta membanfu proses invasi dan toksin (Sfrlga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watety diarrhea Campylobacter j eiuni (Helicobacter i ejuni). Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi seperli daging ayam dan air. Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person. Cjejuni mungkin menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heatlabile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis. Vibrio cholerae 0l dan V choleare 0139. Air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui person to person jarang terjadi . V.choleraemelekat dan berkembang biak
2. Bakteri
202
accessory cholera enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxtn (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan
atrofi
villi
nyeri abdomen.
sekresi cairan kedalam lumen usus. Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi
'
Clostridium
3. Protozoa
perfringens Staphylococcus aureus, Bacillus cereus Bakteri patogen invasifatau destruktifantara lain: Salmonella, Yers inia enferocol ifi c a, Campylob acter jejuni, Vibrio parahemolyticus, Vibrio mimicus, Wbrio vulviticus, E.coli invasif dan E.coli ettero
hemoragik Virus penyebab diare akut : Rofa virus Protozoa penyebab diare akut '. Giardia lamblia,
host-parasite dipengaruhi oleh umur, status nutrisi, endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau tanpa malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai
Amoeba histolytica
KOMPLIKASI
Dehidrasi akibat bakteri patogen noninvasif biasanya ringan, namun pada kondisi pasien yang jelek tanpa
memperoleh rehidrasi yang adekuat dapat menjadi nekrosis tubular akut hingga bisa menyebabkan kematian yang diakibatkan dengan renjatan hipovolemik. Untuk rehidrasi sendiri jika tidak mencapai hidrasi normal dapat terjadi gagal ginjal akutdan sebaliknyajika terjadi overhidrasi bisa meninggal akibat edemaparu akut. Dehirasi akibat bakteri patogen invasif biasanya lebih
gembung. Entamoeba histolytica. Prevalensi disentri amoeba ini bervariasi, namun penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan bertambahnya umur, dan terbanyak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica rron patogenik (E dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant.
Cryptosporidium.
Di
berat dibanding dengan noninvasif, dan komplikasinya semakin berat jika rehidrasinya tidak adekuat, sehingga bisa menyebabkan gagal ginjal akut dan akan terl'adi edema
paru akutjika rehidrasi yang berlebihan.
dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya simtomatik pada bayi dan asimtomatik pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe watiry dianhea, ingan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan
15o/o
cryptosporidiosls 5 -
Dehidrasi akibat virus komplikasinya hampir sama dengan yang disebabkan bakteri, kebanyakan lebih ringan.
Sedangkan dehidrasi yang disebabkan protozoa biasanya
gangguan sistem kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan
. . . . .
reemerging disease dengan diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.
Microsporidium spp
Isospora belli Cyclospora cayatanensis
PENGOBATAN
4. Helminths
Strongyloides stercoralls. Kelainan pada mukosa usus akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare.
pengobatan yang ditujukan etiologinya, pengobatan spesifik untuk rotavirus, dan pengobatan protozoa
penyebab diare.
Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan
perdarahan usus..
Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunum, menyebabkan inflamasi dan
REHIDRASI
Rehidrasi menurut Goldberge E ( 1980)
REHIDRASI
203
Cara
1.025 x BB (kg) x 4
Bila ada tandatanda di atas ditambah dengan kelemahan fisik yang nyata, perubahan mental seperti bingung atau delirium maka defisit air sekitu 7 -|4%berat badan pada waktu itu.
Cara Pemberian
Bila pasien dapat menelan, air diberikan per oral, kecuali
kalau pasien muntah-muntah. Air j uga diberikan per rektal. Air murni tidak boleh diberikan perinfus dilcarenakan akan menyebabkan eritrosit membengkak dan terjadi hemolisis. Oleh karena itu harus diberikan cairan per infus. Puruhito (19S0) memberikan pedoman sebagai berikut : . Ligasi pungsi
Czra2z
Jika pasien dapat ditimbang tiap hari maka kehilangan berat badan4 kg pada fase akut sama dengan defisit air 4 liter
Cara3:
Dengan kenyataan konsentrasi natrium dalam plasma
berbanding terbalik dengan volume air ekstraselular dengan pengertian bahwa kehilangan air tidak disertai dengan
Na2xBW2:NalxBWl
Dimana:
Nal BWl N,
BW2
: kadarnatriumplasmanormal(l42nBqL) : volume air badan normal, biasanya 60% dari BB pria dan 50% dari BB wanita : kadar natrium plasma sekarang : volume air badan sekarang
Urutankerja: Lihat etiket pada botol infus, apakah sesuai dengan yang dijadwalkan, lihat kualitas cairan apakah ada
kekeruhan, perubahan wama, partikel kotoran. Jarum infus yang dipakai sebaiknya yang disposable. Tunry infus dibersihkan dengan alkohol dan infus set diisi dengan cairan infus terisi penuh dan tidak ada udara. Kemudian dilakukanpungsi vena di tempatyang dipilih'
Jarum pungsi difrksasi pada kulit plester, lalu pengaturan tetesan dibuka sesui dengan jadwal yang diberikan.
Gejala klinis
Muntah Voxs Choleric (Suara serak) Kesadaran apatis
Skor
1
I
2
I
1 1
Di samping pemberian cairan lewat infus, kita kenal pemberian cairan lewat hipodemoklinis pada pasien dengan penyakit jantung yang tidak memungkinkan
pemberian lewat per oral atau infus, dengan syarat-syarat
sebagai berikut
:
2
1
1
1.
- 1 (negatif)
- 2 (nesatif)
2.
Cairan harus isotonik dengan plasma. Jika hipertonik akan terjadi retribusi cairan ke jaringan interstisial dan merangsang subkutan Dekstrosa 5o/o dan air tidak boleh diberikan subkutan
jaringan interstisial.
Kecepatan Tetesan
Biasanya kehilangan cairan dapat dikoreksi dalam2hari. Setengah kebutuhan diberikan pada hari yang pefiama, dapat per oral, rektal atau infus. Bila kehilangan cairan
204
cukup berat dan pemberian infus terlalu cepat, akan mengakibatkan intoksikasi air dan kejang, disebabkan selsel otak dengan osmolaritasnya yatg tinggi dibanding
dengan sel-sel lain mengalami edema dengan cepat. Untuk itu pemberian cairan dengan memperlambatnya dan selalu
REFERENSI
Daldiyono H et al., Menghitung jumlah cairan untuk initial rehidrasi pada gastrointestinal akut/ Choleriform Diarrhea dengan sistem skore. Naskah Lengkap KOPAPDI, 1973 : 489 - 95 Depkes RI, 2005a, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1216/ MENKES/SK/XIl200l tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare,Edisi ke-4, Jakarta Depkes RI, 2005b, Rencana Pembangunan Kesehatan Tahun 2005-
2009, Jakarta.
. .
Tetrasiklin 30 mg,&gBB per oral tiap 6 jam, selama 2 hari Trimetoprim 160 mg dan sulfametoksazol 800 mg, per or al, 2x.ttai,selama 5 hari
jadi
sifat
pengobatanny a hany a s imtomatik atau suportif. Sedangkan untuk pengobatan diare yang disebabkan protozoa adalah
DuPont HL : Guidelines on Acute Infectious Diarrhea in Adults, American Joumal of Gastroenterology, Yol.92, No.1 1, November 1997. Goldfinger SE : Constipation, Diarrhea, and Disturbances of Anorectal Function, 1lr : Braunwald, E, Isselbacher, K.J, Petersdorf, R.G, Wilson, J.D, Martin, J.B, Fauci AS (Eds) : Harrisonb Principles of Internal Medicine, 11Lh Ed. McGraw-Hill Book Company, New York, 1987, 171 - 80. Ganong WF Review of Medical Physiology six teenth ed. Pretice Hall Intemational Inc. Appleton and Lange Simon and Schuster Business and Professional Group 1993 :434. Ilnyckyj A : Clinical Evaluation and Management of Acute Infectious Diarrhea in Adult, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB Saunders Company, September 2001. Montgomery L : What is the best way to evaluate acute diarrhea ?,
Journal
of Family Practice,
: http.//
. .
PROGNOSIS
baik, terutama jika mendapat penanganan cepat, tepat dan adekuat. Kematian terjadi jika mempunyai
Pada umumnya
REHABILITASI
Terutama bila pasien mempunyai penyakit dasar apalagi lebih dari satu penyakit dan multiorgan seperti pada geriatri.
Suthisarnsuntorn U. Bacteria Causing Diaryheal Diseases & Food Poisoning, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Turgeon DK, Fritsche, T.R. Laboratory Approachs to Infectious Diarrhea, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB Saunders Company, September 2001 Tantivanich S. Viruses Causing Diarrhea, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Wa:rke CA. Epidemiology and cause o/ diaruhea in developed countries,2008 . Uptodate 16.3 Wingate D, Phillips SP, Lewis SJ, et al : Guidelines for adults on self-
medication for the treatment of acute diarrhoea, Alimenl Pharmacol Ther, 2001: 15;77 1-82.
ASPEK KHUSUS
Penanganan rehidrasi yang terlambat dan tidak adekuat sering menimbulkan penyulit gagal ginjal, tetapi jarang yang memerlukan hemodialisis kecuali kalau memang
27
PENATALAKSAN ATN UMUM KOMA
Budiman
PENDAHULUAN
Kondisi tidak sadar dan koma merupakan masalah umum dalam kedokteran. Keadaan ini mendominasi unit gawat
darurat pada berbagai pelayanan rumah sakit. Ketidaksadaran dan kehilangan kesadaran memiliki
manifestasi klinik dan penjelasan fisiologi yang berbeda, kendati dapat disebabkan oleh berbagai penyakit.
srArq
terletak di atas batang otak dan talamus media, mempertahankan korteks sereberal dalam keadaan
sadar.
Jadi, prinsip dasar terjadinya koma adalah : l)' Luka atau kerusakan pada RAS atau proyeksi ry a; 2). Rusaknya sebagian besar kedua serebral hemisfer; 3). Tertekannya fungsi retikulo serebral oleh obat-obatan' toksin, atau
kesadaran menyebar dari otak tengah kaudal menuju talamus bagian bawah. Neuron RAS berdiri pada korteks
pupil pupil
maka
diri dari
205
206
sekitar 8 - 10 detik setelah aliran darah berhenti. Ritme EEG menjadi lambat dan ketika kondisi pengiriman substrat memburuk, maka semua aktivitas elekhik otak berhenti.
metabolik global otak menurun sesuai tingkat ketidaksadaran. Kondisi seperti hipoglikemia,
hiponatremia, hiperosmolar, hiperkapnia, hiperkalsemia,
dan kegagalan hati dan ginjal, berhubungan dengan berbagai perubahan pada neuron dan astrosit. Efek reversibel kondisi tersebut tidak jelas, tetapi mungkin pada aliran ion
disebabkan oleh gangguan penyediaan energi, perubahan di sepanjang membran neuron, dan abnormalitas neurotransmiter. Koma dan kejang adalah penyerta yang biasa terjadi akibat ketidakseimbangan sodium dan air dalam skala
Koma yang terjadi merupakan akibat dari tekanan lateral dari otak tengah yang berbenturan dengan sudut tentorial
yatg
parahipokampus.
Bentuk lain adalah hemiasi transfalsial (pergeseran gyrus singulat di bawah falx dan disamping garis tengah) dan herniasi foraminal (dorongan ke bawah tonsil serebelar ke foramenmagnum).
Koma epileptik. Pengeluaran listrik menyeluruh dan berkelanjutan dari korteks (s eizures I kejang) berhubungan dengan koma, walaupun tidak ada aktivitas motor epileptik (convulsion). Koma yang terjadi setelah kejang, merupakan
tahap postictal, yang disebabkan oleh kekurangan
persediaan energi atau efek molekul toksik lokal yang
merupakan hasil dari kejang.
Hubungan langsung antara berbagai konfigurasi hemiasi transtentorial dan koma, tidak selalu ditemukan. Pergeseran, strukfur otak dalam ke arah manapun oleh massa, cukup adekuat untuk menekan bagian RAS, sehingga terjadi koma.
Drowsiness dan stupor dapat terjadi dengan pengangkatan sedang secara horizontal pada daerah
diencefalon (thalami), sebelum transtentorial atau hemiasi. Pada kasus tempaknya massa akut, terdapat hubungan konsisten antara tingkat pergeseran horizontal struktur garis tengah dengan tingkat kesadaran.
Penatalaksanaan. Evaluasi medik yang lengkap dapat ditunda kecuali tanda vital, funduskopi, pemeriksaan
. . .
Pergeseran horizontal pineal 3 - 5 mm : drowsiness Pergeseran horizontal pineal 6 - 8 mm : stupor Pergeseran horizontal pineal > 9 :koma
mm
Koma dan Kondisi Ketidaksadaran Karena Gangguan Metabolik Gangguan metabolik mengakibatkan koma dan
mengganggu pengiriman substrat energi (hipoksia, iskemia,
Riwayat. Padaberbagai kasus, sebab dari koma akan cepat dibuktikan (misalnya. trauma atau serangan jantung). kendati demikian, terdapat beberapa hal yang harus diketahui: 1). kondisi dan kecepatan terjadinya gejala neurologis; 2). gejala anteseden (confusion, lemah, sakit kepala, kejang, pusing, pandangan gatda, atau muntah); 3). penggunaan obat-obatan, narkoba, atau alkohol; 4). penyakit hati kronik, ginjal, paru-paru, jantung, dan lainlain.
hipoglikemia) atau dengan mengganti eksitabilitas neuron. Neuron cerebral sangat tergantung pada aliran darah
cerebral (CBF:cerebral blood flow) dan berhubungan dengan pengiriman oksigen. dan glukosa. Otak menyimpan glukosa untuk energi selama 2 menit setelah aliran darah terganggu dan oksigen yang tersisa
207
44" C'. heat stroke atau intoksikasi obat antikolinergik; 2). Hipotermia; kemungkinan intoksikasi alkohol, barbiturat, sedatif, atau fenotiazin, hipoglikemia, kegagalan sirkulasi periferal, atau hipotiroid, dan suhu < 3 l'C.
Sebagian besar penyebab koma adalah karena masalah medis yang jelas seperli intoksikasi obat, hipoksia, strok,
. .
Perdarahan gangliabasal dan talamik (onset akuttetapi tidak instan, muntah, sakit kepala, hemipegia, dan tanda
Addison.
tertentu pada mata) Perdarahan pontin (onset mendadak, pupil terlihat, gerakan refleks mata hilang, dan respon komea, okular
. .
berlebih)
perdarahan serebelar (sakit kepala oksipital, muntah,
gaze
KADAR TERJAGAAN (AROUSAI) DAN GERAKAN YANG DIHASILKAN Jika pasien tidak terangsang oleh suara yang keras,
stimulus yang intensif dan semakin kuat dapat digunakan
untuk menentukan besarnya terjagaan dan respons motorik optimal pada setiap sisi tubuh. Hasilnya dapat bervariasi dari menit ke menit dan sangat diperlukan pemeriksaan beruntun. Misalnya dengan menggelitik
lubang hidung, menggunakan tangan unhrk mengeluarkan rangsangan yang salah.
Refleks Batang Otak Penilaian fungsi batang otak sangat penting untuk
mengetahui lokasi lesi pada koma. Refleks yang dinilai biasanya respons pupil pada cahaya, gerakan mata
spontan dan keluar, respons kornea, dan pola pernapasan. Jadi, ketika aktivitas batang otak terdeteksi, terutama
reaksi pupil dan gerakan mata, maka koma dinyatakan sebagai penyakit hemisfer bilateral.
(tiga) konsep:l). Tanpa tanda-tanda neurologis yang penting, misalnya. ensefalopati metabolik; 2). Sindrom meningitis, dengan kategori demam atau leher kaku dan
adanya keluaran sel pada cairan spinal, misalnya.
meningitis bakterial, perdarahan subaraknoid; 3). Dengan tanda-tanda penting yang biasa terjadi, misalnya strok,
perdarahan serebral.
Gambar 1. Pemeriksaan refleks batang otak pada koma
208
Kematian Otak
Kematian otak terjadi akibat terhentinya aliran darah serebral, hasil dari hilangnya fungsi otak secara global sementara itu pemapasan dipertahankan dengan alat dan
jantung terus dipompa. Kerusakan otak ini merupakan jenis yang dapat dikatakan sama dengan kematian. Diagnosis kematian otak, terdiri dari beberapa elemen
Pemberian cairan hipotonik intravena harus dilakukan dengan hati-hati pada semua gangguan serius otak karena
berpotensi terjadi edema serebri. Luka pada tulang servikal harus diperhatikan, terutama jika akan dilakukan intubasi atau evaluasi respons okulosefalik. Sakit kepala dengan demam dan meningismus merupakan tanda dibutuhkannya
penting: 1). kerusakan batang korteks yang luas, yang ditunjukkan dengan koma yang dalam (tidak responsif terhadap semua bentuk rangsangan); 2). kerusakan menyeluruh batang otak, yang ditunjukkan dengan pupil tidak bereaksi terhadap cahaya dan hilangnya refleks
okulovestibular dan kornea; 3). kerusakan medulla yang disebabkan oleh apnea komplet. Denyut nadi tidak bervariasi dan tidak respons pada atropin. Biasanya terjadi diabetes insipidus, tetapi terjadi beberapa jam atau hari setelah kematian otak. Pupil
pemeriksaan cairan serebrospinal unfuk mendiagonsis meningitis. Jika penekanan lumbal terlambat dilakukan karena suatu hal, maka harus segera diberikan antibiotik seperti sefalosporin generasi ketiga, terutama setelah diambil kultur darah.
Glasgow Coma Scale (GCS). Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Teasdale dan Jennett, sebagai alat
membesar berukuran sedang. Refleks tendon tidak diperlukan karena tulang belakang tetap berfungsi. Tes apnea dapat dilakukan dengan aman, dengan menggunakan difusi oksigenisasi (ventilator dilepaskan).
+Y:
3 sampai dengan 15
Penjumlahan nilai respons merupakan asesmen tingkat kategori ketidaksadaran pasien, yang terbagi menjadi:
Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah mencegah kerusakan sistem saraf
ventilasi mekanik jika terdapat hipoventilasi atau kebutuhan untuk merangsang hipokapnia untuk menurunkan ICP. Dilakukan suntikan intravena dan diberikan nalokson dan dekstrosa jika terjadi overdosis narkotika dan hipoglikemia; tiamin diberikan bersama
dengan glukosa untuk menghindari terjadinya penyakit Wemicke pada pasien malnutrisi. Pada kasus trombosis
Spontan: terbuka kedipan pada garis dasar Terbuka pada perintah bicara, atau jeritan Terbuka pada rasa sakit, terlihat pada wajah Tidak ada
4 poin
3 poin 2 poin
1 poin
jika tidak
terdapat
perdarahan serebral. Penggunaan fisostigmin untuk membangunkan pasien overdosis obat antikolinergik,
Respons
Verbal (V)
Melakukan gerakan diperintahkan Gerakan karena rangsang sakit (rasa sakit lokal) Tidak merasakan sakit Fleksus tidak normal, decofticate posture Respons ekstensor (rgtrd), decerebrate posture Tidak ada respons Terorientasi Pembicaraan membingungkan, tetapi dapat menjawab
pertanyaan. Respons tidak jelas, kata-kata jelas Kata-kata
respons yang
6 poin 5 poin
rasa
4 poin
3 poin
2 poin
1 poin
5 poin 4 poin
Tidak ada
meracau respons
209
Berbagai cara pengukuran lain telah dikembangkan satu kekurangannya adalah kegagalan dalam mengukur refleks batang otak Pengukuran ini juga memiliki bias numerik
otak. Hilangnya gelombang kortikal pada potensi teqaga somatosensori merupakan indikator prognosis koma yang buruk.
PROGNOSIS
Dampak koma adalah dibutuhkannya perawatan jangka panjang. Vegetative slale persisten memiliki prognosis yang buruk. Prognosis lebih baik dapat terjadi pada kelompok anak-anak dan remaja. Koma metabolik memiliki pronosis yang lebih baik dibandingkan dengan koma traumatik. Segala pendapat
mengenai prognosis pada orang dewasa, sebaiknya hanya
2004;6:30 Fukuda N, Tanizawa Y Progress in diagnosis of and therapy for hypoglycemic coma in patients with well-controiled diabetes. Nippon Naika Gakkai Zasshi. 20O4;8:93. Gerber CS. Understanding and managing coma stimulation: are we doing everything we can? Crit Care Nurs Q. 2005:2:28.
Kochanek PM,
severe
traumatic brain injury. JAMA. 2003;22:289. Michelson DJ, S Ashwal. Evaluation of coma and brain death. Semin Pediatr Neurol. 2004;2:11. Nayana PP, TV Serane, et al. Long-term outcome in coma. Indian J Pediatr. 2005;4:12. Ropper AH. Acute confusional states and coma. In: Kasper DL, et al, eds. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition.
berupa perkiraan, dan keputusan medis seharusnya disesuaikan dengan faktor-faktor seperti usia, penyakit
sistemik yang ada, dan kondisi medik secara keseluruhan.
Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di kepala, dapat dilakukan dengan Glasgow Coma Scale; secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma
28
SINKOP
Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution
PENDAHULUAN
Berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein, yang artinya memutuskan. Sehingga definisi dari sinkop tersebut adalah kehilangan kesadaran dan kekuatan postural tubuh yang tiba-tiba dan bersifat sementara,
disebabkan oleh masalah kardiak. Sedangkan pada kelompok dengan kejadian sinkop yang berhubungan dengan persarafan termasuk hipotensi ortostatik dan sinkop yang berhubungan dengan obat-obatan, tidak
menunjukkan peningkatan tingkat mortalitas.
KLASIFIKASI
Penyebab sinkop dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok utama yaitu vaskular, kardiak, neurologikserebrovaskular, psikogenik, metabolik dan sinkop yang
dokter sehingga prevalensi dari sinkop tersebut sulit ditentukan. Diperkirakan sepertiga dari orang dewasa
pernah mengalami paling sedikit sekali episode sinkop selama hidupnya.. Di Amerika dikatakan bahwa t 3Yo dari kunjungan pasien di gawat darurat disebabkan oleh
kejadian sinkop, dan merupakan6Yo darialasan seseorang datang ke rumah sakit. Angka rekurensi dalam pemantauan selama 3 tahun lebih kurang34Yo. Pada studi Framingham mengenai kejadian sinkop dilakukan pemeriksaan sekali dalam dua tahun yang melibatkan 7814 individu, dilaporkan bahwa insidens sinkop pertama kali terjadi 6,211000 or-
Penyebab Vaskular dari Sinkop Dibagi dalam beberapa kelompok gangguan vaskular
seperti kelainan anatomik (subclavian steal syndrome), ortostatik (insufisiensi otonom, idiopatik, hipovolemia dan akibat induksi obat-obatan) serta diakibatkan refleks (hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi
tersebut dapat mencapai US $ 800 juta. Pasien yang mengalami episode sinkop akan mengalami penurunan kualitas hidup mereka. Prognosis dari sinkop sangat
bervariasi tergantung dari diagnosis etiologinya. Sebagai contoh pada studi Framingham tersebut, individu yang mengalami sinkop termasuk sinkop yang tidak diketahui penyebabnya mempunyai tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidakpernah mengalami episode sinkop. Pada pengamatan dikatakan bahwa tingkat morlalitas tertinggi ditemukan pada kasus sinkop yang
Hipotensi ortostatik.
D efi ni si hipotensi ortostatik adalah apabila terjadi penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri selama 3 menit . Pada saat seseorang dalam posisi berdiri sejumlah 500-800 ml darah akan berpindah ke daerah
210
SINKOP
2tt
Sinkop yang dimediasi persarafan. Ada beberapa sindrom
akan mencetuskan peningkatan refleks simpatis. Hasil akhir yang ditemukan adalah keadaan di mana te4adi peningkatan
denlut jantung, kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular unfuk mempertahankan tekanan darah sistemik
menjadi stabil. Kondisi hipotensi ortostatik ini dapat asimtomatik tetapi dapat pula menimbulkan gejala-gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan penglihatan, lemah, berdebar, gemetar dan sinkop. Sinkop yang terjadi setelah makan,
sinkop yang dimediasi refleks di antaranya adalah hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi persarafan, sinkop glossofaringeal, situasional (batuk, mengunyah dan berkemih) serta sensitif terhadap adenosin. Pada setiap kasus refleks timbul akibat pencetus
$tada afferent limb) datrespon(pada efferent limb). Al<tbat
dari refleks tersebut akan timbul peningkatan aktivitas vagal dan umpan balik pada simpatis perifer sehingga
terjadi bradikardi, vasodilatasi dan pada akhirnya hipotensi, presinkop atau sinkop. Penyebab refleks yang paling sering adalah hipersensitivitas sinus karotis dan hipotensi yang dimediasi persarafan. Pencetus yang khusus dari masing-masing keadaan misalnya pada sinkop akibat berkemih disebabkan oleh
terutama pada usia lanjut disebabkan oleh redistribusi darah ke usus. Penurunan tekanan darah sistolik sebanyak 20 mmHg tata-rata satu jam setelah makan terjadi pada
sekitar seperliga populasi usia lanjut yang berada di rumah perawatan. Walaupun sering tidak bergejala tetapi dapat mengakibatkan gejala kepala terasa ringan bahkan sinkop. Penyebab lain terjadinya hipotensi ortostatik adalah
obat-obatan terutama yang mengakibatkan terjadinya deplesi volume atau vasodilatasi. Populasi usia lanjut merupakan kelompok yang rentan dengan efek hipotensif obat-obatan akibat penurunan sensitivitas baroreseptor, berkurangnya aliran darah serebral, renal sodiumwasting dan gangguan mekanisme haus akibat proses penuaan. Di antara obat-obatan yang sering menyebabkanhipotensi ortostatik adalah:
aktivasi mekanoreseptor pada kandung kemih. Sinkop akibat defekasi timbul akibat input neural dari reseptor tekanan pada dinding usus, sedangkan sinkop akibat mengunyah timbul akibat impuls saraf aferen yang berada
. . . . . . . . . .
diuretika
penghambat adrenergik alfa misalnya : terazosin penghambat saraf adrenergik misalnya : guanetidin
penghambatACE
antidepresan : MAO Inhibitor
sinkop tanpa sebab yang jelas hanya kira-kira 6oh. Demikian pula dengan angka kematian mendadak yang
lebih tinggi pada populasi yang mempunyai kelainan dasar kardiak.
Aritmia. Sinkop akibat irama jantung yang tidak beraturan paling sering disebabkan oleh keadaan takiaritmia (ventrikular atau supraventrikular) atau bradiaritmia.
Takikardia ventrikel merupakan keadaan takiaritmia yang
struktur yang merupakan bagian dari sindrom terlentu. Salah satu contoh adalah postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) adalah salah satu bentuk ringan dari gangguan otonom kronik dan intoleransi ortostatik ini ditandai dengan gejala-gejala yaitu peningkatan denyrt jantung sebanyak 28 kali/menit atau lebih tanpa diikuti
perubahan bermakna dari tekanan darah selama 5 menit dalam posisi berdiriatatupright tilt. POTS ini diakibatkan
oleh kegagalan vaskular perifer sehingga terjadi vasokonstriksi. Dapat pula terjadi akibat sinkop yang berhubungan dengan hipotensi yang dimediasi
persarafan.
212
repolarisasi ventrikel yang memanjang (sindrom QT memanjang atau Long QT syndrome /LQTS), tetapi
mempunyai jantung yang secara stmktural normal. LQTS dapat terjadi akibat penyakit dasar yang didapat ataupun
malformasi Amold-Chiari dan TIA (Transient Ischemic Attack) yang ternyata cukup mengejutkan karena
merupakan < l\yo sebagai penyebab sinkop secara keseluruhan. Kebanyakan individu yang mengalami sinkop akibat kelainan neurologik seringkali mengalami kejang, daripada hanya episode sinkop saja. Kelainan neurologi yang terjadi seringkali mirip dengan
kesadaran seseorang. Keadaan ini termasuk iskemi serebral sementara (biasanya pada daerah vertebrobasiler), migrain
(daerah arteri basiler), epilepsi lobus temporal, kejang atonik dan serangan kejang umum. Pada gangguan neurologi yang berhubungan dengan nyeri hebat seperti
takikardi ventrikel polimorfik akibat katekolaminergik familial serta displasia ventrikel kanan yang berhubungan dengan aritmia ventrikel. Pada kardiomiopati hipertrofi, akibat hipertrofi kardiak yang terjadi dapat menyebabkan
kematian mendadak karena takiaritmia ventrikel menetap. Penjelasan lain dari sinkop yang dapat terjadi adalah tipe obstruktif di mana terdapat gradien intraventrikular. Pada pengguna pacu jantung dan ICD (Implantable Cardiac Defibrillalor) yang mengalami gangguan fungsi dapat menyebabkan terjadinya sinkop. Individu pengguna ICD misalnya, apablla terjadi takiaritmia ventrikel yang cepat dan dapat diatasi dengan alat tersebut, sinkop masih
mungkin dapat terjadi, hal ini tergantung dari lamanya keadaan hipotensi akibat proses terminasi dari takiaritmia tersebut. Sehingga penting sekali mendapatkan keterangan mengenai ICD yang dipergunakan terutama
apabila terdapat episode sinkop tersebut.
Penting diperhatikan bahwa sinkop akibat hipoglikemi berbeda dengan sinkop pada keadaan lain yaitu tidak berhubungan dengan hipotensi, bahkan pada saat pasien
Struktur anatomi jantung. Kelainan anatomi jantung yang dapat menyebabkan sinkop termasuk stenosis valvular (aorta, mitral, pulmonal), disfungsi katup protesa atau
hombosis, kardiomiopati hiperfrofft, emboli paru, hipertensi
pulmonal, tamponade jantung dan anomali dari arteri koroner. Sinkop pada stenosis aorta terjadi saat aktivitas ketika terjadi obstruksi katup menetap dan menghambat
peningkatan curahjantung sehingga timbul dilatasi vaskular pada otot-otot skeletal yang bergerak. Sinkop dapat terjadi saat aktivitas atau latihan tersebut bahkan sesaat setelahnya. Sinkop juga dapat terjadi pada saat istirahat pada stenosis aorta bila ditemukan keadaan takiaritmia paroksismal atau bradiaritmia yang timbul bersamaan dengan abnormalitas katup ini. Diseksi aorta, subclavian steal syndrome, disfungsi berat ventrikel kiri dan infark miokard merupakan penyebab penting lain dari sinkop kardiak. Pada usia lanjut, sinkop
dalam posisi terlentang. Hipoadrenalism yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi postural akibat sekresi kortisol yang tidak adekuat, merupakan penyebab penting episode sinkop yang dapat diobati. Keadaan ini harus dipikirkan pada individu yang mendapatkan terapi steroid jangka panjang dan tiba-tiba menghentikannya atau bila sudah terdapat stigmata insufisiensi adrenal.
UJIDIAGNOSTIK Mengetahui penyebab pasti dari sinkop seringkali merupakan sesuatu keadaan sulit yang menantang. Hal
ini disebabkan oleh karena kejadian sinkop tersebut terjadi secara sporadis dan jarang, sehingga sulit untuk dapat melakukan pemeriksaan fisis ataupun membuat rekaman jantung saat kejadian sinkop tersebut.
dapat merupakan tampilan dari infark miokard akut. Miksoma atrial kiri atau trombus pada katup protesa yang menutupi katup mitral selama fase diastolik akan
SINKOP
213
diketahui riwayat kejadian di saat-saat sebelum terjadinya sinkop tersebut untuk menentukan penyebab sinkop serta
menyingkirkan diagnosis banding yang ada. Dari anamnesis harus ditanyakan riwayat pasien secara teliti dan seksama, sehingga dari riwayat tersebut dapat
menggambarkan kemungkinan penyebab sinkop tersebut atau dapat sebagai petunjuk untuk strategi evaluasi pada pasien. Gambaran klinis yang muncul pada setiap pasien sangat penting untuk diketahui terutama faktor-faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya sinkop beserta
predisposisi, keadaan yang memberatkan, gejala ikutan dan pasien mengalami episode sinkop berulang dalam beberapa tahun. Beberapa penyebab terjadinya kehilangan kesadaran
yang paling sering ditemukarr antara lain : l). Serangan Stokes-Adam misalnya, keadaan asistol sementara atau fibrilasi ventrikel pada blok atrioventrikular ; 2). Aritmia Jantung lain, atau 3). Kejang (misalnya petit mal pada epilepsi). Kemungkinan bahwa hal-hal tersebut di atas
akibatnya.
yang tercantum ditanyakan secara teliti dan seksama. Selain berguna untuk diagnostik, mengetahui riwayat kejadian juga dapat merupakan strategi untuk evaluasi. Sebagai contoh, penyebab kardiak sangat mungkin dipikirkan apabila sinkop didahului dengan keluhan
berdebar-debar, atau sinkop terjadi pada posisi terlentang ataupada saat selama melakukan latihan hsik. Sebaliknya, mekanisme mediasi oleh persarafan sangat mungkin menjadi penyebab apabila terdapat faktor-faktor
berkisar anlara I sampai 2 detik. Kejadian yang gradual atau bertahap kemungkinan disebabkan oleh sinkop vasodepresor, misalnya pingsan pada umumnya atau
sinkop akibat hiperventilasi atau hal lain yang lebihjarang
adalah hipoglikemia. Pada pemeriksaan fisis, gambaran klinis dan tampilan pasien sangat penting diketahui. Pemeriksaan-pemeriksaan
Rekomendasi klas
tekanan darah ortostatik dan elektrokardiogram, maka diagnosis penyebab sinkop pada keadaan-keadaan :
Pertanyaan-pertanyaan seputar keadaan saat sebelum serangan Posisi (duduk, terlentang atau berdiri) Aktivitas (istirahat, perubahan posisi, sedang atau sehabis melakukan latihan fisik, sedang atau sesaat setelah berkemih, buang air besar, batuk atau menelan) Faktor-faktor predisposisi (misalnya tempat ramai atau panas, berdiri dalam waktu lama, saat setelah makan) dan faktor yang memberatkan (misalnya ketakutan, nyeri hebat, pergerakan leher)
Sinkop vasovagal : bila terdapat kejadian-kejadian yang memberatkan seperti rasa takut, nyeri hebat, stres emosi, berdiri lama yang timbul dengan gejala prodromal tipikal
Sinkop situasional : bila sinkop terjadi selama atau segera setelah berkemih, defekasi, batuk atau mengunyah
Pertanyaan-pertanyaan mengenai saat terjadinya serangan Mual, muntah, rasa tidak enak di perut, rasa dingin, berkeringat, aura, nyeri pada leher atau bahu, penglihatan kabur
setelah pasien berbaring terlentang selama 5 menit. Pengukuran diteruskan setelah 1 atau 3 menit berdiri dan
tetap diteruskan pengukurannya bila tekanan darah masih menurun dalam 3 menit. Bila pasien tidak dapat berdiri lama, tekanan darah sistolik terendah selama posisi tegak harus direkam. Penurunan tekanan darah sistolik > atau sama dengan 20 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik sampai 90 mmHg dapat didefinisikan sebagai hipotensi ortostatik, terlepas dari ada atau tidaknya gejala yang menyertarnya. Sinkop akibat aritmia : Dilihat dari gambaran EKG dan bila terdapat: . Sinus bradikardia < 40 kali/menit atau blok sinoatrial berulang atau henti sinus > 3 detik
Pertanyaan-pertanyaan mengenai serangan yang terladi (saksi mata) Bagaimana cara seseorang tersebutjatuh (merosot atau berlutut), warna kulit (pucat, sianosis, kemerahan), lamanya hilang kesadaran, jenis pernapasan (mengorok), pergerakan (tonik, klonik, tonik-klonik atau minimal mioklonus, otomatisasi) dan lama kejadiannya, jarak antara timbulnya pergerakan-pergerakan tersebut dengan kejadian jatuh, lidah tergigit
Pertanyaan-pertanyaan mengenai latar belakang Riwayat keluarga dengan kematian mendadak, penyakit jantung aritmogenik kongenital atau pingsan Riwayat penyakit jantung sebelumnya Riwayat kelainan neurologis (parkinsonisme, epilepsi, narkolepsi) Gangguan metabolik (misalnya diabetes melitus) Obat-obatan (antihipertensi, antiangina, antidepresan, antiaritmia, diuretika dan obat-obatan yang dapat membuat QT memanjang) (Bila terjadi sinkop berulang) Keterangan mengenai berulangnya sinkop misalnya waktu dari saat episode sinkop pertama dan jumlah rekurensi yang terjadi
. . .
214
Kemungkinan Penyebab
Vasovagal
perdarahan dan lain-lain. Pada keadaan sindrom QT memanjang keadaan hipokalemia dan hipomagnesemia harus disingkirkan terlebih dahulu. Tes kehamilan harus
dilakukan pada wanita usia reproduksi, terutama yang akan
dijelaskan Posisi berdiri dalam waktu lama atau di keramaian, tempat yang
hangat Mual, muntah berhubungan
Pemeriksaan elektrokardiografi. Rekaman elektrokardiografi 1 2 sandapan harus selalu dilakukan pada pasien dengan sinkop. Walaupun tidak banyak informasi yang dapat diperoleh apabila sinkop tersebut disebabkan keadaan non-kardiak, tetapi pemeriksaan ini mudah, cepat, tanpa risiko dan tidak mahal. Beberapa penemuan penting yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini serta kemungkinan dapat diidentifikasi sebagai penyebab sinkop
Vasovagal
Post prandial (gangguan
dengan sinkop Satu jam setelah makan Setelah latihan flsik Sinkop dengan nyeri di daerah tenggorokan atau wajah
Dengan rotasi kepala, terdapat penekanan pada sinus karotis (tumor, bercukur, kerah yang ketat) Dalam beberapa detik sampai menit bila berdiri aktif
Neuralgia (neuralgia glosofaringeal atau trigeminal) Sinkop akibat gangguan sinus karotis yang
spontan
Terdapat hubungan waktu dengan dimulainya terapi obat tertentu atau perubahan dosis obat yang diberikan Selama latihan fisik , atau posisi terlentang Didahului keluhan berdebardebar Riwayat keluarga mengalami kematian mendadak
displasi ventrikel kanan aritmogenik). Banyak pasien dengan sinkop menunjukkan gambaran rekaman elektrokardiograhyatg normal. Hal ini sangat berguna
untuk menunjukkan kemungkinan kecil penyebab sinkop berasal dari kelainan kardiak, yang berhubungan dengan
prognosis yang lebih baik. Terutama bila terjadi pada pasien usia muda yang mengalami sinkop.
Sinkop kardiak Takiaritmia Sindrom QT memanjang, sindrom Brugada, Displasi Ventrikel Kanan, Hipertrofi
Kardiomiopati
dan diplopia
Lengan yang sering dipergunakan untuk latihan Perbedaan tekanan darah atau denyut nadi pada kedua lengan Bingung setelah serangan selama lebih dari 5 menit Pergerakan tonik klonik, automatisme, lidah tergigit, wajah kebiruan, aura epileptik Seringkali serangan disertai keluhan somatis, tanpa kelainan organik pada jantung.
Tl A (Transient
Blok bifasikular (didefinisikan sebagai blok berkas cabang kiri atau blok berkas cabang kanan atau blok fasikular
posterior kiri) Abnormalitas/kelainan konsuksi intraventrikular lain (durasi QRS > 0,12 detik) Blok atrioventrikular derajat dua Mobitz I Bradikardia sinus asimptomatik (< 50 derajat per menit), atau blok sinoatrial Kompleks QRS praeksitasi lnterval QT memanjang
Gelombang
kanan,
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan laboratorium darah rutin seperti elektrolit serum, enzim jantung,kadar gola darah dan hematokrit memiliki nilai diagnostik yang rendah.
Ekokardiograli. Dipergunakan sebagai uji penapisan untuk deteksi penyakit jantung pada pasien dengan sinkop. Walaupun mempunyai nilai diagnostik yang rendah bila
dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan EKG tidak ditemukan abnormalitas kardiak. Pada pasien yang mengalami sinkop
Sehingga pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak direkomendasikan pada pasien dengan sinkop, kecuali terdapat indikasi tertentu dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Misalnya pemeriksaan kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkrnan hipoglikemia dan kadar
atau pre-sinkop dengan pemeriksaan fisis yang nofinal, kelainan yang paling sering,ditemukan (4-60/o sampai l850% kasus) adalah prolaps katup mitral. Abnormalitas kardiak lain termasuk penyakit katup j antung (paling banyak stenosis aorta), kardiomiopati, abnormalitas pergerakan
SINKOP
2t5
Titt-Table Tesling,Uji ini merupakan pemeriksaan standar dan sudah diterima secara luas sebagai salah satu uji
dinding ventrikel regional yang menunjukkan kemungkinan terdapat infark miokard, penyakit jantung infiltratif seperti amyloidosis, fumor kardiak, aneurysma dan tromboemboli atrial. Penemuan kelainan jantung ini penting sebagai stratifikasi risiko. Bila ditemukan kelainan jantung yang sedang-berat, maka evaluasi langsung dilakukan pada
diagnostik pada evaluasi pasien dengan sinkop. Pemeriksaan upright tilt testing dlindikasikan pada sinkop yang kemungkinan dimediasi oleh persarafan, dan uji ini
penting sebagai baku emas untuk membuat diagnosis tersebut. Dalam acuan yang dikeluarkan the American
College of Cardiol o gy dicantumkan rekomendasi sekaligus
Di sisi lain, bila kelainan struktur yang ditemukan hanya ringan, kemungkinan sinkop kardiak menjadi kecil sehingga
penyebab kardiak dari sinkop tersebut. evaluasi dilanjutkan seperti pada seseorang tanpa kelainan
testing
struktur jantung.
biasanya dilalarkan selama 30 sampai 45 menit dengan sudut kemiringan atfiara 60 sampai 80 derajat (biasanya dipakai
Elektrofisiologi. Untuk indikasi rekomendasi dilakukamya studi elektrofisiologi invasif bila pada evaluasi awal dicurigai sinkop terjadi disebabkan oleh aritmia (pasien dengan abnormalitas EKG dan atau terdapat penyakit struktur jantung atun sinkop yang berhubungan dengan
palpitasi, atau pasien dengan riwayat kematian mendadak pada keluarga). Sedangkan untuk diagnosis dikatakan apabila hasil studi elektrofisiologi normal tidak dapat sepenuhnya menyingkirkan aritmia sebagai penyebab sinkop, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya. Pada beberapa keadaan dikatakan studi elektrofisiologi sangat tinggi nilai diagnostiknya sehingga
tidak diperlukan pemeriksaan tambahan lain. Sebagian besar
70 derajat). Sensitivitas dari hasil pemeriksaan ini dapat meningkat, dengan spesifisitas yang lebih rendah,
menggunakan lama pemeriksaan yang lebih panjang, sudut pemeriksaan yang lebih curam dan obat-obatan provokatif seperti isoproterenol atau nitro gliserin. Kesepakat at y ang dipakai adalah uji ini disarankan pada kejadian sinkop berulang, atau pada kejadian sinkop pertama kali tetapi pasien dengan risiko tinggi, pada serangan sinkop pertama kali tanpa kelainan struktur jantung atau penyebab sinkop lain dapat disingkirkan dengan pemeriksaan ini, dan pada
evaluasi pasien yang penyebab sinkop telah terbukti (seperti asistol, blok atrioventrikular) tetapi menunjukkan
kemungkinan adanya penyebab persarafan pada kej adian sinkop tersebut yang akan mempengaruhi rencana pengobatan selanjutnya, serta pemeriksaan ini juga
dianjurkan sebagai evaluasi sinkop yang berhubungan atau akibat aktivitas fisik.
hipotensi Pemijatan pada sinus karotis. Pemijatanpada sinus karotis ini adalah suatu teknik dengan melakukan tekanan secara
Denyut jantung menurun pada saat trikel tidak menurun < 40 kali/menit atau li/menit selama minimal 10 detik dengan atau tanpa periode asistol < 3 detik. Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 2 A. Hambatan kardiak tanpa asistol. Denyut jantung
dari 10 detik tetapi tidak terjadi episode asistol yang > 3 detik. Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 2 B. Hambatan kardiak dengan asistol. Asistol terjadi > 3 detik. Tekanan darah menurun bersamaan dengan atau terjadi sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 3, Vasodepresor. Denyut jantung tidak menurun lebih dari 10olo dari puncaknya pada saat sinkop. Pengecualian 1. lnkompetensi kronotropik. Tidak terjadi
10o/o dari
Terjadi penurunan tekanan darah sistolik 50 mmHg berarti: terjadi respons vasodepresor
ini
sangat
berguna bila dilakukan pada individu berusia > 60 tahun dengan rata-rata nilai diagnostiknya 46%o. Selama
Pengecualian 2. Peningkatan denyut jantung berlebihan. Peningkatan denyut jantung yang berlebihan pada saat posisi tegak dan selama waktu sebelum sinkop (misalnya >
130 kali/menit)
dilakukan manuver
pemantauan EKG dan pengukuran tekanan darah, karena manuver ini bukan tanpa risiko walaupun kecil. Tentu saja pasien yang sebelumnya diketahui mempunyai kelainan pada arteri karotis (misalnya terdapat bruit karotis) atau
216
oleh blok atrioventrikular atau sick sinus syndromeharus dilakukan pemasangan pacu janfung menetap, tatalaksana
defibrilator. Jenis-jenis lain dari penyebab sinkop mengharuskan penghentian obat-obatan tertentu,
peningkatan asupan garam atau edukasi terhadap pasien. . Sinkop neurokardiogenik : Yairu pada pasien-pasien dengan sinkop berulang atau sinkop yang berhubungan dengan cedera fisik atau stres pada pasien. Pendekatan non-farmakologik biasanya merupakan pilihan pertama
adalah : disopiramid, golongan antikolinergik, teofilin dan clonidine. Pacu Jantung: Secara teoritis, pacu jantung akan banyak bermanfaat pada pasien dengan dominasi kelainan pada kardioinhibisi dibandingkan dengan respon vasodepresan.
rekomendasi dari American College Cardiology (ACCy American Heart Association (AHA), yaitu: pasien dengan riwayat infark miokard, ejection fraction (EF) < 35o/o atau sama, terdapat dokumentasi
yang membuktikan terjadinya takikardia ventrikular yang tidak menetap, dan takikardia ventrikular yang diinduksi pada studi elektrofisiologi, atau kejadian takikardia ventrikular yang spontan. Sedangkan pacu jantung harus dipasang pada pasien dengan bukti dokumentasi terjadinya bradiaritmia berat atau
simtomatik.
SINKOP
I
Diagnostik (termasuk vasovagal, situasional, hipotensi oilostatlk, dan poliiarmasi pada usia lanlut)
I I
Suggestlve
(term asuk stenosis aorta,
belum jelas
emboli paru gejala neurologis, riwayat keluarga dengan sinkop atau kematian mendadak
3
I
+
IERAPI
Pemeriksaan khusus (E koka rdlografi, kateterisasi
Penyakii lantung organik(PJ0) (abnormalilas EKG, gejala saat aklivitas, sinkop mendadak)
Us a
>60th
c
TE
PJo
RAP
I
eloQ
lrama sinus normal dengan gejala
I I
Aritm ia dengan
Tidak diagnostik
n.,.'.
'I
I
Studi elektrofisiolog
i
el
J
Gejala berulang
I/, lesl
evaluasi psikiatri
STOP
Sering
lllonitor
ttt
Tidak
Sering
Episode pertama
EKG,
fi/t lesl,
evaluasi
STOp
Gambar 1. Algoriime Diagnostik Sinkop (Sumber: Linzer M, et al, Ann lntern Med. 1997;126:989-96)
SINKOP
217
kendaraan. Pada umumnya perawatan di rumah sakit diindikasikan pada pasien yang : . Mempunyai riwayat penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif atau aritmia ventrikular . Disertai gejala nyeri dada . Pada pemeriksaan fisik terdapat kelainan katup yang bermakna, gagal jantung kongestif, strok atau gangguan neurologis fokal
REFERENSI
Abboud FM, Neurocardiogenic syncope N Engl J Med 1993; 328: ttt7 -20 Alboni P, Menozzi C, Brignole M et a1. An abnormal neural reflex plays a role in causing syncope in sinus bradycardia. .l Am Col1 Cardiol 1993;22: 1123-9 Alboni B Brignole I\{, Menozzi C et al. The diagnostic value ol history in patients with syncope with or without heart disease.
J
. . .
PadapemeriksaanEKG ditemukan gambaran : iskemia, aritmia, interval QT memanj ang atau blok berkas cabang
Indikasi lain
Kehilangan kesadaran yang tiba-tiba disertai terjadinya cedera, denyrt jantung yang cepat atau sinkop yang berhubungan dengan aktivitas
Atkins D, Hanusa B, Sefcik T et al. Syncope and orthostatic hypotension. Am J Med 1991 ; 91 : 179-85. Benditt DG, Ferguson DW, Grubb BP et al. Tilt table testing for
of Cardiology, J Am Coll Cardiol 1996; 28: 263-7 5. Benditt DG, Lurie KG, Fabian WH : Clinical approach to diagnosis of syncope. An oven,iew. Cardiol Clin 1997; 15 165-76 Brignole M, Menozzi C, Gianfranchi L et al. Neurally mediated syncope detected by carotid sinus massage and head-up tilt test in sick sinus syndrome. Am J Cardiol 1989; 63: 58-65. Brignole M, Alboni P, Benditt D, Bergfeldt L, Blanc JJ, Thomsen PEB,Van DUk JG Fitzpatrick A, Hohnloser S, Janousek J, et al. Guidelines on management (diagnosis and treatment) of syncope. Eur Heart J,2001;'22: 1256-13O6. Brugada J, Brugada R, Antzelevithch C et al. Long-term follow-up of individual with the electrocardiographic pattem of right bundle branch block an<l ST-segment elevation in precordial'leads V1 to V3. Circulation 2002; 105: 73-8. Day SC, Cook EF, Funkenstein H et al. Evaluation and outcome of
assessing syncope. American College emergency room patients with transient loss Am J Med 1982;73: 15-23.
. .
(misalnya pada pemakaian obat-obatan yang dapat menginduksi terjadinya torsades de pointes). Hipotensi ortostatik sedang berat Usia di atas 70 tahun Demikian pula dengan masalah izin mengemudikan
kendaraan bermotor. Dokter yang merawat pasien dengan sinkop harus memberitahukan kemungkinan risiko yang dapat timbul bila pasien tersebut mengemudikan kendaraan,
baik risiko terhadap dirinya maupun terhadap orang di sekitarnya. Sebagian ahli berpendapat seseorang yang
pemah mengalami sinkop sebaiknya tidak diizinkan untuk mengemudikan kendaraan, karena terdapat kemungkinan sinkop berulang. Di AS dari AHA/NASPE dibuat suatu rekomendasi mengenai izin mengemudikan kendaraan bermotor bagi individu yang pernah mengalami episode sinkop, aturan ini dikenakan pada kejadian aritmia yang mengakibatkan kehilangan kesadaran, yaitu : . Episode vasovagal ringan (hanya pre-sinkop saja,
dengan tanda-tanda sebelum kejadian sinkop tersebut, hanya pada posisi berdiri, jelas faktor pemicunya, tidak sering frekuensi timbul serangan), tidak dikenai batasan
of consciousness.
Denes P, IJretz
E, Ezri MD et
electrophysiologic findings in patients with syncope of unknown origin. Arch Intem Med 1988; 148: 1922-8.
Fonarow GC. Feliciano Z, Boyle NG et al. Improved survival in patients with nonischemic advanced heart failure and syncope treated with an implantable cardioverter defibrillator. Am J
bermotor.
serangan cukup sering), izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor setelah sinkop teratasi dapat diberikan dengan pemantauan dalam 3 bulan. Sinkop vasovagal berat yang tidak diobati : izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor sama sekali tidak dapat diberikan.
Krumholz HM, Douglas PS, Goldman L, Waksmonski C. Clinical utility of transthoracic two-dimensional and Doppier echocardiography. J Am Coll Cardiol 1994;24: 125-11. Leitch JW, Klein GJ, Yee R et a1. Syncope associated with supraventricular tachycardia : An expression of tachycardia or vasomotor response. Circulation 1992; 85: 1064-'7I. Linzer M et al. Syncope. Ann Intern Med 1997; t26:989-96Nienaber CA, Hiller S, Spiehnann RP, Geiger M, Kuck KH. Syncope in hypertropic cardiornyopathy : multivariate analysis of the heart of prognostic detetminants. J Am Co1l Cardiolo 1990; 15: 948-55. Schnipper JL, Kapoor WN. Diagnostic evaluati.on and management of patients with syncope. In : Thakur RK, ed. The Medical Clinics of North America, WB Saunders Company, 2001; 85(2):
Zhang
423-56. L, Timothy KW, Vincent GM et al. Spectrum of ST-T wave patterns and repolartzation parameters in congenital long-QT syndrome : ECG findings identifo genotypes. Circulation 2000;
\02:2849-55.
29
GAGAL NAPAS AKUT
Zulkifl i Amin, Johanes Purwoto
PENDAHULUAN Gagal napas ialah ketidakmampuan sistem pernapasan unfuk mempertahankan suafu keadaan perlukaran udara
antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. Secara sederhana, peranan sistem pernapasan ialah mempertahankan PO, PcO, dan pH darah arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan kelainan pada: Paru,
yang efisien. Fungsi pengeluaran/eliminasi CO, yan9 efektif diperlihatkan dengan kadar PCO, arterial dibawah 40 mmHg, kadar ini harus pada status asam basa normal. Kondisi yang berbeda ditemukan pada dua orang
pasienyang sama-samamempunyai PO, arterial 100 mmHg,
mangan (F,o, : 0,21), sedangkan pasien kedua bemapas dengan O, 100 o/o (Fror: 1,0). Pasien pertama melakukan pertukaran oksigen antara atmosfer dengan darah arteri secara lebih efisien. PaO, mengukur efektivitas oksigenasi; hubungan antara konsentrasi oksigen inspirasi dan Pao, merupakan petunjuk proses oksigenasi yang efisien. Pco, arterial menggambarkan fungsi efektivitas ventilasi. Dua orang pasien yang sama-sama mempunyai PCO,
DEFINISI
Gagal napas terjadi bila: 1). PO, arterial (Paor) < 60 mmHg, atau 2). PCO, arterial (Pacor) > 45 mmHg, kecuali jika
arterial 40 mmHg mempunyai ventilasi yang sama efektifnya. Tetapi jika pasien pertama membutuhkan
ventilasi semenit yang lebih tinggi (volume udara respirasi dalam I menit) daripada pasien kedua, berarti pasien pertama kurang efisien dalam mengeliminasikan CO, daripada pasien kedua yang mempunyai ventilasi semenit yang lebih rendah.
biasa (fraksi O, inspirasi [FrO, ] : 0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. PaCO, > 45 mmHg yang berarti suatu gagal napas hiperkapnia. Pengecualian terhadap angka di atas terjadi pada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO, sebagai kompensasi terhadap pH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO, meningkat secara tidak
normal, meskipun masih di bawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini dapat dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.
peningkatan PCO, merupakan kompensasi dari alkalosis metabolik. PaO, < 60 mmHg, yang berarti adanya gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan
Jadi, PaCO, ialah ukuran efektivitas ventilasi; hubungan attara PaCO, dan ventilasi semenit (Vr) merefl eksikan efisiensi ventilasi. Pengukuran deraj at
inef,rsiensi oksigenasi dan ventilasi didiskusikan di bawah.
218
GAGALNAPASAKUT
2t9
Nilai 863 merupakan faktor yang menyesuaikan VCO, pada suhu dan tekanan standar, kering; menyesuaikan Vo
pada suhu dan tekanan tubuh, jenuh; dan menyesuaikan PaCO, dalam mmHg. Untuk output CO, yang konstan, hubungan antara PaCO, dan Vo menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO, dan Vo berhubungan terbalik. Jadi, hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PCO, arterial dan rumus di atas.
Kelainan yang terutama mempengaruhi komponen nonparu sistem pernapasan. Tipe kelainan ini umumnya
saraf pusat yang mengganggu pengendalian ventilasi, kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada, seperti kifoskoliosis. Paru mungkin normal, tetapi hipoksemia yang tidak proporsional terhadap hiperkapnia yang terjadi dapat menandakan adanya keterlibatan paru. Sebagai contoh seorang pasien dengan kelemahan neuromuskular karena myasthenia gravis, mula-mula menunjukkan gagal napas hiperkapnia. Tetapi kemudian mengalami pneumonia karena ketidakmampuan membatukkan dahak, sehingga selain hiperkapnia juga timbul gagal napas hipoksemia.
Paru setiaP menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefrnisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, Vu, L/men). Konsep
fisiologis yang berguna ialah menganggap bahwa V. merupakan penjumlahan dari Vo @agian dari V, yang
berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spo"" r"rrrr*r:
J:l
Kemudian didapatkan rumus
:
Vo=Vr-Vo
GAGAL NAPAS HIPERKAPNIA
",
(L/menit)
x\
t q-%A/')
863
VoA/, menunjukkan derajat inefisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang nornal yang sedang istirahat, nilai Vo/ V, sekitar 0,30, berarti sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru, proporsi VE yang tidak ikut
pertukaran udara meningkat, maka VrA/, meningkat. Dari rumus di atas, untuk suatu VrA/, Yang konstan dan VCO, yang konstan, hubungan antara PaCO, dan V. digambarkan sebagai hiperbola yang bergeser ke atas dari
nilai
Patofisiologi
Hipoventilasi alveolar. Dalam keadaan stabil, pasien
memproduksi sejumlah CO, dari proses metabolik setiap
menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO, tersebut dari keduaparu setiap menit. Jikakeluaran semenit CO, (VCOr) menukarkan CO, ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan Vo adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus:
2. nilai\ no 3. nilai Vu di
1. nilaiVu
di
,tetapirasioVr/V, meningkat,
,
dan rasio
VrA/, meningkat.
J863
220
dapat timbul meskipun ventilasi semenit lebih besar daripada normal, jika rasio VrA/, tinggi atau keluaran CO,
Peningkatan PaCO, pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal
mempunyai hubungan dengan anatomi. Trakea dan jalan napas menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut
berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru. Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga mempakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar
peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi
regional melebihi jumlah aliran darah regiorral (ventilationperfusion lY I Ql tnismatching) . Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching j:uga akan menyebabkan peningkatan PaCOr. Kenyataannya
dalam hampir semua kasus, kecuali denganV/Qmismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi,
diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnia karena
penyakit paru versus penyakit non-paru. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO, alveolar-arterial. Tetapi, pasien dengan masalah non-panr dapat pula mempunyai
mengembalikan PaCO, ke tingkat normal. Iadi,YlQmismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan V.. Seperti dapat dilihat pada gambar l, peningkatan V. pada kondisi PaCO, nor-
V.
dan frekuensi
Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat (Tabel 1). Peningkatan PaCO, merupakan penekan sistem saraf pusat, tetapi mekanismenya terutama melalui
turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCOr. Karena CO, berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, pH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.
GAGALNAPAS HIPOKSEMIA
Gagal napas hipoksemia jauh lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini
Hiperkapnia
Somnolen
Letargi Koma
Hipoksemia
Ansietas Takikardia Takipnea Diaforesis Aritmia Perubahan status mental Bingung Sianosis Hipertensi Hipotensi
Kejang
Asteriks Tidak dapat tenang Tremor Bicara kacau Sakit kepala Edema papil
mempunyai nilai PO, arterial yang rendah, tetapi PaCO, normal atau rendah. Paco, tersebut membedakamya dari gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya ialah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa di mana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti ketinggian atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau
Asidosis laktat
GAGALNAPASAKUT
221
Patofisiologi
Hipoksemia dan hipoksia. Istilah hipoksemia paling sering menunjukkan PO, yang rendah di dalam darah arteri (PaOr), dan dapat digunakan untukmenunjukkan PO, padakapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O, darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia umumnya berarti penurunan penyampaian
ialah jumlah dari PO, PCO, PHrO, dan PNr. Bila PI{rO dan PN, tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO, Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO, yang menimbulkan penumnan PaO, bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan, menunjukkan hubungan antara PO, dan PCO, alveolar:
PAOr=FiO, x PB - Pnco,
R
FIo, ialah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometrik, dan R ialah rasio perfukaran udara
hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometrik total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FIO, rendah
(seperti saat seseorang menghisap campuran gas di mana sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). HaI ini juga akibat penurunan PaOr. Pada hipoksemia yang terjadi hanya karena penunrnan PaOr, penurunan Pao, kira-kira sebanding dengan penurunan PaO, dan perbedaat arrtara PaO, dan PaO2 tidak berbeda bermakna. Perbedaan PO, alveolar-arteri adalah normal pada hipoksemia karena
hipoventilasi. Pencampuran vena (venous admixture). Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang
mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO, alveolar-arterial (P(o_") Or) meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, P,o-rO, normalnya sekitar 10 dan20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak. Dalam pemapasan udara ruangan, FiO, : 0,2 I ; j ika R 0,8, PaCOr:40 mmHg, dan PaOr: 55 mmHg, maka :
(PAOr) menentukan batas atas PO, arteri. Semua nilai PO, berada diantara PVO, dan PAOr. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan
(Tabel2).
Mekanisme
POz alveolar PO2 inspirasi
PaCOz
(PACO'
1
PnOz
Contoh
Hipoventilasi
Normal Normal
. .
t 1 1
222
PAO,
(0,21 x 713)
40
0r8
150
50 = 100 mmHg
dan
P1o*;
mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah.
O, = 100
55 = 45 mmHg
Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q ialah Pao, dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara relatif
mudah dengan pemberian oksigen tambahan.
Pada contoh
60 mmHg) dan
O,
Disimpulkan bahwa hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena:
Keterbatasan difusi (diffusion limitation). Keterbatasan difusi O, merupakan jarang menyebabkan hipoksemia.
Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan
Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt).Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan
darah yang berasal dari paru, akibatnya ialah pencampuran
arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru PO, diantara PAO, dan PVO,. Nilai mutlak PO, tergantung pada proporsi darah yang tidak melalui paru
dengan
normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan kesetimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO, kapiler paru untuk
mengalami kesetimbangan dengan PO, alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila
PAo, sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui
membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit untuk darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan di mana keterbatasan difusi untuk
Hal ini dapat terjadi pada: . kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan, . penyakit jantung kongenital dengan defek septum. . ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat,
atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan-ke kiri yang berat.
. '
Penyakitvaskularparu
Petanda terjadinya pirau kanan-ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam pemapasan ndara ruangan,2). Hanya sedikit peningkatan PaO, jika diberikan tambahan oksigen, 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai Pao, yang diinginkan, dan 4). PaO, < 550 mmHg saat mendapat o . Berdasarkan kesepakatan, j ika PaQ < 5 5 0 mmHg O 21 00 saat bernapas dengan O, 100 o%, dikatakan terjadi pirau
kanan-ke kiri.
Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksia jaringan
(Tabel 1). Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulasi kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi.
Ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (ventilation- perfusion mismatching : Y lQ mismatching). Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasiperfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan-ke-kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang
dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke areaarea tersebut. Di sisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi yang berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit.
untuk merespons. Pada pasien hipoksemik dengan penyakit paru berat atau keterbatasan ventilasi,
peningkatan ventilasi mungkin hanya ditemukan sedikit atau bahkan tidak ada, dan tidak ada hiperventilasi. Pada pasien yang terganggu fungsi glomus karotikusnya, tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkrn didapatkan sianosis, terutama jelas di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membran mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibatpasokan oksigen yang tidak mencukupi ke jaringan, atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik, disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah akan selanjutnya merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks atau
Darah, yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen
dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap
kompleks, tetapi untuk kepentingan klinis, kelainan ini dapat disebabkan semua penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah. Contohnya ialah : . Asma dan penyakit paru obstruktif konik lain, dimana
alveolus seringkali
GAGALNAPASAKUT
223
seperti somnolen, koma, kejang, dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat, sehingga turut menyebabkan terjadinya
takikardia, diaforesis, dan vasokonstriksi sistemik, diikuti
2.
Penurunan curahjantung, yang tergantung dan: . Aliran balik vena sistemik yang adekuat, . fungsi ventrikel kanan dan kiri, . resistensi pulmonar dan resistensi sistemik,
Hipoksemia dan asidosis mempengaruhi kontraktilitas miokaid, atau dapat menimbulkan takikardia, bradikardia,
atau infarkmiokard. Sepsis dan syok sepsis dapatmenekan
fungsi miokard. Ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi mempengaruhi jantung dan sirkulasi, di antaranya melalui berkurangnya aliran balik vena sistemik, compliance diastolik ventrikel kiri, peningkatan resistensi vaskular paru, serta perubahan afterload venhikel kanan dan kiri' Tanda - tanda kurangnya O, delivery terlihat dari pemantauan fungsi ginjal, hati, jantung, dan sistem organ lainnya. Asidosis laktat juga dapat menjadi petunjuk
adanya gangguan O, deliverY.
Oxygen Delivery. O, delivery yang adekuat ke jaringan ialah fungsi sistem pernapasan yang paling penting, dan membutuhkan fungsi paru, j antung, dan sirkulasi yang normal. Deteksi dan penatalaksanaan gangguan O, delivery
sistemik harus menjadi tujuan utama pada tatalaksana gagal napas, selain memperbaiki kelainan gas darah arteri. O, delivery merupakan hasil dari konsentrasi O, arteri (mL OrlL darah) dan curah jantung (L/menit).
TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT Dasar-dasar Fisiologis TeraPi Gagal napas hiperkapnia. Karena hiperkapnia berarti adanya hipoventilasi alveolar, tata laksana suportif
bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal,
: (ml/menit)
Ordelivery
CaO,
(mL OrlL darah)
a
(L/menit)
1,34
mL
x10'
akah
endotrakeal atau trakeostom i Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai
yang sesuai dengan kebutuhan organ tersebut, sehingga O, delivery yang normal atau tinggi mungkin tidak cukup
.,ntuk beberapa kondisi tertentu seperti syok, sepsis atau
hemoglobin karena
puir,
. .
hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati' Kelompok pasien dengan penyakit paru kronik ini (obstruktif maupun restriktifl atau gangguan dinding dada (kifoskoliosis) tampaknya tidak sensitif lagi terhadap hiperkapnia dan tergantung pada hipoksemia sebagai pemicu ventilasi' Bila
224
dibandingkan jalan napas alami. Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma
ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.
bronkoskopi fiberoptik.
mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive endexpiratoy pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnia, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan
tindakan-suportif lainnya.
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi di mana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi. Hal ini karena gravitasi dan berat paru meningkatkan perfusi dan ventilasi ke derah paru yang tergantung/lebih di bawah. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekret /dahak banyak, tidak
Secara fisiologis: a). hipoksemia menetap setelah pemberian oksigenb). PCO2 > 55 mm Hg dengan pH < 7 ,25 , c). Kapasitas vital < I 5 mlikg dengan penyakit neuromuskular Secara klinis: a). Perubahan status mental dengan gangguan proteksijalan napas, b). Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik c). obstruksi jalan napas atas (pertimbangkan trakeostomi jika obstmksi terletak di atas trakea), d). sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh pasien, dan membufuhkan penyedotan
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respons terhadap terapi seringkali lebih berguna lagi. Faktor lain yang perlu dipikirkan ialah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan-positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-
invasif,NIPPV:NIV).
Oksigen. Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada mekanisme hipoksemia; tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen diperlukan,
kecenderungan pasien dan doktel potensi efek samping
Jalan napas (airway). Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obatan pernapasan. pada semua pasien dengan gangguan pernapasan, harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obshuksi jalan napas atas. Perlimbangan untuk insersi jalan
napas artifisial, seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas artifisial
efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi. Bronkodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruktif, tetapi peningkatan resistensi jalan napas juga ditemukan pada banyak penyakit paru lainnya, seperti edema paru, ARDS, dan mungkin pneumonia.
GAGALNAPASAKUT
225
Fio2
Keuntungan
Kerugian
2-6 4-8
2-12 6-15
6
. .
Aliran tidak adekuat Pada FlOz tinggi Tidak nyaman; FlOz tidak daPat disesuaikan
O2btender
- 20
- 0,90 FlO,
lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek
bronkodilatasi yang sama, efek samping sangat berkurang bila dilakukan dengan rute inhalasi, sehingga dosis yang lebih besar dan kerja lama dapat diberikan. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit obstruksi paru stabil. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga setiap jam atau nebulisasi kontinu) seringkali dibutuhkan. Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang
tonus parasirnpatis instrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, di mana obstruksi jalan napas berkaitan dengan
dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartemen ekstrasel ke intrasel sebagai respons terhadap stimulasi beta-adrenergik. Komplikasi yang jatatg terjadi ialah
perburukan hipoksemia karena eksaserbasi dari ketidakseusaian ventilasi-perfusi. Pada kasus ini, vasokonstriksi arteri pulmonar lokal yang wajar di area
yang rendah rasio ventilasi-perfusinya, dinetralkan oleh efek obat.
Antikolinergik. Respons bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik) tergantun g pada derajat
226
Kortikosteroid inahalasi sangat j arang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk, karena provokasi
diperhatikan bahwa pengukuran tekanan vena sentral (CVP) dipengaruhi positive end-expiratory pressure
(PEEP). Pada kateterisasi jantung kanan penderita dengan resistensi vaskular paru yang meningkat (emfisema, emboli paru, dan penyakit vaskular paru lainnya), tekanan
dapat
non-depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitat.weaning.
Ekspektoran dan nukleonik. Cairan per oral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Katium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan
menggambarkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Hasil perhitungan curah jantung dengan metode Fick juga terpengaruh pada gagal napas akut, karena ketidakakuratan pengukuran konsumsi oksigen saat fraksi oksigen inspirasi melebihi 0,6. Pemantauan respirasi meliputi frekuensi napas, penilaian mekanika respirasi, pertukaran udara, dan fungsi terintegrasi sistem kardiovaskular dan respirasi.
Ventilasi Mekanik
Mengenai ventilasi mekanik akan dibicarakan dalamjudul
tersendiri.
REFERENSI
Amir, Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. 2"d National Symp. Cardiovascular, Respiratory and Immunology, Jakarta Mei 2003 Bellini LM. Nutrition in Acute Respiratory Failure. In Fishman Ap, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual of Pulmonery Diseases and Disorders. New
tum dan dapat menjadi obat mukolitik yang kuat. Tetapi asetilsistein yang diaerosolisasi kurang efektif dan dapat merangsang bronkospasme pada penderita asma. Jika
diperlukan, sedikit asetilsitein dapat diberikan saat lavase dengan bronkoskopi fleksibel pada jalan napas yang
bermasalah.
Karena beberapa kualitas abnormal sputum disebabkan
TATALAKSANALAIN
Fisioterapi dada dan nutrisi merupakan aspek tata laksana yang perlu diintegrasikan dalamtata laksana menyeluruh gagal napas akut.
Pemantauan hemodinamik dilakukan sesuai kondisi dan
York: McGraw-Hill 2002. 1082-9). Bellini LM, Grippi MA. Hemodynamic and Respiratory Monitoring in Acute Respiratory Failure. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual of Pulmonery Diseases and Disorders. New York: McGraw-Hill. 2002. 1064-72.) Brochard L, Mancebo J, Elliot MW. Noninvasive ventilation for acute respiratory failure. Eur Respir J, 2002;19:712'21. Colin Selby. Respiratory Medicine: An Illustrated Colour Text. Edinburgh: Churchill Livingstone, 20O2:70-1. Consensus Conference Report: Clinical indications for noninvasive positive pressure ventilation in chronic respiratory failure due to restrictive lung disease, COPD and nocturnal hypoventilation. Chest, I999;1 I 6:521-34. Make BJ et al Mechanical ventilation beyond the intensive care unit. Report of a consensus conference of the American College
umumnya meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung, tekanan darah sistemik, tekanan
vena sentral, dan penenfuan hemodinamik dengan teknik
20.
30
RESUSITASI JANTUNG PARU
Arif Mansjoer
PENDAHULUAN
Resusitasi jantung pam mempakan upaya perlolongan pertama pada orang tidak sadar yang mengalami henti jantung atau henti napas. Perkembangarr lupaya pertolongan ini memiliki sejarah yang panjang. Tercatat pada tahun 1740 Paris Academy of Science secara resmi merekomendasikan resusitasi mulut ke mulut pada korban
Pada rekomendasi ILCOR 2005 terdapat beberapa perubahan mendasar dalam tata laksana resusitasi. Beberapa hal penting dalam rekomendasi resusitasi
jantung paru 2005:
. . .
tenggelam. Selanjutnya metode resusitasi terus berkembang hingga Peter Safar tahun 1950-an
mengembangkan pengendalian jalan napas (airway controL) serta metode pernapasan buatan dari mulut ke mulut dan W.B. Kouwenhoven tahun I 960. mengembangkan metode
ini
kemudian
digunakan dan dikembangkan di seluruh dunia. Pada tahun 2005 perhimpunan berbagai organisasi bidang resusitasi di dunia bersepakat membentuk suatu komite pemersatu (ILCOR) bertemu dan membuat konsensus dan rekomendasi.
anggota ILCOR. Di Amerika, misalnya, American Heart Association (AHA) membuat '2005 American Heart Association Guidelines
for
Cardiopulmonary Resuscitation
konferensi, yaitu pada tahun 1999 dan 2005. Pada konferensi pertama dihasilkan Guidelines 2000 for C ar di opul monary Resus c it ation (CPR) and Emer g ency
Cardiovascular Care (ECC). Sedangkan pada konferensi kedua di Texas pada 23-30 Januari2005, yang diikuti 249 peserta dari 1 8 negara dikeluarkan konsensus internasional yang memuat kesimpulan dan rekomendasi pengobatan berdasarkan bukti ilmiah (evidence-based medicine).
227
228
insidensnya 0,55 kernatian per 1.000 populasi/tahun dengan kematian karena penyakit arteri koroner di luar rumah sakit atau unit gawat darurat sebesar 330.000
kematian per tahun sedangkan di dalam rumah sakit 250.000 kematian per tahun.
defibrilasi. Sedangkan pada trauma, overdosis obat, tenggelam, dan kebanyakan anak mekanisme henti
jantungnya adalah asfiksia di mana resusitasi terbaiknya adalah pemberian napas buatan. Agar resusitasi korban, baik fibnlasi ventrikular maupun asfiksia, dapat berhasil ada 4 langkah penting yang dikenal dengan konsep Chain of Survival, yail.t'. l. Pengenalan dini keadaan gawat (emergency) dan
meminta banfuan pelayanan gawat darurat medis atau pelayanan medis setempat. Pertolongan dini dan efektif dapat mencegah henti jantung.
Empat puluh persen korban henti jantung mendadak mengalami fibrilasi ventrikular (VF) saat pertama kali
2.
Resusitasi jantung paru dini oleh penolong. Resusitasi segera dapat menyelamatkan hidup dan henti jantung
jantung paru ditambah defibrilasi dalam 3-5 menit pertama terjadinya kolaps
dapat menyelamatkan hidup hingga 49-7 5'/o. Tiap menit
5%".
Give 30 chest Compressions (almost 2 compressions/second) followed by 2 breaihs Continue untill defibrillator/monitor is attached
on-Shockkable
E
(P
A/A sv sto le )
Give 1 shock
229
4.
Bantuan hidup lanjut dini dan perawatan pascaresusitasi. Kualitas pengobatan selama fase pasca-
resusitasi akan mempengaruhi hasil (outcome). Weisfeldt dan Becker (2005) mengemukakan 3 fase henti jantung akibat frbrilasi ventrikular. Fase pertama
hidup
dasar.
dan ventilasi untuk memberi perfusi pada otak dan jantung. Sedangkan fase ketiga adalah fase rnetabolik
yang berlangsung setelah 10 menit henti jantung. Pilihan pada fase ini adalah memberi kesempatan pada otak untuk
mempermudahtata laksana pasien henti jantung' ABCD tersebut adalah airway, breathing, circulation' dan defibrillation. Aitway adalah upaya untuk mempertahan
kan jalan napas yang dapat dilakukan secara noninvasif maupun invasif. Breathing adalah upaya memberikan pernapasan atau ventilasi. Circu lation adalah upaya mempertahankan sirkulasi darah baik dengan obat-obatan maupun dengan kompresi dada fiantung). Pembukaan jalan napas dengan teknik non-
Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat
terganggunya efektivitas kontraksi j antung saat sistolik. Berdasarkan etiologinya henti jantung dapat disebabkan oleh penyakit jantung (82,4%); penyebab intemal non-
invasif dilakukan dengan cara mengekstensikan kepala (head tilt) serta mengangkat dagu (chin lift). Membuka jalan napas dengan mengangkat rahang Qaw trust) dilakukan bila dicuriga ada trauma kepala (fraktur vertebra servikal). Penilaian pernapasan (breathing)
dengan memantau atau observasi dinding dada pasien dengan cara melihat (look) nark dan turunnya dinding dada, mendengar (listen) tdara yang keluar saat
efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100 x/m, kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada,
dan rasio kompresi dan ventilasi 30:2.
vital telah menurun walau telah diberi terapi maksimal (seperti syok septik atau syok kardiogenik yang progresif). RJP dihentikan bila sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif telah membaik, perawatan dilanjutkan oleh tenaga medis di tempat rujukan atau di tingkat perawatan yang lebih tinggi, ada kriteria yang jelas menunjukkan sudah terjadi kematian yang ireversibel, penolong sudah tidak
dapat meneruskan tindakan karena lelah atau ada keadaan
Resusitasi jantung paru yang disertai dengan defrbrilasi dini (dalam 3-5 menit henti jantung) akan memberikan angka kesintasan 49-1 5% dan tiap keterlambatan defibrilasi I menit maka kesintasan akan menurun 1 0- 1 5' Berdasarkan hal tersebut dikembangkan alat yang dapat
instruksi tindakan yang perlu dilakukan. Alat yang disebut AED (automated axternal defibrillator) ir,i diletakkan di tempat-tempat umum dan dapat dapat
digunakan oleh orang awam pada pasien henti jantung di luar rumah sakit.
230
Jika
tidak bernapas, berikan 2 kali napas bantuar yang membuat dada terangkat
rrioetirz i
i i--------------- i
jetas:
; 5
;i
i
-.-l
Berikan siklus 30 kali kompresi dan 2 kali napas bantuan hingga defibrilator tiba, penyedia bantuan hidup lanjut mengambil alih, atau korban bergerak Tekan kuat dan cepat (1 00 kali/menit) dan lepaskan penuh lvlinimalkan interupsi pada kompresi
Segera ulangi RJP 5 siklus Cek ritme tiap 5 siklus; lanjutkan hingga penyedia bantuan hidup lanjut mengambil alih atau korban bergerak
Gambar 3. Tindakan{indakan bantuan hidup dasar: a. Evaluasi respons pasien b. Minta pertolongan, c Amankan jalan napas, d Evaluasi pernapasan pasien, e
Pemberian napas buatan, f. Kompresi dinding dada.
231
dilakukan adalah mempertahankan patensi jalan napas dengan head tilt-chinlift blla perlu gunakat orophatyngeal airway ataunasopharyngeal airway. Tindakan lanjut seperti intubasi endotrakeal atau penggunaan latyngeal mask airway (LMA) dapat dilakuan. Suplementasi oksigen diberikan dan nilai oksigenasi dan ventilasi dengan melihat naiknya dinding dada, saturasi oksigen, kapnograf' Pada Gambar 5. Kompresi dinding dada dilakukan di titik tengah
sternum Saat melakukan kompresi dada maka tekanan intratoraks meningkat dan jantung paru akan tertekan. Darah dari jantung (ventrikel kiri) akan terpompa ke sistem sirkulasi Saat kompresi dilepas (dekompresi) maka tekanan intratoraks menurun dan jantung-paru akan mendapat kesempaian pengisian volume
dipasang akses intravena. Lead EKG dipasang untuk memantau adaflya aritmia atau henti jantung (asistol, PEA, VF, atau VT tanpa nadi). Sesuai indikasi berikan cairan
dan obat untuk mengatur:irama seperli amiodaron, Iidokain,
darah seperli epinefrin, dopamin. Panduan algoritma penanganan henti jantung dibagi menjadi dua, yaitu henti jantung yang dapat dilakukan
dengarkan instruksi Gambar 7. Langkah-langkah pemasangan AED (automated external defibriltator): a. buka tutup tas atau kotakAED, apeks di sisi elektroda dan klavikula pada di bawah sternal kanan sisi yang terdengar dari mesin Reb, n,c,O. iempelkan elektroda sternal tidak memegang Lteiat apetJpada garis aksilaris anterior, e,f,g,h ikuti instruksi menghentikan kompresi dada saat mesin AED menganalisis, pasien saat mesin AED melakukan shock, melanjutkan kompresi dada, dan pemberian napas buatan
232
Pulseless Arrest Algorilme bantuan hidup dasar: meminta bantuan, lakukan RJP Bedkan oksigen jika tersedta Pasang monitor/defibrilator jika tersedia
Shockable
Cet r rm-"
R im e
'l
I
No/ Shockab/e
sho.trhlp?
Aslsto e/PEA
Berikan 1 kali tembakan (shock) . BiFasik manual: sesuai alati (pada umumnya 120 hingga 200 J) . Catatan: iika tidak dlketahui, gunakan 200 J . AED: sesuai alat . N4onofasik: 360 J
Segera ulangi RJP sebanyak 5 siklus Jika lersedia akses lV ateu lO, berkan vasopresor Epinekin 1 mg lVi lO Ulangiiap 3 hingga 5 menil
atau
Berikan selu dos s vasopresin 40 U lV/ O untuk mengganlikan epinefrin dos s pedama alau kedua
t ;*r*
I
Berikan 5 sik us
RJF
I
Berikan 5 siklus RJP Cek rtme R rtm e shockable? engisi lcharying)
h
tinggi
AED: sesuai alsl N,4onofasikt 360 J Segera ulangi RJP selelah tembakan Jiks tersedia akses lV atau IO, berikan vasopresor selema RJp (sebelum atau sesudah tembakan) Epinefrin'1 mg lV/lO . Ulangi tiap 3 hingga 5 menit . atau . Berikan satu dosis vasopresin 40 U lV/lO untuk mengganlikan eprnefrin dosis pedama alau kedua Benkan 5 siklus R,iP
Cek
. -
Not asisto
'T",.^
ridak
Shockable
rka lidak ada nadi, laniu kan ke kotak 1 0 ka lerdapat nadi mulal tala aksana poshesul
Berlk
bih tinggi
J
SaaI RJP _ Te
-Pa
- lvli
JP
IV
Monofasik: 360 J
Sa
5
'
Hrndar h peryenlrasi
teu paru)
defibrilasi (fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa nadi) dan yang tidak dapat dilakukan defibrilasi (asistol dan pulseless electrical activie). Saat melakukan bantuan hidup lanjut, maka penyebab henti jantung yang reversibie harus dicari dan diatasi.
PENUTUP
Perubahan pada rekomendasi tahun 2005 didasarkan pada
Penyebab yang reversible adalah 5H dan 6T, yaitu Hypovolemia, Hypoxia, Hydrogen ion (asidosis),Hypo-l Hyperkalemia, Hypoglycemia, hypothermia, Toxins,
for
233
defibrillation, dan postresuscitation care. Berbagai penelitian terus berjalan dengan tujuan mendapatkan
metode resusitasi dengan hasil (outcome)yang lebih baik.
REFERENSI
American Heart Association. Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2000;1 02(suppl):I 1 -I3 84. American Heart Association, In collaboration with International Liaison Committee on Resuscitation Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care - an international consensus on science. Resuscitation. 2000;46:l-
tions. Circulation. 2005; 1 12:IIIl -lII1 36. Mitka M Peter J. Safar, MD j'father of CPR," innovator, teacher, humanist. .I Am Med Assoc. 2003:289:2485-6.
430.
31
ACUTE RESPIRATORY DIS TRESS S r/VDR OME (ARDS)
Zulkifl i Amin, Johanes Purwoto
a a
2. 3.
Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi ( PaO, I FIO) < 200
mmHg -hipoksemia berat.
4.
gagaljantung kiri).
(ALI) Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor risiko terjadinyaAll dan tidak adanya penyakit paru konik
yang bermakna. Acute Lung Injury (ALI) danARDS didiagnosis ketika bermanife stasi seb agai kegagalan pernapasan berbentuk hipoksemi akut bukan karena peningkatan tekanan kapiler paru.
Near-drowning Terhisap gas beracun: Nitrogen diosida Chlorine Sulfur dioksida Amonia Asap Keracunan Oksigen Trauma paru Ekspose radiasi High-altitude exposure Lung reexpansion or repeffusion
o o o o o
ARDS = acufe respratory distress syndrome (sindrom pernapas- an akut) SARS = severe acute respiratory syndrome (sindrom pemapasan akut berat
dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang dapat dijumpai secara tumpang
234
235
tindih: inisiasi, amplihkasi, dan injuty. Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor risiko
akan menyebabkan sel-sel imun dan non-imun melepaskan
Diagnosis Klinis
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak adanya diagnosa kondisi yang menjadi faktor risiko ARDS (lihat
mediator-mediator dan modulator-modulator inflamasi didalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut
fase injury.
Faktor Risiko). Tanda pertama ialah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi basah kasar yg jelas. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki
basah kasar. Gambaran hipoksia/sianosis yang tak respon dengan pemberian oksigen. Sebagian besar kasus disertai
disfugsr/gagal organ ganda yang umumnyajuga mengenai ginjal, hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik. leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis) gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi
2. 3.
Fase proliferatif: paling cepattimbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe II,
Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
Ciri-ciri
Penyebab True shunt (perfusi ruang udara Vasokonstriksi pulmoner hipoksik terganggu VtQ mismatch adalah komponen minor ketidakstabilan alveolar Disfungsi surfaktan Kompresi normal yang berlebihan pada paru karena peningkatan berat (t cairan paru, inflamasi) Disfungsi surfaktan (1 elastisitas spesifik) J volume paru ('baby lung) 1 elastisitas dinding dada Alveolitis fibrosis (lambat) 1 ruang rugi alveolar (alveolar dead space) [VorJVr sering 0,4-0,7
t t t
Elastisitas
(!
Compliance)
t V"o, t elastisitas
Hipertensi pulmoner
1 kebutuhan volume per menit Vasokonstriksi pulmoner (TxAz, endotelin) Trombosis mikrovaskuler pulmoner Alveolitis fibrosis PEEP
Toraks
< 300 mmHg < 200 mmHg
lnfiltrat bilateral
<
peningkatan tekanan atrium kiri 18 mmHg atau tidak ada tanda klinis dari tekanan atrium kiri
236
patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi gambarat conJluent, tid.ak
terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.
9.
I 1.
CT scan : pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto supine).
Interpretasi foto toraks berorientasi pada definisi ALI dan ARDS, meskipun demikian terdapat keberagaman
yang sangat dipengaruhi oleh pengamat baik pada interpretasi foto toraks dan penentuan infiltrat. pada definisi Konferensi Konsensus Amerika-Eropa, infiltrat
harus bilateral dan konsisten dengan edema paru. CT toraks terbukti sangat membantu dalam penelitian
PERJALANAN PENYAKIT
ARDS muncul sebagai respons terhadap berbagai trauma dan penyakit yang mempengaruhi paru secara langsung
patofisiologi
ALI,
inflasi paru, dan secara umum digunakan unfuk memandu tatalaksana klinis. Otopsi dan foto toraks ALI memrnjukkan
proses yang seragam yang melibatkan kedua paru, akan tetapi CT toraks pada awal perjalanan ALI pada pasien
(seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berat, dan kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat, pankreatitis). Dalam 12-48 jam setelah kejadian awal pasien mengalami distress pernapasan dengan perburukan sesak napas dan takipneu. Pemeriksaan gas darah arteri menunjukkan hipoksemia yang tidak respons terhadap oksigen melalui nasal. Infiltrat difus bilateral terlihat pada rontgen tanpa disertai gambaran edema paru kardiogenik. ARDS merupakan bentuk acute lung injury yang paling berat dan dicirikan oleh: ' Riwayat trauma atau suatu penyakit yang menjadi
'
rmstator Hipoksemia efrakter terhadap terapi oksigen (misal P02 < 8.0 kPa (60 mmHg) dengan 40% oksigen). Derajat hipoksemia dapat terlihat sebagai rasio tekanan oksigen
arteri @O2) terhadap konsentrasi fraksi oksigen inspirasi @i02l100% oksigen:FiO2 dari l). PadaARDS PO2E(O2
<261OaQ0}mmHg)
' '
dengan mempelajari seluruh paru. Ini memberikan (i) rekonstruksi lobus atas dan bawah (lobus tengah sulit untuk dipisahkan, (ii) potongan paru yang sama dapat dinilai pada level inflasi yang berbeda atau pEEp (paru juga digerakkan arah sefalo-kaudal dengan pernapasan) dan (iii) gambaran paru yang lebih luas dapat dicapai (kerusakan paru bervariasi padaALI). Namun CT seluruh
paru membutuhkan paparan yang banyak terhadap radiasi
Infiltrat difus bilateral pada rontgen toraks (gambar 18.2) Tidak ada bukti suatu edem paru kardiogeik (misalparlmonary capillary wedge pressure <18 mmHg)
1.
Edemaparukardiogenik
2. Infeksi paru: viral, bakterial, fungal 3. Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian 4. 5. 6. 7. Pneumonitis radiasi 8. Sindrom emboli lemak
(High-altitude pulmonary edema : HAPE) Edema paru neurogenik Edemaparudiinduksi laringospasme Edema paru diinduksi obat: heroin, salisilat, kokain
237
potensi efek samping yang berat. Kedua, walaupun ARDS seringkali dianggap kegagalan napas primer, kegagalan multiorgan non paru dan infeksi adalah penyebab utama kematian. Ketiga, pengaturan ventilasi mekanik yang hati2 terutama volume tidal terbukti berakibat komplikasi yang lebih jarang dan merupakan satu satunya tatalaksana yang memperbaiki survival/kesintasan. Terakhir, prognosisnya buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak ditangani dengan baik.
melalui bagian paru yang tidak terventilasi kemudian berakibat alveoli terisi oleh eksudat proteinaseosa
sehingga menimbulkan atelektasis.
Peran ventilasi non-invasifbelum teruji dalamALI dan
Kardiogenik
Riwayat penyakit jantung Bunyi jantung ketiga Kardiomegali lnfiltrat pada foto dada distribusinya ditengah Pelebaran pembuluh darah mediastinum (increased width of mediastinum at level of azygos vein) Peninggian tekanan baji afteri paru
Nonkardiogenik (ARDS)
Tidak adanya penyakit jantung Tidak ada bunyi jantung yang ketiga Jantung normal lnfiltrat pada foto dada distribusinya dtperifer Normal Normal atau menurunnya tekanan baji arteri paru
ALI dan ARDS. Telah sekian tahun penelitian laboratorium menunjukkan perlukaan paru akibat ventilator (ventilator-induced lung
disesuaikan dengan patofisiologi
inj uty [YILI]). dan penelitian klinis akhir-akhir ini ditemukan bahwa mortalitas dapat diturunkan dengan pemberian tidal
volume rendah. Dari penelitian oleh ARDS Network melibatkan 861 pasien ALI dari 75 ICU diacak untuk
mendapat volume tidal (Vr) 12 atau 6 ml/kg prediksi berat badan. Mortalitas dikurangi menjadi22Yo dai40o/o sampai 3loh padapada kelcmpok Vr yang lebih rendah. Continous positive air way pressure (CPAP) dapat
Keseimbangan cairan
positif
Keseimbangan cairan
neqatif
awal. Deteksi dini dan observasi secara hati-hati pada pasien berisiko merupakan hal yang penting untuk mendeteksi tanda perburukan dan mengidentifikasi
kebutuhan unit terapi intensif. Beberapa gejala alarm dapat
support ventilation)dapat memberikan interaksi pasienventilator yang lebih baik dan memungkinkan peningkatan oksigenasi (V/Q mismatch) yang lebih baik. Sebagai hasil dari kontraksi diafragma.
Frekuensi napas Denyut nadi Tekanan darah Suhu Produksi urin Derajat kesadaran Oksigenasi
(>380
C.
'1oO
40
C),
Saturasi oksigen <90% atau PaO2 < BkPa (60 mmHg) meski dengan 600/o
oksigen yng diinspirasi pH< 7 2, bikarbonat <20 mmol/L
Asidosis
238
pernafasan eksesif. Inverse ratio ventilation memperpanjang fase inspirasi daripada fase ekspirasi
sehingga volume tidal yang dihantarkan akan lebih lama pada tekanan yang lebih rendah. Namun hal ini dapat menyebabkan progresive air trapping. High-frequency jet
frekuensi napas. Protokol ARDS Network mentargetkan normokapnia, dengan frekuensi napas maksimal 35, untuk memperkecil asidosis respiratorik. Hal ini membuka paru
terlentang bermanfaat mengurangi gravitasi dan atelektasis. Extru corporeal membrane oksigenasi
@CMO) merupakan pengalihan sirkulasi melalui mernbrane external untuk menyediakan oksigen dan membuang
. karbondioksida.
yang memendek (meskipun hal ini tidak muncul dalam penelitianARDS Network). Selain itu, membiarkan PaCO, meningkat di atas normal tidak berbahayapada banyak
paslen.
Jika asidosis hiperkapnia terjadi perlahan, asidosis intraselular terkompensasi dengan baik, dan peningkatan yang berhubungan dengan tonus simpatik dapat memperbesar cardiac outpul dan tekanan darah. Meskipun asidosis respiratorik dapat memperburuk hipertensi pulmoner, dan menginduksi aritmia miokardial namun dampaknya seringkali kecil, khususnya jika telah terjadi kompensasi metabolik. Selain itu, pada modelALI iskemireperfusi, penatalaksanaan hiperkapnia mengurangi
perlukaan paru dan apoptosis. Bagaimanapun penelitian klinis yang membolehkan hiperkapnia harus dilakukan
TARGETKADARGAS DARAH
Seperli yang telah dibahas sebelumnya, terdapat banyak
variabel untuk dipertimbangkan ketika menentukan gas darah sasaran pada ARDS. Sebagai contoh jika psien mengalami cedera otak traumatik, mungkin tidak tepat untuk dibiarkan sedikit hiperkapnia.
tercampur saturasi oksigen vena, dan sasaran PaOr. Adanya hubungan altara gatgguan kognitifdan saturasi oksigen lSaOr) <90yr, mengesankan bahwa SaOre" 90o/o, biasanya PaO, > 60 mmHg adalah target yang rasional. Karena ventilasi tekanan positif dapat menurunkan cardiac output, penting juga dipertimbangkan oksigenasi
jaringan pada proses yang menentukan ini. Selain PEEP, peningkatan FiO, digunakan untuk memperbaiki SaOr. Meskipun demikian, FiO, dapat juga menyebabkan perlukaan jaringan termasuk kerusakan alveolar difus. Keseimbangan antara peningkatan tekanan jalan napas dan FiOrtidak diketahui, tetapi FiO, yang tinggi biasanya dianggap kurang merusak. Sebagian hal ini
Postur telungkup (prone) Pada 70o/o pasien ARDS, posisi telungkup akan
menghasilkan peningkatan PaO, yang signifikan, dengan
MANIPULASI SIRKULASI PU LMONER Nitrit oksid yang terhirup (iNO) dan prostasiklin (PGIr) mungkin dapat digunakan untuk merltrunkan shunt pulmoner dan after-load verttrrkel kanan dengan menurunkan impedansi arteri pulmoner. Ketika
vasokonstriksi pulmoner hipoksik aktif, terdapat distribusi aliran darah pulmoner dari daerah dengan ventilasi buruk ke daerah dengan ventilasi nonnal untuk mencapai PaO, Baik iNo maupun PGI, _merupakan vasodilator poten, karena mereka dapat dikirmkan sebagai campuran gas (iNO) atau terinhalasi (PGIr), mereka dapat terkirim pada paru
Target Karbondioksida
Strategi V, rendah akan menghasilkan peningkatan PaCO2
239
ventilasi buruk, menurunkan shunt pulmoner dan memperbaiki oksigenasi. Almitrin intravena merupakan
vasokonstriktor pulmoner selektif yang dapat menguatkan vasokontriksi pulmoner hipoksik, dan meskipun ini dapat memperbaiki oksigenasi sendiri, almitrin mempunyai efek
pasien yang respons. Dua percobaan besar iNO telah menunjukkan tidak ada perbaikan mortalitas atau pembalikanALl. Namun iNO aman dan secara signifikan memperbaiki oksigenasi inisial (dibandingkan dengan plasebo atau tanpa NO), tetapi hal ini tidak terus-menerus
sinergistik dengan iNO. NO terinhalasi atau PGI, dapat juga digunakan untuk mengurangi afterload venfrkel kanan; biarpun peningkatan cardiac output jarang terjadi pada ARDS. PGI, akan meningkatkat cardiac output pada ARDS, meskipun demikian, terdapat vasodilatasi pulmoner nonspesifik dengan peningkatan aliran darah melalui daerah paru
melebihi 12-24 jam, dan beberapa pasien yang menerima plasebo mengalami peningkatanPaOre" 20o/o dalam4 jam. Oleh karena itu, peran iNO padapsien denganARDS masih
tidak pasti. Pada pasien dengan hipoksia berat, mungkin dalam kombinasi dengan almitrin, iNO akan memberikan pertolongan sementara.
Prostasiklin lnhalasi
PGI, (sampai 50 nglkg per menit) memperbaiki oksigenasi sama efektifrrya dengan iNO padapasienARDS. PGI, secara
Nitrit Oksid lnhalasi Nitrit oksid merupakan relaksan otot polos yang diturunkan dari endotel. Nitrit oksid juga mempunyai peranan fisiologis penting lainnya termasuk neurotransmisi, pertahanar. host, agregasi trombosit, adhesi leukosit, dan bronkodilatasi. Dosis iNO serendah 60 bagian per milyar dapat meningkatkan oksigenasi,
meskipun demikian, dosis yang umum digunakan dalam ARDS adalah 1-40 bagian per milyar, dengan dosis yang
terus-menerus dinebulisasi pancaran karena waktu paruhnya yang singkat (2-3 menit). Keuntungan yang potensial meliputi peningkatan pelepasan surfaktan dari sel tipe II yang teregang, menghindari potensi komplikasi
iNO, dan toksisitas yang minimal. Namun PGI, terlarut dalam
bufer glisin alkalin, yang mana itu sendiri dapat menyebabkan inflamasi jalan napas. Iloprost adalah
turunan dari PGlryang mempunyai aktivitas yarrg- serupa, dengan durasi kerja yang lebih panjang, tanpa bufer alkalin. Namun begitu tidak ada agen yatg taTah menunjukkan perbaikan keluaran pasien ARDS.
lebh tinggi membuthkan penurunan tekanan arteri pulmoner. Peningkatan PaO, melebihi 20% dianggap
sebagai respon positif, dan iNO harus dilanjutkan pada
dosis efektifminimal.
NO inhalasi dapat diberikan terus-menerus atau menggunakan inj eksi respirasi intermiten. Pemberian biasanya dalam bentuk angka medis NOA{2, dan harus tercampur dengan cukup untuk menghindari pemberian
konsentrasi NO yang bervariasi. Direkomendasikan konsentrasi respirasi NO dan NO, diukur, dengan metode elektrokimia atau dengan chemiluminesence. Metode
elektrokimia akurat sampai I ppm, dimana adekuat untuk penggunaan klinis, dan kurang mahal. Kadar NO dan NO, pada lingkungan lokal sebagian besar tergantung dari konsentrasi atmosfer, meskipun demikian masih umum latihan untuk mencari gas ekspirasi. Pengikatan terhadap hemoglobin pada sirkulasi pulmoner secara cepat menginaktifasi NO, dan dampak sistemik hanya dilaporkan setelah konsentrasi tinggi dari iNO. Kadar metahemoglobin sistemik mungkin dipantau, dan biasanya kurang dati 5%6 selama penggunaan klinis iNO, tetapi harus dibandingkan dengan kadar dasar. Nitrit oksid dapat menyebabkan toksisitas paru melalui kombinasi dengan oksigen radikal bebas, dan melalui metabolisme NO menjadi NO, namun
hal ini tampaknya bukan masalah klinis utama. Hanya 40-10% dengan ARDS mengalami perbaikan
aktivasi protein-C, tidak terbukti terapi farmakologi ALI dan ARDS berdasarkan banyak
dan pergantiannya jelas bertambah. Cedera paru yang diinduksi ventilasi sulit terjadi tanpa disfungsi surfaktan. Oleh karena itu, menarik untuk mempertimbangkan terapi penggantian surfaktan eksogen. Meskipun membesarkan hati data laboratorium dan
penelitian kecil, penggantian surfaktan eksogen tidak dapat
oksigenasi dengan iNO (yang respon), dan hal ini sepertinya akibat vasokontrikso pulmoner hipoksik aktif
pada sisanya. Penambahan almitrin i.v. dapat mempunyai dampak aditif pada oksigenasi, dan dapat meningkatkan
direkomendasikan tanpa data yang lebih banyak. Meskipun sebuah penelitian besar mengenai surfaktan
aerosol gagal mempengaruhi keluaran atau menunjukkan efek fisiologi, masih diragukan apakah surfaktan dapat
240
DALAII
sirkulasi. Pasien terpasang ventilator denganARDS rentan terhadap infeksi nosocomial dan lavage bronchoalveolar
dapat mengidentifikasi patogen. Multi organ failure merupakan komplikasi dari ARDS yang memerlukan intervensi khusus (seperti dialisis pada gagal ginjal).
TERAPIANTI INFLAMASI
Optimalisasi Hemodinamik
Penurunan tekanan arteri pulmonal mampu mengurangi derajat kebocaran kapiler pulmonal. Hal ini dapat dicapai
target kunci terhadap tatalaksana adalah kaskade inflamasi yang berasal dari kerusakan jaringan. namun kondisi ini sulit dipahami dan belum ada obat anti inflamasi dapat mengatasi ards. kortikosteroid tidak meningkatkan luaran
dengan menghindari pemberian cairan yang eksesif, penggunaan diuretik dan penggunaan obat-obat yang
bekerja sebagai vasodilator pada arteri pulmonal. Adakalanya dipandu oleh ballon-tipped pulmonary
artery catheter (swan-ganz) yang mengukur tekanan arleri pulmonal, tekanan baji kapiler pulmonal (menggambarkan tekanan atrium kiri) dan kardiak output (menggunakan tehnik dilusi termal). Tujuan managemen hemodinamik adalah mencapai keseimbangan optimal antara tekanan arteri pulmonal yang rendah unfuk mengurangi kebocoran cairan terhadap alveoli, tekanan darah sistemik adekuat untuk mempertahankan perfu si j aringan dan organ (contoh ginjal) dengan kardiak output cukup dan hantaran oksigen optimal pada jaringan ( hantaran oksigen sebagai fungsi dari konsentrasi haemoglobin, saturasi oksigen darah dan kardiak output). Obat-obatan yang digunakan sebagai
vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat atau kalsium antagonis, obat-obat ini juga menyebabkan vasodilatasi sistemik disertai hipotensi dan gangguan perfusi organ.
Inotropik dan vasodilator seperti dobutamin atau norepinephrin (noradrenalin) diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah sistemik dan kardiak output terutama pada sepsis (disebabkan oleh septikemia atau peritonitis), sepsis berkaitan dengan vasodilatasi. Nitric oxide inhalasi digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal selektif. Karena diberikan secara inhalasi, obat ini didistribusikan secara selektif pada regio ventilasi seperti paru yang menimbulkan vasodilatasi. Vasodilatasi terhadap alveoli akan meningkatkan ventilasi/perfusi secara signifikan sejalan dengan meningkatnya pertukaran udara. NO diinaktifkan oleh hemoglobin. Hal ini penting
terhadap infeksi. protein c rekombinan memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat produksi citokine dan adhesi sel dan melalui hambatan produksi trombin. obatobat ini telah terbukti menurunkan mortalitas terutama bila digunakan lebih dini pada pasien sepsis berat dan multiple organ failure.
Prognosis
Meskipun telah banyak penelitian mekanisme infamasi
ARDS dan tehnik ventilasi dan kontrol hemodinamik, namun mortalitas pasien ARDS masih sangat tinggi > 50 0%. Pasien yang masih hidup mungkin dengan fibrosis paru dan gangguan difusi oksigen namun beberapa pasien sembuh sempuma walaupun telah melewati masa kritis
pada
untuk memantau konsentrasi udara yang dihirup, nitrogen dioxide dan methemoglobin untuk mencegah
toksisitas.
241
Masih diperdebatkan apakah resolusi edema paru difasilitasi dengan merendahkan tekanan hidrostatik mikrovaskular dengan diuretik dan restriksi cairan.
Ventilasi tekanan positif dan PEEP menurunkan cardiac output dan penghantaran oksigen. Cardiac output dijaga adekuat dengan menjamin adekuatnya volume cairan intravaskular. Sepsis dan shock, yang merupakan faktor risiko utama pada ARDS sering memerlukan pemberian cairan masif karena hipotensi dan penurunan perfusi jaringan. Faktor-faktor ini menjadi alasan bahwa ekspansi volume mungkin diperlukan dan diuretik serta keseimbangan cairan yang negatif sebaiknya dihindari. Dipihak lain bukti retrospektif menunjukkan bahwa keseimbangan cairan negatif diharapkan pada ARDS.
Penurunan tekanan mikrovaskular paru menurunkan cairan
konservatif, pada protokol yang bebas menghasilkan ratarata keseimbangan cairan yang positif mendekati 7000m1. Tidak ada perbedaan kematian pada 60 hari tetapi strategi konservatif ini menghasilkan durasi yang lebih pendek dari ventilasi mekanik dan tinggal di ICU. Tidak ada komplikasi
tambahan. Pada sebuah studi lain, randomisasi pasien ALI pada insersi dan penggunaan kateter arteri pulmonar atau kateter vena sentral menunjukkan tidak ada perbedaan pada
REFERENSI
Amir Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. 2'd National Symp.
Cardiovascular, Respiratory and Immunology, Jakafia Mei 2003 Bongard FS, Sue DY and Vintch JRE. Acute Respiratory Distress Syndrome. In. Curent Diagnosis & Treatment Critical Care 3'd Ed. New York: McGraw Hill, 2008: 295-309.
ada kegagalan paru berat dan keseimbangan cairan negatif bersih kumulatif serta
penurunan berat badan secara bermakna lebih tinggi pada yang berlahan hidup dibandingkan yang meninggalpada ARDS. Trial ini mempunyai masalah dalam pada pemilihan pasien dengan prognosis yang lebih baik tetapi mereka
di paru meskipun
In:
Respiratory Mecicine. Oxford: Blackwell, 2007: 19l--196. Parsons PE. Acute Respiratory Distress Syndrome. In Hanley ME,
32
SYOK HIPOVOLEMIK
Ika Prasetya Wijaya
PATOFISIOLOGI SYOK
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh
darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya
ETIOLOGI
Syok hipovolemik adalah tergangguanya sistem sirkulasi
akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif
atau kehilangan plasma darah.
hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi laringan, adalah
242
SYOKHIFOVOIT,MIK
243
hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume
sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah j antung.
Ringan
(<20% volume
l2O-40%
darah)
Ekstremitas
Berat
(>40% volume
darah)
Sama, ditambah: Hemodinamik tak stabil Takikardia bergejala Hipotensi Perubahan kesadaran
Waktu
dingin pengisian
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatifyang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi
sel dan menyebabkan depresi jantung.
sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik
ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat
cepat, terutama pada pasien usia lanjut danyangmemiliki penyakit berat di mana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya ketusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jatang karena
cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi
DIAGNOSIS Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila
perdarahan tak ditemukan denganjelas atau berada dalam
traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka
biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun
GEJALA KLINIS
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serla perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok' Respons fisiologi yang normal adalah memperlahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan horrnon stres sefia ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan
mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adatya tanda syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan galop 53 maka semua
dapat dibedakan.
meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung.
resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang memungkinkan seperli pemasangan kateter CYP (central venous pressure) atau jalur intraarterial.
244
Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia)
atau dengan catrangaramseimbang seperti Ringer's laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis
dilanjutkan 60 mcg/kg dalam I jam dalam dekstros 5oh dapat membantu meningkatkan MAP. Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus
tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2 - 4 L dalam 20- 30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik. Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter Swan-Ganz. Bllahemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin <10 gldL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross-matclz (uji silang), bila sangat darurat maka dapat digunakan Packed red cels tipe darah yang sesuai atau Onegatif.
REFERENSI
Boeuf B, et a1 Naloxone for shock (review): The Cochrane Library:
issue 4, 2005 Hofmeyr JG Hypovolaemic shock: best practice & r'esearch. Clin
Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3 -5 menit
Wilkins; 2000.
Kumar, Clark. Intensive care medicine. Clinical medicine. Edisi ke5. In: Kumar, et al, ed. London: Elsevier Science; 2002. Landry DW, et al. The pathogenesis of vasodilatory shock. New
Engl J Med. 2001;345:588-95. Maier RV Approach to the patient with shock. Harrison's principles of internal medicine. Edisi ke-16. Dalam: Kasper DL, et al, ed. New York: McGraw-Hil1: 2005
33
SYOK KARDIOGENIK
Idrus Alwi, Sally Aman Nasution
PENDAHULUAN
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien yang dirawat dengan infark miokard akut. Terapi reperfusi segera (primary PCl) untuk kasus infark
intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada
kemudian menetap +
80%
kardiogenik pada infark miokard kebanyakan terjadi pada infark miokard dengan elevasi segmen ST dibandingkan dengan yang tanpa disertai elevasi segmen ST. Gagal ventrikel kiri terjadi pada hampir 80% dari syok kardiogenik akibat infark miokard akut. Sedangkan sisanya adalah akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal jantung kanan predominan dan
kiri cukup baik. Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cert off tntuk tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
keadaan di mana fungsi ventrikel
mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda
hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental, kulit dingin dan oliguria. Syok kardiogenik didehnisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama > I jam di mana :
tindakan percutaneus coronaty intet'vention ( PCI ) dini alau coronary artery bypass graft surgery (CABG)
. . .
Tak respons dengan pemberian cairan saja, Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau, Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2 Umenit per m2 dan tekanan baji kapiler
bermanfaat, sekali diagnosis syok ditegakkan, laju mortalitas tetap tinggi ( + 50 o/o ), walaupun mendapat
paru> 18mmHg.
Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah : . Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat > 90 mmHg dalam I jam setelah pemberian obat inotropik, dan . Pasien yang meninggal dalam I jam hipotensi, tetapi memenuhi kriteria lain syok kardiogenik.
intervensi, dan separuh kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerusakan miokard luas yang ireversibel dan kerusakan organ vital.
Bukti baru menduga bahwa respons inflamasi sistemik, aktivasi komplemen, pelepasan sitokin infl amasi, ekspresi inducible nitric oxide synthase ( iNOS ) dan vasodilatasi yang tak adekuat mempunyai peran penting, tidak hanya pada genesis syok tetapi jluga outcome setelah syok. Syok kardiogenik ditandai dengan hipoperfusi sistemik akibat terjadinya depresi berat dari indeks kardiakl.2,2 (Llmin)lm2 dan hipotensi tekanan sistolik arterial menetap (< 90 mmHg), di samping terjadinya peningkatan tekanan baji kapiler paru (PCWP) > I 8 mmHg.
EPIDEMIOLOGI
Penyebab syok kardiogenik yang terbanyak adalah infark miokard akut, di mana terjadi kehilangan sejumlah besar
245
246
kardiogenik sebagai komplikasi sindrom koroner akut bervariasi. Hal ini berhubungan dengan definisi syok
kardiogenik dan kriteria sindrom koroner akut yang dipakai sangat beragam pada berbagai penelitian. Syok kardiogenik terjadi pada 2,9 %o pasien angina pektoris tak stabil dan2, I o% pasien IMA non elevasi ST. Median waktu perkembangan menjadi syok pada pasien iri adalah7 6 jam dan 94 jam, di mana yang tersering setelah 48 jam. Syok lebih sering dijumpai sebagai komplikasi IMA dengan elevasi ST daripada tipe lain dari sindrom koroner akut. Pada studi besar di negara maju, pasien IMA yang mendapat terapi trombolitik tetap ditemukan kejadian syok kardiogenik yang berkisar attara 4,2 o/o sampai 7,2 oh.
Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin setelah infark miokard. Pada pasien pasca IM, diduga terdapat aktivasi sitokin inflamasi yang mengakibatkan peninggian kadar iNOS, NO dan peroksinitrit, di mana
semuanya mempunyai efek buruk multipel
. . . . . .
antaralail:
ETIOLOGI Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya syok. Di antara komplikasi tersebut adalah : ruptur septal ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut. Sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat
menyebabkan terjadinya syok.
Sindrom respons inflamasi sistemik ditemukan pada sejumlah keadaan non infeksi, antara lain trauma, pintas kardiopulmoner, pankreatitis dan luka bakar. Pasien dengan infark miokard (IM) luas sering mengalami peningkatan suhu tubuh, sel darah putih, komplemen, interleukin, C-reactive protein dan petanda inflamasi lain. NO yang disintesis dalam kadar rendah oleh endothelial nitric orlde (eNOS) sel endotel dan miokard, merupakan molekul yang bersifat kardioprotektif.
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah takiaritmia atau bradiaritmia yang
rekuren, dimana biasanya terjadi akibat disfungsi ventrikel
PREDIKTOR
Pengenalan pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk berkembang menjadi syok dapat memfasilitasi pengiriman
kiri,
akibat penyakit jantung iskemia, maupun kardiomiopati hiperlrofi k dan restriktif. Picard MH et al, melaporkan, abnormalitas struktural dan fungsional jantung dalam rentang lebar ditemukan pada pasien syok kardiogenik akut. Mortalitas jangka pendek dan jangka panjang dikaitkan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri awal dan regurgitasi mitral yang
indikator signifikan untuk prognostik pasien berdasarkan gambaran klinis dan keadaan hemodinamik. Klasifikasi
Killip dibuat
PATOFISIOLOGI Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas miokard yang
mengakibatkan lingkaran setan penuflrnan curah jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner, dan selar5'utnya tef adi penunuran kontaktilitas dan curah jantung. Paradigma
gagaljantung kongestif, suara 53 gallop, ronki, gambaran radiografik yang menunjukkan gagal jantung kongestif, edema paru dan syok kardiogenik). Sedangkan klasifikasi Forrester dibuat berdasarkan keadaan hemodinamik yaitu: angka PCWP QtulmonarT capillary wedge pressure) dar' CI (cardiac index) yang dihubungkan dengan tingkat morlalitas. Semakin tinggi nilai PCWP dan semakin rendah CI maka mofialitas akair meningkat.
SYOKKARDIOGENIK
247
MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut,
dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Padakeadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai seminggu setelah onset infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tibatiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau bahkan henti jantung. Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung
yang berhenti sejenak. Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.
f,'oto roentgen dada : Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral
akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset
tempat tidur p asien (bedside). Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antaralain: penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental),
Pemantauan hemodinamik : Penggunaan kateter SwanGanz untukmengukur tekanan afieri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan tekanan baji paru. Bilapada pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut memrnjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovolemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji pembuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan
Pemeriksaan Penunjang
rekaman
248
terjadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri
pulmonal.
Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway
pressure atau ventilasi mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor secara terus menerus, dan peralatan defibrilator, obat antiaritmia amiodaron dan lidokain harus tersedia (33% pasien pada revaskularisasi awal SHOCK
PENATALAKSANAAN
Volume pengisian ventrikel kiri harus dioptimalkan, dan pada keadaan tanpa adanya bendungan paru, pemberian cairan sekurang-larangnya25O ml dapat dilakukan dalam
ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan abnormalitas difusi oksigen. Hipotensi yang terus
berlangsung memicu kegagalan otot pernapasan dan dapat dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis. Laporan adanya penurunan secara dramatis mortalitas syok kardiogenik dengan melakukan revaskularisasi awal mulai muncul pada akhir tahun 1980. Uji klinis secara acak yang menguji superioritas dan generalisabilitas strategi revaskularisasi awal telah dilakukan di USA yaitu SIIOCTK trial. Pada penelitian SHOCK dilaporkan peningkatan surrival 3}hari dari 46,7 o/omenjadi 56 o/o dengan strategi revaskularisasi awal, namun perbedaan 9 % absolut tidak bermakna ( p:0,11 ). Pada pemantauan, perbedaan survival pada strategi revaskularisasi awal menjadi lebih besar danbermakna setelah 6 bulan (36,9 o/ov 49,7 Yo,p:O,027 ) dan satu tahun ( 33,6 oh v 46,7 Yo ) untuk reduksi absolut I 3,2 o (9 5 % CI 2,2 %o sampai 24,1 Yo, p < 0,03 ). Terdapat l0 subkelompokyang diuji, termasukjenis kelamin, usia, riwayat IM, hipertensi, diabetes, infark miokard anteriol
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika diantisipasi keterlamb atan angiografi lebih dai2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik < 100 mmHg yang mendapatkan trombolitik pada meta analisis FTT adalah 28,9%o dibandingkan 3 5, I %
dengan plasebo (95% CI 26 sampai 98, p < 0,001). Meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini dapat memfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik karena infark miokard non
komunitas harus segera dikirim ke fasilitas pelayanan tersier yang berpengalaman. Hipotensi diatasi segera
dengan IABP. Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh
l,lYo).
Langkah L Tindakan Resusitasi Segera Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk terapi definitif. Mempertahankan tekanan arleri rata-rata yatg adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin atau noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat
hipotensi, harus diberikan secepahlya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis
yang membandingkan PCI dengan CABG pada syok kardiogenik. Trial SHOCK merekomendasikan CABG
emergensi padapasienleft main atatpenyakit 3 pembuluh besar. Laju mortalitas di rumah sakit dengan CABG pada penelitian SHOCK dan regis try adalah sama dengan outcome dengan PCI, walaupun lebih banyak penyakit arteri koroner berat dan diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang
dapat
dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.
menjalaniCABG Rekomendasi terapi reperfusi dini syok kardiogenik karena komplikasi infark mokard akut dapat dilihat pada Gamhar2.
SYOKKARDIOGENIK
249
Tanda klinis: hipoperfusi, CHF, edema paru akut Penyakit dasar yang paling mungkin ?
Pem be rian
- Furosemid lV 0,5-1,0 mg/kg - [,lorfin lV 2-4 mg - Oksigen bila diperlukan - Nitrogliserin SL, kemud an 10-20 mcg/menit bila TDS > 100 mmHg - Dopamin 5-15 mcg/kg/menit lV bila TDS 70-100 mmHg dan tanda/gejala syok (+) - Dobulamin 2-20 mcgikg/menit lV bila TDS 70-100 mmHg dan tanda/gejala syok G)
Delayed onset shock Pem eriksaan ekokardiografi untuk menyingkirkan defek mekanikal
Terapi fibrinolitik pada keadaan 1 > 90 menii baru dapat dilakukan PCI 2 Awitan lM < 3 jam 3 Tidak ada kontraindikasi Rujuk ke puset invasif yang memadai
CABG segera
Revaskularisasi m ekanis segera dengan PCI atau CABG direkomendasikan pada 1 Usia < 75 tahun 2. Elevasi ST, LBBB atau lM posterior 3 Terjadi syok < 36 jam setelah awitan ll\4 4, Revaskularisasi dapat dilakukan dalam waktu 18 jam setelah syok
Gambar 2. Rekomendasi terapi reperfusi dini pada syok kardiogenik karena komplikasi infark miokard akut
250
et al 1 , dalam penelitiannya terhadap I I pasien dengan syok persisten walaupun mendapat vasopressor, IABP dan PCI. Output urin dan tekanan darah meningkat nyata dan72 %o
tetap hidup dalam 30 hari. Selanjuhrya dilaporkan pula penurunan mortalitas dari 67 % menjadi 27 o/o dengan inhibitor NOS , NG-nitro-L-arginine methyl ester,pada uji acak skala kecil pada 30 pasien.
Pada Gambar 3 dapat dilihat diagram intra aortic ballon pump dan posisinya dalam Aorta. Pada Gambar 4 dapat dilihat efeklntra Aortic Ballon Pwnp selama sistol dan diastol
Inhibisi kaskade komplemen pada tingkat C5 menghasilkan penurunan respons iNOS berlebih, terhadap iskemia dan reperfrrsi dan secara teoritis dapat menghambat terjadinya syok. Hasil awal COMplement inhibition in
Myocardial infarction treated with Angioplasty (COMMA) study menunjukkan inhibisi C5 dikaitkan
dengan laju syok dan kematian yang lebih rendah pada pasien risiko tinggi yang menjalani PCI primer, walaupun tanpa efek terhadap ukuran infark. Saat ini telah didisain penelitian SHOCK-2 (Shouldwe
inhibit nitric Oxide synthase in patients with Cardiogenic shock?) untuk menguji inhibitor NO, L-NMMA, dengan uji acak yang baik pada pasien syok persisten walaupun infarct related artery (IRA) paten.
alth seal
RERERENSI
Cotter G, Kaluski E, Blatt A, et al. L-NMMA (a nitric oxide synthase inhibitor) is effective in the treatment of cardiogenic
shock. Circulation 2000; i01 : 1358-61 Ducas J, Grech ED. ABC of interventional cardiology. Percutaneous
ne way valve
Gambar
(kii)
dan
w
I
|
Fibrinolilytic Therapy Trialist (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute
ne--'un I I a ueninorarran rekanan d asloti( r o(a'd merLrJn I | 5r. Menin_okatkan oerfJs, koroner
: collaborative overview of early mortality and major morbidity results from all randomized tria1s of more than 1000 patients. Lancet 1994;343:311-22, Goldberg RJ, Samad NA, Yazebski J et al Temporal trends in cadiogenic shock complicating acute myocardial infarction. N Engl J Med. 1999;340:1162-8. Goldbetg RJ, Gore JM, Alpert JS, et al. Cardiogenic shock after myocardial infarction : incidence and mortality from community-wide perspective, 1975 to 1988. N Engl J Med
myocardial infarction
199
l;325:ll17
-22
Hochman JS. Cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction. Circulation 2003;107 :2998-3002. Hochman JS, Sleeper LA, Webb J, et al. Early revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. N Engl J Med 1999;341:625-34 Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al One-year survival following early revascularization for cardiogenic shock. JAMA 2001:,285:190-2. Hochman JS, Buller CE, Sleeper LA, et al. Cardiogenic shock
HARAPAN MASADEPAN
Peran NG-monomethyl-L-arginine (L-NMMA), suatu inhibitor nitrik oksida selektif, cukup menjanjikan. Cotter
registry J Am Coll Cardiol. 2000;36:1063-70. Holmes DR, Bates ER, Kleiman NS, et al Contemporary reperfusion
therapy for cardiogenic shock : the GUSTO-I trial experience
SYOKI(ARDIOGEMK
2st
Jacobs
J Am Coll Cardiol 1005;26668-74. Hasdai D, Califf RM, Thomson TD, et a1. Predictors
of cardiogenic
shock after thrombolitic therapy for acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2000;35:136-43. Hochman JS, Sleeper LA, Godfrey E, et al. Should we emergently revascularize occluded coronaries for cardiogenic shock : an Intemational randomizes trial of emergency PTCA/CABG-trial design. Am Heart J 1999;137:313-21.
AK, Sleeper LA, Forman R, et al. Cardiogenic shock caused by right ventricular infarction : a report from the SHOCK registry. J Am Coll Cardiol 2003;411273-9.
Hasdai
D, Topol EJ, Califf RM, et al. Cardiogenic shock complicating acute coronary syndrome . Lancet 2000;356:74956.
Menon V, Hochman JS. Management of cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction. Heart 2002;88:531-7. Picard MH, Davidoff R, Sleeper LA, et al. Echocardiographic predictors of survival and response to early revascularization in cardiogenic shock. Circulation 2003 ;1 07 :27 9 -84. Webb JG Sanborn TA, Sleeper LA, et al. Percutaeous coronary intervention for cardiogenic shock in the SHOCK trial registry. Am Heart J 2001;14l:964-'70.
34
PENATALAKSANAAN SYOK SEPTIK
Khie Chen, Herdiman T. Pohan
PENDAHULUAN
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensts American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respons inflamasi sistemik (sys/e mic infl ammatory respons e syndromel SIRS), sepsis berat dan syok/ renjatan septik. (Tabel 1) Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan
sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme seVjaringan.
pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu strategi penatalaksanaan syok
Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS
Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan
penurunan kesadaran.
mengganggu metabolisme pada sel dan jaringan. Terdapat 8 faktor hemodinamik yang berperan dalam terjadinya syok, antara lain: 1). Faktor pertama yang berperan penting dalam
Sepsis dengan hipotensi Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi lainnya. Renjatan septik Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan
perfusi organ.
curah jantung; 2). Jantung merupakan faktor kedua terpenting yang mempengaruhi sirkulasi hemodinamik. Curah jantung dipengaruhi oleh frekuensi dan irama
252
253
MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat selular (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi,
iskemia reperfusi dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor
terjadi kegagalan organ atau renjatan, vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi
respons imun maladaptif pejamu terhadap infeksi. Penatalaksaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu dilakukan segera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,
dimulai sejak pasien tiba unit gawat darurat. Tindakan mencakup aitway : a). breathing; b). circulation; c). oksi geni sasi, ter api cair an (kristaloid dan/ atau koloid), vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya
dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 812 mmHg, tekanan arterirata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kg/jam.
Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana endotoksin (lipopolisakarida)
yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses
yaitu: sitokin, neutrofil, komplemen, NO dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan
proses homeostatis dimana terjadi keseimbangan antara proses infl amasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeosta-
Oksigenisasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Traspor (delivety) oksigen ke janngan dapat pula terganggu akibat keadaan
ini terkait
dengan faktor
suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inllamasi yang melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ. Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan
MODS
llepar
lan.r
(endotoks nl
Paru Jantung
disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah
sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Faktor lain
ifikasi
L-10
Endotel
vaskular
Aktivitas prokoag!lan kemotaksis nekofil
No
dan syok pada sepsis. Berlanjutnya proses inflamasi yang maladapatif akan menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/
Vasodilatasi
1. Disfungsi organ multipel sebagai hasil akhir dari proses inflamasi yang berlanjut. (Modifikasi dari Dhainaut)
Gambar
254
pemrrunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oksigen oleh
dan
Vasopresor dan Inotropik Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara
adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Hipotensi terjadi sebagai akibat vasodilatasi atau sebagai
faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat
perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat
akibat disfungsi miokardial sehingga terjadi penurunan curah jantung. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri ratarata(MAP) 60 mmHg, atautekanan darah sistolik 90mmHg. Pemantauan terhadap tingkat kesadaran dan produksi urin dapat menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram(mcg),&g/menit, norepinefrin 0,03 - 1, 5 mcg/kg/menit, fenileferin 0, 5 - 8 mc g,&g/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang
hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan trasport oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di j aringan.
Terapi Cairan Hipovolemia dapat terjadi pada sepsis sebagai akibat peningkatan kapasitas vaskular (penurunan aliran balik
vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun, kehilangan
dapat digunakan dobutamin dosis 2-28 mcglkg/menit, dopamin 3 -8 mcglkg/menit, epinefrin 0, I -0, 5 mcglkgimenit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
cairan melalui pernapasan atau keringat), terjadinya perdarahan dan kebocoran kapiler. Pada keadaan hipovolemik akan terjadi gangguan transpor oksigen dan
nutrisi ke jaringan dan menyebabkan terjadinya hipotensi
dan renjatan.
Bikarbonat
Bikarbonat telah lama digunakan dalam mengkoreksi asidemia pada sepsis. Namun terapi bikarbonat untuk
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat), maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan pada terapi awal karena lebih murah dan mudah didapat, tetapi perlu diberikan dengan volume yang lebih besar. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidakkurang atauprur berlebih. Secara klinis respons terhadap pemberian cairan terlihat dari peningkatan tekanan darah, pemrmnan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan
manfaatnya, dengan alasan bahwa bikarbonat sebagai bufer bermanfaat pada tingkat selular; sedangkan pada sepsis dan renjatan terjadi hipoperfusi ke jaringan dengan konsekuensi terjadinya gangguan traspor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi pH sel yang semakin rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH < '7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/I, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
DisfungsiRenal
Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjatan terjadi secara akut, disebabkan karena gangguan perfusi ke organ tersebut. Bilamana pasien dalam keadaan hipovolemik atau hipotensi, keadaan ini harus segera diperbaiki dengan
oksigen.
Albumin merupakan protein plasma yang juga berfirngsi sebagai koloid. Albumin berfungsi mempertahankan
tekanan onkotik plasma. Pada keadaan serum albumin yang
pemberian cairan secara adekuat, terapi dengan vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Pada keadaan
oliguria, pemberian cairan perlu dipantau secara ketat oleh
karena pemberian cairan secara agresifdapat menyebabkan
rendah (<2 gldl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (paclc red cell) diperltkan pada kdadaan perdarahan aktif, atau bilamana kadar hemoglobin (Hb) yang rendah pada keadaan tertentu misalnya
iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipgrtahankan di atas 8 hingga l0 g/
255
sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Teknik hemofiltrasi yang digunakan berupa continuous art eiov enous hemofi ltratior (CAVH) atau c irculation of dialysate on ultrafiltrate chamber (CAYHDF).
darr
Baik hemodialisis ataupun hemofiltrasi merupakan terapi pengganti yang saling melengkapi. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis. Hemofiltrasi memiliki
demand. Protokol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid bolus 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopresor hingga >65 mmHg dan bila MAP >
90 mmHg diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi
oksigen vena sentral (ScvO2); bila ScvO2<70% dilakukan koreksi hematokrit hingga diatas 30Yo. Setelah CVP, MAP
Nutrisi
Nutrisi merupakan terapi suportif yang penting dan harus
diperhatikan dalam perawatan pasien sepsis. Pada sepsis terjadi slress yang menyebabkan gangguan metabolisme berbagai zat nutrisi. Di satu pihak terjadi hiperkatabolisme akibat kebutuhan yang meningkat, sedangkan keadaan gangguan perfusi dan hipoksia menyebabkan proses utilisasi
dan pengangkutan sisa metabolisme menjadi terganggu. Pada
dan hematokrit optimal namun ScvO2 < 70oA, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP< 65 mmHg atau frekuensi jantung >120 kalilmenit. (Gambar 2) Hasil penelitian pada 130 pasien dengan 133 kontrol didapatkan penumnan mortalitas pada kelompok early goal directed therapy 30,5% dibandingkan kontrol46.5% dengan perbaikan pada parameter ScvO2, kadar laktat darah, defisit basa lebih rendah dan pH darah lebih tinggi.
,/ diin
-\
l
l*
<65mmHo r.
0batWsoaklll
Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi dicoba pemberiannya pada sepsis berat dan renjatan dengan hasil tidak terbukti
menurunkan mortalitas. Saat ini terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal, dan dapat diberikan secara emprik bila terdapat dugaan keadaan
Perawatan rumah sakit
REFERENSI
Annane D, Sebille Y Charpentier C. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. J Am Med Assoc. 2002;288(7):862-
kontrol.
71.
Astiz ME, RackowEC. Septic shock. Lancet 1998;351:1501-5. Balk RA. Severe sepsis and septic shock, definition, epidemiology and clinical manifestation. Crit Care C1in. 2000;16(2):179-92. Chertow G, Sayegh M, Allgren RL. Is the admioistration of dopamine associated with adverse of favorable outcome in acute renal
failure? Am J Med. 1996;101:49.
256
DALI\M
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving sepsis campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004:32(3);858-71. Dhainaut JF, Marin N. Sepsis induce multiple organ dysfunction syndrome. In: Dhainaut JF, Thijs L, Park G (eds). Septic shock. London. WB Saunders Co. 2000. p.321-26 Jindal N, Hollenberg SM, Dellinger RP, Pharmacologic issues in the management of septic shock. Crit Care Clin 2000;16(2):233-
49.
Jumois D. Prophylaxis and management of acute renal failure during sepsis. In: Dhainaut JF, Thijs LG Park G, editors. Septic shock. London: WB Sauders co. 2000 p. 511-20.
Members of the American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference Committee. AmericanCollege of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of intovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1992;20:864-74. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et.al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Eng J Med 2001,345:1368-77 . Singer M. Management of multiple organ failure: guidelines but no
1998;41
35
RENJATAN ANAFILAKTIK
Iris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, Dina Mahdi
PENDAHULUAN
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian
dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah pula menimbulkan reaksi obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek
samplng.
Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat
membawa maut juga. Hipokalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik merupakan contoh-contoh efek samping yang potensial berbahaya.
Bila pada bagian pendahuluan dijelaskan perbedaan anafilaksis dengan reaksi anafilaktoid, maka berikut ini
dikemukakan pengertian anafilaksis dan syok anafilaktik. Banyak anggapan bahwa reaksi alergi obat yang dapat mematikan adalah syok anafilaktik. Seperti terlihat pada Tabel 1, syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi
Gatal-gatal karena alergi obat, mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan contoh lain reaksi
efek samping yang ringan. Diperkirakan efek samping
terjadi pada 6 sampai 15 % pasien yang dirawat di rumah sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-10 %o dari efek samping.
adanya
hipotensi yaflg tyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya. Justru gejala yang terakhir ini yang sering terjadi dan bahkan ada laporan yang menyatakan kematian karena anafilaksis dua pertiga disebabkan oleh obstruksi saluran napas (terutama pada usia muda), dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular (terutama usia lanjut). Ciri khas yang pertama dari anahlaksis adalah gejala yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit setelah
anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dapat mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera
setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus
lainnya. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi disebut sebagai reaksi anafilaktik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid tetapi karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis. Perbedaan tersebut diperlukan manakala mencari
penyebab anafilaksis dan merencanakan penatalaksanaan
lanjutan.
lnsidens
Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak
257
258
karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada
0,002%opemakaian.
Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan
reaksi yang mengancam nyawapada},lYodan reaksi yang
globulin
fatal terjadi antara I : 10.000 dan 1: 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya
media kontras yang hipoosmolar. Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan. Enam kasus kematian karena uji kulit dat24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun 1959 sampai tahun
1984.
DIAGNOSIS
Sistem
Umum Prodromal Pernapasan
Hidung Laring
Gejala dan tanda Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum Hidung gatal, bersin dan tersumbat Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema,spasme
Edema
Lidah
Bronkus
Batuk, sesak, mengi, spasme Pingsan,sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar,terbalik, atau tanda-tanda infark miokard. Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi Urtika, angioedema, di bibir, muka atau ekstremitas Gatal, lakrimasi Gelisah, kejang
Kardiovaskular
Gastro intestinal
Kulit
Mata
serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai gangguan pernapasan baik karena edema larings
atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang berat sampai terjadi penurunan kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular,
pemapasan atau kulitjuga bisa disertai gejala mual, muntah,
atau
DIAGNOSIS BANDING
RENJATANANAFILAKTIK
259
berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafi laksis, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis. Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tatda-tanda
obstruksi saluran napas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan elektrokardiografi dan enzimatik akan
membantu diagnosis infark miokard.
Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien tampak
TERAPI
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh
lemah, pucat berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik. Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda
ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan
kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 : 1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB
sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung. Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin I : 1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya
gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien kadangkadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien mengeluh parestesia. Sindrom angioedema neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang menyerupai anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angioedema saluran napas bagian atas
dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan
kulit atau kolaps vaskular. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom
angioedema neurotikherediter.
Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindrom ini ditandai dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau angioedema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serotinin darah meninggi serta kadar histamin dan 5 hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.
memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar,
baik;2).
Sistem
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari alergen penyebab maupun pencetusnya tidak
mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan. Dalam
kardiovaskular yangjuga harus berfungsi baik sehingga perfu si jaringan memadai. Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada
hal ini anamnesis yang teliti merupakat cara yang paling penting. Dengan demikian diagnosis anafilaksis terutama
berdasarkan reaksi anafilaksis yang timbul segera setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus serangan dan menimbulkan gejala klinik pada organ-organ sasaran seperti
yang telah disebutkan tadi. Akan halnya pemeriksaan penunjang seperti uji kulit hanya bermanfaat bila
mekanisme anafi laksis tersebut melalui IgE (imunoglobulin E) dan obat-obat yang dapat diuji pun terbatas pada penisilin. Hormon dan enzim sangatjarang dilakukan karena prosedw tersebut juga bisa menimbulkan reaksi anafilaksis. Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu
260
Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena
trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid denganjarum besar. Kemudian pasien segera dirujukke rumah sakit. Pemberian oksigen 4-6 Umenit sangatpenting baikpada gangguan pernapasan maupun kardiovaskular. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2lainnya 0,25 cc - 0,5 cc dalam2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5%o atau NaCl 0,9o/o dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
di atas kemudian diikuti pemapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat. Pernah dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1.
obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan
menjadi lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik alfa tidakterhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan
2. 3.
manfaat
dan
2.
Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH, dengan AH, bekerja secara sinergistik terhadap reseptor yang
ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit,
Sistem Kardiovaskular
l.
Gejalahipotensi atau syokyang tidakberhasil dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi
kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membufuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9o/o) atat koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalambentuk cairankristaloid.
AH, seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin ( 1 50 mg) harus diencerkandengan20 mlNaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai
3.
gantinya dipakai ranitidin. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas maupun gangguan
diberikan tablet prednison tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5 mgikgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini
dapat diberikan setiap 4-6 jam.
2.
3.
PENCEGAHAN
4. Bila
tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk
memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan caramelarutkan 1 ml epineprin 1 : 1000 dalam 250 ml dektrosa (konsentrasi4mglml) diberikan dengan infus 1 - 4 mglmenit atau 15 - 60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg /ml
pada ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada
sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.
pada
anafilaksis dianjurkan untuk tidak memakai obat-obat penyekat beta karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya sulit. Sebaiknya obat-obat substitusi
pengganti obat penyekat beta tersebut. Pada beberap a keadaan dilaporkan adany a tindakan
RENJATANANAFILAKTIK
261
Greenberger dkk memberikan prednison dan antihistamin sebelum memberikan media kontras pemeriksaan radiologik
Allergy Clin Immunol 1986;78:76-83 De Swarte RD, Patterson R. Drug Allergy: In Roy Patterson R,
Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic Diseases. Diagnosis and Management 5'h ed Philadelphia: Lippincot-Raven
Desensitisasi jangka panjang diberikan kepada pasien yang alergi terhadap sengatan tawon.
Publishers. 1997 : 317-412. Doctor J. Anaphylaxis: focus an early diagnosis and treatment. Can J CME. 1996;March:41-56. Ewan PW,. Anaphylaxis : Diagnosis and management In : Holgate S, Boushey HA, Fabbril LM, editor. Diffuclt asthma. London : Martin Dunitz Ltd. 1999: 521-534. Gilmore NJ, Yang WH, De1 Carplo J. Penicillin allergy. A simple, rapid intravenous methode of desensitization (abstrac)
J Allergy Clin Immunol 1984;63:185. Graft DF. Venom immunotherapy for stinging insect al1ergy. Clin
pasien mempunyai risiko alergi obat, 4. Apakah obat tersebut perlu diuji kulit dulu, 5. Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi reaksi alergi
Sewaktu minum obat. Enam caramemberikan obat : 1. Kalau mungkin obat diberikan secara oral, 2. Hindari pemakaian intermiten, 3.Sesudah memberikan suntikan pasien harus selalu diobservasi, 4. Beritahu pasien kemungkinan reaksi yang terjadi, 5. Sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat, 6. Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitisasi.
Sesudah minum obat. 1. Kenali tanda dini reaksi alergi obat, 2.Hentikan obat bila terjadi reaksi, 3. Tindakan imunisasi sangat dianjurkan, 4. Bila teiadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar kejadian tersebut tidak terulang kembali. Sangat dianjurkan untuk lebih baik melakukan tindakan berhati-hati atau pencegahan, daripada menghadapi reaksi anafi laksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya
Rev. Allergy 1987 ;5:149-59. Greenberger PA, Patterson R, Raden RC. Two pretreatment regimens for high risk patients receiving radio contrast media. J Allergy Clin Immunol 1984:7 4:540-3. Herrera AM, De Shazo RD. Current concepts in anaphylaxis Pathophysiology, diagnosis and featment. Immuno Allergy Clin
N Amer 1972;12:517-34. Horan RF, Fennoyar DS, Sheffer AL. Management of anaphylaxis. Immuno Allergy Clin N Amer 1991;11:117-41.
and
treatment. J AMA 197 4;227 :1413 -6. Kemp SF. Adverse effects of allergen immunotherapy: Assessment and treatment. Immunol Allergy Clin North Am 2000;20:571'
91
Akan halnya dengan obat-obat sebagai penyebab anafilaksis, tidak semua obat dapat diuji kulit. Hanya
penisilin, berbagai macam hormon, serum dan enzim yang dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada beberapa keadaan uji kulit maupun provokasi dengan mernberikan obat kadang-kadang membantu diagnosis tetapi kedua cara tersebut juga bisa mencetuskan anahlaksis.
Lawlor GJ, Rosenblatt HM. Anaphylaxis. In : Lawlor GJ, Fischer FJ, Adeiman DC, editors.. Manual of Allergy and Immunology, 3'd ed. Boston: Little Brown and Company; 1995:.224-252. Lieberman PL Specific and idiophatic anaphylaxis: Phatophysiology and treatment. In : Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG, Busse WW, editors. Allergy, Asthma and Immunology from Infancy to Adulthood. 3d eds. Philadelphia : WB. Saunder Company. 1996: 29'7-319. Liebennen P, Kemp SF, Oppenheimen J, Lang DM, Bernstein IL dan Nicklas RA. The diagnosis and management of anaphylaxis: An updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol 2005; 1 1 5(suppl): 5483-S523.
Lockey RF, Benedict IM, Turkeltauk, et al. Fatalit'ies from imunotheraphy (II) and skin testing (3T). J Ailergy Clin Immunol 1987 ;7 9 :660-6. Reid MJ. Lodey RF, Turkeltauk PC. Survey of fatalities from skin
testing and immunotherapy, 1985-1989. J Allergy Clin Immunol, 1993;92:6-9. Ring J. Anaphylaxis. Dalam allergy in practice. Springer. Munchen. 2005:97 -104 Stark BJ, Sulliran TJ. Biphasic and protacted anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 1986;78:78-83. Toogod RH. Risk of anaphylaxis in patients receiving beta blocker drugs. J Allergy Clin Immunol 1988;81:1-3. Weiszer I. Allergic emergencies. In : Patterson R, editor. Allergic disease : diagnosis and management. 2^d edition. Philadelphia: JB Lippincot,1980: 37 4-94.
REFERENSI
Bamard JH. Studies of Hymenoptera sting death in the United States. J Allergy Clin Immunol 1973:52:525-9. Belleau J, Lieberman PL. Anaphylaxis. Dalam: Milgrom EC, Usatine RP, Tan RA, spector SL (Eds). Practical Allergy. Mosby, China.
2004:97 -109
36
KEGAGALAN MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL)
Aryanto Suwondo
Sindrom disfungsi organ multipel (Multiple organ dysfunction syndrome disingkat MODS) dapat terjadi pada penderita-penderita penyakit dengan kondisi kritis
atau pasca trauma berat. Perjalanan alamiah sindrom
ini
meliputi perawatan yang lama di ruang intensif sehingga menghabiskan dana dan daya vpayayatg besar. MODS muncul sebagai akibat langsung dari meningkatnya
mempertahankan homeostasis. Penelitian-penelitian terdahulu menemukan adany a infeksi, kadang-kadang tersamar, sebagai faktor klinis utama yang berhubungan dengan MODS. Tetapi dalam penelitian-penelitian terakhir terbukti MODS dapat terjadi tanpa adanya fokus infeksi, dan secara eksperimental MODS dapat ditimbulkan dengan menl.untikkan mediator-mediator infl amasi. Lebih jauh, penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa kegagalan fungsi satu organ dapat
pasien kritis
proses kegagalan fisiologis yang progresif pada beberapa sistem organ. Di ruang rawat intensif, setelah
tahun 1 950-an proporsi pasien-pasien usia lanjut, dengan komorbid yang lebih banyak, meningkat dibandingkan dengan sebelumnya waktu usia menjadi alasan menolak pasien untuk dirawat di ICU. Demikian pula cara-cara resusitasi pasca trauma yang berdasarkan protokol militer
dan dibukanya pusat-pusat penanggulangan trauma (trauma centers) meningkatkan jumlah pasien dalam kondisi kritis yang berhasil sampai di rumah sakit.
karena gagal organ multipel. Sejak itu dikenal istilah sequential system failure, progressive multiple organ
system failure.
ETIOLOGI
Beberapa jejas (insult) fisiologik maupun patologik dapat
l).
262
263
Trauma
Baktereremia Viremia Fungemia Penyakit riket Mycobacteria lnfeksi protozoa Trauma multipel Pasca operasi lskemia viseral Status epileptikus Heat injury Abdominal compadment syndrome
lnflamasi
Pankreatitis Vaskuliiis HIV Eklamsia Gagal hati Bypass kardiopulmoner Transfusi masif
non-infeksi
Kanker Suntikan sitokin Reaksi obal Sindrom reperfusi Reaksi transfusi Sindrom
asprrasr
imun (magic bullets) untuk memblok sitokin-sitokin dan endotoksin terbukti gagal.
Kondisi proinflamasi
lnfeksi organ
solid
Sepsis / SIRS
PATOGENESIS
Syok MODS
Ke m atia n
Teori MODS Terbaru Akibat dari jejas lokal atau infeksi, mediator-mediator
proinfl amasi dilepaskan untuk melawan antigen-antigen asing dan mempercepat penyembuhan luka. Kemudian akan diikuti pelepasan mediator-mediator anti-infl amasi untuk meregulasi proses ini. Homeostasis dicapai dan pasien sembuh. Bila jejas patologis berat, dan mekanisme
Teori SIRS/MODS ini terlalu linier dan sederhana (Gambar 3). Penelitian-penelitian dengan cara modulasi
MODS primer
M0DS sekunder
homeostatis. Bila respons proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya berat, atau bila respons anti-inflamasi sebagai
kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal meregulasi
respons proinflamasi, terjadilah ketidakkeseimbangan dengan predominan respon proinflamasi. Pada keadaan ini didapat tanda-tanda SIRS, dan mulai didapat ancaman
Kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya homeostasis. Bila homeostasis tidak berhasil dicapai, sampailah pada fase terakhir proses patogenik ini,
Gambar 2. Hubungan antara SIRS, sepsis dan infeksi
264
KEGAWTTDARUR/{IAN
antara proses pro dan antiinflamasi hilang. Secara klinis didapatkan tanda-tanda MODS (Gambar 4).
Molekul pro-inflamasi
TNF-cr
rL-1 p
tL-2
Se T dan
Sel NK
I
L-6
IFN-y
lL-10 tL-6,
tL-4
tL-13 Reseptor lLl tipe ll Transforming grov/th factor B Reseptor TNF-0 terlarut LPS
CD-'14 terlarut
chemoattractant protein)
MCP-2 Leukemia inhibitory factor Tromboksan PAF (platelet activating factor) Molekul adhesi terlarut Neuropetid vasoaktif Fosfolipase 42 Tirosin kinase Free radical generation Neopterin P Al1 (pl a s mi noge n activ ato r inhibitor)
Prostaglandin
B+
E2
TNF-cr dan menurunkan mortalitas sedangkan anti IL-l0 meningkatkan mortalitas sepsis pada binatang percobaan.
PERAN SITOKIN
Sitokin adalah glikoprotein dengan berat molekul rendah,
Kadar IL-10 yang berlebihan, diperkirakan sebagai predisposisi untuk imunosupresi, ditemukan pada pasienpasien yang meninggal karena sepsis. Di sisi lain, kadar IL-10 yang rendah, diperkirakan memudahkan terjadinya
bersifat larut, berfungsi meregulasi sistem imun tidak spesifik (innate) dan spesifik. Cara kerjanya pleitropik
terhadap berbagai sel target dengan cara-cara yang berbeda bergantung situasi dan kadamya. Pada kadar rendah sitokin mempunyai efek parakrin sedangkan pada konsentrasi tinggi mempunyai efek endokrin. Beberapa sitokin berperan dalam terjadinya SIRS dan
MODS: TNF-o IL-lp, IL-8, IL-6, IL-10, yang kadamya berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas sepsis (Tabel
2). TNF-cx, dan IL-1p, diproduksi terutama oleh monosit. Selain mengantarai demam, sitokin-sitokin ini mengaktivasi pembekuan, menginduksi ekspresi molekul-molekul adhesi,
saling memacu sintesis keduanya, dan memicu produksi IL-6,-8 dan IL- 10. IL-6 memicu fase akut produksi protein
dan meregulasi produksi TNF-o dan IL-1B. Kontrol terhadap gen yang mengekspresikan sitokin-sitokin
infl amas i dilakukan oleh faktor-faktor transkripsi intrasel, terutama NF-rb, bila kadarnya tinggi dikaitkan dengan prognosis buruk.
tor)
dan
AA
(asam arahidonik).
AA akan dimetaboslisme
oleh siklooksigenase atau 5' lipoksigenase menghasilkan sejumlah prostaglandin dan leukotrien, yang mempunyai efek pro- dan anti-inflamasi seperti sitokin. TXA, (tromboksanAr) mempunyai peran yang penting pada fase akut dari kerusakan organ antara lain dengan merangsang agregasi trombosit sehingga terjadi trombosis
265
di mikrovaskular dan kerusakan jaringan. TXA, dapat menyebabkan bronkokonstriksi dengan akibat V/Q
mismatch,dan menyebabkan depresi miokard. Kadar TXB, (metabolit TXA2 yang stabil) yang tinggi ditemukan pada pasien sepsis yangfatal. Berbeda dengan TXA, PGE, dan prostasiklin (PGIr) mempunyai efek yang menguntungkan. Sementara efek negatif yang utama adalah vasodilatasi, molekul-molekul ini berperan dalam menstabilkan lisosom
dengan demikian mempunyai efek anti proteolitik, menginhibisi aktivasi sel T dan sel B dan mencegah
produksi sitokin oleh makrofag.
PAF bekerjasama dengan sitokin-sitokin lain, meningkatkan produksi IL-l dari monosit. PAF juga
mempunyai efek langsung pada proses inflamasi yaitu terhadap endotel dengan hasil adhesi sel-sel neutrofil dan
meningkatnya permeabilitas vaskular.
PENGARUH GENETIK
Pasien yang berasal dari keluarga dengan produksi TNF yang rendah, risiko mendapat infeksi meningokokus yang fatal meningkat 10 kali lipat, dan risiko ini naik 20 kali lipat bila produksi IL- 10 tinggi. TNF-cr dan IL-IRA meningkatkan risiko serta memperburuk prognosis sepsis. Sayangnya determinan genetik terhadap prognosis sepsis maupun MODS terflyata lebih kompleks dari sekedar ekspresi
APOPTOSIS
Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, adalah suatu mekanisme penting dalam homeostasis selular pada organisme multiselular. Fenomena ini dilgstarikan secara genetik, suatu mekanisme yang memerlukan
energi, yang bertujuan mengontrol jumlah sel. Berbeda dengan keadaan tanpa inflamasi dan respon inflamasi akut, pada MODS terjadi perubahan dinamik dan regulasi dari apoptosis (Tabet 3).
Kerusakan Jaringan
Kerusakan jaringan terjadi selama proses inflamasi dan berjalan progresif menuju disfungsi dan berahir dengan gagal organ. Endotel vaskular mengekspresikan molekulmolekul adhesi sehingga leukosit berpindah tempat dari sirkulasi ke dalam jaringan. Leukosit berkelompok sebagai respon terhadap kemokin seperli IL-S, degranulasi sel-sel leukosit melepaskan protease-protease seperti elastase dan metaloproteinase matriks yang merusak struktur jaringan. Leukosit-leukosit yang teraktivasi mernproduksi ROS
Pengamatan
Penundaan apoptosis neutrofil
Hipotesis
Meningkatkan fungsi Memperpanjang fungsi Memperpanjang elaborasi metabolit yang toksik Dapat berakibat nekrosis neutrofil Mengurangi otoreaktivitas Mengurangi sel-sel efektor yang dapat melanggengkan inflamasi Supresi imun Mengurangi beban selsel sekarat Menghapus jejak inflamasi Mengurangi kapasitas fungsi dari organ
Menguntungkan Merugikan
Apoptosis oarenkim
dan nitrosilasi merusak integritas paraselular dengan akibat antara lain meningkatnya permeabilitas mukosa usus. Zoss of compartmentalization terjadi pada ARDS, gagal ginjal akut dan kolestasis intrahepatik.
mulai berakumulasi. Akibatnya terjadi daerah-daerah hipoperfusi, dan nekrosis koagulasi serta kerusakan
266
Mekanisme kontrol utama terhadap pembentukan trombin adalah jalur antikoagulasi protein C. Trombin bersifat proinflamasi, prokoagulasi dan juga regulasi
proliferasi selular melalui perangsangan pelepasat growth
factor.Defrsiensi protein C pada SIRS,MODS memudahkan terjadinya trombin, dengan akibat disfungsi sel-sel endotel
Aritmia lnfark paru, pecah arteri pulmonalis Target terapi tidak tepat Komplikasi terapi cairan Hipovolemia yang tidak terditeksi Penurunan tekanan onkotik
(Gambar5).
Pemberian cairan kristaloid atau
lnflamasi Koagulasi
lnflam asi
koloid berlebihan
Anasarka Edema paru
Komplikasi obat inotropik Aritmia
Gagal vaskular
c.srh.s;l
lnf la m asi
dan vasopresor
tr.nlb.rb l
fhk..h
5.
lskemia/infark miokard Vasokonstriksi yang tidak dikehendaki (dopamin dan norepinefrin) Hiperglikemia Asidosis metabolik (epinefrin) Supresi hipofisis oleh dopamin
Volutrauma
Gambar
Gangguan hemodinamik Pelepasan sitokin ke dalam sirkulasi sistemik Supresi imun Hipotensi dan atrofi otot (sedatif dan relaksan otot)
Hiperglikemia
Komplikasi nutrisi
parenteral
Supresi imun
dan
GAMBARAN KLINIS
DisfungsiGinjal
Disfungsi Kardiovaskular
Pada MODS,
Gagal ginjal akut pada pasien dalam kondisi kritis penyebabnya multi faktor. Ginjal mudah mengalami
kerusakan jaringan yang diperantarai oleh leukosit melalui produksi protease dan ROS. Hipovolemia, cardiac output
dan bersama TNF-cr serta IL- I B menekan fungsi miokard. Penurunan perfusi akan terjadi di semua organ. Hilangnya
fungsi penyekat dari endotel menyebabkan edema dan redistribusi cairan. Resusitasi cairan dapat menyebabkan dilatasi miokard. Pada pasien sepsis indeks kardiak meningkat. Sepertiga pasien sepsis mengalami disfungsi
miokard.
intra-abdominal yang meningkat, dan rabdomiolisis berperan dalam disfungsi ginjal. Medula yang lebih aktif
dalam metabolisme relatif lebih parah dari pada kortek ginjal
Disfungsi Respirasi
Disfungsi pulmonar sering terjadi pada pasien SIRS dengan
Disfungsi Gastrointestinal
Hipoperfusi
sp
sepsis dan syok. Iskemia mukosa usus meningkatkan permeabilitas dengan akibat terjadi translokasi bakteri dan mediator-mediator ke dalam sirkulasi sistemik. Fenomena ini mendukung teori model two hit dalam patogenesis
267
SIRS/MODS. Terjadi nitrosilasi dalam sel-sel epitel usus yang juga akan menaikan permeabilitas usus.
Gagal Respirasi
tres s ul c er.
. . . .
PaCOr25OmmHg P(A-a)Or>350mmHg
Ventilasi mekanik atau CPAP pada hari ke-4
MODS lanjut terjadi hiperhigliseridemia akibat menumnnya bersihan trigliserida, dan praterminal terjadi kegagalan glukoneogenesis, yang meyebabkan hipoglikemia.
ARDS . Riwayat penyakit yang menyokong . Skor hipoksemia (Pa0r,/FIOr) < 200 mmHg . Inhltrat difus pada foto rontgen dada . Tidak ada infeksi paru atau penyebab lain dari distres
Disfungsi Neurologis Ensefalopati sering terjadi dan berkolerasi dengan mortalitas pada sepsis. Neuropati dan miopati yang
heterogen dapat timbul dalam perjalan MODS. Dari review delapan penelitian yang mehbatkan242 pasien, didapatkan kelainan EEG pada 76%o pasien dengan ventilasi mekanik
. .
pernapasan
ALI
. .
Skorhipoksemia(PaOfIOr)< 300mmHG
:ARDS
Gagal Ginjal
DEFINISI
. . .
. .
MAP (mean arterial pressure) < 49 mmHg VT (ventricular tachycardia) dan atau YF (ventricular
fibrillation)
Klinis
Hipotensi Hipoperfusi jaringan
lntervensi
Monitor di lCU, ekspansi volume, vasopresor Monitor di lCU, ekspansi volume, vasopresor, obat inotropik
Sasaran terapi
SBP > 90-100 mmHg, atau MAP > 7OmmHg PCWP > 12 mmHg Saturasi O, > 92o/o Cl > 3,5 tlmiilm'z Laktat serum < 2,2 mmolll Hb > 10-12 g/dl Diuresis 0,5-1 ml/kg/jam Eradikasi Hindari zat yang nefrotoksik Resusitasi cairan Hindari hipotensi Diuresis 0,5-1 ml/kg/jam Menormalkan kembali - status mental SSP - BUN, kreatinin, Ginjal diuresis 0,5-1 mUkg/jam Respirasi - P (A-a) O, - bilirubin serum Hati Nutrisi enteral, parenteral Dosis obat disesuaikan dengan fungsi organ-organ
lnfeksi
Trauma
Antibiotik yang tepat Debridemen jaringan mati Pengasatan pus Fiksasi dini patah tulang Pengasatan pus Moniior di lCU, ekspansi volume, vasopresor, obat inotropik
. . . ,
268
KEGA1VATDARURATAN
Pembedahan
Termasuk fiksasi patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati dan pengasatan pus. Sumber dari respon inflamasi tidak
. .
Tr<20.000/ml Ht<200/.
selalu jelas. Kadang-kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi intra
abdomen.
. . . . .
Trombositopenia
PT dan aPTT memanjang
Antibiotik
Usaha mencari patogen penyebab infeksi harus dilakukan
MOSF (Multiple Organ Sysfem Failure) Bila didapat dua atau lebih gagal organ/sistem. SIRS Bila didapat dua atau lebih : . Temperatur>38oCatau <360C . HR>90/menit . RR>20lmenitatauPaCOr<32mmHg . Leukosit> 12.000 /ml atau<4.000/ml Sepsis
SIRS yang disebabkan infeksi.
Tatalaksana Suportif
Bilamana tidak berhasil ditemukan kausa yang spesifik . Defisit harus dikoreksi
:
. .
TERAPIINOVATIF
Modulasi lmun
Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi
memanipulasi sistem imun (magic bullets) menunjukkan tidak adanya penurunan mortalitas pasien-pasien MODS'
Syok Septik
Sepsis dengan gangguan perf,rsi dan hipotensi walaupun mendapat resu' nasi cairan.
lnhibitor NO
TATALAKSANA
Pencegahan
Teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena dari penelitian didapat 40% kasus MODS disebabkan karena kesalahan pembedahan. Infeksi nosokomial menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat. Cuci tangan,
Filtrdsi Darah Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 L frltrasi/jam) mungkin dapat menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi
lainnya dan mengeluarkannya dari aliran darah. Sayanglya penelitian-penelitian yang ada belum memperlihatkan hasil yang baik.
ruangan isolasi serta pelapisan kateter iv dengan silikon/zat antibakteri dapat mengurangi insiden
MODS.
Kortikosteroid
Konikosteroid dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg)
secara signifikan meningkatkan mortalitas sepsis dan syok
septik. Beberapa penelitian akhir-akhir ini, dengan kotikosteroid dosis fisiologis, menunjukkan perbaikan
269
diperkirakan : l. Anti-inflmasi melalui penekanan transkripsi sitokin-sitokin proinflamsi, 2.Terapi sulih pada insufi siensi
REFERENSI
Baue
syndrome, and systemic inflammatory response syndrome Why no magic bullets? Arch Surg 1997; 132 :703-7. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definition for sepsis and organ
KESIMPULAN
Walaupun dalam dua dekade terakhir ini banyak penelitian pengobatan baru, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Mortalitas pasien MODS masih tetap tinggi. Dalam masa
ini
merekomendasikan suafu pegangan dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septik: I j. Resusitasi awa|'2). Diagnosis; 3). Terapi antibiotik; 4). Kontrol sumber infeksi; 5).
Glauser MP, Zanetti G, Baumgartner JD, et al. Septic shock : pathogenesis. Lancet 1991; 338: 732-6. Kenyon NJ, Albertson TE. Steroids and sepsis: time for another reevaluation. Intensive Care Med 2002; 11: 68-74. Lin SC. Multiple organ failure in critically i1l patients. Medical Progress 2002; luly :27-35. Lumb PD. Murltiple organ system failure. In Hoyt JW, Tonnesen AS, Allen SJ. (eds): Critical care practice. Philadelphia, 1991, WB Saunders company, pp 422-6. McKinlay J, Bihari D. Multiple organ dysfunction. In Bersten AD, Soni N. (eds): Oh's intensive care manual. Edinburgh, 2003, Butterworth Heinemann, pp 113-26. Samra JS, Summers LKM, Frayn KN. Sepsis and fat metabolism. Br J Surg 1996; 83: 1186-96. Wilkinson JD, Pollack MM, Glass NL, et al Morlality associated with multiple organ system failure and sepsis in pediatric intensive care unit. J Pediatr 1987; I I 1: 324-8.
Kortikosteroid; 9. Recombinant Human Activated Protein C, 10) Pemberian produk darah; 11). Ventilasi
mekanik; l2).Sedasi, analgetik; l3). Kontrol gula darah;
4). Terapi pengganti fu ngsi ginj al ; I 5 ). Terapi bikarbonat; 16). Pencegahan trombosis vena dalam; 17). Pencegahan stress ulcer.
I
37
SINDROM TERMAL DAN SENGATAN LISTRIK
Budiman
HIPOTERMIA
40o/"
Manifestasi Klinis Manifestasi tidak seberat frosbite yang berupa luka bergaung dan tidak ada jaringan yang terlepas. Trench foot diaklbatkan jaringan di lingkungan yang lembab pada suhu dingin selama beberapa jam sampai beberapa hari.
Diagnosis
Hipotermia didiagnosis bila suhu tubuh di bawah 35'C
(9
dan
5'F). penyakit yang menyerupai gej ala hipotermia seperti : Defisiensi tiroid, insufisiensi adrenal, disfungsi susunan sarafpusat, infeksi, sepsis, penyakit kulit, keracunan
D eraj at pertam a dan ke duafr o s b i t e s;.tp erfrs ial ditandai dengan edema, luka bakar, dan eritema serta melepuh pada derajat kedua. Derajat ketigafrosbite ditandai dengan luka
dipertimbangkan dan dievaluasi. Cold injury yang terlokalisir didapat dari anamnesis
dan pemeriksaan
yang lebih dalam timbul sedalam kutis dan jaringan subkutis. Derajat keempat ditandai dengan luka yang
mencapai jaringan subkutaneus, otot, tendon, dan fulang.
fisik
Pasien datang dengan sianosis dan bisa terjadi hemoragik dan nekrosis kulit. Kadang-kadang jaringan
menjadi sepertimumi.
Mild hypothermia 32"C (89,6"F) sampai 35"C (95'F) menyebabkan timbulnya menggigil, takikardia, dan
peningkatan tekanan darah. Menggigil mengakibatkan
Penatalaksanaan 1. Luka di kaki ditangani dengan pengangkatan, penghangatan, dan pembalutan jari yang terluka. Nifedipin 20 mg per oral 3 kali sehari, kortikosteroid
2.
topikal prednison, dan prostaglandin El (limaprost 20 mg per oral 3 kali sehari) dapat membantu. Pemanasan cepat dengan air yang mengalir pada suhu 42'C (107"F) selama 10-30 menitpada ekstremitas yang
mengalamiy'osb#e. Pasien bisa diberi narkotilg ibuprofen, dan aloe vera. Pemberian penicillin E 500.000 U setiap 6 jam selama 48 -7 2 jammemperlihatkan hasil yang baik.
pengurangan volume bisa menimbulkan trombosis intravaskular dan koagulasi intravaskular diseminata.
270
271
8.
Derajat pertama
. . .
Tidak melepuh atau nekosis Deskuamasi kulit jarang (5 sampai 10 hari kemudian)
9.
Gejala Seperti sengatan dan rasa terbakar, berdenyut dan bisa timbul hiperhidrosis
Pasien dengan kecurigaan kekurangan tiamin dan alkoholisme bisa diberikan tiamin 100 mg iv (IM) dan 50% glukosa sebanyak 50ml-l00rnl ivjika kadar glukosa
sewaktu rendah.
10.
Pasien dengan kecurigaan hipotiroidisme atau insufisiensi adrenal dapat diberikan tiroksin iv dan
hidrokartison 100 mg. fibrilasi ventrikular dilakukan def,rbrillasi sampai
temperatur 30'C (86'F), meskrpun 3 countershockhatss
11. Pada
diukur.
12. Pemanasan
. . .
dalam henti jantung. Jika perlengkapan tidak tersedia, resusitasi trakeostomi dan pijat jantung dalam dan bilas mediastinal merupakan alternatif yang dapat diterima.
13. Semua pasien dengan fro s bile superfisial terlokalisir atau hipotermia sedang dapat dirujuk ke RS. Pasien tidak
Luka bersih banyak mengandung prostaglandin dan tromboksan dapat dibersihkan atau diaspirasi. Luka
yang berdarah seharusnya dibersihkan dan dirapikan
kembali.
Teknik penghangatan termasuk penghangatan pasif, penghangatan aktif eksternal, dan penghangatan
perawatan aktif (Tabel 2).
Pasien dengan hipotermia sedang dapat diatasi dengan penghangatan pasif dengan cara memindahkannya dari lingkungan dingin dan menggunakan selimut kolasi.
Pasien dengan hipotermia berat, sebaiknya dipantau degat pulse oxymetri.. Perhatikan jalan napas, pemapasan, dan jantung. Bila tidak ada gangguan kardiovaskular, penghangatan aktif
Pencairan
Pencairan dalam air hangat (40o C sampai 42o C) selama 10-30 menit sampai ekstremitas melunak dan kemerahan. Analgesik opioid parenteral (misalnya Morfin 0,1 mg/kg iv)
Laju metabolik normal Maximal shinering Kelembaban 02 pada 20 l/menit (45oC) iv fluid (45"C) Dialisis peritonial 1llhari 4Lhari
C a rd i op u I mo na
Sesudah Pencairan
- Bersihkan luka - Perbaiki jaringan yang mengalami pendarahan - Oleskan daerah luka dan lepuh dengan krim aloe vera - Profilaksis dengan imunisasi tetanus - lbuproten 12 mlkglhr dalam dosis terbagi - Mempertimbangkan limaprost 20lkg oral 3 kali/hari - Memulai hidroterapi harian
ry bypass (45'C)
1l l/hari
28 llhr
Trunk immersion pada air panas (45oC)
Vasokonstriksi Vasodilatasi
272
Latihan yang berat harus disesuaikan dengan suhu udara, kelembaban udara, garam, dan yang lebih penting lagi, pelepasan air harus cukup dan diberikan sebelum timbul gangguan gejala suhu (heat illness). Usia muda, usia lanjut dan orang-orang dengan penyakit tertentu, umumnya penyakit kardiovaskular, kemungkinan terjadi risiko sakit akrbat heat stress. Saiah satu akibat yang ditimbulkan oleh heat stress adalah heat stroke.
mengenai metoda pendinginan yang terbaik, umumnya merupakan pengecualian bagi heat stroke yang berat dan durasi dari hipertemia yang berpengaruh terhadap terjadinya kesakitan bahkan kematian. Penanganan yang umum merupakan dasar terapi. Intubasi endotrakeal disarankan untuk pasien dengan ventilasi yang tak cukup atal yang tidak mempunyai refleks muntah. Pemberian oksigen, pemantauan EKG, CVR tekanan darah, dan output urin dengan kateter Foley merupakan prosedur standar penanganan heat stroke. Pendinginan dengan cara pencelupan dalam tabung
berisi air es, seperti pencelupan untuk penderita hipotermia,
Heal stroke merupakan kasus emergensi. Pasien yang mempunyai riwayat heat exposure, dapat disertai
peningkatan suhu tubuh dan disfungsi CNS yang cukup berat, misalnya delirium, coma, atau kejang. Kerusakan otak dapat terjadi pada kasus yang berat. Ada 2 tipe pada heat stroke; tipe klasik banyak terjadi pada usia lanjut, pada penyandang keterbelakangan mental atau pada usia muda. Terjadi beberapa kali sehari selama
efek yang sama atau lebih baik daripada pendinginan dengan cara pencelupan dalam bak mandi. Teknik ini
dilakukan pada pasien yang aksesnya mudah, ivlines dan perlengkapan monitor. Pendinginan aktif dapat dihentikan ketika temperatur
ini tidak
mempunyai
kesanggupan untuk bertahan pada lingkungan dingin dan mempertahankan asupan cairan yang cukup.
dapat diatasi dengan pendinginan. Umumnya ditekan dengan klorpromazin 25-50 mg iv. CPZ menurunkan ambang kejang dan dapat menyebabkan hipotensi.
Pengobatan kej ang termasuk diazepam > I 0 mg ivlambat, fenitoin 15 mg/kg ivdalam larutan garam dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg/mnt atau fenobarbital120-240 mg ivlambat setiap 20-30 menit sampai total 400-600 mg. Asidosis berat (pH<7,2) dapat dikoreksi dengan natrium bikarbonat (0,5-1meqlkg, iv lebih dari 30-60 menit) Pasien heat stroke dipantau secara intensif selama 4872 jampadapendinginan cepat dan perubahan status mental. Ikterus, rabdomiolisis dan gagal ginjal akut dapat te{adi pada kasus yang berat. Prognosis buruk terjadi bila koma lebih dari 10 jam, ditandai dengan masa protrombin yang memanjang atau AST lebih dari 1000 IU/I.
SENGATAN LISTRIK
Pada sengatan listrik dapat timbul kerusakan jaringan dengan spekhum luas, mulai dari lukabakarkulit superfisial sampai kerusakan organ-organ tubuh hingga kematian.
273
mendiagnosis adanya luka padajaringan dan organ tubuh agar dapat ditentukan tindakan selanjutnya. Sebagian besar sengatan listrik terjadi pada anak-anak, remaja, dan pekerja yang terpapar bahaya listrik.
Kulit.
Gambaran Klinis
Listrik dapat menyebabkan kerusakan jaringan sebagai efek langsung arus listrik searah pada sel dan oleh kerusakan termal dari panas yang diteruskan oleh jaringan. Energi terbesar terjadi pada titik kontak sehingga kerusakan jaringan pada daerah tersebut harus diobservasi lebih baik. Luka ke luar sengatan listrik lebih besar daripada luka rrasuk. Bila sengatan listrik masuk ke dalam tubuh, kerusakan terbesar terjadi pada jaringan saraf, pembuluh darah dan otot. Sengatan listrik dapat mengakibatkan nekrosis berupa koagulasi, kematian saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Luka yang ditimbulkan lebih menyerupai jaringan nekrosis atau kerak daripada luka bakar termal. Karena ukuran dari luka karena sengatan listrik tidak berkorelasi baik dengan kerusakan yang ditimbulkan, pemeriksaan teliti untuk luka yang dalam sangat penting. Luka traumatik sering terjadi bersamaan dengan sengatan listrik.
Pulmonal. Henti napas (sentral atau perifer mis. tetanus), pneumonia aspirasi, edema pulmonal, kontusi pulmonal,
kerusakan inhalasi
RenaVmetabolik. Gagal ginj al akut, mioglobinuria, asidosis metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, hiperglikemia Gastrointestin al. Perforasi, tukak sttes (Curling Ulc er),
Pendarahan GIT
Diagnosis
Diagnosis sengatan listrik berdasarkan riwayat penyakit. Bila riwayat penyakit tidak jelas, ciri-ciri luka pada kulit sangat menolong. Pemeriksaan yang menyeluruh serta memperhatikan luka akibat sengatan listrik sangat penting unfuk mengesampingkan adatya suatu trauma. Pemeriksaan untuk tulang patah dan dislokasi tetap
dilakukan walaupun tanpa riwayat trauma. Tidak ditemukannya luka sengatan listrik pada pemeriksaan j aringan mengesampingkan sengatan listrik serius. Pemeriksaan laboratorium hitung darah lengkap
elektrolit, kalsium, urea nitrogen darah, kreatinin, analisa gas darah, myoglobin (MB), kreatinin kinase (CK). CK MB dapat meningkat tanpa adanya kerusakan otot jantung tapi ada luka otot secara ekstensif. Fungsi hati dan amilase diperiksa bila diduga ada luka abdomen. EKG dapat dilakukan bila ada indikasi ; pemeriksaan
radiologis dilakukan pada sisi luka sengatar.listf.k.CT scan kepala merupakan indikasi pada luka kepala yang berat, korna atau bila ada perubahan mental.
terjadi trauma spinal. Pemberian O, tekanan tinggi dengan masker' Monitor jantung, pulse oksimetri, pemantauan tekanan darah non invasif.
Fibrilisasi ventrikel, asistolik atau takikardi ventrikular dapat diterapkan dengan protokol standar ACLS.
Cairan kristoloid iv dengan bolus inisial 20-40 mlkg setelah satu jam pertama. Perbaikan cairan tergantung pada luasrtya luka bakar pasien. Untuk mengukur output urine digr.rnakan kateter Foley pada kasus berat.
5.
1.
cairan untuk mencegah gagal ginjal. Profilaksis tetanus sebaiknya diberikan. 8. Antibiotik profilaksis tidak penting sekali, kecuali bila ditemukan luka terbuka yang besar. 9. Kejang <iiobati dengan terapi standar. 10. Fraktur dan luksasi setepat mungkin dikurangi. 11. Luka bakar pada kulit dapat diobati dengan silver sulfadiazine sesudah dibersihkan.
274
luka
atas
REFERENSI
Bacon CJ, et al : Case controi study of thermal environmenl proceeding haemorrogic shock encephalopathy. Arch Dis Chitd
membutuhkan eksplorasi luka bakar, debridemen, fasiotomi, dan perawatan cukup lama. Anak-anak dengan luka lokal dapat dievaluasi dengan spesialis
ENT atau bedah plastik. Wanita hamil yang mengalami sengatan listrik membutuhkan konsultasi kandungan untuk penanganan dan monitor janin. Pasien dengan sengatan listrik yang berat dapat diisolasi di unit luka
bakar atau pusat trauma.
13. Anak-anak yang mengalami luka lokal yang
81,1999
Bouchama
terlokalisir
2002:.346:1978 Cauchy E et al: Retrospective study of 70 cases of severe frostbite lesions: a proposed new classification scheme. Wildernedd Environ Med,. 2001;12:248, Daley BJ, et al: Electrical injuries. Updated November 11 20A4. Available at: http ://www emedicine com/med/topic28 1 O.htm
eds.
harus diberi instruksi untuk mengontrol pendarahan arteri labialis yang dapat timbul kemudian.
14. Pasien yang mengalami sengatan
listrikll}-22}Y tanpa gejala/luka. EKG normal dan pemeriksaan fisik normal dapat dipulangkan.
Harrison's principles of Intemal Medicine. 16s edition. McGrawHil1. New York, 2005 Danzl DF: Hypothermia. Senib Respir Crit Care Med. 2002;23:57 Dinarello CA, et al: Fever and Hyperthermia. Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of intemal medicine. l6s edition. McGraw-
Hill. New York, 2005 Dinarello CA: Proinflammatory cytokines. Chest. 2000;118:503 Giesbrecht GG: Cold stress, near drowning and accidental hypo thermia: A review. Aviat Space Environ Med. 2000;71:733
Kochanek PM,
severe
38
SENGATAN SERANGGA
Budiman
PENDAHULUAN
Sengatan serangga dan pagutan ular merupakanbagian
dari kegawatan karena lingkungan. Pada dasarnya penatalaksanaan sengatan serangga dan pagutan ular tergantung jenis binatang itu sendiri. Oleh karena itu,
sangat penting untuk mengetahui secara langsung
binatang yang menggigit atau setidaknya mengetahui ciri
itu beracun. Kendati beracun pun, belum tentu kadar toksinnya dapat membahayakan manusia. Toksin itu sendiri merupakan alat mempertahankan diri maupun
mencari makan bagi serangga maupun ular. Pada tulisan ini, akan dibahas penatalaksanaan gigitan dan pagutan beberapajenis serangga dan ular yang dapat membahayakan manusia, baik secara umum maupun khusus.
SENGATAN SERANGGGA
. . .
keracunan sistemik. Dari 30000 spesies laba-laba, ada seratus yang bersifat
seperti Arthus. Mulanya gigitan tidak nyeri atau terasa panas. Setelah beberapa jam terasa nyeri dan gatal dengan indurasi di sekeliling gigitan ada daerah pucat iskemik dan daerah kemerahan. Pada banyak kasus tanpa terapi akan sembuh dalamwakhr2-3 hari.
Pada kasus yang berat, kemerahan merata dan di bagian
tengah ada pendarahan dan nekrosis disertai timbulnya bula. Timbul jaringan kehitaman dan terkelupas yang beberapa minggu kemudian meninggalkan ulkus yang diameiernya bisa mencapai 25 cm dan kadang-kadang
membuat j aringan cekung.
275
276
tahun. Kompikasi lokal bisa melukai jaringan saraf dan infeksi sekunder. Demam, nyeri, lemah, mual, muntah,
mialgia,
ar
si
s dapat
absorbsi racun. Berikan infus intravena midazolam untuk mengontrol agitasi, gerakan otot yang tidak
timbul setelah 72 jam gigitan serangga. Jarang terjadi komplikasi akut berupa anemia hemolitik, hemoglobinuria dan gagal ginjal.
' .
beraturan yang disebabkan oleh sengatan kalajengking. Pemantauan selama pengobatan dapat diberi dan sedatif atau narkotik j ika perlu temtama pasien yang mengalami
gej ala-gej ala
/
Penatalaksanaan
henti napas.
Hiperlensi dan edema pulmonal dapat dikontrol dengan nifedipin, hidr alazit atau prazosin dan bradiaritmia bisa
. . .
. . .
Tindakan awal dengan membersihkan gigitan, balut dengan balutan yang steril dan beri kompres dingin, angkat dan lakukan imobjlisasi bagian yang baru digigit. Bila ada indikasi, berikan analgetik, antihistamin, antibiotik dan profilaksis tetanus. Pada 48-72 jampertama diberi dapson, inhibitor leukosit yang dapat menghentikan lesi yang akan menjadi nekrosis. Dapson diberikan per oral 50-100mg 2kalil hari, setelah dipastikan tidak ada G6 phosphatase dehydrogenase G6PD defiuency. Bila efek lokal atau sistemik dari glukokortikoid tidak terlihat maka lebih potensial dignakan Laxosceles yang
spesifrk antivenin.
SENGATAN HYMENOPTERA
Yang termasuk di dalamnya adalah 1ebah, tawon dan semut.
Debridemen dilanjutkan dengan skin grafting Pasien dimonitor terhadap tanda-tanda hemolisis, gagal ginjal dan komplikasi sistemik yang lain.
Umumnya mereka menyerang bila koloni atau sarangnya diganggu. Racunnya diproduksi pada kelenjar di bagian belakang perut yang akan keluar dengan cepat bila terjadi kontraksi otot kantung racun dengan kapasitas di atas 0,1 ml pada serangga yang besar. Toksin polipeptida pada lebah madu termasuk melitin yang dapat merusak selYnembran; degranulasi protein sel mast dapat menyebabkan pelepasan histamin berupa apamin (neurotoksin); adolapin (anti inflamasi). Enzim dalam racun terdiri dari hialuronidase yang merupakan
SENGATAN KALAJENGKING
Kalajengking merupakan binatang yang hidup di tanah dan memakan artropoda serta kadal kecil. Kalajengking
memiliki sepasang penjepit yang digunakan untuk menggenggam mangsanya. Kemudian melumpuhkan
mangsanya dengan sengatan yang terdapat pada ujung ekor. Sengatan tersebut menimbulkan rasa nyeri dan panas
Penatalaksanaan
Pada sengatan dibersihkan, diberi desinfektan dan diberikan es batu. Bila perlu diberikan analgetik,
antihistamin oral dan losion kalamin topikal. Reaksi lokal
menyengat pada siang hari biasanya tinggal di bawah kayu, di batu atau di dalam tanah. Bila didalam gedung, ia ditemukan di sepatu, pakaian, tempattidur, bakmandi dan bak cuci piring. Kalajengking menyengat manusia bila diganggu.
yang cukup luas diobati dengan glukokortikoid. Pasien dengan banyak sengatan dimonitor selama 24 jam untuk mencegah terjadinya gagal ginjal atau koagulopati.
. .
Penatalaksanaan
Sengatan dari spesies yang tidak mematikan, sebaiknya
diberikan es batu, analgetik atau antihistamin. Umumnya sengatan hanya menimbulkan nyeri lokal dapat ditangani di rumah dengan instruksi kembali ke
bagian gawat darurat bila terjadi perkembangan penyakit menjadi gangguan saraf dan otot atau
SENGAfrAN SERANGGA
277
protein dengan enzim aktif. Mula-mula timbul reaksi kemerahan, bengkak dan rasa terbakar timbul dalam 30 menit. terjadi pustula steril dalam wakfi 24 jam. Pustula menjadi ulkus setelah 48 jam dan sembuh dalam I 0 hari bila tak terjadi infeksi sekunder. Eritem yang cukup luas dan edema dapat timbul dalam
beberapa hari walaupun tak selalu terjadi. Pada kasus yang berat dapat terjadi penekanan sarafdan pembuluh darah.
kutu, tempat tidur dan pejamu dengan menyemprot insektisida seperti pyrethin, DDT atau malathion.
REFERENSI
Auerbach PS, Nonis RL. Disorders caused b1, reptile bites and marine animal exposures.In: Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. New York:McGraw-
Sengatan diberi es batu, glukokortikoid topikal dan antihistamin oral. Pustula ditutup dengan verban dan diberi antibiotik bila ada indikasi. Epinefrin dan terapi suportif lainnya diberikan bila ada reaksi anafilaktik.
Hill; 2005 Auerbach PS, ed. lYilderness medicine.4h ed. St. Louis: Mosby;2001 Barzilai A et al.Insect bite-like reaction in patients with hematologic malignant neoplasms. Arch Dermatol .19991,135. Goddard J.Physician's guide to arthropods of medical importance. 4'h ed Boca Raton: CRC Press; 2002 Gold BS et al.Bites of venomous snakes. N Engl J Med. 2002;347. Mauguire JH, et al. Ectoparasite infestations and arthropod bites and sting. Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of intemal medicine 16th edition New York:McGraw-Hill;2005 Sharma SK et al.Impact of snake bites and determinants of fatal
outcomes in Southeastern Nepal. Am J Trop Med Hyg. 2004;2:71. Werner GTPoisonous-snake bites. Therapy and preventive measures. Fortschr Med. 1978;6:96.
39
PENATALAKSAN MTN KERACUNAN BISA I(ALA"IENGKING
Djoni Djunaedi
dalam sepatu, pakaian, tempat tidur bahkan menyelam di dalam bak mandi serta ditemukan di tempat-tempat gelap
kajengking jenis beracun. Racun kalajengking mengandung aampuran kompleks fosfolipase A2,
asetilkolinesterase, hialuronidase, protein dengan berat molekul rendah, asam amino dan serotonin (Depkes, 2001). Spesies Zelra s quinquestriatus merupakan spesies dengan racun yang kardiotoksik dan dapat menyebabkan syok, hipotensi serta edema paru.
Centruroides suffuses (Meksiko), Tityus serrulatus (Brazil), Leirus quinquestrialas (Afrika Utara) dan Centruroides sculpturatus atau C. axilacauda (bark
scorpion) yang hidup di Amerika Serikat, Arizona, Texas, Meksiko Utara dan di beberapa daerah California. Centruroides sculpturatus memiliki panjang I - 7 cm dengan alat penyengat di bagian ekor dan melakukan kegiatan (aktif) pada malam hari. Pada tahun 1950 katAjengking jenis ini dilaporkan menyebabkan banyak kematian meskipun sejak tahun 1968 tidak pernah ada
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pada lokasi sengatan kalajengking kadangkadang teriihat minimal dan secara umum racun kalajengking menunjukkan sifat hemolitik dan neurotoksik yang dapat bermuara pada tingkat keracunan berat (Wirtz, l99l).
C.
sculpturatus selain kematian bayi umur 5 bulan. Di seluruh dunia setiap tahunnya dilaporkan sekitar 5000 kematian akibat sengatan kalajengking (Maguire, 2005). Di IRD RSUD dr. Saiful Anwar Malang sepanjang tahun 2004 2005 hanya menerima satu kasus sengatan kalajengking tanpa kej adian kematian. Pada umumnya kalajengking tidak agresif kepada manusia namun dapat menyengat jika terancam atau marah akibat diusik oleh manusia. Mereka umumnya melakukan kegiatan pada malam hari dan sebagian besar hidup di dalam pohon, dekat pohon atau mencari tempat teduh di bawah bangunan. Namun adakalanya kalajengking juga
Gejala Lokal
Nyeri seperti terbakar, gejala peradangan disertai parestesi
Gejala Sistemik
Umumnya ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari l0 tahun. Gejala yang timbul dapat berupa gelisah,
278
279
Pada penderita yang gelisah dengan gerakan-gerakan tak terkontrol dapat diberikan infus intravena kontinu
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar: Hb, leukosit, trombosit, elektrolit, gula darah, urea, kreatinin, CPK (kreatinin fosfokinase), profil koagulasi, analisis gas
darah dan uji faal hati.
dengan midazolam. Bagaimanapun juga pemberian sedatif tidak boleh berlebihan. Pemberian antivenin harus dilakukan secara hati-hati sebab dapat memberikan reaksi anafilaksis dan serum s icknes s. mengemukakan bahwa pemberian antivenin yang berasal dari domba masih kontroversial. Reaksi syok anafilaksis dapat dijumpai pada penderita
yang sensitifterhadap racun kalajengking. Reaksi yang ditimbulkan akibat keracunan sengatan kalajengking
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kasus sengatan kalajengking dapat dipilah ke dalam:
Terapi Suprotif
Stabilisasi: 1). Penatalaksanaan jalan tapas, 2). Penatalaksanaan fungsi pernapasan: ventilasi dan
oksigenasi, 3).Penatalaksanaan sirkulasi: pasang infus kristaloid.
. . .
Singkirkan kayu, batu, tumpukan benda-benda yang disukai oleh kajengking untuk menyembunyikan diri Semprotan insektisida dapat mengurangi sumber makanan kalajengking sehingga antropoda jenis ini
dapat punah.
REFERENSI
Depkes: Penatalaksanaan keracunan bisa sengatan kalajengking (scorpion). Dalam SIKer. Dirjen POM Depkes RI. Pedoman
penatalaks anaan keracunan untuk rumah s akil:2001.p.240-42 Dreisbach, R.H. dan Robertson, WO.Handbook of poisoning: prevenlion, diagnosis and lreatment. 12'h eds. Connecticut: Appleton & Lange:i987.p. 486-90 Maguire, J.H., et.al:Ectoparasite infestations and arthropod bites and stings. In D.L. Kasper et.al. (eds.). Harrisonb Principles of
Terapispesifik
Terapi antivenin dengan pemberian serum skorpion
(polivalen)
. .
Internal Medicine. 16'h ed. NY: McGraw-Hill:2l5.p2603-4 Reid HA:Animal poisoning, in Manson's Tropical Diseases. 18th ed., PEC Manson-Bahr, FIC Apted (eds). London:Bailliere Tindall: I e82.p .544-65.
Rekam Medik RSUD dr. Saiful Anwar Malang, 2005
Wirtz, R. dan Azad AF:Injurious arthropods. In: GT. Strickland (ed). Hunter's Tropical Medicine. T'h ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company: 1991 .p.907 -9.
40
PENATALAKSAN A/\N GIGITAN ULAR BERBISA
Djoni Djunaedi
INSIDENSI
Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak
fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggung jawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian
yang
waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Kepada semua kasus gigitan ular
tersebut diberikan terapi antivenom dan menunjukkan hasil yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan koma dan apnoe. Hal ini sejalan
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase dan DNAase perannya belum jelas. Peran procoagulant yenom factors (enzim) dapat dilihat pada bagan berikut:
FAKToRxZ
Ca--PL
dengan laporan Auerbach (2005) bahwa angka kematian ditemukan kurang dari |Yo padakasts gigitan ular berbisa yang diberi terapi antivenom. Estimasi global menunjukkan sekitar 30.000 - 40.000 kematian akibat gigitan ular berbisa.
I
I I
Echis carinatus ("Ecarin") some Australian Elapids some Colubrids TR0M BIN lla Calloselasma rhodostom ("Arvin, Ancrod") Trimeressurus specres Some B species
a
Komposisi, Sifat dan Mekanisme "Ketja" Bisa Ular Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen
sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalahprotein, terdiri dari berbagai
macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suafit enzim prokoagulan dari E. carinatus venom yang mengaktivasi protrombin).
PROTROIVBIN
II
FIBRINOGEN
RIN
Xllla +-
Ca"
Xlll
t
CROSS-LINKED FIBRIN
280
281
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbulkannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin,
GAMBARAN KLINIS
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan
bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu bisa ular juga merangsang jaringan untuk menghasilkan zat-zat
peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat.
1.
2.
3.
. . .
Famili Colubridaemisalnyaularpohon
bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Derajat
Venerasi
Nyeri
Edema/
Eritema
<3 cm / 12jam >12-25 cml12 jam
3-12 jaml12 iam
Sistemik
0 0 +
00+ l+l-+ ll
+l+++
+++ +++
> ekstremitas
pembekuan).
Neurotoksik
sc
a tu
s (lular welang),
. .
Naya sputatrx (ular sendok), ular kobra, ular laut Neurotoksin pascasinaps seperti a-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor
Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit
sebelumnya.
Pemeriksaan
serta
end-plate sedangkan neurotoksin prasinaps seperti bbungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan
fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromus cular j unction.
Efeklokal (kraits, mambas, coral snakesdanbeberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakan, atau kerusakan kulit dekat gigitan.
282
. .
Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa
sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata Gejala sistemik mrurcul 15 menit setelah digigit ular atau
venin)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
muncul setelah l0 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat-urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit
. . .
Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APT! D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria
urea
(mioglobulinuria)
EKG
Foto dada
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaal pada kasus gigitan ular berbisa
Gigitan Wperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
. ' .
adalah:
Menghalangi/memperlambatabsorpsibisaular Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah Mengatasi efek lokal dan sistemik
pengobatan,
:
dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari
berikutnya akan timbul memar, melepuh dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang-kadang tekanan darah rendah dan denyut nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
. . .
Gigitan Hydropiidae:
. .
Gejala yang segera muncul berupa sakit kepala, lidah terasa teba'l, berkeringat dan muntah Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pulil dan ptosis, mioglobulinurtayang ditandai dengan urin wama coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.
Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan Jangan memanipulasi daerah gigitan Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe,
B.
bukan menahan aliran vena atau arteri. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportifsebagai berikut :
. . . .
Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal yang perlu dipertimbangkan untuk pemberian polivalen crotalidae antivenin Anemia, hipotensi dan trombositopenia merupakan
tanda penting.
283
. . . .
l0-50LD1}bisaAnlEstrodon
25-50LD50bisaBzrngarus 25-50 LD50 bisaNaya Sputarix Fenol 0.25ohvlv
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan lengan atau anggota badan Sindromkompartemen: lakukanfasiotomi
Neostigmin
Teknik pembeiat 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 5 00 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 50% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 ml(20 vial). Infiltrasi lokal pada luka
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat-obatan narkotik
depresan
Terapiprofilaksis:
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah P. aeroginosa,
Proteus sp., Clostridium sp., B. fragilis Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi
SABU
. . .
vial SABU
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular . Penduduk di daerah di mana ditemukan banyak ular
berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50%
Lreratat
'
Beratnva evenomast
Tidak ada Minimal Sedang Berat Berat
+ + + + +
Geiala .. ststemtK
<2
. . . .
0
I
2-15
1
il
ilt
++ +++
10 15 15
bawah sampai dengan kaki Ketersediaan serum antibisa ular (SABU) untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan semak-semak
Pedoman terapi SABU menurut Luck Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian
. .
REFERENSI
Auerbach, P.S. danNorris, R.L.2005. Disorders causedby reptilebites andmarine animal exposures. InD.L. Kasper et.al. (eds.). Harrison's Principles of Internal Medicine. I 66 ed. NY: McGraw-Hill : 2593-2598 Depkes. 2001 . Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer. Ditjen POM Depkes RI . Pedomanpenatalal<sanaan keracunan untuk Rumah Sakit: 253-259 Dreisbach, R.H. dan Robertson, W.O. 1987. Handbook of poisoning: prevention, diagnosis and treatment. l2th eds. Connecticut: Appleton & Lange: 467-490 Rekam Medik RSUD dr. Saiful Anwar Malang, 2005 Warrell, D.A. 1991. Snakes. In G.T. Strickland(ed.). Hunter b Tropical Medicine.l'h ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company: 877-888.
meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan d arah pada I dan 3 j am berikutnya dst. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat
diteruskan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan
hingga 2 x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan . Terapi suportif lainnyapadakeadaan:
(dan antivenin)
Perdarahan: beri transfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, transfusi
trombosit
4l
INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAT)
Nanang Sukmana
PENDAHULUAN Kecepatan danketepatan penanganan intoksikasi (keracunan) sangatlah penting agar penderita dapat segera dikelola dan diobati sesuai dengan besar masalah sehingga penderita tersebut tidak mengalami komplikasi yang lebih berat maupun kematian. Akan tetapi pada kenyataannya sering kita jumpai penanganan kasus keracunan mendapat kesulitan karena penyebab yang sukar diketahui atau banyak organ yang mengalami
kerusakan akibat zatlbahan penyebab.
edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat).
Mengingat kecepatan diagnosis sangat bervariasi dan disisi lain bahaya keracunan dapat mengancam nyawa
maka upaya penatalaksanaan kasus keracunan ditujukan kepada hal seperti berikut: 1). Penatalaksanaan kegawatan. 2). Penilaian klinis. 3). Dekontaminasi racun. 4). Pembenan
antidotum. 5). Terapi suportif. 6). Observasi dan konsultasi. 7). Rehabilitasi. Dari rincian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa yang paling utama adalah menentukan besar masalah yang muncul untuk segera diatasi.
Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisistem dengan penyebab yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan, misalnya bila ditemukan penurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas, pasien psikiatri dengan manifestasi berat, anak remaja dengan sakit dada , aritmia yang mengancam nyawa atau pekerja yang menunjukkan
gejala klinis di lingkungan kerja yang mengandung bahan kimia, asidosis metabolik yang sukar dicari penyebabnya, tingkah laku aneh ataupun kelainan neurologis dengan kausa yang sukar diketahui. Dari keadaan tersebut di atas maka setiap klinikus harus mempunyai kemampuan dan penalaran yang baik untuk
Penatalaksanaan Kegawatan
Berhubung setiap keracunan dapat mengancam nyawa maka walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan maka setiap kasus keracunan harus diperlakukan seperti pada keadaan kegawatan yang mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi tidak
terlambat dimulai.
Simtomatologi Opiat
Pada kelompok ini dimasukan beberapa obat dengan simptomatolo gi yanghampir sama yaitu golongan opiat (morpin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif : 1). narkotika. 2).barbiturat. 3).benzodiazepin. 4). meprebamat. 5). etanol.
(Airways), bebaskanjalannapas dari sumbatan bahan muntahan, lendir, gigi palsu. Bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal airway dan alat
penghisap lendir.
B C
Tanda dan gejala yang sering ditemukan : Koma, Depresi napas, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi,
(Breathing), jaga agar pernapasan sebaik mungkin dan bila memang diperlukan dapat dengan alat respirator. (Circulation), tekanatt darah dan volume cairan harus dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan dalam keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid.
284
285
Pemberian Antidotum
Tidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip utama adalah mengatasi sesuai dengan besar masalah. Apalagi antidotum belum tentu tersedia setiap saat.
OPIAT
Umumnya kelompok opiat digunakan untuk mengatasi
sakit berlebih pada keganasan. Akan tetapi dalam perkembangannya sering disalahgunakan. Untuk
mengetahui lebih
jauh
anamnesis yang
keracunan
mengatasi
. .
ialah
Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang digunakan termasuk obat yang sering
dipakai.
. .
Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas tentang obat yang digunakan. Tanyakandansimpan (untukpemeriksaantoksikologis) sisa obat, muntahan yang masih ada. Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok
anafilaksis.
Pemeriksaan Fisis. Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda /kelainan akibat keracunan yaitu pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jantung, ukuran pupil, keringat, air liur dan lainnya.
Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasar skala prioritas dan pada keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan fi sik harus dilakukan berulang.
Pengaruh obat terhadap susunan saraf pusat (SSP) sangat bervariasi dari berbagai obat tersebut di atas. Sedangkan penemuan secara patologis pada kematian yang disebabkan overdosis gambarannya tidak khas.
Jenis obat
Kodein Dekstrometorfan Heroin Loperamid (imodium) Meperidin (petidin) Morfin Naloxone (Narcan) -) Opium ( Papaver somniferum ) Pentazocaine (Talwin)
Dosis
(s)
fatal
Dosis pengobatan
(ms)
60 60 -12Olhari 4
100 10
0,8
u,c
0,2 0,5
Dekontaminasi
Umumnya zat atao bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap melalui kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan, sedang dekontaminasi saluran cerna difujukafi agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat diberikan arang aktif, pencahar, pemberian obat perangsang muntah dan
kumbah lambung. Beberapa upaya lain untuk mengeluarkan bahanl obat dapat dilakukan dengan dialisis, akan tetapi kadangkadang peralatan tersebut tidak tersedia di rumah sakit (hanya RS tertentu) sehingga pemberian diuretikum dapat dicoba sebagai tindakan pengganti.
I
0,2 0,3 0,3
*) Antagonis narkotika
Farmakologi Opiat
Setelah pemberian dosis tunggal heroin (putaw) di dalam tubuh akan dihidrolisis oleh hati (6 10 menit) menjadi 6
286
monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut di dalam air. Bentuk metabolit ini yang dapat di tes di dalam
urin. Oleh karena heroin (putaw) larut di dalam lemak maka bahan tersebut (+ 60%) dapat melalui sawar otak dalam
keracunan opiat
Jenis obat
Amfetamin Barbiturat Benzodiazepin Kokain
Kodein Heroin
Lamanya waktu dapat dideteksi 2 hari t hari (kerja pendek) 3 minggu (kerja panjang)
3 hari
Mekanisme Toksisitas
kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk menstimulasi SSP melalui aktivasi reseptomya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi napas. Kematian umumnya terjadi karena apnea atau aspirasi paru dari cairan lambung, sedangkan reaksi edema
Pada umumnya
Methadone
Morfin
2-5hari
turun sampai koma, pupil yang pin point dapat terjadi dilatasi pupil pada anoksia yatgberat, pernapasan yang pelan (depresi pernapasan), sianosis, nadi yang lemah,
hipotensi, spasme dari saluran cema dan bilier, dapat te{adi edema paru, dan kejang. Kematian karena gagal napas dapat terjadi dalam 2 - 4 jam setelah pemakaian oral maupun subkutan, sedang pada pemakaian secara intravena dapat berlangsung lebih cepat lagi. Beberapatanda gejalayang dapat terjadi ialah hiperlermi, aritmia jantung, hipertensi, bronkospasme, parkinson like syndrome, nekrosis tubu-
dan
dari seluruh pemakai sesuai dengan fenomena gunung sepefii tertera di bawah ini:
es
Emergensi
Ag (+++) Ant
(-)
Ag
(+)
Ag
(+)
(0) Ag (+)
Ant
Ag Ant
(-)
c)
Ant
(As) +++
Ag
(-)
G-)
287
Tindakan
Penanganan kegawatan :
l). Bebaskanjalan
napas; 2).
besar masalah sangat diperlukan daripada konfirmasi kadar/jenis obat. Pada evaluasi perlu pemeriksaan analisa darah serial, penilaian fungsi paru dan foto dada untuk
Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan; 3). Pasang infus dektrose 5o% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan
l-2 mg iv hingga
nalokson satu ampul dalam 500 cc D5o/o atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4 - 6 jam;5). Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto dada; 6). Pertimbangkan pemasangan ETT (endotracheal tube)bila: a). Pernapasan tidak adekuat, b).
Aloanam nesa
Riwayat pemakaian obat Bekas suntikan (Need/e track sign) Pemeriksaan urin
.
Trias intoksikasi opiat Depresi napas Pupil pin-point Kesadaran menurun (kom a)
aspirasi akibat spasme pilorik. Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian Ilmu Penyakit Dalam untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
harus
.
Suport sistem pernapasan dan sirkulasi
PENGOBATAN
Nalokson intravena (lihat protokol) Naloksone. Nalokson adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus dewasa maupun anak. Dosis dewasa :0,4 - 2.0 mg , dosis dapat diulang pada kasus berat Observasi/pengawasan tanda vital dan dipuasakan selama 6 jam
dengan pemanduan perbaikan gejala klinik. Dapat dipertimbangkan nalokson drip bila ada kecurigaan intoksikasi dengan obat narkotik kerja panjang. Efek nalokson sekitar 2 - 3 jam.
ada respon setelah pemakian (nalokson) total 10 mg diagnosis intoksikasi opiat perlu (Gambar dikaji ulang. 3) Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya yaitu pemberian nalokson disamping oksigen dan respirator bila diperlukan. Hipotensi diberikan cairan iv yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamin dengan dosis 2 -
Gejala Klinis
Penurunan kesadaran diserlai salah satu dari: 1 ). Frekuensi pemapasan < 12 kali/menit; 2). Pupil miosis (seringkalipin-
pemakaian morflrn/heroin/
288
REFERENSI
Bittikofer JA. Toxicology. Dalam : Bishop ML, Fody EP, Duben von Laufen JL ( Editors). Philadelphia : Lippincott C, 1985
TIDAK EMERGENSI
overdosis Gelala put!s obaUkegawatan psikialri Erergens komplikasi (ARDS AIDS, dt
)
547
Bronstein
9.
l\4asalah psikiatris
t-d_l
Penanganan sesuai besat masa ah
t-;;'**ffiil;-l
AL, Currance PL. Morphine sulfate Dalam : Weiner R, Culverwell (Editors) Emergency care for Hazardous materials exposure Missouri: Mosby Company, 1988: 280 - 1 Chiu LPW Diagnosis and Management of drug abuser. Medicine Digest 1996; 14 : 18 25 Dreisbach RH, Robertson WO, editors. Handbook of poisoning Narcotic analgesic Norwalk: Appleton & Lange, 1987 : 324 :
8.
|-;_l
trol
rutin)
II
I
*-
Ruanorawa
inal
Grant HD, Murray RH, Bergeron JD., editors. Basic life suppofi I The airway and pulmonary resuscitation Emergency care. Fift edition. London : Prentice Hall International Editions 1990. Handley AJ, Fisher JM. Dalam : Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR (Editors). Dalam : ABC of Resuscitation. London : BMJ Publishing Group, 1995: 1 5. Hung OL, Hoffman RS. Opioid Intoxication. Reversal. Medical Progress 199'7;24 : 39 - 43 Micromedex, Inc. Volume 93. 1997. Olson KR. Opiats and Opioids. Dalam : Olson KR, Anderson IB, Blanc PD, Benowitz NL, Kearney TE, Osterloh JD dan Woo OF (Editors). Poisoning & Drug Overdose Norwalk: Appleton
& Lange,1994:238
40.
Detoksifikasl konvensional
Sukmana N. Penatalaksanaan kasus keracunan bahan kimia obatobatan. In service training for National and Provincial level
11
REHABILITASI
Widodo D, Sukmana N, Basri , Husni Azis, Muchtar A, Latif A. Gambar 3. Protokol penanganan lntoksikasi opiat di unit gawal darurat
Kasus keracunan akut di RSUPN Cipto Mangunkusumo (tahun 1996 1997). Tim Penanggulangan dan Informasi Keracunan
RSCM
Jakarta.
. ' . .
5 mcg/Kg BB/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan. Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi
obat dan bahan berbahaya. Jakarta 25 29 Nopember 1996 Schrank KS. Poisoning Dalam : Gardner LB (Editors) Acute Internal Medicine. New York : Elsevier Science Publishing Co, 1986: 461 - 82. Snodgrass WR. Dalam : Klaassen CD, Amdur MO, Doull J, (Editors). Toxicology. The basic science of Poisons. New York: Mc.Graw Hill, 1996: 969 86.
oral)
42
KERACUNAN BAHAN KIMIA, OBAT DAN MAKANAN
Widayat Djoko, Djoko Widodo
PENDAHULUAN
Di masa kini makin sering terjadi masalah keracunan, mulai dari kecelakaan wisata, kecelakaan kerja atau kecelakaan rumah tangga sampai usaha bunuh diri, pembunuhan perorangan bahkan pembunuhan masal yang dikaitkan dengan "Bio terrorism". Penanggulangan masalah ini cukup rumit karena beberapa faktor yaitu kurangnya informasi tentang zat penyebab keracunan karena korban tidak sadar atau enggan bicara dan faktor ketersediaan antidot racun yang belum semuanya tersedia, serta terkadang antidotnya sendiri merupakanbahan toksik, oleh karena itu penatalaksanaan keracunan seringkali bersifat simptomatis dan suportif.
yang sifat dasarnya tidak berbau dan berwarna seperti arsenikum yang sulit ditemukan hanya berdasar inspeksi
saja. Luka bakar warna keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat bahan
kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat. Perbedaan pada dampak luka bakamya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat menyebabkan nekrosis likuitaktif. Kerusakan korosifhebat akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila pH>l2 tapi tergantung juga pada konsentrasi bahan tersebut. Waspadai kemungkinan kerusakan esofagus dan
lambung meskipun tidak ditemukan kerusakan pada rongga mulut. Beberapa jenis racun mempunyai bau yang spesifik tetapi kemampuan mendeteksi bau pada populasi umum di masyarakat hanya 50o/o. (Tabel 1) Beberapa ciri terlentu dari urin dapat pula membantu menegakkan diagnosis' (Thbel 2)
DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana laboratorium toksikologi yang cukup handal, dan belum ada sarana laboratorium swasta yang ikut berperan sedangkan sarana laboratorium rumah sakit untuk pemeriksaan ini juga belum memadai sedangkan sarana instansi resmi pemerintah juga sangat
Bau
Aseton Almond Bawang putih Telur busuk
PenYebab lsopropil alkohol Aseton. Sinida Arsenik, selenium, talium Hidrogen sulfida, MerkaPtan
minimjumlahnya.
Untuk membantu penegakan diagnosis maka diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh ditempat kej adian'
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun yang dapat melalui berbagai cara yaitu inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan
mukosa atau parenteral, hal ini penting diketahui karena berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya (durasi) reaksi keracunan. Racun yang melalui rute oral biasanya
Warna urin
Hijau/ biru Kuning-merah Coklat tua Butiran keputihan Coklat.
289
290
KEGAWITIDARURAIAN
Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status kesadaran. Alat ukur kesadaral yatg paling sering digunakan adalah GCS (Glasgow Coma Scale). Apabila pasien tidak sadar dan tidak ada keterangan apapun
(alloanamnesis) maka diagnosis keracunan dapat dilakukan
ini selain
berguna untuk kepentingan penyidikan polisi pada kasus kejahatan. Sampel yang dikirim ke laboratorium adalah 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan terutama bila curiga
adanya aspirasi zat racur, melalui inhalasi atau dugaan adany a perforasi lambung.
napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu penegakkan diagnosis pada pasien dengan penunman kesadaran. (Tabel 3)
Laboratorium Klinik
Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas
Gambaran klinis
Pupil pin point, frekuensi napas turun.
Kemungkinan penyebab
Opioid.
lnterpretasi
Hipoventilasi, retensi COz mungkin akibat antidepresan SSP
Hiperventilasi mungkin sebagai respons hipoksia; injuri obat (aspirin) atau injuri SSP Jarang tejadi akibat keracunan, sebagai akibat hilangnya asam atau kelebihan alkali. Sering pada keracunan, bila berai waspada keracunan etanol, metanol/ etilen glikol. Metformin, isoniazid, salisilat, sianida
Sianosis.
Hipersalivasi
Organofosfat / karbamat,
insektisida.
Hipertermia
Fenotiazin, haloperidol. Metoklopramid Antidepresan trisiklik, antikonvulsan. ieofilin, antihistamin, OAINS. fenothiazin, isoniazid. Litium, antidepresan trisiklik, antihistamin. amfetamin, ekstasi, kokain.
pula dilakukan karena selain berguna untuk mengetahui dampak keracunan juga dapat dijadikan sebagai dasar ' diagnosis penyebab keracunan seperti keracunan parasetamol atau makanan yang mengandung asam
jengkol. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan darah perifer lengkap juga harus dilakukan.
Salisilat.
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus keracunan karena sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung yang berupa sinus takikardia, sinus bradikardia, takikardia supraventikular, takikardia ventrikular, Tbrs ade de pointes,
antagonis kalsium (kecuali dihidropiridin). Organofosfat insektisida. Withd rawal alkohol, opiat,
benzodiazepin.
fibrilasi ventrikular, asistol, disosiasi elektromekanik. Beberapa faktor predisposisi timbulnya aritmia pada keracunan adalah keracunan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia, gangguan elektrolit darah, hipovolemia, dan penyakit dasar jantung iskemik.
Sangat penting diperhatikan, pada semua kasus aritmia:
291
hindari obat antiaritmia karena justnr bisa mencetuskan timbulnya aritmia, gunakan obat inotropik negatif dan
kronotropik.
pasien ditengadahkan dan miring ke sisi mata yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan aquades atauNaCl 0,9o2 perlahan sampai
zat racnffiya diperkirakan sudah hilang (hindari bekas larutan pencucian mengenai wajah atau mata lainnya) PENATALAKSANAAi.I
selanjutnya tutup mata dengan kassa steril segera konsul
doktermata.
Stabilisasi
Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa:
Dekontaminasi
Tindakan
dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan aksesori lainnya dan masukkan dalam
. .
wadah plastik yang kedap air dan tutup rapat, cuci (scrubbing) bagian kulit yang terkena dengan air mengalir
minimal 10 menit selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.
dan disabun
Dekontaminasi gastrointestinal. Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga tindakan
pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik. (Tabel 5)
Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi
absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas, sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung berupa sarung tangan, masker dan apron. Tindakan
dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh yang terkena racun yaifu:
Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam. Apabila masih dalam saluran cerna dapat digunakan pemberian arang aktif yang diberikan berulang dengan dosis 30-50 gram (0,5 - 1 gram / kg BB) setiap 4jam per oraV enteral. Tindakan ini bermanfaat pada keracunan obat
s
Dekontaminasi pulmonal. Dekontaminasi pumonal berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu beri ventilator. Dekontaminasi mata. Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu posisi kepala
ep ert
karb amazepin,
Ch Iordeco n
Jenis Tindakan
lnduksi muntah
Tata Cara Stimulasi mekanis pada orofaring. Air dingin atau susu 250 ml
Kontraindikasi
Perhatian Khusus
Pneumopati inhalasi, sindrom Mallory Weis.
Pengenceran
Posisi lrendelenberg left lateral dekubitus, pasang NGT, aspirasi, bilas 200300 ml sampai bersih tambah karbon aktif 50
gram
Arang aktif
lrigasi usus
Bedah
Polietilen glikol 60 gr + NaCl 1,46 g + KCI 0,75 g + Na bic 1,68 g+Na sulfat 5,68 g + air sampai '1 liter. Bila menelan zat sangat korosif (asam kuat), asing.
Kesadaran turun, kejang Apneu, paparan > 4jam Keracunan zat korosif. Kesadaran turun. Gangguan menelan/ napas Nyeri abdomen. Asam pekat, non kaustik. Kesadaran iurun tanpa pasang intubasi. Zat korosif. Zat hidrokarbon. Asam pekat, non kaustik Petrolium destilat. Paparan >'1jam. lleus/ obstruksi GIT Zat korosif. Zat hidrokarbon. Gangguan napas, SSP, jantung tidak stabil, kelainan patologis
USUS.
Efektif paparan
< 1jam.
Kehamilan, kelainan jantung, depresi SSP, perforasi lambung.
lndikasi keracunan Fe , lithium., tablet lepas lambat atau tablet salut enterik.
292
TERAPI
AntiDotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis
racun yang ada obat antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit
j umlahnya. Beberapa j enis antidotum pada keracunan dapat
Anti dotum
nitrit (sodium/amil nitrit) sodium tiosulfat. dikobalt edetate (kasus berat). ethanol 4-metilpirazol EDTA Asam 2,3-dimercaptosuksinat Penisilamin, BAL. D-penisilaminb BAL(Dimercaprol), DMPS Asam 2,3-dimercaptosuksinat Natrium tiosulfat Potasium ferric (prussian blue) Sodium jodida, BAL. Sulfas atropine pralidoksim
Desferrioxam ine. Lorazepam. Fab fragmen (antibodispesifik) Piridoksin. Nalokson.
Metode Amyl nitrite inhalasi. 50ml (12,59)Na thiosulfat 25% dlm10mnt. 2,5m|/kgBB ethanol 40% (vodka, gin) dalam airijus jeruk, oral 30mnt Terapi kelasi
Merkuri.
Terapi kelasi
50mg atau 250 ml larutan 1%.i v 10gr dalam 100m1 manitol 1,So/oi 2X oral 1-2mg
'15
iv
mg/kg BB/jam
Obat. Amfetamine.
Digoxin.
2mgi.v.
Dosis tergantung digoksin serum. 1 gram i v /tiap gram lNH, maks 5 g. 0,01mg/kgBBiv ulang tiap 2 menit. Metionin efektif, paparan <8jam. 5-10mg.i v. pelan Titrasi mulai 4 mcg/menit. Bolus 'lOmg glukagon + Smg/jam drip i.v.
0,02m9/kg BB i v.2mnt; ulang 20mnt Smg/kg BB infus ljam+2Omglkgl24jam. 300m9/kg BB infus. 3X 4 gram/ hari.
Racun binatang
Scorpion Ubur-ubur Ular berbisa. Makanan. Jengkol.
Toxin mikroba.
Botulinum.
293
Rabdomiolisis. Kelainan ini bisa dideteksi dengan
pemeriksaan kadar kreatinin kinase (CK) serum dan kadar mioglobin urin. Penatalaksanaan meliputi pemberian cairan rehidrasi i.v. dan alkalinisasi urin.
Gangguan SVT disertai gangguan hemodinamik diberikan kardioversi sinkronisasi mulai 50 Joule, 100, 200, 300 Joule, setelah stabil diberikan adenosin 3 mg i.v. bolus dan bila perlu dapat diulang tiap 1- 2 menit dengan dosis 6 mg dan kemudian 12mg.
Methaemoglobinaemia (metHb). Kebanyakan obat oksidan dapat menyebabkan hal ini yaitu dapsone, sulfonamid, trimetoprim, nitrit, nitrat, lokal anestesia (benzokain,
lignokain, prilokain), metoklopramid, metilen biru, klorat dan bramat. Pada kasus ringan (kadar metHb < 30%) diberikan oksigen, sedangkan kasus berat diberikan metilen biru 1-2 mg/kg BB dalam > 5 menit, selanjutnya periksa ulang kadar MetHb setelah ljam. Perlu diwaspadai bahwa metilen biru sendiri dapat menyebabkan metHb dan hemolisis terutama pada dosis >15 mgkg BB dan mudah terjadi pada pasien dengan defisiensi G6PD.
REFERENSI AL, Dargan PI. Churchill's Pocke book of Toxicology. lstedition. 2001. Harcourt publisher. London. Henry J, Wiseman H. Management of poisoning. A handbook for
Jones
Health care workers.WHO, Geneva 1997. Olson KR. Caustic and Corrosive Agents. In Olson
Poisoning Drug Overdosis. London. 1990; 114-116.
Buchanan JF. Etanol.
Kr
editor.
lst edition.
Hiperemesis. Bila muntah gagal dikendalikan, maka dapat diberikan metoklopropamid I 0 mg .i.v.atau proklorperazin 10 mg oral atau ondansetron 8 mg intravena pelan. Distonia. Distonia sering terjadi akibat overdosis obat anti psikotik dan beberapa antiemetik. Reaksi yang terjadi berupa oculogtric, torticolis dan trismus. Beberapa gejala ekstrapiramidal yang lain seperti tremor, diskinesia, rigiditas dapat terjadi akibat overdosis obat yang lain. Gejala ekstrapiramidal harus diterapi dengan procyclidine 5-10 mg i.v./i.m, maksimum 20 mgl 24 jam atau diberikan
b
In Olson Kr editor. Poisoning Drug Overdosis. lstedition. Prentice Hall Int,London.1990;312-313Becker CE. Ethylen Oxide, . In Olson Kr editor. Poisoning Drug Overdosis.lst edition. Prentice Hall Int, London.1990; 1531s4
.
Eilenhorn MJ, Schonwald S, Ordog G, Wasserberger J. Ellenhom's Medical Toxicology. Diagnosis & Treatment of Human Poisoning 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1997. Anderson BI. Ethylene g1yco1 and other Glycols. In Olson Kr editor. Poisoning Drug Overdosis 1st edition. Prentice Hall Int,London.
I
990; 202-203
43
HEMOPTISIS
Ceva W. Pitoyo
DEFINISI Hemoptisis adalah mendahakkan darah yang berasal dari bronkus atau paru. Hemoptisis bisa banyak, atau bisa pula sedikit sehingga hanya berupa garis merah cerah di dahak. Hemoptisis masif adalah ekspektorasi 600 ml darah dalam
24 sampai 48 jam. Hemoptisis dinyatakan sebagai nyata atau jelas (gross/frank)blla lebih dari sekedar garis di sputum
namun kurang dari kriteria masif. Hemoptisis juga bisa berupa bekuan darah hitam bila darah sudah terdapat dalam saluran napas berhari-hari sebelum dapat didahakkan. Pseudohemopfsrs adalah membatukkan darah yang
kasus hemoptisis tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Hemoptisis idiopatik disebut juga hemoptisis esensial. Hemoptisis esensial umumnya menyebabkan
hemoptisis tidak masif, walaupun pada hemoptisis masif <
5%o
adalahidiopatik.
bukan berasal dari saluran napas bagian bawah. Hemoptisis palsu seperti ini dapat berasal dari rongga
mulut, hidung, farings, lidah atau bahkan hematemesis (perdarahan saluran cerna bagian atas) yang masuk ke
gagal jantung. bronkoskopi perlu dilakukan pada kasuskasus hemoptisis, bila sarana memungkinkan.
PATOGENESIS Arteri-arteri bronkialis adalah sumber darah utama bagi saluran napas (dari bronkus utama hingga bronkiolus
terminalis), pleura, jaringan limfoid intra pulmonar, serta persarafan di daerah hilus. Arteri pulmonalis yangpada dasarnya adalah membawa darah dari vena sistemik, memperdarahi jaringan parenkim paru, termasuk bronkiolus
respiratorius. Anatomosis arteri dan vena bronkopulmonar, yang merupakan hubungan antaruke-2 sumber perdarahan di atas, terjadi di dekat persambungan antara bronkiolus
ETIOLOGI
Upaya menduga etiologi hemoptisis dapat dilakukan dari pendekatan masif atau tidak masifnya hemoptisis. Pada dasarnya semua penyebab hemoptisis dapat menyebabkan
hemoptisis masif, akan tetapi penyebab terseringnya adalah infeksi (terutama tuberkulosis), bronkiektasis dan keganasan. Pada aspergiloma, fibrosis kistik serta berbagai
penyakit parenkimal paru difu s umumnya teq'adi hemoptisis
respiratorius dan terminalis. Anastomosis ini memungkinkan ke-2 sumber darah untuk saling
mengimbangi. Apabila aliran dari salah satu sistem
294
HEMOPTISIS
295
Walaupun masih diperdebatkan, tetapi mekanisme hemoptisis pada stenosis mitral dan gagal jantung diduga berasal dari pecahnya varises dari vena bronkialis di submukosa bronkus besar akibat dari hipertensi vena pulmonalis. Hal ini tampak dari pelebaran pembuluh-
Kista paru
congenital atau
didapat Koksidiodomikosis Kontusio paru (-) lVletastasis di paru (.) Mola hidatidosa Mukormikosis Nokardiosis Paragonimiasis Pneumonia akut dan kronik Sekuestrasi bronkopulmonar Sporotrikosis (.) Tuberkulosis paru (.) Kelainan Trakeobronkial Adenoma bronkus Amiloidosis Aspirasi benda asing Aspirasi isi lambung Bronkiektasis (.) Bronkitis kronik Bronkolitiasis Endometriosis bronkus Fibrosis kistik (.) Fistula trakeoesofageal Fistula arteritrakeal (') Hamartoma endobronkus Karsinoma bronkogenik (.) l\iletastasis endobronkus (.) lmpaksi mukoid di bronkus Telangiektasia bronkus Trakeobronkitis akut (.) Tuberkulosis endobronkus (.)
Kelainan Kardiovaskular
Aneurisma aorta Aneurysma arteri pulmonalis Aneurysma arteri subklavia CABG (coronary aftery byqass graft) Emboli paru Embolisasi lemak Embolisasi tumor Fistula arteriovena pulmonalis (.) Gagal jantung kongestif (.) Ruptur arteri bronkial (.) Ruptur arteri pulmonalis (.) Penyakit jantung kongenital . Perdarahan intrapulmonar difus (-) Sindrom Hughes-Stovin Sindrom pasca infark miokard Sindrom vena kava superior Skistosomiasis Stenosis mitral Varises vena pulmonalis
sebelah distal dari tempat sumbatan. Pada tuberkulosis, penyebab perdarahan bisa sangat beragam. Pada lesi parenkim akut, perdarahan bisa akibat nekrosis percabangan arteri I vena. Pada lesi kronik, lesi fibroulseratif parenkim paru dengan kavitas bisa memiliki tonjolan aneurisma arteri ke rongga kavitas yang mudah
berdarah. Pada tuberkulosis endobronkial, hemoptisis disebabkan oleh ulserasi granulasi dari mukosa bronkus. Pada trakeostomi, perdarahan bisa terjadi akibat fistula trakeoarteri terutama dari arteri inominata.' Perdarahan difus intrapulmonal yang berasal dari pecahnya kapiler bisa terjadi pada berbagai penyakit
autoimun.
DIAGNOSIS
Evaluasi hemoptisis melibatkan evaluasi rutin dan evaluasi khusus. Evaluasi rutin pada kasus hemoptisis dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengkategorikan berbagai penyebab hemoptisis seperti yang tercantum di tabel I . Sebagian besar hemoptisis di Indonesia disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila foto dada tidak menunjukkan gambaran spe sifi k untuk tuberkulosis, frekuensi' lama dan
Kelainan hematologi
DIC( Dlsseminate di ntrava scula t coagulation ) Leukemia (.) Terapi antikoagulan Trombositopenia
Lain-lain
ldiopatik latrogenik : (-) Biopsi Jarum Paru Bronkoskopi Kateterisasi Jantung Malposisi pipa drainase toraks
(WSD)
Penyebab tersering
meningkat maka pada sistem yang lain akan menurun. Studi arteriografi menunjukkan bahwa 92Yo hemoptisis berasal dari arteri-arteri bronkial i s. Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi dari kelainan. Secara umum bila perdarahan berasal dari lesi endobronkial,maka perdarahan adalah dari sirkulasi bronkialis, sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan adalah dari sirkulasi pulmoner. Pada keadaan kronik dimana terjadi perdarahan berulang maka perdarahan sering kali
waktu perdarahan dapat dipakai untuk memperkirakan kemungkinan lain penyakit dasar penyebab hemoptisis. Misalnya, perdarahan sedikit-sedikit setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan perlu dipikirkan
kemungkinan karsinoma terutama bronkogenik. Sementara itu perdarahan berulang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun perlu dipikirkan adanya bronkiektasis atau adenomabronkus.
berhubungan dengan peningkatan vaskularitas di lokasi yang terlibat. Pada karsinoma bronkogenik, perdarahan berasal dari nekrosis tumor serta terjadinya hipervaskularisasi pada tumor, atau juga bisa berhubungan dengan invasi tumor
Hemoptisis yang berhubungan dengan menstruasi mengarahkan pada kemungkinan endometriosis paru. Hemoptisis yang berhubungan dengan aktivitas fisik walaupun ringan, termasuk hubungan seksual, harus
dipertimbangkan adanya bendungan paru. Pada usia muda adanya gejala tersebut harus dicari kemungkinan kelainan jantung atau paru kongenital. Selain kelainan kongenital, hemoptisis pada usia muda harus selalu dipertimbangkan sebagai akibat infeksi baik oleh tuberkulosis maupun trakeobronkitis non spesifik. Di samping itu, perlu pula dicari kemungkinan fibrosis kistik, kelainan darah atau tumor-tumor jarang Yang lain.
296
KEGAWTIDARURAf,AN
Apabila hemoptisis telah diketahui penyebabnya dan telah diterapi dengan baik, tetapi tetap tidak berhenti dalam 24 jam, kemungkinan kelainan hemostasis (koagulopati)
harus dicari. Riwayat terapi antikoagulan membangkitkan
kemungkinan kelebihan dosis antikoagulan atau justru emboli paru karena dosis kurang. Kecurigaan emboli paru diperkuat bila ada tanda trombosis vena dalam.
hendaknya dihentikan. Fisioterapi dada dan drainase postural hendaknya ditunda. Lavase bronkus dengan larutan salin normal dingin dapat dipertimbangkan pada
kasus yang tidak masif.
hanya dipertimbangkan pada kasus dengan bercak darah minimal tetapi batuk sangat kuat. Obat - obat anti trombosit
Pada pasien dengan trakeostomi, selain akibat perlukaan arteri trakealis akibat lubang yang dibuat, perdarahan bisa terjadi akibat dari tindakan suction atau
kelainan hemostasis. Pada pasien dengan perdarahan intrapulmonal difus, gejala utamanya lebih sering berupa sesak napas dan bukan hemoptisis. Pasien dengan trias ; kelainan saluran napas atas, penyakit saluran napas bawah, dan kelainan ginjal harus dipikirkan adanya granulomatosis sistemik
Wegener.
Selanjutnya terapi penyakit penyebabnya harus diberikan. Bila sebabnya infeksi (misalnya pada
bronkiektasis, bronkitis kronik dan fibrosis kistik yang terinfeksi) antibiotik harus diberikan diserlai teofilin atau
PENATALAKSANAAN
Kecepatan perdarahan dan efek terhadap pertukaran gas menentukan penatalaksanaan hemoptisis. Bila perdarahan
hanya sedikit atau hanya berupa bercak di dahak dan umumnya pertukaran gas tidak terganggu, maka
penegakkan diagnosis menjadi prioritas. Namun apabila perdarahan masif, maka mempertahankan jalan napas dan
atau trauma dada. Demikian pula untuk fistula arteri trakealis, bedah adalah pilihan utama penatalaksanaan.
paru yang diduga sumber perdarahan akan membantu menjaga asfiksia sisi yang sehat. Pada perdarahan masif
bisa
karena hemoptisis pada kasus-kasus tersebut dengan perdarahan kurang dari 200 mllhari. Di Indonesia di mana embolisasi dan laser umumnya tidak tersedia, terapi bedah harus dipertimbangkan pada perdarahan lebih dari 250 ml/ hari. Namun pada sentra dengan kemampuan embolisasi atau foto laser, tindakan bedah hanya dibatasi pada kasus y ang dapat dioperasi (op er ab I e) pada perdarahan 1 l/hari atau lebih
dibutuhkan untuk menjaga jalan napas dan pertukaran udara. Ada satu jenis pipa endotrakeal yang didisain khusus memiliki lumen dua sehingga masing-masing paru
menjadi terpisah salurannya dan terjaga dari tumpahnya darah ke sisi lain. Ada juga upaya pemasangan kateter balon menyumbat bronkus yang berdarah. Pemasangan ini dipandu dengan bronkoskopi. Upaya ini bukan saja mencegah asfiksia lobus yang sehat tetapi membantu
menghentikan perdarahan.
REFERENSI
Corey R, Hla KM. Major and massive hemptysis: reassestment of conservative management. Am J Med Sci. 1987;294-301. Cahi11 BC, Ingbar DH. Massive hemoptysis: assestment and management. Clin Chest Med,. 1994:15;1,47. Corey R, Hla KM. Major and massive hemoptysis: reassestment of conservative management. Am J Med Sci. 1987;294-301. Weinberger SE, Braunwald E. Cough and hemoptysis In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ,et al, editors. Harrison's principles of intemal medicine. 15'h ed. Philadelphia: Mc Graw Hill; 2002.
p.
194-8.
PENATALAKSAN
VARISES
PERDARAHAN
FAGUS
Hernomo Kusumobroto
PENDAHULUAN
Perdarahan varises gastro-esofagus, merupakan salah satu Dipakai 1 kali
SB Tube Vasopressin Skleroterapi Endoskopik (STE) Somatostatin Ligasi varises endoskopik (LVE) Transhepatik var. scler. (PTO) Transjugular intrahepatik portosistemik shunt (Tl PS)
<1 950
, .Di
lndonesia
1
komplikasi terbanyak dari hipertensi portal akibat sirosis, terjadi sekitar 10 - 30 0% seluruh kasus perdarahan saluran cema bagian atas. Perdarahan varises sendiri terjadi pada 25 - 35 o/, pasien sirosis. Perdarahan ini sering disertai dengan angka morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih tinggi dibanding dengan penyebab perdarahan saluran cerna yang lain, demikian pula dengan biaya perawatan di rumah sakit yang lebih tinggi. Perdarahan pertama biasanya memberi angka mortalitas yang tinggi, bisa sampai 30 0%, sementaruT0 %o dari pasien yang selamat (survivor) akan mengalami perdarahan ulang setelah perdarahan yang pertama tersebut. Selain itu, ketahanan hidup selama I tahun setelahperdarahanvarises biasanya
rendah (32
976 983
'1956
1976
1
1973 1978
1
1992
1
986
1974 1 988
Selama 3 dekade terakhir ini, pengobatan pasien hipertensi portal telah mengalami kemajuan yang cukup
80 %).
Vasodilator
Pengobatan Endoskopik Skleroterapi EndoskoPik Ligasi Varises EndoskoPik Pengobatan
PTO TIPS
transhePatic obliteration)
Pengobatan Bedah Transeksi esofagus dan devaskularisasi Pintasan portosistemik Transplantasi hati
8, pengobatan perdarahan varises esofagus mengalami perubahan revolusioner. Temuan ini kemudian disusul dengan penggunaan endoskopi untuk pengobatan skleroterapi endoskopik (STE) sekitar tahun 1973, dan
1
97
297
298
Penulis, tahun
Hilmy, 197'1 Djajapranata, '1973 Abdurachman, '1975 Akit,'1975 Simadibrata, 1978 Hernomo,1978 Soemarto, 198'1 Julius, 198'l
Jml.kasus
108
Mortalitas
54 6 o/o 43 3 o/o 57.6 % 35 5 o/o 45.9 % 32.4 %
>30F, untuk aspirasi dan pencucian lambung. Tidak terdapat bukti bahwa pemasangan pipa ini meningkatkan risiko pada pasien yang mengalami perdarahan varises. Cara ini selain memberi keuntungan untuk mengetahui
apakah perdarahan masih aktif, juga dapat digunakan untuk
35'l
132
17
237 bb 138
624%
483%
182
dipakai tanda papil putlh (white nipple). Sedang bila terdapat bekuan darah, harus dibersihkan dengan
penyemprotan (wash). Diagnosis perdarahan varises tanpa sumber perdarahan lain, dapat digunakan bila ditemukan darah dalam lambung danlatau endoskopi dikerjakan dalam
waktt24 jam.
Secara endoskopi batasan perdarahan varises adalah
:
perdarahan dari varises esofagus atau lambung yang tampak pada saat pemeriksaan endoskopi, atau ditemukan adanya varises esofagus yang besar dengan darah di lambung tarpa adanya penyebab perdarahan yang lain. Perdarahan disebut bermakna secara klinik bila kebutuhan transfusi daruh2 unit atau lebih dalam waktu 24 jamsejak pasien masuk rumah sakit, disertai dengan tekanan darah sistolik kurang dari 100 mm Hg, atau penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg dengan perubahan posisi, dan atau nadi lebih dari 100 kali/menit pada saat masuk rumah
sakit.
(I
sampai
III)
maupun Inggris (UK consensus), untuk menilai beratnya sirosis, dapat digunakan skor Child-Pugh (Tabet 4).
DIAGNOSIS
Pasien dengan perdarahan varises biasanya menunjukkan gejala-gejala yang khas, berupa: hematemesis, hematokezia atau melena, pemrrunan tekanan darah, dan anemia. Namun
Kategori
Ensefalopati Asites Bilirubin (mMol/l) Albumin (g/l)
INR
0 C)
harus dipahami bahwa adalya tanda-tanda yang khas sirosis hati, dengan demikian ada dugaan hipertensi portal, tidak otomatis menyingkirkan sumber perdarahan lain. Hampir 50% pasien dengan hipertensi portal mengalami
Ringan -
<34 >35
< 1.3
ilt/tv
Beral
>51
<28
> 1.5
perdarahan non-varises. Beberapa di antaranya disebabkan oleh gastropati hipertensi portal, yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan portal, namun sebagian besar tidak berhubungan dengan peningkatan tekanan portal. Karena itu pasien-pasien ini membutuhkan pemeriksaan endoskopi yang segera, untuk menetapkan diagnosis yang pasti, sehingga pengobatan yang adekuat dapat segera diberikan. Sebelum endoskopi, dilakukan pemasangan pipa nasogastrik, dianjurkan dengan ukuran
Menurut sistem
skor di
atas, kelas
Child-Pugh,
skor 7 -9, dan
Pasien dari kelas A, biasanya meninggal akibat efek perdarahannya sendiri, sementara pasien dengan kelas C kebanyakan akibat penyakit dasarnya. (Rekomendasi kuat
tingkatAl).
299
bes
dalam wakh-r 12
Inggris maupun Baveno I-1990 sampai dengan III-2000, semuanya menganjurkan pemakaian cara yatg paling sederhana, yaitu membagi menjadi 3 tingkatan (Tabel 5).
Baveno
II
GHP, Konsensus
Tingkat
Tingakt Tingakt
1 2 3
varises yang kolaps pada saat inflasi esofagus dengan udara varises antara tingkat 1 dan 3. varises yang cukup untuk menutup lumen esofagus. (Rekomendasi kuat tingkat Cll )
kronik akibat GHP, adalah adanya fecal blood loss, penurunan Hb > 2 gramo/o dalam 3 bulan, dan saturasi transferin yang rendah, disertai adalya GHP pada pemeriksaan endoskopi, tanpa adanya kolopati, duodenopati, supresi sumsum tulang, penyakit ginjal kronik, maupun pamakaian obat-obat antiinflamasi (OAN)'
Dari Konsensus Baveno II-1995, telah disepakati bahwa pada semua pasien sirosis hati seyogyanya secara rutin
Lesi
1
Skor
1
diperiksa ada tidaknya hiper-tensi portal, dengan pemeriksaan endoskopi dan USG (sebaiknya dengan dop-pler), terutama pada pasien yang belum pernah
mengalami perdarahan SMBA. Sarana diagnosis yang lain
seperti: pengukuran tekanan varises dengan cara langsung, angiografi, dan MRI, hanya dianjurkan untuk keperluan penelitian saja. Dalam Konsensus Baveno II ini
ada beberapa kesepakatan baru yang dibuat, antara lait: perdarahan varises baru berarti secara klinik bila memenuhi
MLP (Mosaic Like Pattern) Ringan Berat RM (Red Marking) Terisolasi Berkonfluen GAVE (Gastric Anhral Vascular Ectasis) Negatif Positif GHP ringan GHP berat
2
1
<3 >4
persyaratan membutuhkan minimal 2 unit darah dalam waktu 24 j am. S edang perdarahan ulang terj adi bila timbul
hematemesis dan atau melena baru, setelah24 jamkeadaan umum pasien stabil (tensi, nadi, Hb, PCV) pasca perdarahan akut.
FAKTOR RISIKO PADA PERDARAHAN PERTAMA Faktor-faktor predisposisi dan yang memacu terjadinya
perdarahan varises, sampai saat ini masih tetap belum jelas.
clinical diagnosis klinik hipertensi portal (CSPH significant of portal hypertension), dapat ditegakkan
berdasarkan
Adanya varises, perdarahan varises, dan/atau asites, dapat dipakai sebagai dasar adanya hipertensi portal
secara
klinik (CSPH).
untuk setiap pasien yang dengan ala.utanpa tanda-tanda klinik hipertensi portal (CSPH) dapat dilakukan sepefti berikut:
pemeriksaan endoskopi dapat diulangi setiap 2 - 3 tahun, untuk mengetahui kapan varises mulai timbul.
Padapasien dengan sirosis kompensata dengan varises kecil, endoskopi dapat diulangi setiap 1 -2 tahun, untuk mengetahui progresivitas pembesaran varises.
Dengan menggunakan model in vitro, Polio dan Groszmann menunjukkan bahwa pecahnya varises berhubungan dengan tegangan (tension) pada dinding
varises. Tegangan ini tergantung pada radius varises. Pada
Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati hipertensi porlal (GHP), dibutuhkan pembuktian secara
endoskopik adanya lesi yang berdarah aktif. Bila ditemukan varises esofagus atau lambung, endoskopi dapat diulangi
dan
300
Gambaran endoskopi, seperti bintik kemerahan (red dan tatda wale, pertama kali dikemukakan oleh Dagradi. Kedua tanda ini digambarkan sebagai sangat
spots) penting dalam meramalkan terjadinya perdarahan varises. Dalam penelitian retrospektif di Jepang (The Japanese Research Society for Portal Hypertension), Beppu dan kawan-kawan menunjukkan bahwa 80% pasien yang
Indeks hati (Tabel 7) juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis pasien hematemesis
melena yang mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil
kemerahan (cherry
perdarahan varises. Hal itu menimbulkan dugaan bahwa keduanya merupakan prediktor penting untuk terjadinya perdarahan varises esofagus pada sirosis.
Kedua penelitian int, - The North ltalian Endoscopic C/arb (NIEC) dan data dari Jepang menunjukkan bahwa
Pemeriksaan
1. Albumin (g %)
2.
3 4
1
3.0
2.0-30
minimal minimal
0
- 3.5
<30
> 3.0
+ +
Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa gradien tekanan vena hepatika (HVPG) dan tekanan intravarises juga merupakan prediktor independen untuk timbulnya
perdarahan varises yang pertama. Sebagai ringkasan, 2 faktor terpenting (utama) yang menentukan risiko perdarahan varises adalah : beratnya
2 3
= = =
4- 6 7 - 10
sangat rasional untuk membuat panduan pengobatan profilaksis untuk mencegah terjadinya varises, juga
perdarahan varises. Namun sebagian besar penelitian yang
Child
jauh.
Panduan utama penggunaan obat farmakologi sebagai
endoskopi dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas. Namun perdarahan aktif pada saat endoskopi ini dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya perdarahan ulang yang lebih awal. Risiko kematian menurun dengan cepat sesudah perawatan di rumah sakit, demikian pula risiko kematian ini menjadi konstan sekitar 6 minggu setelah
perdarahan.
301
lebih rendah secara bermakan, namun untuk angka kematian hanya berbeda sedikit. Perhatian terhadap pemakaian vasodilator, seperti isosorbid mononitrat tumbuh karena dalam penelitian terbukti bahan ini dapat menekan tekanan portal sama efektifnya dengan
propanolol. Kombinasi nadolol dan isosorbid mononitrat telah dibandingkan dengan nadolol sebagai obat tunggal, dalam penelitian acak terkontrol. Ternyata terapi kombinasi dapat menekan frekuensi perdarahan secara bermakna, tetapi tidak berbeda dalam angka kematian pasien. Terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa penurunan denlut nadi istirahat sebesar 25 %o detgan penghambat beta (propanolol, atenolol, atau nadolol) dapat mencegah perdarahan pertama, karena penurunan ini berhubungan langsung dengan penurunan tekanan portal. Isosorbide5-mononitrate 2 x 40 mg, dalam penelitian yang belum terlalu banyak, efektif juga untuk mencegah perdarahan y ang pertama. Masih dibutuhkan metodologi penelitian
(IIVPG:
hepatic venous
Dosis: Mulai dengan dosis 2 x 40 mg, dinaikkan hingga x 80 mg bila perlu. Pemakaianlong acting propranolol
. .
dalam dosis 80 atau 160 mg dapat dipakai untuk memperbaiki ketaatan pasien. (Rekomendasi tingkatAl)
Padakasus dimanaterdapatkontraindikasi atauterjadi
tingkatBl.)
l.
yang lebih baik untuk menetapkan siapa saja yang mempunyai risiko yang paling tinggi untuk berdarah,
sehingga dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang
2. Berapa kali pasien sirosis harus di endoskopi ? . Bila pada saat endoskopi perlama tidak ditemukan
varises, pasien sirosis harus dilakukan endoskopi berkala dengan jarak 3 tahun sekali. (Rekomendasi
paling diuntungkan untuk pengobatan profilaksis. Metodologi yang lebih baik juga dibutuhkan untuk
menetapkan obat mana yang efektif unfuk menurunkan tekanan porlal. Endoskopijuga telah dipakai sebagai salah satu teknik
3.
tingkat AII.) Bila ditemukan varises kecil pada saat diagnosis dibuat, pasien harus dilakukan endoskopi berkala setiap tahun sekali. (Rekomendasi grade aii.) Pasien sirosis mana yang harus diberi profilaksis
primer
Bila dibuat diagnosis varises tingkat 3, pasien harus mendapat profilaksis primer, tanpa melih atbetatnya
gangguan faal hati pasien (Rekomendasi tingkatAl.) Bila pasien mempunyai varises tingkat 2, detgan gangguan faal hati Child kelas B atau C, mereka harus mendapat profilaksis primer. (Rekomendasi tingkatBl).
varises pada pasien sirosis. Sarin dan kawan-kawan membandingkan terapi ligasi varises (LVE) dengan tanpa terapi aktifdengan cara acak, dan hasilnya menunjukkan
terjadi penurunan secara bermakna perdarahan varises pada pasien yang mendapat pengobatan LVE. Sementara angka
Di
. '
Terapi farmakologi dengan propranolol merupakan modalitas terapi terbaik yang ada pada saat ini.
(Rekomendasi tingkat AI.) Tujuan pengobatan dengan propranolol: Menurunkan
perdarahan akut saluran makan bagian atas (SMBA), terutama perdarahan varises, dianjurkan diawasi di rumah sakit, bila perlu di ruangan perawatan intensif, walaupun perdarahan tampaknya ringan. Bila ada Tim Hipertensi Portal, sebaiknya Tim tersebut telah dilibatkan sejak awal perawatan pasien. Setelah keadaan umum pasien stabil, segera dilakukan pemeriksaan endoskopi darurat untuk
302
menetapkan penyebab perdarahan dan menentukan pengobatan yang tepat. Konsensus Baveno III-2000 (41) merekomendasikan
: packed red cell), cukup untuk mempertahankan hematokrit antara 25 - 30 %o, dan
yang dipadatkan (PRC
bahwa pemberian darah harus dikerjakan secara hati-hati dan lebih konsernatif, dengan menggunakan sel darah
untuk mempertahankan hemodinamik yang stabil. Mengenai pemberian obat-obat koagulopati dan
pengobatan terhadap trombositopeni, masih diperlukan
hilang
menghindari kerusakan mukosa. Sekali balon dikempeskan, dianjurkan untuk segera dilakukan
pengobatan lanjutan untuk mencegah perdarahan ulang, karena perdarahan ulang setelah pengempesan SB tube
terjadi sekitar 80
o/o
definitif termasuk antara lain : terapi endoskopi (STE atau LVE), embolisasi transhepatik atau transmesenterik (minilaparotomi), operasi (pintasanl shunt, ligasi, devaskularisasr), Transjugular Intrahepatic Portosyslemic Shunts (TIPS), ata:u orthotopic liver transplantation (OIjI). Terapi definitifawal yang terpilih adalah STE atau LVE. Baik penyuntikan bahan sklerosan (1 .5% sodium tetradecyl suffote atau 5%o ethanolamine oleate) darr
pemasangan ligator pada varises esofagus, terbukti dapat mencegah perdarahan ulang varises dan memperpanjang ketahanan hidup pasien (survival). Untuk mencapai tujuan ini, pasien harus diterapi secara berkala dan teratur, dengan pengobatan awal selanjutnya dengan intewall -2 minggu sampai varises dapat dieradikasi. Makin cepat eradikasi
diberikan pada pasien yang terus berdarah yang menunjukkan PPT yang memanjang. Demikian pula
tombosit (TC berlangsung.
Pasien dengan ensefalopati, intoksikasi, atau gangguan mental/ kesadaran yang lain, perlu dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal sebelum pemeriksaan endoskopi, atau prosedur invasif lain, karena.risiko aspirasi cukup
pemakaian oyertube dapat dikurangi bahkan dihindari, sehingga LVE menjadi lebih aman dan lebih cepat. Embolisasi radiologik pada arteri koronaria gastrika dan kolateralnya, yang memberi pasokan pada varises yang berdarah, dapat menghentikan perdarahan secara efektif. Namun pendekatan transhepatik menjadi sulit pada hati yang sangat sirotik, keras, dan disertai asites, dan dapat
303
Sesuai dengan rekomendasi Inggris: idealnya pasien dengan perdarahan varises seyogyanya dirawat di unit dimana tenaga yang ada sudah familiar dengan pengelolaan pasien dan penggunaan semua alat-alat untuk intervensi secara rutin. (Rekomendasi tingkat CII.)
dengan atau tanpa transeksi esofagus, mempunyai beberapa keuntungan, namun tindakan ini belum dapat diterima secara luas sebagai tindakan yang aman dan efektif. Pintasan porto-sistemik dengan bermacam cara, sangat efektif untuk menghentikan perdarahan, tetapi mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna, khususnya pada pasien dengan Child C.
Pintasan mesokaval (H-graft) dan splenorenal distal (War-
Cara Kanula perifer No 16, paling sedikit 2 Cross mafch untuk 6 unit darah. Perbaikan waktu protrombin, jumlah trombosit. Akses CVC (central venous catheter). Proteksi jalan nafas dengan intubasi elektif Perdarahan varises yang berat tak terkontrol;
:
l. ll. lll
lV.
2.
[.
Resusitasi
3. MengatasiPerdarahan
. .
bukan kandidat transplantasi, yang menginginkan untuk kembali, untuk manajemen tindak lanjuft. Sayangnya, ensefalopati cukup sering dijumpai pasca TIPS, yang
membatasi penggunaan cara ini, khususnya pada pasien dengan fungsi hati yang jelek. Transplantasi hati masih tetap merupakan pilihan paling baik untuk pasien dengan perdarahan varises yang tidak terkontrol. Adanya varises lambung merupakan situasi yang lebih sulit untuk diatasi, karena biasanya tidak mudah dieradikasi
4.
mendation grade AI.) Kegagalan Mengatasi Perdarahan Aktif . Dalam keadaan di mana perdarahan sulit dikontrol,
pipa
Sengstaken dapat dipasang, sampai pengobatan lanjutan seperti terapi endoskopi, TIPSS, atau tindakan bedah dapat dikerjakan. (Rekomendasi tingkat BI.) Pada saat ini konsultasi kepada spesialis harus segera dikerjakan, dan
pengalaman dalam menangani keadaan seperti ini. (Rekomendasi tingkat BII. ) Modalitas pengobatan seperti antara lain, intervensi bedah seperti transeksi esofagus atau TIPSS harus ditetapkan dulu berdasarkan pengalaman serta
pasien seperti
ini
tersedianya spesialis yang biasa mengerjakan tindakan tersebut di pusat rujukan yang dituju. (Rekomendasi tingkat BII.)
304
PENGOBATAN JANGKA PANJANG/PROFILAKSIS SEKUNDER (SECONDA Ry pROpHyLAXtS) Sementara terapi endoskopi secara berkala dapat
menimbulkan eradikasi varises, menekan perdarahan ulang,
diikuti dengan endoskopi beikala setiap 3 bulan dan 6 bulan. Bila terjadi varises baru, segera dilakukan eradikasi ulang. (Rekomendasi tingkatAII.)
. . .
hidup pada pasien Child C, bahkan pada beberapa penelitian pengurangan perdarahan ulangpun tidak
atas.
terbukti. Demikian pula pada perbandingan endoskopi versus prosedur pintasan pada pasien Child C. Karena itu sampai saat ini masih belum terbukti secara jelas, dari
sekian banyak variasi pilihan pengobatan, tindakan apa yang paling terpilih, khususnya dalam hal cost elfectivity. Tampaknya pilihan terapi terbaik saat ini masih tergantung pada : tersedianya sarana serta tenaga terlatih, serta kondisi pasien secara keseluruhan.
Kombinasi STE denganpenghambatbetanon-selektif maupun beta bloker tunggal, dapat digunakan. Bila yang
Penurunan tekanan portal secara medik (dengan bantuan obat), telah terbukti dapat menurunkan risiko perdarahan ulang. Tindakan ini dapat dikerjakan dengan pengobatan tunggal atau dengan kombinasi terapi
endoskopi, untuk mendapatkan hasil maksimal dalam hal perbaikan ketahanan hidup dan mengurangi perdarahan ulang. Penghambat beta merupakan obat yang biasanya digunakan untuk menurunkan tekanan portal, namun efeknya hanya dapat diperkirakan saja, mengingat tidak ada tindakan non-invasif yang dapat dipakai untuk
TIPSS lebih efektif dibanding terapi endoskopik dalam menekan perdarahan ulang varises esofagus, tetapi tidap dapat memperbaiki ketahanan hidup pasien, dan sering diikuti ensefalopati hepatik. Tindakan ini hanya
dikerj akan pada pusat tertentu yang mempunyai fasilitas untuk tindakan ini. (Rekomendasi tingkat AI.)
a- car a
Sesuai dengan rekomendasi Inggris, profilaksis sekunder untuk perdarahan varises pada sirosis dapat dilakukan dengan cara-cara berikut
dengan
. . . .
pemeriksaan endoskopi. Sekunder. Varises lambung yang timbul dalam waktu 2 tahun setelah eradikasi varises esofagus.
harus dieradikasi dengan cara endoskopik. pilihan pertama adalah LVE. (Rekomendasi tingkatAl.) Dianjurkan setiap varises diligasi dengan I ligator setiap minggu sampai varises menghilang. (Rekomendasi
tingkatBII.)
Pemakaian over tube sebaiknya dihindari karena dapat menambah komplikasi. (Rekomendasi tingkat BII.) Setelah varises berhasil dieradikasi, pasien harus tetap
oesophageal varices tipe I dan2 (GOV): varises lambung yang merupakan lanjutan varises esofagus dan biasanya timbul di daerah kurvatura minor dan fundus. 2. Isolated gastric varices tipe 1 dan 2 (IGV): varises lambung yang bukan merupakan lanjutan varises esofagus, dan biasanya
l.
Gastro-
timbul di daerah fundus atau di tempat manapun di lambung, termasuk korpus, antrum, pilorus, dan duodenum. (Rekomendasi tingkat BII.)
30s
REFERENSI
Alexandrino
P, Alves MM, Fidalgo P, et al. Is sclerotherapy the first choice treatment for active variceal bleeding in cirrhotic patients? Final report of a randomised clinical lrial. J
Hepatol.l990;71 (suppl):S 1 . Andreani T, Poupon RE, Balkau Bt, et al. Preventive therapy of first gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis: Results
endoscopic sclerotherapy and placebo. Hepatology 1990;12:1413-19. Angelico M, Carli I-, Piat C, el a/. Isosorbide-5-mononitrate versus propranolol in the prevention of first bleeding in cirrhosis.
G
astro enterol
gy
1993 ;1O4
:l
460 -65.
KESIMPULAN
Diagnosis hipertensi portal secara klinik (CSPH - clinical
Bosch J, Groszman RJ, Garcia-Pagan JC, et a/. Association of transdermal nitroglycerin to vasopressin infusion in the treatment of variceal hemorrhage: a placebo-controlled clinical trial. Hepatology I 989; 1 0:962-8. Conn HO, Grace ND, Bosch J, et al Proptanolol in the prevention of the first hemorrhage lrom esophagogastric varices: A multicenter, randomized controlled clinical trial. Hepatology 1991;13:902-12. D'Amico G, Traina M,Yizzint G, et al. Terlipressin or vasopressin plus transdermal nitroglycerin in a treatment strategy for digestive bleeding in cirrhosis. A randomized clinical trial J
Hepatol.
D'Amico G, Pagliaro L, Bosch J The treatment of portal hypertension: A meta-analytic review. Hepatology 7995;22:332-54. De Franchis R, Primignani M, Arcidiacono PG, et al. Prophylactic sclerotherapy in high-risk cirrhotics selected by endoscopic
01
:1
087-93.
.-/
De Franchis
H epat
ol
Freeman JG Cobden MD, Record CO. Placebo-controlled trial of terlipressin (glypressin) in the management of acute variceal bleeding. J Clin Gastoenterol 1989;11:58-60. Groszmann RJ, Kravetz D, Bosch J, et al. Nitroclycerin improves the hemodynamic response to vasopressin in portal hypertension. Hepatology. 1982;2:7 57'62. Hernomo K, Indrawan D, Nizam O, Pangestu A dan Iswan A.N. Pengalaman pengobatan somatostatin pada perdarahan saluran makan bagian atas di Surabaya. Buletin PGI-PPHI-PEGI Cabang Surabaya 1994; l: 40. Hemomo K. Pengalaman klinik dengan octreotide pada perdarahan akut saluran makan bagian atas. Medika. \994;20 : 22. Hernomo, K. Perbandingan analog somatostatin dan vasopresin pada perdarahan akut varises esofagus. Penelitian prospektif secara acak. Bul PGI-PPHI-PEGI Cabang Surabal'a 1995;
pengobatan endoskopik yang definitif untuk menghentikan perdarahan varises akut. Skleroterapi endoskopik (STE) hanya dicadangkan bila LVE tidak mungkin dikerjakan karena sesuatu alasan. Untuk pencegahan primer sebelum terjadi perdarahan, dapat
diberikan penghambat beta atau nitrat jangka lama, baik sebagai kombinasi atau obat tersendiri, khususnya pada pasien dengan varises esofagus yang besar, atau varises sedang dengan gangguan faal hati sedang sampai berat. Sedang untuk pencegahan sekunder perdarahan ulang, skleroterapi endoskopik (STE) dan ligasi varises esofagus (LVE), keduanya telah diterima secara luas sebagai sarana pengobatan endoskopik yang definitif, untuk pencegahan perdarahan ulang, karena dapat dipakai untuk menimbulkan oblitrasi varises esofagus. Untuk mendapatkan efek yang lebih maksimal, diharapkan kombinasi terapi endoskopik dan farmakologik, akan merupakan pilihan pengobatan yang ideal di masa depan.
2:
41.
bleeding
Prospective, randomized comparison of propranolol and sclerotherapy. Hepatology 1987 ;7 :355-61. Hayes PC, Davis JM, Lewis JA, Bouchier IAD. Meta-analysis of the value of propranolol in the prevention ol variceal haemorrhage.
Lancet
1990;336: 153-6.
Hernomo K. Pengelolaan perdarahan masif varises esofagus pada sirosis hati Thesls. Surabaya:Airlangga University Press; 1 983. Penatalaksanaan perdarahan varises Hernomo, K
esofagus.In:Suyono HS.etal.eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.3'd ed.vol II.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001 p.158'
306
Hernomo, K. Hipertensi Portal. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi ke 3, Editor: Sjaifoellah Noer HM dkk., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1996, hal. 280. Inokuchi K, Sugimachi K, Sato T, et al. Improved survival after prophylactic portal nondecompression surgery for esophageal varices: A randomized clinical trial. Hepatologt 1990;12 1-6 Italian Multicenter Project for Propranolol in Prevention of Bleeding. Propranolol prevents first gastrointestinal bleeding in nonascitic cirrhotic patients. Final report of a multicenter randomized trial. J Hepatol. 1989;9:75-83. Jalan R, Hayes PC. UK guidelines on the management of variceal haemorrhage in cir:rhotic patients. Gur 2000;46(Suppl 3):iii1-
Piai G, CipollettaL, Claar M, el al. Prophylactic sclerotherapy of high-risk esophageal varices: Results of a multicentric prospective controlled trial. Hepatology 1988;8:1495-1500. Prada A, Bortoli A, Minoli G Camovali M, Colombo E, Sangiovanni
A. Prediction of
of
the beppu and North Italian Endoscopic Club scores by an independent grorp. Eur J Gaslroenterol Hepatol 1994;6:100913.
Sarin SK, Guptan RKC, Jain AK, Sundaram KR. A randomized controlled trial of endoscopic variceal band ligation for primary prophylaxis of variceal bleeding. Eur J Gastroenterol
Hep ato
l.
-42.
iii 1 5.
Lay CS, Tsai YT, Teg C! e/ a/. Endoscopic variceal ligation in prophylaxis of first variceal bleeding in cinhotic patients with
high-risk esophageal varices. Hepatology. 1997;25:1346-50. Lebrec D, Poynard T, Capron !P, et al. Nadolol for prophylaxis of
gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. A randomized trial. J Hepatol. 1988;7:l 18-25. Merkel C, Marin R, Enzo E, at a/. Randomised trial of nadolol alone
Sarin SK, Lamba GS, Kumar M, Misra A, Murthy NS. Comparison of endoscopic ligation and propranolol for the primary prevention
per
Engl J Med. 1996;334:1624-29. Navasa M, Chesta J, Bosch J, Rodes J. Reduction of portal pressure by iso-sorbide-5-mononitrate in patients with cirrhosis. Effects
upon splanchnic and systemic haemodynamics and liver func-
tion. Gastroenterology 1989;96:11 10-8. New Italian Endoscopic Club (NIEC) for the study and therapy of esophageal varices. Definitions, methodology, and therapeutic strategies in portal hypertension. BAVENO III - portal hypertension into the third millenium. 3'd Baveno International Consensus Workshop and 1't Postgraduate Course. Lake
Maggiore, Ita1y,
April
12
14, 2000.
North Italian Endoscopic Club (NIEC) for the study and treatment
AI, Rockey DC. Gastroesophageal Variceal Haemorrhage New Engl J Med. 20Ol;345:669-81. Silvain C, Carpentier S, Sautereau D, et a1. Terlipressin plus transdermal nitroglycerin vs octreotide in the control of acute bleeding from esophageal varices: a multicenter randomized trial. Hepatology. I993; 1 8:61-5. Siringo S, McConnick PA, Mistry P, Kaye G, Mclntyre N, Burroughs AK. Prognostic significance of the white nipple sign in variceal bleeding. Gastroinlest Endos l99l;37 :51-5. Soderlund C, Magnusson I, Torngren S, Lundell L. Terlipressin (triglycyl-lysine vasopressin) controls acute bleeding oes.ophageal varices. A double-blind, randomized, placebo-controlled trial. Sc and J G as troenterol. \990 ;25:622-30. The PROVA Study Group. Prophylaxis of first hemorrhage from oesophageal varices by sclerotherapy, propranolol or both in cirrhotic patients A randomised multicenter trtal. Hepatology. 1991;14 1016. Triger DR, Smart HL, Hosking SW, Johnson AG. Prophylactic sclerotherapy for esophageal varices: Long-term results of a single-center trial. Hepatology l99l;13:117 -23. Tsai Y! Lay CS, Lai KH, et al. Corrtrolled trial of vasopressin plus nitroglycerin vs vasopressin alone in the treatment of bleeding esophageal vartces Hepatologyl9S6;6:406-9. VA Cooperative Variceal Sclerotherapy Group. Sclerotherapy for male alcoholic cirrhotic patients who have bled for esophageal
Sharara
ogy
45
ILEUS PARALITIK
Ali Djumhana, Ari Fahrial Syam
PENDAHULUAN
Ileus paralitik atauadynamic ileus adalahkeadaan di mana usus gagalltidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu
splanknikus, pankreatitis
penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keadaan otot polos usus,
Iskemia usus.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention), anoreksia, mual, dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan
ini
biasanya hanya
fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat. Demikian pula kelainan pada rongga dada seperti
pneumonia paru bagian bawah, empiema, dan infark miokard dapat diserlai paralisis usus. Gangguan elektrolit
terutama hipokalemia merupakan penyebab yang cukup
serlng. Penyakit/kea daan y ang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang tercantum di bawah
11I:
tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah danjarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit. Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum,
Kausa lleus Paralitik Neurogenik. Pascaoperasi, kerusakan medula spinalis, keracunan timbal, kolik ureter, iritasi persarafan 307
308
KEGAWTIDARURATAN
glukosa darah, dan amilase. Foto polos abdomen sangat membantu menegakkan diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi lambung usus halus dan usus besar. Air fluid level ditemukan berupa suatu gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level padaileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga). Apabila dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan foto abdomen dengan mempergunakan kontras.
PROGNOSIS
Prognosis ileus paralitik baik bila penyakit primemy a dapat
diatasi.
REFERENSI
Livingstone AS, Sasa JL. Ileus and obstruction. In: Haubrich WS, Schaffner F, eds. Bockus gastroenterology. 5th ed. Philadelphia:
PENGELOLAAN Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservat if dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat.
WB Saunders; 1995. Livingstone EH, Passoro EP. Postoperative ileus. Dig Dis Sci.
1990;35:121-32. Saudgren JE, Mc Phee MS, Greenberger NJ. Narcotic bowel syndrome treated with clonidin. Resolution of abdominal pain and pseudoobstruction Ann Intern Med 1990;101:331-4.
Schuffer WD, Sinanan MN. Intestinal obstruction and pseudoobstruction. In: Sleissenger MH, Fordtran JS, eds.
Gastrointestinal disease; pathophysiology/diagnosis management. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1993. Sileu W. Acute intestinal obstruction. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, eds. Harrison's principles of internal medicine. 13th ed. New York: Mc Graw-
Hill;
1994.
46
TROMBOSIS ARTERIAL TUNGI(AI AKUT
MurnizalDahlan
patologis.
Pada kepustakaan, bisajuga karena emboli udara atau DVT, dimana embolus bisa ke aorta melalui foramen ovale yang tidak menutup dan menimbulkan trombus akut ditungkai. Ada 3 hal yang menjadi penyebab timbulnya trombus ini, yaitu; kondisi dinding pembuluh darah (endotel), aliran darah yang melambat/stasis atau komponen yang terdapat
dalam proses terjadinya, sedangkan manifestasi klinik, gejala serta tindakannya praktis tidak berbeda. Trombosis adalah terbentuknya masa dari unsur darah di dalam pembuluh darah vena atau arteri pada makhluk hidup. Trombosis hemostasis yang bersifat self-limited dan
Gejala Klinik Gejala klinik sangat bervariasi dari yang ringan sampai berat. Apakah yang terkena arteiyang besar/utama atau cabang-cabangnya. Apakah kolateral c0kup banyak,
karena prognosis tergantung pada arteri mana yang terlibat
Ahli bedah vaskular berperanan untuk mengeluarkan trombus yang sudah terbentuk yaitu trombektomi Penyebab/Kausa
dan yang penting adalah ketepatan dan kecepatan dokter bertindak. Gejala pertama biasanya adalah rasa nyeri pada tungkai bersangkutan. Bisa nyeri hebat, bila daerah yang
atau proksimalnya. Sebagian besar adalah kelainan di jantung seperti kelainan katup, infarkjantung, fibrilasi atrium dan lainJain. Bisa pula karena aneurisma aorta, bila trombusnya lepas dan bergerak ke tungkai. Trombus yang bergerak ini
protein plasma prokoagulan, protein antikoagulan, protein fibiinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua komponen hemostasis ini harus ada dalam jumlah yang
cukup pada lokasi yang tepat untuk mencegah hilangnya darah yang berlebihan setelah trauma vaskular, dan pada
Sebagai pegangan utama, bila ada pasien dengan keluhan nyeri hebat ditungkai dan tidak terabanya nadi, maka diagnosis trombosis akut arteri ini harus ditegakkan dan ditindak lanjuti. Bila fasilitas ada, pemeriksaan noninvasif bisa dikerjakan (Doppler). Ini terutama bisa
309
310
membantu menegakkan diagnosa pasti dan menenfukan luasnya daerah yang terkena. Pemeriksaan penunjang lain,
timbul pada
kondisi sudah adanya tanda-tanda kronis, maka diagnosis penunjang sangat penting. Bila pada Doppler terlihat kelainan obstruksi atau stenosis yang cukup luas kadang-kadang operasi by pass segera bisa
dikerjakan. Setelah dilakukan trombektomi maka tindakan lain yang terus dilakukan terutama heparinisasi.
Tindakan/Pertolongan
Garis besar rencana perawatan dari sumbatan arteri tungkai
l.
Diagnosis dini dan tindakan segera. Dari anamnesis dan gejala klinik, kita harus bisa menegakkan diagnosis. Bila ada fasilitas pemeriksaan penunjang, dapat dikerjakan tapi jangan sampai terlalu lama sehingga terapiltindakan kita jangan sampai terlambat. Pasien harus istirahat baring/dirawat dan diberikan
analgetika. Pemberian antikoagulan seperti heparin dan LMWH, penting untuk mencegah meluasnya proses trombosis, biasanya diberikan selama l0 hari, sesudah itu berangsur-angsur diganti per oral. Dosis dan lamanya pemberian tergantung masing-masing sentra. Bisa pula diberi trombolitik. Untuk memperbesar hasil terapi yang terbaik adalah bila pemberian langsung
REFERENSI
Bletry O. Et Kieffer E. - Embolies arterielles des membres. - Encycl. Med. Chir., Paris, Coeur-Vaisseaux, 11319 D 10, 3-1980 Deitcher SR, Rodgers GM. Thrombosis and antithrombolitic therapy. ln : Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, eds. Wintrobe's clinical hematology, 11 'l ed. Philadelphia:
156
158.
terutama berhasil sangat baik bila kejadiannya benar-benar akut dan pada Pasien yang
Tindakan
ini
relatifmuda.
47
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SINDROM LISIS TUMOR
Zakifman lack
PENDAHULUAN
Dengan berkembangnya ilmu pengobatan kanker, khususnya kemoterapi, mulai dari penggunaan obat tunggal sampai penggunaan obat kombinasi yang kemudian berkembang menj adi berkembang menj adi
kemoterapi agresif, berbagai laporan hasil terapi yang menggembirakan diperoleh. Tetapi seiring dengan itu
berbagai efek samping pun timbul dari yang ringan sampai yang berat bahk an fatalyang tidak j arang rnengakibatkan kematian, salah satunya yaitu sindrom lisis tumor.
PATOFISIOLOGI
Pemberian kemoterapi pada sel tumor yang sensitif akan berakibat terjadinya penghancuran "mendadak" sejumlah besar sel tumor sehingga terjadi degradasi asam nukleat, mengakibatkan katalisis hipoksantin dan xantin oleh
xantin oksidase yang meningkatkan pembentukan asam urat yang relatif tidak larut dalam air. Ekskresi asam urat yang meningkat mengakibatkan konsentrasi intratubular yang meningkat pula sampai melebihi tingkat/batas kelarutan (limits of solubility), sehingga terjadi keadaan supersaturasi dan kristal asam urat pada tubulus renal dan distal collecting system yang mengakibatkan
mengakibatkan terj adinya hiperfosfatemia yang makin memperburuk fungsi ginjal sehingga terjadi penumnan ekskresi kalium sampai terjadi hiperkalemia, di samping
Hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung, sedangkan hipokalsemia dapat mengakibatkan kejang otot, penurunan kesadaran (confusion), tetani dan gangguan irama jantung berupa pemanjangan interval
Qr.
FAKTORRISIKO
. .
311
PeningkatanLDH.
Ukuran tumor yang besar (bullqt tumor) dengan tingkat
312
KEGA1VATDARURATAN
. . .
proliferasi yang tinggi. Tumor yang sangat sensitif terhadap kemoterapi. Hiperurisemia yang sudah ada sebelum pengobatan. Penurunan fungsi ginjal.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya tanda-tanda sindrom yang disebutkan di atas yaitu: hiperuriksemia,
hiperfosfatemia, hiperkalemia dan hipokalsemia serta tanda
gangguan ginjal berupa peningkatan kadar ureum, kreatinin, penurunan volume urin, asidosis metabolik dengan pernapasan "Kussmaul", atau gejala sesak napas karena over load cairan tubuh, tetani, kejang otot, gangguan irama janfung sampai penurunan kesadaran.
yang mengancam jiwa, sehingga harus segera dilakukan tindakan berupa pemberian 20-30 I.U insulin regular dalam 200-300 ml glukosa 20%o intrayena selama 30 menit, bisa ditambahkan 15 gram Kayexalate setiap 6 jam peroral. Keadaan hiperkalemia ini dapat dikenali dengan timbul nya gelombang T tinggi pada EKG. Keadaan hipokalsemia dapat dikoreksi dengan pemberian kalsium glukonat intravena. Bila timbul hiperfosfatemia maka tindakan alkalinisasi
PENATALAKSANAAN
Pencegahan adalah langkah terbaik yang dilakukan.
Pengenalan jenis tumor dan pasien dengan risiko tinggi harus dilakukan sebelum kemoterapi dimulai, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk melindungi
1. Kalium, serum > 6 mcg/l 2. Asam urat serum > 10 mg/dl 3. Kreatinin serum > 10 mg/dl 4. Fosfat serum > 10 mg/dl.
5 6 7
B.
KESIMPULAN
Sindrom lisis tumor adalah suatu keadaan darurat medik dalam bidang onkologi yang sering timbul sesudah
tindakan pemberian kemoter api y ang dapat mengakibatkan kematian apabila tidak disikapi dan diterapi secara baik dan benar. Tindakan pencegahan tetap merupakan pilihan terbaik yang harus diambil.
Walaupun fungsi ginjal normal sebelum kemoterapi dirnulai, tidak tertutup kemungkinan terjadinya sindrom lisis tumor akibat pemecahan sejumlah besar sel tumor dalam waktu yang singkat, sehingga harus dilakukan pemantauan elektrolit, ureum, kreatinin, kalsium, fosfat , asam urat dan pH urin paling sedikit sekali sehari selama 4
han setelah kemoterapi dimulai. Demikian pula pemantauan balans cairan harus dilakukan setiap hari terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan jantung yang sudah ada sebelumnya. Pemeriksaan elektrokardiogram
REFERENSI
Fojo AT. Metabolic emergencies in cancer principles and practice of oncology. In: Devita VTJr, et al, editors. 7th edition. 2003. p. 2292-9. Krecker E, Muggia FM. Oncologic nalignancies in current therpy in Hematology-Oncology. In: Braint MC, Carbone PP, et a1, editors. 1995. p. 600-9.
dilakukan bila ada hiperkalemia dan hipokalsemia. Frekuensi monitor yang dilakukan tergantung kepada keadaan klinis. Bila terjadi kenaikan serum kreatinin maka harus dilakukan diuresis paksa (forced diuresis) selama 24 jam
perlama dengan penambahan alopurinol 600-800
mglhai,
48
KEGAWATAN ONKOLOGI DAN SINDROM PARANEOPLASTIK
Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro
PENDAHULUAN
Kanker saat ini frekuensinya meningkat. Faktanya selama hidup seorang pria berisiko terkena kanker prostat I di
attara 6, begitu pula seorang wanita selama hidupnya berisiko terkena kanker payudara 1 diantara 8. Secara statitistik juga terjadi peningkatan insidens kanker, sebagai contoh CPIC (colorectal cancer) 42,3-60,8 per 100.000 penduduk, paru 70 per 100.000 penduduk di
Amerika Serikat.
Sindrom Vena Cava Superior Sindrom vena cava superior disebabkan oleh adanya obstruksi atau tekanan pada vena cava superior yar,g
mengalirkan darah ke atrium kanan. Vena cava superior dibentuk dari penyatuan vena brachiocephalica kanan dan kiri dan berakhir pada bagian superior-posterior atrium kanan. Lokasinya di mediastinum tengah dan berdekatan dengan sternum, trakea, bronchus kanan, aorta, arteri
pulmonaris, kelenj ar getah bening paratrakeal dan parahiler. Dinding vana cava superior tipis sehingga dengan mudah ditekan. Bila dindingnya sebagian atau seluruhnya
Dengan semakin banyak kanker yang dapat didiagnosis dan diterapi, semua dokter harus mampu
mengenali dan menangani kegawatan onkologi.
yang lebih awal dan pada stadium yang lebih bisa ditangani. Keberhasilan penanganan tumor yang
mendasari akan menghilangkan sindrom paraneoplastik. Pada beberapa keadaan, tumor tidak bisa diobati tetapi
Etiologi
Sindrom vena cava superior disebabkan oleh penekanan,
gejala dan komplikasi sindrom paraneoplastik bisa ditangani. Kegawatan pada kanker dapat dikategori
menjadi 3 kelompok:
invasi atau trombosis pada vena cava superior. Saat ini penyebab terbanyak adalah keganasan (80-98%)' Penyebab terbanyak adalah kanker paru diikuti oleh limfoma, kanker yang bermetastasis di mediastinum dan
tomor primer mediastinum lihat Tabel
l.
1.
Evaluasi
Manifestasi klinik sindrom ini bisa akut maupun subakut.
Penekanan vena cava superior yang berlahan memungkinkan berkembangnya sirkulasi kolateral.
313
314
Penyebab sindrom vena cava supeior Kanker paru 52-81% Small cell Non small cell
Limfoma
2-20o/o
membantu diagnosis pada 213 pasien. Mediastinoskopi, torakotomi maupun sternotomi bila perlu dikerjakan untuk diagnosis. Pemeriksaan iaringan penting dilakukan dengan bronkoskopi, biopsi jarum halus, biopsi kelenjar getah bening supraklavikula atau dengan biopsi dipandu CT-
limfoblastik Metastasis di mediastinum 8-10% kanker payudara kanker germ cell kanker gastrointestinal Tumor primer di mediastinum 10% timoma sarkoma melanoma Penyebab bukan keganasan 5% infeksi (tuberkulosis, sifilis, histoplasmosis) strume aneurisma aorta trombosis pada kateter vena sentral
PENATALAKSANAAN
Dibedakan arfiara yar,g gawat dengan yang tidak gawat. Gawat bila ada gangguan saluran napas, kardiovaskular atau peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan yang memerlukan penanganan segera.
Radioterapi
Beratnya sindrom vena cava superior terganfung pada penyebab yang mendasari, kecepatan obstruksi, adarrya
Radioterapi efektif pada sebagian besar kasus dan memberi perbaikan gej ala 7 0 -9 0o/o pasien dan hanya I 0 - I 5Yo y ang tidak berespon. Pemberian fraksinasi dosis tinggi ( >3 Gy/ hari ) memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis
konvensional 2 Gy lhari.
pada setengah sampai 213 pasiendijumpai pelebaran atau masa pada mediastinum superior. Bisa didapat massa pada hilus kanan (10-40yo), efusi pleura kanan(25o/o), adenopati hilus dan masa pada paru (20%). Tapi bisa ditemukan foto dada yang no rmal (3 - | 5%).
Kemoterapi
Kemoterapi diindikasikan pada tumor yang kemosensitif (kankerparu sel kecil, tumor sel germinatrium, limfoma). Dapat digunakan sebagai terapi tunggal, bersamaan atau setelah radioterapi. Evaluasi setelah 3 siklus, bila berespons dilanjutkan kemoterapi 3 siklus lagi. Pada kasus dengan stable
CT-scan dengan kontras atau imaging resonansi magnetik (MRI) adalah pemeriksaan yang penting untuk mendeteksi lokasi obstruksi, adanya trombus pada vena cava superior, sirkulasi kolateral, masa atau adenopati mediastinum. Pemeriksaan venografi diperlukan bila
Gejala
Sesak 63% Muka terasa penuh 50% Batuk 24o/" Nyeri dada 15% Disfagia 9% Sakit kepala Gangguan penglihatan Mual Hidung terasa mampat Tanda Vena leher distensi 66% Vena dinding dada distensi 54% Muka edem 46% Sianosis 20% Plethora 19% Lengan edem 14% Ekstremitas atas edem Kemosis Papil edem Kesadaran menurun Sinkop
scan ditemukan trombus, pemberian heparin akan bermanfaat. Terapi fibrinolitik efektif pada pasien yang penyebabnya adalah trombus pada kateter vena sentral, dan tidak efektifyang disebabkan oleh invasi tumor atau
penekanan dari mediastinum.
Pembedahan
Pembedahan hanya dikerj akan pada pasien yang tak berhasil dengan terapi konvensional. Tekniknya bisa dengan rekonstruksi vena kava superior atau pembuatan bypass vena.
315
Terapi Suportif
l.
2. 3.
4.
5.
Posisi kepala agak ke atas Pemberian oksigen Diuresis (terapi diuresis memperbaiki keadaan klinis tapi dehidrasi dapat memperburuk sindrom vena cava superior dan trombosis) Steroid, digunakanjangka pendek. Bisajangka panjang bila respons terlihat atau terbukti adatya edema otak. intubasi atau trakeostomi segera dilakukan bila adany a stridor (obstmksi saluran napas atas) tidak berespons dengan steroid dan bronkodilator.
Terjadi pada tumor primer maupun metastasis yang menekan simpul saraf dengan akibat terjadi defisit
neurologi. Metastasis spinal sering terjadi pada bagian
posterior korpus vertebra dan akan menekan simpul saraf
spinal bagian anterior. Kebanyakan pasien diketahui sebelumnya menderita kanker, tapi sebagian yang lain
kompresi pada simpul saraf spinal merupakan manifestasi
sevikalis 10% walaupun metastasis multipel sering diternukan. Kanker yang sering menyebabkan adalah
kanker payudara, paru, prostat, ginjal, mieloma multipel
dan sarkoma.
Evaluasi
Nyeri pinggang/punggung adalah awal gejala yang dapat lokal, radikular maupun keduanya tergantung
lokasi tumor. Nyeri bertambah dengan mengedan, batuk, gerakan. Kadang memungkinkan mendeteksi lo"kasinya dengan perkusi spinal secara gentle. Bila lebih berat
Evaluasi
Gejalanya sesak napas, nyeri dada, batuk, palpitasi, ortopnea, lelah, lemah, gelisah. Tandanya takikardia, penurunan bunyi jantung, distensi vena leher, edema
dapat dijumpai gangguan sensorik, motorik, inkontinensia urin dan alvi dan akhirnya paralisis.
Pemeriksaan radiologi dengan foto polos dijumpai lesi
litik
friction rubs . Bila telah timbul tamjantung ponade akan ditemukan hipotensi, disritmia, jugularis meningkat dan tanda kardinal tekanan vena
dan pericardial
peifer
deteksi dan lokalisasi kompresi tulang belakang. Mielografi dan CT-Scan dapat dilakukan bila MRI tak
ada atau ada kontraindikasi.
adalah pulsus paradoksus. Foto dada terlihat pembesaran jantung. Pada EKG ditemukan low-voltage kompleks dan
Penatalaksanaan
Pasien dengan gejala neurologi
electrical alternans. Ekokardiografi adalah prosedur diagnostik pilihan, dimana cairan efusi dengan mudah
dapat terlihat. Pada tamponade, dapat dilihat kolaps atrium kanan dan ventrikel pada diastol. CT-scan adalah alternatif
. . . .
Segera dirawat
Kontrol nyeri dengan alat analgesik Deksametason suntikan 8-10 mg tiap 6 jam dengan
tujuan megurangi edema
Pembedahan dikerjakanbila
:
1. Kompresi
jantung.
2. 3.
spinal oleh fragmen tulang Kompresi spinal yang tidak diketahui penyebabnya dan biopsy jaringan diperlukan karena perburukan
Penatalaksanaan Pada pasien dengan tanpa atau gejala ringan dan hemodinamik stabil dapat diberikan terapi sistemik.
Kemoterapi dan radioterapi dapat diberikan pada kanker yang kemosensitif (limfoma, leukemia, kanker payudara, kanker paru sel kecil) atau radiosensitif (limfoma, kanker payudara, kanker paru). Pasien dengan hipotensi ringan dapat diberikan cairan cepat NaCl 0,9%o atauringer laktat. Pasien dengan tamponade jantung harus dikerjakan perikardiosentesis.
defisit neurologi Tumor tidak berespons dengan radioterapi Radioterapi setelah pembedahan
tetapi radiologi abnormal . Kontrol nyeri dengan analgetik . Radioterapi diberikan fraksinasi 25-30 cGy sampai dosis total 3000-3500 cGy
316
hiperleukositosis adalah 5-13% pada AML dan l0-30% ALL. Peningkatan sel blast di perifer meningkatkan viskositas darah, aliran darah diperlambat oleh agregrat
pada
sel hrmor dan sel leukemia mampu menembus endotel yang
yang paling sering terkena. Leukostasis otak bisa mengakibatkan stupor, nyeri kepala, pusing, telinga mendenging, gangguan visual, ataksia, koma, mati mendadak. Komplikasi ini bisa dilindungi dengan
Evaluasi
Metastasis otak menyebabkan gejala dan tanda oleh karena
cell
lysis
lnsidens %
35-50 30-40 35-49 15-20 10-20 15-20 15-20
KEDARURATAN METABOLIK
Ataksia Afasia
A. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia paling berisiko pada kanker payudara,
Patofisiologi
P arathyroid
kejang, leher kaku, edema papil, hipertensi. bradikardia. Bila sudah lanjut terjadi penurunan kesadaran. Diagnosis bisa dibantu dengan CT-scatq atau MR[. MRI lebih sensitif dibanding CT-Scan.
horrnone (PTH) d.an Parathyroid hormonerelatedprotein (PTHrp). Tumor jarang menghasilkan PTH kecuali kanker parathyroid. PTHrp adalah penyebab
tersering hiperkalsemia yang terkait kanker. Kondisi fisiologis PTHrp adalah faktor parakrin. Bila produksi
berlebihan akan berfungsi sebagai hormon yang bekerja sistemik meningkatkan absorbsi kalsium di usus, reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal dan metabolisme
tulang.
Vitamin D3.
D3.
Pada pasien limfoma Hodgkin, limfoma nonHodgkin, mieloma multipel terdapat peningkatan vitamin
melewati sawar darah otak adalah sisplatin, karboplatin, etoposid, ifosfamid, temozolomid, gemsitabin, irinotekan. Pembedahan dikerjakan setelah radioterapi, pada pasien dengan tumor primer terkontrol, status penampilan baik dan metastasis otak soliter. Terapi suportif adalah pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan antikejang.
sebagian homologi, TGF rnerangsang reseptor EGF, sehingga meningkatkan resorpsi tulang. IL-1, IL-6 dan TNF meningkatkan resorpsi tulang. Diagnosis Banding
Penyebab hiperkalsemia adalah banyak (Tabel 4), penyebab tersering adalah hiperparatiroidisme dan keganasan. Jika hiperkalsemia terjadi pada pasien yang
dirawat, 65% umumnya berhubungan dengan keganasan.
Evaluasi Manifestasi klinik hiperkal semia adalahfali gue, kelemahan
Hiperleukositosis dan sindrom leukostasis berpotensi komplikasi fatal pada leukemia akut yang terjadi ketika
317
Kanker
- PTHrp - Non-PTHrp Endokrin Dan Metabolik - Hiperparatiroid primer - Addison's drsease - lmobilisasi - Terapi hormon tiroid lnfeksi Dan Granulomatosis - TBC - HIV - arcoidosis - Berryliosis - Coccidiodomycosis Diet dan Obat - Vitamin D eksogen - Vitamin A eksogen - Lithium - Suplemen kalsium - Thiazide
Pemecahan sel kanker yang cepat akan mengeluarkan metabolit selular terutama asam urat, ion intraselular yang
melampui kapasitas ginjal mengekskresi. Sindrom lisis tumor tegantung : l. Ukuran dan derajat tumor, 2. fungsi ginjal, 3. terapi. Pemecahan sel akan mengeluarkan banyak asam nukleat,kalium dan fosfat. Asam nukleat mengandung basa
vasokonstriksi renal, natriuresis, penurunan laju frltrasi glomerulus. Komplikasi ginjal kronik terjadi gangguan konsentrasi ginjal, diabetes insipidus nefrogenik, tubular ginjal asidosis, nefrolitiasis dan penurunan fungsi ginjal, hiperkalsemia ringan, teqadi gangguan kognitif ringan, hiperkalsemia sedang terjadi anxietas dan hiperkalsemia berat terjadi halusinasi, psikosis, somnolen dan koma. Komplikasi kardiovaskular adalah kecenderungan terj adi hiperlensi dan percepatan deposisi kalsium di endotel.
Penatalaksanaan
Evaluasi
Tanda. l). Kalium > 6 mmol/l, 2). Kalsium < 6 mg/dl, 3). Kreatinin > 2,4 mgl dl, 4). Di sritmia, 5 ). Peningkat an 25o/o
fosfat, 6). Peningkatan 25oZ asam urat.
Terapiumum: . kurangi immobilisasi . hentikan atau batasi obat yang menghambat ekskresi kalsium di ginjalmisal tiazid . hentikan atau batasi obat yang menurunkan perfusi
Pencegahan
. . . .
l:l).
. .. .
ginjal misal OAINS, penghambat ACE, penghambat reseptor angiotensin II hentikan suplemen vitamin D, A seperti multivitamin Meningkatkan ekskresi kalsium urin dengan cara
pemberian NaCl 0,9o/o intravena.
Menghambat resorpsi tulang dengan pemberian
:
Terapi spesifik:
Alkalinisasi urin dengan pemberian natrium bikarbonat. Target pH urin dipertahankatrarrtara 7 sampai 7,5. Balans cairan minimal 2 kali sehari Bila pasien dengan risiko tinggi terjadi sindrom lisis fumor harus diperiksa setiap hari asam urat, Na, K, Ca, Mg, fosfat, kreatinin, LDH, INR, fibrinogen, DPL,
glukosa.
pamidronat,
Penatalaksanaan
Jika secara klinik terbukti ada sindrom lisis tumor maka: . Pasien segera dimasukkan ke ICU
Kalsitonin
. .
318
KEGAWTIDARURAf,AN
. . .
Dialisis pada Sindrom Lisis Tumor Jika kalium > 7 mmolil tidak bisa ditangani dengan
pengobatan konvensional harus segera dilakukan dialisis bila keadaannya mengancam nyawa. Indikasi lain adalah kalium > 6 mmol/ldalam terapi hidrasi, fosfat > 10 mg/dl, ureum > 150 mg/dl dan oliguria atau anuria.
diuretika terutama furosemid intravena, diuretika hemat kalium dihindari. Hindari pemakaian kontras medium, aminoglikosida, OAINS, probenesid, tiazid.
Komplikasi Sindrom lisis tumor adalah keadaan yang mengancam nyawa, dengan komplikasi gagal ginjal akut, disritmia
maligna, DIC dan akhirnya meninggal.
REFERENSI
Friedman JD. Oncologic Emergencies In : Pillot G et al eds.The Washington Manual Hematology and Oncology Subspeciality Consult. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004. Gucalp R, Dutcher J. Oncologic Emergencies In: Kasper DL et al eds. Harisson's Principle of Internal Medicine, 16th ed. New
York, McGraw-Hill, 2005. Jouriles NJ. Oncologic Emergencies. In : Markovchick VJ, Pons PT eds.Emergency Medicine Secrets 3'd ed. Philadelphia, Hanley & Belfus, 2003.
Kosmidis PA, Schijvers D, Andre F, Rottey S, eds. European Society for Medical Oncology Handbook of Oncological Emergencies. London, Taylor & Francis, 2005. Liu G, Robins HI. Oncological Emergencies. In: Pollock RE, ed. UICC Manual of Clinical Oncology, 8th ed.New Jersey, John
. . . .